Kesadaran Kolektif Atas Mutlikulturalisme

  • Uploaded by: Abaz Zahrotien
  • 0
  • 0
  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Kesadaran Kolektif Atas Mutlikulturalisme as PDF for free.

More details

  • Words: 609
  • Pages: 3
Kesadaran Kolektif Atas Mutlikulturalisme Oleh : Abaz Zahrotien

Persoalan multikulturalisme sebenarnya merupakan permasalahan klasik, persoalan yang terjadi sejak pemerintahan Hayam Wuruk di Majapahit tempo dulu, sejak Patih Gajah Mada melakukan ekspansi ke seluruh pelosok Nusantara. Yang belum selesai sampai hari ini tentang multikulturalisme adalah adanya kesadaran kolektif, yakni pengakuan kebersamaan atas perbedaan adat dan budaya masing-masing suku yang ada. Ini diskursus usang memang, namun sebenarnya menjadi sumber dari banyaknya konflik yang terjadi di negara kita. Mulai dari adanya konflik lintas suku yang terjadi beberapa tahun lalu di Kalimantan, konflik lintas agama di Poso hingga masalah desintegrasi bangsa yang terjadi di Papua dan Nangroe Aceh Darussalam. Dihadapkan pada bidang sosio antropologis, multikulturalisme akan bertemu dan berinteraksi pada dataran kebudayaan dan hubungan social masyarakat antar suku bangsa. Termasuk diantaranya adanya persaingan budaya antar suku. Sikap pengunggulan suku sendiri dan mendeskreditkan suku lainnya atau yang lebih kita kenal dengan sifat chauvinistic yang berkembang di masing-masing suku atau pemegang otoritas budaya tertentu membuat adanya jarak antar satu suku dengan suku bangsa yang lain. Dari sinilah kemudian konflik lintas budaya muncul dan berkembang. Konflik Sektarian Diakui atau tidak, bhineka tunggal ika yang menjadi jargon di negara kita sampai hari ini tidak mampu membawa tafsirannya sendiri dalam wilayah teknis yang riil di lapangan. Kebanggaan kita atas jargon ini hanya sebatas pada pelestarian budaya

tradisional, yakni pada titik penggunaan bahasa Jawa kuno pada kalimat yang tergantung di kaki burung Garuda ini. Agama misalnya, sampai hari ini tercatat ada enam agama yang diakui dan disahkan negara kita. Agama menjadi titik paling rawan dan paling berpotensi memecah belah persatuan bangsa. Alasannya, agama merupakan urusan rohani, dimana peran agama sebagai sisi yang menjiwai setiap tindakan masyarakat, sehingga dengan mudah konflik sectarian antar agama mudah terjadi. Tidak hanya agama sebenarnya, persaingan antar kebudayaan juga berpotensi menjadi sumber desintegrasi bangsa. Integralitas atas semua element di nusantara yang terbangun sejak Patih Gajah Mada membacakan sumpah palapa hanya dengan persaingan budaya dengan mudah terkacaubalaukan. Sekali lagi, ini bukan persoalan sepele dan mudah untuk dikaji. Dan bukan pula ini persoalan yang usang dan basi. Kesadaran kolektif atas multikulturalisme akan dapat menajawab tantangan globalisasi yang semakin gencar gerakannya sampai hari ini. Secara geografis, globalisasi hendak menghilangkan batas wilayah antar negara secara tidak langsung. Sehingga untuk Indonesia, yang konsep kebangsaannya belum selesai di aplikasikan akan mengalami akulturasi cultural yang cenderung negatif. Budaya popular yang diusung oleh globalisasi berpotensi besar mengkerdilkan kearifan local (budaya-budaya tradisional). Kesadaran Bersama Pada titik inilah yang sesungguhnya menjadi induk persoalan, kalau kita berkaca dari tesis Samuel P. Huntington yang berjudul The Clash of Civilization memberikan gambaran jelas, bahwa pertentangan besar yang terjadi kedepan lebih di

dasari pada konflik lintas budaya. Peradaban-peradaban besar yang secara structural melembaga ataupun tidak akan berbenturan dengan kebudayaan lainnya yang berbeda sudut pandangnya. Indonesia harus membaca hal ini. Banyaknya suku, budaya, agama, ras dan seterusnya ini harus disadari bersama. Tidak hanya disadari sebenarnya, tetapi dihargai dan saling memberikan dukungan atas perkembangan dan kemajuan budaya-budaya lain meskipun sesungguhnya bertentangan dengan apa yang kita anut sebagai bagian dari diri kita sendiri. Dengan ini semua, konflik sectarian yang dikhawatirkan akan terus terjadi mungkin dapat dipatahkan. Bukan apologi atau hanya sebuah konsep kosong, penerapan paham kesadaran atas multikulturalisme ini dipandang sudah sangat diperlukan, apalagi ketika berkaca pada banyaknya konflik sectarian yang terjadi di negara kita. Dan penerapannyapun tidak dengan serta merta harus merubah secara keseluruhan, karena kita yakin untuk mengubah tatanan yang sudah ada jauh lebih sulit dibanding dengan menerapkan konsep baru. Kesadaran kolektif ini dapat terbangun jika kita pribadi menyadari akan pentingnya kebersamaan dalam perbedaan. Mulai dari hal-hal yang kecil seperti menghormati dan menghargai pemeluk agama lain yang ada disekitar kita dan sebagainya.

Penulis adalah pengurus PMII Komisariat Ahimsa Unsiq Wonosobo

Related Documents


More Documents from "suryaningsih.inchi"