LAPORAN KASUS
Disusun oleh :
Penguji : dr. Retno Jayantri Ketaren, Sp.S.
KEPANITERAAN KLINIK NEUROEMERGENCY SILOAM HOSPITAL LIPPO VILLAGE – RUMAH SAKIT UMUM SILOAM FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PELITA HARAPAN PERIODE FEBRUARI – MARET 2019 TANGERANG
I.
Identitas Pasien Nama
: An. C
Jenis Kelamin
: Perempuan
Usia
: 5 tahun
Status Perkawinan
: Belum menikah
Agama
: Islam
Pendidikan
:-
Tanggal masuk RS
: 1 Februari 2019 pukul 10.45
Tanggal pemeriksaan : 4 Januari 2019
II.
Anamnesis Dilakukan secara alloanamnesis dengan ayah dan ibu pasien
Keluhan Utama Demam sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit.
Riwayat Penyakit Sekarang Pasien datang dengan keluhan demam sejak 1 hari SMRS dengan suhu tertinggi 40,7 derajat celcius. Pasien juga mengeluhkan kejang sebanyak 2x sejak 8 jam SMRS. Kejang pertama pada pada pukul 2 pagi dan kejang kedua pukul 7 pagi. Berdasarkan keterangan orangtua, sebelum kejang anak menjadi tidak aktif. Kejang pertama diawali dengan tubuh pasien kaku seluruh badan dan diikuti dengan kelojotan. Kejang berlangsung <1 menit. Kejang kedua diawali dengan pasien menggerak-gerakan tangan kanannya dan diikuti dengan kejang kelojotan seluruh badan dan berlangsung <1 menit. Diantara kedua kejang, pasien langsung sadar penuh. Saat dilakukan re-anamnesis, di IGD RSU Siloam pasien sempat kejang 1x. Keluarga mendeskripsikan kejangnya berbentuk kaki kiri pasien kelojotan selama 30detik dan pasien sadar. Setelah kejang pasien sadar penuh. Keluhan lainnya seperti batuk, sakit kepala, sesak nafas disangkal. BAB dan BAK normal.
Riwayat Penyakit Dahulu Pasien telah di diagnosis epilepsi sejak berusia 2 tahun 10 bulan. Kejang pertama pasien berbentuk kaku dan kelojotan selama >2 menit dan karena itu pasien sempat dirawat di SHLV dan bebas kejang untuk 2 minggu. Saat kejang pertama, pasien tidak ada demam. Setelah itu, pasien mengalami kejang kembali dengan frekuensi terbanyak adalah 50-60x kejang dalam 1 hari dengan durasi sekitar 10-30 detik setiap kejang. Kejang yang dialami pasien memiliki bentuk bervariasi, dari bentukan kaku kelojotan, kejang hanya pada salah satu tangan atau kaki, dan juga kejang dimana pasien tampak terdiam saja dan tidak respon saat dipanggil. Keluarga memperhatikan tidak ada keluhan ataupun perilaku aneh sebelum pasien mengalami kejang. Setelah kejang, kadang pasien sadar penuh, kadang tidak sadar selama paling lama 5 menit. Pasien rutin kontrol ke dokter dan rutin mengkonsumsi obat anti epilepsi, saat ditanya, orangtua pasien tidak ingat obat yang diminum pasien. Obat tersebut diminum selama 6 bulan secara teratur tetapi tidak berhasil mengontrol kejang pasien. Kemudian pasien menjalani operasi temporal lobe resection untuk epilepsi di Semarang saat berusia 3 tahun 4 bulan. Pasien bebas kejang selama kuranglebih untuk 1 bulan. Setelah itu, pasien mengalami demam tinggi dan muntah-muntah hingga 10x/hari serta terjadi kejang lagi. Bentukan kejang sangat bervariasi, sama seperti saat sebelum pasien di operasi. Orangtua menjelaskan frekuensi kejang sehari sekitar 5-10x/hari dengan durasi lebih singkat apabila dibandingkan dengan kejang sebelum operasi.
Riwayat Penyakit Keluarga Tidak ada keluarga yang memiliki keluhan serupa. Riwayat kejang, DM, Hipertensi pada keluarga disangkal.
Riwayat kehamilan dan persalinan Ibu pasien mengandung selama 38-39 minggu . Selama kehamilan tidak ada komplikasi dan rutin mengkonsumsi suplemen yang diberikan dokter. Pasien merupakan anak ke 2 dari 3 bersaudara. Pasien dilahirkan per vaginam spontan, tanpa komplikasi. BBL : 3.300 gram, menangis kuat spontan.
Riwayat imunisasi Menurut ibu pasien imunisasi dasar pasien lengkap
III.
Pemeriksaan Fisik
Primary Survey Airway
: Clear, stridor (-)
Breathing
: RR 19x/menit, reguler SpO2: 99% room air
Circulation
:
Tekanan darah: 100/80
Nadi: 64x/menit, teraba kuat, reguler
Suhu : 36.6oC
Terpasang IV line di V. Metacarpal dorsalis sinistra
Disability
:
GCS 15
Pupil bulat isokor 3mm/3mm
RCL +/+
RCTL +/+
Exposure
:
Jejas(-)
Deformitas tulang belakang (-)
Secondary Survey Status Generalis
Keadaan umum
: Tampak sakit ringan
Kesadaran
: Compos Mentis
Berat badan : 34 kg
Kepala
: Normosefal
Mata
: CA -/-, SI -/-
THT
: Sekret (-), napas cuping hidung (-),
Leher
: limfadenopati (-)
Thorax
: Pergerakan dada simetris
Paru
: Vesikuler +/+, rhonchi (-), wheezing (-)
Jantung
: S1 S2 reguler, murmur (-), gallop (-)
Abdomen
: Datar, supel, BU (+) normal, nyeri tekan (-), perkusi timpani, pekak hepar (+)
Ekstremitas
: Edema (-), deformitas (-), akral hangat, CRT < 2 detik
Status Neurologis GCS 15 (E4 M6 V5) Tanda Rangsang Meningeal
Kaku kuduk
Tanda laseque : >70o/>70o
Tanda kernig : >135o/>135o
Brudzinski I
Brudzinski II : -/-
:-
: -/-
Saraf Kranialis Saraf Kranial Nervus I
Kanan
Kiri
Tidak dapat dinilai
Tidak dapat dinilai
> 2/60
>2/60
Sama dengan pemeriksa
Sama dengan pemeriksa
Normal
Normal
Nervus II Visus Lapang Pandang Warna
Tidak dinilai
Tidak dinilai
Sikap bola mata
Orthophoria
Orthoporia
Celah palpebral
Normal
Normal
Pupil
Isokor, bulat 3 mm
Isokor, bulat 3 mm
RCL
+
+
RCTL
+
+
Konvergensi
+
+
Nystagmus
-
-
Fundus Nervus III, IV, VI
Pergerakan bola mata
Nervus V Motorik Inspeksi
Normotrofi pada m. masseter dan m.temporalis
Palpasi
Normotonus pada m. masseter dan m.temporalis
Membuka mulut
Simetris
Geraka rahang
Simetris
Sensorik Sensibilitasi V1
Normal bilateral
Sensibilitas V2
Normal bilateral
Sensibilitas V3
Normal bilateral
Reflek Kornea
Tidak dilakukan
Nervus VII Sikap mulut istirahat
Angkat alis
Plika nasolabialis simetris
Normal
kerut dahi, tutup mata dengan kuat Kembung pipi
Normal
Menyeringai Rasa kecap 2/3
Normal Tidak dilakukan
anterior lidah Nervus VIII Nervus koklearis Suara bisikan/gesekan
Normal bilateral
Rinne
Tidak dilakukan
Weber
Tidak dilakukan
Schwabach
Tidak dilakukan
Nervus vestibularis Nistagmus
-/-
Berdiri dengan 1 kaki
Normal
Berdiri dengan 2 kaki
Normal
Berjalan tandem
Normal
Fukuda stepping test
Normal
Past pointing test
Normal
Nervus IX, X Arkus faring
Simetris
Uvula
Ditengah
Disfoni
-
Disfagi
-
Reflex faring
Tidak dilakukan
Nervus XI Sternocleidomastoid
Normal
Trapezius
Normal
Nervus XII Sikap lidah dalam mulut Deviasi
-
Atrofi
-
Fasikulasi
-
Tremor
-
Tidak terdapat deviasi
Menjulurkan lidah
Sama kuat kanan dan kiri
Kekuatan lidah
-
Disatria
Motorik Ektremitas Atas Kanan
Kiri
Atrofi
-
-
Fasikulasi
-
-
Normotonus
Normotonus
5555
5555
-
-
Kanan
Kiri
Atrofi
-
-
Fasikulasi
-
-
Normotonus
Normotonus
5555
5555
-
-
Tonus Kekuatan otot Gerakan involunter
Ekstremitas Bawah
Tonus Kekuatan otot Gerakan involunter
Refleks Fisiologis Kanan
Kiri
Biceps
++
++
Triceps
++
++
KPR
++
++
APR
++
++
Kanan
Kiri
Refleks Patologis
Babinski
-
-
Chaddock
-
-
Oppenheim
-
-
Gordon
-
-
Schaffer
-
-
Rossolimo
-
-
Mendel-Bechtrew
-
-
Hoffman Trommer
-
-
Sensorik Ekstroseptif Kanan
Kiri
Raba
Dalam batas normal
Dalam batas normal
Nyeri
Dalam batas normal
Dalam batas normal
Suhu
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Kanan
Kiri
Posisi sendi
Dalam batas normal
Dalam batas normal
Getar
Dalam batas normal
Dalam batas normal
Proprioseptif
Koordinasi
Tes tunjuk-hidung : Dalam batas normal
Tes tumit-lutut
Disdiadokokinesis : Dalam batas normal
: Dalam batas normal
Otonom
Miksi
: Spontan
Defekasi
: Normal
Sekresi keringat
: Normal
Fungsi luhur MMSE : Tidak dilakukan
IV.
Resume Pasien datang dibawa oleh keluarganya ke poliklinik saraf dengan keluhan bicara diulang-ulang sejak 1 hari SMRS. Pasien juga lupa dengan anggota keluarga. Pasien memiliki riwayat cephalgia berulang disertai kejang atonik + 3 bulan SMRS. Keluhan tersebut muncul selama + 3 menit tanpa pre iktal, dan bisa terjadi sampai 4x/minggu. Pasien sadar penuh post iktal. Keluarga pasien juga mengeluhkan adanya perubahan kepribadian berupa agresifitas yang terjadi + 3 bulan SMRS. sudah berobat ke dokter anak dan diberikan prednison 4x4 tablet yang kemudian diturunkan dosisnya menjadi 4x2 tablet karena tidak dapat mentoleransi efek samping berupa mual dan nyeri perut.
V.
Diagnosis Klinis
: cephalgia, atonik seizure, perubahan perilaku, perubahan pola bicara
Topis
: korteks cerebri
Etiologis : suspek autoimun Patologis : demyelinisasi dd/ destruksi reseptor NMDA
VI.
Diagnosis kerja Suspek ADEM
VII.
Diagnosis banding Suspek autoimmune encephalitis (suspek NMDA encephalitis)
VIII. Prognosis Quo ad vitam
: dubia ad bonam
IX.
Quo ad functionam
: bonam
Quo ad sanationam
: dubia ad bonam
Saran Pemeriksaan Penunjang Laboratorium : hematologi (FBC), fungsi ginjal (Ur, Cr, eGFR), fungsi liver (SGOT/PT), elektrolit, cek GDS per hari
X.
MRI brain dengan kontras
Lumbal pungsi (LP) jika tidak ada kontraindikasi
Saran terapi
Methylprednisolone 4x125 mg IV -
XI.
3-5 hari evaluasi klinis
Omeprazole 2x40 mg IV
Pemeriksaan penunjang
Laboratorium
Hb Hematocrit RBC WBC ↑ Platelet ESR MCV MCH MCHC SGOT SGPT Ureum Creatinine eGFR Blood random glucose Sodium (Na) Potassium (K)
Results 12.90 38.90 5.02 17.35
Unit g/dL % 6 10 /mcL 103/mcL
433.000 103/mcL 5 MCV, MCH, MCHC 77.50 fL 25.70 pg 33.70 g/dL Liver Enzyme 26 U/L 20 U/L 21.0 mg/dL 0.28 mg/dL 127.3 mL/menit/1.73m2 132.0 mg/dL Electrolyte 138 mmol/L 3.6 mmol/L
Normal Range 11.70 - 15.50 35.00 – 47.00 3.80 – 5.20 3.60 – 11.00 150.00-440.00 <20 80.00 – 100.00 26.00 – 34.00 32.00 – 36.00 5 – 32 0 – 33 < 50.00 0.5 – 1.3 >= 60 <200 137-145 3.6-5.0
Chloride (Cl)
XII.
97
mmol/L
98-109
Follow Up Follow up 8 Januari 2019 S
Masih berbicara berulang-ulang, namun sudah mengenali anggota keluarga
O KU: tampak sakit ringan TD : 120/80 N: 88x/menit
RR: 18x/menit
SpO2: 100%
GCS = E4M6V5 Meningeal sign (-), Parese CN (-), Motorik ekstremitas atas: 5555/5555, motorik ekstremitas bawah: 5555/5555. Refleks fisiologis ekstremitas atas dan bawah +2/+2, refleks patologis (-) A Susp. ADEM P Omeprazole 40mg IV BD Methylprednisolone 125mg IV QDS R/ MRI Head Contrast R/ LP jika tidak ada kontraindikasi
Follow up 9 Januari 2019 S
Perilaku semakin agresif, mudah marah
O KU: tampak sakit ringan TD : 120/80 N: 88x/menit
RR: 18x/menit
SpO2: 100%
GCS = E4M6V5 Meningeal sign (-), Parese CN (-), Motorik ekstremitas atas: 5555/5555, motorik ekstremitas bawah: 5555/5555. Refleks fisiologis ekstremitas atas dan bawah +2/+2, refleks patologis (-) GDS : 197 A Susp. ADEM P Omeprazole 40mg IV BD Methylprednisolone 125mg IV QDS Follow up hasil MRI Head Contrast R/ LP jika tidak ada kontraindikasi
Hasil MRI Head Contrast T1 Contrast
Flair
T2
Follow up 10 Januari 2019 S
Kemarin sore pukul 18.00 mengeluh kepala pusing dan sempat blank selama 3 menit, pagi ini jadi lebih diam setelah minum obat.
O KU: tampak sakit ringan TD : 120/80 N: 88x/menit
RR: 18x/menit
SpO2: 100%
GCS = E4M6V5 Meningeal sign (-), Parese CN (-), Motorik ekstremitas atas: 5555/5555, motorik ekstremitas bawah: 5555/5555. Refleks fisiologis ekstremitas atas dan bawah +2/+2, refleks patologis (-) GDS : 287 (setelah minum yakult dan makan roti coklat) A Susp. ADEM dd/ NMDA Encephalitis, obs syncope. P Omeprazole 40mg IV BD Methylprednisolone 125mg IV QDS Paracetamol 500mg PO TDS PRN R/ LP Advis: EEG (BO (-) -> saran di poli)
Follow up 11 Januari 2019 S
Masih agresif. Sempat mengusir kakak yang datang menjenguk
O KU: tampak sakit ringan TD : 110/70 N: 77x/menit
RR: 18x/menit
SpO2: 100%
GCS = E4M6V5 Meningeal sign (-), Parese CN (-), Motorik ekstremitas atas: 5555/5555, motorik ekstremitas bawah: 5555/5555. Refleks fisiologis ekstremitas atas dan bawah +2/+2, refleks patologis (-) Hasil MRI Brain kontras: Multipel lesi intensitas patologis yang tidak menyengat kontras di subcortical lobus frontal dan parietal bilateral sugestif lesi non spesifik Anjuran : Analisa CSF dan follow up MRI untuk menyingkirkan kemungkinan multiple sclerosis/vasculitis Struktur otak/intrakranial lainnya dalam batas normal
Tidak tampak perdarahan, infark akut, malformasi vaskuler maupun SOL intrakranial A Suspek ADEM dd/ autoimmune encephalitis P Omeprazole 40mg IV BD Methylprednisolone 125mg IV QDS Paracetamol 500mg PO TDS PRN R/ LP 12/1/2019 Advis: EEG (BO (-) -> saran di poli)
Follow up 12 Januari 2019 S
Masih emosi dan pusing hilang timbul. Pasien meminta dipindahkan ke ruangan ber AC
O KU: tampak sakit ringan, VAS 3/10 TD : 130/80 N: 80x/menit
RR: 20x/menit
SpO2: 100%
GCS = E4M6V5 Meningeal sign (-), Parese CN (-), Motorik ekstremitas atas: 5555/5555, motorik ekstremitas bawah: 5555/5555. Refleks fisiologis ekstremitas atas dan bawah +2/+2, refleks patologis (-), Tic (+) GDS : 127 A Susp. ADEM dd/ NMDA / Autoimmune Encephalitis, obs syncope. P Omeprazole 40mg IV BD Methylprednisolone 125mg IV QDS Paracetamol 500mg PO TDS PRN Haloperidol 0.5mg PO BD R/ LP hari ini dengan dr. Evlyne, Sp.S. Follow up hasil LP
Hasil Analisis LCS Macroscopic Color : Colorless Clarity : Clear
Clot : Negative Sediment: Negative Microscopic Cell Count : 1
( <10 )
Differential Count : PMN 100 % MN 0 % Chemicals Nonne : Negative Pandy : Negative Glucose : 107.0 mg/dL
(40.0 - 76.0)
Chloride (Cl) : 125 mmol/L
(115 - 130)
Protein (Qualitative) : 0.14 g/L
(0.15 – 0.45)
Microbiology CSF Bacteria Direct Smear : Bacteria not found Fungus Direct Smear : Cryptococcus not found AFB Direct Smear : Acid Fast Bacillus not found
Advis: EEG (BO (-) -> saran di poli)
Follow up 14 Januari 2019 S
Masih sedikit agresif namun jauh membaik dari hari-hari sebelumnya. Mengeluarkan kata-kata kasar di hari Sabtu sore
O KU: tampak sakit ringan, VAS 3/10 TD : 110/80 N: 88x/menit
RR: 20x/menit
SpO2: 100%
GCS = E4M6V5 Meningeal sign (-), Parese CN (-), Motorik ekstremitas atas: 5555/5555, motorik ekstremitas bawah: 5555/5555. Refleks fisiologis ekstremitas atas dan bawah +2/+2, refleks patologis (-), Tic (+)
A Susp. ADEM dd/ NMDA / Autoimmune Encephalitis, obs syncope. P Omeprazole 40mg IV BD Methylprednisolone 125mg IV QDS Paracetamol 500mg PO TDS PRN Haloperidol 0.5mg PO BD Advis: EEG (BO (-) -> saran di poli)
ANALISA KASUS
Acute demyelinating encephalomyelitis atau ADEM merupakan kelainan sistem saraf pusat berupa demyelinasi saraf pusat yang dimediasi oleh sistem imun.1 Penyakit ini terutama ditemui pada anak-anak dengan usia rata-rata 5-8 tahun.1 Insiden terjadinya ADEM diperkirakan sebanyak 0,4 per 100.000 per tahun pada individu usia 20 tahun kebawah di California. Sedangkan di Canada sebanyak 0,2 per 100.000 per tahun pada anak usia dibawah 18 tahun.1,2 Tidak ada perbedaan signifikan antara insiden ADEM terhadap jenis kelamin (laki-laki : perempuan = 1:0.8).2 Demyelinasi pada ADEM merupakan hasil dari respon autoimun terhadap myelin yang bersifat sementara. Respons autoimun yang terjadi bisa akibat dari molecular mimicry atau infeksi langsung terhadap sistem saraf pusat. Pada molecular mimicry terdapat hipotesis bahwa ada kemiripan secara struktural antara patogen penyebab dengan sel host sehingga terjadi aktivasi sel T, namun kemiripan ini tidak cukup untuk menghasilkan toleransi. Sedangkan pada infeksi langsung terhadap sistem saraf pusat terdapat hipotesis bahwa keberadaan patogen neurotropik menyebabkan gangguan pada blood brain barrier (BBB) sehingga autoantigen sistem saraf pusat masuk ke sirkulasi sistemik dan mengaktivasi sel T.1 Manifestasi klinis ADEM berupa ensefalopati onset akut disertai defisit neurologis polifokal yang terkadang didahului oleh gejala prodromal (demam, lemas, iritabilitas, somnolen, nyeri kepala, mual dan muntah). Gejala-gejala ADEM umumnya bersifat progesif cepat dengan defisit maksimal 2-5 hari. Manifestasi neurologis tersering berupa pyramidal sign, ataxia, hemiparesis akut, neuritis optik atau keterlibatan nervus kranialis lainnya, kejang, sindroma spinal cord, dan gangguan bicara. Gagal napas ditemukan pada 11-16% kasus.2
Tabel 1. Kriteria Diagnosis ADEM
Pada anak-anak, diagnosis ADEM dapat ditegakkan bila memenuhi kriteria-kriteria pada tabel 1. ADEM terkadang sulit dibedakan dengan multiple sclerosis (MS) karena gejalanya yang mirip dan keduanya melibatkan respon imun terhadap myelin pada sistem saraf pusat. Dalam hal ini MRI serial memiliki peranan penting dalam menegakkan diagnosis dan membedakannya dengan MS.2
Gambar 1. Contoh perbandingan hasil MRI pasien dengan ADEM (A-C) dan MS (D-F)
Abnormalitas pada MRI paling bagus diindentifikasi melalui MRI T2, FLAIR, dan contrast-enhance MRI menggunakan gadolinium. Kelainan pada MRI biasanya bervariasi dari segi lokasi. Lesi yang mengarah ke diagnosis ADEM biasanya bilateral namun dapat juga asimetris dan umumnya bentuknya tidak beraturan. Lesi multipel pada white matter bagian dalam dan subcortical merupakan hal yang umum dan merupakan karakteristik dari demyelinasi (terkadang disertai lesi pada gray matter terutama pada kasus anak). Dapat juga melibatkan thalamus, basal ganglia, cerebellum, dan batang otak. Ukuran lesi dapat bervariasi antara <5mm sampai 5cm namun umumnya lesi terlihat dalam ukuran besar.1 Hasil MRI pada awal perjalanan penyakit dapat menunjukkan hasil yang normal sehingga perlu dilakukan MRI serial. Perbedaan utama antara hasil MRI pasien dengan ADEM dan MS adalah pada MS lesinya berbentuk ovoid dan terdapat keterlibatan periventrikular (Dawson Fingers) tanpa keterlibatan basal ganglia (Gambar 1.).
Pemeriksaan penunjang lainnya yang dapat dilakukan adalah dengan analisis CSF namun umumnya hasil pemeriksaan ini tidak spesifik. Jumlah leukosit pada analisa CSF biasanya normal yaitu pada 42-72% anak dengan ADEM. Pleocytosis biasanya ringan dengan persentase limfosit dan monosit yang tinggi.2 Dari hasil anamnesis, keluhan yang membawa pasien datang ke rumah sakit adalah karena pasien berbicara diulang-ulang. Keluhan ini tidak didahului oleh gejala-gejala prodromal seperti demam, ataupun mual muntah. Keluhan pyramidal sign seperti berkurangnya gerakan volunter, hemiparesis, penurunan visus maupun penurunan kesadaran berupa somnolen atau koma disangkal. Pada pasien ditemukan adanya perubahan kepribadian dan juga kejang dimana kedua hal ini dapat ditemukan pada pasien dengan ADEM, namun dari onset perjalanan penyakitnya hal ini kurang mendukung diagnosis ADEM karena pada pasien dengan ADEM keluhan memiliki progresifitas yang cepat dan hanya dalam hitungan hari (paling lama 4 minggu) dan bersifat self-limiting, sedangkan pada pasien berlangsung selama 3 bulan. Dari hasil pemeriksaan fisik juga tidak ditemukan defisit neurologis sehingga mengurangi kecurigaan terhadap diagnosis ADEM. Setelah itu dilakukan pemeriksaan penunjang berupa MRI kepala dengan kontras. Kesan pada MRI berupa lesi multipel dengan intensitas patologis yang tidak menyengat kontras di subcortical lobus frontal dan parietal bilateral yang diartikan sebagai lesi non spesifik. Pada ADEM lesi umunya berukuran besar dan multipel yang terlihat jelas pada MRI. Untuk itu dianjurkan dilakukan analisis CSF dan MRI serial sebagai follow up agar dapat menyingkirkan kemungkinan lain seperi MS. Dari data-data yang didapatkan maka diagnosis ADEM dapat disingkirkan. Berdasarkan anamnesis, keluhan yang pertama kali muncul pada pasien adalah keluhan psikiatri berupa perubahan perilaku dan kejang. Pada pasien-pasien dengan manifestasi klinis demikian kita dapat mencurigai diagnosis kearah autoimmune encephalitis karena manifestasi psikiatrik merupakan hal yang umum ditemukan pada fase awal penyakit ini. Jenis autoimmune encephalitis yang paling umum didahului dengan gejala psikiatrik adalah anti N-methyl-daspartate receptor encephalitis (anti-NMDAR encephalitis/ NMDA encephalitis). Dalam manifestasi klinisnya, NMDA encephalitis terbagi menjadi 4 fase. Kejang biasanya muncul di fase kedua namun dapat muncul di setiap fase. Autoimmune encephalitis bisa disebabkan oleh berbagai macam autoantibodi terhadap reseptor di otak namun secara epidemiologi penyebab
autoimmune encephalitis tersering adalah NMDA encephalitis terutama pada dewasa muda dan pada anak-anak sehingga penyakit ini menjadi diagnosis banding utama pada kasus ini.
Gambar 2. Fase perjalanan penyakit NMDA encephalitis
Pemeriksaan autoantibody memiliki peran yang sangat penting dalam penegakan diagnosis autoimmune encephalitis. Pemeriksaan autoantibody NMDA maupun autoantibody lainnya sangat sensitif apabila menggunakan spesimen CSF. Pemeriksaan menggunakan serum biasanya memberikan hasil positif palsu yang rendah dan negatif palsu yang tinggi. Pemeriksaan penunjang lain yang dapat dilakukan adalah imaging. MRI otak pada pasien-pasien autoimmune encephalitis biasanya menunjukkan gambaran normal atau peningkatan signal T2 terutama pada lobus temporalis media. Gambaran ini dapat juga ditemukan pada encephalitis virus maupun infeksi lainnya seperti tuberkulosis, dan sifilis. Dengan demikian MRI tidak dapat membedakan antara encephalitis akibat autoimmune atau infeksi, dan MRI otak yang normal tidak dapat mengeksklusi penyebab-penyebab ini. EEG berguna pada pasien dengan autoimmune encephalitis atau infeksi untuk mengeksklusi kejang subklinis, prognosis, dan menegakkan diagnosis tertentu. Pada pasien dengan HSV encephalitis, EEG dapat memprediksi prognosis sekaligus membantu menyingkirkan kejang non-konvulsif.3
Kejang dapat terjadi pada fase manapun selama perjalanan penyakit NMDA encephalitis, termasuk pada fase awal penyakit. Pola extreme delta brush dapat ditemukan pada pasien dengan NMDA encephalitis, paling sering pada pasien yang koma. Perlu dilakukan uji antibody NMDAR apabila ditemukan pola EEG yang khas seperti ini. Pasien dengan NMDA encephalitis atau autoimmune encephalitis lainnya juga mungkin memiliki periode tidak responsif yang lama dan perilaku abnormal yang bukan disebabkan oleh kejang, sehingga dalam kasus ini pemantauan EEG yang berkepanjangan mungkin sangat membantu. Status epilepticus juga dapat terjadi dalam beberapa bentuk ensefalitis autoimun.3,4 Dari hasil MRI disarankan untuk follow up MRI untuk menyingkirkan MS atau vasculitis. MS merupakan suatu penyakit inflamasi kronik yang dimediasi oleh imun. Pada orang dewasa, MS memiliki manifestasi klinis berupa hipestesi, parestesi, cefalgia, gangguan penglihatan, nyeri, mudah lelah, kekakuan pada otot, gangguan berjalan dan lain-lain. Pada anakanak gejala yang ditimbulkan mirip dengan pada orang dewasa namun onset terjadinya MS lebih akut, mirip seperti ADEM dan seringnya pada awal penyakit menunjukkan gejala-gejala keterlibatan cerebellum atau batang otak. Adapun kriteria diagnosis untuk MS pada anak sesuai dengan tabel 2.5,6 Pediatric MS Criteria Diagnosis − ≥ 2 non-encephalopathic, clinical CNS events with presumed inflammatory cause, separated − by > 30 days and involving more than one CNS area. − one non-encephalopathic episode typical of MS which is associated with MRI findings consistent with 2010 revised Mcdonald criteria for dissemination in space (DIS) and in which a follow-up MRI shows at least one new enhancing or non-enhancing lesion consistent with dissemination in time (DIT) MS criteria. − one ADEM attack followed by a non-encephalopathic clinical event, three or more months after symptom onset, that is associated with new MRI lesions that fulfill 2010 revised Mcdonald dis criteria. − a first, single, acute event (e.g. A CIS) that does not meet ADEM criteria and whose MRI findings are consistent with the 2010 revised Mcdonald criteria for DIS and DIT (applied only to children ≥12 years old). Tabel 2. Kriteria diagnosis MS pada anak
Secara klinis pasien tidak menunjukkan gejala MS namun pada pasien ini MS belum dapat disingkirkan karena dari MRI ditemukan lesi non spesifik yang menyerupai MS. Namun diperlukan follow up MRI untuk melihat apakah ada lesi baru dimana penemuan lesi baru pada MRI follow up merupakan salah satu tanda MS.
Tabel 3. Kriteria McDonald untuk MS
Karena pasien ini kemungkinan besar mengidap autoimmune encephalitis maka penanganan yang diberikan harus sesuai dengan diagnosis tersebut. Terapi lini pertama untuk autoimmune encephalitis berupa corticosteroid, IV immunoglobulin (IVIG) dan plasma exchange (PLEX).3 Corticosteroid yang digunakan adalah methylprednisolone intravena dengan dosis 1 gram per hari untuk 3-5 hari kemudian diturunkan perlahan dalam beberapa minggu sedangkan dosis IVIG adalah 0.4/kg/hari untuk 5 hari.4 Jika gejala pasien tidak membaik dalam 2 minggu atau lebih maka pengobatan diubah ke lini kedua. Namun apabila sebelum 2 minggu terjadi perburukan, misalnya pasien tiba-tiba koma, maka terapi lini kedua langsung diberikan. Terapi lini kedua berupa rituximab dengan dosis 375mg/m2 per minggu untuk 4 minggu atau cyclophosphamide 750 mg/m2 IV per bulan sampai terjadi perbaikan, atau keduanya. Bila diagnosis MS tegak, maka pengobatan lini pertama adalah interferon beta (IFNB) atau glatiramer acetate.6 Dosis IFNB subcutan untuk orang dewasa (42 dan 22 microgram, 3 kali seminggu) dapat ditoleransi oleh anak-anak dan orang dewasa. Sedangkan pada anak-anak dengan MS progresif (relaps saat menjalani pengobatan lini pertama), maka diperlukan obat yang lebih efektif atau terapi lini kedua seperti natalizumab, fingolimod, mitoxantrone, cyclophosphamide, rituximab, dan daclizumab.
DAFTAR PUSTAKA
1. Gray M, Gorelick M. Acute Disseminated Encephalomyelitis. Pediatric Emergency Care. 2016;32(6):399-400. 2. Pohl D, Alper G, Van Haren K, Kornberg A, Lucchinetti C, Tenembaum S et al. Acute disseminated encephalomyelitis. Neurology. 2016;87(9 Supplement 2):S38-S45. 3. Lancaster E. The Diagnosis and Treatment of Autoimmune Encephalitis. Journal of Clinical Neurology. 2016;12(1):1. 4. Shin Y, Lee S, Park K, Jung K, Jung K, Lee S et al. Treatment strategies for autoimmune encephalitis. Therapeutic Advances in Neurological Disorders. 2017;11:175628561772234. 5. Ghezzi A, Baroncini D, Zaffaroni M, Comi G. Pediatric versus adult MS: similar or different?. Multiple Sclerosis and Demyelinating Disorders. 2017;2(1). 6. Alroughani R, Boyko A. Pediatric multiple sclerosis: a review. BMC Neurology. 2018;18(1).