Laporan Tutorial Blok Mata Skenario 3.docx

  • Uploaded by: hilma
  • 0
  • 0
  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Laporan Tutorial Blok Mata Skenario 3.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 4,982
  • Pages: 25
LAPORAN TUTORIAL BLOK MATA SKENARIO 3 “Aduh, Ada Benjolan di Kelompak Mata Saya...”

ADIMAS PUTERO N

G0016004

ADJIE PRAKOSO A

G0016006

ARYO BIMANTO

G0016030

ADANINGGAR ANGESTI L

G0016002

AMINAH HALVAIMA U

G0016024

APTA DEVI NURUL N

G0016026

ARINA ALKHAQQ

G0016028

ATIKA SRI RAHARJANI

G0016032

AZKIA RACHMAH

G0016034

BERLIANA KUNTO F

G0016042

BERLIANNUR R

G0016044

BRENESTY WARA

G0016046

TUTOR : Amandha Boy T, dr., MMedEd FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA TAHUN 2018

BAB I PENDAHULUAN SKENARIO 3 Seorang Perempuan usia 19 tahun datang ke klinik dokter umum dengan keluhan ada benjolan di kelopak mata kiri bawah sejak dua minggu yang lalu. Benjolan dirasakan semakin lama semakin membesar. Pada pemeriksaan mata kiri didapatkan VOS 6/6, kelopak terlihat ada benjolan, konjungtiva bulbi tenang, konjungtiva forniks dan palpebral hiperemis, kornea tampak jernih. Kemudian dokter mendiagnosis dan memberikan terapi pendahuluan, kemudian merujuk pasien tersebut ke dokter spesialis mata.

BAB II DISKUSI DAN TINJAUAN PUSTAKA A. Langkah I : Membaca skenario dan memahami pengertian beberapa istilah dalam skenario Dalam skenario kali ini, kami mengklarifikasi istilah-istilah berikut ini : 1. Conjunctiva bulbi tenang : Suatu keadaan di mana tidak terlihat adanya tanda-tanda inflamasi pada konjung tiva bulbi. 2. Terapi pendahuluan : Penatalaksanaan pertama dokter umum sebelum merujuk pasien. 3. Conjuctiva fornix : Daerah peralihanantara konjungtiva bulbi (konjungtiva yang melapisi bola mata) dan konjungtiva palpebral (konjungtiva yang melapisi kelopak mata) B. Langkah II : Menentukan masalah Masalah yang terdapat pada skenario 3 adalah : 1. Mengapa ada benjolan di kelompak mata dan bagaimana patofisiologinya? 2. Apa saja pemeriksaan yang dilakukan oleh dokter? 3. Bagaimana interpretasi pemeriksaan fisik mata kiri? 4. Apa saja tatalaksana pendahuluan yang dilakukan oleh dokter? 5. Apa saja DD benjolan di mata? 6. Bagaimana benjolan semakin besar? 7. Bagaimana anatomi kelopak mata? 8. Apa saja indikasi untuk dirujuk? 9. Bagaimana hubungan usia dan jenis kelamin dengan keluhan? 10. Mengapa terdapat benjolan tetapi visus masih normal? 11. Kenapa sudah 2 minggu tidak sembuh-sembuh? 12. Apakah tindakan yang dilakukan oleh spesialis mata?

C. Langkah III : Menganalisis permasalahan dan membuat pernyataan sementara terhadap permasalahan (langkah II) 1. Mengapa ada benjolan di kelompak mata dan bagaimana patofisiologinya? Infeksi bakteri stafilokokkus pada kelenjar yang sempit dan kecil, biasanya menyerang kelenjar minyak (meibom) dan akan mengakibatkan pembentukan abses (kantong nanah) kearah kulit kelopak mata dan konjungtiva biasanya disebut hordeolum internum. Apabila bakteri stafilokokkus menyerang kelenjar Zeis atau moll maka akan membentuk abses ke arah kulit palbebra yang biasanya disebut hordeolum eksternum. Setelah itu terjadi pembentukan chalazion yakni benjolan di kelopak mata yang disebabkan peradangan di kelenjar minyak (meibom), baik karena infeksi maupun reaksi peradangan akibat alergi. Selain diakibatkan oleh infeksi, sisa-sisa infeksi seperti produk hasil pemecahan lipid oleh bakteri pada infeksi sebelumnya, bisa mengalami kebocoran dari jalur sekresinya lalu memasuki jaringan di sekitarnya. Hal ini menimbulkan reaksi inflamasi tapi tak menimbulkan nyeri, karena rasa nyeri terutama dirasakan pada infeksi yang masih aktif (akibat toxin dari agen infeksi). Massa akan terbentuk dari jaringan granulasi dan sel-sel radang. 2. Apa saja pemeriksaan yang dilakukan oleh dokter? Pemeriksaan fisik mata yang dilakukan oleh dokter untuk mengetahui kelainan yang terjadi pada sekitar palpebra adalah pemeriksaan mata luar. Mata adalah organ yang kecil, sehingga pemeriksa harus berjarak dekat dari pasien dalam melakukan pemeriksaan. Hal pertama yang harus dilakukan adalah mengecek apakah kelainan unilateral atau bilateral. Kelainan pada salah satu mata saja (unilateral) lebih mudah diperiksa karena dapat dibandingkan dengan mata yang sehat. Cek apakah bola mata terlihat menonjol, juga apakah rima palpebra terbuka simetris. Penonjolan bola mata (exoftalmos) dengan retraksi bola

mata yang menyebabkan pasien terlihat melotot dapat disebabkan oleh kelainan hipertiroid. Sedangkan, adanya rima palpebra yang tidak dapat membuka dengan sempurna (normalnya palpebra membuka normal tidak menutupi pupil), yaitu ptosis, dapat disebabkan oleh paralisis N.III, sindrom Homer, myasthenia gravis, maupun kongenital. Cek tepi kelopak terhadap adanya sekret, skuama, maupun benjolan. Beberapa infeksi pada mata seperti hordeolum memberikan tanda seperti kemerahan dan bengkak pada palpebra. Tanda yang serupa namun tidak diikuti gejala akut kemungkinan besar merupakan kalazion, pada kasus langka merupakan tumor kelopak mata. Jika terdapat deposit kuning berminyak pada tepi palpebra di medial disebut xanthelasma, dapat berarti status lemak darah abnormal. Jika palpebra tidak dapat menutup karena terlipat keluar disebut entropion, bisa terjadi akibat blefaritis. Konjungtiva harus terlihat sama putihnya pada kedua mata. Dalam pemeriksaan konjungtiva yang tertutup kelopak mata bawah, gunakan jari untuk menarik kelopak dengan perlahan. Sedangkan, pada kelopak mata atas, lakukan eversio (memutar kelopak mata bagian atas). Konjungtiva yang mengalami perubahan warna dapat menjadi indikasi perubahan tertentu: kuning merupakan indikasi jaundice, merah bila terdapat konjungtiva hemoragik. Konjungtiva yang merah dan terlihat indikasi inflamasi dapat mencederai kornea juga melalui gesekannya dengan kornea. Konjungtiva memerah juga dapat disebabkan uveitis maupun glaukoma. Cek apparatus lakrimal dengan menekan saccus lacrimalis yang terletak pada sebelah medial kelopak mata bawah dan hidung; normalnya penekanan tidak akan menimbulkan adanya discharge. Keringnya produksi air mata dapat disebabkan oleh rhumatoid arthritis, SLE, dan skleroderma, hal ini dapat berkembang menjadi dry eye. Sedangkan bila terdapat obstruksi, infeksi, maupun kelainan anatomis pada apparatus lakrimal dapat terjadi kesulitan mendrainase air mata, sehingga terdapat mata berair kronis.

Gunakan penlight/senter untuk memeriksa kornea dan amera anterior. Kornea harus memiliki permukaan yang licin dan jernih. Goresan pada kornea dapat terlihat lebih jelas dengan pemeriksaan menggunakan strip fluoresensi dan sinar biru. Bila terdapat plak kuning pada tepi nasal kornea disebut pingueculae; jika lesi tersebut tumbuh hingga mengenai kornea, disebut sebagai pterigium. Bila terdapat garis putih radial, dapat merupakan indikasi infeksi sifilis sebelumnya. Jika terdapat garis melingkar pada perifer, bisa jadi diakibatkan oleh penyakit Wilson. Bila kornea terlihat berkabut, bisa jadi merupakan indikasi edema kornea atau inflamasi intraokuler. 3. Bagaimana interpretasi pemeriksaan fisik mata kiri? a. VOS 6/6 : Mata normal (emetropia) b. Konjungtiva Bulbi Tenang : tidak terdapat inflamasi c. Konjungtiva Palpebra dan Fornix Hiperemis : Terdapat vasodilatasi d. Kornea Jernih : Tidak terdapat kelainan media refrakta 4. Apa saja tatalaksana pendahuluan yang dilakukan oleh dokter? Terapi yang dapat dilakukan adalah memberikan edukasi penanganan konservatif dengan kompres air hangat pada mata selama 15 menit, minimal 4 kali dalam sehari. Jika pada mata ditemukan adanya kotoran bulu mata, bakteri, bakteri racun, minyak, dan ketombe, lakukan scrub pada bulu mata menggunakan sabun yang anti iritasi atau sabun bayi. Juga dapat diberikan antibiotik topikal seperti tetes dan salep dengan dosis tertentu. a. Hordeolum -

Bila diketahui ada keterlibatan bulu mata, dapat dilakukan pencabutan bulu mata dan diberikan salep antibiotik mata topikal (tertasiklin atau kloramfenikol) untuk mengurangi gejala.

-

Terapi stye primer adalah pengompresan mata dengan air hangat. Insisi dan drainase dilakukan apabila gejala tidak membaik 48 jam

setelah pengkompresan dimulai. Bagian dari perawatan adalah membersihkan crusta menggunakan sabun bayi yang non iritatif. Antibiotik topikal berupa ointment atau tetes mata juga bisa digunakan. b. Kalazion -

Apabila nodul tidak mengecil bisa diberikan salep antibiotik (tertasiklin salep) 3x sehari selama 7-14 hari

-

Pemberian injeksi steroid intralesi (0,1-0,2 ml triamsinolon 10mg/mL) dapat dilakukan pada kalazion ukuran kecil.

5. Apa saja DD benjolan di mata? a. Hordeolum -

Radang supuratif kelenjar mata

-

Staphylococcus kelenjar sebasea

-

Sembuh sendiri (kompress air hangat)

-

Gejala : bengkak, merah, nyeri

b. Kalazion -

Radang granulamatosa,kel. Meibom yg tsrsumbat

-

Swalnya radang ringan

-

Gejala : bengkak, produksi air mata naik, kelopak mata berat

c. Karsinoma Kelenjar Sebasea Karsinoma kelenjar sebasea paling sering berasal dari kelenjar meibom dan Zeis, tetapi dapat pula muncul di kelenjar sebasea alis mata atau caruncula. Sekitar separuhnya mirip lesi dan kelainan peradangan jinak, seperti kalazion dan blefaritis kronik. Karsinoma ini lebih agresif dari karsinoma sel skuamosa, sering meluas ke dalam orbita, menginvasi sistem limfatik, dan bermetastasis. Dapat dilakukan biopsi kelenjar sentinel sebagai bagian dari pemeriksaan pasien dengan tumor adneksa d. Blepharitis

Penyakit pada kelopak mata terbagi menjadi empat, yaitu posisi palpebra abnormal, inflamasi palpebra, pembengkakan palpebra, dan abnormalitas bulu mata. Dari kasus pada skenario, kami lebih membahas tentang pembengkakan palpebra dan inflamasi palpebra. Salah satu contoh inflamasi pada palpebra adalah blepharitis. Blepharitis merupakan inflamasi kronis pada palpebra yang sering terjadi. Blepharitis kadang dikaitkan dengan infeksi Staphylococcus yang kronis. Kondisi ini menyebabkan debris skuamosa, inflamasi tepi palpebra, kulit, dan folikel bulu mata (blepharitis anterior). Inflamasi ini juga dapat mengenai glandula Meibom secara tersendiri (blepharitis posterior). Manifestasi klinis blepharitis, yaitu skuama pada tepi palpebra, debris berbentuk roset di sekitar bulu mata yang dasarnya dapat mengalami ulserasi, jumlah bulu mata yang berkurang, obstruksi dan sumbatan glandula Meibom, sekresi glandula Meibom berwarna keruh, dan injeksi pada tepi palpebra. Pada penyakit yang berat, kornea dapat terkena (blefarokeratitis). 6. Bagaimana benjolan semakin besar? Pada penyakit kalazion dan hordeolum, akan didapatkan benjolan semakin membesar dan bahkan bisa sampai menekan kornea serta mengubah struktur anatominya. Hal ini dikarenakan pada penyakit kalazion dan hordeolum akan terjadi penyumbatan di ketiga kelenjar yang ada di kelopak mata. Kelenjar meibom, zeis, dan moll merupakan kelenjar penghasil minyak untuk folikel rambut yang akan mensekresi sekret secara kontinyu sehingga jika tersumbat akan membuat sekret menumpuk sehingga benjolan terlihat makin membesar. 7. Bagaimana anatomi kelopak mata? Bagian-bagian pada kelopak mata:

a. Kelenjar : kelenjar sebasea, kelenjar moll/ keringat, kelenjar zeis, dan kelenjar meibom

b. Otot : -

M. orbikularis okuli berjalan melingkar di dalam kelopak atas dan bawah, terletak di bawah kulit kelopak.

-

M. orbikularis berfungsi untuk menutup bola mata dan dipersarafi N. facial.

-

M. levator palpebra terlihat sebagai lipatan palpebra yang dipersarafi N. III berfungsi untuk mengangkat atau membuka kelopak mata.

c. Terdapat tarsus yang merupakan jaringan ikat dengan kelenjar di dalamnya atau kelenjar meibom yang bermuara pada margo palpebra d. Septum orbita : jaringan fibrosis berasal dari rima orbita, pembatas isi orbita dengan kelopak depan e. Vaskularisasi kelopak mata oleh a. Palpebra f. Persarafan sensorik kelopak mata atas didapatkan dari ramus frontal N. V sedangkan kelopak mata bawah oleh N. V cabang II 8. Apa saja indikasi untuk dirujuk? Pasien harus dirujuk apabila tidak ada respon perbaikan setelah diberikan intervensi medikamentosa. Selain itu, kalau pada hordeolum rujukan juga dilakukan apabila terdapat hordeolum berulang. 9. Bagaimana hubungan usia dan jenis kelamin dengan keluhan? Orang dewasa lebih mungkin terkena hordeolum daripada anakanak. Karena pada orang dewasa terutama yang sudah mengalami pubertas biasanya menghasilkan minyak lebih banyak dan lebih mungkin memiliki peradangan pada kelenjar minyak sehingga meningkatkan kemungkinan infeksi.

Hal terkait jenis kelamin ini cenderung setara antara pria dan wanita sehingga tidak spesifik pada jenis kelamin, meskipun memakai riasan

mata

dapat

meningkatkan

kemungkinan

mengembangkan

Hordeolum pada wanita. Tidak ada kecenderungan ras atau etnis apapun yang diketahui, tetapi mungkin lebih umum di wilayah geografis tertentu di mana kebersihan kelopak mata yang buruk. Pada ibu hamil, biasanya akan lebih rentan terkena karena adanya peningkatan sekresi sebasea. pada orang tua, bisanya lebih jarang terkena karena adanya penurunan sekresi sebasea 10. Mengapa terdapat benjolan tetapi visus masih normal? Secara umum keluhan pada palpebra tidak menimbulkan kelainan pada visus. Visus yang menurun dapat diakibatkan oleh benjolan yang sudah terlalu besar pada palpebra sehingga terjadi penekanan bola mata yang menimbulkan adanya astigmatisme. Selain itu, juga dapat disebabkan oleh peradangan pada palpebra yang menimbulkan gesekan pada kornea yang bila tidak ditangani dapat menjadi ulkus kornea. 11. Kenapa sudah 2 minggu tidak sembuh-sembuh? Pada hordeolum, biasanya pasien sembuh sendiri dalam 1-2 minggu, karena hordeolum merupakan self limited, dan disebabkan oleh s. aureus. Sedangkan pada kalazion, dia lebih kronis dan terjadi obstruksi kelenjar. Biasanya sembuh lebih dari 2 minggu dan akan sembuh jika sumbatannya dihilangkan. 12. Apakah tindakan yang dilakukan oleh spesialis mata? Terjawab di jump 7

D. Langkah IV : Menginventarisasi permasalahan secara sistematis dan pernyataan sementara mengenai permasalahan pada langkah II

ANATOMI KELOPAK MATA

BENJOLAN DI KELOPAK MATA

ANAMNESIS

PEMERIKSAAN FISIK KALAZION DIAGNOSIS BANDING

HORDEOLUM DACRIOSISTITIS

PEMERIKSAAN PENUNJANG

DIAGNOSIS KERJA

ETIOLOGI

GEJALA KLINIS

PATOFISIOLOGI

FAKTOR RISIKO EPIDEMIOLOGI

TATALAKSANA

KRITERIA RUJUKAN

KOMPLIKASI & PROGNOSIS

E. Langkah V : Merumuskan tujuan pembelajaran 1. 2. 3. 4.

Tujuan pembelajaran (learning objectives) pada scenario ini adalah : Mahasiswa mampu menjelaskan anatomi kelopak mata Mahasiswa mampu mengetahui pemeriksaan yang dilakukan Mahasiswa mampu mengetahui DD dari skenario Mahasiswa mampu mengetahui etiologi, epidemiologi, patogenesis, gejala klinis, pemeriksaan, tatalaksana, komplikasi, dan prognosis dari DD

F. Langkah VI : Mengumpulkan informasi baru dengan belajar mandiri Pengumpulan informasi telah dilakukan oleh masing-masing anggota kelompok kami dengan menggunakan sumber referensi ilmiah seperti buku, jurnal, review, dan artikel ilmiah yang berkaitan dengan skenario ini. G. Langkah VII : Melaporkan, membahas, dan menata kembali informasi baru yang diperoleh Pertanyaan yang belum terjawab : Apakah tindakan yang dilakukan oleh spesialis mata? Untuk menindaklanjuti keluhan benjolan pada kelopak mata, setelah dilakukan pemeriksaan lebih lanjut dengan rujukan ke spesialis mata, dokter spesialis mata dapat melakukan eksisi pada benjolannya, jika benjolannya kecil dapat dilakukan kuretase, jika benjolan berukuran besar dilakukan insisi, dan jika benjolan menonjol ke arah kulit, dapat dilakukan insisi dari arah kulit. Dokter spesialis mata juga dapat memberikan terapi medikamentosa lebih spesifik sesuai dengan penyebab dari benjolan.

DIAGNOSIS BANDING HORDEOLUM

Hordeolum adalah nodul inflamasi atau inflamasi akut pada salah satu atau lebih kelenjar di palpebra. Hordeolum merupakan peradangan supuratif kelenjar

kelopak

mata.

Hordeolum

biasanya

merupakan

infeksi

staphylococcus pada kelenjar sabasea kelopak mata. Biasanya sembuh sendiri dan dapat diberi hanya kompres hangat. Hordeolum secara histopatologik gambarannya seperti abses. Etiologi Hordeolum biasanya disebabkan oleh Staphylococcus yang menginfeksi folikel rambut bulu mata. Hordeolum eksternal disebabkan oleh penyumbatan kelenjar sebaceous (Zeis) atau kelenjar keringat (Mol). Penyumbatan terjadi di garis bulu mata dan muncul sebagai daerah bengkak merah yang menyakitkan yang berkembang menjadi pustule. Hordeolum internal disebabkan oleh penyumbatan kelenjar Meibom, dan pustula terbentuk di permukaan bagian dalam kelopak mata. Hordeola dapat muncul di kedua kelopak mata atas dan bawah. Patofisiologi Infeksi terjadi karena penebalan, pengeringan, atau stasis dari sekresi kelenjar Zeis, Moll, atau Meibomian. Kelenjar Zeis dan Moll adalah kelenjar silia mata. Kelenjar Zeis mengeluarkan sebum dengan sifat antiseptik yang dapat

mencegah

pertumbuhan

bakteri.

Kelenjar

Moll

menghasilkan

imunoglobulin A, musin 1, dan lisosom yang penting dalam pertahanan kekebalan terhadap bakteri di mata. Ketika kelenjar ini menjadi tersumbat atau terhalang, pertahanan mata terganggu. Stasis dapat menyebabkan infeksi bakteri dengan Staphylococcus aureus menjadi patogen yang paling umum.

Setelah respon inflamasi lokal terjadi dengan infiltrasi oleh leukosit, kantong purulen atau abses berkembang. Epidemiologi Data epidemiologi

internasional

menyebutkan

bahwa

hordeolum

merupakan jenis penyakit infeksi kelopak mata yang paling sering ditemukan pada praktek kedokteran, namun insidensi tidak bergantung pada ras dan jenis kelamin. Hordeolum dapat mengenai semua usia, tapi lebih sering pada orang dewasa, kemungkinan karena kombinasi dari beberapa faktor seperti tingginya level androgen dan peningkatan insidensi meibomitis dan rosacea pada dewasa. Gejala Hordeolum memberikan gejala radang pada kelopak mata seperti bengkak, mengganjal dengan rasa sakit, merah, dan nyeri bila ditekan. Hordeolum internum (radang kelenjar meibom) biasanya berukuran lebih besar dibandingkan hordeolum eksternum (radang kelenjar zeis atau moll). danya pseudoptosis atau ptosis terjadi akibat bertambah beratnya kelopak sehingga sukar diangkat. Pada pasien dengan hordeolum, kelenjar preaurikel biasanya turut membesar. Sering hordeolum ini membentuk abses dan pecah dengan sendirinya. Faktor Resiko Faktor risiko Hordeolum adalah sebagai berikut: a. Penyakit kronik b. c. d. e. f. g. h.

Kesehatan atau daya tahan tubuh yang buruk Peradangan kelopak mata kronis, seperti Blepharitis Diabetes Hiperlipidemia, termasuk hiperkolesterolemia Riwayat hordeolum sebelumnya Higiene dan lingkungan yang tidak bersih Kondisi kulit seperti dermatitis seboroik Tatalaksana Medikamentosa dan Nonmedikamentosa Untuk mempercepat peradangan kelenjar dapat diberikan kompres hangat,

3 kali sehari selama 10 menit sampai nanah keluar. pengangkatan bulu mata dapat memberikan jalan untuk drainase nanah. Pemberian antibiotik lokal terutama bila berbakat rekuren atau terjadinya pembesaran kelenjar aurikel.

Terapi stye primer adalah pengompresan mata dengan air hangat. insisi dan drainase dilakukan bila gejala tidak membaik dalam 48 jam setelah pengompresan dimulai. Bagian dari perawatan adalah membersihkan krusta menggunakan sabun bayi yang non iritatif. Antibiotik topikal berupa ointment atau tetes mata juga bisa digunakan. Antibiotik sistemik yang diberikan adalah eritromisin 250 mg atau 125250 mg diklosasilin 4 kali sehari, dapat juga diberikan tetrasiklin. Bila terdapat infeksi stafilokokus di bagian tubuh lain maka sebaiknya diobati juga bersama-sama. Pada nanah dan kantong nanah yang tidak dapat keluar, maka dilakukan insisi. Komplikasi Penyulit hordeolum adalah selulitis palpebra, yang merupakan radang jaringan ikat palpebra di depan septum orbita dan abses palpebra. Prognosis Biasanya hordeolum dapat sembuh spontan dalam waktu 1-2 minggu, akan lebih cepat dengan penggunaan kompres hangat dan ditutup yang bersih Pencegahan Pencegahan dapat dilakukan dengan menjaga kebersihan wajah dan membiasakan mencuci tangan sebelum menyentuh wajah agar hordeolum tidak mudah berulang, mengusap kelopak mata dengan lembut menggunakan waslap hangat untuk membersihkan ekskresi kelenjar lemak, menjaga kebersihan peralatan make-up mata, dan menggunakan kaca mata pelindung bila bepergian di daerah berdebu. KALAZION

Kalazion adalah radang granulomatosa kronik yang steril dan idiopatik pada kelenjar meibomian, umumnya ditandai oleh pembengkakan setempat yang tidak terasa sakit dan berkembang dalam beberapa minggu. Awalnya dapat berupa radang ringan disertai nyeri tekan yang mirip hordeolum. Dibedakan dari hordeolum karena tidak ada tanda-tanda radang akut. Kebanyakan kalazion mengarah ke permukaan konjungtiva, yang mungkin sedikit memerah atau meninggi. Jika cukup besar, sebuah kalazion dapat menekan bola mata dan menimbulkan astigmatisme. Jika cukup besar sehingga mengganggu penglihatan atau mengganggu secara kosmetik, dianjurkan eksisi lesi. Kalazion dapat dikategorikan menjadi kalazion superficial dan kalazion profunda. Inflamasi pada kelenjar meibomian mengakibatkan terjadinya kalazion profunda, sedangkan inflamasi pada kelenjar zeiss menyebabkan kalazion superficial. Etiologi Kalazion juga disebabkan sebagai lipogranulomatosa kelenjar Meibom. Kalazion mungkin timbul spontan disebabkan oleh sumbatan pada saluran kelenjar atau sekunder dari hordeolum internum. Kalazion dihubungkan dengan seborrhea, chronic blepharitis, dan acne rosacea. Patofisiologi Kalazion merupakan radang granulomatosa kelenjar Meibom. Nodul terlihat atas sel imun yang responsif terhadap steroid termasuk jaringan ikat makrofag

seperti

histiosit,

sel

raksasa

multinucleate

plasma,

sepolimorfonuklear, leukosit dan eosinofil. Kalazion akan memberi gejala adanya benjolan pada kelopak, tidak hiperemik, tidak ada nyeri tekan, dan adanya pseudoptosis. Kelenjar preaurikuler tidak membesar. Kadang-kadang mengakibatkan perubahan bentuk bola mata akibat tekanannya sehingga terjadi kelainan refraksi pada mata tersebut. Kerusakan lipid yang mengakibatkan tertahannya sekresi kelenjar, kemungkinan karena enzim dari bakteri, membentuk jaringan granulasi dan mengakibatkan inflamasi. Proses granulomatous ini yang membedakan antara kalazion dengan hordeolum internal atau eksternal (terutama proses piogenik yang

menimbulkan

pustul),

walaupun

kalazion

dapat

menyebabkan

hordeolum, begitupun sebaliknya. Secara klinik, nodul tunggal (jarang multipel) yang agak keras berlokasi jauh di dalam palpebra atau pada tarsal. Eversi palpebra mungkin menampakkan kelenjar meibom yang berdilatasi. Epidemiologi Kalazion terjadi pada semua umur, sementara pada umur yang ekstrim sangat jarang, kasus pediatrik mungkin dapat dijumpai. Pengaruh hormonal terhadap sekresi sebasea dan viskositas mungkin menjelaskan terjadinya penumpukan pada masa pubertas dan selama kehamilan. Gejala Kalazion memberi gejala adanya benjolan pada kelopak mata, tidak hiperemik, tidak ada nyeri tekan, dan adanya pseudoptosis. Kelenjar preaurikuler tidak membesar. Kadang-kadang mengakibatkan perubahan bentuk bola mata akibat tekanannya sehingga terjadi kelainan refraksi pada mata tersebut. Faktor Resiko Sampai saat ini belum diketahui faktor resiko dari kalazion. akan tetapi beberapa penelitian mengatakan bahwa hygiene palpebra berkaitan dengan kalazion walau masih belum bisa dipastikan kebenarannya. stress juga dapat mengakibatkan kalazion namun masih belum ditemukan penelitian yang pasti mengenai ini. Pemeriksaan -

Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan yang lengkap pada mata dan permukaan konjungtiva harus dilakukan. Kalazion merupakan nodul yang dapat dipalpasi pada palpebra, terkadang diameternya 7-8 mm. Biasanya keras, nonerythematous, menetap, dan tidak nyeri. Kalazion lebih sering terjadi pada palpebra superior karena jumlah kelenjar meibomian di sana lebih banyak

-

dibandingkan di palpebra inferior. Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan laboratorium jarang diminta, tetapi pemeriksaan histologis menunjukkan proliferasi endotel asinus dan respons radang granulomatosa yang melibatkan sel-sel kelenjar jenis Langerhans. Biopsi

diindikasikan pada kalazion berulang karena tampilan karsinoma kelenjar meibomian dapat mirip tampilan kalazion. Tatalaksana Medikamentosa dan Nonmedikamentosa a. Kalazion yang kecil dan tanpa disertai nyeri dapat diabaikan. Pengobatan secara konservatif seperti pemijatan pada palpebra, kompres hangat, dan steroid topikal ringan biasanya dapat berhasil dengan baik. Pada sebagian besar kasus, pembedahan hanya dilakukan bila pengobatan selama berminggu-minggu tidak membuahkan hasil. b. Sebagian besar kalazion berhubungan dengan kalazion lain yang berlokasi di bagian yang lebih dalam dari palpebra. Isi dari kalazion marginalis murni akan menyatu bila 2 buah kapas didorong ke arah tepi palpebra dari kedua sisinya. Jika isi kalazion tidak daapt dikeluarkan, lakukan insisi distal kalazion dan isinya dikerok. c. Penatalaksanaan dari kalazion terinfeksi (misalnya hordeolum interna) meliputi pemanasan, serta antibiotik topikal dan atau sistemik. Pada beberapa kasus mungkin diperlukan insisi dan drainase. Yang dikeluarkan hanyalah pus, kuretase atau kerokan yang berlebihan dapat memperluas infeksi dengan rusaknya jaringan. Steriod topikal diperlukan untuk mencegah terjadinya reaksi peradangan kronis yang dapat menimbulkan sikatrik. d. Perawatan Pembedahan : - Drainase dilakukan

melalui

tindakan

insisi

dan

kuretase

transkonjungtival. Sebelumnya diberikan anestesi lokal infiltrasi, atau dapat juga dengan menggunakan anestesi topikal berbentuk krim -

untuk mengurangi rasa nyeri pada pasien anak-anak. Gunakan klem kalazion untuk membalikkan kelopak mata dan untuk mengontrol perdarahan. Lakukan insisi vertikal dengan pisau tajam, tidak kurang dari 2-3 mm dari tepi palpebra. Hindari perforasi pada kulit. Kerok isi kalazion, termasuk batas kantongnya. Lakukan penekanan selama beberapa menit untuk menghentikan perdarahan.

-

Balut luka selama beberapa jam. Jika sebelumnya pernah dilakukan drainase eksternal, maka dianjurkan pendekatan eksternal. Buat insisi horisontal, sedikitnya 3 mm dari tepi palpebra pada daerah lesi. Jangan sampai melukai jarinagn yang sehat.

Setelah perdarahan berhenti, lakukan penjahitan yang sesuai. Penyatuan yang baik antara kulit dan konjungtiva memerlukan perencanaan yang baik mengenai lokasi sayatan guna mencegah pembentukan fistula. Kauterisasi dengan fenol atau asam trikloroasetat setelah insisi dan drainase dapat mencegah terjadinya kembali -

kalazion. Kalazion yang besar, atau yang dibiarkan berlangsung lama, serta kalazion yang mengalami fibrosisi luas mungkin membutuhkan eksisi yang lebih besar, termasuk pengangkatan sebagian lempeng tarsal. Kalazion multipel harus disayat dengan hati-hati agar tidak terjadi deformitas luas pada palpebra, sehingga memungkinkan lempeng

-

tarsal sembuh tanpa meninggalkan celah. Suntikan kortikosteroid lokal intralesi (0,5-2 mL triamsinolon asetonid 5 mg/mL) daapt diberikan dan diulang dalam 2-7 hari.

Komplikasi Rusaknya sistem drainase pada kalazion dapat menyebabkan trichiasis, dan kehilangan bulu mata. Kalazion yang rekuren atau tampat atipik perlu dibiopsi untuk menyingkirkan adanya keganasan. Astigmatisma dapat terjadi jika massa pada palpebra sudah mengubah kontur kornea. Kalazion yang drainasenya hanya sebagian dapat menyebabkan massa jaringan granulasi prolapsus diatas konjungtiva atau kulit Prognosis Pasien yang memperoleh perawatan biasanya memperoleh hasil yang baik. Seringkali timbul lesi baru, dan rekuren dapat terjadi pada lokasi yang sama akibat drainase yang kurang baik. Kalazion yang tidak memperoleh perawatan dapat mengering dengan sendirinya, namun sering terjadi peradangan akut intermiten. Pencegahan Kalazion bisa disebabkan oleh karena kotoran yang ada pada kelopak mata. Oleh karena itu penting untuk menjaga kebersihan wajah dan tangan. Bisa menggunakan sampo bayi pada kelopak mata untuk menjaga agar area tersebut tetap bersih tanpa mengiritasi mata. Selain itu juga bisa mengompres kelopak mata selama beberapa menit setiap malam sebelum tidur. Hal ini akan

membuat kelenjar minyak tidak tersumbat dan mengurangi kemungkinan terjadinya penyakit ini. DACRIOSISTITIS Dakriosistitis merupakan salah satu penyakit pada apparatus lakrimalis yang diakibatkan oleh infeksi dari sakus lakrimalis, menyebabkan gangguan pada sistem ekskresi air mata yang terletak di sekitar palpebra inferior dan nasal; harus dibedakan dengan kelainan sistem sekresi air mata yang terletak pada fossa lakrimalis di kuadran temporal atas orbita. Keluhan ini paling sering unilateral dan selalu sekunder terhadap obstruksi duktus nasolakrimalis. Etiologi Dakriosistitis pada bayi dan anak paling sering diakibatkan oleh kelainan struktur anatomis akibat tidak terbentuknya lubang pada distal duktus lakrimalis yang disebut sebagai valvula Hasner. Sebelum lahir, sistem nasolakrimalis dipenuhi oleh cairan amnion. Ketika cairan gagal untuk dialirkan melalui sistem nasolakrimalis, cairan tersebut akan menjadi purulen dalam beberapa hari kelahiran dan menjadi patologis. Selain itu, dapat disebabkan oleh infeksi Haemophilus influenzae. Pada orang dewasa, penyebab obstruksi duktus nasolakrimalis yang menjadi pencetus terjadinya dakriosistitis sering tidak diketahui. Dakriosistitis jarang terjadi pada usia pertengahan kecuali sesudah trauma atau diakibatkan oleh dakriolit. Bila terdapat reaksi akut, biasanya disebabkan oleh infeksi Staphylococcus aureus atau Streptococcus B-hemolyticus. Pada dakriosistitis menahun, organisme dominan adalah Streptooccus pneumoniae atau pada kasus yang jarang sekali, Candida albicans. Dakriosistitis juga dapat disebabkan oleh pembedahan sebelumnya, medikasi, dan neoplasma. Medikasi topikal yang sering terkait dakriosistitis adalah timolol, pilokarpin, dorzolamide, idoxuridine, dan trifluridine, sedangkan medikasi sistemiknya adalah fluorouracil dan docetaxel. Tumor sakus lakrimal primer dan papiloma jinak merupakan neoplasma yang sering dikaitkan.

Patofisiologi

Dakriosistitis selalu diawali oleh obstruksi sistem nasolakrimalis yang berakibat stagnansi dari air mata. Tersumbatnya air mata menjadi sarana terjadinya infeksi dan formasi debris berprotein. Selanjutnya, sakus lakrimal akan mengalami inflamasi menyebabkan munculnya tanda-tanda peradangan pada bagian inferomedial orbita. Epidemiologi Dakriosistitis akut pada bayi baru lahir jarang ditemukan, terjadi pada kurang dari 1% dari semua kelahiran. Dakriosistitis didapat secara primer terjadi pada wanita dan lebih sering pada pasien dengan usia di atas 40 tahun, dengan puncak insidensi pada usia 60–70 tahun. Kebanyakan penelitian mendemonstrasikan sekitar 70-83% kasus dakriosistitis terjadi pada wanita, sementara dakriosistitis kongenital memiliki frekuensi yang sama antara pria dan wanita. Gejala Pada infeksi akut, daerah di sekitar kantong air mata terasa nyeri, berwarna merah, dan membengkak. Daerah di sekitar mata menjadi merah dan mata berair, serta bisa mengeluarkan nanah. Penekanan ringan pada kantong air mata dapat mendorong cairan kental atau nanah keluar. Terkadang bisa terjadi infeksi berat dan menyebabkan timbulnya demam. Infeksi berulang bisa menyebabkan penebalan dan kemerahan di atas kantong air mata. Jika infeksi ringan atau infeksi berulang berlangsung lama maka sebagian besar gejala mungkin dapat menghilang, tetapi pembengkakkan ringan bisa menetap. Kadang infeksi menyebabkan tertahannya air mata di dalam kantong air mata sehingga terbentuk kantong yang berisi cairan (mukokel) di bawah kulit.

Faktor Resiko Terdapat faktor risiko infeksi ini, meliputi : a. Hipertrofi turbinasi inferior dan pembengkakan pada salah satu struktur tulang pada hidung yang membantu menyaring dan melembabkan udara pernafasan.

b. Adanya deviasi septum, ketika septum pembatas dinding antara kedua lubang hidung tidak ditengah, maka saluran nostril akan relatif lebih sempit dibanding saat normal. c. Rhinitis atau peradangan pada membran mukosa hidung. Tatalaksana Medikamentosa dan Nonmedikamentosa Pengobatan dakriosistitis pada anak (neonatus) dapat dilakukan dengan masase kantong air mata ke arah pangkal hidung. Dapat juga diberikan antibiotik amoxicillin/clavulanate atau cefaclor 20-40 mg/kgBB/hari dibagi dalam tiga dosis dan dapat pula diberikan antibiotik topikal dalam bentuk tetes (moxifloxacin 0,5% atau azithromycin 1%) atau menggunakan sulfonamid 4-5 kali sehari. Pada orang dewasa, dakriosistitis akut dapat diterapi dengan melakukan kompres hangat pada daerah sakus yang terkena dalam frekuensi yang cukup sering. Amoxicillin dan chepalosporine (cephalexin 500mg p.o. tiap 6 jam) juga merupakan pilihan antibiotik sistemik yang baik untuk orang dewasa. Untuk mengatasi nyeri dan radang, dapat diberikan analgesik oral (acetaminofen atau ibuprofen), bila perlu dilakukan perawatan di rumah sakit dengan pemberian antibiotik secara intravena, seperti cefazoline tiap 8 jam. Bila terjadi abses dapat dilakukan insisi dan drainase. Dakriosistitis kronis pada orang dewasa dapat diterapi dengan cara melakukan irigasi dengan antibiotik. Sumbatan duktus nasolakrimal dapat diperbaiki dengan cara pembedahan jika sudah tidak radang lagi. Penatalaksaan dakriosistitis dapat juga dilakukan dengan pembedahan, yang bertujuan untuk mengurangi angka rekurensi. Prosedur pembedahan yang sering dilakukan pada dakriosistitis adalah dacryocystorhinostomy (DCR). Di mana pada DCR ini dibuat suatu hubungan langsung antara sistem drainase lakrimal dengan cavum nasal dengan cara melakukan bypass pada kantung air mata. Dulu, DCR merupakan prosedur bedah eksternal dengan pendekatan melalui kulit di dekat pangkal hidung. Saat ini, banyak dokter telah menggunakan teknik endonasal dengan menggunakan scalpel bergagang panjang atau laser. Komplikasi

Dakriosistitis pneumoniae dapat menimbulkan ulkus kornea setelah trauma ringan pada kornea. Sedangkan pada dakriosistitis infantil yang disebabkan oleh Haemophilus influenzae apabila tidak diterapi secara agresif menimbulkan risiko terjadinya selulitis orbital. Komplikasi lain dapat menjadi sangat berbahaya; termasuk formasi fistula lakrimal, mengingitis, abses otak, thrombosis sinus kavernosa, sinusitis yang parah, hilangnya daya penglihatan permanen, hingga kematian. Prognosis Secara umum, prognosis dakriosistitis baik. Teknik galian sederhana sering dilaporkan berhasil. DCR dilaporkan memiliki angka keberhasilan 93% hingga 97%. Pada kasus kongenital, 90% terselesaikan pada usia setahun dengan penanganan konservatif saja. Pencegahan Pencegahan dapat dilakukan dengan melakukan higienitas pada palpebra, termasuk melakukan kompres air hangat dan membersihkan silia. Selain itu, higienitas nasal dengan spray salin dapat mencegah obstruksi aliran lakrimal bagian distal.

BAB III PENUTUP A.

KESIMPULAN Pada skenario kali ini, pasien mengeluhkan adanya benjolan di kelopak mata kiri bawah. Benjolan di kelopak mata bisa memberikan diagnosis banding yaitu kalazion, hordeolum, dan dacriosistitis. Secara lebih terperinci hasil yang didapatkan dari pemeriksaan mata kiri pasien adalah: a. VOS 6/6 artinya visus normal (emetropia). Pasien dapat melihat huruf pada Snellen chart dalam jarak 6 meter dan memang seharusnya huruf tersebut bisa dilihat dengan jelas oleh orang normal pada jarak 6 meter.

b. Konjungtiva bulbi tenang, yang artinya konjungtiva bulbi tidak mengalami inflamasi. Tidak terlihat kemerahan dan secara makroskopis terlihat normal. c. Konjungtiva forniks dan palpebral hiperemis terjadi karena terjadi vasodilatasi vasa darah di daerah tersebut. d. Kornea tampak jernih artinya fungsi media refraksi masih baik, memperkuat hasil visus 6/6. Adapun terapi pendahuluan untuk infeksi mata adalah kompres dengan air hangat atau dibersihkan menggunakan sampo bayi yang noniritatif, bisa juga diberikan antibiotic. Namun, bila tidak memberikan respon dengan pengobatan konservatif maka harus dirujuk ke dokter spesialis mata. B.

SARAN Diskusi tutorial skenario 3 blok mata ini sudah berjalan dengan baik. Dari hasil diskusi, mahasiswa bisa mencapai LO seperti yang ditetapkan, namun masih kurang menyeluruh dan meluas ke topik lain yang sebaiknya juga ikut dibahas. Maka sebaiknya mahasiswa lebih giat lagi mencari informasi dan meteri dari sumber-sumber lain utamanya dari referensi ilmiah dari jurnal dan publikasi yang evidence based.

DAFTAR PUSTAKA Bell, F. C. 1990. The External Eye Examination. In: Walker HK, Hall WD, Hurst JW, editors. Clinical Methods: The History, Physical, and Laboratory Examinations. 3rd edition. Boston : Butterworths. Bragg, Kara J., Le, Jacqueline K.

2017.

Hordeolum.

https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK441985/#article-22993.s4 [diakses 7 Oktober 2018] Ilyas, Sidarta, Yulianti, Sri R. 2017. Ilmu Penyakit Mata Edisi ke 5. Jakarta : Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. James B, Chew C, & Bron A. 2006. Lecture Notes: Oftalmology, Edisi 9. Erlangga: Jakarta. Langston, Pavan D. 2012. Manual of ocular diagnosis and therapy 5th Edition. USA : Lippincott, Williams & Wilkins.

Lindsley, Kristina, Nichols, Jason J., dan Dickersin, Kay. 2010. Interventions for acute internal hordeolum. Cochrane Database of Systematic Reviews. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3424070/

[diakses

7

Oktober 2018] McAlinden C, González-Andrades M, Skiadaresi E. 2006. Hordeolum: Acute abscess within an eyelid sebaceous gland. Cleve Clin J Med. 83(5):332-4. Showka JW, et al. 2012. The Handbook of Occular Disease Management: fourth edition. USA . pp: 9-10 Taylor, R. S., Ashurst, J. V. 2018. Dacryocystitis. Treasure Island: StatPearls Publishing. Torgan, Carol. 2013.

Bacteria

Trigger

Nerve Cells

to Cause Pain.

https://www.nih.gov/news-events/nih-research-matters/bacteria-triggernerve-cells-cause-pain [diakses 7 Oktober 2018] Vaughan, D.G., dkk. 2000. Oftalmologi Umum. Edisi 14. Jakarta: Widya Medika. Wagner P., Lang, Gerhard K. 2006. Ophthalmology - A Pocket Textbook Atlas 2nd Editon. New York : Thieme Stuttgart.

Related Documents


More Documents from "radin ahmad"