Lapkas Pterigium.docx

  • Uploaded by: Maichel Yorgen Wohon
  • 0
  • 0
  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Lapkas Pterigium.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 3,058
  • Pages: 19
BAB I PENDAHULUAN

Pterigium adalah kelainan pada konjungtiva bulbi, pertumbuhan fibrovaskular konjungtiva yang bersifat degeneratif dan invasif. Pertumbuhan ini biasanya terdapat pada celah kelopak bagian nasal ataupun temporal konjungtiva yang meluas ke daerah kornea. Pterigium berbentuk segitiga dengan puncak di bagian sentral atau di daerah kornea. Pterigium mudah meradang dan bila terjadi iritasi, maka bagian pterigium akan berwarna merah. Pterigium sering mengenai kedua mata.1,2 Pterigium lebih sering ditemui di daerah beriklim tropis dan subtropis. Prevalensi pterigium sesuai dengan Panduan Manajemen Klinis Perdami, insidens pterigium cukup tinggi di daerah equator sekitar 13,1%.2 Angka prevalensi pterigium di dunia sangat besar (0,7–31%), berkisar 1,2% ditemukan di daerah urban pada orang kulit putih dan 23,4% di daerah tropis Barbados pada orang kulit hitam. Di Amerika Serikat, angka prevalensi 2% (bagian Utara) sampai 7% (bagian Selatan). Sedangkan prevalensi pterigium di Indonesia sendiri pada kedua mata tertinggi di Sumatera Barat sekitar 9,2%, yang terendah di Provinsi DKI Jakarta 0,4%, dan prevalensi pterigium pada salah satu mata tertinggi di Nusa Tenggara Barat sebesar 4,1%, dan terendah di provinsi DKI Jakarta sekitar 0,2%. Prevalensi ini berbeda-beda di antara jenis ras, luas dan lamanya paparan sinar matahari. Umumnya angka prevalensi pterigium pada daerah tropis lebih tinggi dibandingkan daerah lainnya.1,2 Berbagai teori patogenesis pterigium menunjukkan paparan sinar ultra violet merupakan penyebab utama terjadinya pterigium. Hal ini sesuai dengan peta distribusi pterigium dari Cameron, secara geografis memperlihatkan angka kejadian pterigium, yang meningkat bila mendekati khatulistiwa (37° LU dan 37° LS). Prevalensi penderita pterigium sebesar 22,5% dan akan terus menurun sampai 2% pada daerah 40° LU dan LS.2,6,7 Di daerah tropis seperti Indonesia, dengan paparan sinar matahari tinggi, resiko timbulnya pterigium 44× lebih tinggi

1

dibandingkan daerah non-tropis, dengan prevalensi untuk orang dewasa > 40 tahun adalah 16,8%; laki-laki 16,1% dan perempuan 17,6%. Hasil survei morbiditas oleh Departemen Kesehatan Republik Indonesia, angka kejadian pterigium sebesar 13,9% dan menempati urutan kedua penyakit mata.3 Etiologi dari pterigium sampai saat ini belum diketahui dengan jelas. Namun terdapat berbagai teori yang telah diajukan yang didasarkan pada observasi insidensi, distribusi, geografi, dan histopatologi. Faktor iritasi eksternal yang paling mendekati sebagai bukti penyebab yaitu paparan sinar ultraviolet atau inframerah, disamping debu, angin, asap dan udara panas. Hal ini didukung oleh banyaknya kasus pterigium yang ditemui didaerah tropis dan sub tropis dibanding daerah lainnya.4,5 Penderita dengan pterigium dapat tidak menunjukkan gejala apapun (asimptomatik), bisa juga menunjukkan keluhan mata iritatif, gatal, merah, sensasi benda asing hingga perubahan tajam penglihatan tergantung dari stadiumnnya.6

ANATOMI Konjungtiva merupakan membran yang menutupi sklera dan kelopak bagian belakang. Konjungtiva mengandung kelenjar musin yang dihasilkan oleh sel Goblet. Musin bersifat membasahi bola mata terutama kornea.1,7

Konjungtiva terdiri atas tiga bagian, yaitu :  Konjungtiva tarsal yang menutupi tarsus, konjungtiva tarsal sukar digerakkan dari tarsus. 

Konjungtiva bulbi menutupi sklera dan mudah digerakkan dari sklera di bawahnya. 2



Konjungtiva forniks yang merupakan tempat peralihan konjungtiva tarsal dengan konjungtiva bulbi. Konjungtiva bulbi dan konjungtiva forniks berhubungan sangat longgar

dengan jaringan di bawahnya, sehingga bola mata mudah bergerak.

ETIOLOGI DAN PATOFISIOLOGI Etiologi belum diketahui pasti. Penyebab pterigium belum dapat dipahami secara jelas. Namun, pterigium banyak terjadi pada mereka yang banyak menghabiskan waktu di luar rumah dan banyak terkena panas terik matahari. Faktor risiko terjadinya pterigium adalah tinggal di daerah yang banyak terkena sinar matahari, daerah yang berdebu, berpasir atau anginnya besar. Pterigium sering ditemukan pada petani, nelayan dan orang – orang yang tinggal di dekat daerah khatulistiwa. Jarang menyerang anak-anak. Paparan sinar matahari dalam waktu lama, terutama sinar UV, serta iritasi mata kronis oleh debu dan kekeringan diduga kuat sebagai penyebab utama pterigium. Teori yang dikemukakan :4,5,6,7,9 1. Paparan sinar matahari (UV) Paparan sinar matahari merupakan faktor yang penting dalam perkembangan terjadinya pterigium. Hal ini menjelaskan mengapa insidennya sangat tinggi pada populasi yang berada pada daerah dekat equator dan pada orang –orang yang menghabiskan banyak waktu di lapangan. 2. Iritasi kronik dari lingkungan (udara, angin, debu)

3

Faktor lainnya yang berperan dalam terbentuknya pterigium adalah alergen, bahan kimia berbahaya, dan bahan iritan (angin, debu, polutan). UV-B merupakan mutagenik untuk p53 tumor supressor gen pada stem sel limbal. Tanpa apoptosis, transforming growth factor-beta over produksi dan memicu terjadinya peningkatan kolagenasi, migrasi seluler, dan angiogenesis. Selanjutnya perubahan patologis yang terjadi adalah degenerasi elastoid kolagen dan timbulnya jaringan fibrovaskuler subepitelial. Kornea menunjukkan destruksi membran Bowman akibat pertumbuhan jaringan fibrovaskuler.

Pterigium dapat tidak memberikan keluhan atau akan memberikan keluhan mata iritatif, gatal, merah, sensasi benda asing dan mungkin menimbulkan astigmatisme atau obstruksi aksis visual yang akan memberikan keluhan gangguan penglihatan.1,5,7,10 Berdasarkan luas perkembangannya diklasifikasikan menjadi: Gradasi klinis menurut Youngson Derajat 1

: Jika pterigium hanya terbatas pada limbus kornea.

Derajat 2

: Jika pterigium sudah melewati limbus kornea tetapi tidak lebih dari 2 mm melewati kornea.

Derajat 3

: Jika pterigium sudah melebihi derajat dua tetapi tidak melebihi pinggiran pupil mata dalam keadaan cahaya normal (diameter pupil sekitar 3-4 mm).

Derajat 4

: Jika pertumbuhan pterigium sudah melewati pupil sehingga mengganggu penglihatan.

4

Berdasarkan progresifitas tumbuhnya : Stasioner : relatif tidak berkembang lagi (tipis, pucat, atrofi) Progresif : berkembang lebih besar dalam waktu singkat

GEJALA KLINIS 

Mata sering berair dan tampak merah



Merasa seperti ada benda asing



Timbul astigmatisme akibat kornea tertarik oleh pertumbuhan pterigium tersebut, biasanya astigmatisme with the rule ataupun astigmatisme irreguler sehingga mengganggu penglihatan



Pada pterigium yang lanjut (derajat 3 dan 4) dapat menutupi pupil dan aksis visual sehingga tajam penglihatan menurun

PENATALAKSANAAN Karena munculnya pterigium akibat paparan lingkungan, penatalaksanaan kasus dengan tanpa gejala atau iritatif yang sedang dengan kacamata anti UV dan pemberian air mata buatan/topical lubricating drops. Pasien disarankan untuk menghindari daerah yang berasap atau berdebu. Pterigium dengan inflamasi atau iritasi diobati dengan kombinasi dekongestan/antihistamin (seperti Naphcon-A) dan/atau kortikosteroid topikal potensi sedang 4 kali sehari pada mata yang terkena.7,10 Indikasi operasi eksisi pterigium yaitu karena masalah kosmetik dan atau adanya gangguan penglihatan, pertumbuhan pterigium yang signifikan (> 3-4 mm), pergerakan bola mata yang terganggu/terbatas, dan bersifat progresif dari pusat kornea/aksis visual.6,7,10

5

Operasi mikro eksisi pterigium bertujuan mencapai keadaan yang anatomis, secara topografi membuat permukaan okuler rata. Teknik operasi yang umum dilakukan adalah menghilangkan pterigium menggunakan pisau tipis dengan diseksi yang rata menuju limbus. Meskipun teknik ini lebih disukai dilakukan diseksi ke bawah bare sclera pada limbus, akan tetapi tidak perlu diseksi eksesif jaringan Tenon, karena kadang menimbulkan perdarahan akibat trauma terhadap jaringan otot. Setelah eksisi, biasanya dilakukan kauter untuk hemostasis sclera. Beberapa teknik operasi antara lain : 

Bare Sclera : tidak ada jahitan atau menggunakan benang absorbable untuk melekatkan konjungtiva pada sklera superfisial di depan insersi tendon rektus, meninggalkan area sklera yang terbuka. (teknik ini menghasilkan tingkat rekurensi 40% - 50%).



Simple Closure : tepi bebas dari konjungtiva dilindungi (efektif jika defek konjungtiva sangat kecil)



Sliding flap : insisi L-shaped dilakukan pada luka sehingga flap konjungtiva langsung menutup luka tersebut.



Rotational flap : insisi U-shaped dibuat membuat ujung konjungtiva berotasi pada luka.



Conjunctival graft : graft bebas, biasanya dari konjungtiva bulbar superior dieksisi sesuai ukuran luka dan dipindahkan kemudian dijahit.



Amnion membrane transplantation : mengurangi frekuensi rekuren pterigium, mengurangi fibrosis atau scar pada permukaan bola mata dan

6

pada penelitian, mengungkapkan penekanan TGF–β pada konjungtiva dan fibroblast pterigium. 

Lamellar

keratoplasty,

excimer

phototerapeutic

keratectomy

dan

menggunakan gabungan angiostatic steroid.

DIAGNOSIS BANDING 

Pinguekula Merupakan degenerasi hialin jaringan submukosa konjungtiva



Pseudopterigium Merupakan perlekatan konjungtiva dengan kornea yang cacat. Sering terjadi pada proses penyembuhan tukak kornea

PROGNOSIS Eksisi pada pterigium pada penglihatan dan kosmetik adalah baik. Prosedur yang baik dapat ditolerir pasien dan disamping itu pada beberapa hari post operasi pasien akan merasa tidak nyaman, kebanyakan setelah 48 jam pasca operasi pasien bisa memulai aktivitasnya. Bagaimanapun juga, pada beberapa kasus terdapat rekurensi dan risiko ini biasanya karena pasien yang terus terpapar radiasi sinar matahari, juga beratnya atau derajat pterigium. Pasien dengan pterygia yang kambuh lagi dapat mengulangi pembedahan eksisi dan grafting.7,10

KOMPLIKASI Komplikasi dari pterigium meliputi sebagai berikut: 

Gangguan penglihatan



Kemerahan



Iritasi



Gangguan pergerakan bola mata

7

BAB II LAPORAN KASUS

A. Identitas Penderita Nama

:

DD

Jenis Kelamin

:

Laki-laki

Umur

:

60 tahun

TTL

:

Manado, 29 Desember 1955

Alamat

:

Wanea

Pekerjaan

:

Pesiunan

Suku

:

Minahasa

Bangsa

:

Indonesia

Agama

:

Kristen Katholik

Pemeriksaan

:

13 April 2016

B. Anamnesis Keluhan Utama: Penglihatan kabur pada mata kanan

Penglihatan kabur pada mata kanan dialami penderita sejak ± 4 bulan yang lalu, awalnya terdapat bintik putih kecil pada kedua bola mata sejak ± 3 tahun yang lalu yang semakin membesar menutupi bagian mata yang berwarna hitam sehingga mengganggu penglihatan. Penderita juga mengeluh rasa gatal pada mata kanan, disertai mata berair dan rasa perih serta mata merah yang menganggu aktivitas sehari-hari. Sakit kepala (-), mual (-), muntah (-). Riwayat trauma pada mata disangkal oleh penderita.Penderita mengaku belum pernah mengalami penyakit seperti ini sebelumnya. Riwayat penggunaan kacamata selama ± 2 tahun. Riwayat peyakit keluarga, hanya penerita yang sakit seperti ini. Riwayat penyakit dahulu, hipertensi ± 10 tahun terkontrol.

8

C. Pemeriksaan Fisik Status Generalis 1.Keadaan Umum

: Baik

2.Kesadaran

: Compos Mentis

3.Tanda Vital

: Tekanan Darah : 110/80 mmHg

4.Kepala

Nadi

: 78 x/menit

Pernapasan

: 18 x/menit

Suhu

: 36oC

: Konjungtiva anemis (-/-) Sklera ikterik (-/-) Pupil bulat, isokor kiri=kanan, refleks cahaya +/+ normal

5.Leher

: tidak ada kelainan

6.Thoraks

: tidak ada kelainan

7.Abdomen

: tidak ada kelainan

8.Ekstremitas

: akral hangat

Status psikiatri Penderita bersikap kooperatif, selama dilakukan pemeriksaan ekspresi wajah dan sikap yang ditunjukkan baik.

Status Oftalmikus

a. Pemeriksaan Subjektif 

Visus okulus dektra



Visus okulus sinistra : 6/9

: 2/60

- Tekanan Intra Okulus Dekstra

: 14,6 mmHg

- Tekanan Intra Okulus Sinistra

: 12,2 mmHg

9

b. Pemeriksaan Objektif 

Segmen Anterior - Inspeksi ODS : Benjolan dikonjungtiva bulbi bagian nasal (+) berwarna putih kelabu bentuk segitiga dengan puncak melewati limbus tapi belum melewati setengah jarak antara limbus dan pupil. Permukaan kornea tidak rata, bilik mata depan cukup dalam, iris normal, pupil bulat, refleks cahaya (+) normal, lensa jernih. - Palpasi OD : Nyei tekan (-), tumor (-), tekanan intra okular 14,6 mmHg - Palpasi OS : Nyei tekan (-), tumor (-), tekanan intra okular 12,2 mmHg



Segmen Posterior : Refleks fundus mata kiri dan kanan (+) uniform



Pemeriksaan Slit lamp OD Pada okulus dextra, kornea ditutupi oleh jaringan fibrovaskular berbentuk segitiga yang puncaknya sudah melewati limbus kornea tapi tidak lebih dari 2mm, COA dalam, lensa jernih. Pada oculus dextar jaringan fibrovaskular berbentuk segitiga yang puncaknya hanya berbatas pada limbus kornea, COA dalam, lensa jernih.

JENIS PEMERIKSAAN 1. Obliqus Ilumiation OD Kornea

: Jaringan fibrovaskular berbentuk segitiga

COA

: Dalam

Iris

: Normal

Lensa (kekeruhan) : Jernih

2. Direct Opthalmoscope OD Kornea

: Jaringan fibrovaskular berbentuk segitiga

COA

: Dalam

Lensa (kekeruhan) : Jernih Badan Kaca

: Jernih

Refleks Fundus

: (+) uniform

10

P. darah

: Normal

Makula lutea

: Refleks fovea (+) Normal

3. Slit lamp OD Kornea

: Jaringan fibrovaskular berbentuk segitiga

COA

: Dalam

Iris

: Normal

Lensa (kekeruhan) : Jernih Konjungtiva bulbi : Jaringan fibrovaskular bagian nasal (+)

RESUME Seorang laki-laki, 60 tahun, datang ke poli mata RSUP Prof. Dr. R. D. Kandow, dengan keluhan penglihatan kabur pada mata kanan dialami penderita sejak ± 4 bulan yang lalu, awalnya terdapat bintik putih kecil pada kedua bola mata sejak ± 3 tahun yang lalu yang semakin membesar menutupi bagian mata yang berwarna hitam sehingga mengganggu penglihatan. Penderita juga mengeluh rasa gatal pada mata kanan, disertai mata berair dan rasa perih serta mata merah yang menganggu aktivitas sehari-hari. Sakit kepala (-), mual (-), muntah (-). Riwayat trauma pada mata disangkal oleh penderita. Pendeita mengaku belum pernah mengalami penyakit seperti ini sebelumnya. Riwayat penggunaan kacamata selama ± 2 tahun. Riwayat peyakit keluarga, hanya penerita yang sakit seperti ini. Riwayat penyakit dahulu, hipertensi ±10 tahun terkontrol. Pada pemeriksaan oftalmologi, snellen chart didapatkan VOD 2/60 dan VOS 6/9. Pemeriksaan slit lamp didapatkan kornea OD murni ditutupi oleh membran berbentuk segitiga yang puncaknya sudah melewati limbus kornea tetapi tidak melewati 2mm.

DIAGNOSIS Pterigium Stadium II Oculus Dextra, Presbiopia Oculus Dextra Sinistra

11

Miopia Oculus Dextra Astigmatisme Miopia Simplex Oculus Sinistra

PENATALAKSANAAN Penatalaksaan bersifat non bedah yaitu diberikan edukasi untuk mengurangi iritasi atau paparan terhadap siar ultraviolet, debu, dan angina. Jika pterigium mengalami inflamasi dapat berobat dan diberikan kombinasi antibiotik dan steroid 3 kali tetes per hari pada hari pada kedua mata selama 5-7 hari. Lubricant Eyedrops 3 kali tetes per hari pada kedua mata.

Resep Kacamata

OD:

-3.00

OS :

Add  +3.00

c-0.50x90 Add  +3.00

PROGNOSIS Prognosis ad vitam

: bonam

Prognosis ad fungsiovarum

: dubia

Prognosis ad canatiovarum

: dubia

ANJURAN PEMERIKSAAN 

Menggunakan kacamata saat beraktivitas di luar rumah dan mengendarai sepeda motor



Pakai obat teratur

12

FOTO KLINIS PASIEN

13

BAB III DISKUSI

Diagnosis pada kasus ini ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan oftalmologi. Dari anamnesis didapatkan adanya penglihatan kabur pada mata kanan, disertai rasa gatal dan mata berair serta mata merah. Hal ini sesuai kepustakaan yang menyebutkan bahwa keluhan subjektif pada penderita pterigium bervariasi mulai dari tanpa keluhan sampai timbul gejala berupa adanya sesuatu yang mengganjal, mata merah, perih, gatal, panas, sering keluar air mata dan penurunan ketajaman penglihatan. Mata merah, gatal, sering keluar air mata dan perih dapat terjadi akibat iritasi pada pterigium. Penglihatan kabur mulai terjadi pada pterigium stadium II, pterigium sudah melewati limbus kornea tetapi tidak lebih dari 2 mm melewati kornea.1,5 Penyebab pterigium yang pasti sampai saat ini belum jelas, tetapi diduga disebabkan oleh iritasi faktor eksternal, yaitu sinar ultraviolet (UV–A dan UV–B) atau inframerah, disamping debu, angin dan udara panas. Beberapa teori mengemukakan pendapat yang dapat dikategorikan, yaitu : 1. Paparan sinar matahari (UV) 2. Iritasi kronik dari lingkungan (udara, angin dan debu) Faktor ini pula ditemukan pada anamnesis pasien ini. Penderita mengemukakan sering beraktivitas di luar rumah, menjelaskan adanya paparan sinar matahari. Kemudian riwayat mengendarai sepeda motor (naik ojek) tanpa mengenakan kacamata, menambah riwayat paparan angin kencang, debu ataupun polutan. Pada awalnya pterigium tampak sebagai suatu jaringan dengan banyak pembuluh darah sehingga warnanya merah, kemudian menjadi suatu membran tipis dan berwarna putih. Bagian sentral yang melekat pada kornea dapat tumbuh memasuki kornea dan menggantikan epitel, juga membran Bowman dengan jaringan elastis dan hialin. Pertumbuhan ini berlanjut dan mendekati pupil, yang dapat memperparah gangguan penglihatan pada seorang penderita pterigium.

14

Pada pemeriksaan oftalmologi, secara subjektif ditemukan penglihatan kedua mata penderita masih sama dengan orang normal. Penderita juga tidak ditemukan mengalami buta warna total maupun parsial. Sedangkan pada pemeriksaan objektif, ditemukan adanya benjolan pada konjungtiva bulbi mata kanan. Benjolan berupa jaringan fibrovaskuler berbentuk segitiga dengan dasar pada konjungtiva bulbi dan puncak telah melewati limbus kornea ± 2mm tetapi tidak melewati kornea. Temuan ini sesuai kepustakaan mengarah pada pterigium derajat II. Menyatukan semua data, penderita di diagnosis dengan pterigium grade II occulus dekstra, karena terdapat pada mata kanan dengan puncak sudah melewati limbus ±2mm. Prinsip penanganan pterigium dapat hanya dengan observasi dan pemberian obat – obatan jika pterigium masih derajat I atau II. Lebih lanjut, tindakan pembedahan berupa mikro eksisi dilakukan bertujuan untuk mencapai keadaan anatomis, secara topografi membuat permukaan okuler rata. Teknik operasi yang dilakukan adalah menghilangkan pterigium menggunakan pisau tipis dengan diseksi rata menuju limbus. Prognosis pada penderita ini adalah dubia ad bonam. Tertunjang dari kepustakaan yang menyatakan bahwa pada umumnya pterigium bertumbuh secara perlahan dan jarang sekali menyebabkan kerusakan yang bermakna, terkecuali bila penderita telah berada pada stadium IV, dimana tindakan pembedahan sekalipun tetap tidak bisa mengembalikan penglihatan penderita kembali akibat besarnya kemungkinan pembentukan scar yang mengganggu penglihatan. Karena itu prognosis pasien ini adalah baik. Pada penderita ini dianjurkan untuk selalu memakai kacamata pelindung atau topi pelindung bila keluar rumah. Terutama jika sedang bekerja dianjurkan menggunakan proteksi terhadap matanya. Diharapkan agar penderita sedapat mungkin menghindari faktor pencetus timbulnya pterigium seperti sinar matahari, polutan, zat asam, angin kencang dan debu serta rajin merawat dan menjaga kebersihan kedua mata. Hal ini sesuai kepustakaan bahwa untuk mencegah pterigium terutama bagi mereka yang sering

15

beraktivitas di luar rumah dapat menggunakan kacamata atau topi pelindung untuk menghindari kontak dengan sinar matahari, debu, udara panas dan angin.

16

BAB IV PENUTUP

Demikianlah telah dibahas suatu laporan kasus dengan judul : Pterigium Stadium II OD, presbiopia ODS, miopia OD, dan astigmatisme miopia simplex OS, pada penderita seorag laki-laki, 66 tahun yang datang ke poliklinik mata RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado.

17

DAFTAR PUSTAKA 1. Demartini DR, DW Vastine. Pterygium. In : Abbott RL, editor. Surgical interventions Corneal and External diseases . Pterigium:. Pada Abbott RL,

editor penyakit Bedah. Intervensi Kornea dan Eksternal. Grune and Straton: Orlando, USA; 1987. Grune dan Straton: Orlando, USA; 1987.

2. Fong KS, Balakrishnan V, Chee SP, Tan DT. KS Fong, V Balakrishnan, SP Chee, DT Tan. Refractive change following pterygium surgery. CLAO J 1998;24:115-7. Bias perubahan setelah operasi pterigium;. CLAO J 1998.

3. Maheshwari S. Effect of pterygium excision on pterygium-induced astigmatism. Indian J Ophthalmol 2003;51:187-8. Maheshwari S. Pengaruh eksisi

pterygium pada pterygium-Silindris diinduksi;. India J Ophthalmol 2003. 4. Hansen A, Norn M. Astigmatism and surface phenomena in pterygium. Acta Ophthalmol (Copenh) 1980;58:174-81. Hansen A, Norn M. astigmatisma dan

fenomena permukaan di pterigium.. Acta Ophthalmol (Copenh) 1980. 5. Lin A, Stern G. Correlation between pterygium size and induced corneal astigmatism. Cornea 1998;17:28-30. Lin A, Stern G. Korelasi antara ukuran

pterygium dan astigmatisme kornea diinduksi; Kornea.998. 6. Stern G, Lin A. Effect of pterygium excision on induced corneal topographic abnormalities. Cornea 1998;17:23-7. Stern G, Lin A. Pengaruh eksisi

pterygium pada kelainan yang disebabkan topografi kornea;. Cornea 1998. 7. Tomidokoro A, Miyata K, Sakaguchi Y, Samejima T, Tokunaga T, Oshika T. Effects of pterygium on corneal spherical power and astigmatism . Tomidokoro

A, Miyata K, Sakaguchi Y, T Samejima, Tokunaga T, Oshika T. Pengaruh pterygium

daya

bola

kornea

dan

astigmatisme.

Ophthalmology

2000;107:1568-71. Ophthalmology 2000.

8. Cinal A, Yasar T, Demirok A, Topuz H. The effect of pterygium surgery on corneal topography. Ophthalmic Surg Lasers 2001;32:35-40. Cinal A, T Yasar,

Demirok A, Topuz H. Pengaruh operasi pterygium pada topografi kornea;. Kedokteran Laser 2001 Surg 40.

18

9. Yagmar M, Altan A, Ozcan MD, Sari S, Ersoz RT. Yagmar M, Altan A, Ozcan MD, S Sari, RT Ersoz. Visual acuity and corneal topographic changes related with pterygium surgery. J Refract Surg 2005;21:166-70. Visual

ketajaman dan perubahan topografi kornea terkait dengan operasi pterigium;. Membiaskan J Surg 2005. 10. Oldenburg JB, Garbus J, McDonnell JM, McDonnell PJ. JB Oldenburg, Garbus J, JM McDonnell, McDonnell PJ. Conjunctival pterygia. Konjungtiva pterygia. Mechanism of corneal topographic changes. Cornea 1990;9:200-4. Mekanisme perubahan topografi kornea;. Cornea 1990 9:200-4

19

Related Documents

Lapkas Anes.docx
August 2019 62
Lapkas Korea.docx
April 2020 41
Lapkas Paru.docx
June 2020 40
Lapkas Pterigium.docx
May 2020 25
Lapkas Mds.docx
June 2020 21
Lapkas Ensefalitis.docx
December 2019 45

More Documents from "put zul"