Langit Senja Yang Menggantung Tabik. Salam penghormatan seperti yang disampaikan pada orang-orang tertinggi derajatnya itu kini terarah kepadaku. Siapakah aku ini? Istri raja bukan, anak bupati juga tidak. Tapi mengapa orang-orang yang berseliweran —yang bisanya acuh tak acuh saja— kini memberiku tabik semacam itu? “Njenengan menika calon Sri Rajasangga,” jelas seseorang dengan tali kekang dalam genggaman, Dia itu kusir dan agak sinting rupa-rupanya. Katanya aku ini calon Sri Rajasangga. Aku tidak mengerti apa yang sedang dibicarakannya. Dokar tetap berderak lambat-cepat. Lambat jika menyusuri jalan ditengah keramaian, cepat jika tanpa aral melintang. Aku sempat berbincang— basa-basi— mengenai hendak dibawa kemana aku ini. Tapi kusir tidak waras— menurutku— itu hanya tersenyum simpul. Rugi aku berbicara padanya. Inderaku kembali mengamati pemandangan membosankan: jalan lurus tanpa kelok, rumput dipinggir jalan yang banyak belukarnya dan orang-orang yang sedikit-sedikit memberi tabik. Aku tahu mungkin mereka memberi tabik tidak khusus untukku, pasti pada pemilik dokar ini. Yah, bisa dibayangkan, ibarat menjual beragam perhiasan, baru dokar bagus ini bisa dimiliki. Tak heran jika orang-orang memberi tabik atas keelokannya. Tentu mereka pikir dokar ini milik Sri Sultan atau Baginda Raja. * “Nduk, kowe itu cantik, semlohe, dan banyak yang suka. Kok ndak kawin-kawin, to?” suatu hari ibuku menanyai pertanyaan yang selalu kuhindari. “Mau jadi dokter dulu, Mak, baru kawin,” jawabku asal-asalan. Padahal lulus Sekolah Rakyat pun tidak. Ibuku terburu memingitku karena dirasa sudah cukup umur untuk menikah. Saat itu usiaku baru 11 tahun. Bagaimana mungkin perempuan sepertiku tiba-tiba bisa menjadi dokter yang begitu dipuja-puja di banyak kampung begitu. “Cah wadon itu yang penting kawin, nikah, jadi istri yang soleha,” ujarnya lagi sambil menata piring-piring dalam rak. Aku tau maksudnya baik, pun begitu cara didikan Eyangku dulu. Tapi tetap saja, aku tidak mau kawin diusia muda begini. 22 tahun. Bagaimana bisa aku mengurus anak jika masa kanak-kanak pun tidak kuhayati. “Mak, kalau sahaya ini merantau, ke kota, cari duit, pripun, Mak?” tanyaku ketika Ibu selesai membereskan piring-piringnya. Air mukanya tiba-tiba berubah, yang semula kalem menjadi tegang. Mulutnya terkatupmenganga gemetaran. Ia begitu terkejut. Helaan nafas panjang pun mengakhiri degupan keras jantungnya, memompa darah begitu cepat hingga ke ubun-ubun.
“Kowe iku cah wadon, nduk. Ngomong apa kowe mau cari duit, cari duit. Dipikir enak apa? Cari suami saja sudah cukup, nduk. Jangan kowe tinggal Emakmu sendirian begini!” Jeritnya putus asa. Perlahan, airmata menggenangi pelupuknya yang sayu. Aku tak tega meneruskan kalimat terakhirku untuk minggat keesokan harinya. * “Ndoro, sudah sampai,” kusir tidak waras — menurutku— itu membangunkanku dari lamunan. Sebenarnya, tidak haya lamunan, lebih-lebih renungan penyesalan karena telah meninggalkan Ibu sendirian di kampung. Bagaimanapun, aku harus ke kota. Entah untuk mencari duit, atau apapun. Aku hanya ingin menikmati hidup bebas dari pingitan berbelas-belas tahun sebelum akhirnya menginjakkan kaki di Batavia. “Silakan masuk, ndoro,” Kusir tadi membukakan pintu-rumah megah, semegah istana, itu untukku. Janggal memang. Bukan perihal rumahnya, tapi perlakuan kusir dan orang-orang bertabik tadi. “Jadi, ini rumahnya,” gumamku tak percaya. Aku menapaki tegel demi tegel hingga ke penghujung ruangan. Sebuah area luas dengan beragam perabot mengkilat-mahal. Aku tahu pemiliknya bukan orang sembarangan. Dia pasti kaya raya. Yang aku tangkap sebelum dibawa kusir tidak waras— menurutku— itu adalah bahwa kata Pakdhe Sarimin, ada kenalannya di kota yang bisa memberiku pekerjaan. Jadilah aku minggat dan di jemput kusir tidak waras yang selalu menyebut-nyebut “calon Sri Rajasangga” tersebut. Aku tidak paham betul makna dari igauannya, yang pasti, orang yang disebut-sebut tadi harus memberiku pekerjaan. “Selamat datang, Marni,” Seseorang dengan perawakan tinggi-besar berkepala botak menyambutku. Senyuman terlebar yang pernah kulihat disunggingkannya dengan sedikit deheman-deheman khas pengidap batuk menahun. Matanya yang lebar tertutup oleh kacamata hitam seperti tukang pijat panggilan. Aku tahu matanya lebar karena setelah itu ia mencopot kacamatanya dan mengamati dengan jelas— sejelas-jelasnya— dari ubun-ubun hingga ujung kaki. “Semlohe,” ujarnya nyaris tak berkedip. Aku tahu, tapi ragu, apakah pandangannya itu bentuk dari kagum atau penuh hawa nafsu. Biasanya aku memerhatikan gerak-gerik semacam itu pada Pak Lurah yang tak pernah mengalihkan pandangan dari Mbok Ras, janda cantik bahan gunjingan satu kampung. “Jadi, ini to, barang yang dijanjikan Sarimin,” ia bercakap dengan kusir tidak waras — menurutku— tadi. Si kusir mengangguk dan menunjukku dengan ibu jarinya. Lelaki tinggi-besar bermata lebar yang itu mengelus pipiku. Sialan. Dikiranya boneka aku ini, biarlah, mungkin ia ingin memastikan aku layak jadi pegawainya atau apa. “Jadi, kapan sahaya dapat bekerja, Tuan?” tanyaku penasaran. Baru kai ini aku berbicara setelah tadi-tadi hanya mengamati dia dengan kusir dengan perabotan-perabotan yang mengkilatmahal.
Lelaki itu mendehem— khas pengidap batuk menahun— seperti yang dilakukan sebelum-sebelumnya. Matanya tajam menyorot. Ciut juga aku dibuatnya. “Kapan saja, sayang” ujarnya genit. Aku mengendus sesuatu yang tidak beres. Aku yakin ada yang salah. Pakdhe Sarimin yang berbaik hati menawariku pekerjaan padahal sebelum-sebelumnya meminta mangga dari pohonnya pun tak boleh. Kusir tidak waras yang menyebut-nyebutku sebagai calon Sri Rajasangga. Dan juga para orang yang tak kukenal dengan tabik-tabik mereka. * Sewaktu kecil, ah ya, aku ingat sekali, Eyang memberiku mainan terbuat dari Jeruk Bali. Saat itu aku merengek minta dibelikan boneka, tapi tak boleh. “Cah wadon kui kudu neriman, ora pareng nuntut,” Begitu yang pernah ia nasihatkan. Aku jadi menyesal telah mangkir. Aku khilaf memang. Benar nasihatnya. Seorang perempuan tidak boleh banyak menuntut, harus bisa menerima apa yang telah diberikan. Harusnya aku sudah bisa menerima tawaran ibu untuk kawin, nikah. Toh, si Darmaji telah melamarku. Meski aku tidak suka padanya, aku tahu ia orang baik. Harusnya aku bisa menerima keadaanku yang terlahir perempuan ini, sehingga dapat segera mencari suami, tidak minggat hingga kemari. Harusnya aku tidak percaya pada Pakdhe Sarimin yang telah menjualku pada kenalannya, si botak tinggi-besar itu. Sehingga aku tidak berdosa begini. Ah, ya, Aku ingat masa dimana Ibu memanja-manjaku, dibilangnya aku ini kesayangan. Mungkin, memang, aku kesayangan. Seharusnya aku bisa menerima kasihnya, kasih ibu yang sepanjang jalan itu, bukan kasih si botak itu yang hanya sepanjang jengkal. Aku dicampakkan. Seandainya, waktu bisa diputar ulang. Ah, ya.. Mungkin aku tidak tersesat begini. Jakarta, 25 Pebruari 2009 Shei © www.haruskah.net