Swamedikasi Nyeri.docx

  • Uploaded by: reyhan suhail
  • 0
  • 0
  • April 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Swamedikasi Nyeri.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 2,826
  • Pages: 13
SWAMEDIKASI “Swamedikasi nyeri”

Kelompok 3/C: Shintha Ramadhani

1920374174

Sintya Yunda Amanda

1920374175

Wahyuddin Nur

1920374182

Wisky Amarta

1920374185

Yuni Purnamasari

1920374190

Reyhan Suhail

1920374202

Teresia Prita Maharani

1920374204

PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER UNIVERSITAS SETIA BUDI SURAKARTA 2019

BAB I PENDAHULUAN Nyeri sendi merupakan masalah kesehatan yang sering terjadi pada lanjut usia (lansia). Sebagian besar lansia memiliki anggapan yang keliru bahwa nyeri sendi diakibatkan oleh penyakit reumatik atau asam urat. Penyakit rematik dan asam urat memang dapat menyebabkan nyeri sendi, akan tetapi sebenarnya tidak semua nyeri sendi yang disebabkan oleh penyakit rematik dan asam urat. Penegakkan diagnosis dan penentuan terapi, khususnya swamedikasi nyeri sendi merupakan permasalahan yang sering dihadapi pada lansia (Afriyanti, 2009; Ardhiatma, Rosita, & MujiLestariNingsih, 2017; Wahjudi, 2008). Swamedikasi merupakan pemilihan dan penggunaan obat tanpa resep dokter untuk mengatasi gangguan atau gejala yang dialami (Bennadi, 2013). Sebuah penelitian menunjukkan hasil bahwa lansia melakukan swamedikasi sebagai respon terhadap gangguan kesehatan (40-72%) dan penggunaan anlgesik merupakan salah satu obat yang paling banyak digunakan secara swamedikasi oleh pasien lansia (36,3%). Keluhan yang mendorong pasien lansia menggunakan anlgesik secara swamedikasi adalah nyeri sendi (19,9%) (Balbuena, Aranda, & Figueras, 2009). Swamedikasi dengan analgesik pada nyeri sendi jika dilakukan dengan tepat dapat bermanfaat baik bagi pasien. Namun, pada pelaksanaan swamedikasi sering menimbulkan terjadinya kesalahan pengobatan (medication error) karena keterbatasan pengetahuan obat dan penentuan diagnosa, terutama pada lansia (KESEHATAN & KESEHATAN, 2006). Konsekuensi dari penggunaan anlgesik yang tidak tepat yaitu reaksi obat yang tidak dikehendaki (ROTD). Penelitian yang dilakukan di Republik Serbia menunjukkan bahwa peningkatan penggunaan analgesik secara swamedikasi menyebabkan peningkatan kejadian kasus pasien masuk rumah sakit akibat gangguan saluran cerna (Petric, Tasic, & Sukljevic, 2009). Mengingat pentingnya swamedikasi analgesik yang tepat pada nyeri sendi yang dialami oleh lansia, maka penelitian ini dilakukan sebagai penelitian pendahuluan untuk memperoleh profil penggunaan analgesik dan gambaran pengetahuan pasien lansia tentang swamedikasi anlagesik pada nyeri sendi. Hingga saat ini, penelitian yang bertujuan untuk melihat gambaran swamedikasi analgesik pada pasien lansia dengan nyeri sendi di komunitas masih terbatas, sehingga penelitian ini diharapkan dapat menjadi pedoman untuk melakukan swamedikasi analgesik yang tepat pada lansia.

BAB II ISI A. Pegal Linu Pengertian gejala reumatik ataupun pegal linu cukup luas. Nyeri, pembengkakan, kemerahan, gangguan fungsi sendi dan jaringan sekitarnya termasuk gejala reumatik. Semua gangguan pada daerah tulang, sendi, dan otot disebut reumatik yang sebagian besar masyarakat mengenalnya sebagai pegal linu. Pegal linu merupakan penyakit degeneratif yang menyebabkan kerusakan tulang rawan (kartilago) sendi dan tulang didekatnya, disertai proliferasi dari tulang dan jaringan lunak di dalam dan sekitar daerah yang terkena (Priyanto, 2009). B. Penyebab Pegal Linu Rasa capek, pegal & tegang adalah indikasi menumpuknya asam laktat di otot. Jika diraba otot terasa lebih kaku dan keras. Hal ini terjadi karena penumpukan asam laktat di dalam otot kita akibat dari otot yang dipaksa bekerja melebihi beban. Penumpukan asam laktat berlebih di dalam otot akan menyebabkan pegal-pegal dan rasa sakit di otot (Sudoyo, 2007). Menurut Priyanto (2009), adapun beberapa faktor pendukung yang berhubungan dengan reumatik ataupun pegal linu, antara lain: - Usia di atas 40 tahun dan prevalensi pada wanita lebih tinggi. - Genetik. - Kegemukan dan penyakit metabolik. - Cedera sendi yang berulang. - Kepadatan tulang berkurang (osteoporosis). - Beban sendi yang terlalu berat (olah raga atau kerja tertentu). - Kelainan pertumbuhan (kelainan sel-sel yang membentuk tulang rawan, seperti kolagen).

C. Gejala Pegal Linu Gejala klinis utama adalah poliartritis yang mengakibatkan terjadinya kerusakan pada rawan sendi dan tulang disekitarnya. Kerusakan ini terutama mengenai sendi perifer pada

tangan dan kaki yang umumnya bersifat simetris. Secara umum, gejala klinis yang dapat dilihat, antara lain: 1. Nyeri sendi, terutama pada saat bergerak. 2. Pada umumnya terjadi pada sendi penopang beban tubuh, seperti panggul, tulang belakang dan lutut. 3. Terjadi kemerahan, inflamasi, nyeri, dan dapat terjadi deformitas (perubahan bentuk). 4. Yang tidak progresif dapat menyebabkan perubahan cara berjalan. 5. Rasa sakit bertambah hebat terutama pada sendi pinggul, lutut, dan jari-jari. 6. Saat perpindahan posisi pada persendian bisa terdengar suara (cracking).

D. Pengobatan Pegal Linu Pengobatan pegal linu dilakukan dengan cara terapi non-farmakologi yaitu ; Fisioterapi dan olah raga yang tepat (peregangan dan penguatan) untuk membantu mempertahankan kesehatan tulang rawan, meningkatkan daya gerak sendi, dan kekuatan otot. Serta pemberian suplemen makanan yang mengandung glukosamin, kondrotin yang berdasarkan uji klinik dapat mengurangi gangguan sendi. Selanjutnya dilakukan dengan terapi farmakologi, yang menggunakan obat umumnya bersifat simtomatik, yaitu menggunakan analgetika dan antiinflamasi (Priyanto, 2009). E. Tatalaksana Terapi

Gambar Three

Step Analgesic Ladder WHO

Pada strategi ini, digunakan opioid kuat dengan dosis rendah untuk nyeri sedang. Hal ini berbeda dengan strategi sebelumnya yang merekomendasikan penggunaan kodein atau tramadol (opioid lemah) untuk terapi nyeri sedang. Strategi “two-step approach” ini terdiri dari: a. Langkah 1: untuk nyeri ringan Parasetamol dan ibupeofen sebaiknya dipertimbangkan sebagai pilihan pertama pada anak lebih dari 3 bulan dan yang dapat mengkonsumsi obat secara oral. Parasetamol merupakan satu-satunya pilihan untuk anak dibawah 3 bulan.

b. Langkah 2: untuk nyeri sedang sampai berat Penggunaan opioid kuat dengan dosis rendah sebaiknya dipertimbangkan pada anak dengan nyeri sedang sampai berat. Morfin merupakan obat pilihan pada langkah ini.

1. Analgesik Non-Opioid Langkah pertama yang sering efektif untuk penatalaksanaan nyeri ringan sampai sedang adalah menggunakan analgesik non-opioid, terutama asetaminofen (paracetamol) dan OAINS. Keduanya memiliki efek antipiretik dan analgesik, tetapi asetaminofen tidak memiliki efek antiinflamasi seperti OAINS. OAINS sangat efektif untuk mengatasi nyeri akut derajat ringan, penyakit meradang yang kronik seperti artritis, dan nyeri akibat kanker ringan. OAINS mengganggu mekanisme transduksi di nosiseptor dengan menghambat sintesis prostaglandin. OAINS berkerja menghasilkan anlgesia melalui inhibisi pembentukan prostglandin oleh enzim siklooksigenase (COX) dari prekursor asam arakidonat. Siklooksigenase berada di retikulum endoplasma yang bertanggung jawab membentuk prostaglandin, prostasiklin, dan tromboksan dari asam arakidonat. OAINS merupakan inhibitor enzim COX yang reversibel. Enzim COX terdiri ada dua jenis, yaitu : 1.1 COX-1 Bersifat konstitutif yang mana selalu ada dan aktif. COX-1 berkontribusi dalam fungsi fisiologi oragan. Inhibisi pada enzim ini menyebabkan efek yang tidak diinginkan, seperti cedera mukosa, kerusakan ginjal, perubahan hemodinamik, dan gangguan fungsi uterus. 1.2 COX-2 Bersifat induksif oleh proses inflamasi dan memproduksi prostaglandin yang sensitif terhadap nosiseptor, menimbulkan demam, dan membantu inflamasi dengan menyebabkan

vasodilatasi dan meningkatkan permeabilitas vaskuler. Namun, pada beberapa organ, COX-2 juga bekerja secara konstitutif (ginjal, endotel vaskuler, uterus dan SSP). Enzim ini diinduksi (up-regulated) oleh adanya asam arakidonat dan beberapa sitokin dan dihambat oleh glukokortikoid. Saat ini, sudah terdapat obat-obatan yang bekerja sebagai inhibitor selektif COX-2 (Coxib). Keuntungan dari obat-obatan ini yaitu mengurangi kerusakan atau cedera pada mukosa.

Coxib

yang

saat

ini

tersedia,

yaitu

cecoxib (dosis

harian

200-400

mg), valdecoxib (10-20 mg) (tidak lagi tersedia di Amerika) dan prodrugnya yaitu parecoxib (40 mg iv). Kontraindikasi dari obat ini yaitu gagal jantung kongestif, penyakit hati dan ginjal,inflammatory bowel diseases, dan asma. Kontraindikasi dari OAINS, antara lain: ·

Riwayat tukak peptik

·

Riwayat eksaserbasi asma dengan AINS

·

Insufisiensi ginjal atau oliguria

·

Hiperkalemia

·

Transplantasi ginjal

·

Antikoagulasi atau koagulopati lain

·

Disfungsi hati berat

2. Analgesik Opioid Opiat adalah alkaloid alami yang diambil dari ekstrak bunga poppy (Papaver somniverum), seperrti morfin, papaverin, heroin dan kodein. Opioid adalah obat-obatan yang memiliki sifat seperti opiat. Jenisnya lebih banyak dan beragam, juga potensi analgesianya. Baku emas untuk potensi analgesia adalah morfin. Semua opioid akan dibandingkan dengan morfin untuk menyatakan kekuatan analgesianya 3. Anestesi Lokal15 Anestesi lokal secara reversibel menginhibisi impuls yang dihasilkan pada saraf. Konduksi impuls aksonal berasal dari pembentukan suatu potensial aksi. Perubahan potensial melibatkan influks cepat dari Na+ melalui kanal protein membran yang teraktivasi (terbuka). Anestesi lokal berfungsi untuk menghambat influks cepat dari Na+ serta menghambat inisiasi dan perambatan dari eksitasi. Kebanyakan anestesi lokal berada pada bagian dari bentuk ampifilik kationik. Sifat fisikokemikal ini menyebabkan penyatuan ke dalam membran interfase antara daerah polar dan apolar. Dapat ditemukan di membran fosfolipid dan juga di kanal protein ion. Beberapa bukti menunjukkan bahwa blokade kanal Na+dihasilkan dari ikatan antara anestesi lokal

terhadap kanal protein. Aktifitas anestesi lokal juga ditunjukka oleh substansi tidak bebas, menunjukkan tempat ikatan pada daerah apolar dari kanal protein atau disekitar membran lipid. Anestesi lokal tidak hanya memblokade influks Na+ pada saraf sensorik tetapi juga pada jaringan eksitasi lainnya, sehingga obat-obatan ini hanya diberi secara lokal. Depresi dari proses eksitasi pada jantung dapat menyebabkan aritmia jantung sampai cardiac arrest. Anestesi lokal diberikan lewat berbagai rute, termasuk infiltrasi jaringan (anestesia infiltrasi) atau diinjeksikan didekat percabangan saraf yang membawa serabut saraf dari daerah yang akan dianestesi (anestesia konduksi dari saraf, anestesi spinal secara segmental), atau dengan mengaplikasikannya pada permukaan kulit atau mukosa (anestesia superfisial). 4. Adjuvan atau Koanalgesik Adjuvan berdasarkan WHO berarti obat-obatan yang diberikan untuk menangani efek samping dari penggunaan opioid atau untuk meningkatkan efek analgetik dari opioid. Misalnya diberikan obat-obatan pencahar untuk mengatasi konstipasi yang merupakan salah satu efek samping dari opioid. Obat adjuvan atau koanalgetik merupakan obat yang semula dikembangkan untuk tujuan selain menghilangkan nyeri tetapi kemudian ditemukan memilki sifat analgetik atau efek komplementer dalam penatalaksanaan pasien dengan nyeri. Sebagian dari obat ini sangat efektif dalam mengendalikan nyeri neuropatik yang mungkin tidak berespon terhadap opioid. Anti kejang, seperti karbamazepin atau fenitoin (dilantin), telah terbukti efektif untuk mengatasi nyeri menyayat yang berkaitan dengan kerusakan saraf. Anti kejang ini efektif untuk nyeri neuropatik karena obat golongan ini menstabilkan membran sel saraf dan menekan respon akhir di saraf. Antidepresan trisiklik, seperti amitriptilin atau imipramin, adalah analgetik yang sangat efektif untuk nyeri neuropatik serta berbagai penyakit lain yang menimbulkan nyeri. Aplikasi-aplikasi spesifik adalah terapi untuk neuralgia pasca herpes, invasi struktur saraf karena karsinoma, nyeri pasca bedah, dan artritis reumatoid. Pada pengobatan untuk nyeri, antidepresan trisiklik tampaknya memiliki efek analgetik yang independen dari aktivitas antidepresan. Obat adjuvan lain yang bermanfaat dalam pengobatan nyeri adalah hidroksizin (vistaril), yang memiliki efek analgetik pada beberapa penyakit dan efek aditif apabila diberikan bersama morfin; pelemas otot misalnya diazepam (valium), yang digunakan untuk mengobati kejang otot yang berkaitan dengan nyeri; dan steroid misalnya dexametason, yang

telah digunakan untuk mengendalikan gejala yang berkaitan dengan kompresi medula spinalis atau metastasis tulang pada pasien kanker. Adjuvan lain untuk analgesia adalah agonis reseptor adrenergik-alfa (misalnya, agonis alfa-2, klonidin), yang sering diberikan secara intraspinal bersama dengan opioid atau anestetik lokal; obat ini juga memiliki efek analgetik apabila diberikan secara sistemis karena memulihkan respons adrenergik simpatis yang berlebihan di reseptor sentral dan perifer. Antagonis alfa-1, prazosin, juga pernah digunakan dalam penatalaksanaan nyeri yang disebabkan oleh sistem simpatis. Efek samping utama dari obat-obat ini adalah hipotensi dan potensial depresi pernafasan yang diinduksi oleh opioid.

F. Non Farmakologi Walaupun obat-obat analgesik sangat mudah diberikan, namun banyak pasien dan dokter kurang puas dengan pemberian jangka panjang untuk nyeri yang tidak terkait keganasan. Situasi ini mendorong dikembangkannya sejumlah metode non farmakologik untuk mengatasi nyeri. Untuk itu, berbagai modalitas pengobatan nyeri yang beraneka ragam dapat digolongkan sebagai berikut : a. Modalitas fisik Latihan fisik, pijatan, vibrasi, stimulasi kutan (TENS), tusuk jarum, perbaikan posisi, imobilisasi, dan mengubah pola hidup b.

Modalitas kognitif-behavioral Relaksasi, distraksi kognitif, mendidik pasien, dan pendekatan spiritual.

c. Modalitas invasif Pendekatan radioterapi, pembedahan, dan tindakan blok saraf. d. Modalitas Psikoterapi e. Dilakukan secara terstruktur dan ternecana, khususnya bagi mereka yang mengalami depresi dan berpikir ke arah bunuh diri. G. Kasus Seorang wanita berumur 30 tahun sebagai IRT (Ibu Rumah tangga) datang ke apotek dengan riwayat penyakit nyeri sendi. Wanita tersebut saat ini memiliki keluhan nyeri sendi setelah bekerja membersihkan dan mengangkat meja yang sudah lama tidak digunakan. Swamedikasi pasien : Obat yang diberikan kepada wanita tersebut adalah nafroxen sodium tablet 220 mg.

H. Dialog Pada suatu hari datang seorang Ibu ke Apotek Setia Budi Farma. Ibu tersebut datang ke Apotek untuk membeli obat yang bisa menyembuhkan penyakit yang dialaminya. Ibu tersebut datang dengan keluhan nyeri pada sendinya. (Seorang Ibu datang Ke Apotek dan disambut oleh Asistem Apoteker) AA

: Selamat siang Ibu. Ada yang bisa saya bantu?

Pasien : Siang mba.. mba saya mau beli obat untuk nyeri kira-kira obatnya apa ya? Apt : Maaf dengan Ibu siapa ya ? Pasien : Saya Ibu Yuni, mbak.. AA : Oh.. Baiklah Ibu Yuni, untuk obatnya silahkan langsung konsultasi ke apoteker saja ya Bu. Mari saya antar ke ruangan. (AA mengantar pasien ke ruang konsultasi Apoteker) Apt : Selamat siang Ibu, silahkan duduk. Baiklah perkenalkan saya apoteker di apotek ini. Sebelumnya saya berbicara dengan Ibu siapa ya? Pasien : Saya Ibu Yuni. Apt : Baiklah Ibu Yuni, ada yang bisa saya bantu? Pasien : Begini mbak, saya merasakan nyeri setelah membersihkan dan mengangkat meja yang sudah lama tidak digunakan. Kira-kira obatnya apa ya mbak? Apt : Ibu nyerinya sudah berapa lama ? Pasien : Sejak kemrin yang lalu mbak. Apt : Ibu sebelumnya pernah ada riwayat penyakit ? Pasien : Saya punya riwayat nyeri sendi mbak.. Apt : Sebelumnya pernah ada riwayat hipertensi ngga Bu? Pasien : Nggak mbak. Apt : Oh begitu. Saya boleh tau Ibu kegiatan sehari-harinya apa? Pasien : Saya seorang ibu rumah tangga mbak. Apt : Baiklah.. sebentar saya pilihkan obatnya dulu ya Bu. Pasien : Iya mbak. (Apoteker meminta AA untuk menyiapkan obat yang Apoteker minta) Apt : Baiklah Ibu. Disini ada dua obat untuk nyeri sendi. Ada obat naproxen sodium. Pasien : Oh begitu. Total harga untuk obatnya berapa ya mbak? Apt : Total biayanya Rp. 20.000 Bu. Pasien : Ya sudah mbak, saya ambil obat nyeri sendinya. Apt : Baiklah Bu. Sebelumnya saya akan menjelaskan terlebih dahulu tentang aturan pakainya. Untuk obat naproxen sodium diminum tdua kali sehari sesudah makan. Apakah Ibu sudah mengerti. Pasien : Iya mbak saya mengerti. Apt : Boleh saya meminta Ibu untuk mengulang tentang apa yang saya jelaskan tadi?

Pasien : Untuk obat naproxen sodium diminum dua kali sehari sesudah makan. Betul ngga mbak? Apt : Iya Ibu, betul sekali. Oh iya, kalau bisa saya menyarankan agar Ibu tidak mengangkat yang berat-berat dulu ya, istirahat yang cukup. Pasien : Ohh baiklah mbak. Apt : Ada yang bisa saya bantu lagi bu? Pasien : Ngga mbak, saya rasa cukup. Terimakasih untuk informasinya ya mbak. Apt : Sama-sama Ibu. Semoga cepat sembuh ya Bu. Obatnya nanti dibayar di kasir depan ya Bu. (Ibu Yuni kemudian membayar obat yang dibelinya di kasir) AA : Ibu Yuni, ini obat naproxen sodium total harganya Rp. 20.000. Pasien : Ini mbak uangnya. AA : Iya Bu, uangnya pas ya Bu terima kasih. Pasien : Iya mbak sama sama.

BAB III PENUTUP KESIMPULAN Nyeri sendi merupakan masalah kesehatan yang sering terjadi pada lanjut usia (lansia). Sebagian besar lansia memiliki anggapan yang keliru bahwa nyeri sendi diakibatkan oleh penyakit reumatik atau asam urat. Penyakit rematik dan asam urat memang dapat menyebabkan nyeri sendi, akan tetapi sebenarnya tidak semua nyeri sendi yang disebabkan oleh penyakit rematik dan asam urat. faktor pendukung yang berhubungan dengan reumatik ataupun pegal linu, antara lain: - Usia di atas 40 tahun dan prevalensi pada wanita lebih tinggi. - Genetik. - Kegemukan dan penyakit metabolik. - Cedera sendi yang berulang. - Kepadatan tulang berkurang (osteoporosis). - Beban sendi yang terlalu berat (olah raga atau kerja tertentu). - Kelainan pertumbuhan (kelainan sel-sel yang membentuk tulang rawan, seperti kolagen).

DAFTAR PUSTAKA 1.

Morgan GE. Pain Management. In: Clinical Anesthesiology. 2nd ed. Stamford: Appleton and Lange; 1996.

2.

Hamill RJ. The Assesment of Pain. In: Handbook of Critical Care Pain Management. New York: McGraw-Hill Inc; 1994.

3.

Benzon, et al. The Assesment of Pain. In: Essential of Pain Medicine and Regional Anesthesia. 2nd ed.Philadelphia; 2005.

4.

Rospond. Pemeriksaan dan Penilaian Nyeri. [Online]. Cited on 2015 March 7. Available from:URL: http://lyrawati.files.wordpress.com/2008/07/pemeriksan-danpenilaian-nyeri.pdf

5.

Brunner, Suddarth. Buku Ajar Medikal Bedah. Volume 1. Edisi 8. Jakarta: EGC; 2001.

6.

Brenner GJ, Woolf CJ. Mechanisms of chronic pain. In: Longnecker DE, Brown DL, Newman MF, Zapol WM.Anesthesiology. New York: McGrawl- Hill; 2008.

7.

Latief SA. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Edisi II. Bag Anestesiologi dan Terapi Intensif FK UI: Jakarta; 2001.

8.

Nicholls AJ, Wilson IH. Manajemen nyeri akut. Dalam: Kedokteran Perioperatif. Farmedia: Jakarta; 2001.

9.

Avidan M. Pain Managemnet. In: Perioperative Care, Anesthesia, Pain Management and Intensive Care.London; 2003.

10. Silaen EL. Perbandingan Propofol 2 mg/KgBB-Ketamin 0,5 mg/KgBB Intravena dan Propofol 2 mg/KgBB-Fentanil 1 µg/KgBB Intravena dalam Hal Efek Analgetik pada Tindakan Kuretase dengan Anestesi Total Intravena. [Online]. 2012 URL: http://repository.usu.ac.id/bitstream/31956/4/Chapter%20II.pdf 11. RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo. Buku Saku Quality and Safety. Makassar; 2012. 12. World Health Organization. WHO Ladder. [Online]. Cited on 2015 march 7. Available from: URL: http://www.geriatricpain.org/content/management/interventions/documen ts/WHOladder.pdf 13. World Health Organization. WHO Guidelines on the Pharmacological Treatment of Persisting

Pain

in

Children

with

Medical

Illness. [Online].

2012

URL: http://www.who.int/publications/2012/9789241548120_Guidelines.pdf 14. Ikawati Z. Pain Management. [Online]. Cited on 2015 March 7. Available from: URL: http://zulliesikawati.staff.ugm.ac.id/uploads/pain-management.pdf 15. Lullmann H, Mohr K, Hein L, Bieger D. Color Atlas of Pharmacology. 3rd edition. New york: Thieme; 2005.

16. Michael NJ. Medical Pharmacology at a glance. 4th edition. London: Blackwell Science Ltd; 2002. 17. Soenarto RF, Puspitasari R, Pryambodho. Farmakologi opioid. Dalam: Gunawan SG, Stiabudy R, Nafrialdi, Elysabeth, editor. Farmakologi dan Terapi. Edisi 5. Jakarta: Badan Penerbit FKUI; 2012. 18. Schug SA. Tramadol. [Online]. 2000 October [cited on 2015 March 14]. Available from: URL: http://www.medsafe.govt.nz/profs/puarticles/tramadol.html 19. Mangku G, Senapathi TGA. Buku Ajar Ilmu Anestesia dan Reanimasi. Cetakan 1. Jakarta: Indeks Jakarta; 2010. 20. Hasanul A. Pengelolaan Nyeri Akut. Bagian/SMF Anestesiologi dan Reanimasi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara: Medan; 2002.

Related Documents


More Documents from "Cempaka Kuning"