KONFLIK TANAH DI KABUPATEN NAGAKEO, NUSA TENGGARA TIMUR Oleh : Nama Nim Kelas
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Konflik pertanahan adalah proses interaksi antara dua orang atau lebih atau kelompok yang masing-masing memperjuangkan kepentingannya atau objek yang sama, yaitu tanah dan benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah seperti air, tanaman, tambang juga ufara yang berada dibatas tanah yang bersangkutan. Secara umum ada beberapa macam sifat permasalahan dari suatu konflik tanah anatara lain (1) masalah yang menyangkut prioritas dapat ditetapkan sebagai pemegang hak yang has atas tanah yang belum ada haknya, (2) bantahan terhadap sesuatu alasan hak atau bukti perolehan yang digunakan sebagai dasar pemberian hak, (3) kekeliruan atau kesalahan pemberian hak yang disebabkan oleh penerapan peraturan yang kurang atau tidak benar, dan (4) konflik atau masalah lain yang mengandung aspek-aspek sosial.1 Perdebatan mengenai kepemilikan sebidang tanah menjadi akar konflik tanah di mana saja. Ditambah dengan berbagai benturan regulasi umum seperti UUPA maupun regulasi sektoral yang tingkatannya dibawah UUPA semakin mempersulit pemecahan konflik pertanahan. Hal ini pula diperburuk dengan persoalan alamiah yaitu, bertambahnya jumlah penduduk namun luas tanah tidak pernah bertambah, malah semakin berkurang sehingga persoalan konflik tanah tidak bisa dihindarkan untuk selalu terjadi di Indonesia. Permasalahan tanah juga terjadi di Kabupaten Nagakeo di Provinsi Nusa Tenggara Timur
1
Santoso, Urip. 2005. Hukum Agraria dan Hak-hak atas Tanah. Jakarta : Prenada Media. Hlm 73.
yang dimekarkan berdasarkan Undang-undang No. 2 Tahun 2007 sebagai sebuah kabupaten baru hasil pemekaran dari Kabupaten Ngada dengan ibukota Mbay. Berbagai konflik tanah antara negara yang diwakilkan oleh pemerintah dengan masyarakat sering terjadi dalam proses Pengadaan Tanah Bagi Kepentingan Umum. Hal ini menjadi mudah atau sering terjadi dikarenakan dalam proses tersebut akan terjadi benturan antara kepentingan nasional (pembangunan) yang berhadapan langsung dengan kepentingan individu atau dengan kepentingan ulayat atas tanah. Berbagai konflik atas tanah tersebut kemudian akan menimbulkan dan berpengaruh terhadap hubungan antara negara dengan masyarakat. Oleh karena itu dalam kesempatan kali ini akan dijelaskan mengenai bagaimana konflik yang terjadi antara masyarakat dengan negara perihal konflik tanah yang terjadi di Kabupaten Nagakeo, Nusa Tenggara Timur. Konflik sengketa lahan antara warga Desa Natotot dan Desa Labolewa di Kabupaten Nagakeo bermula dari SK yang ditandatangani oleh Bupati Nagakeo2
2
https://www.beritasatu.com/nasional/240557/kasus-konflik-lahan-di-nagekeo-ketua-dprd-ntt-tuntut-bupatibertanggung-jawab diakses pada 20 Maret 2019 pukul 20.08 WIB
BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Teori Konflik Dahrendorf Dahrendorf memusatkan perhatian pada struktur sosial yang lebih luas. Dia menyebut otoritas tidak terletak dalam individu tapi dalam posisi. Sumber struktur konflik harus dicari dalam tatanan peran sosial yang berpotensi untuk mendominasi atau ditundukkan. Menurut Dahrendorf, tugas pertama analisis konflik adalah mengidentifikasi berbagai peran otoritas di dalam masyarakat. Karena memusatkan perhatian kepada struktur berskala luas seperti peran otoritas itu, Dahendorf ditentang para peneliti yang memusatkan perhatian pada tingkat individual. Otoritas yang melekat pada posisi adalah unsur kunci dalam analisis Dahrendorf. Otoritas secara tersirat menyatakan superordinasi dan subordinasi. Mereka yang menduduki posisi otoritas diharapkan mengendalikan bawahan. Artinya mereka berkuasa karena harapan dari orang yang berada disekitar mereka, bukan karena ciri-ciri psikologis mereka sendiri. Otoritas bukanlah fenomena sosial yang umum, mereka tunduk pada kontrol dan mereka yang dibebaskan dari kontrol ditentukan di dalam masyarakat. Terakhir, karena otoritas adalah absah, sanksi dapat dijatuhkan pada pihak yang menentang. Saat kekuasaan merupakan tekanan (coersive) satu sama lain, kekuasaan dalam hubungan kelompokkelompok terkoordinasi ini memeliharanya menjadi legitimasi dan oleh sebab itu dapat dilihat sebagai hubungan “authority”, dimana beberapa posisi mempunyai hak normatif untuk menentukan atau memperlakukan yang lain-lain. Hal ini tentu saja sejauh teori berkembang sebagai suatu teori, langkah berikutnya terdiri dari proposisi-proposisi empiris yang bersifat umum tentang kondisi-kondisi yang membuat kelompok-kelompok quasi menjadi kelompok-kelompok konflik. Kondisi-kondisi yang berbeda yang berakibatkan dalam tipe konflik yang berbeda dan kondisi-kondisi yang menentukan hasil-hasil berikutnya. Karena itu dibandingkan dengan fungsionalisme struktural maka teori Dahrendraf adalah suatu yang dalam tingkat rendah terbagi dalam dua bagian : 1. Suatu proposisi teoritis pokok : bahwa struktur-struktur peran melahirkan pertentangan dan juga kepentingan-kepentingan yang bersifat komplementer.
2. Deskripsi-deskripsi umum tentang kondisi-kondisi yang mengakibatkan konflikkonflik.3 Dahrendraf membedakan tiga tipe utama kelompok. Pertama kelompok semu (quasi group) atau “sejumlah pemegang posisi dengan kepentingan yang sama” 4. Kelompok semu ini adalah calon anggota tipe kedua yaitu kelompok kepentingan. Sedangkan kelompok yang kedua yakni kelompok kepentingan terbentuk dari kelompok semu yang lebih luas. Kelompok kepentingan ini mempunyai struktur, organisasi, program, tujuan serta anggota yang jelas. Kelompok kepentingan inilah yang menjadi sumber nyata timbulnya konflik dalam masyarakat. Kelompok semu adalah sejumlah pemegang posisi dengan kepentingan yang sama tetapi belum menyadari keberadaannya, dan kelompok ini juga termasuk dalam tipe kelompok kedua, yakni kelompok kepentingan dan karena kepentingan inilah melahirkan kelompok ketiga yakni kelompok konflik.
3
Paul S. Baut, T. Effendi. 1986. Teori-Teori Sosial Modern dari Persons sampai Habermas. Jakarta : Rajawali. Hlm 93-95. 4 Dahrendraf. 2004. Teori Sosiologi Modern edisi keenam. Jakarta : Prenada Media. Hlm 156.
BAB III PEMBAHASAN 3.1 Dinamika Konflik Pasca pemekaran pada 2007, pemerintah Nagakeo yang saat itu dipimpin oleh Bupati Elias Djo berniat membangun kantor DPRD Nagakeo di lokasi bernama Pomamela, Kelurahan Lape, Kecamatan Aesesa. Untuk mewujudkan pembangunan kantor DPRD tersebut, pemerintah daerah melalui Pejabat Bupati sementara mengirim surat permohonan kepada kepala suku dan masyarakat Suku Lape yang dianggap sebagai pemilik lahan tersebut, dan lahan yang diminta dalam surat bernomor 130.01/T.Praja/02.01/2008 yang ditandatangani oleh pejabat sementara saat itu adalah seluas 2,5 Ha. Surat permohonan permintaan tanah tersebut sejak diterima hingga saat ini belum pernah dibalas oleh Ketua Suku dan masyarakat Lape, tetapi pada 28 April 2008 ketua Suku dan masyarakat Lape diundang oleh pemerintah untuk menyaksikan pelepasan hak atas tanah tersebut dari Efraim Fao. Efraim Fao mengklaim diri sebagai pemilik sah atas tanah tersebut dan menyerahkan tanah tersebut kepada Pemkab Nagakeo untuk digunakan untuk kepentingan umum. Dalam surat pelepasan tersebut para ketua suku yang berjumlah 7 orang diminta untuk menandatangani surat tersebut namun hanya satu kepala suku yang menandatanganinya. Keenam kepala suku lainnya menolak menandatangani surat tersebut karena menganggap bahwa tanah tersebut adalah milik Suku Lape dan Efraim Fao bukanlah anggota suku Lape. Bermula dari hal tersebutlah konflik tentang perebutan kepemilikan berlanjut, berdasarkan surat keputusan Suku Lape pada 21 Juni 2007 lahan tersebut dimiliki oleh Konradus Ru Remi. Atas dasar itulah ia menggugat Efraim Fao dengan tuduhan penyerobotan kepemilikan atas lahan, sedangkan pemerintah digugat karena telah melakukan pembangunan kantor DPRD di atas lahan yang bukan miliknya, dan juga bukan milik Efraim Fao. Sementara itu, DPRD ditarik masuk sebagai tergugat karena lahan tersebut akan dibangun gedung yang merupakan aset DPRD Nagakeo. Dalam persidangan di PN Bajawa, Efraim Fao mengklaim bahwa tanah tersebut merupakan warisan dari ayahnya sejak 1938. Ia kemudian membwa sasksi yang menguatkan bukti bahwa ia adalah pemilik asli berdasarkan argumen yang ia sampaikan bahwa ayahnya, Fransiskus Fao, telah mengolah tanah tersebut sejak dahulu. Sedangkan menurut Suku Lape, lahan tersebut puluhan tahun lalu merupakan semak belukar yang tidak bisa ditanami atau
dibuat berkebun karena jauh dari sumber air. Kemudian perdebatan tersebut terhenti karena hakim akan melakukan pertimbangan. Konradus Ru Remi mampu membuktikan kepemilikan lahan tersebut berdasarkan SKSuku 21 Januari 2007 yang menyerahkan tanahnya kepadanya, sedangkan Efraim Fao tidak bisa membuktikan kepemilikan Fao Giri terhadap lahan tersebut. Kemudian konflik ini pun diajukan banding ke PT Kupang pada November 2011, namun keputusannya dominan mendukung keputusan PN Bajawa. Pada 2012 konflik ini dibawa hingga MA, dan PK serta Kasasi yang berakhir pada tahun 2014 yang kesemuannya mendukun putusan PN Bajawa. Vonis PN Bajawa adalah penghentian pembangunan kantor DPRD, serta pengakuan atas kepemilikan Koradus, dan membatalkan demi hukum segala proses penyerahan pada April 2008 serta pihak tergugat diharuskan membayar ganti rugi 2 milyar rupiah. Namun hingga saat ini vonis tidak pernah dilaksanakan. 3.2 Akar Masalah Konflik Berdasarkan keseluruhan data yang berhasil diperoleh dalam penelitian serta analisis atas kesesuaian segala penyebab konflik dengan indikator-indikator yang telah di temukan terdiri dari tingkat kepahaman pemerintah Nagakeo terhadap undang-undang, kepentingan yang di pertimbangkan oleh pemerintah Nagakeo, akibat dari pemekaran, eksistensi tradisi serta pengawasan yang lemah. Adapun indikator-indikator tersebut kemudian dapat dijelaskan lebih merinci lagi. Pertama, pemerintah Nagakeo secara keseluruhan tidak memahami PerundangUndangan maupun peraturan Presiden tentang Pengadaan Tanah Bagi Kepentingan Umum. Kedua, pemerintah Nagakeo secara sengaja mengesampingkan hal-hal substansial selama proses pengadilan untuk pengadaan pembangunan kantor DPRD Nagakeo untuk menekan biaya pengeluaran demi kepentingan lain. Ketiga, pemerintah Daerah Nagakeo salah dalam mengartikan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang tercipta karena adanya kesalahan dalam pengaturan kepemilikan tanah di masa lalu. Keempat, dikarenakan adanya pemekaran maka harga tanah menjadi naik sehingga menyebabkan masalah kepemilikan lahan menjadi krusial. Kelima, eksistensi tradisi suatu kelompok menjadi penyebab lainnya dalam konflik tanah Nagakeo yang merujuk pada keinginan untuk diakui sebagai kelompok masyarakat dengan wilayah kekuasaan. Keenam, lemahnya pengawasan dari pemerintah serta Suku yang ada di Nagakeo menjadi pemicu konflik yang berkaitan dengan pengakuan hak milik atas tanah.
3.3 Analisis Penyebab Konflik dalam Perspektif Teori Dahrendraf Dahrendraf menyatakan terdapat tiga kelompok sosial yang tercipta dalam suatu konflik. Pertama adalah kelompok semu yang terdiri dari sejumlah pemegang posisi dengan kepentingan yang sama. Kedua merupakan kelompok semu yang lebih luas, yang mana kelompok ini memiliki kepentingan serta struktur yang rigid. Ketiga adalah kelompok yang memiliki kepentingan sehingga terciptalah sebuah konflik yang mana kemudian menjadi kelompok konflik. Kelompok pertama disini merupakan Efraim Pao, dimana ia memiliki kepentingan dengan mengakuisisi lahan tersebut sebagai miliknya pribadi sehingga pemerintah berhak menyerahkan segala ganti rugi kepada dirinya. Kelompok kedua merupakan Suku Lape dan pihak pemerintah yang memiliki konflik untuk mendapatkan klaim atas tanah tersebut yang bertujuan untuk mensejahterakan kepentingan umum. Kelompok ketiga adalah orang-orang yang berkonflik dimana terdiri atas Efraim Pao, Suku Lape dan pihak pemerintah, yang mana ketiga pihak ini swaling memiliki kepentingan pribadi untuk mengakuisisi lahan tersebut. Pertarungan kepentingan atau konflik ini terjadi akibat banyaknya kepentingan yang beragam dengan tujuan yang sama namun dengan implementasi yang berbeda. Dimana pihak Efraim Pao bertujuan untuk kepentingan pribadinya, Suku Lape untuk kesejahteraan masyarakat sukunya dan pemerintah untuk pembangunan gedung DPRD Nagakeo. Dengan demikian, maka aktor-aktor tersebut merupakan akar masalah akibat adanya ego dari semua pihak sehingga terjadi konflik antara masyarakat dengan Pemerintah Daerah (negara.)
BAB IV PENUTUP Kesimpulan Hubungan yang terjalin antara pemerintah Nagakeo dengan masyarakat Nagakeo jika dilihat berdasarkan konflik tanah yang terjadi maka dapat disimpulkan bahwa Negara yang diwakili oleh pemerintah Nagakeo yang seharusnya berfungsi untuk menertibkan kekacauan yang terjadi dalam masyarakat, meskipun negara adalah bentukan masyarakat, namun kedudukan negara adalah penyelenggara ketertiban dalam masyarakat agar tidak terjadi konflik, pencurian dan lain-lain, telah lali dalam menjalankan fungsi dan tugasnya di Nagakeo. Negara seharusnya memenuhi hak dari tiap warga negaranya, akan tetapi sebagai warga negara, kewajiban-kewajiban yang harus diberikan kepada negara hendaknya dipenuhi. Apabila kedua hal tersebut sudah sama-sama terpenuhi maka akan muncul keseimbangan serta hubungan timbal balik yang menguntungkan kedua belah pihak sehingga konflik antara warga negara dengan negara mengenai pemenuhan hak dan kewajiban dapat dihindari. Namun pemerintah Nagakeo serta pihak-pihak (masyarakat Nagakeo) yang terkait dalam konflik tanah di Nagakeo seperti yang diungkapkan dalam pemaparan di atas tidak mampu memenuhi hak dan kewajibannya namun lebih mengutamakan aspek kepentingan kelompok maupun pribadi. Karena sejatinya negara dan kewajiban yang dapat dituntut dan dipenuhi sesuai porsinya dan hal yang sebaiknya dilakukan ialah memenuhi kewajiban terlebih dahulu, setelah itu baru menuntut hak.
BAB V DAFTAR PUSTAKA Dahrendraf. 2004. Teori Sosiologi Modern edisi keenam. Jakarta : Prenada Media. Paul S. Baut, T. Effendi. 1986. Teori-Teori Sosial Modern dari Persons sampai Habermas. Jakarta : Rajawali. Santoso, Urip. 2005. Hukum Agraria dan Hak-hak atas Tanah. Jakarta : Prenada Media. https://www.beritasatu.com/nasional/240557/kasus-konflik-lahan-di-nagekeo-ketua-dprd-ntttuntut-bupati-bertanggung-jawab diakses pada 20 Maret 2019 pukul 20.08 WIB https://news.detik.com/berita/d-3738644/pengadilan-diminta-segera-eksekusi-lahan-gedungdprd-nagekeo diakses pada 20 Maret 2019 pukul 20.38