Lingga-Yoni Secangkir kopi panas mengepul di sebelahku, aku yakin siapa yang membikinkan: lelaki tinggi tegap dengan belahan samping rambutnya. Wangi —kala kuciumi aromanya. Atletis dengan dagu runcing menyertai keelokannya. Yang paling kusuka, tonjolan kaku-keras rahang serta tulang matanya, memberi kesan macho. Tak ketinggalan, kulitnya yang kasar namun terasa lembut ketika menyentuh pipi dan bibirku, ah ya, aku ingat sekali waktu itu— kemarin lebih tepatnya. * Saat lingga dan yoni bertemu, beradu mesra, saat itu pula dekapan malam terasa menenangkan.
Seakan memutus rantai ketakutan— akan gelap— dan kemudian bercumbu
dengan indah rembulan: malam, aku dan dia. * Aku membayangkan kembali malam itu, ketika nyata tak lagi diperhitungkan dan kami sama-sama bersenang. Hihihii….. masih bisa kurasakan jemarinya ketika menyentuh tubuhku, aroma parfumnya yang tajam merangsang, serta kedipan matanya yang memabukkan. Ah, aku merindunya. * Dalam buaian lelakiku, aku merasa biar bumi berguncang sehebat apapun dan langit runtuh saat itu juga, aku tak peduli. Aku masih sibuk beradu-dengus dengannya. Mataku awas— mengawasi gerik jemarinya. Sorot tajam matanya juga menusuk, membikin aku terpana. Terlebih, aku menikmati bibirnya… * Kopi itu kuminum— kusesapi. Kepulan asap tak lagi membayang-bayanginya. Dingin sudah. Sedingin pagi yang muram dengan mendung menggelantungi sinar sang mentari. Aku terpaku diatas dipan. Bingung hendak melakukan apa. Aku hanya senang mengingat-ingat kejadian malam itu— kemarin lebih tepatnya, tanpa melakukan apa-apa.
* Meski tertidur dalam buaian, dan terlelap dalam kecupan, aku masih bisa merasakan rengkuhannya tiba-tiba menghilang, bagai asap yang membubung tinggi ke angkasa, tak yakin dapat kembali lagi. Aku sadar, esok adalah hari senin, saatnya ia kembali dalam dunianya: kerja dan keluarga. Terkerjap, aku masih bisa merasai keningku diciumnya, dalam gelap— terlelap, aku menangisi kepergiannya.[]
Jakarta, 01 Maret 2009 Shei © www.haruskah.net