Laporan Tutorial Skenario A Blok 23 Kelompok B7.docx

  • Uploaded by: Ahmad Ghozian Adani
  • 0
  • 0
  • December 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Laporan Tutorial Skenario A Blok 23 Kelompok B7.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 11,427
  • Pages: 67
LAPORAN TUTORIAL BLOK 23 Skenario A

Kelompok 7 Kelas Beta 2016 Tutor : dr. Emma Novita, M.Kes Nadia Fernanda Berendhuysen

(04011181621017)

Muhammad Syahril Sidiq

(04011181621018)

Farhana Lutfiah Rahmadanti

(04011181621026)

Dina Venia Dewanty

(04011181621049)

Annisa Rahayu

(04011181621057)

Siti Salimah Hanifah Novizar

(04011281621086)

Ahmad Ghozian Adani

(04011281621087)

Aulia Qudusi Ramadhani

(04011281621105)

Muhammad Daffa Alfarid

(04011281621143)

Afrida Yolanda Putri

(04011281621145)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA 2017/2018

1

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa karena atas berkat, rahmat, dan karunia-Nya lah kami dapat meyusun laporan tutorial ini sesuai dengan waktu yang telah ditentukan. Laporan ini merupakan tugas hasil kegiatan tutorial Skenario A Blok 23 Pendidikan Dokter Umum Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya Tahun 2019. Disini kami membahas sebuah kasus kemudian dipecahkan secara kelompok berdasarkan sistematikanya mulai dari klarifikasi istilah, identifikasi masalah, menganalisis, meninjau ulang dan menyusun keterkaitan antar masalah, serta mengidentifikasi topik pembelajaran. Bahan laporan ini kami dapatkan dari hasil diskusi antar anggota kelompok dan bahan ajar dari dosen-dosen pembimbing. Akhir kata, kami mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, orang tua, tutor dan para anggota kelompok yang telah mendukung baik moril maupun materil dalam pembuatan laporan ini. Kami mengakui dalam penulisan laporan ini terdapat banyak kekurangan. Oleh karena itu, kami memohon maaf dan mengharapkan kritik serta saran dari pembaca demi kesempurnaan laporan kami di kesempatan mendatang. Semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi para pembaca

Palembang, 29 Maret 2019

Kelompok 7

2

DAFTAR ISI

Kata Pengantar............................................................................................................... 2 Daftar Isi........................................................................................................................ BAB I

BAB II

3

: Pendahuluan 1.1

Latar Belakang…………………………………………………....

4

1.2

Maksud dan Tujuan………………………………………………

4

: Pembahasan 2.1

Skenario.........…………………………………………………….. 5

2.2

Klarifikasi Istilah............................................................................. 6

2.3

Identifikasi Masalah........................................................................

2.4

Analisis Masalah............................................................................... 8

2.5

Learning Issue.................................................................................

27

2.6

Kerangka Konsep............................................................................

62

6

BAB III : Penutup 3.1

Kesimpulan ...................................................................................... 63

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................................... 64

3

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Pada kesempatan ini, dilakukan tutorial studi kasus sebagai bahan pembelajaran untuk menghadapi tutorial yang sebenarnya pada waktu yang akan datang. Penulis memaparkan kasus yang diberikan mengenai Sindroma Down.

1.2 Maksud dan Tujuan Adapun maksud dan tujuan dari materi tutorial ini, yaitu : 1. Sebagai laporan tugas kelompok tutorial yang merupakan bagian dari

sistem

pembelajaran

KBK

di

Fakultas

Kedokteran

Universitas Sriwijaya Palembang. 2. Dapat menyelesaikan kasus yang diberikan pada skenario dengan metode analisis dan pembelajaran diskusi kelompok. 3. Tercapainya tujuan dari metode pembelajaran tutorial dan memahami konsep dari skenario ini.

1.3 Data Tutorial a. Tutor

: dr. Emma Novita, M.Kes

b. Moderator

: Farhana Lutfiah Rahmadanti

c. Sekertaris

: Siti Salimah Hanifah Novizar Afrida Yolanda Putri

d. Waktu

: Senin, 25 Maret 2019 Pukul 10.00 – 12.00 WIB Rabu, 27 Maret 2019 Pukul 10.00 – 12.00 WIB

4

BAB II ISI

2.1 SKENARIO Amri, laki-laki usia 12 bulan, dibawa ke Puskess karena belum bisa duduk. Amri sudah bisa tengkurap tapi belum bisa duduk dan merangkak, bisa mengoceh tapi belum bisa memanggil “mama” dan “papa” ataupun menirukan kata-kata lain. Bisa memegag mainan tapi cepat terlepas, belum bisa membenturkan mainan dan belum bisa mengambil benda kecil dengan ibu jari dan jari telunjuk. Amri anak keempat dari ibu usia 38 tahun. Lahir spontan dengan bidan pada kehamilan 38 minggu.selama hamil ibu tidak ada keluhan dan periksa kehamilan ke bidan 3 kali. Segera setelah lahir langsung menangis, skor Apgar pada menit kelima 9. Berat badan waktu lahir 2200 gram. Amri bisa tengkurap pada usia 4 bulan, tapi belum bisa berbalik sendiri. Saat ini belum bisa duduk dan merangkak, dan belum bisa bicara. Sampai saat ini masih minum ASI, belum bisa makan padat, sehingga masih diberi bubur saring. Saat usia 5 hari mengalami kuning selama 2minggu, tidak bisa dibawa berobat, BAB tidak rutin setiap hari, kadang-kadang BAB setiap 2 atau 3 hari. Menyusu kuat, tidak ada riwayat sesak napas dan biru-biru, tidak ada riwayat kejang. Pada pemeriksaan fisik didapatkan BB 7,2kg, panjang badan 72 cm, lingkar kepala 36 cm. Anak sadar, kontak mata baik, mau melihat tetapi takut-takut kepada pemeriksa. Menoleh setelah dipanggil namanya berulang-ulang.Terlihat gambaran dismorfik pada wajah dengan kepala kecil dan bagian belakang kepala datar, mata sipit dengan jarak kedua mata terlihat jauh, pangkal hidung merata, lidah sering menjulur keluar, dan telinga kecil.Suara jantung normal tidak terdengar murmur.Pemeriksaan abdomen ditemukan hernia umbilikalis.Pada posisi tengkurap

5

dapat mengangkat dan menahan kepala beberapa menit.Kedua lengan dan tungkai lemah, kekuatan 3, lengan dan tungkai teraba lembek, refleks tendon menurun.Pada waktu diangkat ke posisi vertical keempat anggota gerak jatuh dengan lemas. Tidak ada kelainan anatomi pada kedua tungkai dan kaki, tidak ada mottling. Pemeriksaan KPSP untuk anak usia 12 tahun didapatkan jawaban Ya ada 3, tidak bisa pada gerak kasar, gerak halus, bicara dan bahasa.

2.2 KLARIFIKASI ISTILAH N o

Istilah

1 Hernia umbilikalis . 2 Dismorfik . 3 Mottling . 4 Skor Apgar .

5 KPSP . 6 Refleks tendon .

Pengertian

Penonjolan bagian intestinum pada umbilicus, defek dinding abdomen dan intestinum yang mengalami penonjolan diselubungi oleh kulit dan jaringan subkutan. Kelainan perkembangan morfologi. Kondisi bebercak oleh berbagai bintik warna. Suatu metode sederhana yang digunakan untuk menilai keadaan umum bayi sesaat setelah kelahiran yang dinilai: frekuensi jantung, respiratory effort, tonus otot, warna kulit, dan reaksi terhadap rangsang. Penilaian perkembangan anak dalam 4 skor perkembangan, yaitu: motoric kasar, motoric halus, bicara atau bahasa, dan sosialisasi atau kemandirian. Refleks yang ditimbulkan oleh ketukan tajam pada tendon atau otot di tempat yang tepat untuk meregangkan otot tersebut sesaat, yang kemudian diikuti oleh kontraksi otot tersebut.

2.3 IDENTIFIKASI MASALAH 1. Amri, laki-laki usia 12 bulan, dibawa ke Puskess karena belum bisa duduk. Amri sudah bisa tengkurap tapi belum bisa duduk dan merangkak, bisa

6

mengoceh tapi belum bisa memanggil “mama” dan “papa” ataupun menirukan kata-kata lain. Bisa memegag mainan tapi cepat terlepas, belum bisa membenturkan mainan dan belum bisa mengambil benda kecil dengan ibu jari dan jari telunjuk. 2. Amri anak keempat dari ibu usia 38 tahun. Lahir spontan dengan bidan pada kehamilan 38 minggu. Selama hamil ibu tidak ada keluhan dan periksa kehamilan ke bidan 3 kali. Segera setelah lahir langsung menangis, skor Apgar pada menit ke 59. Berat badan waktu lahir 2200 gram. 3. Amri bisa tengkurap pada usia 4 bulan, tapi belum bisa berbalik sendiri. Saat ini belum bisa duduk dan merangkak, dan belum bisa bicara. Sampai saat ini masih minum ASI, belum bisa makan padat, sehingga masih diberi bubur saring. 4. Saat usia 5 hari mengalami kuning selama 2minggu, tidak bisa dibawa berobat, BAB tidak rutin setiap hari, kadang-kadang BAB setiap 2 atau 3 hari. 5. Menyusu kuat, tidak ada riwayat sesak napas dan biru-biru, tidak ada riwayat kejang. 6. Pada pemeriksaan fisik didapatkan BB 7,2kg, Panjang badan 72 cm, lingkar kepala 36 cm. anak sadar, kontak mata baik, mau melihat tetapi takut-takut kepada pemeriksa. Menoleh setelah dipanggil namanya berulang-ulang. Terlihat gambaran dismorfik pada wajah dengan kepala kecil dan bagian belakang kepala datar, mata sipit dengan jarak kedua mata terlihat jauh, pangkal hidung merata, lidah sering menjulur keluar, dan telinga kecil. Suara jantung normal tidak terdengar murmur. 7. Pemeriksaan abdomen ditemukan hernia umbilikalis. Pada posisi tengkurap dapat mengangkat dan menahan kepala beberapa menit. Kedua lengan dan tungkai lemah, kekuatan 3, lengan dan tungkai teraba lembek, refleks tendon menurun. Pada waktu diangkat ke posisi vertical keempat anggota gerak jatuh dengan lemas. Tidak ada kelainan anatomi pada kedua tungkai dan kaki, tidak ada mottling. 8. Pemeriksaan KPSP untuk anak usia 12 tahun didapatkan jawaban Ya ada 3,

7

tidak bisa pada gerak kasar, gerak halus, bicara dan bahasa.

2.4

ANALISIS MASALAH

1. Amri, laki-laki usia 12 bulan, dibawa ke Puskess karena belum bisa duduk. Amri sudah bisa tengkurap tapi belum bisa duduk dan merangkak, bisa mengoceh tapi belum bisa memanggil “mama” dan “papa” ataupun menirukan kata-kata lain. Bisa memegag mainan tapi cepat terlepas, belum bisa membenturkan mainan dan belum bisa mengambil benda kecil dengan ibu jari dan jari telunjuk. a. Bagaimana hubungan usia dan jeis kelamin dengan keluhan? Sindroma Down merupakan kelainan genetik yang paling sering dengan angka kejadian secara umum adalah 1 diantara 800 orang. Kelainan ini bersifat universal, tidak mengenal batas ras, bangsa, suku bangsa, geografi, musim, dan jenis kelamin. b. Bagaimana gambaran perkembangan Milestone anak sampai usia 12 bulan?

8

Gambar 1. Milestone anak usia 1-6 bulan

9

Gambar 2. Milestone anak usia 7-12 bulan c. Apa makna klinis dari paragraph di atas? Amri yang sudah berusia 12 bulan normalnya sudah mampu berdiri, duduk tanpa dibantu, merangkak, dan babbling serta menyebut kata konsonan

10

berulang seperti papa mama. Amri yang belum bisa duduk dan merangkak berarti mengalami keterlambatan perkembangan motoric kasar dan belum bisa berbicara menandakan terdapat keterlambatan perkembangan bicara dan Bahasa. Gangguan tonus otot dan keterlambatan perkembangan bicara dan Bahasa merukapan manifestasi dari sindroma down. d. Apa kemungkinan penyebab keluhan di atas? Penyebab dari sindroma down adalah mutasi gen yang dibagi menjadi tiga jenis:  Translokasi pada kromosom 21  Mosaic  Trisomi pada kromosom 21 Beberapa factor risiko yang dapat menyebabkan sindroma down antara lain hamil diatas usia 35 tahun. Menurut hasil penelitian epidemiologi mengatakan adanya peningkatan resiko berulang bila dalam keluarga terdapat anak dengan down syndrome. Ada sebagian besar penelitian bahwa sekitar 30% ibu yang melahirkan anak dengan down syndrome pernah mengalami radiasi di daerah sebelum terjadi konsepsi. Virus Mengakibatkan rekombinasi genetik yang membuat DNA manusia dikendalikan oleh virus. Kemungkinan

Amri

mengalami

gangguan

perkembangan

dan

pertumbuhan, Amri mengalami hipotonus dan juga kognitif, anak usia 9 bulan biasanya sudah bisa babbling seperti “mama” dan “baba”. e. Bagaimana dampak yang dapat timbul dari keluhan yang dialami Amri? (dalam jangka panjang) Berbagai keluhan diatas merupakan gejala dari GDD (global developmental delay), dan dampak GDD terhadap anak akan terlihat pada masa

pertumbuhan

dan

perkembangan

11

anak

kedepannya,

seperti

keterlambatan bicara, berjalan, bersosialisasi, dan lainnya. 2. Amri anak keempat dari ibu usia 38 tahun. Lahir spontan dengan bidan pada kehamilan 38 minggu. Selama hamil ibu tidak ada keluhan dan periksa kehamilan ke bidan 3 kali. Segera setelah lahir langsung menangis, skor Apgar pada menit kelima 9. Berat badan waktu lahir 2200 gram. a. Bagaimana cara menilai skor APGAR?

Gambar 3. Skor APGAR

b.

Apa hubungan usia ibu, multipara, riwayat lahir spontan, dan BBLRterhadapkondisi Amri? Hubungan usia ibu 38 tahun menjadi faktor risiko down syndrom.

Angka kejadian down syndrom meningkat tajam melahirkan anak setelah berusia 35 tahun keatas.

12

pada wanita yang

Ada hubungan yang bermakna antara berat lahir rendah dan perkembangan anak. Penelitian menunjukkan bahwa anak usia balita dengan riwayat berat badan lahir rendah / BBLR memiliki risiko gangguan perkembangan motorik halus 27,6 kali dibandingkan anak normal dan risiko gangguan perkembangan motorik kasar 8,18 kali lebih besar dibandingkan anak yang nomal. Usia ibu : Semakin tua umur ibu, semakin pula ibu memiliki peluang untuk melahirkan anak down syndrome. Kejadian ini akan bertambah tinggi dengan bertambah usia ibu hamil. Pada wanita muda (<< 25 tahun) insideni sangat rendah, tetapi mungkin meningkat pada wanita yang sangat muda (<< 15 tahun). Resiko melahirkan bayi down syndrome akan meningkat pada wanita berusia >30 tahun dan meningkat tajam pada usia >40 tahun sekitar 60% janin down syndrome cendrung akan gugur dan 20% akan lahir mati. Riwayat lahir spontan : Down Syndrome terjadi karena kekurangan kromosom akibat dari kecelakaan yang bersifat genetika yang bisa dideteksi melalui pemeriksaan amniosintesis. Para dokter menekankan bahwa down syndrome tidak terkait dengan segala yang dilakuakan oleh orang tua baik sebelum ataupun selama kehamilan BBLR : Berat dan panjang badan saat lahir pada anak down syndrome cenderung di bawah rata-rata. c.

Apa makna klinis kalimat di atas?

Ibu Amri memiliki faktor risiko serta Amri lahir dengan status BBLR. 3. Amri bisa tengkurap pada usia 4 bulan, tapi belum bisa berbalik sendiri. Saat ini belum bisa duduk dan merangkak, dan belum bisa bicara. Sampai saat ini masih minum ASI, belum bisa makan padat, sehingga masih diberi bubur saring.

13

a. Apa makna klinis pernyataan di atas? Amri mengalami beberapa keterlambatan dalam aspek, seperti:  Motorik kasar, ini dapat dilihat dari gangguan hipotonus pada Amri sehingga saat ini belum bisa duduk dan merangkak.  Defisit atau gangguan yang menyertai dalam fungsi adaptif sekarang (yaitu, efektivitas orang tersebut untuk memenuhi standar-standar yang dituntut menurut usianya dalam kelompok kulturalnya), karena usia 12 bulan yang seharusnya sudah bisa merangkak dan makan makanan padat, ia masih diberi bubur saring.  Sosio-emosional, dilihat dari belum bisa bicaranya Amri hingga saat ini. b.

Bagaimana kandungan bubur saring yang memenuhi kebutuhan gizi anak

12 bulan? Pada bayi diatas 6 bulan sudah harus diberikan MPASI dengan 4 kelompok bahan makanan (karbohidrat, protein hewani & nabati, sayur & buah) dan sebaiknya mengandung cukup zat gizi makro (seperti karbohidrat, protein, asam amino, lemak) dan zat gizi mikro (seperti vitamin, mineral, dan antioksidan) untuk menyokong pertumbuhan dan perkembangannya c.

Bagaimana seharusnya MP-ASI anak usia 12 bulan? Prinsip pemberian MP-ASI untuk anak usia 12-24 bulan  Jenis

: Makanan keluarga (dihaluskan)

 Tekstur

: Padat

 Frekuensi

: Makanan utama 3-4 kali sehari, cemilan 1-2x sehari

 Porsi

: ¾ sampai 1 mangkok kecil atau setara dengan 175250 ml

Umur 11 – 12 bulan

14

Jam 06.00 : ASI 08.00 : Nasi Tim 10.00 : Buah / Sari buah 13.00 : Nasi Tim 15.00 : Biskuit 18.00 : Nasi Tim 21.00 : ASI dst Usia

Energi dari MPASI per hari

Makana n Utama

Makanan Kecil (Snacks)

6-8 bulan

200 kkal

2-3 X

1-2 X

9-11 bulan

300 kkal

3-4 X

1-2 X

12-24 bulan

550 kkal

3-4 X

1-2 X

Gambar 5. MP-ASI Perhari Anak

d.

Apa kemungkinan penyebab Amri belum bisa makan padat? Kondisi fisiknya, anak dengan sindrom Down memiliki kesulitan

mulai dari menyusu hingga mengonsumsi MPASI, Pada umumnya anak-anak mendapatkan makanan padat di usia 6 bulan. Pada anak Down Syndrome memilki masalah makan yang disebabkan oleh kelemahan otot-otot oromotor. Hal ini disebabkan oleh rongga mulut yang lebih kecil, tonus otot wajah, lidah, dan bibir yang lebih lemah, langit-langit mulut yang lebih tinggi, lubang hidung yang lebih kecil, pertumbuhan gigi yang terlambat, serta cenderung menjulurkan lidahnya – yang menyebabkan anak sulit makan dan menelan.

15

4. Saat usia 5 hari mengalami kuning selama 2 minggu, tidak dibawa berobat, BAB tidak rutin setiap hari, kadang-kadang BAB setiap 2 atau 3 hari. a.

Apa makna klinis dari kalimat di atas? (dan apa hubungannya dengan

keluhan) Secara normal, kondisi jaundice adalah kondisi yang fisiologis yang dapat terjadi pada neonatus yang berlangsung selama 1-2 minggu. Namun pada kondisi hipotiroidisme yang tidak ditangani (untreated hypothiroidism), jaundice dapat berlangsung lebih dari waktu yang normal. Enzim

glukoronil

teransferase

merupakan

enzim

yang

mengkatatalisis proses konjugasi bilirubin di dalam hepatosit. Pada hipotiroid aktivitas enzim ini menurun sehingga terjadi penurunan ekskresi bilirubin terkonjugasi dari hepatosit ke dalam usus. Hal ini menimbulkan peningkatan kadar bilirubin tak terkonjugasi. Peningkatan rasio klesterolfosfolipid pada membran hepatosit dapat mengakibatkan terjadinya gangguan pada proses pengambilan bilirubin tak terkonjugasi oleh hepatosit. Gangguan karena peningkatan rasio kolesterol fosfolipid ini mengganggu kelarutan bahan–bahan yang akan memasuki sel hepatosit, salah satunya adalah bilirubin tak terkonjugasi yang berasal dari siklus enterohepatik. Selain itu tejadi juga gangguan kerja dari enzim Na+, K+-ATPase yang merupkan enzim yang berperan dalam proses up take bilirubin oleh hati yang terjadi melalui suatu proses transport aktif. b.

Bagaimana frekuensi dan jumlah BAB normal pada bayi usia 5 hari-

2 minggu? Konsistensi Pada bayi yang mendapat ASI, kolostrum berperan sebagai laksatif alami yang membantu mendorong mekonium keluar dari tubuh. Kolostrum mulai diproduksi pada akhir kehamilan dan tetap

16

bertahan hingga empat hari setelah kelahiran. Selanjutnya kolostrum akan diganti oleh ASI peralihan yang berlangsung selama 7-14 hari, pada saat ini warna tinja berubah menjadi coklat dan tidak lagi lengket sehingga bila mengenai kulit mudah dibersihkan. Sedangkan frekuensi defekasi bervariasi antara 1-7 kali perhari. Setelah ASI peralihan berubah menjadi ASI (yang sebenarnya) warna feses cenderung berubah lagi menjadi berwarna kuning dengan konsistensi lembek. Pada bayi yang mendapat pengganti ASI (PASI), feses yang terbentuk biasanya lebih kental dan warnanya lebih kehijauan. Bayi yang mendapat PASI, frekuensi defekasinya lebih sedikit dibandingkan bayi yang mendapat ASI. Hormon motilin, yang merupakan suatu suatu hormon polipeptida yang disekresi oleh sel enterokromatin usus, terbukti juga dapat membantu meningkatkan motilitas usus sehingga meningkatkan pula frekuensi defekasi. Frekuensi Suatu penelitian menunjukkan jumlah frekuensi BAB, yaitu 4 kali per hari pada bayi berumur 7 hari. Penelitian lain yang dilakukan pada kelompok umur yang lebih besar didapatkan frekuensi defekasi yang lebih jarang. Frekuensi defekasi pada anak berusia 8-28 hari, 1-2 bulan, dan 13-24 bulan berturut-turut sebanyak 2,2; 1,8; dan 1,7 kali per hari. 5. Menyusu kuat, tidak ada riwayat sesak napas dan biru-biru, tidak ada riwayat kejang. a. Apa makna klinis dari kalimat di atas? Menyusu kuat, bermakna tidak ditemukannya dugaan adanya atresia esofagus ataupun kelemahan otot mulut. Tidak ada riwayat sesak napas dan biru-biru menandakan bahwa Amri tidak mengalami asfiksia maupun

17

kelainan defek septum jantung bawaan. Tidak ada riwayat kejang menandakan tidak ada kelainan neurologis pada Amri. 6. Pada pemeriksaan fisik didapatkan BB 7,2kg, Panjang badan 72 cm, lingkar kepala 36 cm. anak sadar, kontak mata baik, mau melihat tetapi takut-takut kepada pemeriksa. Menoleh setelah dipanggil namanya berulang-ulang. Terlihat gambaran dismorfik pada wajah dengan kepala kecil dan bagian belakang kepala datar, mata sipit dengan jarak kedua mata terlihat jauh, pangkal hidung merata, lidah sering menjulur keluar, dan telinga kecil. Suara jantung normal tidak terdengar murmur. a. Bagaimana interpretasi hasil pemeriksaan fisik di atas? 

Kontak mata baik: tidak ada gangguan visual



takut-takut kepada pemeriksa: emotional development pada anak usia 12 bulan



Menoleh setelah dipanggil namanya berulang-ulang: gangguan pendengaran atau gangguan kognitif (?)

 No. 1. 2. 3. 4.

5. 6.

7.

Gambaran dismorfik: khas pada sindroma Down Hasil Pemeriksaan Fisik

Interpretasi

Berat badan: 7,2kg Panjang badan: 72 cm Lingkar kepala: 36 cm Anak sadar, kontak mata baik, mau melihat tetapi takut-takut kepada pemeriksa. Menoleh setelah dipanggil namanya berulang-ulang. Terlihat gambaran dismorfik pada wajah dengan kepala kecil dan bagian belakang kepala datar, mata sipit dengan jarak kedua mata terlihat jauh, pangkal hidung merata, lidah sering menjulur keluar, dan telinga kecil Suara jantung normal tidak terdengar murmur.

Underweight Normal Tidak normal Anak sadar, kontak mata baik: Normal Mau melihat tetapi takut-takut kepada pemeriksa: Tidak normal Tidak normal, kemungkinan terdapat masalah pendengaran Tidak normal, manifestasi khas Sindroma Down

18

Normal

Tabel 1. Interpretasi Pemeriksaan Fisik

b. Bagaimana mekanisme terjadinya abnormalitas haril pemeriksaan fisik di atas? Hasil Pemeriksaan

Interpretasi

BB 7,2 kg, PB 72 cm, LK  36 cm

LK/U: Mikrosefali



PB/U: Normal



BB/U: Underweight



BB/PB: Severely wa

Mekanisme Abnormal 

Chromosomal abnormali ty pada sindrom Down



Malnutrisi

sted 

Menoleh setelah dipanggi

BMI/U: 1,39

Abnormal

l namanya berulang-ulang

Terdapat gangguan pendenga ran yang menyertai Sindrom Down

Terlihat gambaran dismor

Abnormal

Chromosomal abnormality pa

fik pada wajah dengan ke

da Sindrom Down karakterist

pala kecil dan bagian bela

ik dismorfik

kang kepala datar, mata si pit dengan jarak kedua ma ta terlihat jauh, pangkal hi dung rata, lidah sering me njulur ke luar dan telinga kecil hernia umbilicalis

Abnormal

Chromosomal abnormality pa da sindrom Down

protrusi

dari lapisan abdomen atau ba gian dari organ abdomen men uju umbilikis

19

umbilical her

nia

Pada posisi tengkurap dap

Hipotoni

Chromosomal abnormality pa

at mengangkat dan menah

da Sindrom Down

an kepala beberapa menit.

n motorik kasar

ganggua hipotonia

Kedua lengan dan tungka i lemah. Kekuatan 3, leng an dan tungkai teraba lem bek, refleks tendon menur un. Pada waktu diangkat k e posisi vertical keempat anggota gerak jatuh denga n lemas

Tabel 2. Mekanisme Abnormal pada Pemeriksaan Fisik c. Bagaimana gambaran hasil pemeriksaan fisik di atas?

Gambar 6. Ciri- ciri Anak Sindroma Down 7. Pemeriksaan abdomen ditemukan hernia umbilikalis. Pada posisi tengkurap dapat mengangkat dan menahan kepala beberapa menit. Kedua lengan dan

20

tungkai lemah, kekuatan 3, lengan dan tungkai teraba lembek, refleks tendon menurun. Pada waktu diangkat ke posisi vertical keempat anggota gerak jatuh dengan lemas. Tidak ada kelainan anatomi pada kedua tungkai dan kaki, tidak ada mottling. a. Bagaimana interpretasi hasil pemeriksaan fisik di atas? Hasil Pemeriksaan

Interpretasi

Pemeriksaan abdomen: hernia umbilikalis Abnormal Posisi tengkurap dapat mengangkat dan Normal menahan kepala selama beberapa menit

Kedua

lengan

dan

tungkai

lemah Abnormal.

kekuatan 3

“kekuatan

tungkai

bisa melawan gravitasi tapi tidak bisa menahan tahanan ringan”

Lengan dan tungkai teraba lembek

Abnormal

Reflex tendon menurun

Abnormal

Diangkat pada posisi vertical, tungkai Abnormal jatuh lemas

Tidak ada kelainan anatomi dan tidak ada Normal mottling

Tabel 3. Interpretasi Pemeriksaan Fisik

21

b. Bagaimana mekanisme terjadinya abnormalitas haril pemeriksaan abdomen di atas? kak ridha 

Kelainan kromosom  diplasia kelenjar tiroid  disfungsi (hipotiroid)  gangguan metabolism  penurunan pembentukan ADP dan ATP  hipotoni



Selama kehamilan, bayi akan mendapatkan nutrisi dari ibu melalui tali pusar. Seharusnya, bukaan ini segera menutup setelah bayi lahir, rata-rata usia 1 tahun. Namun pada hernia umbilical terdapat kelemahan pada otot di sekitar umbilical (Kelemahan bawaan semacam itu terjadi karena cacat perkembangan dinding perut, saat anak berada di dalam rahim, selama kehamilan) sehingga bukaan tidak menutup secara sempurna dan jika terjadi petumbuhan tekanan di intra abdominal, maka usus dan jaringan sekitar dapat menonjol keluar dan terjadilah hernia umbilikalis.

c. Bagaimana gambaran hasil pemeriksaan fisik di atas?

Gambar 7. Gambaran Hasil Pemeriksaan Fisik 8. Pemeriksaan KPSP untuk anak usia 12 tahun didapatkan jawaban Ya ada 3, tidak bisa pada gerak kasar, gerak halus, bicara dan bahasa. a. Bagaimana interpretasi hasil pemeriksaan KPSP di atas? Ya ada 3, tidak bisa pada gerak kasar, gerak halus, bicara dan bahasa :

22

jawaban YA = 6 atau kurang, kemungkinan ada penyimpangan (P). Perkembangan ada penyimpangan dengan keterlambatan di beberapa aspek perkembangan (Keterlambatan Perkembanagan Global) b. Bagaimana mekanisme terjadinya abnormalitas hasil pemeriksaan KPSP di atas? Pemeriksaan KPSP amri yang berusia 12 bulan didapatkan jawaban Ya ada 3, tidak bisa pada gerak kasar, gerak halus, bicara, dan bahasa. Menandakan amri mengalami global developmental delay yaitu terdapat penyimpangan pada perkembangan dengan keterlambatan pada beberapa aspek perkembangan yang dapat disebabkan oleh kelainan genetik (sindroma down)

c. Bagaimana cara pemeriksaan KPSP? Kuisioner KPSP adalah metode skrining untuk mengetahui perkembangan anak normal atau menyimpang. Jadwal skrining / pemeriksaan KPSP adalah pada umur 3, 6, 9, 12, 15, 18, 21, 24, 30,36, 42, 48, 54, 60, 66 dan 72 bulan. Jika anak belum mencapai umur skrining tersebut, minta ibu datang kembali pada umur skrining yang terdekat untuk pemeriksaan rutin. Misalnya bayi umur 7 bulan, diminta datang kembali untuk skrining pada umur 9 bulan. Apabila orang tua datang dengan keluhan anaknya mempunyai masalah tumbuh kembang sedangkan umur anak bukan umur skrining maka pemeriksaan menggunakan KPSP untuk umur skrining terdekat yang lebih mudah. Cara menggunakan KPSP 

Pada waktu pemeriksaan / skrining, anak harus dibawa.



Tentukan umur anak dengan menanyakan tanggal, bulan dan tahun

23

anak lahir. 

Bila umur anak lebih dari 16 hari dibulatkan menjadi 1 bulan. Contoh : bayi umur 3 bulan 16 hari, dibulatkan menjadi 4 bulan. Bila umur bayi 3 bulan 15 hari dibulatkan menjadi 3 bulan.



Setelah menentukan umur anak, pilih KPSP yang sesuai dengan umur anak.



KPSP terdiri dari 2 macam pertanyaan, yaitu: Pertanyaan yang dijawab oleh ibu/pengasuh anak, contoh: “Dapatkah bayi makan kue sendiri?”



Perintahkan

kepada

ibu/pengasuh

anak

atau

petugas

untuk

melaksanakan tugas yang tertulis pada KPSP. Contoh: “Pada posisi bayi anda telentang, tariklah bayi anda pada pergelangan tangannya secara perlahan-lahan ke posisi duduk.” 

Jelaskan kepada orangtua agar tidak ragu-ragu atau takut menjawab, oleh karena itu pastikan ibu/pengasuh anak mengerti apa yang ditanyakan kepadanya.



Tanyakan pertanyaan tersebut secara berurutan, satu persatu. Setiap pertanyaan hanya ada 1 jawaban, Ya atau Tidak. Catat jawaban tersebut pada formulir.



Ajukan pertanyaan yang berikutnya setelah ibu/pengasuh anak menjawab pertanyaan.



Teliti kembali apakah semua pertanyaan telah dijawab.

Interpretasi hasil KPSP :  Hitunglah berapa jawaban Ya. o Jawaban Ya: Bila ibu/pengasuh anak menjawab: anak bisa atau pernah atau sering atau kadang-kadang melakukannya. o Jawaban Tidak: Bila ibu/pengasuh anak menjawab: anak belum pernah melakukan atau tidak pernah atau ibu/pengasuh anak tidak

24

tahu.  Jumlah jawaban Ya o 9

atau

10,

perkembangan

anak

sesuai

dengan

tahap

perkembangannya (S) o 7 atau 8, perkembangan anak meragukan (M) o 6 atau kurang, kemungkinan ada penyimpangan (P)  Untuk jawaban “Tidak”, perlu dirinci jumlah jawaban “tidak” menurut jenis keterlambatan (gerak kasar, gerak halus, bicara dan bahasa, sosialisasi dan kemandirian)

25

Gambar 8. Kuesioner Praskrining

26

2.5 LEARNING ISSUE 1. SINDROMA DOWN a. Algoritma penegakan diagnosis Diagnosis ditegakkan berdasarkan Anamnesis, Pemeriksaan Fisik, KPSP,

Pemeriksaan

Emission(OAE),

pendengaran

Brainstem

Evoked

(Timpanometri, Response

Otoacoustic

Auditory(BERA)),

Pemeriksaan Kromosom, Pemeriksaan Tiroid, Pemeriksaan kekuatan otot dan reflex tendon bayi. Otak anak dengan kelainan ini biasanya lebih kecil dari normal dan makin besar anak, pertumbuhan otak makin ketinggalan. Diagnosis down syndrome dapat dilakukan pada saat kehamilan, maupun ketika bayi sudah lahir. Pada saat masa kehamilan Down syndrome atau tidak, dapat diketahui melalui pemeriksaan screening; seperti USG, pemeriksaan sampel darah pada usia kehamilan trimester pertama atau kedua, maupun tindakan amniocentesis (memeriksa cairan amnion). Namun sayangnya, pemeriksaan ini dapat memberikan hasil positif palsu atau negatif palsu. 

Pada hasil positif palsu, berarti bahwa dari pemeriksaan selama kehamilan didapatkan bahwa janin beresiko mengalami down syndrome. Namun ternyata pada saat dilahirkan bayi dalam keadaan sehat.



Sedangkan pada hasil negatif palsu, dari pemeriksaan kehamilan didapatkan bahwa janin dalam keadaan normal sehat. Namun pada saat dilahirkan ada kelainan down syndrome.

Setelah bayi dilahirkan Down syndrome atau tidak, dapat diketahui melalui pemeriksaan fisik dan bentuk wajahnya yang khas. Untuk lebih meyakinkan hal tersebut, dapat dilakukan pemeriksaan darah.

27

b. Pemeriksaan penunjang Analisis Sitogenetik Analisis sitogenetik adalah studi tentang jumlah dan struktur umum dari 46 kromosom, yang juga dikenal sebagai kariotip. Kromosom dari sel-sel tubuh (biasanya dari sel darah putih) dihitung jumlahnya normal atau tidak, dan struktur kromosom dilihat apakah ada delesi atau duplikasi. Pengambilan darah pasien diambil dari darah vena/kapiler berheparin. Darah yang telah diambil kemudian diteteskan kedalam media-media yang berbeda, yaitu RPMI1640, MEM, dan TC199. Proses ini disebut dengan proses penanaman dimana dibutuhkan waktu sekitar 3-4 hari sebelum proses pemanenan. Pada proses pemanenan dibutuhkan larutan colchicine atau colcemid, yang berperan untuk menghentikan proses mitosis (metafase). Proses selanjutnya, yaitu proses pengecatan. Setelah proses pengecatan selesai, preparat dapat dilihat dibawah mikroskop untuk dinilai apakah ada kelainan kromosom atau tidak. Indikasi untuk dilakukannya analisis sitogenetik adalah sebagai berikut : 

Gagal tumbuh, keterlambatan perkembangan, perawakan pendek, alat kelamin ambigu, dan disabilitas intelektual



Lahir mati dan kematian neonatus: insiden kelainan kromosom lebih tinggi pada bayi lahir mati dan bayi yang meninggal tak lama setelah lahir (masing masing sekitar 10%) dibandingkan kelahiran hidup (0,7%). Analisis

sitogenetik

mungkin

dapat

mengidentifikasi

penyebab

kematian dan memberikan informasi penting untuk diagnosis prenatal pada kehamilan yang mendatang 

Analisis sitogenetik direkomendasikan untuk wanita hamil dengan riwayat kehamilan sebelumnya dengan bayi sindrom Down, pasangan dengan riwayat infertilitas, dan keguguran berulang.

Pemeriksaan Pre-natal 

Skrining Serum Maternal

28

Pemeriksaan darah ibu meliputi kombinasi dari penanda yang berbeda yaitu alpha-fetoprotein (AFP), unconjugated estriol (uE3), dan human chorionic gonadotropin (hCG) merupakan tes standar yang dikenal sebagai “triple test”. Kadang-kadang pemeriksaan lainnya seperti inhibin A juga dilakukan, sehingga nama test ini menjadi “quadruple test”. Tes ini merupakan suatu pengukuran yang independen, dan dikombinasikan dengan usia ibu, test ini dapat menghitung risiko janin dengan sindrom down. 

USG



Amniosentesis Merupakan

mengandung

prosedur

sel-sel

mengambil

janin

yang

cairan dapat

ketuban, diperiksa

cairan

ini

untuk

tes

kromosom. Dibutuhkan sekitar 2 minggu untuk menentukan apakah janin memiliki sindrom down atau tidak. 

Chorionic Villus Sampling Dalam prosedur ini yang diambil bukan cairan ketuban, tetapi

sejumlah kecil jaringan dari plasenta muda (yang juga disebut sebagai lapisan chorionic). Dimana jaringan ini mengandung sel-sel kromosom janin yang dapat diuji untuk mendeteksi sindrom down. 

Tes Non-invasif Tes ini dilakukan dengan hanya menggunakan darah ibu. Tes ini

bertujuan untuk mencari DNA janin dalam darah ibu.

Pemeriksaan Post-natal 

Pemeriksaan Kariotip



Tes fungsi tiroid



Kebanyakan anak dengan Sindroma down mengalami komplikasi hipotiroid maupun hipertiroid.



Tes pendengaran



Dermatoglifik

29



Dermatoglifik atau pola sidik jari didefinisikan sebagai gambaran sulursulur dermal yang pararel pada jari-jari tangan dan kaki, serta telapak tangan dan telapak kaki. Menurut Olivier yang membagi pola dermatoglifi berdasarkan klasifikasi Galton atas tiga pola dasar yaitu :



Arch : pola dermatoglifi yang dibentuk oleh rigi epidermis yang berupa garis-garis sejajar melengkung seperti busur. Dua macam pola arch yaitu plain arch dan tented arch.



Loop : pola dermatoglifi berupa alur garis-garis sejajar yang berbalik 180°. Terdapat dua macam loop baik pada tangan maupun kaki sesuai dengan alur membuka garis-garis penyusunnya. Pada tangan dikenal loop radial dan loop ulnar sedang pada kaki dikenal loop tibial dan loop fibular.



Whorl: pola dermatoglifi yang dibentuk oleh garis-garis rigi epidermis yang memutar berbentuk pusaran. Empat macam pola whorl yaitu plain whorl, central pocket loop, double loop, dan accidental whorl.

c. Diagnosis Banding Disease/Condition Differentiating Signs/Symptoms Congenital Kadang-kadang sulit hypothyroidism dibedakan. Secara kasar dapat dilihat dari aktifitasnya, karena anak-anak denganhipotiroidisme sangat lambat dan malas, sedangkan anak dengan sindrom down sangat aktif. Pemberian makanan yang buruk, pertumbuhan yang buruk, hipotonia,

30

Differentiating Tests Normal karyotype.

konstipasi, kulit kering, kelelahan. Zellweger syndrome

Gangguan peroxisomal dengan hipotonia, oksiput datar dan wajah, lipatan episanthal, bintik Brushfield, katarak, lipatan palmaris tunggal, kejang.

Asam lemak rantai sangat tinggi dalam plasma. Normal karyotype.

Sulit dibedakan secara klinis. Isolated hypotonia

Hipotonia selama masa bayi tetapi tidak ada fitur dysmorphic terkait atau cacat bawaan.

Normal karyotype

Tabel 4. Diagnosis Banding d. Diagnosis Kerja Global developmental delay dan mikrosefali et causa sindroma down dan hipotiroid. e. Definisi Down Sindrom (mongoloid) adalah suatu kondisi di mana materi genetik tambahan menyebabkan keterlambatan perkembangan anak, dan kadang mengacu pada retardasi mental. Anak dengan down sindrom memiliki kelainan pada kromosom nomor 21 yang tidak terdiri dari 2 kromosom sebagaimana mestinya, melainkan tiga kromosom (trisomi 21) sehingga informasi

genetika

menjadi

terganggu

penyimpangan fisik.

31

dan

anak

juga

mengalami

f. Etiologi Sindrom Down biasanya disebabkan karena kegagalan dalam pembelahan sel atau disebut nondisjunction. Tidak diketahui mengapa hal ini dapat terjadi. Namun, diketahui bahwa kegagalan dalam pembelahan sel ini terjadi pada saat pembuahan dan tidak berkaitan dengan apa yang dilakukan ibu selama kehamilan. Pada sindrom Down, trisomi 21 dapat terjadi tidak hanya pada saat meiosis pada waktu pembentukan gamet, tetapi juga dapat terjadi saat mitosis awal dalam perkembangan zigot. Oosit primer yang perkembangannya terhenti pada saat profase meiosis I tidak berubah pada tahap tersebut sampai terjadi ovulasi. Diantara waktu tersebut, oosit mengalami nondisjunction. Pada sindrom Down, pada meiosis I menghasilkan ovum yang mengandung 21 autosom danapabila dibuahi oleh spermatozoa normal, yang membawa autosom 21, maka terbentuk zigot trisomi 21. Nondisjunction ini dapat disebabkan oleh beberapa hal, yaitu: 1. Adanya virus/infeksi 2. Radiasi 3. Penuaan sel telur. Dimana peningkatan usia ibu berpengaruh terhadap kualitas sel telur. Sel telur akan menjadi kurang baik dan pada saat terjadi pembuahan oleh spermatozoa, sel telur akan mengalami kesalahan dalam pembelahan. 4. Gangguan fungsi tiroid. Dibeberapa penelitian ditemukan adanya hipotiroid pada anak dengan sindrom Down termasuk hipotiroid primer dan transien, pituitary-hypothalamic hypothyroidism, defisiensi thyroxin- binding globulin (TBG) dan kronik limfositik tiroiditis. Selain itu, ditemukan pula adanya autoimun tiroid pada anak dengan usia lebih dari 8 tahun yang menderita sindrom Down. 5. Umur ibu. Wanita dengan usia lebih dari 35 tahun lebih berisiko melahirkan bayi dengan sindrom Down dibandingkan dengan ibu usia muda (kurang dari 35 tahun). Angka kejadian sindrom Down dengan

32

usia ibu 35 tahun, sebesar 1 dalam 400 kelahiran. Sedangkan ibu dengan umur kurang dari 30 tahun, sebesar kurang dari 1 dalam 1000 kelahiran. Perubahan endokrin, seperti meningkatnya sekresi androgen, menurunnya kadar hidroepiandrosteron, menurunnya konsentrasi estradiol sistemik, perubahan konsentrasi reseptor hormon, dan hormon LH (LuteinizingHormone) dan FSH (Follicular Stimulating Hormone) yang secara tiba- tiba meningkat pada saat sebelum dan selama menopause, dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya nondisjunction. Selain nondisjunction, penyebab lain dari sindrom Down adalah anaphase lag. Yaitu, kegagalan dari kromosom atau kromatid untuk bergabung ke salah satu nukleus anak yang terbentuk pada

pembelahan

sel,

sebagai

akibat

dari

terlambatnya

perpindahan/pergerakan selama anafase. Kromosom yang tidak masuk ke nukleus sel anak akan menghilang. Ini dapat terjadi pada saat meiosis ataupun mitosis. g. Epidemiologi Sindrom Down merupakan kelainan kromosom autosomal yang paling banyak terjadi pada manusia. Kejadian sindroma Down diperkirakan satu per 800 sampai satu per 1000 kelahiran. Pada tahun 2006, Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit memperkirakan tingkat kejadiannya sebagai satu per 733 kelahiran hidup di Amerika Serikat (5429 kasus baru per tahun). Sekitar 95% dari kasus ini adalah trisomi 21. Sindroma Down terjadi pada semua kelompok etnis dan di antara semua golongan tingkat ekonomi. Kebanyakan anak dengan Sindrom Down dilahirkan oleh wanita yang berusia datas 35 tahun. Sindrom Down dapat terjadi pada semua ras. Dikatakan angka kejadian pada orang kulit putih lebih tinggi dari orang hitam. Sumber lain mengatakan bahwa angka kejadian 1,5 per 1000 kelahiran, terdapat pada penderita retardasi mental sekitar 10 %, secara statistik lebih banyak di lahirkan oleh ibu yang berusia lebih dari 30 tahun, prematur dan pada ibu yang usianya terlalu muda.

33

h. Faktor risiko 1. Usia ibu saat hamil Usia wanita saat hamil berperan besar terhadap kesehatan dan keselamatan janin dalam kandungan. Down syndrome bisa terjadi di berapapun usia saat mengandung, tetapi peluangnya semakin besar pada kehamilan di usia 35 tahun ke atas. Hamil di usia 30 tahun memiliki peluang 1 banding 800 untuk mengandung bayi Down syndrome. Wanita yang berusia 35 tahun saat hamil berpeluang 1 banding 350. Risikonya meningkat tajam menjadi 1:10 pada wanita yang hamil saat berusia 49 tahun. Walaupun begitu, kini banyak anak Down syndrome yang lahir dari wanita berusia kurang dari 35 tahun karena peningkatan angka kelahiran di usia muda. Penelitian menemukan bahwa rahim wanita yang mendekati usia menopause, kemampuan tubuh untuk menyeleksi kecacatan embrio sudah menurun. Usia telur yang lebih tua juga dipercya memiliki risiko lebih tinggi terhadap pembagian kromosom yang tidak tepat. 2. Genetik turunan orangtua Dilansir dari Mayo Clinic, sekitar 4% kasus Down syndrome adalah hasil dari genetik warisan salah satu pihak orangtua. Baik pria dan wanita bisa menjadi pembawa Down syndrome di dalam gennya. Pembawa genetik disebut sebagai carrier. Seorang pembawa (carrier) bisa tidak menunjukkan tanda atau gejala DS, tapi ia bisa menurunkan proses kelainan tersebut ke janinnya, menyebabkan tambahan kromosom 21. Risiko menurunkan Down syndrome akan tergantung pada jenis kelamin dari orangtua pembawa kromosom 21 yang telah disusun ulang: 

Jika ayah adalah agen pembawa (carrier), risiko DS sekitar 3%



Jika ibu adalah agen pembawa (carrier), risiko DS berkisar antara 10-15%

34

3. Pernah melahirkan bayi Down syndrome sebelumnya Wanita yang sebelumnya pernah mengandung bayi Down syndrome berisiko untuk memiliki bayi selanjutnya yang juga mengidap DS. Namun begitu, peluangnya termasuk rendah. Umumnya, kehadiran Down syndrome pada kehamilan selanjutnya hanya berkisar sekitar 1 persen. Menurut penelitian Markus Neuhäuser dan Sven Krackow dari Institute of Medical Informatics, Biometry and Epidemiology di University Hospital Essen, Jerman, risiko bayi lahir dengan Down syndrome juga bergantung pada seberapa jauh jarak usia antar anak sebelumnya dengan bayi tersebut. Semakin jauh jarak antar kehamilan, semakin meningkat risiko Anda mengandung bayi Down syndrome. 4. Kekurangan asam folat Beberapa ahli berpendapat bahwa Down syndrome dapat dipicu oleh kerja metabolisme tubuh yang kurang optimal untuk memecah asam folat. Penurunan metabolisme asam folat bisa berpengaruh terhadap pengaturan epigenetik untuk membentuk kromosom. Untuk mencegah hal ini, setiap wanita yang akan berencana hamil sepatutnya harus mencukupi kebutuhan asam folat sejak sebelum hamil. Bahkan, asupan asam folat perlu dipenuhi dari sejak remaja, bukan saat hamil saja. Asam folat memiliki peran yang sangat penting dalam perkembangan otak dan sumsum tulang belakang bayi. Bahkan ketika Anda belum tahu bahwa Anda hamil, otak dan sumsum tulang belakang bayi Anda sudah mulai terbentuk. Dengan kandungan asam folat yang cukup pada darah Anda saat itu, Anda telah membantu pembentukan otak dan sumsum tulang belakang bayi secara optimal. 5. Faktor lingkungan Faktor risiko yang paling umum dan seringnya menyebabkan bayi terlahir dengan Down syndrome adalah paparan bahan kimia dan zat asing yang ibu terima dari lingkungan sehari-hari selama masa kehamilan.

35

Rokok merupakan zat beracun yang dapat memengaruhi pembentukan kromosom bayi semenjak dalam kandungan. Ibu yang merokok memiliki rantai kromosom yang lebih pendek daripada normalnya. Selain meningkatkan risiko mengandung bayi Down syndrome, merokok saat hamil juga dapat menyebabkan bayi lahir dengan kelainan jantung dan otak. 6. Radiasi Ada sebagian besar penelitian bahwa sekitar 30 % ibu yang melahirkan ank dengan syndrom down pernah mengalami radiasi di daerah sebelum terjadi konsepsi. 7. Infeksi Dan Kelainan Kehamilan 8. Autoimun dan Kelainan Endokrin Pada ibu Terutama autoimun tiroid atau penyakit yang dikaitkan dengan tiroid.

i. Patofisiologi Pada sel-sel yang tidak membelah, DNA ditemukan hampir diseluruh bagian dalam nukleus. Walaupun dengan mikroskop, molekul DNA tidak dapat lolos sebagai struktur tersendiri, tetapi hanya sebagai bagian dari bahan dalam nukleus yang diwarnai dengan jelas. Sewaktu sel mulai membelah, bahan tersebut mulai mengatur dirinya untuk membentuk untaian kromosom. Kromosom ini mengandung banyak molekul DNA yang tersusun dalam urutan tertentu. Sel-sel tubuh manusia pada umumnya terdiri dari 46 kromosom/23 pasang, merupakan susunan diploid. Dari ke 23 pasang disebut sebagai otosom, dan 1 pasang kromosom seks. Wanita memiliki 2 kromosom X, dan pria memiliki 1 kromosom X dan 1 kromosom Y dalam setiap sel. Dalam terminologi standar, seorang wanita normal ditandai dengan 46 XX, seorang pria normal ditandai dengan 46 XY. Kromosom yang terbentuk pada setiap individu berasal dari kedua orangtua dalam porsi yang sama. Ovum dan sperma normal masing-masing mengandung 23 kromosom, merupakan susunan haploid,

36

sehingga pembuahan menghasilkan zigot yang tersusun diploid dari 23 pasang yang homolog. Akan tetapi, kadang-kadang dijumpai penderita Sidrom Down yang hanya memiliki 46 kromosom. Individu ini ialah penderita Sidrom Down translokasi 46. t(14q 21q). Setelah kromosom orang tuanya diselidiki terbukti bahwa ayahnya normal, tetapi ibunya hanya memiliki 45 kromosom, termasuk satu autosom 21, 1 autosom 14 dan satu autosom translokasi 14q 21q. Jelaslah bahwa ibu itu merupakan “carrier” yang walupun memiliki 45 kromosom. Sebaliknya laki-laki “carrier” Sindrom Down translokasi tidak dikenal dan apa sebabnya demikian, sampai sekarang belum diketahui. (Suryo.Genetika Manusia. 2001) (Patofisiologi, Edisi 4. 1994) Pada Down syndrome trisomi 21, dapat terjadi tidak hanya pada meiosis pada waktu pembentukan gamet, tetapi juga pada mitosis awal dalam perkembangan zigot, walaupun kejadian yang lebih sering terjadi adalah kejadian yang pertama. Oosit primer yang terhenti perkembangannya saat profase pada meiosis I stasioner pada tahap tersebut sampai terjadi ovulasi, yang jaraknya dapat mencapai hingga 40 sampai 45 tahun. Diantara waktu tersebut, oosit mungkin mengalami disposisi. non-disjunction. Pada kasus Down syndrome, dalam meiosis I menghasilkan ovum yang mengandung dua buah autosom 21, dan apabila dibuahi oleh spermatozoa normal yang membawa autosom 21, maka terbentuk zigot trisomi 21. Beberapa sebab dapat terjadinya non-disjunction ini adalah : 

Infeksi virus atau radiasi dimana makin mudah berpengaruh pada wanita usia tua



Kandungan antibody tiroid yang tinggi



Mundurnya sel telur di tuba falopii setelah 1 jam tidak dibuahi. Oleh karena itu para ibu yang berusia agak lanjut (>35 tahun) biasanya mempunyai risiko yang lebih besar untuk mendapat anak sindroma Down Tripel-21.

Non-disjunction hanya ditemukan terjadi pada oogenesis, sementara tidak

37

pernah ada non-disjunction dalam spermatogenesis, karena spermatogenesis terjadi setiap hari dan tidak ada waktu penundaan spermatogenesis seperti halnya pada oogenesis. Akibat dari adanya trisomi 21 dalam zigot, kromosom penderita Down syndrome jenis ini mempunyai 47 kromosom (47, XX,+21 atau 47,XY,+21).

Gambar 9. Kariotipe Trisomi 21 j. Manifestasi klinis Sindroma Down memiliki banyak ciri khas pada tubuh yang dapat dengan mudah mengenalinya. Selain itu, Sindroma Down juga menyebabkan berbagai gangguan fungsi organ yang dibawa sejak lahir. Ciri-ciri tersebut adalah sebagai berikut: 1. Pertumbuhan: tumbuh pendek dan obesitas terjadi selama masa remaja 2. Sistem saraf pusat: retardasi mental sedang sampai berat, dengan IQ 20-85 (rata-rata 50). Hipotonia meningkat sejalan dengan umur. Gangguan artikulasi. Sleep apnea terjadi ketika aliran udara inspirasi dari saluran napas atas ke paru mengalami hambatan selama 10

38

detik atau lebih. Hal itu sering mengakibatkan hipoksemia atau hiperkarbia. 3. Tingkah laku: spontanitas alami, sikap yang hangat, menyenangkan, lemah lembut, sabar, dan toleransi. Hanya sedikit pasien yang mengalami kecemasan dan keras kepala. 4. Gangguan kejang: spasme infantil sering terjadi pada masa bayi, sedangkan kejang tonik-klonik sering pada pasien yang lebih tua. 5. Penuaan dini: berkurangnya tonus kulit, kerontokan atau pemutihan rambut lebih awal, hipogonadisme, katarak, kehilangan pendengaran, hipotiroidisme yang berkaitan dengan umur, kejang, keganasan, penyakit vaskular degeneratif, hilangnya kemampuan adaptasi, dan meningkatnya demensia tipe Alzheimer. 6. Tulang tengkorak: brachycephaly, microcephaly, kening melandai, oksiput datar, fontanela besar dengan penutupan yang lambat, patent metopic suture, tidak adanya sinus frontalis dan sfenoidalis, dan hipolplasia sinus maksilaris. 7. Mata: fisura palpebra yang condong ke depan, lipatan epikantus bialteral, brushfield spots (iris yang berbintik), gangguan refrakter (50%), strabismus (44%), nistagmus (20%), blepharitis (31%), konjungtivitis,

kongenital

katarak

(3%),

pseudopapiledema,

kekeruhan lensa yang didapat (30-60%), dan keratokonus pada orang dewasa. 8. Hidung: tulang hidung hipoplastik dan jembatan hidung yang datar. 9. Mulut dan gigi: mulut terbuka dengan penonjolan lidah, lidah yang bercelah, pernapasan mulut dengan pengeluaran air liur, bibir bawah yang merekah, angular cheilitis, anodonsia parsial (50%), agenesis gigi, malformasi gigi, erupsi gigi yang terlambat, mikroodonsia (3550%) pada pertumbuhan gigi primer dan sekunder, hipoplastik dan hipokalsifikasi gigi, dan maloklusi. 10. Telinga: telinga kecil dengan lipatan heliks yang berlebihan. Otitis

39

media kronis dan hilang pendengaran sering terjadi. 11. Leher: atlantoaksial tidak stabil (14%) dapat menyebabkan kelemahan ligamen transversal yang menyangga proses odontoid dekat dengan atlas yang melengkung. Kelemahan itu dapat menyebabkan

proses

odontoid

berpindah

ke

belakang,

mengakibatkan kompresi medula spinalis. 12. Penyakit jantung bawaan: penyakit jantung bawaan sering terjadi (40-50%); hal itu biasanya diobservasi pada pasien dengan Sindroma Down yang berada di rumah sakit (62%) dan penyebab kematian yang sering terjadi pada kasus ini pada 2 tahun pertama kehidupan. Penyakit jantung bawaan yang sering terjadi adalah endocardial cushion defect (43%), ventricular septal defect (32%), secundum atrial septal defect (10%), tetralogy of Fallot (6%), dan isolated patent ductus arteriosus (4%). Sekitar 30% pasien mengalami cacat jantung yang berat. Lesi yang paling sering adalah patent ductus arteriosus (16%) dan pulmonic stenosis (9%). Sekitar 70% dari semua endocardial cushion defects berhubungan dengan Sindroma Down. 13. Abdomen: rekti diastasis dan hernia umbilikalis dapat terjadi. 14. Sistem saluran cerna (12%): atresia atau stenosis duodenum. Penyakit Hirschprung (<1%), fistula trakeoesofagus, divertikulum Meckel, anus imperforata, dan omfalokel juga dapat terjadi. 15. Saluran urin dan kelamin: malformasi ginjal, hipospadia, mikropenis, dan kriptorkoidisme. 16. Skeletal: tangan pendek dan lebar, klinodaktil pada jari ke lima dengan lipatan fleksi tunggal (20%), sendi jari hiperekstensi, meningkatnya jarak antara dua jari kaki pertama dan dislokasi panggul yang didapat. 17. Sistem

endokrin:

tiroiditis

Hashimoto

yang

menyebabkan

hipotiroidisme adalah gangguan tiroid yang paling sering didapat

40

pada pasien Sindroma Down. Diabetes dan menurunnya kesuburan juga dapat terjadi. 18. Sistem hematologi: anak dengan Sindroma Down memiliki risiko untuk mengalami leukemia, termasuk leukemia limfoblastik akut dan leukemia mieloid. Risiko relatif leukemia akut pada umur 5 tahun 56 kali lebih besar daripada anak tanpa Sindroma Down. Transient Myeloproliferative Disease (TMD) adalah abnormalitas hematologi yang sering mengenai bayi Sindroma Down yang baru lahir. TMD dikarakteristikkan dengan proliferasi mieoblas yang berlebihan di darah dan sumsum tulang. Diperkirakan 10% bayi dengan Sindroma Down mengalami TMD. 19. Imunodefisiensi: pasien Sindroma Down memiliki risiko 12 kali untuk terkena penyakit infeksi, terutama pneumonia, karena kerusakan imunitas seluler. 20. Kulit: xerosis, lesi hiperkeratotik terlokalisasi, serpiginosa elastosis, alopesia areata, vitiligo, dan infeksi kulit berulang (Tarek, 2005). Temuan Fisik Fisikalnya pasien sindrom Down mempunyai rangka tubuh yang pendek. Mereka sering kali gemuk dan tergolong dalam obesitas. Tulang rangka tubuh penderita sindrom Down mempunyai ciri – ciri yang khas. Tangan mereka pendek dan melebar, adanya kondisi clinodactyly pada jari kelima dengan jari kelima yang mempunyai satu lipatan (20%), sendi jari yang hiperekstensi, jarak antara jari ibu kaki dengan jari kedua yang terlalu jauh, dan dislokasi tulang pinggul (6%) (Brunner, 2007). Bagi panderita sindrom Down, biasanya pada kulit mereka didapatkan xerosis, lesi hiperkeratosis yang terlokalisir, garis – garis transversal pada telapak tangan, hanya satu lipatan pada jari kelima, elastosis serpiginosa, alopecia areata, vitiligo, follikulitis, abses dan infeksi pada kulit yang rekuren (Am J., 2009).

41

Gambar 10. Garis Transversal Pada Telapak Tangan Sindrom Down Retardasi mental yang ringan hingga berat dapat terjadi. Intelegent quatio (IQ) mereka sering berada antara 20 – 85 dengan rata-rata 50. Hipotonia yang diderita akan meningkat apabila umur meningkat. Mereka sering mendapat gangguan artikulasi. (Mao R., 2003). Penderita sindrom Down mempunyai sikap atau prilaku yang spontan, sikap ramah, ceria, cermat, sabar dan bertoleransi. Kadang kala mereka akan menunjukkan perlakuan yang nakal dengan rasa ingin tahu yang tinggi (Nelson, 2003) Infantile spasms adalah yang paling sering dilaporkan terjadi pada anak – anak sindrom Down sementara kejang tonik klonik lebih sering didapatkan pada yang dewasa. Tonus kulit yang jelek, rambut yang cepat beruban dan sering gugur, hipogonadism, katarak, kurang pendengaran, hal yang berhubungandengan hipothroidism yang disebabkan faktor usia yang meningkat,

kejang,

neoplasma,

penyakit

vaskular

degeneratif,

ketidakmampuan dalam melakukan sesuatu, pikun, dementia dan Alzheimer dilaporkan sering terjadi pada penderita sindrom Down. Semuanya adalah penyakit yang sering terjadi pada orang – orang lanjut usia (Am J., 2009). Penderita

sindrom

Down

sering

menderita

Brachycephaly,

microcephaly, dahi yang rata, occipital yang agak lurus, fontanela yang besar

42

dengan perlekatan tulang tengkorak yang lambat, sutura metopik, tidak mempunyai sinus frontal dan sphenoid serta hipoplasia pada sinus maksilaris (John A. 2000). Mata pasien sindrom Down bentuknya seperti tertarik ke atas (upslanting) karena fissura palpebra yang tidak sempurna, terdapatnya lipatan epicanthal, titik – titik Brushfield, kesalahan refraksi sehingga 50%, strabismus (44%), nistagmus (20%), blepharitis (33%), conjunctivitis, ruptur kanal nasolacrimal, katarak kongenital, pseudopapil edema, spasma nutans dan keratoconus (Schlote, 2006). Pasien sindrom Down mempunyai hidung yang rata, disebabkan hipoplasi tulang hidung dan jembatan hidung yang rata (Schlote, 2006). Apabila mulut dibuka, lidah mereka cenderung menonjol, lidah yang kecil dan mempunyai lekuk yang dalam, pernafasan yang disertai dengan air liur, bibir bawah yang merekah, angular cheilitis, anodontia parsial, gigi yang tidak terbentuk dengan sempurna, pertumbuhan gigi yang lambat, mikrodontia pada gigi primer dan sekunder, maloklusi gigi serta kerusakan periodontal yang jelas (Selikowitz, Mark., 1997). Pasien sindrom Down mempunyai telinga yang kecil dan heliks yang berlipat. Otitis media yang kronis dan kehilangan pendengaran sering ditemukan. Kira – kira 60–80% anak penderita sindrom Down mengalami kemerosotan 15 – 20 dB pada satu telinga (William W. Hay Jr, 2002).

43

Gambar 11. Tanda dan Gejala Pada Anak Dengan Sindrom Down

Gambar 12. Penampakan anak Down Syndrome

k. Klasifikasi Tidak ada literatur yang menjelaskan tentang pembagian sindrom Down secara spesifik. Namun, baik sindrom Down maupun berbagai jenis retardasi mental lainnya dapat didiagnosa dan dibagi atas 5 level intelektual dibawah rata-rata sebagai berikut: 1. Mild Mental Retardation Anak golongan ini memiliki rentang IQ antara 50-70. Mereka masih bisa berkembang, menjadi mandiri seperti makan atau berpakaian sendiri dengan bantuan minimal dari orang lain. Mereka mampu berbicara yang 44

dimengerti dengan baik oleh orang lain, menulis kata-kata sederhana, dan mampu bergaul dengan baik. Terkadang mereka mampu beradaptasi dengan sekolah biasa walaupun lambat laun akan sedikit mengalami ketertinggalan dibandingkan teman sekelasnya. Anak dengan level IQ ini mampu lulus SMA hingga bekerja pada sektor pekerjaan tidak terlatih maupun semi- terlatih. 2. Moderate Mental Retardation Sindrom Down golongan ini, mempunyai rentang IQ 40-55. Mereka memiliki keterlambatan perkembangan kemampuan berbahasa, seperti hanya mampu menggunakan 4-10 kata saja pada usia 3 tahun. Anak golongan ini tidak mampu beradaptasi dengan sekolah biasa, sehingga perlu dimasukkan ke sekolah khusus untuk kelancaran proses pembelajaran akademiknya. Ketika dewasa, mereka tidak bisa diperbolehkan melakukan aktivitas harian seperti berbelanja atau memasak tanpa didampingi. 3. Severe Mental Retardation Rentang IQ golongan ini berkisar antara 20-40.Mereka memiliki kosa kata yang sangat terbatas dan hanya mampu berbicara sebatas 2-3 kalimat.Demikian juga dengan kemampuan motorik yang cukup lemah, sehingga tidak bisa bermain dengan mainan mereka ketika kecil.Saat beranjak dewasa, mereka hanya mampu berpakaian sendiri dengan jenis pakaian yang sederhana dan hanya sebagian dari mereka yang bisa bekerja pada bidang pekerjaan yang tidak terlatih. 4. Profound Mental Retardation Retardasi mental golongan ini memiliki IQ dibawah 20.Mereka harus didampingi penuh dalam setiap aktivitasnya.Anak golongan ini mampu makan sendiri dengan sendok tetapi tidak dengan garpu atau pisau.Ketika dewasa, mereka hanya mampu menguasai 300-400 kosa kata.Oleh karena kemampuan berinteraksi yang kurang, mereka cenderung tidak bersosialisasi dengan baik.Namun mereka masih mampu mengerti perkataan berupa kalimat-kalimat perintah yang sederhana. Banyak orang dengan klasifikasi retardasi mental ini, memiliki usia harapan hidup lebih rendah dari rata-rata

45

akibat berbagai penyakit yang sering menyertainya. 5. Mental Retardation, Severity Unspecified Golongan ini diyakini kuat memiliki kriteria adanya retardasi mental, tetapi inteligensianya tidak dapat ditentukan berdasarkan tes standar. Pembagian ini dilakukan berdasarkan hasil tes IQ yang diberikan kepada anak. Klasifikasi ini berguna untuk menentukan sekolah atau kelas mana yang sesuai ditempati oleh anak agar mampu menyerap materi pembelajaran dengan baik sesuai kemampuannya tanpa merasa tertinggal dibanding teman-temannya. Klasifikasi berdasarkan Kromosomnya adalah sebagai berikut: 1. Translokasi adalah suatu keadaan dimana tambahan kromosom 21 melepaskan diri pada saat pembelahan sel dan menempel pada kromosom yang lainnya. Kromosom 21 ini dapat menempel dengan kromosom 13, 14, 15, dan 22. Ini terjadi sekitar 3-4% dari seluruh penderita sindrom Down. Dibeberapa kasus, translokasi sindrom Down ini dapat diturunkan dari orang tua kepada anaknya. Gejala yang ditimbulkan dari translokasi ini hampir sama dengan gejala yang ditimbulkan oleh trisomi 21.

Gambar 13. Translokasi Kromosom 21 dengan Kromosom 14 2. Mosaik adalah bentuk kelainan yang paling jarang terjadi, dimana hanya beberapa sel saja yang memiliki kelebihan kromosom 21 (trisomi 21). Bayi yang lahir dengan sindrom Down mosaik akan memiliki gambaran klinis dan masalah kesehatan yang lebih ringan dibandingkan bayi yang 46

lahir dengan sindrom Down trisomi 21 klasik dan translokasi. Trisomi 21 mosaik hanya mengenai sekitar 2-4% dari penderita sindrom Down. 3. Trisomi 21 klasik adalah bentuk kelainan yang paling sering terjadi pada penderita sindrom Down, dimana terdapat tambahan kromosom pada kromosom 21. Angka kejadian trisomi 21 klasik ini sekitar 94% dari semua penderita sindrom Down.

Gambar 13. Kelainan Kromosom Berupa 47, XX, +21

l. Tatalaksana 1. Terapi Fisik (Physio Theraphy) , Terapi ini biasanya diperlukan pertama kali bagi anak down syndrome. Dikarenakan mereka mempunyai otot tubuh yang lemas, terapi ini diberikan agar anak dapat berjalan dengan cara yang benar. 2. Terapi Wicara, Terapi ini perlukan untuk anak down syndrome yang mengalami keterlambatan bicara dan pemahaman kosakata. 3. Terapi Okupasi, Terapi ini diberikan untuk melatih anak dalam hal kemandirian, kognitif/ pemahaman, kemampuan sensorik dan motoriknya. Kemandirian diberikan kerena pada dasarnya anak down syndrome tergantung pada orang lain atau bahkan terlalu acuh sehingga

beraktifitas

memperdulikan

tanpa

orang

lain.

47

ada Terapi

komunikasi ini

dan

tidak

membantu

anak

mengembangkan kekuatan dan koordinasi dengan atau tanpa menggunakan alat. 4. Terapi Remedial, Terapi ini diberikan bagi anak yang mengalami gangguan kemampuan akademis dan yang dijadikan acuan terapi ini adalah bahan-bahan pelajaran dari sekolah biasa. 5. Terapi Sensori Integrasi, Sensori Integrasi adalah ketidakmampuan mengolah rangsangan/sensori yang diterima. Terapi ini diberikan bagi anak down syndrome yang mengalami gangguan integrasi sensori misalnya pengendalian sikap tubuh, motorik kasar, motorik halus dll. Dengan terapi ini anak diajarkan melakukan aktivitas dengan terarah sehingga kemampuan otak akan meningkat. 6. Terapi Tingkah Laku (Behaviour Theraphy), Mengajarkan anak down syndrome yang sudah berusia lebih besar agar memahami tingkah laku yang sesuai dan yang tidak sesuai dengan norma-norma dan aturan yang berlaku di masyarakat. 7. Terapi Akupuntur, Terapi ini dilakukan dengan cara menusuk titik persarafan pada bagian tubuh tertentu dengan jarum. Titik syaraf yang ditusuk disesuaikan dengan kondisi sang anak. 8. Terapi Musik, Terapi musik adalah anak dikenalkan nada, bunyibunyian, dll. Anak-anak sangat senang dengan musik maka kegiatan ini akan sangat menyenangkan bagi mereka dengan begitu stimulasi dan daya konsentrasi anak akan meningkat dan mengakibatkan fungsi tubuhnya yang lain juga membaik 9. Terapi Lumba-Lumba
 Terapi ini biasanya dipakai bagi anak Autis tapi hasil yang sangat mengembirakan bagi mereka bisa dicoba untuk anak down syndrome. Sel-sel saraf otak yang awalnya tegang akan menjadi relaks ketika mendengar suara lumba-lumba. 10. Terapi Craniosacral, Terapi dengan sentuhan tangan dengan tekanan yang ringan pada syaraf pusat. Dengan terapi ini anak down

48

syndrome diperbaiki metabolisme tubuhnya sehingga daya tahan tubuh lebih meningkat. m. Komplikasi Penderita sindrom Down akan mengalami beberapa masalah kesehatan. Masalah-masalah kesehatan yang dialami oleh penderita sindrom Down adalah sebagai berikut: 1. Kelainan otak Anak dengan sindrom Down akan mengalami retardasi mental ringan hingga sedang dengan rentang intelligence quotient (IQ) 50-90. Setelah umur 6 bulan, ukuran otak pada anak sindrom Down pada umumnya lebih kecil dari pada ukuran normal. Selain itu juga terdapat keterlambatan myelinisasi (25%), penyempitan girus temporosuperior (35%), penurunan korteks sel granul saraf (20-50%) dan penyusutan ukuran batang otak dan serebelum pada sebagian besar kasus. 2. Kelainan jantung Sekitar 40%-60% penderita sindrom Down akan mengalami penyakit jantung bawaan dengan bentuk tersering berupa atrioventricular septal defect (AVSD). Bentuk lain kelainan yang terjadi adalah atrial septal defect (ASD), ventricular septal defect (VSD), dan tetralogy of Fallot (ToF). Kelainan jantung cenderung semakin berkembang seiring berjalannya usia. Usia remaja atau dewasa muda merupakan saat kelainan katup jantung mulai terjadi. 3. Kelainan mata Pada 60-70% penderita sindrom Down akan mengalami kelainan refraksi, termasuk hipermetropia yang memerlukan koreksi untuk mencegah cacat sekunder. Kelainan mata lain juga dapat terjadi seperti katarak kongenital, strabismus, nistagmus, keratokonus, blefaritis, glaukoma, dan sumbatan duktus nasolakrimalis. 4. Kelainan ortopedi Penderita sindrom Down akan lebih rentan mengalami kelainan

49

ortopedi berupa skoliosis, subluksasi/dislokasi panggul, pes planus, dan metatarsus varus. Selain itu ketidak seimbangan pada sendi juga dapat terjadi termasuk ketidak seimbangan patella dan craniovertebral. Hal ini dapat terjadi dikarenakan hipotonia, kelemahan ligamen, dan displasia skeletal. 5. Kelainan gastrointestinal Kelainan gastointestinal terjadi pada 10% penderita sindrom Down. Kelainan yang terjadi dapat berupa malformasi kongenital saluran pencernaan, termasuk atresia esofagus, duodenum, jejunum, dan anus, serta pankreas annular. Penyakit celiac dan Hirschprung juga umum terjadi pada penderita sindrom Down. 6. Kelainan imunologis Anak dengan sindrom Down akan mengalami kelainan fungsi imunologis sehingga lebih rentan mengalami infeksi virus dan bakteri terutama infeksi saluran pernapasan. 7. Kelainan hematologi Kelainan hematologi umum terjadi pada neonatus penderita sindrom Down. Walaupun kelainan darah yang banyak terjadi umumnya jinak, tetapi 1-2% kelainan tersebut dapat berkembang menjadi leukemia. Transient myeloperative disorder (TMD) terjadi pada sekitar 5% neonatus. Kelainan ini bersifat tidak simtomatis dan mengalami regresi spontan pada usia 3 bulan, tetapi risiko terjadinya leukemia akan meningkat. 8. Kelainan tiroid Kelainan tiroid berupa hipotiroidisme umum terjadi pada 15-30% penderita sindrom Down. Tanda dan gejala kelainan tiroid tidak terlihat dengan jelas karena tersamarkan dan menjadi bagian dari fenotipe sindrom

Down.

Hipertiroidisme

walaupun

lebih

jarang

terjadi

dibandingkan dengan hipotiroid, tetapi frekuensi kejadiannya meningkat pada penderita sindrom Down dibandingkan populasi normal yaitu 0,12-

50

1,6% atau 28 kali lebih besar dari populasi normal.

9. Kelainan pendengaran Sebanyak 50-75% anak dengan sindrom Down akan mengalami gangguan pendengaran, baik tipe conductive hearing loss (CHL) maupun sensorineural

hering

loss

(SNHL)

karena

hipotiroid.

Kelainan

pendengaran tipe CHL pada umumnya disebabkan oleh karena otitis media efusi (OME). Penelitian yang dilakukan Barr menunjukkan prevalensi OME pada tahun pertama adalah 93% sedangkan pada tahun kelima sebesar 68% pada anak sindrom Down. Kelainan SNHL memiliki onset lebih lama, mengenai frekuensi tinggi, dan prevalensinya meningkat dengan usia. Meskipun demikian penyakit jantung koroner didapatkan rendah pada penderita sindrom Down. Hal ini dibuktikan melalui pemeriksaan patologi

dimana

didapatkan

rendahnya

kemungkinan

terjadi

aterosklerosis pada penderita sindrom Down (Tyler, 2004) : 

Leukemia. Anak-anak dengan sindrom

Down

lebih

cenderung

menderita leukemia. Hal ini berdasarkan pengamatan bahawa leukemia tertentu dapat berhubungan dengan defek pada kromosom 21. 

Penyakit menular. Disebabkan sistem imun yang terganggu, penderita sindrom Down lebih mudah terkena serangan penyakit menular seperti radang paru-paru.



Demensia. Resiko untuk terkena demensia di waktu tua, tanda dan gejala demensia sering muncul sebelum berumur 40 tahun. Mereka yang menderita demensia juga mempunyai kecenderungan yang tinggi menderita kejang.



Apnea tidur. Disebabkan oleh perubahan pada sel jaringan dan tulang yang menyebabkan penyempitan pada jalan pernafasan, risiko untuk terjadinya sleep apneu tinggi.

51

n. Prognosis Quo ad vitam

: Dubia

Quo ad functionam : Dubia Quo ad sanationam : Dubia

o. Edukasi dan Pencegahan Pencegahan

dapat

dilakukan

dengan

melakukan

pemeriksaan

kromosom melalui amniocentesis bagi para ibu hamil terutama pada bulanbulan awal kehamilan. Terlebih lagi ibu hamil yang pernah mempunyai anak dengan Down syndrome atau mereka yang hamil di atas usia 40 tahun harus dengan hati-hati memantau perkembangan janinnya karena mereka memiliki resiko melahirkan anak dengan Down syndrome lebih tinggi. Down Syndrome tidak bisa dicegah, karena DS merupakan kelainan yang disebabkan oleh kelainan jumlah kromosom. Deteksi dini sindrom Down dilakukan pada usia janin mulai 11 minggu (2,5 bulan) sampai 14minggu. Dengan demikian, orangtua akan diberi kesempatan memutuskan segala hal terhadap janinnya. Jika memang kehamilan ingin diteruskan, orangtua setidaknya sudah siap secara mental. Amniocentesis - Merupakan prosedur invasif di mana jarum melewati perut ibu bagian bawah ke dalam rongga ketuban dalam rahim. Cairan ketuban yang cukup akan dicapai mulai sekitar 14 minggu kehamilan. Untuk diagnosis prenatal, kebanyakan amniocenteses dilakukan antara 14 dan 20 minggu kehamilan. Chorionic villus sampling (CVS) – dilakukan antara minggu 11-12 kehamilan. Dalam prosedur ini, sebuah kateter dimasukkan melalui vagina melalui leher rahim dan masuk ke dalam rahim ke berkembang ke plasenta di bawah bimbingan USG. Pendekatan alternatifnya adalah transvaginal dan transabdominal. Penggunaan kateter memungkinkan sampel sel dari chorionic

52

vili plasenta. Sel-sel ini kemudian akan dilakukan analisis kromosom untuk menentukan kariotipe janin. Konseling genetik juga menjadi alternatif yang sangat baik, karena dapat menurunkan angka kejadian sindrom down. Dengan biologi molekular misalnya Gene targeting atau Homologous recombination gene dapat dinonaktifkan. Sehingga suatu saat gen 21 yang bertanggung jawab terhadap munculnya fenotip sindrom down dapat di non aktifkan.

p. SKDI 

Gangguan perkembangan pervasif ( GDD ) : SKDI 2



Hipotiroid : SKDI 2

Tingkat Kemampuan 2: Mendiagnosis dan Merujuk Lulusan dokter mampu membuat diagnosis klinik terhadap penyakit tersebut dan menentukan rujukan yang paling tepat bagi penanganan pasien selanjutnya. Lulusan dokter juga mampu menindaklanjuti sesudah kembali dari rujukan. q. Indikasi Rujukan Segera rujuk apabila pasien mengalami Sindroma Down.

2. Tumbuh Kembang Anak Pertumbuhan atau physical growth adalah peningkatan dalam ukuran tubuh yaitu tinggi badan, berat badan dan juga bertambah besarnya ukuran organ kecuali jaringan limfa yang akan mengecil ketika usia anak bertambah. Proses pertumbuhan berupa bertambahnya ukuran dan jumlah sel serta jaringan intraseluler,

yang

bersifat

kuantitatif

sehingga

dapat

diukur

dengan

mempergunakan satuan panjang atau satuan berat. Perkembangan adalah peningkatan fungsi dan kapabilitas seorang anak.

53

Dalam mempelajari perkembangan dapat dibagi atas beberapa kategori yang spesifik seperti gerakan motorik kasar, gerakan motorik halus, perkembangan bahasa, sosial dan emosional. Pada anak yang normal, proses perkembangan terjadi dalam kecepatan yang berbeda misalnya ada anak yang berjalan dalam usia yang lebih cepat dari sebagian anak lain namun lambat dalam perkembangan berbicaranya. Proses perkembangan anak ialah bertambahnya kemampuan struktur dan fungsi tubuh yang lebih kompleks, dan bersifat kualitatif.

Milestones Milestone adalah tingkat perkembangan yang harus dicapai anak pada umur tertentu. Milestone dibagi dapat dibagi menjadi beberapa kriteria:  Motorik Kasar o 3 bulan: 

Belajar mengangkat kepala



Kepala bergerak dari kiri ke kanan mengikuti gerakan benda

o 3-4 bulan: 

Menegakkan kepala 900 dan mengangkat dada dengan bertopang dada



Menoleh ke arah suara

o 6-9 bulan: 

Duduk tanpa dibantu



Dapat tengkurap dan berbalik sendiri



Merangkak, meraih benda atau mendekati seseorang

o 9-12 bulan: 

Merangkak



Berdiri sendiri tanpa dibantu



Dapat berjalan dengan dituntun

o 12-13 bulan: 

Berjalan tanpa bantuan

o 12-18 bulan:

54



Berjalan mengeksplorasi rumah dan sekelilingnya

 Milestone motoric halus: o 3 bulan: 

Mengikuti objek dengan matanya



Menahan barang yang dipegangnya

o 3-6 bulan: 

Menyentuhkan tangan satu ke tangan lainnya



Belajar meraih benda dalam dan di luar jangkauannya



Menaruh benda di mulut

o 6-9 bulan: 

Memindahkan benda dari satu tangan ke tangan lainnya



Memegang benda kecil dg ibu jari dan telunjuk



Bergembira dg melempar benda-benda

o 9-12 bulan: 

Ingin menyentuh apa saja dan memasukkan benda ke mulut

o 12-18 bulan: 

Menyusun 2-3 balok/kubus

o 18-24 bulan: 

Menyusun 6 kubus



Menunuk mata dan hidung



Belajar makan sendiri



Menggambar garis di kertas atau pasir sepanjang 2,5 cm

 Milestone Bahasa o 3 bulan:  Mengoceh spontan atau bereaksi dg mengoceh (cooing) o 3-6 bulan:  Tertawa dan menjerit gembira bila diajak main o 6-9 bulan:

55

 Mengeluarkan kata-kata tanpa arti (bubbling), da-da, ta-ta o 9-12 bulan:  Menirukan suara  Dapat mengulang bunyi yg didengarnya  Belajar menyatakan satu atau dua kata o 12-18 bulan:  Mengatakan 5-10 kata 

Milestone Sosial o 3-4 bulan:  Mampu menatap mata anda  Tersenyum bila diajak bicara/senyum  Tertawa dan menjerit gembira bila diajak main o 6-9 bulan:  Mulai berpartisipasi dalam tepuk tangan dan petak umpet o 9-12 bulan:  Berpartisipasi dalam permainan o 18-24 bulan:  Memperlihatkan minat kepada anak lain dan bermain-main dengan mereka



Milestone Emosi o 3 bulan: 

Bereaksi terhadap suara bunyi

o 3-6 bulan: 

Tersenyum melihat gambar/mainan lucu atau binatang peliharaan



Tertawa dan menjerit gembira bila diajak main

o 6-9 bulan: 

Mengenal anggota keluarga dan takut terhadap orang asing

o 9-12 bulan:

56



Memperlihatkan minat yg besar terhadap sekitarnya

o 12-18 bulan: 

Memperlihatkan rasa cemburu dan bersaing

3. Hernia Umbilikalis Hernia pada anak terjadi sebagai akibat dari faktor-factor berikut. Penyebabnya antara lain: 1. Kelemahan otot atau jaringan – Ini adalah faktor uatam yang menyebabkan hernia. Kelemahan pada jaringan membuat organ-organ internal dan terutama usus untuk menonjol keluar.Jaringan adiposa di perut menonjol keluar dan mengembangkan hernia. 2. Cacat bawaan – Dalam beberapa kasus, akanalis inguinalis tidak dapat ditutup dengan benar setelah melahirkan anak karena faktor tertentu. Ini merupakan faktor risiko untuk pengembangan hernia. 3. Faktor genetik – Hernia umbilical dapat melewati generasi.

Gejala hernia pada anak 
 Berbagai macam gejala berkembang pada anak dengan hernia. Tanda-tanda dan gejala termasuk: 1. Peradangan di daerah menonjol 2. Intens nyeri 3. Jarang, testis atau usus terpengaruh 4. Perasaan kemudahan 5. Muntah Bersin, batuk dan menangis meningkatkan tekanan di daerah perut dan membuat gejala hernia buruk. Komplikasi utama yang terkait dengan hernia yang merusak beberapa organ.
 Carilah seorang ahli bedah pediatrik jika anda mengamati anak anda mengalami salah satu gejala hernia. Berkonsultasilah dengan dokter bedah segera, setelah anda melihat benjolan di daerah perut. Risiko 57

hernia berkembang lebih pada anak-anak di bawah usia. Diagnosis ahli bedah kondisi dengan melakukan beberapa pemeriksaan. Dokter bedah dapat meminta anak untuk batuk untuk membuat hernia lebih jelas.

TandaHernia
 Hernia biasanya sudah ada pada saat bayi lahir, tetapi mungkin tidak terlihat selama beberapa minggu atau bulan setelah kelahiran. Ketegangan dan menangis tidak menyebabkan hernia, namun tekanannya pada perut dapat membuat hernia lebih terlihat.
 Hernia Inguinalis dan umbilikal masing-masing terlihat sebagai tonjolan atau benjolan di selangkangan atau skrotum dan daerah sekitar pusar. Benjolan mungkin akan lebih terlihat ketika bayi menangis, dan mungkin akan mengecil atau menghilang saat bayi tenang. Dokter anada dapat mendorong tonjolan itu ketika anak berbaring tenang, sehingga membuatnya lebih kecil. Bahaya Hernia
 Sesekali, lekukan usus yang menonjol melalui hernia dapat terjepit dan tidak bisa didorong kembali dengan lembut ke rongga perut. Ketika ini terjadi, bagian dari usus itu dapat kehilangan suplai darah dan rusak. Pasokan darah yang baik diperlukan agar usus sehat dan berfungsi dengan baik. Gejala yang dapat terlihat ketika hal itu terjadi antara lain: 1. Perubahan warna kemerahan pada hernia 2. Muntah 3. Menangis atau rewel 4. Demam Lebih dari dua pertiga hernia terjepit terjadi pada anak berusia kurang dari satu tahun. Gejala hernia terjepit mungkin mirip kondisi atau masalah medis lain. Selalu konsultasikan dengan dokter anda untuk diagnosis. Diagnosis
 Hernia dapat didiagnosis dengan pemeriksaan fisik oleh dokter anda. Anak

58

anda akan diperiksa untuk menentukan apakah hernianya dapat didorong kembali ke dalam rongga perut atau tidak. Dokter anak anda dapat meminta rontgen perut atau ultrasound untuk memeriksa usus lebih rinci, terutama jika hernia tidak dapat didorong kembali. 4.KPSP Definisi KPSP (Kuesioner Pra-skrining Perkembangan) adalah instrumen yang digunakan untuk mengetahui perkembangan anak normal atau ada penyimpangan. Tujuan skrining ini untuk mengetahui apakah perkembangan anak normal atau tidak. Jadwal skrining KPSP rutin dilakukan pada saat umur anak mencapai 3, 6, 9, 12, 15, 18, 21, 24, 30, 36, 42, 48, 54, 60, 66 dan 72 bulan. Bila orang tua datang dengan keluhan anaknya mempunyai masalah tumbuh kembang pada usia anak diluar jadwal skrining, maka gunakan KPSP untuk usia skrining terdekat yang lebih muda (Damayanti, 2006). Cara menggunakan KPSP menurut Departemen Kesehatan RI tahun 2012: 1. Pada waktu skrining anak harus dibawa. 


2. Tentukan umur anak dengan menjadikannya dalam bulan. Bila umur anak 
 lebih dari 16 hari dibulatkan menjadi 1 bulan.
 Contoh : bayi umur 3 bulan 16 hari dibulatkan menjadi 4 bulan bila umur bayi 3 bulan 15 hari dibulatkan menjadi 3 bulan. 


3. Setelah menentukan umur anak pilih KPSP yang sesuai dengan umur anak. 


4. KPSP terdiri dari 2 macam pertanyaan yaitu: a. Pertanyaan yang dijawab oleh ibu atau pengasuh anak. Contoh:

59


 “dapatkah bayi makan kue sendiri?” 
 b. Perintah kepada ibu atau pengasuh anak atau petugas untuk melaksanakan tugas yang tertulis pada KPSP. Contoh: “pada posisi bayi anda terlentang, tariklah bayi pada pergelangan tangannya secara perlahan–lahan ke posisi duduk” 5. Baca dulu dengan baik pertanyaan–pertanyaan yang ada. Bila tidak jelas atau ragu tanyakan lebih lanjut agar mengerti sebelum melaksanakan. 
 6. Pertanyaan dijawab berurutan satu persatu. 
 7. Setiap pertanyaan hanya mempunyai satu jawaban YA atau TIDAK. 
 8. Teliti kembali semua pertanyaan dan jawaban. 


Interpretasi Hasil KPSP: 1. Hitung jawaban Ya (bila dijawab bisa atau sering atau kadang–kadang). 
 2. Hitung jawaban Tidak (bila jawaban belum pernah atau tidak pernah). 
 3. Bila jawaban YA = 9−10, perkembangan anak sesuai dengan tahapan 
 perkembangan (S). 4. Bila jawaban YA = 7 atau 8, perkembangan anak meragukan (M). 
 5. Bila jawaban YA = 6 atau kurang, kemungkinan ada penyimpangan (P). 
 6. Rincilah jawaban TIDAK pada nomer berapa saja. 
 Untuk Anak dengan Perkembangan SESUAI (S) 1. Orang tua atau pengasuh anak sudah mengasuh anak dengan baik. 


60

2. Pola asuh anak selanjutnya terus lakukan sesuai dengan bagan stimulasi 
 sesuaikan dengan umur dan kesiapan anak. 
 3. Keterlibatan orang tua sangat baik dalam tiap kesempatan stimulasi. Tidak 
 usah mengambil moment khusus. Laksanakan stimulasi sebagai kegiatan 
 sehari–hari yang terarah. 
 4. Ikutkan anak setiap ada kegiatan Posyandu. 


Untuk Anak dengan Perkembangan MERAGUKAN (M) 1. Konsultasikan nomor jawaban tidak, mintalah jenis stimulasi apa yang 
 diberikan lebih sering. 
 2. Lakukan stimulasi intensif selama 2 minggu untuk mengejar 
 ketertinggalan anak. 
 3. Bila anak sakit lakukan pemeriksaan kesehatan pada dokter atau dokter 
 spesialis anak. Tanyakan adakah penyakit pada anak tersebut yang 
 menghambat perkembangannya. 
 4. Lakukan KPSP ulang setelah dua minggu menggunakan daftar KPSP 
 yang sama pada saat anak pertama dinilai. 
 5. Bila usia anak sudah berpindah golongan dan KPSP yang pertama sudah 
 bisa semua dilakukan. Lakukan lagi untuk KPSP yang sesuai umur anak. Misalnya umur anak sekarang adalah 8 bulan dua minggu dan ia hanya bisa 78 YA. Lakukan stimulasi selama dua minggu. Pada saat menilai KPSP kembali gunakan dulu KPSP 6 bulan. Bila semua bisa, karena anak sudah berusia 9 bulan, bisa dilaksanakan KPSP 9 bulan. 


61

6. Lakukan skrining rutin, pastikan anak tidak mengalami ketertinggalan lagi. 7. Bila setelah dua minggu intensif stimulasi, jawaban masih (M) = 7-8 jawaban YA. Konsultasikan dengan dokter spesialis anak atau ke rumah sakit dengan fasilitas klinik tumbuh kembang (Depkes RI, 2012).

2.6 KERANGKA KONSEP

62

BAB III

63

PENUTUP

3.1 KESIMPULAN Amri, laki-laki, usia 12 bulan, mengalami Global developmental delay, mikrosefali et causa sindroma Down , suspek hipotiroid kongenital dan gangguan pendengaran

DAFTAR PUSTAKA

64

Erin, Dwi. 2016. Perbandingan Hasil Skrining Deteksi Tumbuh Kembang Anak Usia Prasekolah Antara Metode Pemeriksaan KPSP (Kuesioner Pra-Skrining Perkembangan) Dengan Denver II Di Wilayah Kerja Puskesmas Kota Metro. Bandar

Lampung:

Fakultas

Kedokteran

Universitas

Lampung.

[http://digilib.unila.ac.id/21562/3/SKRIPSI%20TANPA%20BAB%20PEMBA HASAN.pdf] Diakses pada tanggal 26 Maret 2019 pukul 17.44 WIB.

Kementerian kesehatan. 2015. Petunjuk Klinis penggunaan Buku Kesehatan Ibu Dan Anak.

Jakarta:

Departemen

Kesehatan

RI.

[http://www.depkes.go.id/resources/download/infoterkini/JUKNIS%20BUKU%20KIA%2020_03%202016.pdf ] Diakses pada tanggal 26 maret 2019 pukul 19.17 WIB.

Martira Maddeppungeng. 2018. Buku Panduan
 Perkembangan

(KPSP).

Makassar:

Hasanuddin.

Kuesioner Pra Skrining

Fakultas

Kedokteran

Universitas

[https://med.unhas.ac.id/kedokteran/wp-

content/uploads/2018/03/KUESIONER-PRA-SKRININGPERKEMBANGAN-KPSP.pdf] Diakses pada tanggal 26 Maret 2019 pukul 20.05 WIB.

Medise, Bernie Endyarni. 2013. Mengenal Keterlambatan Perkembangan Umum Pada

Anak.

Jakarta:

Ikatan

Dokter

Anak

Indonesia.

[http://www.idai.or.id/artikel/seputar-kesehatan-anak/mengenal-keterlambatanperkembangan-umum-pada-anak] Diakses pada tanggal 27 Maret 2019 pukul 06.23 WIB.

Afriani, Risma. 2016. Pengaruh Hipnobirthing terhadap Nilai Apgar Bayi Baru Lahir pada Persalinan Normal di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Zainoel

65

Abidin

Banda

Aceh

Tahun

2005.

(Online).

(http://repository.usu.ac.id./bitstream/handle/123456789/57092/Chapter%20II.pd f?sequence=4&isAllowed=y diakses pada 26 Maret 2019) Gunarhadi. 2005. Penanganan Anak Syndrome Down Dalam Lingkungan Keluarga dan Sekolah. Jakarta: Depdiknas. Hurairah, Khairul Aizat Abu. 2012. Prevalensi Kejadian Penyakit Jantung Kongenital pada Anak Penderita Sindrom Down di RSUP Haji Adam Malik pada Tahun 2008 – 2010. (http://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/31669/Chapter%20II.pdf ?sequence=4&isAllowed=y diakses pada 26 Maret 2019) Belinda, Impi. 2015. Distribusi Penderita Sindrom Down Berdasarkan Analisis Sitogenetik di Laboratorium Cebior. (Online). (https://ejournal3.undip.ac.id/index.php/medico/article/view/9901 diakses pada 26 Maret 2019) Hajar, Nur, 2014. Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Terjadinya Down Syndrome. (Online). (http://eprints.ums.ac.id/26696/3/BAB_II.pdf diakses pada 26 Maret 2019) Suryo. 2001. Abnormalitas akibat kelainan kromosom dalam Genetika manusia. Universitas Gadjah Mada press, cetakan ke 6. Hal. 259-270.

Adkinson R.L, Brown M.D. 2007. Disorders of gender differentiation and sexual development in Elsevier’s Integrated Genetic. Hal. 17-20.

Reed E.P. 2005. Medical genetics. Current medical diagnosis and treatment, McGraw-Hill Companies. Edisi 44. Hal. 1670.

Sherman SL, Allen EG, Bean LH, Freeman SB. 2007. Epidemiology of Down Syndrome. Mental Retardation And Developmental Disabilities Research Reviews. 13: 221 – 227. Dhamayanti, Meita. 2006. Kuesioner Praskrining Perkembangan (KPSP) Anak. Sari

66

Pediatri. Vol. 1, no: 1. Juni 2006: 9-15 Kawanto, Frieda Handayani. 2007. Pemantauan Tumbuh Kembang Anak dengan Sindrom Down. Jakarta: Departemen Ilmu Kesehatan Anak RS Dr. Ciptomangunkusumo Bunt CW, Bunt SK. Role of the family physician in the care of children with Down syndrome. Am Fam Physician. 2014 Dec 15. 90 (12):851-8.

67

Related Documents


More Documents from "Eva Nur Chanifah"