TUGAS MATA KULIAH REFERAT
ANALISIS TANAH LONGSONG DAN MITIGASI KABUPATEN BANJARNEGARA
Disusun Oleh: Gifa Giffari H1C015052
KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS TEKNIK JURUSAN TEKNIK GEOLOGI PURBALINGGA 2019
LEMBAR PENGESAHAN KARYA REFERAT ANALISIS TANAH LONGSONG DAN MITIGASI KABUPATEN BANJARNEGARA Disusun sebagai salah satu syarat untuk memenuhi mata kuliah referat pada jurusan Teknik Geologi Fakultas Teknik
Purbalingga, 23 Januari 2019 Menyetujui
Dosen Pembimbing Referat
Januar Aziz Zaenurohman , S.T.,M.Eng NIP.1991010420185101K
Mahasiswa
Gifa Giffari NIM.H1C015052
i
KATA PENGANTAR Puji serta rasa syukur marilah kita panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, dengan semua rahmat, berkat, karunia, dan izinnya saya selaku penulis mampu menyelesaikan sebuah karya referat dengan judul ANALISIS TANAH LONGSONG DAN MITIGASI KABUPATEN BANJARNEGARA sebagai sebuah syarat untuk menyelesaikan mata kuliah referat Dalam pengerjaan tugas ini saya selaku penulis menyadari bahwasanya dalam tugas ini masih banyak terdapat kesalahan serta kekurangannya. Oleh karena itu, saya selaku penulis mengharapkan koreksi, saran dan kritik yang bersifat kontruktif dan kesempurnaan karya referat ini,dalam melakukan penyusunan referat ini ,penyusun dibantu dan dibimbing oleh Bapak Adi Candra dan teman teman angkatan 2015. Dengan penuh rasa hormat penyusun mengucapkan rasa terima kasih kepada semua pihak yang membantu Dicukupkan sekian, semoga isi dari karya referat ini dapat menjadi sebuah ilmu dan hikmah yang berharga serta bermanfaat bagi semua pihak, khususnya bagi saya selaku penulis dan umumnya bagi semua pembaca serta demi kemajuan Pendidikan di Jurusan Teknik Geologi UNSOED ini. Semoga Tuhan Yang Maha Esa tidak hentinya memberikan karunia kesempatannya untuk saya selaku umat yang berusaha menjadi Manusia terbaik dan bertakwa.
Purbalingga, 23 Januari 2019
Penulis
ii
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI .......................................................................................................... iii DAFTAR GAMBAR .............................................................................................. v DAFTAR TABEL .................................................................................................. vi BAB I ...................................................................................................................... 1 PENDAHULUAN .................................................................................................. 1 1.1.
Latar Belakang ......................................................................................... 1
1.2.
Rumusan Masalah .................................................................................... 1
1.3.
Tujuan Penelitian ...................................................................................... 1
1.4.
Manfaat Penelitian .................................................................................... 1
1.5.
Metode Pengumpulan data ....................................................................... 2
BAB II ..................................................................................................................... 3 TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................................... 3 2.1.
Geologi Regional ...................................................................................... 3
2.1.1.
Fisiografi .......................................................................................... 3
2.1.2.
Stratigrafi ......................................................................................... 4
2.1.3.
Geomorfologi ................................................................................... 7
2.1.4.
Struktur Geologi ............................................................................. 8
2.2.
Studi Khusus............................................................................................. 9
2.2.1.
Tanah Longsor ................................................................................ 9
2.2.2.
Jenis Tanah longsor ........................................................................ 9
2.2.3.
Mitigasi Bencana ........................................................................... 10
BAB III ................................................................................................................. 11 METODE PENELITIAN ...................................................................................... 11 3.1.
Pemetaan Geologi ................................................................................... 11
3.2.
Analisis Lanjutan .................................................................................... 11
BAB IV ................................................................................................................. 12 HASIL PENELITIAN ........................................................................................... 12 4.1.
Tingkat Kerentanan Longsong ............................................................... 12
4.2.
Mitigasi Bencana Tanah Longsor ........................................................... 14
4.3.
Struktur Geologi Dan Gerakan Tanah .................................................... 16
BAB V................................................................................................................... 17
iii
KESIMPULAN ..................................................................................................... 17 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 19
iv
DAFTAR GAMBAR Gambar 2.1. Fisiografi Jawa Tengah (Van Bemmelen, 1949) ............................. 3 Gambar 2.2. Peta Geomorfologi daerah penelitian .............................................. 7 Gambar 2.3. Morfologi lereng longsor di daerah penelitian …..……………….7 Gambar 2.4. Kelurusan struktur geologi pada peta topografi d daerah penelitian dan sekitarnya. ................................................................................... 8 Gambar 2.5. jenis tanah longsor ............................................................................ 9 Gambar 4.1. Peta kerentanan tanah longsor di Kabupaten Banjarnegara (Landslide Vulnerability Map in Banjarnegara Distric) .................. 14 Gambar 4.2. Diagram bunga Kelurusan struktur geologi daerah penelitian ....... 17
v
DAFTAR TABEL
Tabel 4.1. Potensi Wilayah dengan tingkat kerentanan longsor yang berbeda di Kabupaten Banjarnegara (Potential Areas with Different Levels of Landslide Susceptibility in Banjarnegara)……..……………………..12
vi
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tanah longsor adalah perpindahan material pembentuk lereng berupa batuan, bahan rombakan, tanah, atau material campuran tersebut, bergerak ke bawah atau keluar lereng. Proses terjadinya tanah longsor dapat diterangkan sebagai berikut: air yang meresap ke dalam tanah akan menambah bobot tanah. Jika air tersebut menembus sampai tanah kedap air yang berperan sebagai bidang gelincir, maka tanah menjadi licin dan tanah pelapukan di atasnya akan bergerak mengikuti lereng dan keluar lereng.. Secara geologi tanah longsor adalah suatu peristiwa geologi dimana terjadi gerakan tanah seperti jatuhnya bebatuan atau gumpalan besar tanah.
1.2. Rumusan Masalah Setiap kali bencana tanah longsor kita biasanya bingung akan cara menanggulangi mitigasinya, mitigasi adalah serangkaian upaya untuk mengurangi resiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana. Namun yang saya rasa di daerah ini kurang akan data tentang struktur geologi. 1.3. Tujuan Penelitian Tujuan dilakukannya penelitian ini yaitu untuk menganalisis tanah longsor yang berada di kabupaten banjarnegara dengan dilihat dari longsoran berdasarkan panduan mitigasi bencana geologi
1.4. Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini diantaranya bisa menjadi referensi baik untuk memberikan informasi, masukan mengenai daerah yang rawan terhadap bencana tanah longsor dan bahan pertimbangan dalam perencanaan pemanfaatan lahan bagi pemerintah
1
1.5. Metode Pengumpulan data Metode pengumpulan data yang digunakan untuk menyusun referat ini adalah metode studi literatur, yaitu pengumpulan data yang diperoleh dari berbagai sumber tertulis. Literatur utama yang digunakan dalam pembuatan referat ini adalah jurnal yang berjudul “Analisis Kerentanan Tanah Longsor Sebagai Dasar Mitigasi Kabupaten Banjarnegara” yang disusun oleh Pranatasari Dyah, Arina Miardini, dan Beny Harjadi Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Pengelolaan (BPPTPDAS), pada tahun 2017. Selain itu, ada 4 jurnal penunjang lain, data dan literatur dari internet dan buku-buku yang saling menunjang satu sama lainnya.
2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Geologi Regional 2.1.1. Fisiografi Letak dari kecamatan Karangkobar, Banjarnegara, Jawa Tengah. Secara geografis terletak pada 7⁰12’ – 7⁰31’ LS dan 109⁰29’ – 109⁰45’50” BT. Bagian barat berbatasan dengan Kab. Purbalingga dan Kab. Banyumas. bagian utara Kab. Pekalongan dan Kab. Batang, bagian timur Kab. Wonosobo, sedangkan bagian selatan berbatasan dengan Kab. Kebumen. Menurut Van Bemmelen (1949), berdasarkan sifat fisiografinya, secara garis besar daerah Jawa Tengah dibagi menjadi enam bagian, yaitu: (Gambar 1.1) 1. Endapan Vulkanik Kuarter 2. Dataran Aluvium Jawa Utara 3. Antiklinorium Bogor, Rangkaian Pegunungan Serayu Utara serta Kendeng 4. Zona Pusat Depresi Jawa Tengah 5. Kubah dan Pegunungan Pusat Depresi, Rangkaian Pegunungan Serayu Selatan 6. Pegunungan Selatan Jawa Barat dan Jawa Timur
Gambar 2.1. Fisiografi Jawa Tengah (Van Bemmelen, 1949)
3
2.1.2. Stratigrafi Pembahasan
stratigrafi
regional
dimaksudkan
untuk
memberikan
gambaran umum dari beberapa formasi yang erat hubungannya dengan stratigrafi daerah penelitian dan diuraikan dari satuan yang tua ke satuan yang lebih muda. Menurut Peta Geologi Lembar Banjarnegara, Jawa (Djuri, Samodra, Amin dan Gafoer, 1996), tersusun atas Formasi Tapak, Formasi Kumbang, Formasi Halang, Formasi Penosogan, Formasi Waturanda, Formasi Rambatan, dan Formasi Totogan
Formasi Tapak Formasi ini terdiri dari batupasir gampingan dan napal berwarna hijau, mengandung pecahan-pecahan moluska. Umur Pliosen dengan tebal sekitar 500 meter.
Formasi Kumbang Formasi ini mempunyai ciri khas lava andesit dan basal, breksi, tufa, setempat breksi batuapung dan tufa pasiran serta sisipan napal. Lava sebagian besar mengaca. Napal mengandung Globigerina. Umur Miosen Tengah Pliosen Awal dengan tebal sekitar 2000 meter dan menipis ke arah utara. Formasi ini menjemari dengan formasi Halang.
Formasi Halang Formasi ini terdiri dari batupasir tufaan, konglomerat, napal dan batulempung. Bagian bawah berupa breksi andesit. Lapisan bagian atas mengandung fosil Globigerina dan foraminifera kecil lainnya. Umur Miosen Tengah - Pliosen Awal dengan tebal maksimal 700 meter dan menipis ke arah timur. Breksi andesit ketebalannya bervariasi dari 200 meter di selatan sampai 500 meter di sebelah utara. Bagian atas lapisan tak mengandung rombakan berbutir kasar. Diendapkan sebagai sedimen turbidit pada zona batial atas.
4
Formasi Penosogan Formasi ini tersusun perselingan konglomerat, batupasir, batulempung, napal, tufa dan riolit yang berlapis baik. Bagian bawah satuan berupa konglomerat polimik yang kearah atas lapisan berangsur menghilang, tersusun dari
kuarsa,
kepingan
batugamping
kalkarenit
yang
mengandung Lepidocyclina. Batupasir dengan komponen utama kuarsa sedikit biotit, turmalin, rutil dan mineral berat lainnya, sortasi jelek, setempat gampingan dan kerikilan. Ke arah atas lapisan umumnya berangsur menjadi batulanau, berlapis tipis dan pejal. Struktur sedimen berupa graded bedding. Lapisan batuan ini hasil endapan arus turbidit. Bagian tengah formasi tersusun dari batulempung, napal dan kalkerinit dengan sisipan tufa, batulempung gampingan dan napalan. Kalkarenit berupa kepingan cangkang foraminifera dan koral, angular - subrounded, sortasi buruk, semen berupa kalsit. Sisipan batupasir kasar masih nampak yang semakin ke atas makin tipis. Lebih ke arah puncak
napal
dan
napal
tufaan
yang
mengandung Globigerina, Globoquadrina, Orbulina dan foraminifera besar. Sisipan tufa bersusunan dasit, riolit dan gelas mulai ada. Struktur sedimen berupa ripple mark, mudcrack, gradded bedding, bioturbation, paralel laminasi dan flute cast menunjukkan kesan akan lingkungan pengendapan air dangkal atau mungkin daerah pasang surut. Bagian atas satuan tersusun dari perselingan tufa dengan napal tufaan. Tufa kaca berlapis dengan tebal 5-10 meter dan menipis ke arah puncak. Umur satuan dianggap Miosen Tengah dengan tebal mencapai 1146 meter. Formasi ini menindih selaras formasi Waturanda dan ditindih selaras oleh formasi Halang.
Formasi Waturanda Formasi waturanda terdiri dari batupasir, breksi, konglomerat, lahar dan sisipan batulempung. Batupasir greywacke dengan komponen bersusunan andesit dan basal, dominan piroksin, kasar - kerikilan, sortasi buruk, subrounded, porositas sedang, pejal - berlapis, tebal lapisan 2 - 100 cm. Ke bagian lebih atas lapisan breksi gunungapi bersisipan batupasir greywacke, tufa
5
gampingan, batulempung, konglomerat dan lahar. Breksi polimik berkomponen andesit dan basal, ukuran fragmen sekitar 30 cm, matriks batupasir dan tufa, mengkasar ke atas. Sisipan batupasir greywacke, tebal 50 - 200 cm, sedang sangat kasar, komposisi mineral plagioklas, piroksin, gelas dan mineral bijih. Batulempung mengandung foraminifera kecil berumur Miosen Awal - Tengah. Struktur sedimen berupa gradded bedding, paralel laminasi dan convolute. Lingkungan pengendapan laut dalam dengan sebagian batuan terendapkan oleh arus turbidit. Satuan batuan ini ditindih selaras oleh formasi Penosogan dan menindih selaras atau sebagian menjemari dengan formasi Totogan.
Formasi Totogan Formasi ini terdiri breksi, batulempung, napal, batupasir, konglomerat dan tufa. Bagian bawah satuan terdiri dari perselingan tak teratur breksi, batulempung tufaan, napal dan konglomerat, setempat sisipan batupasir. Breksi polimik, fragmen berupa batulempung, slate, batupasir, batugamping fosilan, basal, sekis, granit, kuarsa dan rijang radiolaria; matriks batulempung tufaan, gampingan, napal berwarna merah, coklat dan ungu; semen kalsium karbonat. Ke arah atas perlapisan fragmen atau komponen breksi dan batupasir searah perlapisan. Konglomerat berfragmen basal, sortasi buruk, merupakan sisipan dalam breksi. Bagian atas lapisan berupa perselingan batulempung, batupasir dan tufa; berlapis baik; dijumpai kepingan kuarsa. Selain fosil foraminifera plankton yang menunjukkan kisaran umur Oligosen sampai Miosen Awal ditemukan pula Uvigerina sp. dan Gyroidina sp. Lingkungan pengendapan pada daerah batial atas. Perlapisan batuan secara keseluruhan merupakan endapan olistostrom. Tebal satuan sekitar 150 meter yang menipis ke arah selatan. Formasi ini ditindih tak selaras oleh formasi Penosogan dan formasi Rambatan serta bagian bawahnya menjemari dengan bagian atas satuan Batugamping Terumbu.
6
2.1.3. Geomorfologi Daerah penelitian berada pada daerah pegunungan Serayu Utara. Lereng ini memiliki kemiringan mengarah ke utara-barat laut (Gambar 2.2). Daerah kajian berada pada ketinggian antara 900-1.100 mdpl. Daerah puncak lereng berada di sisi tenggara dengan ketinggian 1.100 mdpl, yang merupakan bagian dari lereng pegunungan daerah Sampang.
Gambar 2.2. Peta Geomorfologi daerah penelitian Dengan ketinggian daerah berada diatas 500 meter, maka daerah penelitian dapat dimasukkan dalam daerah pegunungan. Lereng di bagian tengah ke arah utara-baratdaya memiliki kelerengan yang relatif terjal antara 40 hingga 60 derajad. Morfologi lereng terjal ini berkembang mulai dari ketinggian sekitar 900 m hingga bagian puncak 1.100 m. Dengan demikian beda tinggi gawir erosional/struktur daerah ini adalah 300 m. Berdasarkan klasifikasi relief menurut van Zuidam (1983) daerah ini termasuk dalam daerah berlereng terjal. Pada Gambar 1.3. daerah ini di gambarkan sebagai bagian morfologi Pegunungan Berlereng Terjal. Pola aliran yang berkembang pada lereng terjal ini secara lebih luas adalah pola paralel atau saling sejajar. Stadia sungai yang berkembang adalah baru pada stadia muda. Lereng terjal ini tersusun atas batuan breksi epiklastik. Pada musim kemarau pola aliran tampak tidak mengalirkan air/pola intermitten.
Gambar 2.3. Morfologi lereng longsor di daerah penelitian Di luar daerah rawan longsor Desa Sampang, kelerengan semakin landai antara 20-30 derajad saja (Gambar 1.2). Morfologi ini berkembang dari ketinggian 7
800-an hingga 900-an meter di bagian barat, ketinggian 1.100-1.200 di bagian selatan dan 900-1.100 an di bagian timur. Dengan demikian beda tinggi daerah ini hanyalah 100-an meter. Berdasarkan klasifikasi relief menurut van Zuidam (1983) daerah ini termasuk dalam daerah berbukit bergelombang. Pada Gambar 1.2, Dinamika Rekayasa Vol. 11 No. 2 Agustus 2015 ISSN 1858-3075 65 daerah ini disebut sebagai morfologi Pegunungan Berlereng Sedang. Pola aliran yang berkembang adalah pola dendritik (menyerupai ranting pohon) dengan stadia sungai muda. Lereng sedang ini terbentuk oleh batulempung-batupasir dan breksi. Hasil pengamatan pada musim kemarau menunjukkan bahwa pola aliran ini tampak masih mengalirkan air. 2.1.4. Struktur Geologi Struktur yang dijumpai pada daerah penelitian ini terutama adalah bidang kekar. Pada batuan tua, yakni Formasi Rambatan di sekitar daerah penelitian dijumpai struktur kekar, sesar dan perlipatan. Struktur kekar telah bekerja dari batuan tua yang berumur Miosen hingga pada batuan berumur Pliosen.
Gambar 2.4. Kelurusan struktur geologi pada peta topografi d daerah penelitian dan sekitarnya. Pada Gambar 2.4, diperlihatkan arah arah kelurusan struktur yang berkembang, ditunjukkan dengan garis tebal berwarna merah. Pola kontur menggambarkan daerah dengan ketinggian yang sama digambarkan dengan garis hitam tipis. Daerah berkontur renggang menujukkan morfologi yang relatif landai atau datar. Daerah berkontur rapat menunjukkan morfologi berlereng terjal. Secara regional, breksi sebagai batuan yang lebih muda dijumpai menumpang secara tidakselaras menyudut diatas batulempung-batupasir. Batulempungbatupasir sebagai batuan tua dibawah memiliki kemiringan tinggi, sementara breksi menumpang diatasnya dan relatif datar kedudukannya.
8
2.2. Studi Khusus 2.2.1. Tanah Longsor Tanah longsor adalah perpindahan material pembentuk lereng berupa batuan, bahan rombakan,tanah, atau material campuran tersebut, bergerak ke bawah atau keluar lereng. Proses terjadinyatanah longsor dapat diterangkan sebagai berikut: air yang meresap ke dalam tanah akanmenambah bobot tanah. Jika air tersebut menembus sampai tanah kedap air yang berperansebagai bidang gelincir, maka tanah menjadi licin dan tanah pelapukan di atasnya akan bergerakmengikuti lereng dan keluar lereng.
2.2.2. Jenis Tanah longsor Ada 6 jenis tanah longsor, yakni: longsoran translasi, longsoran rotasi, pergerakan blok,runtuhan batu, rayapan tanah, dan aliran bahan rombakan. Jenis longsoran translasi dan rotasipaling banyak terjadi di Indonesia. Sedangkan longsoran yang paling banyak memakan korban jiwa adalah aliran bahan rombakan.
Gambar 2.5. Jenis Tanah Longsor 1. Flow Longsoran translasi (flow) adalah ber-geraknya massa tanah dan batuan pada bidang gelincir berbentuk rata ataumenggelombang landai. 2. Topple Runtuhan batu terjadi ketika sejum-lah besar batuan atau material lain bergerak ke bawah dengan cara jatuh bebas.Umumnya terjadi pada lereng yang terjal hingga meng-gantung terutama di daerah pantai. Batu-batu besar yang jatuh dapat menyebabkan kerusakan yang parah. 3. Slump Longsoran rotasi adalah bergerak-nya massa tanah dan batuan pada bidang gelincir berbentuk cekung. 4. Slide
9
Runtuhan batu terjadi ketika sejum-lah besar batuan atau material lain bergerak ke bawah dengan cara jatuh bebas.Umumnya terjadi pada lereng yang terjal hingga meng-gantung terutama di daerah pantai. Batu-batu besar yang jatuh dapat menyebabkan kerusakan yang parah.
5. Creep Rayapan Tanah adalah jenis tanah longsor yang bergeraklambat. Jenis tanahnya berupa butiran kasar dan halus. Jenistanah longsor ini hampir tidak dapat dikenali. Setelah waktuyang cukup lama longsor jenis rayapan ini bisa menyebabkan tiang-tiang telepon, pohon, atau rumah miring ke bawah. 6. Fall Jenis tanah longsor ini terjadi ketika massa tanah bergerakdidorong oleh air. Kecepatan aliran tergantung padakemiringan lereng, volume dan tekanan air, dan jenis materialnya. Gerakannya terjadi di sepanjang lembah danmampu mencapai ratusan meter jauhnya. Di beberapa tempatbisa sampai ribuan meter seperti di daerah aliran sungai disekitar gunungapi. Aliran tanah ini dapat menelan korban cukup banyak.
2.2.3. Mitigasi Bencana Mitigasi merupakan sebuah langkah yang diambil secara independen dari situasi darurat. Coppola (dalam Kusumasari, 2014: 23) menjelaskan bahwa ada dua jenis mitigasi yaitu: 1. Mitigasi structural, didefinisikan sebagai usaha pengurangan risiko yang dilakukan melalui pembangunan atau perubahan lingkungan fisik melalui penerapan solusi yang dirancang. Upaya ini mencakup ketahanan konstruksi, langkahlangkah pengaturan, dan kode bangunan, relokasi, modifikasi struktur, konstruksi tempat tinggal masyarakat, konstruksi pembatas atau sistem pendeteksi, modifikasi fisik, sistem pemulihan, dan penanggulangan infrastruktur untuk keselamatan hidup. 2. Mitigasi non struktural, meliputi pengurangan kemungkinan atau konsekuensi risiko melalui modifikasi prosesproses perilaku manusia atau alam, tanpa membutuhkan penggunaan struktur yang dirancang. Di dalam teknik ini terdapat langkahlangkah regulasi, program pendidikan, dan kesadaran masyarakat, modifikasi fisik non struktural, modifikasi perilaku, serta pengendalian lingkungan. Di dalam perumusan strategi diperlukan pengamatan dan penilaian terhadap kondisi lingkungan yang ada di sekitar baik lingkungan internal maupun eksternal. Dalam hal ini, analisis SWOT diperlukan untuk mengidentifikasi berbagai faktor secara sistematis guna merumuskan strategi. Analisis ini didasarkan pada logika yang dapat memaksimalkan kekuatan (strengths) dan peluang (opportunities) sekaligus meminimalkan kelemahan (weaknesses) dan ancaman (threats). Dengan demikian, perencanaan strategis harus menganalisis faktor-faktor strategis (kekuatan, kelemahan, peluang, ancaman) dalam kondisi yang ada saat ini. Hasil analisis faktor-faktor strategis tersebut kemudian dapat digunakan untuk mengidentifikasi dan mengevaluasi isuisu strategi dan akan menjadi dasar dalam perumusan programprogram strategi (Salusu, 2006: 148).
10
BAB III METODE PENELITIAN 3.1.Pemetaan Geologi Kondisi geologi Banjarnegara menggunakan referensi penelitian terdahulu. Seperti geologi regional, stratigrafi regional, dan struktur regional Banjarnegara 3.2.Analisis Lanjutan Studi lapangan yang dilakukan ialah berupa pemetaan geologi dan pengamatan Lapangan seperti negamatan geomorfologi, stratigrafi, dan struktur yang Kajian referensi/data sekunder berkaitan dengan bencana longsor di Dusun Jemblung, Desa Sampang, Kecamatan Karangkobar, Kabupaten Banjarnegara, Provinsi Jawa Tengah. Data sekunder mencakup kajian penelitian terdahulu tentang longsor yang terjadi, termasuk tentang daerah/lokasi, waktunya, catatan-catatan instansi terkait, cerita penduduk, geologi, geomorfologi, struktur geologi, geologi tata lingkungan, geologi teknik, foto udara curah hujan, DAS, keairan, sosial ekonomi, tata ruang/ RTRW, penggunaan lahan, penduduk dan lain-lain geologi tata lingkungan, geologi teknik, foto udara dan lain-lain. Pengukuran lapangan dengan menggunakan GPS Handheld dan kompas dengan teknik intersection, sementara penghitungan luas dilakukan dengan software ArcGIS.
11
BAB IV HASIL PENELITIAN 4.1. Tingkat Kerentanan Longsong Hasil analisis terhadap beberapa parameter penentu tingkat kerentanan longsor di Kabupaten Banjarnegara menggunakan kriteria kerentanan tanah longsor (Paiminet al., 2009) disajikan pada Tabel 4. No (No)
Kecamatan (Sub District)
Kategori/ Luas (ha)
Faktor Dominan (Dominant factor)
Tidak Rentan (Not vulnerable)
Sedikit Rentan (Slightly vulnerable)
Agak Rentan (Fairly vulnerable)
Rentan (Vulnerable)
0,460
98,756
4601,930
318,737
1
Banjarmangu
2
Banjarnegara
11,844
3054,553
359,079
3 4 5 6
Batur Bawang Kalibening Karangkobar
33,542 1550,336 21,707 17,969
3365,738 3823,169 6818,556 3134,411
320,099 291,479 1654,991 804,713
7 8 9 10 11 12 13 14 15
Madukara Mandiraja Pagentan Pandanarum Pegedongan Pejawaran Punggelan Purwonegoro Purworejo Klampok Rakit Sigaluh Susukan
161,144 31,551 369,684 750,629 78,346 37,243 2587,503 372,370 57,766
3950,883 4701,268 4134,795 3703,626 6314,207 4882,804 7853,262 6573,779 1997,416
103,744 360,732 308,038 948,067 1065,083 937,828 187,791 564,651 109,652
423,721 59,353 57,118
2545,545 3814,030 4142,225
45,753 139,136 658,617
16 17 18
20,429
8,040
Sangat Rentan (Very vulnerable) Hujan 38,839
Hujan
18,654 1,212 3,588
Geologi Hujan Hujan Hujan Hujan Hujan Hujan Regolith Hujan Geologi Regolith Hujan Hujan
0,301 21,341 43,789
Regolith Geologi Hujan
4,030
12
19 20
Wanadadi Wanayasa
57,118
Jumlah Jumlah (%)
44,888 0,04%
Regolith Hujan
4142,225 116,744
658,617 7297,366
57,118 1213,095
64,407
7800,841 7,295%
88505,804 82,74%
10423,323 9,74%
196,160 0,18%
Tabel 4.1. Potensi Wilayah dengan tingkat kerentanan longsor yang berbeda di Kabupaten Banjarnegara (Potential Areas with Different Levels of Landslide Susceptibility in Banjarnegara) Wilayah dengan tingkat kerentanan longsor yang berbeda pada Kabupaten Banjarnegara dapat pula dilihat secara spasial. Seperti tersaji pada peta di bawah ini (Gambar 4.1).
Gambar 4.1. Peta kerentanan tanah longsor di Kabupaten Banjarnegara (Landslide Vulnerability Map in Banjarnegara Distric) Berdasarkan Tabel 4.1 terlihat bahwa beberapa kecamatan yang masuk dalam kategori sangat rentan adalah: Kecamatan Wanayasa (64,41 ha), Pagedongan (43,78ha), Banjarnegara (38,84 ha), Bawang (18,65 ha), Kalibening (1,21 ha), Karangkobar (3,58 ha), Pandanarum (21,34 ha), Susukan (4,03 ha), dan Mandiraja (0,30 ha). Wilayah yang memiliki areal rentan longsor terluas adalah Kecamatan Wanayasa. Kecamatan ini rentan longsor karena memiliki area dengan kelas kemiringan lereng 65%-85% (agak tinggi) yang paling luas yaitu sebesar 399,88 ha. Sebagaimana diketahui, kemiringan lahan merupakan
13
salah satu faktor yang menjadi pemicu longsor (Liu, Li, Wu, Lu, & Sang, 2013). Semakin tinggi tingkat kemiringan lereng, maka potensi untuk terjadinya longsor juga akan semakin besar. Lahan dengan tingkat kemiringan semakin terjal baik oleh aktivitas manusia maupun proses alami, akan menyebabkan lereng menjadi tidak stabil (Hardiyatmoko, 2006). Menurut Muchlis (2015) pada bagian atas lereng, terdapat lapisan tanah yang porus (mudah meloloskan air), menyebabkan air hujan akan mudah masuk ke dalam tanah. Adanya sesar pada suatu wilayah, juga menjadi pemicu longsor. Hal senada disampaikan oleh Prawiradisastra (2013) bahwa sesar merupakan salah satu faktor penyebab longsor. Berkaitan dengan hal ini, pada Kecamatan Wanayasa, Pagedongan dan Banjarnegara masing-masing memiliki luas lahan yang bersesar sebesar 333,52 ha; 387,95 ha dan 171,69 ha. Selain parameter tersebut, faktor alami menurut Pamin et al., (2009) yang menjadi parameter dalam proses penilaian kerentanan longsor adalah kondisi geologi dan kedalaman regolith. Kondisi geologi, salah satunya adalah jenis tanah, sangat mempengaruhi longsor (Setiadi, 2013). Solle & Ahmad (2015) juga menyampaikan bahwa tanah dengan kandungan mineral liat terutama kaolinit dan vermikulit pada kondisi jenuh air akan menjadi labil. Berkaitan dengan hal ini dan berdasarkan hasil survei lapangan, diketahui bahwa sebagian besar jenis tanah di Banjarnegara adalah ultisol dan inceptisol. Hal ini menyebabkan wilayah ini menjadi wilayah yang rentan terjadi longsor. Priyono (2012) menyampaikan bahwa tanah-tanah dalam masa perkembangan seperti inceptisol merupakan jenis tanah yang rentan terhadap longsor. Tingkat kerentanan longsor akan bertambah dengan adanya bangunan infrastruktur dan aktivitas manusia di daerah tersebut. Pemotongan lereng akibat pembangunan jalan, dapat meningkatkan beban pada lereng, sehingga potensi terjadinya longsor meningkat. Demikian juga dengan pembangunan empang atau kolam ikan pada lereng-lereng yang terjal. Hal ini dapat meningkatkan beban lereng, sekaligus menambah kejenuhan tanah oleh air. Curah hujan yang tinggi pada suatu wilayah yang rentan terhadap longsor, dapat meningkatkan potensi longsor. Seperti dijelaskan oleh Ibrahim, Harianto, & Wibowo (2015) bahwa curah hujan merupakan pemicu terjadinya longsor. Curah hujan dengan intensitas tinggi yang terjadi pada daerah dengan kelerengan yang curam dan labil dapat memicu terjadinya longsor (Suriadi, Arsjad, & Hartini, 2014). Kepadatan penduduk pada suatu wilayah berlereng, juga akan mempengaruhi tingkat kerentanan longsor, karena semakin banyak populasi maka akan menambah beban yang diterima oleh lahan sehingga meningkatkan potensi longsor. Terganggunya kestabilan lereng akibat berbagai aktivitas manusia diatasnya dapat meningkatkan potensi terjadinya longsor.
4.2. Mitigasi Bencana Tanah Longsor Kondisi biofisik lahan yang berpotensi besar terhadap bencana tanah longsor, memerlukan teknik/ upaya mitigasi yang tepat agar korban jiwa dan kerugian material dapat dikurangi. Berdasarkan uraian sebelumnya, diketahui
14
bahwa beberapa teknik mitigasi longsor yang dapat disarankan untuk diaplikasikan di Kabupaten Banjarnegara, sebagai daerah yang rentan terhadap bencana tanah longsor. Hal pertama yang dapat dilakukan adalah pengamatan curah hujan yang terjadi pada lokasi tersebut. Pengamatan curah hujan ini diperlukan karena curah hujan merupakan salah satu pemicu terjadinya bencana tanah longsor. Menurut Sipayung et al., (2014) bahwa nilai ambang curah hujan yang berpotensi menyebabkan longsor akan berbeda pada setiap daerah, dan akan berpengaruh lebih besar pada daerah yang rentan longsor dibandingkan dengan daerah yang tidak rentan longsor meskipun dengan curah hujan yang sama. Menurut Paimin et al., (2009), curah hujan yang perlu diwaspadai pada daerah rentan longsor adalah >300 mm/3 hari. Adanya informasi curah hujan yang tepat dan kontinyu, diharapkan dapat menjadi dasar peringatan dini bagi masyarakat yang tinggal di daerah rentan longsor seperti di Kabupaten Banjarnegara. Langkah selanjutnya adalah perlunya penataan dan konservasi pada daerah-daerah berlereng. Lereng yang curam dengan kemiringan yang tinggi (>45%) akan meningkatkan potensi terjadinya tanah longsor, sehingga upaya mitigasi pada wilayah ini sangat diperlukan, salah satunya adalah dengan upaya mengurangi volume air hujan yang masuk ke dalam profil tanah. Berkaitan dengan hal ini, Hardiyatmoko (2006) menyampaikan bahwa untuk meningkatkan stabilitas lereng perlu dilakukan dengan perubahan geometri lereng yaitu dengan pelandaian kemiringan lereng, seperti dengan pembuatan teras bangku, mengontrol drainase dan rembesan terutama drainase aliran permukaan dan bawah permukaan, pembuatan bangunan untuk stabilisasi, pembongkaran dan pemindahan material pada daerah rentan longsor, serta perlindungan permukaan tanah. Tahapan yang harus dilakukan selanjutnya adalah meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap potensi dan bahaya longsor di daerahnya, serta kesiap-siagaan terhadap potensi bencana tanah longsor tersebut. Hal ini bisa dimulai dengan pengamatan kondisi lingkungan dan iklim, termasuk di dalamnya pengamatan terhadap kondisi fisik lahan dan curah hujan. Kesadaran masyarakat terutama peningkatan kewaspadaan pada saat musim hujan dengan intensitas yang tinggi sangat diperlukan. Selain itu diperlukan juga adanya peningkatan kesadaran untuk segera menutup rekahan tanah pada wilayah yang rentan terhadap longsor (Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, 2013). Penetapan jalur evakuasi yang tepat juga berpengaruh terhadap proses penyelamatan warga apabila terjadi bencana longsor. Berkaitan dengan hal ini, desa tangguh bencana menurut Maarif et al., (2012) merupakan salah satu teknik mitigasi bencana berbasis masyarakat. Diharapkan dengan adanya kemandirian
15
masyarakat terhadap kewaspadaan bencana longsor, maka mitigasi bencana tanah longsor dapat dilakukan dengan baik.
4.3. Struktur Geologi Dan Gerakan Tanah Batuan breksi laharik, breksi epiklastik dan batulempung di daerah penelitian telah mengalami pelapukan intensif. Intensitas pelapukan ini pada gilirannya
akan
mempercepat
proses
erosi
batuan. Proses erosi
vertikal dan lateral
yang intensif pada
soil
hasil
pelapukan
batuan
dasar di daerah
penelitian
telah
menciptakan
kelerengan
yang
relatif terjal. Hasil
analisis
dari
topografi,
peta
menunjukkan
bahwa
kelurusan
batuan
breksi di daerah kajian memiliki rekaman struktur N 330o E dan N 55o E (Gambar 1.4). Secara umum kelurusan struktur di daerah penelitian dan sekitarnya memiliki arah utara timurlaut dan utara baratlaut (Gambar 4.2).
Gambar 4.2 Diagram bunga Kelurusan struktur geologi daerah penelitian Longsor di daerah kajian berada pada lereng yang menghadap ke arah utara, dibatasi oleh pola-pola aliran utara-selatan (N 0o E). Pola ini searah
16
dengan kelurusan di selatan daerah kajian (Gambar 2.4). Pola utara-selatan ini membentuk sungai-sungai musiman di lereng bukit Desa Sampang. Sungai ini merupakan sungai stadia muda dengan erosi vertikal yang dominan. Gerusan vertikal ini akan mempertajam lereng di daerah kajian. Kelurusan ini juga membentuk morfologi lereng cembung yang akan mudah longsor. Di utara daerah kajian dijumpai kelurusan berarah barat-timur (N 275 o E) yang membentuk alur sungai mengarah ke barat. Sungai ini menjadi batas daerah longsor dari bukit di sebelah selatannya.
BAB V KESIMPULAN Hasil analisis terhadap wilayah rentan longsor di Kabupaten Banjarnegara menggunakan metode Paimin et al., (2009) ini, menghasilkan informasi wilayah rentan longsor yang didominasi oleh “agak rentan". Untuk meningkatkan tingkat akurasi kelas kerentanan longsor di Banjarnegara, maka perlu dilakukan modifikasi dalam penetapan parameter kerentanan longsor, terutama klasifikasi kelerengan dan luasan daerah terdampak sesar. Selain itu, dalam parameter manajemen, sebaiknya ditambah dengan faktor beban lereng yaitu adanya bangunan air seperti kolam ikan atau empang, karena bangunan tersebut berpotensi meningkatkan kerentanan longsor.
Kelurusan struktur geologi
yang dijumpai di
daerah penelitian
menunjukkan arah-arah N 330o E dan N 55o E yang membentuk rekahan-rekahan pada batuan di daerah penelitian. Kelurusan utara-selatan searah dengan pola-pola aliran anak sungai utara-selatan (N 0o E). Pola ini menjadi alur erosi vertikal yang aktif yang menyebabkan labilnya lereng bukit di sekitarnya. Struktur ini telah mempercepat pelapukan fisik dan erosi matrial lempung lapukan batuan. Erosi vertikal dan lateral pada lereng telah mengganggu kestabilan lereng pada breksi. Pada gilirannya untuk menjaga kestabilan lereng maka breksi akan longsor hingga tercipta keseimbangan baru.
17
18
DAFTAR PUSTAKA
Achmad, Fadly. STUDI IDENTIFIKASI PENYEBAB LONGSOR DI BOTU. Fakultas Teknik Universitas Negeri Gorontalo, Gorontalo Apriyono, Arwan. 2009. Analisis Penyebab Tanah Longsor di Kalitlaga Banjarnegara. Universitas jenderal soedirman, Purwokerto. Bemmelen R.W., Van. 1949. The Geology of Indonesia. Netherlands : Vol IA. Nandi. 2007. Longsor. FPIPS- Upi, Bandung, 45 hal. Naryanto, Heru Sri. 2017. Analisis Kejadian Bencana Tanah Longsor Tanggal 12 Desember 2014 Di Dusun Jemblung, Desa Sampang, Kecamatan Karangkobar, Kabupaten Banjarnegara, Provinsi Jawa Tengah. Pusat Reduksi Risiko Bencana (PTRRB), Kedeputian TPSA-BPPT, Jakarta. Paimin, Sukresno, dan Irfan Budi Pramono. 2009. TEKNIK MITIGASI Banjir dan Tanah Longsor. Tropenbos International Indonesia Programme, bogor, 38hal. Puri, DP dan Thalita Rifda Khaerani. STRATEGI MITIGASI BENCANA TANAH LONGSOR DI KABUPATEN PURWOREJO. Universitas Diponegoro, semarang Susanti, PD., Arina Miardini., dan Beny Harjadi. 2017. ANALISIS KERENTANAN TANAH LONGSOR SEBAGAI DASAR MITIGASI DI KABUPATEN BANJARNEGARA, Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Pengelolaan (BPPTPDAS). Widagdo, Asmoro., Indra Permana Jati., Gentur Waluyo., Eko Bayu Purwasatriya., dan Suwardi. 2014. Struktur Geologi Daerah Longsor di Gunung Pawinihan, Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah. Teknik Gelogi Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto Widagdo, Asmoro dan Rachmad Setijadi. 2015. Kontrol Struktur Pada Longsor di Daerah Sampang Karangkobar Kabupaten Banjarnegara Jawa Tengah. Teknik Gelogi Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto
19