Referat Obgyn.docx

  • Uploaded by: Refian Perdana
  • 0
  • 0
  • October 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Referat Obgyn.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 10,940
  • Pages: 43
BAB 1 PENDAHULUAN Sindrom Sheehan merupakan sindrom yang terdiri dari hypoprolactinemia, hypogonadism, hypotiroidism dan hypocortisolism. Sindrom Sheehan terjadi akibat perdarahan berat setelah melahirkan yang kemudian menyebabkan nekrosis pada kelenjar pituitary anterior. Pada ibu hamil, terjadi perbesaran kelenjar pituitary secara fisiologis akibat kompensasi tubuh terhadap kehamilan itu sendiri, diketahui perbesaranterjadi sekitar 135% terhadap ukuran normal. Perbesaran ini membuat kelenjar pituitary menjadi rentan terhadap iskemia dan nekrosis.1,2 Sindrom Sheehan sudah jarang ditemukan di negara maju, namun hal ini masih banyak terjadi pada negara berkembang. Di kashmir, India 279 dari 8.730 ibu hamil usia 20 – 39 tahun dan 124 dari 2.970 ibu hamil usia 40 tahun ke atas merupakan penderita sindrom Sheehan. Sedangkan untuk seluruh India sekitar 3% dilaporkan mengalami sindrom Sheehan.3 Sindrom Sheehan sendiri merupakan kelainan yang bisa terjadi pada ibu hamil dengan gejala klinis berupa amenore, kegagalan menyusui dimana air susu tidak keluar, rontoknya rambut pubis dan rambuta axilla, penurunan libido, intoleransi suhu dan penurunan fungsi kognititif.4 Biasanya, sindrom sheehan jarang terdiagnosa secara tepat. Diagnosis Sheehan sindrom ditentukan oleh riwayat pasien, pemeriksaan fisik, dandikonfirmasi dengan tes laboratorium (kadar hormon dan tes stimulasi hormon yangmembuktikan kegagalan hipofisis anterior).4 Uji laboratorium dapat mengungkapkan anomalilainnya seperti hiponatremia. Ini adalah ketidakseimbangan elektrolit yang paling umum, terjadipada 33% sampai 69% dari kasus.5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi dan Fisiologi Kelenjar Pituitary 2.1.1 Anatomi Kelenjar Pituitary Hipofisis berasal dari kata hypo=di bawah + physis=pertumbuhan atau disebut kelenjar pituitari, beratnya ±0,5 gr, berdiameter 1-5 cm dan ukuran normalnya pada manusia ± 10 x 13 x 6 mm. Hipofisis terletak pada fossa hypophyseal di sella tursika dari tulang sphenoidale dan dihubungkan dengan hipotalamus oleh tungkai hipofisis atau hipofisial. Hipofis terdiri atas 2 kelenjar yaitu, anterior (adenohipofisis) dan posterior (neurohipofisis) yang secara anatomis disatukan tetapi memiliki fungsi yang berbeda.1,2,6,7

a. Adenohipofisis (Pituitari Anterior) 1. Pars Distalis/Lobus Anterior1,2,6,7 Merupakan 75% dari massa total hipofisis. Terdiri dari bermacammacam sel dengan berbagai ukuran yang berkelompok dalam bentuk genjelgenjel (cord), dipisahkan oleh anyaman sinusoid yang berdinding tipis.

1

Stroma kelenjar sedikit, terdiri dari serabut kolagen. Komponen utamanya adalah sel epitel kelenjar yang saling bersilangan dengan kapiler. Hormonhormon yang dihasilkan oleh pars distalis disimpan dalam bentuk granul sekresi. Fibroblas yang ditemukan pada pars distalis menghasilkan seratserat retikulin yang menopang deretan sel-sel yang mensekresi hormon. Pars distalis terdapat 2 kelompok sel, yaitu: 

Sel khromofob (tidak memiliki afinitas terhadap zat warna) Ukuran sel kecil, sitoplasma sedikit, batas sel tak jelas, terwarna lemah, sel-sel dalam kelompokan kecil. Terbagi menjadi: o kromofob yang memiliki granula sekretorik o kromofob yang tidak memiliki granula sekretorik (mengandung selsel prakembang dan sel-sel folikular) Berfungsi untuk fagositosis.



Sel khromofil (memiliki afinitas terhadap zat warna), yang terdiri dari 2 jenis sel, yaitu: o Sel asidofil (sel ) Bentuk

sel

oval/polygonal/kerucut,

inti

bulat,

sitoplasma

mengandung granula sekretory asidofil, sehingga sitoplasmanya terwarna asidofilik (merah). Secara imunositokimia dibedakan menjadi 2 jenis sel asidofil, yaitu:  Somatotrof Jenis sel asidofil ini paling banyak ditemukan dalam lobus anterior hipofisis. Bentuk sel kerucut, inti bulat besar letak central, dalam sitoplasma banyak granula sekretory asidofil. Sel berkelompok. Somatotrof mensekresi hormone somatrotropin (growth hormone/GH).  Mammotrof Disebut juga laktotrof. Sel-selnya tersebar satu-satu, jarang berkelompok, sel relatif kecil, bentuk lonjong atau polygonal. Granula-granula sekretori asidofil padat dan besar, berasal dari granula kecil yang dilepaskan oleh jaringan trans-Golgi, granula kecil tersebut menyatu. Mammotrof mensekresi hormone prolaktin.

2

o Sel basophil (sel ) Bentuk sel bulat/oval dengan inti bulat, sitoplasma mengandung granula sekretori basofil, sehingga sitoplasma terwarna basofilik (biru). Secara imunositokimia dibedakan 3 jenis basofil:  Tirotrof Mengandung granula sekretory terkecil, diameter 140-160 nm, letak granula di tepian sel. Granula mengandung TSH (Thyroid Stimulating Hormone).  Kortikotrof Bentuk sel bulat atau oval, inti eksentrik, dalam sitoplasma mengandung granula sekretori dengan diameter 250-400 nm. Kortikotrof mensekresi Adrenocorticotropic Hormone (ACTH) dan Melanosit Stimulating Hormone (MSH).  Gonadotrof Bentuk sel bulat dengan granula sekresi berdiameter 200-400 nm. Letak sel dekat sinusoid. Gonadotrof mensekresikan FSH (Folikel Stimulating Hormone) dan LH (Luteinizing Hormone). 2. Pars Tuberalis/Pars Infundibularis (bagian cranial)1,2,6,7 Bentuk

seperti

corong

mengelilingi

infundibulum/tangkai

neurohipofisis. Daerah yang sangat vaskular, banyak arterial dan venula dari sistem portal hipotalamo-hipofisealis. Struktur histologisnya menunjukkan adanya kelompok-kelompok sel yang belum berdifferensiasi. Sel bulat atau kolumnar pendek, sitoplasma mengandung granula padat kecil, tetes lipid atau tetes koloid dan mengandung banyak glikogen. 3. Pars Intermedia1,2,6,7 Pars intermedia berkembang dari bagian dorsal kantong Rathke yang merupakan suatu daerah rudimenter yang terdiri atas deretan dan folikel selsel basofilik lemah yang mengandung granula-granula sekretoris kecil, dan dilapisi oleh selapis kuboid, kista berisi koloid (kista Rathke), yang berwarna merah homogen, yang merupakan sisa dari ektoderm dari evaginasi kantung Rathke. Dengan mikroskop elektron, tampak sitoplasma mengandung

3

banyak mitokondria, retikulum endoplasmik, sebuah kompleks Golgi, banyak granuka sekresi. Pada sepanjang anyaman kapiler tampak sel-sel basofil yang berkelompok dalam bentuk genjel. Pars distalis dipisahkan dari neurohipofisis oleh celah yang dilapisi epitel berlapis dengan sel basofil yang membentuk pars intermedia. Pada fetus manusia merupakan lapisan yang cukup tebal mencapai 3% dari adenohipofisis, pada dewasa lapisannya tidak utuh lagi. Setelah lahir celah ini membentuk kantung Rathke yang dilapisi epitel bersilia mengandung cairan kental. Pada manusia dewasa, pars intermedia/zona intermedia kadang-kadang terdapat kelompok sel basofil sepanjang anyaman kapiler. Sel basofil ini mensintesis

prohormon

yaitu

proopiomelanocortin

(POMC),

yang

membentuk α-melanocyte-stimulating hormone (α-MSH), kortikotropin, βlipoprotein, dan β-endorphin. POMC dihasilkan oleh sel kortikotropin dari lobus/pars anterior dan lobus/pars intermedia. Pars intermedia rudimenter pada manusia.

b. Neurohipofisis (Pituitari Posterior) Berkembang dari jaringan saraf, terdiri atas pars nervosa dan infundibulum yang lebih kecil (tangkai neural). Mengandung neuro secretory cell yang mensekresi vasopresin dan oksitosin. 1. Pars Nervosa (bagian terbesar dari neurohipofisis) Tampak akson-akson terminal dari traktus hipotalamohipofiseal berakhir pada pars nervosa, yang merupakan serabut-serabut saraf tak bermielin. Di antaranya tampak sejumlah inti (nuclei) dari sel neuroglia, yaitu pituicyt, untuk menyokong akson. Pituicyt mengisi sekitar 25% dari volume pars nervosa. Tampak herring bodies yang merupakan akumulasi dari granula neurosekresi dari sel saraf yang terdapat pada hipotalamus. Banyak ditemukan kapiler. Pars nervosa dibagi dalam lobulus-lobulus oleh septum dan mengandung banyak anyaman kapiler. Dibagian tengah lobulus terutama dibentuk oleh akson-akson dari traktus hipotalamo-hipofisealis. Juga terlihat inti-inti pituicyt. Terdapat daerah yang disebut zona palisade, yaitu daerah di dekat septum. 4



Sel pituicyt Disebut juga sel neuroglia. Bentuk sel irregular, banyak tonjolan sitoplasma. Pituicyt mengandung tetes lemak, pigmen lipokrom, dan filament intermediate.



Herring bodies Bentuk irregular, terwarna merah.

2. Infundibulum atau tangkai hipofisis, yang terdiri dari: 

Eminentia mediana



Stem

5

2.1.2 Vaskularisasi Kelenjar Pituitary Kelenjar pituitary menerima suplai darah arterinya dari arteri hipofisialis superior dan inferior. Infundibulum, the median eminence (sebuah bagian dari hipotalamus yang melepaskan hormon-hormon regulatory) dan pars tuberalis disuplai oleh arteri hipofisialis superior (sebuah cabang dari arteri carotis interna) dan lobus posterior disuplai oleh arteri hipofisialis inferior (berasal dari meningohypophyseal trunk, yang merupakan cabang dari arteri carotis interna). Sebaliknya, pars distalis menerima sangat sedikit hingga tidak ada suplai darah arteri oleh arteri carotis interna.8,9 Sebagai gantinya, pars distalis terutama disuplai oleh system vena; sebuah rute suplai darah yang melalui long portal veins yang turun lewat infundibulum dan menghubungkan capillary beds di pars distalis dengan sistem kapiler portal di median eminence. Sebagai tambahan, pars distalis menerima darah vena dari kelenjar pituitary posterior melalui short portal vessels; rute ini bertanggung jawab terhadap 30% dari total suplai darah ke kelenjar pituitary anterior.10,11 Sirkulasinya yang unik memungkinkan pars distalis untuk menerima hormone dari hipotalamus dan kelenjar pituitary posterior, disamping senyawa dari sirkulasi perifer. Meskipun demikian, tipe sirkulasi ini membuat pituitary rentan terhadap ischemia akibat hypovolemia dan hipotensi selama periode postpartum, karena kehamilan menyebabkan pertumbuhan fisiologis dari kelenjar pituitary dan penekanan dari pembuluh darah.12 Drainase vena dari kelenjar pituitary anterior oleh vena hipofisialis dan kelenjar pituitary posterior melalui short portal dan hypophyseal veins hingga sinus kavernosus.

6

2.2. Sindrom Sheehan 2.2.1 Definisi Sindrom Sheehan pertama kali dideskripsikan oleh Sheehan pada tahun 1937.1 Sindrom Sheehan adalah suatu kondisi hypopituitarism yang terjadi akibat dari nekrosis ischemia kelenjar pituitary yang disebabkan oleh perdarahan berat setelah proses melahirkan. Kebanyakan yang terganggu bagian anterior dari hipofisis.1,2,6,7

2.2.2 Sejarah Pada tahun 1913, Glinsky7 mempublikasikan laporan kasus pertama mengenai nekrosis dari pituitary anterior pasca melahirkan. Dia

mendeskripsikan

adanya

seorang perempuan yang mengalami perdarahan uterus massif selama persalinan dan meninggal karena sepsis 9 hari kemudian. Nekrosis dari pituitary diketahui pada saat otopsi dan berkaitan dengan infeksi. Tahun 1914, Simmonds13 melaporkan tentang seorang perempuan yang mengalami sepsis setelah melahirkan anak kelimanya dan meninggal beberapa tahun

7

kemudian. Pada saat otopsi, ditemukan adanya atrofi dari kelenjar pituitary. Sebuah artikel oleh Simmonds ini dibaca oleh banyak orang dan kerusakan dari kelenjar pituitary, yang dijuluki penyakit “Simmonds” diperkirakan akibat thrombosis ataupun infeksi.14 Pada tahun 1937, Harold L. Sheehan15, seorang patologis dari Rumah Sakit Glasglow Royal Maternity, mengadakan serangkaian studi berdasarkan hasil otopsi perempuan yang meninggal pada akhir kehamilan, saat persalinan, maupun pasca persalinan. Ketika awal studi ini, Sheehan8 melaporkan bahwa 12 dari 76 orang perempuan memiliki kerusakan ekstensif dari pituitary anterior dan gejala klinis umumnya berupa shok hemoragic dibandingkan sepsis. Dia juga mengamati bahwa semakin lama perempuan tersebut bertahan, semakin besar pula derajat kesembuhan dari area perdarahan dan pada semua kasus yang ada, beberapa jaringan sehat kelenjar pituitary masih dapat diidentifikasi. Hasil akhir histologis – mixed fibrosis dan intact tissue – dapat menjadi pembeda dengan insufisiensi pituitary karena penyebab lain. Adalah merupakan interpretasinya juga bahwa nekrosis disebabkan karena spasm atau thrombosis dari arteri pituitary dan bukan karena emboli. Setelah publikasi inilah, infarct anterior pituitary karena perdarahan pasca persalinan dikenal dengan nama sindrom Sheehan. Sheehan merekonstruksi perjalanan alamiah dari penyakit ini hanya berdasarkan penemuan otopsi, bertahun-tahun sebelum penemuan hormone assay yang lebih dapat dipercaya. Dia mengkarakteristikkan kelenjar ini baik secara anatomi maupun histologi dan mendiagnosa hypopituitarism dengan cara menghitung ukuran dan berat dari korteks adrenal, tiroid, ovarium dan uterus. Dia menentukan bahwa setengah dari kasus yang ada, nekrosis pituitary tidak melibatkan seluruh kelenjar dan lebih dari setengah kelenjar biasanya rusak pada mereka yang memiliki bukti panhypopituitarism.16 Dia menggabungkan pengalamannya dan menuliskan extensive monograph yang diberi judul “Post-partum Hypopituitarism” yang dipublikasikan tahun 1982.17 Dia adalah seorang pria yang sederhana, dikenal karena keengganannya terhadap istilah sindrom Sheehan; dia bersikukuh pada istilah penyakit Simmonds atau “nekrosis pituitary pasca melahirkan.”

8

2.2.3 Epidemiologi Dengan adanya kemajuan pada pelayanan obstetric modern, perdarahan berat pasca persalinan menjadi lebih jarang, dan mayoritas kasus dari sindrom Sheehan sekarang ini terjadi di daerah yang kebanyakan atau mayoritas persalinannya dilakukan di rumah.18 Studi yang dilakukan sejauh ini, meskipun terbatas jumlahnya, menunjukkan bahwa hypopituitarism merupakan kondisi yang langka di negara maju. Sebuah studi follow up tahun 1977 pada 1.010 perempuan Jepang yang mengalami perdarahan pasca persalinan antara tahun 1961 sampai 1970, tidak ditemukan adanya pasien dengan partial atau complete hypopituitarism pada 392 orang perempuan yang menjawab kuesioner.19 Sebuah studi di Spanyol (2001) menemukan prevalensi dari hypopituitarism adalah 45,5 per 1.000.000 penduduk dan angka kejadiannya adalah 4,2 kasus baru per 1.000.000 penduduk dimana 61% nya berkaitan dengan tumor pituitary; hanya 30% yang tidak berkaitan dengan tumor, dan hanya sebagian kecil (6%) dari kasus tersebut yang merupakan sindrom Sheehan.20 Sebuah studi yang lebih baru di area yang sama yang dipublikasikan tahun 2013, melibatkan 405.218 orang dewasa yang diikuti selama 10 tahun, menunjukkan bahwa prevalensi dan insidensi dari hypopituitarism adalah 37,5 kasus per 100.000 penduduk dan 2,07 kasus per 100.000 penduduk per tahun.21 Tidak ada kasus sindrom Sheehan yang diidentifikasi, yang mana mungkin dapat dijelaskan dengan perkembangan pelayanan obstetric selama 12 tahun diantara 2 studi tersebut. Prevalensi dari sindrom Sheehan lebih tinggi di negara berkembang dibandingkan negara maju. Sebagai contoh, pada studi retrospektif besar di Kashmir, India, Zargar et al3 memperkirakan prevalensi dari sindrom Sheehan adalah 3,1% pada perempuan beranak yang berusia 20 tahun keatas; sekitar duapertiga (~63%) dari mereka yang memiliki sindrom Sheehan pada studi ini melahirkan bayinya di rumah. Prevalensi yang tinggi dari sindrom Sheehan bukan hanya terjadi di India melainkan juga negara berkembang lain dengan layanan kesehatan yang hampir serupa. Sebuah studi retrospektif dari rumah sakit tersier di Filipina menunjukkan bahwa adenoma pituitary merupakan penyebab tersering dari hypopituitarism (40% dari 143 pasien dengan hypopituitarism), sedangkan sindrom Sheehan merupakan penyebab ketiga tersering (8% dari semua pasien dengan hypopituitarism)22 Jadi, meskipun frekuensi aktual dari postpartum hypopituitarism mungkin kurang diperhitungkan di semua negara, angka kejadiannya terlihat lebih tinggi di area dengan akses pelayanan obstetric modern yang terbatas. 9

2.2.4 Patofisiologi 1. Perubahan Kelenjar Pituitary pada Kehamilan Kehamilan merupakan keadaan fisiologis yang memberikan beban pada kelenjar pituitary akibat perubahan demands dari ibu dan fetus serta pelepasan hormon oleh plasenta (seperti adrenocorticotrophic hormone (ACTH), human chorionic gonadotropin (hCG), estradiol dan progesterone). Pembesaran kelenjar pituitary selama kehamilan sudah dibuktikan23; kelenjar bertambah ukurannya sebesar 45% selama trimester pertama, mencapai hingga 120 – 136% dari ukuran aslinya saat mendekati persalinan dan mencapai volume tertingginya selama beberapa minggu pertama pasca melahirkan.24,25 Tinggi dari kelenjar pituitary pada potongan koronal dari MRI merupakan indicator yang baik untuk ukuran pituitary. Tinggi dari kelenjar pituitary normal adalah 4 – 8 mm pada perempuan26, tetapi mampu bertambah hingga 10 mm selama kehamilan dan hingga 12 mm selama periode pasca persalinan. Kelenjar

10

pituitary akan kembali ke ukuran, bentuk dan volume normalnya dalam 6 bulan setelah melahirkan.24,25,27 (FIG. 3).

Pembesaran kelenjar pituitary selama kehamilan disebabkan karena hyperplasia dari sel yang memproduksi prolactin (lactotroph) di kelenjar pituitary anterior.28 Level dari prolactin maternal, yang bertanggung jawab terhadap persiapan jaringan payudara untuk laktasi, meningkat hingga 10 kali lipat, parallel terhadap peningkatan level estrogen selama kehamilan. Saat 6 minggu setelah melahirkan, sekresi estradiol menurun dan konsentrasi basal prolactin di serum biasanya normal, bahkan ketika sang ibu menyusui. 29 Berkebalikan dengan hyperplasia dari sel lactotroph, jumlah sel gonadotropic (yang menghasilkan Luteinizing Hormone (LH) dan Follicle Stimulating Hormone (FSH)) dan sel somatotropic (yang menghasilkan GH) justru menurun, sedangkan jumlah sel thyrotropic (yang menghasilkan Thyroid Stimulating Hormone (TSH)) dan sel corticotropic (yang menghasilkan ACTH) tidak mengalami perubahan selama kehamilan.28 Secara keseluruhan, kelenjar pituitary menjadi rentan terhadap perubahan pada aliran darah selama dan segera setelah kehamilan akibat peningkatan ukuran dari kelenjar yang menyebabkan peningkatan demand maupun penekanan pembuluh darah yang mensupplai kelenjar tersebut. Hal ini menjelaskan mengapa perdarahan dan hypovolemia yang terjadi selama persalinan mengakibatkan sindrom Sheehan, dan tidak akan terjadi bila hypovolemia terjadi karena penyebab lain selain perdarahan.

11

2. Mekanisme Sindrom Sheehan Patogenesis dari sindrom Sheehan masih belum jelas. Tidak setiap pasien memiliki riwayat perdarahan masif pasca persalinan, begitu pula tidak setiap perdarahan masif pasca persalinan menyebabkan sindrom Sheehan. Nekrosis ekstensif dari kelenjar pituitary mengakibatkan kekurangan atau insufisiensi permanen hormon yang dihasilkan pituitary; mekanisme yang mendasari perkembangan penyakit pada pasien yang tidak diobati belum sepenuhnya diuraikan. Sebagai catatan, kelenjar pituitary tidak dapat beregenerasi11 dan sindrom Sheehan merupakan kelainan sekresi yang permanen.30 Terdapat beberapa faktor perancu yang mempengaruhi inisiasi dan perkembangan penyakit, yang memerlukan investigasi lebih lanjut: keparahan dan penyebaran nekrosis; usia pasien; riwayat persalinan sebelumnya yang berkaitan dengan perdarahan pasca persalinan; dan jumlah persalinan. Sindrom Sheehan dipercaya memiliki komponen autoimun dalam proses patologisnya, dan predisposisi genetik juga mungkin tetapi memerlukan investigasi lebih lanjut.

12

13

3. Faktor Predisposisi Patogenesis dari nekrosis pituitary pasca persalinan masih belum sepenuhnya dimengerti. Jaringan pituitary yang kaya akan pembuluh darah rentan terhadap ischemia bahkan dengan sedikit saja perubahan pada aliran darah.1 Suplai darah ke pituitary yang terbatas setelah hipotensi berat yang tidak ditangani yang berkaitan dengan perdarahan pasca persalinan merupakan penyebab tersering dari sindrom Sheehan.2 Pembesaran kelenjar pituitary, ukuran sella turcica yang kecil (depresi dari tulang tengkorak yang menaungi kelenjar pituitary), vasospasm, thrombosis dan gangguan koagulasi (bisa acquired, seperti disseminated intravascular coagulation (DIC, kelainan yang didapat yang dikarakteristikkan dengan gangguan pada koagulasi darah) maupun inherited) merupakan faktor predisposisi untuk suplai darah ke pituitary yang terbatas.2 (FIG 4) Faktor kontribusi utama dalam etiopatogenesis dari sindrom Sheehan adalah perdarahan pasca persalinan. Riwayat obstetric yang umum pada perempuan dengan sindrom Sheehan meliputi perdarahan masif uterus selama atau setelah melahirkan. Faktanya, perdarahan masif pasca persalinan dapat memprediksikan timbulnya sindrom Sheehan.31 Perdarahan pasca persalinan diakibatkan oleh atoni (kehilangan tonus otot) uterus, yang memungkinkan aliran darah ke plasenta untuk terus mengalir bahkan setelah persalinan. Banyak faktor selama kehamilan maupun persalinan yang dapat meningkatkan resiko perdarahan pasca persalinan32 (seperti anemia, obesitas dan usia ibu yang lanjut), tetapi perdarahan pasca persalinan dapat terjadi meskipun faktor-faktor ini tidak ada. Perdarahan pasca persalinan secara tradisional didefinisikan sebagai kehilangan darah 500 ml setelah persalinan pervaginam ataupun kehilangan darah 750 – 1000 ml setelah seksio sesaria; perdarahan masif pasca persalinan didefinisikan sebagai hilangnya darah ≥2,000 ml.2,33 Mayoritas wanita hamil dapat mentoleransi kehilangan 1.000 ml darah dengan mempertahankan denyut jantung dan tekanan darah; tekanan darah akan mulai turun ketika kehilangan darah melebihi 1.500 ml.33 Perdarahan pasca persalinan yang tidak ditangani, yang didefinisikan sebagai kehilangan cairan >500 – 1.000 ml dalam 24 jam setelah persalinan, dapat juga menyebabkan sindrom Sheehan.30,31 Sebagai tambahan dari suplai darah yang terbatas akibat kehilangan cairan, aliran darah ke kelenjar pituitary dapat berkurang drastic akibat vasospasm arteri yang terjadi setelah hipotensi 14

berat yang tidak ditangani. Penekanan arteri sebagai konsekuensi dari pembesaran kelenjar pituitary selama kehamilan pada setting sella turcica yang kecil dapat juga membatasi aliran darah. Meskipun demikian, sindrom Sheehan sangat jarang sekali muncul tanpa adanya perdarahan pasca persalinan yang jelas.34 Catatan penting, sindrom Sheehan juga dapat muncul meskipun DIC dan shok hipovolemik dikoreksi secara cepat.35 Ukuran sella turcica yang lebih kecil dari normal merupakan faktor predisposisi untuk sindrom Sheehan karena dapat menyebabkan penekanan pada arteri hypophyseal terhadap dinding dari sella turcica dan diafragma sellae.30 Volume dari sella turcica ditunjukkan menjadi lebih kecil, dengan beberapa pengecualian, pada perempuan dengan sindrom Sheehan dibandingkan dengan mereka yang tidak memiliki sindrom Sheehan.23,36,37 Ukuran volume rata-rata dari sella turcica pada pasien dengan sindrom Sheehan (rata-rata ± SD = 340.5 ± 214 mm3) ditemukan jauh lebih kecil dibandingkan pada perempuan yang sehat (mean ± SD = 602.5 ± 192 mm3), dan menariknya, ukuran minimum sella turcica pada ~50% pasien dengan sindrom Sheehan adalah <308 mm3, yang mana merupakan ukuran terkecil sella turcica yang ditemukan pada perempuan normal.23 Apabila tidak ada perdarahan pasca persalinan, DIC juga dapat berkontribusi terhadap nekrosis pituitary pasca persalinan31,38 Sistem koagulasi terus-menerus diaktifkan oleh pajanan terhadap decidua (istilah yang digunakan untuk endometrium selama kehamilan) atau endothelium pada pasien dengan DIC.39 Sebagai tambahan, pasien dengan DIC memiliki resiko yang lebih tinggi untuk munculnya kelainan obstetric, termasuk perdarahan masif pasca persalinan.40 Hubungan antara kelainan hematologis dengan sindrom Sheehan mungkin dapat membantu memberikan penerangan untuk etiologinya.41,42 Frekuensi mutasi genetic dari faktor V koagulasi (F5), faktor II koagulasi (F2), methylenetetrahydrofolate reductase (MTHFR*C677T dan MTHFR*A1298C) and plasminogen activator inhibitor type 1 (PAI1; juga dikenal sebagai SERPINE1) yang merupakan faktor resiko untuk trombosis43, meningkat pada pasien dengan sindrom Sheehan dibandingkan dengan populasi umum44, mengarahkan bahwa faktor genetik yang terlibat dalam kaskade koagulasi dapat menjadi faktor predisposisi. Laporan terbaru lainnya juga menunjukkan gangguan koagulasi pada pasien dengan sindrom Sheehan45,46 dan dengan 15

kehamilan47. Pada perempuan yang terpredisposisi secara genetic, kehamilan meningkatkan kerentanan baik terhadap trombofilia maupun thrombosis.

4. Inisiasi Penyakit Initial insult pada sindrom Sheehan melibatkan nekrosis dari lobus anterior kelenjar pituitary akibat infark atau arrest dari aliran darah. Meskipun jarang, kelenjar pituitary posterior dapat juga terpengaruh.48 Jaringan infark dapat disebabkan oleh vasospasm karena hipotensi ataupun shok, thrombosis atau penekanan arteri. Peran potensial dari vasospasm sulit dinilai, tetapi keterlibatan thrombosis (disebabkan oleh agregasi platelet atau sekuestrasi sepanjang sel endotel yang telah rusak sebelumnya) adalah sangat mungkin.2 Tergantung ukuran dan lokasi nekrosis, acute insult ini dapat menyebabkan hypofunction dari kelenjar pituitary: dapat menyebabkan defisiensi hormone.2,31 Apabila ~50% dari kelenjar pituitary normal tetap intact, fungsi yang ada biasanya tidak terganggu.1 Meskipun demikian, apabila >70% kelenjar pituitary anterior terpengaruh, partial atau panhypopituitarism (tidak adanya hormon dari pituitary anterior) akan terjadi.49

5. Perkembangan Penyakit Sindrom Sheehan umumnya dikarakteristikkan oleh perkembangan yang lambat dari disfungsi pituitary, bahkan beberapa tahun setelah initial insult23 (FIG. 4). Penemuan ini menunjukkan bahwa terdapat faktor lain yang berperan dalam pathogenesis dari penyakit ini yang menyebabkan hilangnya sel di lobus anterior sebagai tambahan dari initial insult. Proses autoimun bisa jadi terlibat dalam perburukan disfungsi pituitary. Beberapa studi melaporkan bahwa autoantibodies terhadap kelenjar pituitary50 dan hipothalamus51 pada pasien dengan sindrom Sheehan dapat muncul beberapa tahun setelah onset dari hypopituitarism; meskipun demikian, keberadaan mereka tidak dapat diexclude begitu saja setelah initial insult. Apakah antibody ini sebagai penyebab ataukah sebagai konsekuensi dari sindrom Sheehan masih menjadi pertanyaan. Meskipun demikian, pajanan dari normally sequestered antigens karena nekrosis jaringan dapat memacu autoimmunity dan dapat menyebabkan delayed hypopituitarism.52 Bersesuaian dengan penemuan ini, beberapa bagian dari sel limfosit perifer ditemukan berada pada level yang berbeda pada pasien dengan sindrom Sheehan 16

dibandingkan dengan orang yang sehat, yang mana menunjukkan adanya regulasi imun yang terganggu.53 Sebagai tambahan, presentase dari sel yang mengekspresikan baik CD3 maupun DR1, yang berkorelasi dengan durasi dari penyakit pada pasien dengan sindrom Sheehan, menunjukkan adanya inflamasi yang sedang berlangsung bersamaan dengan progresi lambat dari disfungsi kelenjar pituitary pada sindrom Sheehan.53

6. Karakteristik dari Nekrosis Pituitary Dalam laporan pertama, infark ischemic akut akan menyebabkan nekrosis akut yang ekstensif dari kelenjar pituitary, yang melibatkan ~90% dari lobus anterior. Pada jaringan yang nekrosis, sel adenohypophysis digantikan oleh debris nekrotik, darah yang terkoagulasi, sel inflamasi dan ghost cells. Immunohistochemical staining menujukkan beberapa sel mengandung hormon adenophyseal pada tepi area nekrotik, tetapi hormon sepenuhnya tidak ada di tengah area nekrotik.54,55 Pada fase kronik dari sindrom ini, fibrous scar terbentuk. Sebagai tambahan, fibrous scar menyebabkan time-dependent atrophic change dari kelenjar pituitary dan berakibat pada kekosongan sella turcica, yang dapat dideteksi secara radiologis.31 Sel lactotroph dan sel somatotropic di kelenjar pituitary biasanya sepenuhnya hilang, sementara fungsi sel gonadotropic dan sel corticotropic dapat dipertahankan.56 Pola dari sel yang hilang ini dapat dijelaskan berdasarkan lokasi sel tersebut di kelenjar pituitary: sel corticotropic dan sel thyrotropic terletak di irisan tengah dan sel gonadotropic tersebar di seluruh pituitary, sedangkan sel somatotropic dan sel lactotroph terletak di sayap lateral, yang mana menerima suplai darah hanya dari sirkulasi posterior.2,56

2.2.5 Manifestasi Klinis Sindrom Sheehan dapat didiagnosa melalui gejala klinis dari hypopituitarism.2 Berdasarkan keparahan dari kerusakan terhadap kelenjar pituitary, pasien dapat datang ke rumah sakit dengan gejala yang bervariasi dari isolated hypopituitarism hingga panhypopituitarism23,49,57-63 (TABLE 3). GH dan PRL merupakan hormone yang paling sering terpengaruh. Defisiensi PRL menyebabkan kegagalan laktasi pasca persalinan, dan defisiensi gonadotropin (FSH dan LH) menyebabkan amenorrhea. Nekrosis kelenjar pituitary yang mendalam dapat juga menyebabkan 17

defisiensi TSH, dan lebih jarang lagi, defisiensi ACTH, yang mungkin dapat menyebabkan gejala seperti penambahan berat badan, konstipasi, intoleransi dingin yang diikuti oleh gejala yang berkaitan dengan hypocortisolaemia (sebagai contoh, kelemahan tubuh, keletihan, penurunan berat badan, hipotensi dan hipoglikemi). Meskipun jarang, lobus posterior juga dapat terpengaruh, yang dapat menyebabkan diabetes insipidus.2,64 Sindrom Sheehan juga dapat menyebabkan outcome klinis yang parah (seperti krisis adrenal, kolaps sirkulasi, myxedema coma dan hyponatremia) dan dapat menyebabkan kematian apabila tidak ditangani secara tepat. Angka kematian meningkat 1,2 – 2,7 kali lipat pada pasien ini dengan sindrom Sheehan dibandingkan dengan populasi pada umumnya.65 Beberapa pasien yang didiagnosis dengan gejala hypopituitarism akut segera setelah melahirkan.66 Sindrom Sheehan dapat mengakibatkan kematian apabila tidak didiagnosa dan ditangani ketika stadium akut. Presentasi klinis dari sindrom Sheehan akut termasuk sakit kepala, gangguan penglihatan, kehilangan kesadaran, kegagalan laktasi dan gejala insufisiensi adrenal akut, seperti hipotensi, hipoglikemi, keletihan ekstrim, mual, muntah dan hyponatremia.34 Sindrom ini harus diinvestigasi pada pasien yang datang dengan hipotensi dan hipoglikemia pasca persalinan.59,66 Meskipun demikian, kebanyakan pasien datang dengan gejala nonspesifik setelah persalinan.23,57,63 Gejala dapat muncul belakangan karena kerusakan hipofisis inkomplit segera setelah melahirkan dengan progresi kerusakan yang lambat seiring berjalannya waktu.67 Sebagai tambahan, faktor stress lainnya memicu presentasi dari sindrom Sheehan. Sebagai contoh, defisiensi laten ACTH dapat menjadi jelas selama infeksi atau pembedahan. Temuan klinis nonspesifik lebih terlihat pada pasien yang terdiagnosa saat stadium kronis. Pada sebuah studi yang melibatkan 114 pasien dengan sindrom Sheehan kronik, gejala nonspesifik terlihat pada >50% pasien.23 Prevalensi tinggi dari gejala nonspesifik dipertimbangkan sebagai salah satu alasan untuk diagnosis yang terlambat. Riwayat kegagalan laktasi dan tidak adanya permulaan kembali siklus menstruasi normal setelah melahirkan (terutama ketika persalinan berkaitan dengan perdarahan pasca persalinan), gejala dari hypothyroidism sekunder dan insufisiensi adrenal, involusi dari karakteristik seks sekunder akibat hypogonadism sekunder dan fitur defisiensi GH yang tidak terlalu terlihat dapat ditemukan dan semestinya meningkatkan kecurigaan terhadap

18

sindrom Sheehan.56 Tidak adanya gejala-gejala ini tidak mengexclude sindrom Sheehan dan 10% kasus bisa jadi asymptomatic dalam jangka waktu yang lama.2,59 Pemeriksaan fisik pada pasien dengan sindrom Sheehan kronik seringkali menunjukkan rambut axilla dan pubis yang jarang-jarang, atrofi payudara, peningkatan kerutan di sekitar mulut dan mata, hipopigmentasi, kulit kering, perlambatan reflek, bradikardi, atau terkadang koma.58 Pasien dapat datang dengan krisis adrenal akibat defisiensi kortisol atau myxedema coma, stadium dekompensasi hypothyroidism yang dicetuskan oleh infeksi, pembedahan ataupun trauma.2 Hiponatremia (gangguan elektrolit yang dapat menyebabkan malaise, mual, muntah, perubahan kognitif dan bahkan kematian68) adalah gangguan elektrolit yang paling sering dijumpai pada pasien dengan sindrom Sheehan, dan angka kejadian hyponatremia dilaporkan antara 21% - 59%.59,62 Sindrom Sheehan harus selalu dipikirkan pada pasien yang datang ke IGD dengan hyponatremia.62,69 Gejala klinis berkaitan dengan hipoglikemia juga dapat terlihat pada sindrom Sheehan, terutama pada pasien yang mengalami koma.49 Sindrom Sheehan merupakan faktor kedua tersering dari koma yang berkaitan dengan hipoglikemia, setelah diabetes mellitus.70 Meskipun polyuria dan polydipsia (haus yang berlebihan) akibat diabetes insipidus merupakan gejala klinis sindrom Sheehan yang langka (4,5 – 5%)24,71, threshold osmotik yang dibutuhkan untuk merasa haus adalah tinggi pada pasien dengan sindrom Sheehan dan diabetes insipidus parsial; diabetes insipidus parsial tanpa polyuria teramati pada sepertiga pasien dengan sindrom Sheehan.48 Sebagai tambahan, sindrom Sheehan meningkatkan resiko osteoporosis dan osteopenia. Z score (skor untuk menghitung kepadatan tulang) sebesar ≤2 pada 40% pasien (Z score of >–2.0 dianggap sebagai nilai normal).72-74 Etiologinya belum diuraikan, tetapi defisiensi multiple hormone pituitary, terutama hypogonadism sekunder dan diagnosis yang terlambat diklaim turut berperan.73,75

19

2.2.6 Penemuan Laboratorium 1. Abnormalitas Endokrin Insufisiensi hormon pituitary bervariasi tergantung sel hipofisis yang terkena dan studi yang dijalankan23,49,57,59,60,62,63,76 (TABLE 4). Alasan yang mungkin untuk perbedaan/disparitas diantara studi yang ada adalah perbedaan waktu yang telah berjalan dari initial insult hingga diagnosis. Pada sindrom Sheehan, tes stimulasi dibutuhkan untuk menentukan apakah terdapat defisiensi hormone, terutama apabila level hormon berada pada borderline, terutama pada defisiensi cortisol ataupun GH Pada mayoritas pasien dengan sindrom Sheehan, baseline (diukur di pagi hari pada kondisi basal) level FSH dan LH tidak meningkat hingga ke level postmenopausal (representatif untuk kegagalan fisiologis ovarium) dan level LH tidak meningkat setelah stimulasi dengan gonadotropin releasing hormone, sehingga dapat digunakan sebagai tes diagnostik pada situasi yang langka. 60,77,78 Untuk menunjukkan defisiensi kortisol dan GH, tes toleransi insulin dan tes stimulasi glukagon dapat digunakan.79,80 Pelepasan yang tepat dari kortisol juga dapat dinilai dengan tes stimulasi ACTH. Meskipun demikian, ketika tes ini dilakukan segera setelah initial insult, respon yang adekuat mungkin dapat terlihat karena kelenjar adrenal mungkin belum mengalami atrofi. Pasien dengan hypothyroidism sentral dapat memiliki level TSH yang normal, menurun ataupun sedikit menurun, sementara level tetraiodothyronine (T4) menurun. Peningkatan sialylation dari TSH mungkin dapat menjelaskan peningkatan level karena menurunkan metabolic clearance tetapi juga menurunkan aktivitas biologis. Pemberian thyrotropin releasing hormone gagal untuk meningkatkan level TSH ataupun PRL pada pasien dengan sindrom

20

Sheehan.81 Circadian rhythm dari TSH terganggu dan terdapat peningkatan pada pelepasan total TSH pada pasien dengan sindrom Sheehan.82,83

2. Abnormalitas Elektrolit Pasien juga sering mengalami abnormalitas pada level elektrolit darah. Hyponatremia adalah yang tersering, tetapi hypokalemia, hipomagnesemia, hipokalsemia, dan hipofosfatemia juga dapat ditemukan pada pasien dengan sindrom Sheehan.62 Etiologi dari hyponatremia tidak diketahui, tetapi mungkin melibatkan peningkatan pelepasan hormon antidiuretik (ADH) sebagai konsekuensi dari penurunan tekanan darah dan cardiac output akibat defisiensi glukokortikoid.84

Sebagai

tambahan,

defisiensi

kortisol

menyebabkan

peningkatan pada level corticotropin releasing hormone (CRH), yang mana akan menstiulasi sekresi ADH.85 Ditunjukkan bahwa defisiensi hormon kortisol dan hormon tiroid menyebabkan penurunan free water clearance yang tidak bergantung pada ADH. Sebagai tambahan, telah didemonstrasikan bahwa defisiensi GH, PRL dan hormon tiroid berkaitan dengan hyponatremia.62 Hiponatremia yang berkaitan dengan diabetes insipidus dapat ditemukan secara langka.71

21

3. Abnormalitas Hematologis Banyak pasien dengan sindrom Sheehan juga menunjukkan anemia (45 – 87%), trombositopenia (63 – 105%), pancytopenia (15%), dan gangguan koagulasi.41,57,86 Gangguan koagulasi dipresentasikan sebagai laporan kasus pada literatur.87 Meskipun anemia pada umumnya normochromic normocytic, namun dapat juga hypochromic microcytic atau lebih jarang lagi macrocytic.57,86 Defisiensi hormon kortisol dan tiroid terlibat dalam kemunculan anemia dengan menurunkan sintesis erythropoietin atau dengan menurunkan efek biologis dari endogenous erythropoietin.88 Hipoplasia sumsum tulang dan pancytopenia dapat terjadi; keduanya akan kembali normal setelah penggantian hormon yang mengalami defisiensi.89,90 Gangguan koagulasi dapat didiagnosa dengan mengukur defisiensi faktor VIII adaptive dan faktor von Willebrand, penurunan prothrombin time dan activated prothrombin time, dan peningkatan level fibrinogen dan d-dimer.45,87

2.2.7 Penemuan Radiologis MRI Pituitary merupakan prosedur radiologis pilihan yang digunakan untuk diagnosis diferensial, tetapi CT juga dapat berguna untuk diagnosis sindrom Sheehan.2,91 Penemuan MRI bervariasi sesuai dengan stadium penyakit. Meskipun buktinya terbatas, beberapa studi mendeskripsikan perubahan struktural akut sebagai pembesaran nonhemorrhagic dari kelenjar pituitary dengan infark sentral.30,35,66,92,93 (FIG. 5a,b). Dalam beberapa minggu, kelenjar akan mengecil hingga tepi sella turcia, diikuti oleh atrofi progresif selama beberapa bulan atau tahun dengan gambaran akhir berupa sella turcica yang kosong, yang merepresentasikan complete atrophy dari kelenjar pituitary (FIG. 5c,d). Ketika diagnosis, pasien dengan sindrom Sheehan dapat memiliki kekosongan sella turcica yang parsial (25 – 30%), atau komplit (70 – 75%) pada studi pencitraan.23,58,60,94 Hanya beberapa pasien yang dilaporkan memiliki kelenjar pituitary yang strukturnya normal.58,60 Dengan demikian, sella turcica yang kosong dapat dipertimbangkan sebagai karakteristik untuk diagnosis sindrom Sheehan.30 Sisa jaringan pituitary dapat mengalami nekrotik sehingga tidak berfungsi ataupun intact sehingga tetap berfungsi.95 Karena hal ini, tidak ada korelasi antara derajat nekrosis pituitary pasca persalinan dengan keparahan gejala klinis dan juga tidak terdapat korelasi antara keparahan hypopituitarism dengan derajat kekosongan sella turcica.23,91 22

2.2.8 Diagnosis dan Diagnosis Diferensial Presentasi akut dari sindrom Sheehan segera setelah eventful delivery, meskipun tidak terlalu sering, membuat diagnosis sindrom Sheehan lebih mudah. Diagnosis sindrom Sheehan bertahun-tahun setelah initial insult lebih menantang dan kondisi seperti tumor pituitary dan lymphocytic hypophysitis (kelainan autoimun yang mempengaruhi kelenjar pituitary) perlu untuk dipertimbangkan. Tumor pituitary merupakan hypopituitarism yang paling sering. Presentasi klinis dari apoplexy (perdarahan akut di dalam tumor pituitary) berkaitan dengan adenoma pituitary sekitar periode peripartum dapat mencerminkan sindrom Sheehan.; sakit kepala hebat yang muncul tiba-tiba, kehilangan penglihatan dan tidak sadar dapat muncul

23

pada keduanya92 dan MRI scan dapat mirip juga. Meskipun demikian, pembesaran dari sella turcica dan erosi dari lantai sella, deviasi lateral dari pituitary stalk, peningkatan kontras pada perifer (karena keberadaan jaringan pituitary yang sehat) dan adanya massa persisten dekat kelenjar pituitary pada pencitraan berulang yang terpisah beberapa bulan, lebih mengarah pada apoplexy yang berkaitan dengan adeoma pituitary dibandingkan sindrom Sheehan. Fitur ini, ditambah dengan riwayat persalinan sebelumnya yang disertai perdarahan pasca persalinan dan shok hipovolemik pada kasus sindrom Sheehan, membantu dalam diagnosis diferensial.92 Lymphocytic hypophysitis dapat muncul pada immediate postpartum period dengan hypopituitarism dan pembesaran pituitary.96,97 Meskipun mayoritas penyakit autoimun mengalami remisi selama kehamilan, lymphocytic hypophysitis bermanifestasi pada masa ini karena pelepasan antigen pituitary dan suplai vascular ke kelenjar pituitary secara relatif lebih banyak dari systemic dibandingkan sirkulasi portal.2 Membedakan lymphocytic hypophysitis dari sindrom Sheehan bisa jadi sulit karena keduanya datang dengan sakit kepala, hypopituitarism dan massa pituitary saat immediate postpartum period dan sella turcica yang kosong dikemudian.98-100 Kendati demikian, beberapa fitur membedakan kedua kondisi tersebut.30,101 (TABLE 5)

24

2.2.9 Pencegahan Untuk mencegah sindrom Sheehan, meminimalkan resiko dan manajemen yang agresif dari perdarahan pasca persalinan adalah yang terpenting. Perdarahan pasca persalinan merupakan menyebab utama kematian ibu, terutama pada negara miskin. Sebuah survey lintas negara dari negara dengan penghasilan rendah yang melibatkan

25

275.000 persalinan menunjukkan bahwa 1,2% berkaitan dengan perdarahan pasca persalinan. Dari antara perempuan yang memiliki perdarahan pasca persalinan, 18% nya memiliki maternal outcome yang buruk dan 3% nya meninggal.102 Meskipun di negara barat kematian karena perdarahan pasca persalinan telah menurun, angka kejadian sesungguhnya dari perdarahan pasca persalinan justru meningkat mungkin karena intervensi lebih (seperti induksi persalinan dan SC)103 Tiga strategi besar untuk memperbaiki outcome pada perdarahan pasca persalinan: pencegahan, penatalaksanaan, dan penanganan yang efektif. WHO telah mempublikasikan guidelines dan key interventions untuk pencegahan perdarahan pasca persalinan, yang termasuk di dalamnya kombinasi dari intervensi, seperti cord clamping and cutting (dalam 1 – 3 menit); controlled cord traction (untuk menurunkan resiko retained placenta); penggunaan uterotonic agent (seperti oxytocin, yang menyebabkan kontraksi ritmik dari uterus)32. Semua rumah sakit dengan layanan obstetri harus memiliki protocol institusi untuk penanganan wanita yang mengalami perdarahan pasca persalinan >1.000 ml. Protokol ini harus mengkombinasikan rekomendasi-rekomendasi terbaru, juga terdapat catatan pengalaman di negara lain. Staff harus dilatih secara cukup dan simulated PPH drills harus dimasukkan dalam kurikulum pelatihan.104 Meskipun demikian, pada negara berkembang, terdapat keterbatasan staff medis. Meskipun negara-negara ini menyumbang sekitar 25% dari keseluruhan beban penyakit, mereka hanya memiliki 1,3% penyedia layanan kesehatan yang terlatih, termasuk dokter, perawat dan bidan.105 Anemia dalam kehamilan, yang lagi lebih sering di negara berkembang, merupakan faktor resiko penting yang dapat dicegah dan pemberian zat besi per oral ataupun parenteral dapat membantu dalam pencegahan perdarahan pasca persalinan.32 Lebih lanjut, uterotonic agents memiliki peran penting dalam pencegahan perdarahan pasca persalinan. Oxytocin direkomendasikan tetapi sensitivitasnya terhadap panas, kebutuhan untuk disimpan dalam lemari pendingin dan perlunya orang yang sudah terlatih untuk pemberiannya, membatasi penggunaan obat ini pada negara-negara miskin. Ketersediaan bentuk aerosol ataupun topical akan bisa mengatasi keterbatasan ini di masa mendatang.106 Pada akhirnya, studi lebih lanjut diperlukan untuk pengguaan misoprostol secara luas sebagai uterotonic agent, terutama pada negara berkembang dimana perdarahan pasca persalinan masih sering. Berlawanan dengan oxytocin, misoprostol tidak membutuhkan orang yang terlatih untuk pemberiannya dan dapat diberikan oleh pasien itu sendiri dan 26

merupakan obat yang lebih banyak dipilih pada daerah-daerah yang miskin. Ketika perdarahan pasca persalinan terjadi, close follow up diperlukan untuk deteksi dan penanganan sindrom Sheehan.

2.2.10 Penanganan 1. Glucocorticoid replacement Pada acute onset patients dengan kecurigaan klinis yang tinggi terhadap insufisiensi adrenal, terapi glukokortikoid harus diberikan segera setelah mengambil sampel serum untuk pengukuran level kortisol dan ACTH.77,107 Insufisiensi adrenal pada sindrom Sheehan disebabkan karena defisiensi ACTH, maka terapi mineralokortikoid tidak diperlukan. Dosis dari glukokortikoid harus dititrasi berdasarkan penemuan klinis dari pasien, bukan beradasarkan hasil laboratorium. Terapi glukokortikoid seumur hidup diperlukan pada kasus insufisiensi adrenal sekunder. Efek samping dari glukokortikoid, seperti osteoporosis, hiperglikemia dan peningkatan berat badan, harus dimonitor.23 Meskipun beberapa ahli lebih memilih hydrocortisone dan cortisone acetate sebagai terapi pengganti pada hypocortisolism, tidak ada outcome data yang mendukung penggunaan salah satu glukokortikoid dibandingkan yang lainnya. Sebagai tambahan, bahkan dosis 3 kali sehari dari hydrocortisone, yang mana sering disarankan sebagai terapi pengganti glukokortikoid, tidak mampu menyamai circadian rhythm dari produksi cortisol endogen.108 Untuk menghindari efek samping, more physiological replacement policies lebih dipilih. Saat ini, dual release hydrocortisone (a tablet with immediate release coating surrounding an extended release core) diberikan sekali sehari109 atau continuous subcutaneous hydrocortisone infusion dapat digunakan.110 Modalitas ini memiliki ritme diurnal fisiologis yang lebih baik yang berkaitan dengan penurunan berat badan, penurunan tekanan darah, perbaikan metabolisme glukosa dan peningkatan kualitas hidup dibandingkan dengan pemberian glukokortikoid klasik 2 – 3 kali sehari.111 Pasien harus diinfokan mengenai resiko krisis adrenal apabila mereka tidak meningkatkan dosis harian pada beberapa situasi yang terdapat peningkatan kebutuhan kortisol, seperti infeksi, pembedahan dan trauma.111 Ketika hypothyroidism dan hypoadrenaism terjadi bersamaan, terapi hormon tiroid 27

harus diberikan setelah terapi penggantian glukokortikoid untuk menghindari krisis adrenal.111 Dosis hydrocortisone mungkin perlu ditambah setelah terapi GH pada pasien dengan defisiensi GH.112

2. Thyroid hormone replacement Berkaitan dengan terapi pengganti hormon tiroid, titrasi dari dosis levothyroxine lebih bergantung pada level free T4 dan free triiodothyronine (T3) dibandingkan dengan level TSH, yang mana mungkin normal, menurun ataupun meningkat.113 Pada pasien usia lanjut dan mereka dengan penyakit arteri koroner, levothyroxine harus diberikan pada dosis rendah dan titrasi dosis harus dilakukan secara perlahan. Perubahan T4 menjadi T3 meningkat pada pasien yang diberikan GH dan kondisi ini dapat mengubah masked hypothyroidism menjadi an overt state atau peningkatan kebutuhan levothyroxine pada mereka yang sudah menjalani terapi pengganti.114 Berbagai sediaan dari levothyroxine berupa tablet, oral soft gel capsules dan liquid formulations.

3. Estrogen dan progesterone replacement Meskipun terapi pengganti estrogen dan progesterone pada hypogonadal postmenopausal women dengan sindrom Sheehan masih kontroversial, terapi pengganti biasanya direkomendasikan pada wanita premenopause dengan sindrom Sheehan, kecuali apabila terdapat kontraindikasi (seperti deep vein thrombosis, emboli paru, sirosis berat, hepatitis virus aktif, dan hipertensi berat yang tidak terkontrol). Pada wanita muda, dosis tinggi estrogen lebih dipilih, sementara dosis rendah digunakan ketika sudah mulai menopause; terapi diberhentikan pada wanita ≥50 tahun.115 Estrogen oral akan menekan pelepasan hepatic insulin like growth factor 1 (IGF 1) sebagai respon terhadap GH116, yang dapat dicegah dengan menggunakan estrogen transdermal.117

4. GH replacement Pendapat tentang efektivitas dan penggunaan rutin dari terapi GH pada pasien dengan sindrom Sheehan masih terbagi karena rasio untung-rugi dan cost effectiveness.118 Defisiensi GH lebih berat pada pasien dengan sindrom Sheehan daripada pasien dengan tumor pituitary. Terapi pengganti GH harus dimulai dari dosis rendah, yang mana harus dinaikkan secara bertahap sesuai dengan evaulasi 28

dari respon klinis dan level IGF1 yang dinilai setiap 4 – 8 minggu.119 Sebuah studi prospektif menunjukkan bahwa terapi pengganti GH selama 18 bulan menurunkan level kolesterol total dan kolesterol LDL dan meningkatkan level kolesterol HDL, sementara itu waist circumference dan waist to hip ratio menurun secara signifikan.120 Terapi pengganti GH selama 6 bulan memperbaiki fungsi kognitif (dinilai dengan P300 auditory potentials) pada pasien dengan sindrom Sheehan dengan defisiensi GH yang berat.45,121 Terapi pengganti GH selama 1 tahun memperbaiki kualitas hidup, komposisi tubuh dan profil lipid pada sebuah studi yang melibatkan 91 pasien dari 19 negara64, sementara studi lain menunjukkan bahwa terapi pengganti GH selama 6 bulan memperbaiki kandungan sebum pada kening, yang mengalami penurunan secara signifikan pada pasien defisiensi GH dengan sindrom Sheehan.122 Sebagai tambahan, terapi pengganti GH pada pasien dengan defisiensi GH yang berat, yang kebanyakan memiliki sindrom Sheehan, akan memperbaiki sympathetic tone tanpa obvious arrhythmogenic effect.47 Sebaliknya, beberapa parameter tidak mengalami perbaikan dengan terapi pengganti GH. Pada studi tersebut, Tanriverdi et al.47 menunjukkan bahwa terapi pengganti GH selama 6 dan 12 bulan meningkatkan aktivitas simpatetik dan menormalkan keseimbangan simpatovagal. Terapi pengganti GH selama 6 bulan gagal memperbaiki pola tidur yang abnormal pada pasien dengan sindrom Sheehan, yang menunjukkan lebih banyak non rapid eye movement (NREM) sleep, lebih sedikit REM sleep dan efisiensi tidur dibandingkan healthy controls.123 Tidak ada data yang tersedia untuk terapi pengganti GH dengan durasi yang lebih lama pada abnormal sleep parameters.123 Terapi pengganti GH tidak memiliki efek apapun pada kepadatan mineral tulang.120

5. AVP replacement Diabetes insipidus dapat timbul sebagai konsekuensi dari kerusakan pada kelenjar posterior, yang menyebabkan gangguan sekresi AVP. Sebagai tambahan, diabetes insipidus dapat timbul pada pasien dengan sindrom Sheehan yang diterapi dengan glukokortikoid, yang meningkatkan diuresis air.58 Gejala dari diabetes insipidus dapat tertutupi oleh defisiensi ACTH yang terjadi bersamaan. Terapi glukokortikoid akan menekan sekresi AVP pada pasien dengan defisiensi ACTH.124 Polyuria dan polydipsia harus dinilai setelah terapi 29

glukokortikoid pada pasien dengan sindrom Sheehan. Desmopressin, yang merupakan bentuk modifikasi dari AVP, dapat diberikan secara oral, nasal ataupun parenteral untuk mengobati diabetes insipidus, biasanya diberikan sebelum tidur. Apabila diperlukan, dosis pagi dan sore dapat ditambahkan. Efek antidiuretic dari desmopressin muncul antara 6 – 12 jam apabila diberikan melalui rute nasal. Apabila mengganti dari intranasal ke oral, desmopressin oral harus diberikan setidaknya 12 jam setelah dosis intranasal terakhir. Meskipun demikian, durasi kerjanya akan lebih singkat apabila diberikan melalui rute oral. Pelayanan lebih harus diberikan apabila mengobati pasien yang tidak sadar. Level sodium dalam serum dan volume cairan harus dievaluasi dan dosis desmopressin harus disesuaikan berdasarkan kedua hal tersebut. Sebagai tambahan, karena resiko hypernatremia berat cukup tinggi pada pasien dengan diabetes insipidus yang adipsic (absence of thirst), maka intake cairan harian, penggunaan desmopressin regular, berat badan dan level sodium dalam serum harus dimonitor.115

6. Pregnancy and lactation Induksi ovulasi dapat digunakan pada wanita yang ingin menjadi hamil, meskipun beberapa pasien dapat memiliki kehamilan spontan.125 Ketika hamil, diperlukan follow up regular untuk menyesuaikan dosis glukokortikoid. Gestasi fisiologis berkaitan dengan peningkatan maternal HPA axis activity meski faktanya jumlah sel corticotropic tetap sama. Baik total maupun free cortisol level telah terbukti meningkat pada usia gestasi 11 minggu; meskipun demikian, hal ini tidak menyebabkan feedback inhibition karena set point untuk sekresi ACTH juga terganggu.126,127 Disamping maternal HPA axis overactivity, plasenta juga berkontribusi terhadap produksi ACTH dan CRH.128 Dosis levothyroxine juga perlu disesuaikan. Kesesuaian biokimia dari TSH dan hCG mengakibatkan peningkatan sintesis hormon tiroid, yang mana akan menghambat sekresi TSH maternal dari kelenjar pituitary selama trimester pertama kehamilan normal.129 Sebagai tambahan, terdapat peningkatan kebutuhan T4 selama kehamilan tidak hanya dikarenakan peningkatan thyroxine binding globulin dalam serum tetapi juga karena degradasi T4 placenta, perpindahan T4 dari ibu ke janin dan peningkatan maternal clearance dari T4.130 Kebutuhan levothyroxine meningkat sekitar 30% selama kehamilan.131 30

Sekresi GH maternal mengalami penurunan selama kehamilan normal. Sebagai gantinya, plasenta mulai memproduksi placental variant GH, yang terdeteksi di sirkulasi saat minggu 5 kehamilan, dan jumlahnya akan meningkat secara progresif selama kehamilan dan memuncak pada minggu 35 – 37. Placental variant GH disekresikan secara terus menerus; placental variant GH berikatan dengan hepatic GH receptor dengan afinitas yang mirip pituitary GH, menghambat sekresinya dengan menstimulasi produksi IGF-1.132,133 Terapi GH biasanya dihentikan setelah konfirmasi kehamilan karena penggunaanya tidak dianjurkan selama kehamilan; meskipun demikian, pada beberapa pasien, terapi dilanjutkan sampai placental variant GH disekresikan dari plasenta pada minggu ke 12 kehamilan, yang mana setelah itu terapi dihentikan secara bertahap dengan pemberian dosis yang lebih rendah sampai minggu 20 kehamilan.115 Secara umum, placental variant GH dapat mengandung IGF-1 yang cukup setelah 20 minggu kehamilan.134 Masih belum jelas manakah pasien dengan sindrom Sheehan yang harus menggunakan terapi pengganti GH selama kehamilan, tetapi penggantian GH tidak memiliki efek samping mayor dan tidak memiliki pengaruh negatif maternal dan fetal outcome. Induksi ovulasi penting pada pasien sindrom Sheehan dengan defisiensi gonadotropin, sehingga penggantian estrogen dapat dihentikan. Ketika kehamilan terjadi, sex steroids disekresikan dari plasenta, yang mana akan meniadakan kebutuhan penggantian exogen. Pada kehamilan normal, level gonadotropin maternal di serum mengalami penurunan selama minggu-minggu awal dan menjadi tidak terdeteksi pada trimester kedua karena peningkatan level sex steroids (seperti 17 β-estradiol dan progesterone) dan regulatory peptides (seperti inhibin)135. Tidak terdapat data mengenai penggantian PRL selama kehamilan dan periode postpartum untuk laktasi pada pasien dengan defisiensi PRL.

2.2.11 Kualitas Hidup Mayoritas pasien dengan sindrom Sheehan memiliki gejala nonspesifik, seperti kelemahan tubuh, intoleransi dingin, anemia dan merasa tidak sehat, yang mempengaruhi kualitas hidup, terutama karena long diagnostic delay.2 Pasien ini dapat tetap tidak terdiagnosa atau salah diagnosa selama waktu yang panjang dan menerima terapi yang tidak sesuai. Lebih lanjut lagi, defisiensi hormon 31

berkembang dan memburuk selama bertahun-tahun, yang menunjukkan adanya perburukan yang progresif dari kondisi kronik ini.23 Meskipun tidak terdapat studi prospektif yang secara spesifik menyelidiki tentang morbiditas dan mortalitas pada sindrom Sheehan, sindrom Sheehan yang tidak terdiagnosa dapat berakibat pada peningkatan mortalitas dan morbiditas. Peningkatan kesadaran akan kondisi ini akan berdampak pada diagnosis yang lebih awal, kualitas hidup yang lebih baik serta morbiditas dan mortalitas yang lebih rendah. Terapi akan memperbaiki kualitas hidup pada pasien dengan sindrom Sheehan. Efek dari terapi pengganti GH pada orang dewasa dengan hypopituitarism tanpa sindrom Sheehan telah terdokumentasikan dengan baik dan meliputi perbaikan pada kualitas hidup, perubahan komposisi tubuh dan fungsi kognitif136, yang juga telah ditnujukkan pada pasien dengan sindrom Sheehan.120,121 Meskipun supraphysiological glucocorticoid exposure merusak kualitas hidup, namun peningkatan dosis glukokortikoid pada pasien yang mengeluhkan gangguan kualitas hidup, yang dapat atau tidak berkaitan dengan defisiensi axis adrenal, merupakan praktek yang umum/sering dilakukan.137,138 Maka dari itu, dokter perlu mempertimbangkan dan mengevaluasi penyebab dari gangguan kualitas hidup selama follow up pasien, seperti glukokortikoid yang tidak cukup dan penggantian hormon tiroid dan defisiensi GH.

2.2.12 Outlook Karena kelangkaannya pada negara barat, sindrom Sheehan telah menjadi kelainan yang terabaikan dan tidak cukup dimasukkan ke dalam pendidikan medis. Karena adanya peningkatan migrasi ke negara-negara maju, dokter perlu mencurigai penyakit ini pada wanita yang melahirkan di negara asalnya, terutama bila negara tersebut adalah negara berkembang. Meskipun, mekanisme dasar yang menyebabkan timbulnya nekrosis pituitary pasca persalinan belum sepenuhnya diketahui, studi-studi terbaru telah memberikan wawasan baru terhadap pathogenesis dari penyakit ini, seperti pituitary autoimmunity dan gangguan koagulasi. Wawasan tentang patofisiologi dari nekrosis pituitary pasca persalinan mampu memberikan opsi-opsi baru dalam penatalaksanaan kegagalan pituitary permanen yang berkaitan dengan penyebab lain, seperti terapi dengan pituitary stem cell139 dan terapi transplantasi sel target (seperti sel lactotroph dan gonadotroph)140. Pada transgenic mouse model, ditunjukkan bahwa kelenjar 32

pituitary mampu untuk memperbaiki jaringan yang rusak akibat diphtheria toxininduced injury dan bahwa sel somatotropic dipertimbangkan mampu beregenerasi selama berbulan-bulan setelah injury, menggambarkan kemampuan recovery dari sel somatotropic dari stem atau progenitor cells.141 Tampaknya, kemampuan regenerative dari kelenjar pituitary bergantung pada stem cell-associated pathway activation.139 Transplantasi pituitary stem cell telah diselidiki melalui eksperimen pada penyebab lain dari insufisiensi pituitary; meskipun demikian, hal itu mungkin juga berguna untuk sindrom Sheehan. Human embryonic stem cell-derived pituitary tissue menyediakan platform untuk aplikasi terapi dan pemodelan penyakit.140 Setelah transplantasi ke hypopituitary mice (hypo-physectomized severe combined immunodeficient mice), in vitro-generated corticotropic cells mampu mensekresikan ACTH sebagai respon terhadap CRH.140 Sheehan dan Davis142 mempublikasikan buku yang sangat komprehensif yang didedikasikan untuk sindrom Sheehan pada 1982, yang mana mereka menyarankan bahwa kondisi ini memberikan pemodelan yang sangat baik untuk studi tentang insufisiensi murni dari lobus anterior. Faktanya, sindrom Sheehan merupakan kelainan pituitary yang luar biasa yang dikarakteristikkan dengan hypopituitary berat dalam jangka waktu yang lama dan itu merupakan model yang sempurna untuk melihat efek dari terapi penggantian pada morbiditas, mortalitas dan kualitas hidup wanita. Sebuah model binatang yang meniru sindrom Sheehan, yang sekarang ini tidak ada, akan memberikan keuntungan tidak hanya untuk mengerti mekanisme dasar dari sindrom Sheehan tetapi juga dapat berguna untuk memahami patofisiologi dari tipe lain hypopituitarism.

33

BAB III KESIMPULAN 1. Sindrom Sheehan merupakan penyakit yang jarang, biasanya terjadi akibat perdarahan hebat yang terjadi pada masa persalinan. 2. Sindrom Sheehan dapat memberikan gangguan terhadap siklus hormonal tubuh manusia 3. Sindrom Sheehan biasanya tidak muncul segera setelah periode postpartum, melainkan beberapa tahun setelah persalinan yang mencetuskannya. 4. Tidak adanya menstruasi dan kegagalan laktasi pada masa nifas membantu memberikan petunjuk untuk diagnosis 5. Pasien-pasien dengan sindrom Sheehan harus mendapatkan terapi sulih hormone seumur hidup

34

BAB IV DAFTAR PUSTAKA 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.

11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20.

21.

Tessnow AH, Wilson JD. The changing face of Sheehan’s syndrome. Am J Med Sci. 2010;340:402–406. Kelestimur F. Sheehan's syndrome. Pituitary. 2003;6:181–8. Zargar AH, Singh B, Laway BA, et al. Epidemiologic aspects of postpartum pituitary hypofunction (Sheehan’s syndrome). Fertil Steril 2005;84:523– 8. Karaca, Z., Tanriverdi, F., Unluhizarci, K. & Kelestimur, F. Pregnancy and pituitary disorders. Eur. J. Endocrinol. 162, 453–475 (2010). Sert, M., Tetiker, T., Kirim, S. & Kocak, M. Clinical report of 28 patients with Sheehan’s syndrome. Endocr. J. 50, 297–301 (2003). Gokalp, D, Alpagat G, Tuzcu A. Four decade without diagnosis: Sheehan Syndrome a retrospective analysis. Gynecol endocrinol.2016 jun 1; 1-4. Glinsky LZ. [Kazuistykizmian anatomo-patologicznych w przysada mozgowej.] Przegl Lek 1913;52:13–4. Leclercq, T. A. & Grisoli, F. Arterial blood supply of the normal human pituitary gland. An anatomical study. J. Neurosurg. 58, 678–681 (1983). Bergland, R. M. & Page, R. B. Can the pituitary secrete directly to the brain? (Affirmative anatomical evidence). Endocrinology 102, 1325–1338 (1978). Gross, P. M. et al. Topography of short portal vessels in the rat pituitary gland: a scanning electron‐ microscopic and morphometric study of corrosion cast replicas. Cell Tissue Res. 272, 79–88 (1993). Porter, J. C., Kamberi, I. A. & Grazia, Y. R. in Frontiers in Neuroendocrinology (eds Martini, L. & Ganong, W.) 145–175 (1978). Karaca, Z., Tanriverdi, F., Unluhizarci, K. & Kelestimur, F. Pregnancy and pituitary disorders. Eur. J. Endocrinol. 162, 453–475 (2010). Simmonds M. [Uber hypophysisschwund mit todlichem ausgang.] Dtsch Med Wochenschr 1914;40:322–3. Kovacs K. Sheehan syndrome. Lancet 2003;361:520–2. Sheehan H. Postpartum necrosis of the anterior pituitary. J Pathol Bact 1937;45:189 – 214. Sheehan HL. Atypical hypopituitarism. Proc R Soc Med 1961;54: 43– 8. Sheehan HL, Davis JC. Post-partum hypopituitarism. Springfield (IL): Charles C Thomas, 1982. Dö kmetas ̧ HS, Kilicli F, Korkmaz S, et al. Characteristic features of 20 patients with Sheehan’s syndrome. Gynecol Endocrinol 2006;22: 279 – 83. Asaoka K. [A study on the incidence of post-partum hypopituitarism, (Sheehan’s syndrome).] Nippon Naibunpi Gakkai Zasshi 1977;53:895– 909. Regal M, Paramo C, Sierra SM, et al. Prevalence and incidence of hypopituitarism in an adult Caucasian population in northwestern Spain. Clin Endocrinol (Oxf) 2001;55:735– 40. Fernandez‐Rodriguez, E. et al. Epidemiology, mortality rate and survival in a homogeneous population of hypopituitary patients. Clin. Endocrinol. (Oxf.) 78, 278–284 (2013).

35

22. Elumir‐Mamba, L. A. S., Andag‐Silva, A. A., Fonte, J. S. & Mercado‐Asis, L. B. Clinical profile and etiology of hypopituitarism at the Univesity of Santa Thomas Hospital. Philippine J. Intern. Med. 48, 23–27 (2010). 23. Diri, H. et al. Extensive investigation of 114 patients with Sheehan’s syndrome: a continuing disorder. Eur. J. Endocrinol. 171, 311–318 (2014).PMe 24. Dinc, H., Esen, F., Demirci, A., Sari, A. & Resit Gumele, H. Pituitary dimensions and volume measurements in pregnancy and post partum. MR assessment. Acta Radiol. 39, 64–69 (1998). 25. Gonzalez, J. G. et al. Pituitary gland growth during normal pregnancy: an in vivo study using magnetic resonance imaging. Am. J. Med. 85, 217–220 (1988). 26. Wolpert, S. M., Molitch, M. E., Goldman, J. A. & Wood, J. B. Size, shape, and appearance of the normal female pituitary gland. AJR Am. J. Roentgenol. 143, 377–381 (1984). 27. Elster, A. D., Sanders, T. G., Vines, F. S. & Chen, M. Y. Size and shape of the pituitary gland during pregnancy and post partum: measurement with MR imaging. Radiology 181, 531–535 (1991). 28. Diver, M. J. et al. An unusual form of big, big (macro) prolactin in a pregnant patient. Clin. Chem. 47, 346–348 (2001). 29. Tyson, J. E., Hwang, P., Guyda, H. & Friesen, H. G. Studies of prolactin secretion in human pregnancy. Am. J. Obstet. Gynecol. 113, 14–20 (1972). 30. Diri, H., Karaca, Z., Tanriverdi, F., Unluhizarci, K. & Kelestimur, F. Sheehan’s syndrome: new insights into an old disease. Endocrine 51, 22–31 (2016). 31. Matsuwaki, T., Khan, K. N., Inoue, T., Yoshida, A. & Masuzaki, H. Evaluation of obstetrical factors related to Sheehan syndrome. J. Obstet. Gynaecol. Res. 40, 46–52 (2014). 32. Weeks, A. The prevention and treatment of postpartum haemorrhage: what do we know, and where do we go to next? BJOG 122, 202–210 (2015). 33. Joseph, K. S. et al. Investigation of an increase in postpartum haemorrhage in Canada. BJOG 114, 751–759 (2007). 34. Roberts, D. M. Sheehan’s syndrome. Am. Fam. Physician 37, 223–227 (1988). 35. Lust, K., McIntyre, H. D. & Morton, A. Sheehan’s syndrome — acute presentation with hyponatraemia and headache. Aust. N. Z. J. Obstet. Gynaecol. 41, 348–351 (2001). 36. Bakiri, F., Bendib, S. E., Maoui, R., Bendib, A. & Benmiloud, M. The sella turcica in Sheehan’s syndrome: computerized tomographic study in 54 patients. J. Endocrinol. Invest. 14, 193–196 (1991). 37. Sherif, I. H., Vanderley, C. M., Beshyah, S. & Bosairi, S. Sella size and contents in Sheehan’s syndrome. Clin. Endocrinol. (Oxf.) 30, 613–618 (1989). 38. McKay, D. G., Merrill, S. J., Weiner, A. E., Hertig, A. T. & Reid, D. E. The pathologic anatomy of eclampsia, bilateral renal cortical necrosis, pituitary necrosis, and other acute fatal complications of pregnancy, and its possible relationship to the generalized Shwartzman phenomenon. Am. J. Obstet. Gynecol. 66, 507–539 (1953). 39. Erez, O., Mastrolia, S. A. & Thachil, J. Disseminated intravascular coagulation in pregnancy: insights in pathophysiology, diagnosis and management. Am. J. Obstet. Gynecol. 213, 452–463 (2015). 40. Cunningham, F. G. & Nelson, D. B. Disseminated intravascular coagulation syndromes in obstetrics. Obstet. Gynecol. 126, 999–1011 (2015).

36

41. Laway, B. A. et al. Prevalence of hematological abnormalities in patients with Sheehan’s syndrome: response to replacement of glucocorticoids and thyroxine. Pituitary 14, 39– 43 (2011). 42. Shivaprasad, C. Sheehan’s syndrome: newer advances. Indian J. Endocrinol. Metab. 15, S203–S207 (2011). 43. Carp, H. et al. Prevalence of genetic markers for thrombophilia in recurrent pregnancy loss. Hum. Reprod. 17, 1633–1637 (2002). 44. Gokalp, D. et al. Analysis of thrombophilic genetic mutations in patients with Sheehan’s syndrome: is thrombophilia responsible for the pathogenesis of Sheehan’s syndrome? Pituitary 14, 168–173 (2011). 45. Pasa, S. et al. Prothrombin time, activated thromboplastin time, fibrinogen and d‐dimer levels and von‐Willebrand activity of patients with Sheehan’s syndrome and the effect of hormone replacement therapy on these factors. Int. J. Hematol. Oncol. 20, 212–219 (2010). 46. Tanriverdi, F. et al. The effects of 12 months of growth hormone replacement therapy on cardiac autonomic tone in adults with growth hormone deficiency. Clin. Endocrinol. (Oxf.) 62, 706–712 (2005). 47. Katz, D. & Beilin, Y. Disorders of coagulation in pregnancy. Br. J. Anaesth. 115 (Suppl. 2), ii75–ii88 (2015). 48. Atmaca, H., Tanriverdi, F., Gokce, C., Unluhizarci, K. & Kelestimur, F. Posterior pituitary function in Sheehan’s syndrome. Eur. J. Endocrinol. 156, 563–567 (2007). 49. Ozbey, N. et al. Clinical and laboratory evaluation of 40 patients with Sheehan’s syndrome. Isr. J. Med. Sci. 30, 826–829 (1994). 50. Goswami, R., Kochupillai, N., Crock, P. A., Jaleel, A. & Gupta, N. Pituitary autoimmunity in patients with Sheehan’s syndrome. J. Clin. Endocrinol. Metab. 87, 4137–4141 (2002). 51. De Bellis, A. et al. Anti‐hypothalamus and anti‐ pituitary antibodies may contribute to perpetuate the hypopituitarism in patients with Sheehan’s syndrome. Eur. J. Endocrinol. 158, 147–152 (2008). 52. De Bellis, A. et al. Immunological and clinical aspects of lymphocytic hypophysitis. Clin. Sci. (Lond.) 114, 413–421 (2008). 53. Atmaca, H., Arasli, M., Yazici, Z. A., Armutcu, F. & Tekin, I. O. Lymphocyte subpopulations in Sheehan’s syndrome. Pituitary 16, 202–207 (2013). 54. Sheehan, H. L. Postpartum necrosis of the anterior pituitary. J. Pathol. Bact. 45, 189– 214 (1937). 55. Ramiandrasoa, C. et al. Delayed diagnosis of Sheehan’s syndrome in a developed country: a retrospective cohort study. Eur. J. Endocrinol. 169, 431–438 (2013). 56. Laway, B. A., Mir, S. A., Gojwari, T., Shah, T. R. & Zargar, A. H. Selective preservation of anterior pituitary functions in patients with Sheehan’s syndrome. Indian J. Endocrinol. Metab. 15, S238–S241 (2011). 57. Dokmetas, H. S., Kilicli, F., Korkmaz, S. & Yonem, O. Characteristic features of 20 patients with Sheehan’s syndrome. Gynecol. Endocrinol. 22, 279–283 (2006). 58. Du, G. L. et al. Sheehan’s syndrome in Xinjiang: clinical characteristics and laboratory evaluation of 97 patients. Hormones (Athens) 14, 660–667 (2015). 59. Gei‐Guardia, O., Soto‐Herrera, E., Gei‐Brealey, A. & Chen‐Ku, C. H. Sheehan syndrome in Costa Rica: clinical experience with 60 cases. Endocr. Pract. 17, 337–344 (2011). 60. Gokalp, D. et al. Four decades without diagnosis: Sheehan’s syndrome, a retrospective analysis. Gynecol Endocrinol. 2 June 2016 [epub ahead of print].

37

61. Kelestimur, F. et al. Sheehan’s syndrome: baseline characteristics and effect of 2 years of growth hormone replacement therapy in 91 patients in KIMS — Pfizer International Metabolic Database. Eur. J. Endocrinol. 152, 581–587 (2005). 62. Lim, C. H. et al. Electrolyte imbalance in patients with Sheehan’s syndrome. Endocrinol. Metab. (Seoul) 30, 502–508 (2015). 63. Sert, M., Tetiker, T., Kirim, S. & Kocak, M. Clinical report of 28 patients with Sheehan’s syndrome. Endocr. J. 50, 297–301 (2003). 64. Kan, A. K. & Calligerous, D. A case report of Sheehan syndrome presenting with diabetes insipidus. Aust. N. Z. J. Obstet. Gynaecol. 38, 224–226 (1998). 65. Tomlinson, J. W. et al. Association between premature mortality and hypopituitarism. West Midlands Prospective Hypopituitary Study Group. Lancet 357, 425–431 (2001). 66. Furnica, R. M. et al. Early diagnosis of Sheehan’s syndrome. Anaesth. Crit. Care Pain Med. 34, 61–63 (2015). 67. Huang, Y. Y., Ting, M. K., Hsu, B. R. & Tsai, J. S. Demonstration of reserved anterior pituitary function among patients with amenorrhea after postpartum hemorrhage. Gynecol. Endocrinol. 14, 99–104 (2000). 68. Smith, D. M., McKenna, K. & Thompson, C. J. Hyponatraemia. Clin. Endocrinol. (Oxf.) 52, 667–678 (2000). 69. Kurtulmus, N. & Yarman, S. Hyponatremia as the presenting manifestation of Sheehan’s syndrome in elderly patients. Aging Clin. Exp. Res. 18, 536–539 (2006). 70. Guven, M., Bayram, F., Guven, K. & Kelestimur, F. Evaluation of patients admitted with hypoglycaemia to a teaching hospital in Central Anatolia. Postgrad. Med. J. 76, 150–152 (2000). 71. Weiner, P., Ben‐Israel, J. & Plavnick, L. Sheehan’s syndrome with diabetes insipidus. A case study. Isr. J. Med. Sci. 15, 431–433 (1979). 72. Chihaoui, M. et al. Bone mineral density in Sheehan’s syndrome; prevalence of low bone mass and associated factors. J. Clin. Densitom. 19, 413–418 (2016). 73. Gokalp, D. et al. Sheehan’s syndrome and its impact on bone mineral density. Gynecol. Endocrinol. 25, 344–349 (2009). 74. Kanis, J. A., Melton, L. J. 3rd, Christiansen, C., Johnston, C. C. & Khaltaev, N. The diagnosis of osteoporosis. J. Bone Miner. Res. 9, 1137–1141 (1994). 75. Acibucu, F., Kilicli, F. & Dokmetas, H. S. Assessment of bone mineral density in patients with Sheehan’s syndrome. Gynecol. Endocrinol. 30, 532–535 (2014). 76. Sunil, E. et al. Sheehan’s syndrome: a single centre experience. J. Clin. Sci. Res. 2, 16–21 (2013). 77. Kilicli, F., Dokmetas, H. S. & Acibucu, F. Sheehan’s syndrome. Gynecol. Endocrinol. 29, 292–295 (2013). 78. Shahmanesh, M., Ali, Z., Pourmand, M. & Nourmand, I. Pituitary function tests in Sheehan’s syndome. Clin. Endocrinol. (Oxf.) 12, 303–311 (1980). 79. DiZerega, G., Kletzky, O. A. & Mishell, D. R. Jr. Diagnosis of Sheehan’s syndrome using a sequential pituitary stimulation test. Am. J. Obstet. Gynecol. 132, 348–353 (1978). 80. Simsek, Y. et al. A comparison of low‐dose ACTH, glucagon stimulation and insulin tolerance test in patients with pituitary disorders. Clin. Endocrinol. (Oxf.) 82, 45–52 (2015). 81. Oliveira, J. H., Persani, L., Beck‐Peccoz, P. & Abucham, J. Investigating the paradox of hypothyroidism and increased serum thyrotropin (TSH) levels in Sheehan’s syndrome:

38

characterization of TSH carbohydrate content and bioactivity. J. Clin. Endocrinol. Metab. 86, 1694–1699 (2001). 82. Abucham, J., Castro, V., Maccagnan, P. & Vieira, J. G. Increased thyrotrophin levels and loss of the nocturnal thyrotrophin surge in Sheehan’s syndrome. Clin. Endocrinol. (Oxf.) 47, 515–522 (1997). 83. MacCagnan, P., Oliveira, J. H., Castro, V. & Abucham, J. Abnormal circadian rhythm and increased non‐pulsatile secretion of thyrotrophin in Sheehan’s syndrome. Clin. Endocrinol. (Oxf.) 51, 439–447 (1999). 84. Oelkers, W. Hyponatremia and inappropriate secretion of vasopressin (antidiuretic hormone) in patients with hypopituitarism. N. Engl. J. Med. 321, 492–496 (1989). 85. Schrier, R. W. Body water homeostasis: clinical disorders of urinary dilution and concentration. J. Am. Soc. Nephrol. 17, 1820–1832 (2006). 86. Gokalp, D. et al. Sheehan’s syndrome as a rare cause of anaemia secondary to hypopituitarism. Ann. Hematol. 88, 405–410 (2009). 87. Oliveira, M. C. et al. Acquired factor VIII and von Willebrand factor (aFVIII/VWF) deficiency and hypothyroidism in a case with hypopituitarism. Clin. Appl. Thromb. Hemost. 16, 107–109 (2010). 88. Erslev, A. J. Anemia of Endocrine Disorders (McGraw‐Hill, 2001). 89. Gokmen Akoz, A., Atmaca, H., Ustundag, Y. & Ozdamar, S. O. An unusual case of pancytopenia associated with Sheehan’s syndrome. Ann. Hematol. 86, 307–308 (2007). 90. Laway, B. A. et al. Sheehan’s syndrome with pancytopenia — complete recovery after hormone replacement (case series with review). Ann. Hematol. 89, 305–308 (2010). 91. Dash, R. J., Gupta, V. & Suri, S. Sheehan’s syndrome: clinical profile, pituitary hormone responses and computed sellar tomography. Aust. N. Z. J. Med. 23, 26–31 (1993). 92. Dejager, S., Gerber, S., Foubert, L. & Turpin, G. Sheehan’s syndrome: differential diagnosis in the acute phase. J. Intern. Med. 244, 261–266 (1998). 93. Sasaki, S. et al. A novel hook‐shaped enhancement on contrast‐enhanced sagittal magnetic resonance image in acute Sheehan’s syndrome: a case report. Endocr. J. 61, 71–76 (2014). 94. Laway, B., Misgar, R., Mir, S. & Wani, A. Clinical, hormonal and radiological features of partial Sheehan’s syndrome: an Indian experience. Arch. Endocrinol. Metab. 60, 125– 129 (2016). 95. Sheehan, H. L. Atypical hypopituitarism. Proc. R. Soc. Med. 54, 43–48 (1961). 96. [No authors listed.] Case records of the Massachusetts General Hospital. Weekly clinicopathological exercises. Case 25–1995 — a 44‐year‐old woman with headache, blurred vision, and an intrasellar mass. N. Engl. J. Med. 333, 441–447 (1995). 97. Unluhizarci, K. et al. Distinct radiological and clinical appearance of lymphocytic hypophysitis. J. Clin. Endocrinol. Metab. 86, 1861–1864 (2001). 98. Hashimoto, K., Takao, T. & Makino, S. Lymphocytic adenohypophysitis and lymphocytic infundibuloneurohypophysitis. Endocr. J. 44, 1–10 (1997). 99. Karaca, Z., Tanriverdi, F., Unluhizarci, K., Kelestimur, F. & Donmez, H. Empty sella may be the final outcome in lymphocytic hypophysitis. Endocr. Res. 34, 10–17 (2009). 100.Shehata, H. A. & Okosun, H. Neurological disorders in pregnancy. Curr. Opin. Obstet. Gynecol. 16, 117–122 (2004). 101.Karaca, Z. & Kelestimur, F. The management of hypophysitis. Minerva Endocrinol. 41, 390–399 (2016).

39

102.McLintock, C. & James, A. H. Obstetric hemorrhage. J. Thromb. Haemost. 9, 1441–1451 (2011). 103.Sheldon, W. R. et al. Postpartum haemorrhage management, risks, and maternal outcomes: findings from the World Health Organization Multicountry Survey on maternal and newborn health. BJOG 121 (Suppl. 1), 5–13 (2014). 104.Anderson, J. M. & Etches, D. Prevention and management of postpartum hemorrhage. Am. Fam. Physician 75, 875–882 (2007). 105.World Health Organization. WHO Recommendations for the Prevention and Treatment of Postpartum Haemorrhage (WHO, 2012). 106.Shields, L. E., Wiesner, S., Fulton, J. & Pelletreau, B. Comprehensive maternal hemorrhage protocols reduce the use of blood products and improve patient safety. Am. J. Obstet. Gynecol. 212, 272–280 (2015). 107.Rajasekaran, S. et al. UK guidelines for the management of pituitary apoplexy. Clin. Endocrinol. (Oxf.) 74, 9–20 (2011). 108.Forss, M., Batcheller, G., Skrtic, S. & Johannsson, G. Current practice of glucocorticoid replacement therapy and patient‐perceived health outcomes in adrenal insufficiency — a worldwide patient survey. BMC Endocr. Disord. 12, 8 (2012). 109.Nilsson, A. G. et al. Prospective evaluation of long‐term safety of dual‐release hydrocortisone replacement administered once daily in patients with adrenal insufficiency. Eur. J. Endocrinol. 171, 369–377 (2014). 110.Oksnes, M. et al. Continuous subcutaneous hydrocortisone infusion versus oral hydrocortisone replacement for treatment of addison’s disease: a randomized clinical trial. J. Clin. Endocrinol. Metab. 99, 1665–1674 (2014). 111.Fleseriu, M. et al. Hormonal replacement in hypopituitarism in adults: an Endocrine Society clinical practice guideline. J. Clin. Endocrinol. Metab. 101, 3888–3921 (2016). 112.Giavoli, C. et al. Effect of recombinant human growth hormone (GH) replacement on the hypothalamic– pituitary–adrenal axis in adult GH‐deficient patients. J. Clin. Endocrinol. Metab. 89, 5397–5401 (2004). 113.Atmaca, H., Tanriverdi, F., Gokce, C., Unluhizarci, K. & Kelestimur, F. Do we still need the TRH stimulation test? Thyroid 17, 529–533 (2007). 114.Jorgensen, J. O. et al. Effects of growth hormone therapy on thyroid function of growth hormone‐ deficient adults with and without concomitant thyroxine‐substituted central hypothyroidism. J. Clin. Endocrinol. Metab. 69, 1127–1132 (1989). 115.Higham, C. E., Johannsson, G. & Shalet, S. M. Hypopituitarism. Lancet 388, 2403–2415 (2016). 116.Leung, K. C., Johannsson, G., Leong, G. M. & Ho, K. K. Estrogen regulation of growth hormone action. Endocr. Rev. 25, 693–721 (2004). 117.Wolthers, T. et al. Oral estrogen antagonizes the metabolic actions of growth hormone in growth hormone‐deficient women. Am. J. Physiol. Endocrinol. Metab. 281, E1191– E1196 (2001). 118.Soares, D. V. et al. Two years of growth hormone replacement therapy in a group of patients with Sheehan’s syndrome. Pituitary 9, 127–135 (2006). 119.Molitch, M. E. et al. Evaluation and treatment of adult growth hormone deficiency: an Endocrine Society clinical practice guideline. J. Clin. Endocrinol. Metab. 91, 1621–1634 (2006). 120.Tanriverdi, F. et al. Effects of 18‐month of growth hormone (GH) replacement therapy in patients with Sheehan’s syndrome. Growth Horm. IGF Res. 15, 231–237 (2005).

40

121.Golgeli, A. et al. Utility of P300 auditory event related potential latency in detecting cognitive dysfunction in growth hormone (GH) deficient patients with Sheehan’s syndrome and effects of GH replacement therapy. Eur. J. Endocrinol. 150, 153–159 (2004). 122.Tanriverdi, F. et al. Investigation of the skin characteristics in patients with severe GH deficiency and the effects of 6 months of GH replacement therapy: a randomized placebo controlled study. Clin. Endocrinol. (Oxf.) 65, 579–585 (2006). 123.Ismailogullari, S., Tanriverdi, F., Kelestimur, F. & Aksu, M. Sleep architecture in Sheehan’s syndrome before and 6 months after growth hormone replacement therapy. Psychoneuroendocrinology 34, 212–219 (2009). 124.Erkut, Z. A., Pool, C. & Swaab, D. F. Glucocorticoids suppress corticotropin‐releasing hormone and vasopressin expression in human hypothalamic neurons. J. Clin. Endocrinol. Metab. 83, 2066–2073 (1998). 125.Karaca, Z. & Kelestimur, F. Pregnancy and other pituitary disorders (including GH deficiency). Best Pract. Res. Clin. Endocrinol. Metab. 25, 897–910 (2011). 126.Allolio, B. et al. Diurnal salivary cortisol patterns during pregnancy and after delivery: relationship to plasma corticotrophin‐releasing‐hormone. Clin. Endocrinol. (Oxf.) 33, 279–289 (1990). 127.Nolten, W. E., Lindheimer, M. D., Rueckert, P. A., Oparil, S. & Ehrlich, E. N. Diurnal patterns and regulation of cortisol secretion in pregnancy. J. Clin. Endocrinol. Metab. 51, 466–472 (1980). 128.Demura, R. et al. Placental secretion of prolactin, ACTH and immunoreactive β‐ endorphin during pregnancy. Acta Endocrinol. (Copenh.) 100, 114–119 (1982). 129.Glinoer, D. et al. Regulation of maternal thyroid during pregnancy. J. Clin. Endocrinol. Metab. 71, 276–287 (1990). 130.Burrow, G. N., Fisher, D. A. & Larsen, P. R. Maternal and fetal thyroid function. N. Engl. J. Med. 331, 1072–1078 (1994). 131.De Groot, L. et al. Management of thyroid dysfunction during pregnancy and postpartum: an Endocrine Society clinical practice guideline. J. Clin. Endocrinol. Metab. 97, 2543–2565 (2012). 132.Eriksson, L., Frankenne, F., Eden, S., Hennen, G. & Von Schoultz, B. Growth hormone 24‐ h serum profiles during pregnancy — lack of pulsatility for the secretion of the placental variant. Br. J. Obstet. Gynaecol. 96, 949–953 (1989). 133.Frankenne, F. et al. The physiology of growth hormones (GHs) in pregnant women and partial characterization of the placental GH variant. J. Clin. Endocrinol. Metab. 66, 1171–1180 (1988). 134.Karaca, Z. et al. GH replacement therapy during pregnancy in a patient with Sheehan’s syndrome. Endocrine Abstracts 35, P856 (2014). 135.Foyouzi, N., Frisbaek, Y. & Norwitz, E. R. Pituitary gland and pregnancy. Obstet. Gynecol. Clin. North Am. 31, 873–892 (2004). 136.Holmer, H. et al. Psychosocial health and levels of employment in 851 hypopituitary Swedish patients on long‐term GH therapy. Psychoneuroendocrinology 38, 842–852 (2013). 137.Crespo, I., Valassi, E., Santos, A. & Webb, S. M. Health‐related quality of life in pituitary diseases. Endocrinol. Metab. Clin. North Am. 44, 161–170 (2015). 138.Ragnarsson, O. et al. The relationship between glucocorticoid replacement and quality of life in 2737 hypopituitary patients. Eur. J. Endocrinol. 171, 571–579 (2014).

41

139.Willems, C. et al. Regeneration in the pituitary after cell‐ablation injury: time‐related aspects and molecular analysis. Endocrinology 157, 705–721 (2016). 140.Ozone, C. et al. Functional anterior pituitary generated in self‐organizing culture of human embryonic stem cells. Nat. Commun. 7, 10351 (2016). 141.Fu, Q. et al. The adult pituitary shows stem/progenitor cell activation in response to injury and is capable of regeneration. Endocrinology 153, 3224–3235 (2012). 142.Sheehan, H. L. & Davis, J. C. Postpartum Hypopituitarism (Springfield, 1982).

42

Related Documents

Referat
May 2020 53
Referat Skizoid.docx
April 2020 17
Referat Carotid.docx
November 2019 20
Referat Faringitis.pptx
December 2019 28
Referat Cont.docx
December 2019 26
Referat Hnp.docx
June 2020 17

More Documents from "Nalda Nalda"

Copying Mechanism
October 2019 18
Referat Obgyn.docx
October 2019 33
Lapkas Epipelsi Intractable
October 2019 26
Status Mental.docx
October 2019 23
Referat Amenorea
October 2019 19