Dekonstruksi Arkeologi Konsep Dakwah Dalil Aqli Menjawab Pergeseran Tatanan Sosioantropologis
Makalah ini disajikan untuk memenuhi nilai tugas mata kuliah Filsafat Dakwah Yang diampu oleh Drs. Z. Sukawi, MA
Disusun Oleh: Abaz Zahrotien
FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI UNIVERSITAS SAINS AL QUR’AN (UNSIQ) JAWA TENGAH DI WONOSOBO 2008
Dekonstruksi Arkeologi Konsep Dakwah Dalil Aqli Menjawab Pergeseran Tatanan Sosioantropologi
A. Pendahuluan Muhammad ketika dalam usia muda merenungi tentang masyarakat suku Qurays yang begitu kejam dengan mengubur hiduphidup bayi perempuan yang baru lahir, dengan pembesar suku Qurays yang cenderung bersikap eksploitatif terhadap orang-orang yang level sosialnya jauh dibawahnya atau yang memiliki klan keluarga dari kalangan menengah
kebawah.
Disamping
itu,
Muhammad
juga
sangat
menyesalkan perilaku masyarakat Qurays yang gemar sekali menghaburhamburkan harta yang mereka miliki untuk mendapatkan kesenangan sementara, judi, mabuk, kejahatan seksual dan varian patologi sosial lainnya. Muhammad mengalami kebimbangan, tentang apa yang harus dia lakukan, tentang apa yang bisa ia lakukan ketika kejahatan semacam itu terus menggerogoti masyarakat Qurays tanpa henti. Meskipun dia dari kalangan klan tertinggi di suku Qurays (Bani Hasyim), namun ia resah melihat keluarganya yang berlaku kurang santun terhadap sesama. Setengah abad kemudian, Muhammad telah berhasil melepaskan belenggu yang membuatnya resah lima puluh tahun sebelumnya, sebelum Allah mengangkatnya menjadi wakil-Nya di dunia. Dia tidak lagi meresahkan tentang perilaku saudaranya yang dulu bertindak kurang santun terhadap sesama. Lepas dari kehidupan Muhammad dengan kisah eksotiknya itu, dalam catatan sejarah, penulis China bernama It Sing menyebutkan bahwa pada abad ke-7, dia melihat di salah satu tempat di nusantara dengan berpakaian ala orang Timur Tengah melakukan gerakan-gerakan aneh. Analisis penulis, dia adalah ‘musafir’ yang mencoba menyebarkan Islam di Nusantara yang datang dari Arab Saudi, entah di zaman khulafaur
rasyidin atau diera Dinasti Ummayyah. Namun karena dalam catatan sejarah, saat itu, ternyata tidak ada bukti orang lokal beragama Islam, maka dapat dikatakan misi ‘musafir’ tersebut gagal. Beberapa abad kemudian, tepatnya saat Islam Global dibawah kendali Ottoman Empire yang berpusat di Turki, Khalifah dari Ottoman Dynasti ini mengutus beberapa ulama besar di eranya untuk menyebarkan Islam diseluruh belahan dunia. Salah satu yang datang ke Indonesia adalah ulama besar bernama Jalaludin Arraniri, yang kemudian di kenal dengan nama Ar Raniri. Missionaris ini pertama kali tiba di Aceh dan melakukan penyebaran agama Islam disana, hasilnya, Ar Raniri dengan perjuangan panjangnya bahkan mampu mendirikan kerajaan Islam pertama di nusantara, Samudera Pasai. Juga ada sedikit cerita yang banyak terjadi di Nusantara jauh sebelum Indonesia menjadi sebuah negara kesatuan. Disebutkan konon pada zaman kerajaan-kerajaan dahulu kala, terutama kerajaan besar di era Hindu ataupun Budha, Sriwijaya, Malaka, Majapahit, ataupun Pajajaran, telah terjadi perdagangan internasional, ekspor dan impor antara kerajaan yang satu dengan kerajaan yang lain adalah hal yang biasa terjadi, dan bahkan menjadi penopang ekonomi dalam negeri kerajaan. Konon kabarnya, tidak hanya dari utara hingga china yang beradgang di nusantara, tetapi juga para pedagang dari timur tengah ikut serta berdagang di Nusantara. Baik dari Gujarat, India, Persia dan lainnya. Para pedagang, khusunya yang beragama Islam, ikut serta menyebarkan agama dengan relasi bisnis mereka di Nusantara, namun tidak dapat maksimal. Contoh misalnya, di zaman pasca era runtuhnya Majapahit, Kadipaten Tuban di bawah Adipati Wilwatikta menjadi ‘kerajaan kecil’ dengan bandar perdagangan internasional yang luas. Relasinya tidak hanya pedagang Tiongkok yang banyak bertempat di Lao Sam (Lasem, Pati) dan Sam Poo Toa Lang (Semarang), namun juga
3
pedagang dari Gujarat dan tanah Timur Tengah lainnya. Di zaman Pemerintahan Adipati Wilwatikta ini, memiliki seorang juru bicara kerajaan (penerjemah bahasa) dari Benggala, India yang fasih berbahasa melayu, Arab dan Urdu. Dia bernama Syaikh Habibullah Al masawa, seorang Islam. Sebagai seorang salah satu pembesar kerajaan, posisi Syaikh Habibullah Al Masawa sangat strategis, setara dengan Patih, setingkat dibawah raja. Namun dengan jabatan yang tingginya itu, ternyata orang sebesar ini tidak mampu menyebarkan Islam di kerajaan yang masyarakatnya beragama Hindu, tak satupun pengikut dia dapatkan, kecuali Harun, seorang pedagang minuman yang datang bersamanya dari Malaka. Ini sangat kontras dengan apa yang dilakukan Kanjeng Gusti Sunan Kalijogo, hanya berbekal seperangkat alat wayang, mengarang-ngarang cerita pewayangan semaunya sendiri, menciptakan pakem baru, dengan hanya bernyanyi-nyanyi menciptakan lagu-lagu yang tidak begitu menarik, berpakaian ala orang desa, tidak bergaya ningrat, bahkan tak sepeserpun dia pernah membawa uang untuk memenuhi kebutuhan pribadinya, ternyata dia mampu menyebarkan Islam hingga pelosok tanah Jawa dengan kebudayaannya yang beragam. Sengja penulis awali tulisan ini dengan prolog cerita-cerita yang demikian, yang penulis anggap ini adalah model-model dakwah, dan untuk kemudian membandingkan satu model dakwah dengan model yang lainnya. Dan pada prolog ini adalah pijakan dasar sebagai bahan analisis pada pembahasan selanjutnya agar lebih ‘merakyat’ pembahasannya, mudah dipahami dan tidak terikat dengan dalil ilmiah yang begitu membingungkan, namun outputnya adalah itu-itu saja. Dengan cerita itu pula, meskipun referensi dari buku-buku tidak disebutkan mengenai ceritanya, karena dalam cerita tersebut didapatkan
dari kisah tutur tinular ketika penulis masih di madrasah diniyah serta sedikit referensi yang diambil dari Arus Balik-nya pak Pram, penulis tidak akan menjustifikasi keabsahan satu model untuk kemudian mengkafirkan model dakwah lainnya yang tidak memiliki sifat adaptif. Tentang judul makalah ini, sengaja penulis mengambil sedikit konsepsi pemikiran Michael Foucault, salah satu pengkaji mengenai postmodernisme. Arkeologi dan geneologi adalah, menurut Foucault, hal yang digunakan sebagai sebuah alat perkara terhadap berkembangnya fenomena pengetahuan. Dengan
melacak bagaimana pengetahuan itu telah beroperasi dan
mengembangkan diri selama ini Kategori-kategon konseptual macam "kegilaan", "seksualitas", "manusia", dan sebagainya yang biasanya dianggap "natural" itu sebetulnya
adalah
situs-situs
mekanisme-mekanisme
dan
produksi aparatus
pengetahuan, kekuasaan;
yang
membawa
kekuasaan
untuk
"mendefinisikan" siapa kita. Ilmu-ilmu sosial dan ilmu kemanusiaan adalah agenagen kekuasaan1 itu. Dan kendati kekuasaan itu tidak selalu negatif-repressif melainkan juga positif-produktif (menciptakan kemampuan dan peluang baru), toh secara umum ia memaksa kita memahami kemodernan bukan lagi sebagai pembebasan, melainkan sebagai proses kian intensif dan ekstensifnya pengawasan (surveillance), lewat "penormalan", regulasi dan disiplin (I, Pierre Riviere...; Discipline and Punish; Power/ Knowledge).2
Berangkat
dari
teori
menggugat
pengetahuan
gaya
postmodernisme Foucault ini, penulis menempatkan dakwah sebagai 1 Kekuasaan adalah soal praktik-praktik konkrit yang lantas menciptakan realitas dan pola-pola perilaku, memproduksi wilayah objek-objek pengetahuan dan ritual-ritual kebenaran yang khas. Praktik-praktik itu menciptakan norma-norma yang lalu direproduksi dan dilegitimasi melalui para guru, pekerja sosial, dokter, hakim, polisi dan administrator, misalnya. Kekuasaan mewujudkan diri dalam pengetahuan, tetapi pengetahuan pun lantas melahirkan kekuasaan. 2 I. Bambang Sugiharto, Foucault dan Postmodernisme, Makalah mengajar mata
kuliah Filsafat di Universitas Parahyangan, Bandung. 5
salah satu objek pengetahuan yang akan ‘digugat’ melalui berbagai metodologi pada nantinya. Penggunaan dekonstruksi lebih mengarah pada konsepsi dakwah konvensional yang hari ini cenderung kurang begitu efektif. Ada dekonstruksi, kemudian mengalami rekonstruksi untuk mencapai ketepatan penggunaan dan kecerdasan bersikap. Demikian dialektika dakwah harus berjalan. B. Tentang Sosiologi dan Antropologi Suatu organisme akan bertambah sempurna apabila bertambah kompleks dan dengan adanya diferensiasi antara bagian-bagiannya. Hal ini berarti adanya fungsi yang lebih matang antar bagian-bagiannya. Hal ini berarti adanya organisasi fungsi yang lebih matang antara bagianbagian organisme tersebut, dan integrasi yang lebih sempurna pula. Secara Evolusioner, maka tahap organisme tersebut akan semakin sempurna sifatnya. Dengan demikian maka organisme tersebut ada kriterianya yakni kompleksitas, diferensiasi, dan integrasi. Kriteria mana akan dapat diterapkan dalam masyarakat. Evaluasi sosial dan perkembangan sosial pada dasarnya berarti bertambahnya diferensiasi dan integrasi, peningkatan pembagian kerja, dan suatu transisi dari keadaan homogen ke keadaan yang heterogen. Demikian kurang lebih Herbert Spencer (1820-1903) memberikan ulasan mengenai sosiologi. Sedikit memberikan gambaran mengenai sosiologi, sedikit pula mengutip apa yang pernah penulis baca di salah satu karya terbaiknya bapak sosiologi, Auguste Comte (1798-1857), bahwa menurutnya setidaknya ada dua hal mendasar ketika mendefinisikan mengenai sosiologi, yakni sosiologi sebagai social statistics sosiologi merupakan sebuah ilmu yang mempelajari hubungan timbal balik antara lembagalembaga kemasyarakatan dan sosiologi sebagai Social dynamics meneropong bagaimana lembaga-lembaga tersebut berkembang dan mengalami perkembangan sepanjang masa.
Pertama, sosiologi sebagai social statistic memberikan gambaran jelas bahwa sosiologi merupakan satu pisau analisis untuk mengetahui pola relasi serta efek relasi antar lembaga-lembaga sosial. Ada beberapa catatan penting dalam hal ini, bahwa relasi antar lembaga sosial merupakan titik tekan utama dalam upaya membedah mengenai sosiologi. Tentang bagaimana masing-masing lembaga sosial ini berkomunikasi hingga membangun pola sosial tertentu. Koneksi lembaga sosial akan menjadi penting mengingat melalui koneksi, dengan model apapun, dapat diketahui tentang fungsi kedua sosiologi, sebagai social dynamics untuk membedah perjalanan lembaga sosial dalam pasang surutnya menghadapi pola sosial yang terbangun. Inti dasarnya demikian mengenai sosiologi, dalam hal ini, penulis tidak ingin membedah secara lebih alam mengenai sosiologi, karena penulis yakin, membedah secara panjang tentang sosiologi berarti akan pula terlibat dalam konflik teori sosiologi yang terkadang berbenturan. Penulis hanya mengambil sedikit teori sebagai pisau analisis untuk membedah grand theme yang akan dibedah nantinya. Kemudian, ada sedikit tambahan mengenai sosiologi, tentang bidang apa saja yang menjadi lahan dalam kajian sosiologi, pada wilayah mana sosiologi menancapkan taringnya untuk ambisinya membedah koneksi lembaga sosial dan analisis perkembangan lembaga sosial. Catatan Emile Durkheim (penulis The Elementary Form of Religion Life dari Prancis), yang juga diklaim sebagai bapak sosiologi, membagi wilayah garap sosiologi dalam tujuh kategori, yakni sosiologi umum yang mencakup kepribadian individu dan kelompok manusia, sosiologi agama, sosiologi hukum dan moral yang mencakup organisasi politik, organisasi sosial, perkawinan dan keluarga, Sosiologi tentang kejahatan, Sosiologi ekonomi, demografi yang mencakup masyarakat perkotaan dan pedesaan, dan sosiologi estetika.
7
Kemudian, dalam hal ini, dari sekian banyak para sosiolog, penulis akan
mengambil
teori
Auguste
Comte
tentang
tiga
tahapan
perkembangan pemikiran manusia sebagai pisau analisis sosial yang akan digunakan sebagai alat bedah grand theme makalah ini, sedikit penjelasan mengenai tahapan perkembangan pemikiran manusia, bahwa Comtee memandang pikiran manusia sebagai titik tolak awal pergeseran tatanan sosial, berangkat dari pemikiran manusia, perkembangan sosial dan budaya masyarakat terbentuk. Dari kerangka dasar ini, kemudian ia membagi pemikiran manusia kedalam tiga tahapan pemikiran. Yang pertama adalah tahapan pemikiran teologis, pada tahapan ini, masyarakat (atau individu dalam masyarakat) beranggapan meletakan setiap benda yang ada bersifat sama dengan manusia, memiliki esensi, eksistensi jiwa dan kekuatan. Manusia beranggapan benda-benda tersebut, dengan masing-masing eksistensi serta unsur yang berbeda, digerakan oleh kekuatan besar yang posisinya berada beberapa tingkat diatas kemampuan kekuatan manusia, kekuatan ini bergerak sebagai unsur penyebab tergeraknya alam semesta. Kedua, Comte memberikan penjelasan mengenai tahapan pemikiran yang ia sebut sebagai tahapan metafisis, pada tahapan ini manusia masih percaya adanya gejala-gejala alam yang disetting oleh kekuatan besar yang berada diatas manusia, meskipun pada beberapa sisi sosial, tahapan pemikiran genre kedua ini telah terjadi pergeseran kearah lebih maju. Ketiga, adalah tahapan sosial yang membawa manusia menuju zaman pencerahan, yakni tahapan rasional/positif, dimana disini, menurut Comtee, merupakan awal mula terbentuk dan berkembanganya ilmu pengetahuan sebagai awal pencerahan menuju kemerdekaan berfikir. Setelah tercipta tatanan sosial di masyarakat, sebagai tolak ukur
dari maju mundurnya tatanan tersebut dapat dilihat dari peradabannya, lebih spesifiknya lagi, budayanya. Sehingga dalam hal ini, akan menjadi hal yang tidak terpisahkan ketika berbicara mengenai sosiologi akan berkaitan erat dengan antropologi, sebagai representasi ilmu budaya, yang sederhananya dapat dikatakan sebagai konsekuensi logis atas relasi lembaga-lembaga sosial. Antropologi, meskipun didalamnya juga mengkaji tentang unsur lain, menempatkan budaya pada bahasan utama yang paling strategis untuk diperbincangkan. Tentang kajian lainnya secara luas, baik sosiologi ataupun antropologi, dalam makalah ini tidak akan dijelaskan luas mengenai hal ini, karena kedua konsentrasi pengetahuan ini hanya akan digunakan sebagai pisau analisis yang akan digunakan sebagai media mengupas persoalan dakwah ditengah pergeseran tatanan masyarakat dari berbagai sisi. Pembatasan dalam makalah ini, pergeseran lebih ditekankan dalam wilayah sosial dan antropologis, khususnya budaya dan agama. C. Multikulturalisme di Indonesia Indonesia consisted of many islands, tribes, customs and traditions, cultures, and several kinds of religion. Their diversity, like “zamrud of khatulistiwa” and “mutu manikam” decorated Indonesian Archipelago, and God has granted to be given to Indonesian people. Indonesia as a nation which is daily life relied on divinity and humanity always strove for the attainment of implementing and understanding of religion tenet according to their belief and faith without any threat and compulsion from others. Since Indonesia has existed and liberated, Bhinneka Tunggal Ika is a symbolization of Indonesian’s integrity and it is brought on unity to them. Most of Indonesians are moslems, then it is natural if their life can not be separated from Islamic values which pervaded and covered every part of life. This is kind of materialization
9
that should be perpetuated. (Picktchall, 1993: 26-29). Di negara-negara dengan penduduk yang besar dan kompleks, seperti Indonesia dan Amerika Serikat, kenyataan multikultural adalah suatu keniscayaan yang tidak bisa ditolak keberadaannya, perbedaan dalam tatanan sosial adalah keniscayaan. Perbedaan dalam keyakinan, adat-istiadat, ras hingga perbedaan pada hal yang sifatnya prinsipil mengarahkan tatanan sosial pada kenyataan multikulturalisme. Sehingga ada sedikit problem apabila ada analisis yang mendalam mengenai berbagai hal, yakni tidak berlakunya konsep universalitas atau genarilisir persoalan sebagai pengejawantahan kebersamaan dalam perbedaan. Terlepas dari itu, bahwa dengan anugerah multikuturalisme di Indonesia khususnya, penyikapan sosial terhadap ini memerlukan rumusan baru yang berdasarkan atas kenyataan seperti ini, dimana rumusan ini harus dapat mewakili kepentingan berbagai lembaga sosial yang ada di masyarakat tanpa mengalienasi satu dan mendominasikan yang lain. Teori tirani minoritas dan dominasi mayor akan lebih bijak apabila tidak diterapkan. Kenyataan munculnya perbedaan didalam sistem sosial, membuat komunikasi lembaga-lembaga sosial yang ada harus menemukan bentuk koneksi yang tepat, karena biasanya perbedaan yang ada adalah hal yang prinsipil dalam lembaga sosial tersebut. Misalnya perbedaan dalam beragama dan berkeyakinan, perbedaan adat istiadat atau bahkan perbedaan warna kulit (rasdikriminasi/apartheid). Hal-hal yang prinsipil semacam ini, adalah sangat rawan konflik, apalagi biasanya, perbedaan pandangan dalam hal prinsip, individu dalam komunitas akan lebih militan dalam mempertahankan keyakinannya serta menyatakan vonis salah terhadap keyakinan yang lain. Kondisi ini apabila disulut, akan membuat konflik besar, dan unintendid consequence yang muncul selanjutnya adalah perpecahan.
Untuk menjaga perpecahan, solusi atas setiap problem sosial yang muncul harus mendapatkan perhatian khusus yang ditimbang dari kepentingan umum yang mewakili semua lembaga sosial yang ada tanpa memberatkan yang satu dan mempermudah yang lain. Semua golongan harus terayomi secara penuh. Akar
kata
multkulturalisme
adalah
kebudayaan.3
Secara
etimologis, multikultiuralisme dibentuk dari kata multi (banyak), kultur (budaya), isme (lairan atau paham). Secara hakiki, dalam kata itu terkandung penagkuan akan martabat manusia yang hibup dalam komunitasnya dengan kebudayaannya yang unik. Dengan demikian, setiap individu merasa dihargai sekaligus merasa bertanggung jawab untuk hidup bersama komunitasnya. Pengingkaran suatu masyarakat terhadap kebutuhan untuk diakui (Politics of Reccognition) merupakan akar dari segala ketimpangan dalam berbagai bidang kehidupan. Penegertian
para
ahli
tentang
kebudayaan
harus
di
persamamakan atau, setidak-tidaknya, tidak dipertentangkan antara satu konsep yang dipunyai oleh oleh lainnya. Karena multikulturalisme itu adalah sebuah idiologi dan sebuah alat atau wahana untuk meningkatkan derajat manusia dan kemanusiaanya, maka kebudayaan harus dilihat dalam perspektif fungsinya bagi kehidupan manusia. Kenyataan multikulturalisme di Indonesia memang sangat rawan konflik, dapat disaksikan mengenai persetruan panjang antara Suku Madura dengan Suku Dayak di Sampit, Kalimantan, perang antar agama di Ploso, Perang desintegrasi di Maluku, Aceh dan Papua serta sederet konflik lainnya atas nama multikulturalisme. Dampak nyatanya, sebagaimana pernah terjadi di tahun 1999, desintegrasi bangsa menjadi jawaban yang paling tepat dalam hal ini. 3Lihat dalam makalah Parsudi Suparlan.”Menuju Masayrakat Multikultural”, dalam symposium international bali ke-3, Jurnal Antropologi Indonesia, Denpasar Bali, 16-21 Juli 2002
11
Timor Timur (ketika masih bergabung dengan Indonesia) memisahkan diri dan membentuk sistem pemerintahan sendiri. Demikian pula yang sedang menyerukan kemerekaan atas diri mereka di Papua ataupun Maluku. Perbedaan lain, di negara bangsa Indonesia terkait dengan tema ini, adalah ketika memperbincangkan mengenai agama dan kepercayaan yang sangat berragam. Kenyataan banyaknya agama memungkinkan runcingnya hubungan antar beragama. Sehingga dalam jauh waktu kedepan, agresi antar agama kemungkinan menjadi kenyataan yang tidak dapat dielakkan karena pada dasarnya, apabila melihat sejarah antropologis, peran agama menjadi hal yang paling prinsipil dan paling sensitif untuk disentuh. D. Kritik Atas Konsep Dakwah Konvensional Setidaknya ada beberapa konsep dakwah konvensional yang sering kali dapat disaksikan dalam kenyataan riil dilingkungan masyarakat Indonesia, misalnya dialogis, pengajian, pendidikan dan dakwah dengan tinakan. Namun, sebagaimana digambarkan pada pendahuluan diatas, berbagai cara dapat dilakukan dalam upaya dakwah di masyarakat, namun ketidakberhasilan terkadang menjadi hal yang biasa terjadi, kekuarangefektifan model dakwah, berpengaruh kuat terhadap sistem sosial yang terjadi, sehingga seiring dengan pergeseran tatanan sosial, maka seharusnya bergeser pula model dakwah sesuai dengan konteks zaman yang sedang berjalan. Karena, lagi-lagi jabatan tinggi dalam sistem sosial bukan merupakan jaminan, kecerasan tinggipun bukan berarti berbanding lurus dengan keberhasilan dakwah, kealiman yang khusu’ juga bukan berarti menjadi penyokong utama keberhasilan upaya penyebaran agama serta mungkin kekayaan yang banyak tidak dapat diartikan menjadi hal yang
paling mungkin masyarakat dapat dicerdaskan. Oleh sebab itulah, perlu ada semacam internal correct dari dalam diri masing-masing pihak yang terkait dengan aktivitas dakwah, tidak semua yang dilakukan atau yang dimiliki menjai jawaban riil atas kebutuhan spiritual publik. Apa yang sekiranya masih kurang, apa yang masih dapat disempurnakan, pada sisi mana yang kurang dan pada ruangan mana suatu konsep ditempatkan. Pada wilayah eksternal, kekejaman antar dai juga sering kali muncul, misalnya telah tersebar berita akhir-akhir ini, bahwa banyak di antara para ahli ilmu dan para praktisi dakwah yang melakukan cercaan terhadap saudara-saudara mereka sendiri, para dai terkemuka, mereka berbicara tentang kepribadian para ahli ilmu, para dai dan para guru besar. Mereka lakukan itu dengan sembunyi-sembunyi di majlis-majlis mereka. Adakalanya itu direkam lalu disebarkan ke masyarakat. Ada juga yang melakukan dengan terang-terangan pada saat kajian-kajian umum di masjid. Cara ini bertolak belakang dengan apa yang telah diperintahkan oleh Allah dan RasulNya. Ini merupakan pelanggaran terhadap hak privasi sesama muslim, bahkan ini terhadap golongan khusus, yaitu para penuntut ilmu dan para dai yang telah mengerahkan daya upaya mereka membimbing dan membina masyarakat, meluruskan aqidah dan manhaj mereka, bersungguh-sungguh dalam mengisi sebagian kajian dan ceramah, serta menulis buku-buku yang bermanfaat. Bahwa perbuatan ini bisa merusak hati masyarakat awam dan golongan khusus, bisa menyebarkan dan menyuburkan kebohongan dan isu-isu sesat, bisa menjadi penyebab banyaknya menggunjing dan menghasud serta membukakan pintu-pintu keburukan bagi jiwa-jiwa yang cenderung menebar keraguan dan bencana serta berambisi mencelakakan kaum mukminin secara tidak langsung. Bahwa banyak pernyataan dalam hal ini yang ternyata tidak ada
13
hakikatnya, tapi hanya merupakan asumsi-asumsi yang dibisikkan setan kepada para pengungkapnya. Hasil ijtihad sebagian ulama dan penuntut ilmu dalam perkaraperkara yang menuntut ijitihad, maka pencetusnya tidak dihukum dengan pendapatnya jika ia memang berkompeten untuk berijtihad. Jika ternyata itu bertentangan dengan yang lainnya, maka seharusnya dibantah dengan cara yang lebih baik, demi mencapai kebenaran dengan cara yang paling cepat dan demi mejaga diri dari godaan setan dan reka perdayanya yang dihembuskan di antara sesama mukmin. Jika itu tidak bisa dilakukan, lalu seseorang merasa perlu untuk menjelaskan perbedaan tersebut, maka hendaknya disampaikan dengan ungkapan yang paling baik dan isyarat yang sangat halus. Tidak perlu menghujat atau menjelek-jelekkan, karena hal ini bisa menyebabkan ditolak atau dihindarinya kebenaran. Disamping itu, tidak perlu menghujat pribadi-pribadi tertentu atau melontarkan tuduhan-tuduhan dengan maksud tertentu, atau dengan menambahnambah perkataan yang tidak terkait.4 Kutipan diatas, menurut referensi itu tidak akan gunakan sebagai kritik, namun penulis menggunakan kritik yang dilontarkan oleh Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz sebagai alat kritik, atau meminjam istilahnya Ibn Rusyd (Avverous) sebagai Kritik atas Kritik. Adalah kurang begitu efektif hari ini apabila model dakwah yang digunakan hari ini masih sama seperti apa yang dilakukan Nabi, Sahabat, thabi’in, tabi’in tabi’in atau dizaman pasca itu. Tatanan masyarakat hari ini telah bergeser, dari yang pada awalnya masih primitif hingga sekarang yang masyarakat telah tidak hanya mengenal peradaban, tetapi bahkan menciptakan peradaban baru, sehingga akan lebih tepat dan efektif apabila model yang selama ini digunakan sebagai media dakwah akan lebih baik ketika diadakan penelitian ulang (evaluation) agar benar-benar 4 Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, Metode Koreksi Antar Dai, http://www.almanhaj.co.id, Senin, 12 April 2004 10:36:29 WIB
efektif dalam penerapannya. E. Dalil Aqli dan Point of View Auguste Comtee, pada keterangan diatas memberikan penjelasan ringkas mengenai perkembangan pemikiran manusia, yakni teologis, mistisism dan positivism. Ini mungkin akan tepat apabila digunakan sebagai pisau analisis penjelasan dalam catatan ini. Pertama masyarakat teologis, zaman ini dalam asumsi penulis berada pada kurun waktu jauh sebelum peradaban manusia menyentuh sebagai kekuatan pergeseran sosial. Masa ini, pendeknya, dapat dikatakan masa prehistory dimana masyarakat pada saat itu meletakan alam memiliki kekuatan yang tersembunyi dan digerakan oleh satu kekuatan yang lebih besar. Dalam catatan sejarah, animisme dan dinamisme pernah menjadi ajaran kepercayaan dan agama resmi yang menguasai belahan dunia, aliran kepercayaan terhadap kekuatan benda-benda alam yang dinilai sakral dan ajaran kepercayaan kelanggengan hidup dan penghormatan terhadap arwah leluhur menjadi agama yang berlaku dimana-mana, meskipun ketika berbicara mengenai ritus, masing-masing komunitas akan berbeda satu dengan yang lainnya, namun pada dasarnya tetap sama, yakni animisme dan dinamisme. Animisme dan dinamisme menjadi contoh terpenting gaya masyarakat teologis. Hal yang membuatnya adalah bahwa dinamisme cenderung menempatkan benda-benda sakral memiliki kekuatan yang tinggi yang mampu memberikan kekuatan tertentu kepada manusia, apabila tidak mendapatkan penghormatan, maka akan berbalik mencelakakan manusia. Pada era ini, apabila diterapkan di Indonesia, adalah zaman ketika agama Kapitayan menguasai nusantara di zaman suku Negrito menjadi
15
penduduk pertama nusantara jauh sebelum kedatangan imigran dari provinsi Yunan, Tiongkok Selatan. Logikanya, menghadapi masyarakat semacam ini, maka perlu trik khusus untuk memberikan masukan (dakwah) kepada mereka. Strateginya adalah, karena Islam adalah agama yang kompleks, maka tinggal bagaimana mengemas, sisi ritus Islam yang cenderung teologis mistis digunakan sebagai media agar mereka dapat masuk dalam ruangan Islam. Misalnya, disini konsep ijtihad tidak masuk, tetapi yang ‘laku’ di mereka adalah cerita-cerita tentang malaikat, jin dan syaitan, kisah Iblis dan berbagai perangkat gaib yang lain. Pada tingkatan pemikiran manusia yang kedua, yakni di zaman manusia mencapai tahapan pemikiran mistisisme, maka penerapan dakwahnya juga harus dikemas sedemikian rupa hingga dapat diterapkan di tengah-tengah komunitas yang dituju dengan mudah. Penulis, lagi-lagi akan mengasumsikan periode ini seperti zaman permulaan sejarah, dimana manusia telah mulai mengenal tulisan, mengenal peradaban, mengenal sistem sosial, menetap dan berhubungan satu dengan yang lain, namun mistisisme dan magician tetap masih ada dalam pemikiran alam sadar dan alam bawah sadar mereka. Contoh misalnya, mereka hampir sama dengan peradaban di zaman kerajaan-kerajaan kuno di nusantara, yang mereka telah beragama, namun ekspresi ritus keagamaan masih kental dengan suasana gaib. Kasusnya, seperti yang dapat disaksikan hari ini adalah Kristen Jawa dan Islam Jawa. Mereka telah memiliki agama, keyakinan kebenaran spiritual atas pencarian mereka, namun tradisi gaib masih mengikat mereka dalam tatanan sosialnya. Kepercayaan terhadap benda-benda bertuah, kepercayaan terhadap kekuatan gunung, kekuatan laut, batu besar dan pohon tua masih ada. Sedekah laut, dalam tradisi masyarakat Jogja di bulan Sya’ban
dapat dijadikan contoh. Nyadran yang kental dengan suasana mistis menjadi bagian yang tidak terelakan dari fenomena beragama. Satu sisi mereka telah beragama, namun pada sisi yang lain, kepercayaan terhadap jimat, keris, batu bertuah, tombak, batu besar, laut, gunung dan pohon besar masih diekspresikan melalui Sedekah Laut, Sedekah Gunung, Nyepuh dan lainnya masih menjai ritus yang sakral untuk mereka. Strategi dakwah yang digunakan kepada mereka adalah melalui pengenalan adanya kekuatan makhluk gaib yang berada di dunia, tentang kehidupan Jin, Iblis dan Malaikat, tentang masing-masing tugas mereka dan tentang bagaimana memberikan pernyataan sikap kepada makhluk halus. Ini jauh akan lebih bisa mereka terima dibandingkan apabila memperbincangkan mengenai kajian tafsir kitab suci. Terakhir, dalam pandangan Comtee, adalah Positivisme, dimana inilah tatanan pemikiran masyarakat yang paling dia idealkan. Disini perkembangan
pengetahuan
adalah
waktu
yang
paling
tepat.
Penggunaan logika sadar atas alam bawah sadar merupakan poin penting. Apabila dikaitkan dengan Indonesia, maka posisi ini adalah posisi para pengkaji, mahasiswa ataupun kaum cendekiawan. Dimana mereka akan
lebih
tertarik
untuk
memperdebatkan
wacana
keislaman
dibaningkan harus bercerita mengenai makhluk halus dan temantemannya. Strategi dakwahnya adalah dengan menggulirkan wacana ijtihad, pemikiran keagamaan dan pengembangan fiqh sosial. Itu sedikit penjelasan apabila menggunakan pisau analisis seperti yang dikenalkan oleh Comtee. Inti dari semua itu adalah, berdakwah harus melihat konteks masyarakat, siapa masyarakatnya, apa habitual action-nya, dari golongan mana, arah minatnya kemana hingga pada latar belakang keluarganya. Disamping hal itu, dalam teknisnya, penulis lebih menawarkan
17
model dakwah yang esensial (substansial) dibanding dengan konseptual formalis. Artinya, lebih dapat bermanfaat menggunakan media yang sedang up to date untuk berdakwah dengan konsep dakwah yang substansi dakwahnya terkemas dalam bingkai lain (implisit) dibanding secara terbuka. Sederhananya, dalam study kasus di masyarakat, apabila dakwah menggunakan media televisi, maka dakwah akan lebih mengena melalui cerita film yang dikemas dengan sarat pengetahuan keagamaan dan laku religius dibandingkan dengan hanya menonton tayangan ceramah live di televisi. F. Penutup Penulis harap ini mampu menjadi referensi, penulis sangat yakin bahwa ketidaksempuranan pada sisi penulisan ataupun konsep pemikiran menjadi bagian panjang makalah ini. Mohon maaf apabila ada kesalahan, semoga bermanfaat dan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu kami dalam study ini.
Referensi
19
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, Metode http://www.almanhaj.co.id, Senin, 12 April 2004 10:36:29 WIB
Koreksi
Antar
Dai,
Parsudi Suparlan.”Menuju Masayrakat Multikultural”, makalah dalam symposium international bali ke-3, Jurnal Antropologi Indonesia, Denpasar Bali, 16-21 Juli 2002 I. Bambang Sugiharto, Foucault dan Postmodernisme, Makalah mengajar mata kuliah Filsafat di Universitas Parahyangan, Bandung.