Laporan Kasus Didong Fix.docx

  • Uploaded by: didong
  • 0
  • 0
  • November 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Laporan Kasus Didong Fix.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 9,531
  • Pages: 49
BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Obat adalah bahan kimia yang digunakan untuk pemeriksaan, pencegahan dan pengobatan suatu penyakit atau gejala. Selain manfaatnya obat dapat menimbulkan reaksi yang tidak diharapkan yang disebut reaksi simpang obat. Reaksi simpang obat dapat mengenai banyak organ antara lain paru, ginjal, hati, dan sumsum tulang tetapi reaksi kulit merupakan manifestasi yang tersering. Reaksi tersebut dapat berupa reaksi yang dapat diduga (predictable) dan yang tidak dapat diduga (unpredictable). Reaksi simpang obat yang dapat diduga (predictable) terjadi pada semua individu, biasanya berhubungan dengan dosis dan merupakan farmakologi obat yang telah diketahui. Reaksi ini meliputi 80% dari seluruh efek simpang obat termasuk diantaranya efek samping dan overdoses (kelebihan dosis). Reaksi simpang yang tidak dapat diduga (unpredictable) hanya terjadi pada orang yang rentan, tidak tergantung pada dosis dan tidak berhubungan dengan efek farmakologis obat, termasuk diantaranya reaksi alergi obat. Reaksi alergi obat pada kulit disebut erupsi alergi obat. Erupsi obat alergik atau adverse cutaneous drug eruption adalah reaksi hipersensitivitas terhadap obat dengan manifestasi pada kulit yang dapat disertai maupun tidak keterlibatan mukosa. Erupsi obat dapat terjadi akibat efek samping pemakaian obat. Erupsi obat dapat terjadi dari erupsi ringan sampai erupsi berat yang dapat menyebabkan kematian. Obat makin lama makin banyak digunakan oleh masyarakat, sehingga reaksi terhadap obat juga meningkat yaitu reaksi simpang obat (adverse drug reaction). Reaksi simpang terhadap obat atau produk diagnostik merupakan kasus yang sering ditemukan dokter dalam tatalaksana pasien sehari-hari. Selain obat yang diresepkan oleh dokter, obat yang dijual bebas, termasuk herbal

1

dan suplemen, serta obat topikal dapat pula menyebabkan reaksi simpang ringan hingga mengancam jiwa. Terdapat dua jenis reaksi simpang obat, yaitu reaksi tipe A yang dapat diprediksi karena sifat farmakologik obatnya, dan tipe B yaitu reaksi yang tidak dapat diprediksi dan terjadi pada populasi tertentu, misalnya idiosinkrasi dan reaksi hipersensitifitas. Salah satu reaksi simpang obat adalah erupsi obat alergik (EOA) dengan manifestasi klinis yang bervariasi. Dewasa ini, angka kejadian erupsi obat alergik meningkat, disebabkan konsumsi obat meningkat pada masyarakat, praktik polifarmasi, serta kondisi imunokompromais. Insiden EOA sekitar 6-10% dari keseluruhan reaksi simpang obat yang dilaporkan 1.2 Tujuan 1.2.1 Untuk

mengetahui

gambaran

mengenai

Drug

Eruption

dan

penatalaksananya kepada penulis dan pembaca. 1.2.2 Untuk memenuhi salah satu tugas penulisan laporan kasus di SMF Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin. 1.3 Manfaat 1.3.1 Untuk menambah pengetahuan dan wawasan mengenai gambaran Drug Eruption.

2

BAB II LAPORAN KASUS

2.1 Identitas Pasien Nama

: Tn. S

Umur

: 48 Tahun

Jenis Kelamin

: Laki-laki

Pendidikan

: SLTP/Sederajat

Pekerjaan

: Wiraswasta

Suku Bangsa

: Jawa

Agama

: Islam

Status Perkawinan

: Menikah

Alamat

: Kwayuhan Timur, Kec. Kaliwungu, Kab. Kendal

Tanggal Pemeriksaan

: Kamis, 28 Februari 2019

2.2 Anamnesis Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis pada hari kamis tanggal 28 februari 2019 10.30 WIB di ruang Poli Kulit RSUD Tugurejo Semarang. 1) Keluhan Utama Kemerahan pada kedua tangan 2) Riwayat Penyakit Sekarang Tn. S 48 tahun, datang ke poliklinik Kulit Kelamin Poli Kulit RSUD Tugurejo Semarang dengan keluhan bercak-bercak kemerahan dan gatal pada kedua tangan. keluhan dirasakan sejak kurang lebih sejak 1 bulan sebelum masuk rumah sakit, kemerahan pertama kali muncul pada pergelangan tangan lalu menyebar ke lengan atas. Pasien merasa gatal bertambah ketika berkeringat, dirasakan terus menerus dan tidak berkurang walaupun telah diberikan bedak untuk mengurangi rasa gatal. keluhan disertai kulit bersisik di kedua tangan sejak satu minggu sebelum datang rumah sakit. Keluhan demam, mual-muntah disangkal pasien, ini merupakan kali pertama merasakan keluhan seperti ini, pasien mengaku

3

sedang dalam pengobatan penyakit stroke, sejak kurang lebih 8 bulan sebelum masuk rumah sakit. Pasien mengaku mempunyai riwayat penyakit, darah tinggi, gula. 3) Riwayat Penyakit Dahulu Pasien mengaku tidak pernah mengalami keluhan yang sama seperti ini sebelumnya. Tidak ada riwayat asma maupun alergi terhadap makanan, obat-obatan, dan debu. Pasien mengaku sedang menderita penyakit stroke non hemorage sejak 8 bulan yang lalu, dan masih dalam pengobatan. 4) Riwayat Keluarga Tidak ada yang mengalami keluhan yang sama 5) Riwayat Sosial Sehari-hari pasien bekerja sebagai wiraswasta, sekarang sedang konsumsi obat untuk stroke. 6) Riwayat Pengobatan Sudah pernah diobati dengan salep, namun keluhan tidak berkurang sama sekali. 2.3 Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan fisik dilakukan pada tanggal 28 februari 2019 pukul 10.30 WIB di ruang Poli Kulit RSUD Tugurejo Semarang. a) Status Generalis Keadaan umum

: Baik

Kesadaran

: Compos mentis (GCS 15: E4V5M6)

Tanda vital Tekanan Darah

: 170/110

Nadi

: 94 x /menit, irama reguler, isi cukup

Pernapasan

: 22 x / menit

Suhu

: 36.6℃

b) Status antropometri Berat Badan

: 58 kg

Tinggi Badan

: 165 cm

4

c) Status internis Kepala

Mata Telinga Hidung Mulut Leher Thoraks

Abdomen

Ekstremitas

Normocephal, tidak ada tanda trauma atau benjolan. Warna rambut mulai memutih, distribusi merata, tidak mudah dicabut dan tidak ada kelainan kulit kepala. Konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-, refleks cahaya +/+, diameter pupil 3 mm/ 3 mm Bentuk normal, sekret-/-, tidak ada kelainan kulit. Deviasi septum -/-, sekret -/-, epistaksis -/-. Bibir tampak normal, sianosis -, dan mukosa mulut basah. Tidak tampak adanya luka maupun benjolan, pembesaran kelenjar getah bening-/- pembesaran kelenjar tiroid-. Inspeksi: Dada terlihat simetris kanan dan kiri, pergerakan dinding dada terlihat simetris kanan dan kiri, tidak ada yang tertinggal, tidak terdapat retraksi atau penggunaan otot pernapasan tambahan. Pulsasi ichtus kordis tidak terlihat. Terdapat kelainan kulit (lihat status dermatologis) Palpasi: Tidak terdapat nyeri tekan, ekspansi pernapasan simetri kanan dan kiri, fremitus taktil sama kuat kanan dan kiri. Ichtus kordis teraba. Perkusi: Sonor pada seluruh lapang paru, batas paru-hepar di ICS VI, batas kanan jantung di ICS IV linea parasternalis dextra, apeks jantung di ICS VI linea aksilaris anterior sinistra, dan pinggang jantung di ICS IV parasternalis sinistra. Auskultasi: Paru : Vesikuler +/+, Ronki -/-, Wheezing -/-. Jantung : Bunyi jantung I-II reguler, Murmur (-). Gallop (-). Inspeksi: Supel, turgor baik, dinding abdomen simetris, tidak terlihat penonjolan massa dan terdapat kelainan kulit (lihat status dermatologis) Auskultasi : Bising Usus normal 12x/menit Perkusi : Timpani seluruh lapang perut, asites (-) Palpasi : Nyeri tekan (-), Hepar dan lien tidak teraba. Superior:

5

o Akral hangat +/+, edema -/-. Oedem (-) o o o o

Deformitas (-) Kelainan sendi (-) Kelainan kulit (+) sesuai status dermatologikus Kelainan kuku (-)

Inferior: o o o o

Akral hangat +/+, edema -/-. Oedem (-) Deformitas (-) Kelainan kulit (-) sesuai status dermatologikus Kelainan kuku (-)

d) Status venerology Tidak dilakukan e) Status Dermatologis Insfeksi: 1.

Lokasi

: Ektremitas superior dextra dan sinistra.

2.

UKK

: Makula eritematosa, ditutupi skuama putih selapis,

tidak berminyak, dengan penyebaran generalisata.

6

Gambar 1. Makula eritematosa, pada ektremitas superior dextra dan sinistra

Gambar 2. Makula eritematosan dengan squama Insfeksi: 1. Lokasi

: Regio Dorsum Manus dextra, sinistra

2. UKK

: Papul Eritematosa

7

Gambar 3. Papul eritematosa, pada regio Dorsum Manus

Gambar 4 papul, ertitematosa 2.4 Pemeriksaan Penunjang Tidak dilakukan 2.5 Resume Tn. S 48 tahun, datang ke poliklinik Kulit Kelamin Poli Kulit RSUD Tugurejo Semarang dengan keluhan bercak-bercak kemerahan dan gatal pada kedua tangan. keluhan dirasakan sejak kurang lebih sejak 1 bulan sebelum masuk rumah sakit, kemerahan pertama kali muncul pada pergelangan tangan lalu menyebar ke lengan atas. Pasien merasa gatal bertambah ketika berkeringat, dirasakan terus menerus dan tidak berkurang walaupun telah diberikan bedak untuk mengurangi rasa gatal. keluhan disertai kulit bersisik di kedua tangan sejak satu minggu sebelum datang rumah sakit. Keluhan demam, mual-muntah disangkal pasien, ini merupakan kali pertama merasakan keluhan seperti ini, pasien mengaku sedang dalam pengobatan

8

penyakit stroke, sejak kurang lebih 8 bulan sebelum masuk rumah sakit. Pasien mengaku mempunyai riwayat penyakit, darah tinggi, gula. Pada hasil pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum bia, kesadaran Compos mentis, tekanan darah 170/110, Nadi 94 x/menit, respirasi 22x/menit, suhu 36,6. Status dermatologikus dengan distribusi universal, tampak lesi multipel kering, dengan efloresensi makula eritema, urtikaria, eksantema morbiliformis, Makula eritematosa, ditutupi skuama putih selapis, tidak berminyak, dengan penyebaran generalisata. 2.6 Diagnosis banding 1.

Drug Eruption

2.

Dermatitis Atopik

3.

Dermatitis Kontak Alergi

2.7 Usulan Pemeriksaan Penunjang 1.

Pemeriksaan laboratorium darah lengkap

2.

Patch test/ uji tempel

2.8 Penatalaksanaan Langkah pertama: menghentikan obat penyebab dan yang bereaksi silang 1) Medikamentosa A. Terapi sistemik -

Kortikosteroid Methylprednisolone

-

Antihistamin

B. Terapi topical -

Hydrocortison cream 2.5%

2) Non Medikamentosa Umum (Komunikasi, Informasi, dan Edukasi) : -

Menerangkan

kepada

pasien

mengenai

penyakit

dan

penatalaksanaannya -

Menghentikan konsumsi obat yang dicurigai sebagai penyebabnya

-

Memberikan pengertian kepada penderita bahwa pengobatan untuk penyakitnya membutuhkan waktu yang cukup lama, diharapkan pasien mau bersabar

9

-

Menganjurkan agar melakukan pengobatan secara teratur dan disiplin

-

Menjelaskan kepada pasien tentang penularan penyakitnya

-

Menjelaskan kepada pasien tentang risiko yang mungkin terjadi

-

Monitoring keadaan umum pasien

-

Memberikan motivasi kepada pasien

2.9 Prognosis Que ad Vitam

: ad bonam

Que ad Functionam

: ad bonam

Que ad Sanationam

: ad bonam

10

BAB III TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Definisi Erupsi Obat alergik disebut juga adverse cutaneous drug eruption adalah reaksi hipersensitivitas terhadap obat dengan manifestasi pada kulit yang dapat disertai maupun tidak keterlibatan mukosa. Erupsi obat dapat terjadi akibat efek samping pemakaian obat. Erupsi obat dapat terjadi dari erupsi ringan sampai erupsi berat yang dapat menyebabkan kematian. Obat makin lama makin banyak digunakan oleh masyarakat, sehingga reaksi terhadap obat juga meningkat yaitu reaksi simpang obat (adverse drug reaction). Reaksi simpang terhadap obat atau produk diagnostik merupakan kasus yang sering ditemukan dokter dalam tatalaksana pasien sehari-hari. Selain obat yang diresepkan oleh dokter, obat yang dijual bebas, termasuk herbal dan suplemen, serta obat topikal dapat pula menyebabkan reaksi simpang ringan hingga mengancam jiwa. Terdapat dua jenis tipe reaksi simpang obat, yaitu tipe reaksi A yang dapat diprediksi karena sifat fakmakologik obatnya, dan tipe B yaitu reaksi yang tidak dapat diprediksi dan terjadi pada populasi tertentu, misalnya idiosinkrasi dan reaksi hipersensitivitas. Reaksi kulit terhadap obat dapat terjadi melalui mekanisme immunologik atau non-imunologik. Yang dimaksud dengan erupsi obat alergik ialah alergi terhadap obat yang terjadi melalui mekanisme imunologik. Hal ini terjadi pada

pemberian

obat

kepada

penderita

yang

sudah

mempunyai

hipersensitivitas terhadap obat tersebut. Biasanya obat itu berperan pada mulanya sebagai antigen yang tidak lengkap atau hapten disebabkan oleh berat molekulnya rendah. Terjadinya hipersensitivitas karena obat harus dimetabolisme terlebih dahulu menjadi produk secara kimia sifatnya reaktif.

11

3.2 Epidemiologi Insidens erupsi obat alergi mencapai 2,66% dari total 27.726 pasien dermatologi selama setahun. Erupsi obat alergi terjadi pada 2-3% pasien yang dirawat di rumah sakit, tetapi hanya 2% yang berakibat fatal. Insidens erupsi obat alergi pada negara berkembang berkisar antara 1% – 3%. Di India, kasus erupsi obat alergi mencapai 2-5%. Erupsi obat alergi terjadi 2-3% dari seluruh reaksi silang obat. Hampir 45% dari seluruh pasien dengan erupsi di kulit merupakan kasus erupsi obat alergi. Insidens erupsi obat alergi lebih tinggi pada wanita dibandingkan pria. Lebih dari 50% kasus Sindrom Steven Johnson dan hampir 90% penderita toxic epidermal necrolysis terkait dengan penggunaan obat. 3.3 Etiopatofisiologi Reaksi Simpang Obat (RSO) didefinisikan oleh WHO sebagai respon terhadap obat yang berbahaya dan tidak diharapkan, serta terjadi pada dosis normal pada penggunaan sebagai profilaksis, diagnosis atau terapi penyakit, atau untuk modifikasi fungsi fisiologis. Rawlin dan Thompson membagi RSO menjadi 2 kelompok yaitu tipe A dan tipe B. Reaksi tipe A adalah reaksi yang dapat diprediksi, lazim terjadi, bergantung pada dosis, berhubungan dengan farmakologi obat, dan dapat terjadi pada tiap individu. Reaksi tipe A terjadi sekitar 80% dari kasus- kasus RSO. Reaksi tipe B merupakan reaksi yang tidak dapat diprediksi, tidak lazim terjadi, tidak bergantung pada dosis, dan sering tidak berhubungan dengan farmakologi obat, serta hanya terjadi pada individu yang rentan. Reaksi ini meliputi intoleransi, reaksi idiosinkrasi, reaksi alergi (hipersensitivitas), dan pseudoalergi. Sekitar 25 - 30% reaksi tipe B merupakan reaksi obat alergik. Belakangan ditambahkan beberapa tipe reaksi, yaitu reaksi yang berhubungan dengan dosis dan waktu (tipe C), reaksi lambat (tipe D), efek withdrawal (tipe E) dan kegagalan terapi yang tidk diharapkan (tipe F). Reaksi tipe C tidak Iazim terjadi, dan berhubungan dengan dosis kumulatif, misalnya pada ketergantungan benzodiazepin, nefropati analgetik serta penekanan aksis hypothalamic - pituitary - adrenal oleh kortikosteroid. Tipe D dapat dibagi menjadi 2 reaksi yaitu reaksi yang berhubungan dengan waktu

12

(yang kemudian disebut sebagai tipe D), dan efek withdrawal (tipe E). Reaksi tipe D tidak lazim terjadi, biasanya berhubungan dengan dosis, dan terjadi atau kadang - kadang terlihat setelah penggunaan obat, misalnya efek karsinogenik dan teratogenik dari obat. Sedangkan reaksi tipe E tidak lazim terjadi, dan timbul segera setelah penghentian obat, misalnya pada opiate withdrawal syndrome. Reaksi tipe F lazim terjadi, berhubungan dengan dosis, dan seringkali disebabkan oleh interaksi obat, misalnya pemberian dosis kontrasepsi oral yang tidak adekuat, khususnya pada pemakaian penginduksi enzim spesifik. Obat Alergik (ROA) adalah salah satu bentuk RSO yang dihasilkan dari respons imunologik terhadap obat atau metabolitnya. ROA merupakan bagian dari RSO (reaksi tipe B).6 ROA memiliki beberapa karakteristik klinis tertentu, yaitu: 1. Reaksi alergi jarang pada pemberian obat pertama kali. 2. Reaksi alergi terbatas pada sejumlah sindroma tertentu. 3. Umumnya reaksi alergi terjadi pada populasi kecil. 4. Adanya kecendrungan pasien bereaksi terhadap obat pada dosis jauh di bawah kisaran dosis terapeutik. 5. Adanya eosinofilia pada darah atau jaringan mendukung keterlibatan proses alergi. 6. Reaksi alergi biasanya hilang setelah penghentian obat. Beberapa faktor risiko dapat mempengaruhi respons imun terhadap obat, yaitu faktor yang berhubungan dengan obat dan pengobatan (sifat obat, dan pajanan obat), serta faktor yang berhubungan dengan pasien (usia, genetik, reaksi obat sebelumnya, penyakit dan pengobatan medis yang menyertai).6 1. Sifat Obat Obat dengan berat molekul besar (makromolekul) misalnya antiserum, streptokinase, L-asparaginase dan insulin, merupakan antigen kompleks yang potensial untuk menyebabkan sensitisasi pada pasien. Obat- obatan dengan berat molekul rendah (dibawah 1000 Dalton) merupakan imunogen lemah atau tidak imunogenik.6

13

2. Pajanan Obat Pemberian obat secara topikal umumnya memiliki risiko terbesar untuk tersensitisasi, sedangkan pemberian oral memiliki risiko paling kecil untuk tersensitisasi. Aplikasi topikal menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe

lambat.

Pemberian

oral

atau

nasal

menstimulasi

produksi

imunoglobulin spesifik obat, yaitu IgA dan IgE, kadang – kadang IgM. Dosis dan lamanya pengobatan berperan pada perkembangan respons imunologik spesifik obat, contohnya adalah pada lupus eritematosus yang diinduksi obat, dosis dan lamanya pengobatan hidralazin merupakan faktor penting, demikian juga pada anemia hemolitik yang diinduksi penisilin 6,7 Dosis

profilaksis

tunggal

antibiotika

kurang

mensensitisasi

dibandingkan dengan pengobatan parenteral lama dengan dosis tinggi. Frekuensi pemberian obat dapat berdampak sensitisasi. Kerapnya pemberian obat lebih memicu reaksi alergi, interval pengobatan makin lama, maka reaksi alergi lebih jarang terjadi.7 3. Usia Secara umum reaksi obat alergik dapa terjadi pada seluruh golongan, namun umumnya anak - anak kurang tersensitisasi oleh obat dibandingkan dengan dewasa, walaupun demikian ROA yang serius dapat juga terjadi pada anak-anak. Bayi dan usia lanjut jarang mengalami alergi obat dan kalau pun terjadi lebih ringan, hal tersebut dikaitkan dengan imaturitas atau involusi sistem imun. 7.8 4. Genetik Gen HLA spesifik dihubungkan dengan risiko terjadinya alergi obat. Kemungkinan alergi obat familial pernah dilaporkan. Di antara individu dewasa yang orang tuanya mengalami reaksi alergi terhadap antibiotika, 25,6 % mengalami reaksi alergi terhadap agen antimikroba; sedangkan individu dengan orang tua tanpa reaksi alergi, hanya 1,7% mengalami reaksi alergi. 6,7

14

5. Reaksi Obat Sebelumnya Faktor risiko terpenting adalah adanya riwayat reaksi terhadap obat sebelumnya. Hipersensitivitas terhadap obat tidak sama dalam jangka waktu tidak terbatas. Sensitisasi silang antara obat dapat terjadi, misalnya antara

berbagai

hipersensitivitas

kelompok memiliki

sulfonamid. peningkatan

Pasien tendensi

dengan untuk

riwayat terjadinya

sensitivitas terhadap obat baru, contohnya pasien dengan alergi penisilin memiliki peningkatan risiko 10 kali untuk terjadinya alergi terhadap antimikroba non-β-laktam. Reaksinya tidak terbatas pada hipersensitivitas tipe cepat.7 6. Penyakit medis yang menyertai Pasien dengan penyakit medis yang menyertai yang mempengaruhi sistem imun seperti HIV-AIDS meningkatkan resiko dan frekuensi terjadinya ROA.5 Hal tersebut terjadi akibat tertekannya sistem imun sehingga tubuh mengalami defisiensi limfosit T supresor yang mengatur sintesis antibodi IgE.2 Contoh lain adalah ruam makulopapular setelah pemberian ampisilin yang lebih sering terjadi selama infeksi virus EpsteinBarr dan di antara pasien dengan leukemia limfatik. 6,7 7. Pengobatan medis yang menyertai Beberapa pengobatan dapat mengubah risiko dan beratnya reaksi terhadap obat.7 A. Erupsi Obat Alergik Erupsi obat alergik atau allergic drug eruption ialah reaksi alergik pada kulit atau daerah mukokutan yang terjadi sebagai akibat pemberian obat yang biasanya sistemik. 1,6 Mekanisme terjadinya erupsi obat dapat secara non imunologik dan imunologik (alergik), tetapi sebagian besar merupakan reaksi imunologik.1 Erupsi obat dengan mekanisme imunologik disebut erupsi obat alergik (EOA).1,6 a. Mekanisme imunologik EOA terjadi pada pemberian obat kepada penderita yang sudah mempunyai

hipersensitivitas

terhadap

obat

tersebut.

Obat

dan

15

metabolitnya berfungsi sebagai hapten yang menginduksi antibody humoral.

Terjadinya

reaksi

hipersensitivitas

karena

obat

harus

dimetabolisme terlebih dahulu menjadi produk yang secara kimia sifatnya reakif. Untuk memudahkan pemahaman mengenai terjadinya erupsi obat alergik dilakukan klasifikasi secara imunopatogenesis, yaitu: 6 1. Reaksi yang diperantarai oleh antibodi: a) IgE : eritema, urtikaria, angioedema. b) IgG : purpura, vaskulitis, erupsi morbiliformis. 2. Reaksi yang diperantarai oleh sel : fotosensitivitas 3. Reaksi yang kemungkinan didasari mekanisme imunologik a) Eksantema fikstum /fixed drug eruption b) Eritema multifomis (Stevens Johnson Syndrome) c) Nekrolisis epidermal toksik 4. Reaksi tersangka alergi : reaksi Jarisch- Herxheimer. Reaksi alergik yang secara (immediate), terjadi dalam beberappa menit dan ditandai dengan urtikaria, hipotensi dan shok. Bila reaksi itu membahayakan jiwa maka disebut syok anafilaksis. Reaksi yang cepat (accelerated) timbul dari 1 sampai 72 jam sesudah pemberian obat dan kebanyakan bermanifestasi sebagai urtikaria. Kadang-kadang berupa rash morbiliformis atau edema laring. Reaksi yang lambat (late) timbul lebih dari 3 hari. Diperkirakan reaksi jenis cepat dan lambat ini ditimbulkan oleh antibody IgG, tetapi

beberapa reaksi hemolitik dan exanthema

dihubungkan dengan antibody IgM.6 Aspek imnunopatogenesisnya adalah: 1. Metabolisme Obat dan Hipotesis Hapten Suatu subtansi dikatakan merupakan imunogen lemah atau tidak imunogenik bila berat molekul kurang dari 4000 Dalton.2 Sebagian besar obat-obatan merupakan senyawa kimia organik sederhana dengan berat molekul rendah, sehingga merupakan imunogen lemah atau bahkan tidak imunogenik.5,6 Obat-obatan dengan berat molekul rendah dapat menjadi imunogenik bila obat atau metabolit obat berikatan dengan karier makromolekul, seringkali melalui ikatan

16

kovalen, membentuk kompleks hapten-karier, sehingga pengolahan antigen menjadi efektif.7,8 Untungnya, sebagian besar obat merupakan molekul yang stabil dan memiliki sedikit kemampuan atau tidak mampu (tidak cukup reaktif) membentuk ikatan kovalen dengan komponen jaringan. Hal ini menerangkan rendahnya insidens alergi obat.7 Ternyata terdapat beberapa obat dengan BM rendah (misalnya polimiksin), yang bersifat irnunogenik tanpa konjugasi dengan jaringan.

Meski

mekanisme

yang

pasti

belum

diketahui,

imunogenesitas suatu obat mungkin berhubungan dengan kemampuan obat membentuk polimer rantai panjang. Sedangkan obat-obatan dengan berat molekul tinggi merupakan antigen lengkap yang dapat menginduksi respons imun dan memicu reaksi hipersensitivitas.6,7 Kecenderungan obat tertentu untuk menimbulkan sensitisasi adalah karena obat tersebut memang cenderung membentuk metabolit yang sangat reaktif. Pemahaman baru tentang pengenalan obat oleh sistem imun berdasarkan pada model hapten. Potensi obat untuk menjadi alergenik sangat bergantung pada struktur kimia obat. Peningkatan ukuran molekul

dan

kompleksitas

berhubungan

dengan

peningkatan

kemampuan untuk memicu respons imun.6,7 Umumnya

obat

-

obatan

yang

menyebabkan

reaksi

hipersensitivitas harus mengalami bioaktivasi atau metabolisme menjadi produk kimia yang reaktif. Umumnya metabolisme obat dianggap sebagai proses detoksifikasi, obat yang sebelumnya nonpolar dan larut lemak menjadi lebih polar dan hidrofilik sehingga mudah dieksresi. Jika metabolit tidak mengalami detoksifikasi yang adekuat, dapat menyebabkan toksisitas langsung pada sel atau hipersensitivitas yang diperantarai imun.7 Metabolisme obat dibagi menjadi 2 langkah, yaitu reaksi fase I dan reaksi fase II. Reaksi fase I adalah oksidasi - reduksi atau reaksi hidrolisis, dan reaksi fase II adalah reaksi konjugasi yang menghasilkan pembentukan senyawa inaktif yang mudah diekskresi.1,6

17

Reaksi oksidasi membutuhkan isoenzim sitokrom P450, prostaglandin sintetase, dan bermacam- macam peroksidase jaringan. Reaksi fase II diperantarai oleh berbagai enzim antara lain epoksida hidrolase, glutation S-transferase (GST), dan N-asetyl transferase (NAT).1 Untuk dapat menimbulkan reaksi imunologik hapten harus bergabung dengan protein pembawa (carrier) yang ada di dalam sirkulasi atau protein jaringan hospes. Carrier diperlukan oleh obat atau metabolitnya untuk merangsang sel limfosit T agar merangsang sel limfosit B membentuk antibodi terhadap obat atau metabolitnya.8 Pada umumnya metabolit reaktif yang dibentuk pada fase I seringkali mengalami detoksifikasi dan eliminasi secara cepat.1,6 Metabolit reaktif obat yang tidak didetoksifikasi dapat mengikat protein atau asam nukleat, sehingga menyebabkan nekrosis sel atau menyebabkan perubahan produk gen. Reaksi tersebut merupakan efek toksik langsung. Hal ini terjadi pada metabolit reaktif sulfonamid. Kemungkinan lain, metabolit reaktif dapat bertindak sebagai hapten yang terikat secara kovalen dengan makromolekul yaitu protein atau membran permukaan sel. Pengikatan tersebut membentuk imunogen besar dan multivalen yang dapat menginisiasi respon imun. Respon imun dapat langsung terhadap obat atau rnetabolitnya, dapat pula terhadap determinan antigen baru (neoantigen) yang terbentuk melalui kombinasi obat dengan protein, misalnya trombositopelia karena kuinin, terbentuk antibodi IgG yang spesifik untuk kuinin yang terikat pada permukaan trombosit. Kemungkinan lain, ikatan antara obat dan protein jaringan (komponen jaringan lain) dapat mengubah tempat pengikatan obat pada molekul protein jauh dari tempat pengikatan yang sesungguhnya. Perubahan pada protein jaringan ini kemudian dapat dikenali sebagai benda asing oleh sistem imun. Mekanisme ini terjadi pada drug-induced autoimmunity. Contoh fenomena ini adalah sindrom lupus eritematosus sistemik yang diinduksi hidralazin.5

18

Antigen harus memiliki multipel combining site (multivalen) sehingga dapat memicu reaksi hipersensitivitas. Hal ini menyebabkan bridging molekul antibodi IgE dan lgG atau reseptor antigen pada limfosit. Konjugasi obat atau metabolitnya (hapten) dengan karier makromolekul membentuk hapten-karier yang multivalen yang penting untuk inisiasi respon imun dan elisitasi reaksi hipersensitivitas. Ligan yang univalen (obat atau metabolitnya) dalam jumlah besar dapat menghambat respon imun melalui kompetisi dengan konjugat multivalen pada reseptor yang sama, oleh karena itu konsentrasi menentukan frekuensi, berat dan angka kejadian ROA. 6,8 Kulit merupakan organ yang aktif bermetabolisme, mengandung enzim untuk memetabolisme obat baik fase I maupun II. Isoenzim sitokrom P450 multiple berada di kulit. Netrofil, monosit dan keratinosit memiliki enzim yang potensial yang dapat mengoksidasi obat menjadi metabolit reaktif. Kulit juga merupakan organ imunologis yang mengandung sel Langerhans dan sel dendritik pada pathogenesis ROA. Kombinasi aktivitas metabolik mungkin dapat menerangkan mengapa kulit merupakan organ yang paling sering mengalami ROA.6 2. Pengenalan Obat Oleh Sel T Berbeda dengan sel B, sel T dapat mengenali antigen peptida hanya melalui molekul major histocornpatibitity complex (MHC). Antigen eksogen misalnya protein ditangkap oleh antigen presenting cell (APC), diproses melalui perencanaan enzimatik menjadi peptida kecil, yang kemudian dipresentasikan oleh molekul MHC kelas II kepada sel T CD4+. Sedangkan peptida pendek dari antigen endogen dipresentasikan molekul MHC kelas I kepada se T CD 8+. Sel T tidak hanya mengenal suatu peptida tetapi juga antigen nonpeptida baik alami atau sintetik, antara lain lemak, fenil-pirofosfat, glukosa, logam, atau obat-obatan yang dipresentasikan melalui MHC atau molekul sepert MHC kepada sel T.8

19

Mekanisme imunologik erupsi obat yang terpenting adalah presentasi obat oleh APC, yaitu sel dedritik termasuk sel Langerhans kulit, kepada limfosit T. Hal tersebut merupakan interaksi yang kompleks antara ikatan haptenated peptide pada molekul MHC pada APC dan reseptor sel T. Pengikatan ini dimodulasi oleh beberapa faktor termasuk sitokin, haptenated peptide itu sendiri dan molekul adhesi antara sel T dan APC. Beberapa kemungkinan presentasi obat oleh APC telah dikemukakan sebagai berikut :8 a) Metabolisme obat ekstra hepatik (aktivasi intraseluler) Kebanyakan obat didetoksifikasi intraseluler melalui isoenzim sitokrom P450. Metabolisme obat melibatkan reaktive intermediate yang dapat mengikat protein secara langsung. Jalan ini dialami sulfametoksasol,

dimana

metabolit

reaktif

yang

terbentuk

(hidroksilamin dan nitroso supranetoksasol) mengikat protein secara kovalen. b) Aktivasi ekstraseluler Aktivasi ekstraseluler dapat terjadi secara spontan atau melalui metabolisme dependent myeloperoksidase. Reaktive intermediate dapat mengikat secara langsung kompleks peptida - MHC atau mengikat protein ekstraseluler. Ikatan protein obat tersebut akan ditangkap APC dan diolah menjadi peptida - obat, yang kemudian dipresentasikan molekul MHC pada permukaan. c) Tidak ada aktivasi Jalan ini melibatkan pengikatan obat secara langsung, dan agak labil kepada kompleks peptida - MHC. Obat ini dapat mengikat MHC, peptida atau keduanya. Tidak dibutuhkan pengikatan dengan protein sebelumnya, ambilan (uptake) maupun pengolahan, serta metabolisme untuk presentasi.8 Diferensiasi subset Th bergantung pada konsentrasi antigen, sifat APC, dan faktor lingkungan mikro (misalnya hormon). Keberadaan IL-4 menyebabkan polarisasi kuat kepada Th2, sedangkan diferensiasi Th1 diinduksi oleh IFN-γ atau TGF - β, terutama tanpa keberadaaan

20

IL-4. Th2 menstimulasi produksi sel mast, eosinofil dan antibodi IgE. IL-4 bertanggung jawab pada produksi IgE, IL-5 untuk eosinofilia, dan kombinasi IL-3, IL-4,dan IL-10 untuk produksi sel mast. Sedangkan sitokin yang dihasilkan Th1 memperantarai respons imun yang berbeda-beda. Aktivasi makrofag oleh IFN-γ, dan lebih luas lagi oleh TNF dan granulocyte macrophage colony stimulating factor. Th1 juga memperantarai respon imflamasi seluler kompleks yang dikenal sebagai hipersensitivitas tipe lambat, dan dengan sekresi IFNγ dan TNF, juga berefek sitotoksik langsung ke berbagai tipe sel. Jadi, tiap subset Th menginduksi dan meregulasi kumpulan fungsi efektor yang saling berkaitan yang bekerja pada antigen dan patogen yang spesifik. Aktivasi ThI menyebabkan produksi sitokin sepertiI IL-2 dan IFN-γ, yang mengakibatkan aktivasi sel T sitotoksik, serta menyebabkan reaksi seperti dermatitis kontak, eksim obat, NET, atau erupsi mortibiliformis. Aktivasi Th2 menyebabkan produksi IL-4, IL5, IL-13, dan produksi antibodi IgE yang mengakibatkan reaksi klinis seperti urtikaria anafilaksis.8 3. Klasifikasi Reaksi Alergik Reaksi Obat Alergik dibagi dalam 4 tipe reaksi hipersensitivitas oleh Coombs dan Gell yaitu Tipe I (Reaksi hipersensitivitas cepat/reaksi anafilaktik), tipe II (Reaksi sitotoksik), tipe III (Reaksi komplek imun), dan tipe IV (Reaksi hipersensitivitas tipe lambat). Reaksi tipe I - III diperantarai oleh antibodi spesifik obat, sementara reaksi tipe IV oleh limfosit T spesifik obat. ROA pada beberapa keadaan dapat sesuai dengan salah satu dari keempat tipe tersebut, namun pada umumnya sulit untuk mengklasifikasikan ROA ini ke dalam sistem Coombs dan Gell, karena mekanisme yang bertanggung jawab untuk elisitasi belum diketahui.1,8 a) Tipe I (Reaksi Anafilaktik) Pajanan pertama kali terhadap obat tidak menimbulkan reaksi yang merugikan, tetapi pajanan selanjutnya dapat menimbulkan reaksi. Terjadi jika obat atau metabolitnya mengikat sekurang - kurangnya 2 molekul IgE yang terikat pada permukaan sel mast atau basophil sehingga

21

mengakibatkan degranulasi sel mast dan basofil serta pelepasan histamin dan berbagai mediator lain (misal serotonin, bradikinin, heparin, SRSA leukotrien dan prostaglandin) dari sel. Gambaran klinis yang khas tipe I adalah urtikaria dengan atau tanpa angioederma. Selain itu juga bisa terjadi spasme bronkus, muntah dan yang paling bahaya adalah reaksi anafilaktik. Penisilin merupakan penyebab utama erupsi obat tipe cepat yang IgE dependent.3,6-8 b) Tipe II (Reaksi sitotoksik) Tipe II terjadi jika antibodi IgG atau IgM mengikat antigen di permukaan sel. Hal ini menyebabkan efek sitolitik atau sitotoksik oleh sel efektor

yang

diperantarai

komplemen.

Gabungan

obat-antibodi-

komplemen terfiksasi pada sel sasaran. Sebagai sel sasaran ialah eritrosit, leukosit, trombosit yang mengakibatkan lisis sel sehingga reaksi tipe ini disebut juga reaksi sitolisis atau sitotoksik.3,6,8 Reaksi sitotoksik memiliki 3 kemungkinan mekanisme; pertama, obat terikat secara kovalen pada membran sel dan antibodi kemudian mengikat obat dan mengaktivasi komplemen (misalnya penisilin); kedua kompleks obat-antibodi yang terbentuk, terikat pada permukaan sel dan mengaktivasi komplemen (rnisalnya sefalosporin); ketiga obat yang terikat pada permukaan sel menginduksi respons imun yang mengikat langsung antigen spesifik

jaringan

(misalnya

α-methyl-dopa).

Contoh

obat

yang

menimbulkan reaksi ini adalah sedormid (sedatif) yang dapat mengikat trombosit dan imunoglobulin yang terbentuk terhadapnya sehingga menghancurkan trombosit (trombositopenia) dan menimbulkan pulpura. Kloramfenikol dapat mengikat sel darah putih dan mengakibatkan agranulositosis. Fenasetin, klorpromazin, penisilin, kina, dan sulfonamid dapat mengikat sel darah merah, mengakibatkan anemia hemolitik. 6 c) Tipe III (Reaksi Kompleks Imun) Tipe III ditandai oleh pembentukan kompleks antigen-antibodi (antibodi IgG atau IgM) dalam sirkulasi darah atau jaringan dan mengaktifkan komplemen.1 Komplemen yang teraktivasi kemudian melepaskan berbagai mediator diantaranya enzim-enzim yang dapat

22

merusak jaringan seperti macrophage chermotatic factor.

1,5

Makrofag

dikerahkan ketempat tersebut melepas enzim yang dapat merusak jaringan. Komplemen juga membentuk C3a dan C5a (anafilatoksin) yang merangsang sel mast dan basofil rnelepas granul. Komplemen juga dapat menimbulkan lisis sel bila kompleks diendapkan di jaringan.6 Mekanisme tipe III diduga terlibat pada banyak erupsi obat, meliputi urtikaria, vaskulitis dan eritema multiforme. Lesi urtikaria dapal juga terlihat pada awal reaksi yang diikuti demam, limfadenopati, dan artralgia.1 Reaksi ini berhubungan dengan kompleks imun dalam sirkulasi terdiri atas antibodi IgG dan obat, yang mengaktifkan kaskade komplemen, menyebabkan pembentukan anafilatoksin (C3a, C5a).8 Selanjutnya terjadi pelepasan histamin dan mediator lain dari sel mas dan basofil. Reaksi ini lebih sering disebabkan oleh sulfonamid dan penisilin. Pada vaskulitis yang diinduksi obat, reaksi diperkirakan disebabkan oleh deposit kompleks imun obat dan IgG pada endotel pembuluh kulit kecil yang menyebabkan peradangan yang diperantarai komplemen. Pada eritema multiforme, peradangan yang diperantarai kompleks imun mungkin berperan atau metabolisme yang diperantarai IgE yang bertanggung jawab, melibatkan elemen reaksi fase lambat.6 d) Tipe IV (Reaksi Alergi Seluler Tipe Lambat) Reaksi ini tidak melibatkan immunoglobulin, melainkan limfosit, APC dan sel Langerhans yang mempresentasikan antigen kepada limfosit.1 Limfosit T yang sudah tersensitisasi mengenali antigen dan 12-48 jam setelah pajanan terhadap antigen menyebabkan pembebasan serangkaian limfokin, antara lain marcrophage inhibilition factor dan macrophage activation factor. Makrofag yang diaktifikan dapat menimbulkan kerusakan jaringan. Contoh klasiknya adalah dermatitis kontak alergik.1 Erupsi eksematosa, eritroderma, dan fotoalergik merupakan reaksi tipe IV. Reaksi tipe ini melibatkan limfosit efektor yang spesifik yang juga terlibat pada purpura, sindrom Lyell’s, bulosa, likhenoid, dan erupsi obat yang menyerupai lupus. Mekanisme tipe IV bersama-sama tipe III terlibat pada erupsi makulo-papular, fixed drug eruption, dan eritema nodosum.6

23

Pada kenyataannya, reaksi-reaksi ini tidak selalu berdiri sendiri, namun dapat bersama sama. Limfosit T berperan pada inisiasi respons antibodi, dan antibodi bekerja sebagai essensial link pada beberapa reaksi yang diperantarai sel, misalnya ADCC. b. Mekanisme Non-Imunologis Reaksi “pseudo-allergik” menstimulasi reaksi alergi yang bersifat antibody dependent. Salah satu obat yang dapat menimbulkannya adalah aspirin dan kontras media. Ada teori yang menyatakan bahwa ada satu atau lebih mekanisme yang terlibat, pelepasan mediator sel mast dengan cara langsung, aktivasi langsung dari syistem komplemen, atau pengaruh langsung pada metabolisme enzim arakidonat sel.9 Efek kedua diakibatkan oleh proses farmakologik obat terhadap tubuh yang dapat menimbulkan gangguan seperti alopesia yang timbul karena penggunaan kemoterapi antikanker. Penggunaan obat-obat tertentu secara progresif ditimbun di bawah kulit, dalam jangka waktu yang lama akan mengakibatkan gangguan lain seperti hiperpigmentasi generalisata difus.9 3.4 Manifestasi Klinis ROA dapat mengenai setiap organ, seperti darah, pulmo, hepar, dan renal, tetapi yang tersering mengenai kulit (EOA).3,7 Manifestasi EOA yang tersering (erupsi morbiliformis, urtikaria, angioedema, fixed drug eruption), yang terberat (sindroma Stevens – Jhonson, nekrosis epidermal toksik), serta beberapa manifestasi lain berupa dermatitis kontak alergik, dermatitis eksfoliative, purpura, vaskulitis, reaksi fotoalergik, eritema multiformis dan eritema nodosum.1,7 A. Erupsi Makulopapular atau Morbiliformis Erupsi makulopapular atau morbiliformis atau disebut juga erupsi eksantematosa merupakan EOA yang paling sering dijumpai dan dapat diinduksi oleh hampir semua obat. Erupsi ini timbul generalisata dan simetris, dan dapat terdiri atas eritema, makula yang berkonfluens, dan/atau papul yang tersebar di wajah, telapak tangan dan kaki. Membran mukosa tidak terkena. Lesi biasanya mucul dalam 1 – 2 minggu setelah inisial terapi, tapi kadang-kadang dapat muncul setelah obat dihentikan.

24

Lesi selalu diikuti dengan gejala pruritus, dapat pula diikuti demam, edema fasial / kelopak mata, malaise, dan nyeri sendi yang biasanya hilang dalam beberapa hari sampai minggu setelah obat dihentikan. Erupsi dapat hilang tanpa penghentian obat, namun hal ini sangat jarang terjadi. Sebaliknya, ruam dapat berkembang progresif menjadi eritroderma atau dermatitis eksfoliativa dengan melanjutkan terapi.1,5,6

Gambar 1. Erupsi Eksantematosa Sumber: Revus J, Allanore AV. Drugs Reaction. In: Bolognia Dermatology. Volume One. 2nd edition. Elserve limited, Philadelphia. United States of America. 2003. p: 333-352 Tipe khusus erupsi ini adalah pustulosa eksantematosa generalisata akut (PEGA) yang ditandai dengan erupsi bulosa yang muncul mendadak diikuti malaise dan demam tinggi. Lesi kulit berupa vesikopapula, pustul, dan bula yang terjadi harnpir diseluruh tubuh. Mernbran mukosa jarang terlibat. Gambaran klinis menyerupai psoriasis pustular.1,10 Mekanisme terjadinya erupsi makulopapular yang diinduksi obat belum diketahui dengan jelas, nampaknya melibatkan lebih dari satu mekanisme, yaitu mekanisme reaksi tipe III dan tipe IV. Reaksi ini terjadi setelah beberapa hari pemberian obat dan tidak terjadi setelah pemberian dosis pertama, hal ini menunjukkan perlunya periode sensitisasi sebelum reaksi

25

terjadi. Beberapa erupsi makulopapular diperantarai oleh sel T. Baru-baru ini dilaporkan keterlibatan sel T CD8+ dalam mekanisme terjadinya erupsi obat morbiliformis dan bulosa. Keterlibatan limfosit CD8+ dalam erupsi obat dihasilkan dari bioaktivasi obat menjadi intemediate reaktif. Intemediate reaktif intraseluler ini mengikat protein sitoplasma secara kovalen, kemudian dipresentasikan oleh MHC kelas I kepada sel T CD8+.6,8 Erupsi makulopapular sering dikaitkan dengan penggunaan ampisillin, NSAID, sulfonamid, antikonvulsan, allopurinol, tetrasiklin, eritromisis, fenobarbital, dan bahkan retinoid.1,6 Penyebab utama adalah antibiotika β laktam, dan arti epilepsi. Harus diingat bahwa tidak semua eksantem morbiliformis atau makulopapular diinduksi oleh obat. Infeksi tertentu khususnya virus dapat menginduksi eksatem yang sukar dibedakan dengan yang diinduksi oleh obat. Kasus PEGA kebanyakan dihubungkan dengan penggunaan antibiotika terutama kelompok penisilin.6 a.

Urtikaria dan angioedema Urtikaria dan angioedema merupakan erupsi obat tersering kedua.

Urtikaria merupakan reaksi vascular di kulit dengan adanya oedema setempat yang pucat atau kemerahan dengan halo yang timbul mendadak dan terasa gatal serta panas. Lesi urtika biasanya hilang dalam beberapa jam, jarang lebih dari 24 jam dan secara serentak muncul lesi urtika yang baru pada tempat yang lain. Ukuran lesi urtika bervariasi antara beberapa milimeter hingga 10-20 cm. Urtikaria yang diinduksi obat seringkali diikuti demam dan gejala umum lain berupa malaise, vertigo, dan sakit kepala.3,6,8

26

Gambar 2. Urtikaria Sumber: Siregar RS. Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit. Edisi 2. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC ; 2005.

Angioedema terjadi bila pembengkakan juga terjadi pada dermis dan jaringan subkutan, ditandai dengan edema setempat yang hanya berkembang pada lokasi tertentu saja.1 Edema biasanya simetris. Daerah predileksinya adalah bibir, kelopak mata, gentalia eksterna, dan punggung tangan dan kaki.1,6 Edema pada glottis, laring dan lidah merupakan reaksi edema yang paling berat dan tanpa pertolongan pertama dapat menqakibatkan kematian akibat asfiksia. Penyebab tersering ialah penisilin, asam asetilsalisilat dan NSAID.1

27

Gambar 3. Angiooedema Sumber: Revus J, Allanore AV. Drugs Reaction. In: Bolognia Dermatology. Volume One. 2nd edition. Elserve limited, Philadelphia. United States of America. 2003

Urtikaria selain diperantarai reaksi tipe I, juga dapat merupakan bagian dari reaksi tipe III. Mekanisme terjadinya urtikaria diperantarai IgE, dan juga melalui pembentukan kompeks imun. Penyebab tersering urtikaria adalah penisillin, asam asetisalisilat, dan NSAID lain. Sebuah penelitian mengungkapkan bahwa antibiotika β-laktam (melalui mekanisme alergi) bertanggung jawab pada sepertiga kasus, dan NSAID (melalui mekanisme pseudoalergi) bertanggung jawab pada sepertiga kasus lainnya dari reaksi urtikaria yang diinduksi obat. B. Fixed Drug Eruption (FDE) FDE atau disebut juga exantema fikstum adalah satu-satunya EOA yang selalu diprovokasi oleh obat atau bahan kimia.1 Tidak ada faktor etiologi lain yang dapat mengelisitasi. FDE merupakan EOA yang sering dijumpai ketiga. Gambaran FDE berupa eritema dan vesikel berbentuk bulat atau lonjong dan biasanya numular, pada kasus yang berat dapat timbul bula. Tempat predileksi adalah di sekitar mulut, di daerah bibir dan daerah penis pada laki-laki sehingga sering disangka penyakit kelamin karena berupa

28

erosi yang kadang-kadang cukup luas disertai eritema dan rasa panas setempat.1 Lesi kemudian meninggalkan bercak hiperpigmentasi yang lama dan baru hilang bahkan sering menetap. Kelainan akan timbul berkali-kali pada tempat yang sama.11

Gambar 4. Fixed drug eruption Sumber : Revus J, Allanore AV. Drugs Reaction. In: Bolognia Dermatology. Volume One. 2nd edition. Elserve limited, Philadelphia. United States of America. 2003

Obat yang sering menyebabkan FDE ialah sulfonamide, barbiturate, trimethoprim dan analgesic. Ukuran lesi bervariasi dari beberapa milimeter hingga sentimeter. Dengan pemberian obat inisial, lesi soliter dapat terbentuk. Pada pemberian ulang obat penyebab, lesi terjadi tidak hanya pada lokasi biasanya, tapi juga pada tempat lain.1

29

Gambar 5. Fixed drug erupsi pada genitalia akibat sulfonamide Sumber : Revus J, Allanore AV. Drugs Reaction. In: Bolognia Dermatology. Volume One. 2nd edition. Elserve limited, Philadelphia. United States of America. 2003.

Mekanisme terjadinya FDE diduga melalui reaksi tipe III dan IV. Terdapat peningkatan jumlah limfosit T baik helper maupun supresor. Limfosit T helper / sitotoksik epidermis ditemukan dekat dengan keratinosit yang nekrotik.5,7 Limfosit T yang menetap di lesi kulit berperan dalam memori imunologis dan menjelaskan rekurensi lesi pada tempat yang sama. Ditemukannya keratinosit pada lesi kulit FDE menunjukkan peningkatan ICAM 1 (yang terlibat dalam interaksi antara keratinosit dan limfosit) dan FILA-DR. Peningkatan ekspresi ICAM-1 menjelaskan migrasi limfosit T ke epidermis. Beberapa obat penyebab FDE adalah sulfonamid, tetrasiklin, barbiturat, fenazon, fenitoin, trimetoprim, dan analgesik.1,5 C. Dermatitis Eksfoliativa (Eritroderma) DE atau eritroderma adalah terdapatnya eritema universal yang biasanya disertai skuama. DE biasanya muncul dalam beberapa minggu atau bahkan beberapa hari setelah penggunaan obat. Erupsi berupa eritema diseluruh tubuh diikuti deskuamasi terutama pada telapak tangan dan kaki3. Proses dapat berlanjut beberapa minggu atau bulan setelah penghentian

30

obat. Pada eritroderma karena alergi obat terlihat eritema tanpa skuama, skuama baru timbul pada stadium penyembuhan. 6,12

Gambar 6. Dermatitis eksfoliativa, erupsi dan skuama di wajah, lengan dan tubuh. Sumber : Siregar RS. Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit. Edisi 2. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC ; 2005. Mekanisme yang pasti belum diketahui, diduga melalui mekanisme tipe IV. DE dapat berasal dari erupsi eksantematosa jika obat penyebab masih dilanjutkan.2 DE selain diinduksi obat, juga dapat merupakan perluasan penyakit kulit yang sudah ada sebelumnya seperti psoriasis, atau berkaitan dengan limfoma hodgkin, leukemia, dan keganasan lainnya.1,5 Banyak obat yang dapat menjadi penyebab DE, namun yang paling sering adalah sulfonamid, penisilin, barbiturat, karbamazepin, fenitoin, fenilbutason, allopurinol, dan garam emas.1

31

D. Purpura Purpura

adalah

perdarahan

di

dalam

kulit/mukosa

berupa

bercak/pembengkakan berwarna merah/kebiruan yang tidak hilang bila ditekan.1 Erupsi purpura dapat terjadi sebagai ekspresi tunggal alergi obat. Erupsi biasanya simetris serta muncul di sekitar kaki, termasuk pergelangan kaki atau tungkai bagian bawah dengan penyebar keatas. Erupsi terdiri atas makula atau bercak kecil berbatas tegas berwarna merah kecoklatan yang tidak hilang dengan penekanan, dan disertai rasa gatal.1,5 Kelainan dapat berupa Petekie (makula merah, diameter 2-3 mm, merah, kemudian  coklat & akhirnya menghilang), Ekimosis (makula kebiruan, sedikit bengkak, diameter > 2-3 mm, letak kelainan lebih dalam; kemudian  menguning & akhirnya menghilang), Vebeses (purpura berbentuk linear), Hematoma (kumpulan darah dalam jaringan kulit / mukosa. Berjumlah cukup banyak  pembengkakkan & fluktuasi)1

Gambar 7. Purpura pada tungkai bawah Sumber Revus J, Allanore AV. Drugs Reaction. In: Bolognia Dermatology. Volume One. 2nd edition. Elserve limited, Philadelphia. United States of America. 2003

32

Purpura

karena

trombositopenia.

hipersensitivitas

Mekanisme

obat

dapat

trombositopenia

diakibatkan

berhubung

oleh

dengan

pembentukan kompleks antigen antibodi dengan afinitas pada trombosit. Teryata banyak obat yang menyebabkan kerusakan kapiler tanpa mengenai tombosit. Tipe ini dikenal sebagai purpura non trombositopenik atau purpura vascular/purpura primer. Purpura non trombositopenik/purpura sekunder secara umum berkaitan dengan deposit kompleks imun di dinding venula. Beberapa obat penyebab purpura trombositopenik adalah asam asetilsalisilat,

karbamazepin,

indometasin,

isoniazid,

nitrofurantoin,

penisilinamin, fenitoin, dan derivatnya, derivat pirazolon, quinidin, sulfonamid, dan tiourasil. Sedangkan beberapa obat penyebab purpura non trombositopenik adalah ampisilin, penisilin, sulfatrimetoprim, sulfonamid, asam asetilsalisilat.5 E. Vaskulitis Vaskulitis adalah radang pembuluh darah. Kelainan kulit dapat berupa palpable purpura yang mengenai kapiler.3 Vaskulitis ditandai dengan adanya inflamasi dan nekrosis pembuluh darah.3 Bentuk tersering adalah vaskulitis yang mengenai kapiler dan venul. Vaskulitis dapat hanya terbatas pada kulit, atau dapat melibatkan organ lain, antara lain hepar, ginjal, dan sendi. Ukuran dan jumlah lesi bervariasi. Biasanya distribusi simetris pada ekstremitas bawah dan daerah sakrum. Vaskulitis biasanya disertai demam, malaise, myalgia dan anoreksia.3,5 Vaskulitis clapat terjadi pada semua umur, dengar awitan rata-rata pada dekade kelima. Vaskulitis yang diinduksi obat dianggap terjadi melalui mekanisme reaksi tipe III, jadi berhubungan dengan deposit kompleks imun. Obat hanya salah satu penyebab vaskulitis.2 Obat-obatan yang dianggap sebagai penyebab adalah penisilin, sulfonamid, tiourasil, hidantoin, iodida, alopurinol, tiazid, NSAID, antidepresan, antiaritmia.3,4

33

F. Reaksi fotoalergik Fotosensitivitas dapat berupa fenomena non imunologik fototoksik, atau reaksi imunologik fotoalergik.2 Reaksi fotoalergik bergantung pada obat, respons imun dan cahaya. UVA (320-400nm) terlibat pada sebagian besar reaksi fotoalergik. Reaksi fotoalergik dapat diinduksi oleh obat topikal atau sisternik.13 Gambaran klinis reaksi fotoalergik sama dengan gambaran dermatitis kontak alergi pada umumnya. Reaksi kulit diawali di daerah yang terpajan sinar matahari, kemudian dapat meluas yang tidak terpajan matahari.3 Reaksi

fotoalergik

terhadap

photosensitizer

sistemik

lebih

jarang

dibandingkan dengan yang diinduksi kontaktan.6

Gambar 8. Ruam pada reaksi fotoalergik Sumber : Siregar RS. Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit. Edisi 2. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC ; 2005. Reaksi fotoalergik diperantarai oleh limfosit dan merupakan reaksi hipersensitivitas tipe lambat serupa dengan dermatitis kontak alergik. Reaksi fotoalergik membutuhkan fase induksi dan elisitas. Periode sensitisasi dapat beberapa hari sampai beberapa bulan. Konsentrasi obat yang dibutuhkan untuk elisitasi dapat sangat kecil.2 sebagaian besar reaksi fotoalergik disebabkan oleh agen topikal, antara lain sulfonamid, fenotiazin, dan halogennated salicylanilides. Fotoalergen sistemik, misalnya fenotiazin, klorpromazin, sulfa, tiazid, kuinidin, dan griseofulvin dapat menimbulkan reaksi fotoalergik.1,6

34

G. Pustulosis eksantematosa generalisata akut (PEGA) Penyakit pustulosis eksemantosa generalisata akut (PEGA) atau acute generalized exanthematous pustulosis (AGEP) jarang terjadi, diduga disebabkan oleh alergi obat, infeksi akut oleh enterovirus, hipersensitivitas terhadap merkuri, dan dermatitis kontak.3 Kelainan kulitnya berupa pustule-pustul miliar non-folikular yang timbul pada kulit yang eritematosa dapat disertai purpura dan lesi menyerupai lesi target. Kelainan kulit timbul pada waktu demam tinggi(>380C), dan pustule-pustul tersebut cepat menghilang sebelum 7 hari yang kemudian diikuti deskuamasi selama beberapa hari.3 Pada pemeriksaan histopatologik didapati pustule intraepidermal atau subkorneal yang dapat disertai edema dermis, vaskulitis, infiltrate polimorfonuklear perivaskuler dengan eosinophil atau nekrosis fokal sel-sel keratinosit.3 Terdapat 2 perbedaan utama antara PEGA dan psoriasis pustulosa yaitu PEGA terjadinya akut dan terdapat riwayat alergi obat. Pada PEGA pustulepustul pada kulit yang eritematosa dan demam lebih cepat menghilang, selain itu gambaran histopatologik juga berbeda.3 H. Eritema nodosum (EN) EN merupakan EOA yang jarang terjadi. Kelainan kulit berupa eritema yang lunak dan nodus yang nyeri dengan eritema diatasnya disertai gejala umum berupa demam, malese dan artritis tidak biasa pada EN yang diinduksi obat. Distribusi lesi simetris dengan tempat predileksinya di daerah tungkai bawah. Pada kasus yang berat dapat mengenai paha dan lengan. Awitan EN cepat namun regresi perlahan. EN dapat pula disebabkan oleh beberapa penyakit lain misalnya tuberculosis, infeksi streptokokus, dan leprae.

35

Gambar 10. Eritema nodusum pada tungkai bawah Sumber : Siregar RS. Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit. Edisi 2. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC ; 2005.

Terdapat beberapa pertentangan apakah obat dapat menyebabkan EN. Biasanya dengan Imunofluoresen langsung gagal menunjukkan deposit imun, tapi kadang-kadang terdapat IgG atau IgM. Reaksi imunologis yang menyebabkan inflamasi di pembuluh darah subkutan mungkin mencetuskan lesi. Obat-obatan

yang

dianggap

sering

menyebabkan

EN

adalah

sulfonamid, bromida, dan kontrasepsi oral.1 Obat-obatan lain seperti penisilin, barbiturat, dan salisilat lebih jarang menyebabkan EN.2

36

I. Eritema Multiforme (EM) Eritema Multiforme atau disebut juga Herpes iris, dermatostomatitis dan eritema eksudativum multiforme merupakan erupsi mendadak dan rekuren pada kulit dan kadang-kadang pada selaput lendir dengan gambaran bermacam-macam spectrum(polimorfik) dan gambaran khas bentuk iris. Pada kasus yang berat disertai symptom konstitusi dan lesi vesikel. Penyebab yang pasti belum diketahui. Obat merupakan penyebab EM pada 10-20% kasus, sisanya kemungkinan disebabkan oleh infeksi dan penyakit lain.1,5 Gejala klinis berupa spektrum yang bervariasi dari erupsi lokal kulit dan selaput lendir sampai bentuk berat berupa kelainan multi system yang dapat menyebabkan kelainan. Terdapat dua tipe dasar yaitu tipe macula eritema dan tipe vesikobulosa.3

Gambar 11. Eritema Multiformis Sumber: Mansjoer A, Suprohaita, Wardhani WI, Setiowulan W. Erupsi Alergi Obat. In: Kapita Selekta Kedokteran. Volume 2. 3rd edition. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Media Aesculapius. Jakarta. 2002. p:133-139

Tipe makula-eritema mendadak, simetris dengan tempat predileksi di punggung tangan, telapak tangan, bagian ekstensor ekstremitas, dan selaput lender. Pada keadaan berat mengenai badan. Lesi tidak terjadi serentak, tetapi berturut-turut dalam 2-3 minggu. Gejala khas ialah bentuk iris (target lesion) yang terdiri atas 3 bagian, yaitu bagian tengah berupa vesikel atau

37

eritema yang keungu-unguan, dikelilingi oleh lingkaran konsentris yang pucat dan kemudian lingkaran yang merah.3 Pada tipe vesikobulosa lesi mula-mula berupa macula, papul, dan urtika yang kemudian timbul lesi vesikobulosa di tengahnya. Bentuk ini dapaat juga mengenai selaput lender.3 Pada pemeriksaan darah tepi tidak ditemukan kelainan, pada kasus yang berat dapat terjadi anemia dan proteinuria ringan.3 J. Sindroma Stevens Johnson (SSJ) Sindrom Steven Johnson (SSJ) disebut juga eritema multiforme mayor merupakan sindrom yang mengenai kulit, selaput lender dan orifisium dan mata dengan keadaan umum bervariasi dari ringan sampai berat; kelainan paada kulit berupa eritema, vesikel/bula, dapat disertai purpura.1 Penyebab utama dari SSJ adalah alergi obat (>50% kasus). Penyebab lainnya adalah infeksi, vaksinasi, penyakit graft-versus-host, neoplasma dan radiasi. Banyak obat yang menjadi penyebab sindrom ini, yang tersering adalah sulfonamid, antikonvulsan aromatik, beberapa NSAID dan alopurinol yang bertaggung jawab pada 2/3 kasus SSJ. Aminopenisillin dan klormenazon juga dilaporkan sebagai penyebab tersering. Penyakit ini serupa dengan NET disebabkan oleh reaksi hipersensitivitas tipe II (sitolitik). Gambaran klinis tergantung kepada sel sasaran (target cell). Sasaran utama SSj dan NET adalah pada kulit berupa destruksi keratinosit. Pada alergi obat akan terjadi aktivasi sel T, termasuk CD4 dan CD8. IL-5 meningkat, juga sitokin-sitokin yang lain. CD4 terutama terdapat di dermis, sedangkan CD8 pada sel epidermis. Keratinositepidermal mengekspresi ICAM-1, ICAM-2 dan MHC II. Sel Langerhans tidak ada atau sedikit. TNF  di epidermis meningkat.1,7 Sindrom ini jarang dijumpai pada usia < 3 tahun karena imunitas belum begitu berkembang. Keadaan umumnya dapat bervariasi dari ringan sampai berat. Mulainya penyakit akut dapat disertai dengan gejala prodromal berupa demam tinggi, malese, nyeri kepala, batuk, pilek dan nyeri tenggorokan.1

38

Gambar 12. Contoh lesi pada Sindrom Stevens Johnson Sumber : Siregar RS. Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit. Edisi 2. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC ; 2005. Pada SSJ terlihat trias kelainan berupa kelainan kulit, kelainan selaput lender di orifisium dan kelainan mata. Kelainan kulit terdiri atas eritema, vesikel dan bula.3 Vesikel dan bula kemudian memecah sehingga terjadi erosi yang luas. Disamping itu juga terdapat purpura. Pada bentuk yang berat kelainannya generalisata. Kelainan selaput lender di orifisium yang tersering ialah pada mukosa mulut (100%), kemudian disusul oleh kelainan di lubang alat genital(50%), sedangkan di lubang hidung dan anus jarang(masing-masing 8% dan 4%). Kelainanna berupa vesikel dan bula yang cepat memecah sehingga terjadi erosierosi dan ekskoriasi dan krusta kehitaman. Di mukosa mulut juga dapat terbentuk pseudomembran. Di bibir kelainan yang sering tampaik ialah krusta berwarna hitam yang tebal. Lesi di mukosa mulut dapat juga terdapat di faring, traktus respiratorius bagian atas dan esophagus. Stomatitis dapat menyebabkan pasien sulit/tidak dapat 39

menelan. Adanya pseudomembran di faring dapat menyebabkan keluhan sukar bernapas. Kelainan mata terjadi pada 80% diantara semua kasus, yang tersering adalah konjungtivitis kataralis. Selain itu dapat pula berupa konjungtivitis purulent, perdarahan, simblefaron, ulkus kornea, iritis dan iridosiklitis. Komplikasi tersering ialah bronkopneumonia, selain itu dapat pula terjadi kehilangan darah/cairan, gangguan keseimbangan elektrolit, syok dan ebutaan karena gangguan lakrimasi. Hasil pemeriksaan laboratorium tidak khas.3

Gambar 13. Gambaran pasien Sindrom Stevens Jhonson Sumber : Siregar RS. Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit. Edisi 2. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC ; 2005.

Gambaran histopatologiknya sesuai dengan eritema multiforme, bervariasi dari perubahan dermal ringan sampai nekrolisis epidermal yang menyeluruh. Kelainan berupa3: 1. Infiltrat sel mononuklear di sekitar pembuluh-pembuluh darah dermis superficial 2. Edema dan ekstravasasi sel darah merah di dermis papilar 3. Degenerasi hidropik lapisan basalis sampai terbentuk vesikel subdermal

40

4. Nekrosis sel epidermal dan kadang-kadang di adneksa 5. Spongiosis dan edema intrasel di epidermis Diagnosis banding SSJ adalah NET karena NET merupakan bentuk parah dari SSJ. Apabila terdapat epidermolisis generalisata maka diangnosanya adalah NET. Keadaan umum pada NET lebih buruk.3 Obat yang dianggap sebagai kausanya harus dihentikan, termasuk jamu dan adiktif. Pengobatan yang diberikan jika keadaan umum pasien baik dan lesi tidak menyeluruh adalah dengan prednisone 30-40mg sehari. Jika keadaan umum pasien kurangbaik atau lesi menyeluruh pasien harus dirawat inap. Penggunaan kortikosteroid merupakan life-saving, dapat digunakan injeksi deksametason dengan dosis permulaan 4-6 x 5 mg sehari. Setelah beberapa hari (2-3 hari) bila masa krisis telah teratasi, keadaan membaik dan tidak timbul lesi baru, sedangkan lesi lama tampak mengalami involusi maka dosis diturunkan 5 mg setiap harinya dan setelah mencapai 5 mg sehari lalu diganti dengan tablet kortikosteroid. Jadi lama pengobatan kirakira 10 hari. Selain deksametason dapat pula digunakan metilprednisolon degan dosis setara. Kelebihan metilprednisolon adalah efek sampingnya lebih sedikit dibandingkan dengan dengan deksametason namun harganya lebih mahal. Dengan dosis kortikosteroid setinggi itu, maka imunitas pasien akan berkurang sehingga harus diberikan antibiotic untuk mencegah infeksi, misalnya bronkopneumonia yang menyebabkan kematian. Contoh antibiotic yang biasa digunakan adak=lah ciprofloksasin 2 x 400 mg iv, klindamisin 2 x 600 mg iv sehari, ceftriakson 2 gr 1 x 1 sehari. Untuk mengurangi efek samping kortikosteroid diberikan diet yang rendah garam dan tinggi protein karena kortikosteroid bersifat katabolic.Setelah seminggu diperiksa pula kadar elektrolit dalam darah. Bila terdapat penurunan K dapat diberikan KCl 3 x 500 mg.1 Pada pasien dengan lesi di mulut dan tenggorokan yang menyebabkan sulit/tidak dapat menelan dapat diberikan infus seperti dextrose 5%, NaCl 9% dan Ringer Laktat dengan perbandingan 1:1:1 dalam 1 labu yang diberikan 8 jam sekali. Jika dengan terapi tersebut belum tampak perbaikan dalam 2 hari, maka dapat diberikan transfuse darah sebanyak 300 cc selama

41

2 hari berturut-turut. Efek transfusi darah (whole blood) adalah sebagai imunorestorasi. Bila terdapat leukopenia prognosisnya menjadi buruk, setelah diberi transfuse leukosit cepat menjadi normal. Selain itu darah juga mengandung banyak sitokin dan leukosit jadi meninggikan daya tahan. Indikasi pemberian transfuse pada SSJ dan NET adalah :1 1. Bila telah diobati dengan kortikosteroid dengan dosis adekuat setelah 2 hari belum ada perbaikan. Dosis adekuat untuk SSJ 30 mg deksametason sehari dan NET 40mg sehari. 2. Bila terdapat purpura generalis 3. Jika terdapat leukopenia Pada kasus dengan purpura yang luas dapat pula ditambahkan vit.C 500 mg atau 1000 mg sehari iv. Terapi topical tidak sepenting terapi sistemik. Pada daerah erosi dan ekskoriasi dapat diberikan krim sulfodiazin-perak, untuk lesi di mulut dapat diberikan kenalog in orabase dan betadine gargle Untuk bibir yang biasanya kelainannya berupa krusta tebal kehitaman data diberikan emolien misalnya krim urea 10%.1 K. Nekrosis Epidermal Toksik (NET) NET disebut juga Sindrom Lyell merupakan penyakit yang berat, lebih berat daripada SSJ, sehingga jika pengobatan tidak cepat dan tepat dapat menyebabkan kematian. NET ialah penyakit berat, gejala terpenting ialah epidermolisis generalisata (karena sel sasarannya adalah epidermis), dapat disertai kelainan pada selaput lender di orifisium dan mata.3,5 Etiologinya sama dengan SSJ. Penyebab utama juga alergi obat yang berjumlah 80-95% dari semua pasien. NET merupkan penyakit yang berat dan sering menyebabkan kematian karena gangguan cairan dan elketrolit atau karena sepsis. NET disertai

periode

prodromal

berupa

demam,

rhinitis,

konjungtivitis, yang bertahan beberapa hari hingga minggu yang dapat disertai dengan penurunan kesadaran(spoor-komatosa), selanjutnya lesi kulit berkembang cepat, biasanya dalam 3 hari. Awalnya, pasien merasakan seperti terbakar atau nyeri pada lesi eritema generalisata kemudian timbul banyak vesikel dan bula dan dapat disertai dengan purpura. Bula dan pengelupasan kulit(epidermolisis) pada area yang luas mengakibatkan tanda

42

Nikolsky positif pada kulit yang eritematosa, yaitu kulit yan ditekan dan digeser maka kulit akan terkelupas.1.5

Gambar 14. Nekrosis Epidermal Toksik Sumber : Siregar RS. Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit. Edisi 2. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC ; 2005. Komplikasi yang dapat terjadi adalah pada ginjal yang berupa nekrosis tubular akut akibat terjadinya ketidakseimbangan cairan bersama-sama dengan glomerulonephritis. Diagnosis banding NET adalah SSJ, Dermatitis kontak iritan karena baygon dan Staphylococcus Scalded Skin Syndrome (SSSS).3 3.5 Penegakan Diagnosis Diagnosis erupsi obat berdasarkan: a. Anamnesis:

adanya

hubungan

antara

timbulnya

erupsi

dengan

penggunaan obat sehingga perlu ditanyakan obat-obat/jamu yang didapat, kelainan yang timbul akut atau beberapa hari setelah konsumsi obat, rasa gatal yang dapat disertai demam yang biasanya subfebril. b. Pemeriksaan Klinis (Kelainan kulit yang ditemukan): adanya kelainan klinis sesuai dengan jenis masing- masing reaksi. Penghentian obat yang diikuti penurunan gejala klinis merupakan petunjuk kemungkinan erupsi disebabkan oleh obat tersebut. Perlu diperhatikan distribusi lesi yang menyebar, simetris atau setempat, bentuk kelainan yang timbul (urtikaria, purpura, eksantema, papul, eritroderma, eritema nodusum). c. Pemeriksaan khusus; saat ini belum ditemukan cara yang cukup sensitif dan dapat dipercaya untuk mendeteksi erupsi obat alergik.

43

Beberapa pemeriksaan yang dapat dilaksanakan untuk membantu memastikan penyebab erupsi obat alergik :6 a. Pemeriksaan in vivo : 1. uji tempel (patch test) 2. uji tusuk (prick/scratch test) 3. uji provokasi (exposure test) Pemeriksaan tersebut memerlukan persiapan untuk menghadapi kemungkinan reaksi anafilaksis. b. Perneriksaan in vitro : 1. Yang diperantarai antibodi : a)

Hemaglutinasi pasif

b)

Radio immunoassay

c)

Degranulasi basofil

d)

Tes fiksasi komplemen

2. Yang diperantarai sel : a) Tes transformasi limfosit b) Leucocyte migration inhibition test Pemilihan pemeriksaan tersebut didasarkan atas mekanisme imunologis yang mendasari erupsi obat. Namun perlu diingat bahwa pemeriksaan tersebut merupakan pemeriksaan penunjang dan hasilnya memerlukan interpretasi yang teliti.1 3.6 Diagnosis Banding a) Dermatitis Kontak Iritan b) Pitiriasis Rosea c) Urtikaria, selain karena obat d) Dermatitis Atopik 3.7 Penatalaksanaan Pengobatan erupsi obat alergik belum memuaskan, antara lain karena kesukaran dalam memastikan penyebabnya, apakah oleh obatnya sendiri atau metabolitnya. Pengobatan dibagi dalam: a.

Pengobatan kausal : Dilaksanakan dengan menghindari obat tersangka (apabila obat tersangka telah dapat dipastikan). Dianjurkan pula untuk

44

rnenghindari obat yang mempunyai struktur kimia dengan obat tersangka (satu golongan). b.

Pengobatan simtomatik: Pengobatan dilaksanakan sesuai dengan tipe reaksi yang mendasarinya : 1. Pada reaksi anafilaksik (reaksi tipe I): Bila terjadi syok dapat diberikan epinefrin 1 : 1000 sebanyak 0,3 – 0,5 ml secara subkutan atau intravena. Antihistamin dan kortikosteroid dapat diberikan, tetapi bukan merupakan pengobatan lini pertama. Umumnya reaksi dapat diatasi dalam waktu 15 – 20 menit, meskipun penderita masih harus diamati selama 24 jam berikutnya untuk mencegah komplikasi. 2. Pada reaksi tipe yang lain : Penghentian penggunaan obat tersangka umumnya cukup memberikan hasil yang baik. Sesuai dengan beratringannya reaksi, pemberian kortikosteroid (prednison 40 – 100 mg/hari) dan antihistamin dapat dipertimbangkan.l Pengobatan dapat diberikan secara 1: 1. Sistemik a) Kortikosteroid Pemberian kortikosteroid sangat penting pada alergi obat sisteik. Obat kortikosteroid yang sering digunakan adalah tablet prednisone (1 tablet=5mg). Pada kelainan urtikaria, eritema, dermatitis medikamentosa, purpura, eritema nodusum, eksantema fikstum, dan PEGA karena alergi obat, dosis standar untuk orang dewasa adalah 3x10 mg prednisone sehari. Pada eritroderma dosisnya adalah 3x10 mg sampai 4x 10 mg sehari. b) Antihistamin Antihistamin yang bersifat sedative dapat juga diberikan, jika terdapat rasa gatal. Kecuali pada urtikaria, efeknya kurang kalau dibandingkan dengan kortikosteroid. 2. Topikal Pengobatan topikal bergantung pada keadaan kelainan kulit, apakah kering atau basah. Kalau keadaan kering, seperti apda eritema atau urtikaria, dapat diberikan bedak, contohnya bedak

45

salisilat 2% ditambah dengan antipruritus, misalnya menthol ½ 1% untuk mengurangi rasa gatal. Kalau keadaan membasah seperti dermatitis medikamentosa perlu dikompres, misalnya kompres larutan asam salisilat 1%. Pada bentuk purpura dan eritema nodusum tidak diperlukan pengobatan topikal. Pada eksantema fikstum jika kelainan membasah dapat diberikan kompres dan jika kering dapat diberi krim kortikosteroid, misalnya krim hidrokortison 1% atau 2,5%. Pada eritroderma dengan kelainan berupa eritema yang menyeluruh dan skuamasi dapat diberi salep lanolin 10% yang dioleskan sebagian-sebagian. 3.8 Pronosis Pada dasarnya erupsi kulit karena obat akan menyembuh bila obat penyebabnya dapat diketahui dan segera disingkirkan. Akan tetapi pada beberapa bentuk, misalnya eritroderma dan kelainan-kelainan sindrom Leyll dan sindrom Steven-Johnson, prognosis dapat menjadi buruk bergantung pada luas kulit yang terkena.

46

BAB IV KESIMPULAN

Erupsi obat alergik adalah reaksi alergik pada kulit atau daerah mukokutan yang terjadi sebagai akibat pemberian obat yang biasanya sistemik. Yang dimaksud dengan obat, ialah zat yang dipakai untuk menegakkan diagnosis, profilaksis dan pengobatan. Banyak tipe erupsi yang dapat disebabkan oleh obat, dan tiap obat dapat memicu timbulnya erupsi obat alergi.

Oleh

karena

itu

sebelum

memberikan

terapi

obat,

harus

dipertimbangkan besar kecilnya resiko, keuntungan serta kerugian dari terapi tersebut. Dengan mengetahui imunopatogenesis, faktor resiko, manifestasi klinis EOA dan edukasi pada pasien, serta penulisan resep yang tepat dapat menurunkan morbiditas EOA. .Obat dapat menimbulkan reaksi yang tidak diharapkan yang disebut reaksi simpang obat. Reaksi tersebut dapat berupa reaksi yang dapat diduga (predictable) dan yang tidak dapat diduga (unpredictable). Reaksi kulit terhadap obat dapat terjadi melalui mekanisme immunologik atau nonimunologik. Yang dimaksud dengan erupsi obat alergik ialah alergi terhadap obat yang terjadi melalui mekanisme imunologik. Pengobatan untuk erupsi obat terbagi kepada sistemik dan topikal. Obat sistemik antaranya adalah kortikosteroid dan antihistamin. Pengobatan pada pasien ini meliputi pengobatan simptomatis dan suportif. Diperlukan komunikasi, informasi dan edukasi yang tepat pada pasien ini mengenai penyakitnya agar kekambuhan penyakit dapat dikurangi. Apabila terjadi EOA dan obat tersangka penyebab erupsi tersebut telah dapat dipastikan, maka sebaiknya kepada penderita diberikan catatan berupa kartu kecil yang memuat jenis obat tersebut (serta golongannya). Kartu tersebut dapat ditunjukkan bilamana

diperlukan,

sehingga

dapat

dicegah

pajanan

ulang

yang

memungkinkan terulangnya erupsi obat alergik. .

47

DAFTAR PUSTAKA

1. Hamzah M. Erupsi Obat Alergi. Dalam : Djuanda A, Hamzah M, Aishah S, editor. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi ke-5. Cetakan ketiga. Jakarta : FK UI ; 2008. h 154-8. 2. Shear NH, Knowles SR, Shapiro L. Cutaneous Reactions to Drugs. Dalam : Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell, editor. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. Edisi ke-7. New York : McGrawHill ; 2008. p 355-62. 3. Lee A, Thomson J. Drug-induced skin. In: Adverse Drug Reactions, 2nd ed. Pharmaceutical Press. 2006 (cited 2013 July 19) Available from : http://drugsafety.adisonline.com/pt/re/drs/pdf. 4. Partogi D. Fixed Drug Eruption. 2009 (cited 2013 July 19). Available from : http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/3411/1/08E00858.pdf 5. Blume JE, Elston DM. Drug Eruption. New York : Emedicine (Updated 2013 April 8; cited 2013 July 19). 6. Riedl MA, Casillas AM. Adverse Drug Reactions: Types and Treatment Options. Am Fam Physician. 2003 (cited 2013 July 18). Available from : http://www.aafp.org/afp/2003/1101/p1781.html. 7. Budi Iman. Erupsi Obat Alergik. 2008 (cited 2013 July 18). Available from : http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/3400/1/08E00602.pdf. 8. DeSwarte RD, Patterson R. Drug allergy. Dalam : Patterson R, et al. Alergic Diseases. Edisi ke-5. Philadelpia : Lippincott-Raven Publisher ; 1997. p 317 – 352. 9. Bratawidjaya KG. Reaksi hipersensitivitas. Dalam : Bratawidjaya KG, Rengganis I. Imunologi Dasar. Edisi ke-8. Jakarta : FKUI ; 2009. h 106 – 129. 10. Purwanto SL. Alergi Obat. Dalam : Cermin Dunia Kedokteran. Volume 6. 1976. (cited 2013 19 July). Available from: www-portalkalbe-files-cdk-files07AlergiObat006_pdf-07AlergiObat006.mht 11. Siregar RS. Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit. Edisi 2. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC ; 2005.

48

12. Revuz J, Allanore LV. Drug Reactions. In : Bolognia JL, et al, editor. Dermatology Volume 1. 2nd ed. Spain : Mosby Elsevier ; 2008. p 301-19. 13. James WD, Berger TG, Elston DM. Drug Eruption. In : Andrew’s Disease of The Skin Clinical Dermatology. 10th ed. Canada : Saunders Elsevior ; 2006. p 115-38. 14. Paller AS, Manchini AJ. The Hipersensitivity Syndromes. In : Hurwitz Clinical Pediatric Dermatology. 4th ed. Canada : Saunders Elsevior ; 2011. p 454-69. 15. Sumber: Mansjoer A, Suprohaita, Wardhani WI, Setiowulan W. Erupsi Alergi Obat. In: Kapita Selekta Kedokteran. Volume 2. 3rd edition. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Media Aesculapius. Jakarta. 2002. p:133139

49

Related Documents

Laporan Kasus
June 2020 61
Laporan Kasus
June 2020 56
Laporan Kasus
June 2020 53
Laporan Kasus
June 2020 47
Laporan Kasus
July 2020 55

More Documents from "Himmah Binafsiha"

Remediasi Blok 4.3.docx
November 2019 12
Cover Yang Bener.docx
November 2019 14
Refrat Upi.docx
November 2019 19
2201411074.pdf
May 2020 6