BAB III KONSTRUKSI SOSIO ANTROPOLOGIS ISLAM INDONESIA
Sejarah Sosial Manusia Indonesia Mempelajari sejarah, agaknya menjadi persoalan yang cukup banyak mendapatkan rintangan, bukan karena faktor keilmiahan atau ketidakilmiahan, melainkan lebih pada menepatkan perkiraan pada kejadian yang telah lewat melalui peninggalan-peninggalan arkeologis dengan berbagai spekulasi teori (speculative theory) yang berdasarkan pada perkiraan. Dampak yang kemudian timbul adalah, karena di dunia ini tidak hanya satu orang saja yang concern membahas histografi, tentunya ada banyak pula pendapat spekulatif yang dimunculkan, ada kalanya pendapat spekulatif antara satu ilmuwan dengan ilmuwan yang lain sama dan sealur, namun tidak sedikit pula yang berbenturan, dan sah-sah saja ketika salah seorang ilmuwan menganggap teori mereka yang paling benar atas teori yang lainnya. Taruhlah misalnya, ketika ditemukan fosil Pithecantropus Erectus di Sangiran, Eugene Debois mengatakan bahwa Pithecantropus Erectus adalah manusia tertua yang muncul di Indonesia. Eugene Debois mengatakan demikian dengan perkiraan bentuk fosil, letak di lapisan tanah, perkiraan umur, sampai perbandingan volume otak yang konon lebih kecil ukurannya dengan manusia zaman sekarang dan Homo Sapiens, Megantropus Palaeo Javanicus dan manusia purba sejenisnya yang pernah hidup di zaman prasejarah. Atau paling mudahnya, apakah untuk mengukur angka tahun masuknya Imigran besar-besaran gelombang pertama dari Provinsi Yunan, China Selatan pada Era 5.000 tahun sebelum masehi tepat perhitungannya atau hanya berdasarkan pada perkiraan semata. Ini mungkin, oleh beberapa sejarawan, akan dianggap datar dan pemahaman yang dangkal sekali,
tapi nanti kita buktikan bahwa ini merupakan sisi yang paling menarik dari mempelajari sejarah. Mungkin
agak
mudah
untuk
kemudian
melacaknya
menggunakan dalil analitik ilmiah dan rasional (dalam artian umum) untuk membahas persoalan sejarah yang “baru kemarin sore”. Masingmasing pendapat akan diperkuat dengan saksi dan bukti yang kuat atas teorinya itu. Dimana kemungkinan terjadi perselisihan teori akan dapat diminimalisir. Namun itu juga akan menjadi perdebatan sengit apabila masing-masing saksi yang diajukan memiliki pendapat yang berbeda atas motif tindakan sejarah yang dilakukan, atau penafsiran terhadap bukti sejarah, baik dokumentasi sejarah ataupun arkeologisnya, berbeda pada point tertentu yang menyebabkan mis tafsir. Kemudian, kalau kemudian sejarah ini dipelintir untuk kepentingan seseorang, suatu pihak, suatu golongan dan atau sejenisnya, maka yang kemudian terjadi adalah perdebatan sejarah pula. Ambillah contoh sederhana, misalnya kita menganalisis sejarah “baru kemarin sore” menggunakan model verstehende (meminjam metode pengumpulan data ala Max Weber), yakni metode mengumpulkan data dengan melihat motif subjektif atas tindakan sosial oleh pelaku tindak sosial tersebut. Artinya, misalnya terjadi tindak konfrontatif antara satu pihak dengan pihak lain tentunya juga akan mengalami perbenturan teori konflik umum yang dimunculkan karena masing-masing pihak yang terkait dengan laku sosial tersebut mengklaim kebenaran atas teori yang diusungnya tersebut, dan karena metode ini berlandaskan atas unsur subjektifitas pelaku tindak sosial tersebut, maka tentunya tidak akan ada titik temu, dan yang terjadi lagi-lagi kontroversi sejarah. Contoh misal, konfrontasi sejarah antara Prof. Dr. Ing. B.J. Habibie dengan Prabowo soal tragedi 1998 yang didalamnya juga membawa nama-nama seperti Wiranto, Soeharto dan pejabat tinggi setingkatnya yang terkait dengan tragedi tersebut
beberapa waktu yang lalu. Konflik sejarah ini jelas melahirkan suasana keilmuan sejarah yang tidak sehat, tidak ada garis besar yang dapat dijadikan patokan sejarah karena masing-masing versi akan mengunggulkan versi teorinya dan menganggap teori lain yang muncul sebagai counter part atas versinya dinyatakan salah dan tidak berdasarkan pada fakta sosial yang terjadi. Namun, itu justru yang membuat sejarah menarik untuk dibahas, dimana dengan sejarah tersebut (maksudnya konfrontasi sejarah) justru akan semakin mencerdaskan masyarakat melalui konflik. Masyarakat dicerdaskan dengan konflik. Seperti tokoh dan guru bangsa Gus Dur (KH. Abdurrahman Wahid) yang menurut beberapa penuturan dari aktivis muda hari ini dianggap tokoh yang paling aktif mencerdaskan masyarakat dengan konflik. Yang selalu mengambil “jalan lain” dari pemahaman universal, dan justru dengan itu, menurut pendapat tersebut, masyarakat akan lebih dicerdaskan dengan pembacaan atas realitas sosial yang kritis. Ada dua prakondisi (kondisi objektif) menurut Dr. I Gde Widja1 dalam mempelajari sejarah, dua prakondisi ini memberikan warna tersendiri dalam mempelajari sejarah. Pertama, perlu adanya upaya terus menerus untuk meluruskan sejarah yang sekarang cenderung banyak terjadi ‘pemitosan’ sejarah. Kedua, karena tiap generasi memiliki tantangan yang berbeda serta kondisi yang berbeda pula, maka diperlukan, bagi generasi baru (dalam mempelajari sejarah) dialog yang intensif dengan generasi lama. Kemudian, mengutip apa yang dikatakan oleh Soekarno, “Jangan sekali-sekali melupakan sejarah”2. Ini mengandung artian yang dalam dalam pemahaman orang-orang tertentu, bahwa itu tidak 1 I Gde Widja, Menuju Wajah Baru Pendidikan Sejarah, Laperda Pustaka Utama, Yogyakarta, 2002 hal. 10-11 2 Wijanarka, Soekarno dan Desain Rencana Ibu Kota RI di Palangkaraya, Ombak, Jogjakarta, 2006, hal. 11
hanya dimaknai datar saja melainkan ada ‘sesuatu’ yang ingin disampaikan Soekarno, yakni pemahan atas perputaran arus konflik sosial. Bukan berarti dengan jangan melupakan sejarah, Bung Karno ingin terus dikenang sebagai Panglima Besar, presiden pertama RI, Proklamator dan sederet jabatan dan gelar lain yang diperolehnya melainkan, Menggunakan pemahaman kaum evolusionisme vulgar (materialisme mekanis, dalam pendapat Mao Tse Tung) bahwa konflik sosial yang telah terjadi akan terus terjadi pada masa-masa selanjutnya, dengan perputaran konflik tertentu, bahwa kejadian yang telah terjadi pada masa lampau akan terjadi lagi pada masa yang akan datang, perbedaan yang terjadi tersebut hanya pada kuantitas dan kualitas konflik saja, namun tidak merubah esensi konflik secara garis besarnya. Pada titik pemahaman inilah, bahwa sejarah akan terus berputar, apabila telah mengalami tingkatan konflik dengan jenis konflik tertentu, maka akan berputar lagi pada konflik pertama yang telah terjadi sebelumnya, perbedaan hanya pada tingkatan kuantitas dan kualitas konfliknya saja. Misal saja, pada zaman pra sejarah telah terjadi peperangan untuk merebut kekuasaan, maka hari inipun terus terjadi hal yang sama, perbedaan hanya pada kualitas dan kuantitas perebutan kekuasaan itu. Kalau pada zaman dahulu orang berperang adu fisik untuk mendapatkan kekuasaan atas orang lain atau publik. Maka hari ini peperangan kekuasaan tersebut diekspresikan dalam bentuk pertarungan antar partai atau golongan untuk mendapatkan kekuasaan publik dan individu. Demikan halnya terjadi pada konflik dasar sosial yang lainnya yang terus berputar seiring dengan perputaran peradaban dan tata sosial di tengah-tengah masyarakat kita hari ini. Kembali pada persoalan ilmu sejarah dan hal lain yang terkait dengan itu, bahwa apabila seseorang melakukan suatu tindakan, maka
hal yang akan terjadi adalah intended qonsequences, yakni dampak yang ditimbulkan atas perilaku tindak sosial. Atau secara sederhananya adalah konsekuensi dari apa yang dilakukan, tujuan atau misi yang hendak didapatkan dari perencanaan dan tindakan dari laku yang diperbuat. Selanjutnya, intended qonsequences lebih menuju pada hal positif yang dituju (tujuan pokok yang hendak didapatkan) dan atau sebaliknya, kegagalan yang akhirnya mendapatkan hawa konflik sosial yang baru. Maksudnya bahwa intended consequences adalah dapat berupa tujuan dari misi laku yang diperbuat atau justru dampak negatif dari
tindakan
tersebut
sebagai
ekspresi
kegagalan
atau
ketidaksempurnaan dari tindak laku yang diperbuat tersebut. Disinilah
yang
akan
menciptakan
sejarah,
intended
consequences baik positif atau negatif akan mengarahkan pelakunya menjadi tokoh sejarah yang akan membuat sejarah baru dalam dinamika sosial. Ada kalanya itu akan menjadi bagian terpenting sejarah yang dicatat dalam sejarah nasional sebagai tindakan yang menyangkut kepentingan publik secara luas, namun adakalanya juga hal tersebut justru hanya menjadi pelengkap atau bahkan sama sekali tidak berpengaruh luas kepada publik secara keseluruhan hanya karena hal tersebut tidak terlalu berpengaruh dalam ranah publik secara luas. Artinya, semua itu tergantung dari besar kecilnya intended consequences terhadap kepentingan publik secara luas, kalu besar berarti akan menjadi sejarah besar, namun apabila kecil maka akan menjadi sejarah yang dikonsumsi oleh pelaku perbuatan tersebut. Lalu kemudian, kita juga harus membaca pada sisi lain tentang proses terbentuknya konflik sosial yang mampu menyeret masyarakat secara keseluruhan terhadap konflik tersebut, yakni membaca pada sisi analitis atas motif subjektif yang mendasari seseorang atau beberapa orang terjun dalam konflik sebagai pelaku utama
(verstehende),
atau
dapat
pula
keharusan
membaca
kecenderungan secara umum terhadap tindak pelaku tersebut dalam dataran
objektifitas
dan
keumuman
yang
khas
(generalisir/universalisasi konflik). Apa sebenarnya yang menjadi dasar seseorang, pada ranah subjektif, atas tindakannya dalam melakukan laku sosio individual dan apa pula pandangan publik secara umum dalam memberi respon atas laku sosial ini. Sebelum sampai pada titik lain, juga akan lebih bijak ketika kita kemudian harus membaca dulu pada lingkup unintended consequences, yakni munculnya
atau terjadinya akibat tak
diperhitungkan dari tindakan yang dilakukan terhadap suatu susunan kehidupan, baik tindakan-tindakan itu direncanakan sesuai planning ataupun justru tanpa perencanaan sama sekali. Sebagai contoh sederhana dari munculnya unintended consequences adalah terjadinya apa yang kita sebut sebagai “Tragedi Mei 1998”. Dengan perencanaan matang untuk menggulingkan penguasa otoriter Orde Baru, yang memang menjadi tujuan bersama element gerakan mahasiswa, gerakan ormas sampai gerakan
yang melembaga non formal. Namun,
unintended consequences akan menggambarkan sisi lain dalam analisis subjektif dalam menganalisis sesuatu. Misalnya, salah satu element gerakan mahasiswa di Jogjakarta yang banyak memberi kontribusi pemikiran yang memang matang pada medio mei 1998, ditengah gempar-gemparnya isu
menggulingkan presiden Soeharto, aktivis
tersebut banyak kemudian yang menelorkan teori-teori dan kajiankajian baru soal demokrasi, people power, kekuasaan rakyat, pemerintahan pro poor, anti kekerasan dan diskirminasi etnis. Sederhananya, dari sampel tersebut, intended consequences dari tragedi Mei 1998 adalah turunnya Soeharto dan tumbangnya rezim Orde Baru, sedangkan unintended consequences yang ditimbulkan adalah, bergemanya wacana pembebasan, demokrasi dan berdirinya elemet atau organisasi massa yang bergerak di bidang pemberdayaan
masyarakat, pembebasan sosial, dan organisasi-organisasi pergerakan lainnya yang senada dengan itu. Pentingnya pembahasan mengenai unintended consequences lebih pada karena unintended consequences akan memberikan dampak yang mendalam terhadap alur sejarah yang sedang berjalan. Memberikan kontribusi terhadap perjalanan sejarah, karena unintende consequences adalah juga merupakan proses sejarah dari konsekuensi logis terjadinya point sejarah. Selanjutnya, dalam subbab ini, penulis hendak merangkum perjalanan sejarah nusantara secara kronologis sebagai pijakan dasar untuk mengetahui secara genealogis dan antropologis perjalanan nusantara, baik dalam wilayah intended consequences ataupun unintended consequences. Catatan sejarah banyak mengungkapkan mengenai teori sejarah yang banyak bergulir dan malang melintang sebagai pisau analisis
untuk
menggambarkan,
mendeskripsikan,
menemukan
kepastian dan menentukan unintended consequence dari perjalanan sejarah sendiri. Pada awal abad 20an misalnya, catatan-catatan Georges Dumezil, Claude Levi Strauss dan Jacques Lacan adalah buku-buku yang dijadikan sandaran teori di eranya. Tidak heran kalau banyak para pengkaji yang menempatkan nama-nama diatas sebagai tokoh penting melalui karya intelektualnya. Tak heran pula, berbicara mengenai sejarah, institusi semacam Cambridge’s Schools dan Soviet’s School juga memiliki peran aktif dalam tiap riset sejarahnya. Didukung pula tokoh ilmuwan lain seperti Fernand Braudel, Francois Furet, Denis Richet dan Immanuel Le Roy Ladurie. Membaca fenomena diatas, untuk menemukan pisau analisis yang tepat dalam analisis sejarah, terlepas dari metodologi yang dimunculkan sebagai akibat dari keberadaan teori sejarah, perlu
menentukan dengan tepat. Banyaknya teori yang ada membuat public sering mengalami kebingunan, terutama dalam keputusannya dalam menentukan teori sejarah yang digunakan. Dalam hal ini, sebagai pisau analisis dasar dalam menentukan teori sejarah dan tepatnya sebagai pisau analisis. Penulis menggunakan teori sejarah yang digulirkan oleh Michel Foucault dalam bukunya tentang arkeologi dan genealogi, yang berjudul Les Motss et les choses (The Order of Things). Berikut penulis cantumkan pernyataan dari Michel Foucault yang kemudian menjadi salah satu alasan penulis untuk menjadikan teori sejarahnya Michel Foucault sebagai pisau analisis sekaligus gerak alur sejarah. “Saya kira sejarah sudah menjadi objek sakralisasi yang aneh bagi banyak intelektual. Jarak, keterbukaan dan penghargaan konservatifnya, bagi sejarah merupakn jalan yang paling sederhana untuk menggabungkan kesadaran politik dengan riset atau aktivitas menulis mereka. Dibawah tanda pertentangan sejarah, semua wacana berubah menjadi doa terhadap tuhan, penyebab segala sesuatu. Muncul juga alasan yang lebih teknis. Seseorang harus mengakui bahwa dalam bidang seperti lingistik, etnologi, sejarah, agama dan sosiologi, konsep-konsep yang disusun abad 19 dan masuk dalam kategori
dialektika,
sesungguhnya
banyak
yang
sudah
tidak
digunakan. Sekarang dalam pandangan beberapa orang, sejarah sebagai sebuah disiplin ilmu membentuk satu perlindungan terakhir dari
pola
dialektika.
Dimana
melalui
sejarah
orang
bisa
menyelamatkan berkuasanya kotradiksi rasional”. Lebih lanjut dia berkata, “Banyak intelektual yang mampu mempertahankan dengan sungguh-sungguh, untuk dua alasan tersebut diatas,
dan melawan segala kemungkinan yang mungkin muncul,
suatu konsepsi sejarah yang diatur diatas model naratif sebagai bagian peristiwa besar yang turut serta dalam hierarki ketentuan (determinasi). Individu-individu terjebak dalam totalitas yang
melampaui dan meremehkan meraka, tetapi barangkali pada saat yang bersamaan, mereka menjadi pengarang dadakan. Jadi, bagai beberapa orang, sejrah, baik sebagai proyek individu maupun sebgai satu totalitas, menjadi sesuatu yang tak terjangkau. Mereka menolak pernyataan bahwa bentuk sejarah asertif aka nada untuk menyerang penyebab terbesar revolusi”3 penghuni asli kepuluan nusantara adalah berasal dari suku Negrito dan Weda. Kedua suku besar ini mendiami nusantara dari ujung barat Sumatera hingga ujung timur papua. Ciri fisik dari ras sub-negroid ini adalah bertubuh pendek, berambut kriting, kulit hitam dengan badan kekar, hampir sama dengan ras negroid hanya saja suku negrito dan weda bertubuh lebih pendek. Tentang asal darimana sebenarnya Kedatangan suku Weda dan Negrito berasal, sampai hari ini masih menjadi perdebatan panjang, pasalnya, apabila melihat dari bukti arkelogis yang ditemukan oleh Eugene Dubois di Trinil dan Sangiran, berupa Pithecantropus Erectus dan Megantropus Palaeo Javanicus, diperkirakan sekitar 500.000 hingga 1 juta tahun yang lalu, sekitar zaman glacial wurm, kepulauan nusantara telah dihuni oleh manusia. Pendapat ada yang mengatakan bahwa kedua suku bangsa ini merupakan suku turunan dari penyebaran ras negroid di seluruh penjuru dunia, seperti suku Aborigin di Australia, suku Indian di Amerika dan sebagainya, maka dimungkinkan, suku Negrito dan Weda yang ada di nusantara merupakan ras turunan dari mereka yang mengembara mencari penghidupan baru dengan pengembaraannya. Pendapat lain menyebutkan, bahwa ras negroid yang ada telah melakukan perkawinan silang dengan ras mongoloid sehingga bentuk tubuhnya hampir sama besarnya dengan ras mongoloid meskipun kontur fisiknya serupa dengan orang-orang negroid. Tepatnya, ras 3 Michel Foucault, Pengetahuan dan Metode, Karya-karya Penting Foucault, Jalasutra, Bandung, 2009, hal. 76
mongoloid yang dimaksud disini adalah suku Qunlun, pecahan ras Mongoloid yang mengembara dan bertemu dengan ras Negroid, dari suku Polinesia4. Sebelum sampai jauh, agar pembahasannya dapat mengalir dan meruntut, ada baiknya apabila pembahasannya dimulai dari perkembangan zaman yang pernah ada. Secara umum, para scientist memberikan pembagian babakan sejarah dengan tiga periode besar, yakni Zaman Prasejarah, Zaman Proto Sejarah dan Zaman Sejarah. Masing-masing pembagian babakan waktu ini ditentukan berdasarkan dengan tingkat pengetahuan dan kemampuan masing-masing koloni mengembangan koloninya dengan sistem yang baru.
Kemampuan
pengembangan sosial teknologi masing-masing koloni berbeda antara yang satu dengan yang lainnya, perbedaan ini disebabkan karena problem internal yang dihadapi dalam suatu koloni terkait dengan kemampuan menangkap respon sosial yang bergejolak ditengah-tengah mereka. Pada zaman pra sejarah, para historian telah memberikan babakan waktu tersendiri berdasarkan, sekali lagi, kemampuan pengembangan pengetahuan dan teknologi suatu koloni, pada zaman pra sejarah, masyarakat sama sekali tidak mengetahui bahasa literer, membuat tulisan ataupun membaca tulisan, yang banyak digunakan mereka untuk komunikasi lebih mengandalkan bahasa audio visual melalui tutur tinular. Zaman pra sejarah ini di kepulauan nusantara telah ditetapkan pembagiannya, yakni mulai masa berburu, masa meramu dan masa perundagian. Selain dengan melihat dari sudut pandang survival collective mereka, juga pembabagan sejarah biasa dilakukan dengan melihat perkembangan teknologi dan pengetahuan mereka, diantara pembagian tersebut adalah dimulai dari zaman batu 4 Hasil diskusi dengan Bapak Agus Sunyoto tahun 2008 di Semarang, Jawa Tengah. Referensi yang digunakan oleh beliau adalah tulisan beliau dalam buku Pitutur, namun penulis belum dapat menyajikan referensi tersebut karena beberapa faktor.
tua, zaman batu madya, zaman batu muda (neolithicum), zaman batu besar (megaliticum) dan zaman logam. Perlu dicantumkan juga kiranya mengenai babakan dalam era pra sejarah, karena era pra sejarah merupakan era yang sangat panjang, bahkan usianya melebihi zaman sejarah saat ini. periode Paleosene (70 juta thun sm), Periode Eosene (30 juta tahun sm), Periode Miosene (12 juta tahun sm) dan pleistosene (4 juta tahun sm). Pentingnya ini adalah untuk mengetahuhi rentetan waktu berjalannya proses terbentuknya bumi hingga kapan terjadinya kepulauan di nusantara dan bagaimana prosesnya. Pada pembagian ini, munculnya kepulauan di nusantara diperkirakan pada zaman pleistosene, yakni bersamaan dengan terbentuknya dua benua besar, yakni Asia dan Australia. Pada waktu itu gumpalan es yang berada kutub utara dan kutub selatan mencair. Sehingga dari cairan tersebut menyebar dan menggenangi permukaan daratan. Dari lelehan tersebut dataran yang tinggi, yang tidak tergenang air menjadi deretan pulau-pulau yang di sebut dengan benua Asia dan Benua Australia. Kepulauan Nusantara ini adalah bentukan dari beberapa pegunungan yang agak tinggi. Pada perkiraan babakan sejarah ini, dilihat dari perkiraan yang dilakukan para historian dan arkeolog, Pithecantropus Erectus sebagai manusia di nusantara yang tertua hidup pada kisaran waktu 500.000 hingga 1 juta tahun yang lalu, dengan sistem sosial yang nomaden, mendapatkan kebutuhan makanan dengan berburu, alat yang digunakan terbuat dari batu yang masih kasar, serta kebanyakan hidup berkoloni dengan jumlah yang masih kecil, tempat tinggal mereka di dalam goa-goa dan tempat yang aman lainnya. Dikembalikan pada manusia pertama yang meninggali nusantara, bentuk fisik Pithecantropus Erectus memiliki kesamaan fisik yang cukup menonjol dengan suku Negrito. Diantaranya,
mulutnya moncong kedepan, bentuk tengkorak kepala, tinggi badan dan besarnya tulang. Terlepas dari semua itu, bahwa ada hal menarik yang dilakukan sejak zaman Pitechantrophus Erectus, Megantrophus Palaeo Javanicus, Homo Sapiens hingga manusia Negrito dan Weda pada zaman proto Sejarah, yakni menyangkut aliran kepercayaan yang mereka anut sebagai sandaran spiritual mereka. Mengenai keyakinan ini, riset yang dilakukan oleh Emile Durkheim5 pada suku Aborigin di Australia menghasilkan tesis yang cukup menarik, bahwa ketika zaman permulaan, suku Aborigin menganut aliran kepercayaan dengan menyembah serta menyucikan segala sesuatu yang membuat orang Aborigin ketakutan atau merasa dirinya lebih rendah dibanding sesuatu itu. Misalkan, orang Aborigin takut terhadap harimau, maka harimau itu akan menjadi binatang suci bagi mereka dan mereka melakukan penyembahan terhadap harimau tersebut sebagai bentuk pengabdian spiritual mereka. Sedikit menambahkan bahwa pada zaman glacial wurm (zaman es terakhir) antara kepulauan nusantara dengan Australia serta Asia Timur masih bersambung darat. Barulah pasca mencairnya es di kutub utara dan selatan membuat titik air pantai naik dan memisahkan pulau-pulau yang tadinya bersambung tersebut serta membentuk kepulauan-kepulauan kecil di nusantara. Zaman glacial wurm terjadi sekitar satu juta lima ratus ribu hingga satu juta tahun yang lalu, pada dekade ini, es di kutub utara dan selatan, karena terjadi pemanasan global saat itu mencair. Kejadian pada periode babakan sejarah ini mengatakan bahwa apabila dibandingkan, yang terjadi adalah, pada zaman glacial wurm di nusantara telah dihuni oleh Pithecantropus Erectus dan di Australia nenek Moyang suku Aborigin telah mendiami kepulauan nusantara. 5 Emile Durkheim, The Elementary Form of Religion Life, 2002, IRCISoD, Jogjakarta, hal. 253
Di kepulauan nusantara sendiri, penelitian yang dilakukan oleh kebanyakan scientis dan sejarawan, bahwa kepercayaan masyarakat zaman primitif adalah animisme dan dinamisme. Aliran ini adalah aliran kepercayaan asli nusantara dimana nenek moyang bangsa Indonesia sebelumnya melakukan penyembahan terhadap benda-benda tertentu atau penyembahan terhadap arwah nenek moyang mereka. Di zaman berburu, masyarakat Pithecantropus Erectus masih nomaden gaya hidupnya, di saat melakukan perburuan, mereka apabila menjumpai batu besar, pohon tua besar, atau apapun yang dalam anggapan
mereka
sakral,
maka
mereka
akan
memberikan
penghormatan dan sembahyang untuk benda-benda tersebut dengan ritus seperti yang biasa mereka lakukan. Dalam anggapan mereka, benda-benda tersebut memiliki kekuatan yang akan melindungi mereka dari marabahaya yang mungkin akan mereka jumpai saat mereka melakukan
perburuan
di
hutan
tersebut,
sehingga
untuk
menghindarinya, mereka perlu melakukan ritual khusus kepada sesuatu yang mereka anggap sebagai juru kunci hutan. Dalam
koloni
Pithecantropus
Erectus,
kepercayaan
dinamisme menjadi hal yang lumrah terjadi, dan dari kepercayaan ini seringkali mereka memberikan sesajian terhadap apa yang mereka sembah, selain batu dan pohon, koloni Pithecantropus Erectus hingga Megantrophus Palaeo Javanicus dan Homo Sapiens yang mempercayai kepercayaan dinamisme ini, mereka juga melakukan penyembahan terhadap mata air, tempat sakral, goa, laut dan tempat-tempat yang dianggap memiliki kekuatan gaib. Sesaji yang mereka berikan adalah sebagian dari apa yang mereka dapatkan dari hasil perburuan. Animisme juga menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kepercayaan manusia purba, mereka menganggap tetua mereka adalah sebagai perwakilan dari para dewa, mereka menganggap tetua mereka sebagai jembatan penghubung antara mereka dengan para dewa yang
memberikan kekuatan dan perlindungan, penghormatan berlebih inilah yang kemudian menjadikan aliran baru dalam sistem kepercayaan mereka. Para tetua yang telah meninggal, mereka menyembahnya sebagai orang suci, mereka meyakini bahwa dengan menyembah terhadap tetua moyang mereka yang telah meninggal, maka arwah para moyang akan memberikan keselamatan terhadap mereka. Pada kasus ini, maka masing-masing koloni akan berbeda siapa tuhan yang mereka sembah karena berbeda pula tetua koloni yang sebelumnya. Tesis yang sebenarnya penulis hendak ajukan dalam penjelasan ringkas ini adalah, bahwa penulis meyakini bahwa agama atau aliran kepercayaan merupakan bagian terpenting dari tingkatan peradaban manusia pada eranya. Untuk menguji tesis ini, penulis memberikan beberapa hipotesis dan data-data serta analisis pendek mengenai kondisi yang terjadi pada zamannya. Pertama bahwa dengan sistem masyarakat purba
awal,
dimana
kehidupannya
masih
nomaden
dan
menggantungkan kehidupannya dari hasil perburuan hutan, setelah mereka menemukan tempat dimana mereka akan menggantungkan kebutuhan spiritual mereka (aliran dinamisme) maka mereka akan meninggali atau tepatnya berdomisili di sekitar tempat tersebut dan kemudian kehidupan mereka menetap, tidak lagi nomaden. Kedua, aliran animisme dalam sejarah digambarkan bahwa nenek moyang yang mereka sembah biasanya disimbolkan dengan tanda-tanda, simbol-simbol atau hal lainnya, misalkan dengan mengawetkan jenazah nenek moyang mereka, atau menguburkan di tempat tertentu, maka dalam kepercayaan mereka, mereka tidak akan meninggalkan arwah nenek moyang mereka dengan mereka kemudian menetap di daerah tersebut dari yang sebelumnya masih nomaden. Selanjutnya, pengujian arkeologis, sebagaimana telah sedikit
disebutkan dimuka, ada pembabakan sejarah yang didasarkan pada media fisik perlengkapan yang mereka gunakan, yakni dari zaman batu tua, zaman batu madya, zaman batu muda, zaman batu besar dan zaman logam. Pada zaman batu tua, dimana sebagai alat untuk membantu pekerjaan mereka masih terbuat dari batu yang ada disekitar mereka, biasanya berupa kapak perimbas, tanpa dibentuk ulang, dihaluskan permukaannya atau dibentuk ulang sedemikan rupa sehingga menjadi lebih praktis dan efisien. Seiring dengan kebutuhan ritual mereka, pada zaman batu madya, mereka telah sedikit memberikan rasa seni terhadap alat-alat yang mereka gunakan, yakni dengan menghaluskannya, membuat perabota lain yang diperlukan serta
telah
menetap
kehidupan
mereka
untuk
memberikan
penghormatan terhadap arwah nenek moyang atau tempat yang mereka anggap sakral. Setelah itu, pada zaman batu muda, nilai artistik mulai nampak lebih istimewa, alat seperti kapak lonjong merupakan pengembangan terbesar, sumbangan seni yang diberikan kepada alatalat penunjang kehidupan agar lebih maju dalam ritualnya. Pertanda paling jelas ditemukan di zaman batu besar (megaliticum), dengan ditemukannya menhir, dolmen, kubur batu (sarfokagus) dan alat lainnya mereka benar-benar dapat dikatakan telah mengalami kemajuan yang luar biasa, dalam ritual mereka, mereka telah mampu menciptakan
meja
pemujaan
dari
batu,
kubur
besar
untuk
menguburkan moyang mereka dan atau sanak famili mereka, bangunan sakral dan sebagainya. Dengan diciptakannya tempat khusus ini, dapat dikatakan pasti bahwa agama atau aliran kepercayaan merupakan elan vital dalam pergeseran tata peradaban. Apalagi ketika melihat zaman setelahnya, yakni zaman logam, pada era ini, alat-alat upacara keagamaan telah dipoles sedemikian rupa hingga membentuk alat yang sudah sangat maju di zamannya, alat seperti bejana perunggu, perhiasan upacara dan lainnya semakin meyakinkan bahwa tidak dapat disangkal bahwa agama atau kepercayaan merupakan salah satu faktor
penunjang
terpenting
dalam
mengembangkan
tatanan
sosial
masyarakat purba. Selanjutnya, dalam khazanah kepercayaan dan agama di nusantara, penulis juga akan menambahkan tentang apa yang diyakini sebagai agama oleh masyarakat zaman dahulu, yakni apa yang hari ini dikenal sebagai agama Kapitayan6. Aliran ini menyembah kepada Sang Hyang Taya, yang berarti kosong. Kosong yang dimaksud disini, agama ini menganggap tuhan mereka ada, tetapi tidak berwujud, tidak dapat dilihat. Ada esensinya, tetapi tidak nampak eksistensinya. Sang Hyang Taya ini merupakan refleksi tuhan menurut keyakinan mereka. Kapitayan berasal dari kata dasar Taya yang berarti kosong. Kosong dalam filosofi kapitayan adalah menyembah kepada Sang Hyang Taya yang tidak nampak dalam pandangan mata fisik, namun keberadaan Sang Hyang Taya dapat dirasakan dan dilihat dalam bentuk fisik berupa alam raya. Sang Hyang Taya, dalam pandangan mereka, adalah hal yang transenden, yang memiliki pengaruh besar sebagai pencipta, penjaga sekaligus penghancur alam raya beserta semua kekayaan yang ada didalamnya. Ritus-ritus keagamaan yang dilakukan oleh penganut kapitayan adalah sembahyang (Sembah Sang Hyang) tiga kali dalam sehari, yakni pada saat matahari terbit, matahari diatas kepala dan pada saat matahari terbenam. Sembahyang dilakukan di sebuah bangunan peribadatan dengan bentuk kotak persegi empat dengan satu pintu berbentuk persegi panjang dengan bagian atas setengah lingkaran yang memanjang Kedalam. Tempat ini mereka menamainya dengan 6 Mengenai Agama Kapitayan ini, penulis dapatkan data-data dari penulis buku Suluk Abdul Jalil, Bapak Agus Sunyoto, pertama dalam diskusi Pelatihan Kader Lanjut (PKL) Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) di Hotel eL Piramid, Kebumen tanggal 23-27 Desember 2007, pada diskusi selanjutnya dengan beliau penulis sering mengikutinya di Semarang, Solo, Jogjakarta, Solotigo dan berbagai tempat lainnya. Sayangnya, penulis tidak mampu menyajikan referensi, karena menurut Bapak Agus Sunyoto, referensi yang beliau gunakan adalah buku klasik dengan bahasa Jawa Kawi dan Sansekerta, tidak ada penjelasan mengenai identitas buku-buku tersebut.
langgar. Orang yang masuk didalamnya harus dalam keadaan suci dan harus melepas alas kaki yang dikenakannya. Dalam setiap langgar, ada alat utama yang digunakan sebagai media mengumpulkan masyarakat untuk bersembahyang berupa beduk yang terbuat dari kayu berlubang dengan lapisan kulit binatang. Alat ini dibunyikan pada saat menjelang prosesi persembahyangan dimulai. Bentuk langgar yang kotak, dalam keterangan selanjutnya, adalah representasi dari kepercayaan kadhang papat kalimo pancer, yakni secara eksplisit melambangkan empat penjuru mata angin dengan satu titik sentral (yang transenden) mengarah ke bagian atas. Dalam makna implisitnya, kadhang papat kalimo pancer lebih mengarah pada kesetaraan ruang fisik dan ruang bathin serta kaitannya mengenai transendensi hubungan manusia dengan Sang Hyang Taya. Agama kapitayan mengenal istilah to/tu. Setiap kata yang mengandung kata ini adalah -ajaran yang dimiliki oleh kapitayan. Sebagai contoh, ajaran-ajaran kebaikan mereka menyebutnya sebagai tuah, sedangkan ajaran jahat mereka menyebutnya sebagai tulah, representasi kekuatan baik sebagai tuhan, dan pernyataan atas kekuatan jahat disebut hantu. Dalam ritusnya, penggunaan kata to/tu masih terlihat, keberadaan Sang Hyang Taya direpresentasikan dalam bentuk watu, tumbak, tugu, tuk dan lainnya. Sementara itu dalam upacara keagamaan mereka menggunakan sesaji berupa tumpeng dan sesaji yang paling ekstrim berupa tumbal. Sesaji tersebut ditaruh Kedalam tumbu. Sang Hyang Taya dalam kepercayaan mereka adalah Tuhan yang memiliki kekuatan gaib yang mampu menciptakan, merawat dan bahkan
menghancurkan
alam.
Sehingga
untuk
mencegah
penghancuran itu, berbagai ritus keagamaan diadakan. Peletak dasar agama kapitayan, dalam sejarah disebutkan,
bernama Semar (Bodronoyo). Semar selain mengajarkan tentang ritus peribadatan seperti itu, juga mengajarkan tentang puasa, balasan kebaikan berupa surgaloka dan balasan atas tindakan jahat manusia berupa nerakasengkala. Dia juga mengajarkan tentang anjuran berbuat baik terhadap sesama manusia karena pada akhirnya nanti setelah meninggalnya manusia akan ada kehidupan selanjutnya yang merupakan balasan atas kehidupan sekarang di dunia. Bodronoyo, dalam mitologinya merupakan putra dari Sang Hyang Tunggal dari telur yang di hasilkan dengan istrinya. Dimana setelah telur tersebut dilahirkan, karena Sang Hyang Tunggal merasa risih apabila dia mempunyai putra akhirnya telur tersebut dilemparkan ke Arcapada (bumi), namun ditengah jalan, tepatnya di Kahyangan, telur tersebut ditangkap oleh Sang Hyang Wenang, dan kemudian diteruskan kembali untuk dilempar ke Arcapada. Dari telur tersebut, lahirlah tiga orang, dari kuningnya lahir Sang Hyang Guru (Bethara Guru) yang kemudian tinggal di Kahyangan, dari putihnya lahir Semar Bodronoyo (Bethara Narada) dan dari cangkanya lahirlah Togog. Dua nama terakhir tinggal di Arcapada dan menjadi Sang Pamomong (Punakawan) para ksatria di Arcapada. Kembali pada masalah utama tentang penduduk kepulauan Nusantara, sebagai suku bangsa asli nusantara, Weda dan Negrito merupakan suku yang cukup mampu melakukan adaptasi yang paling sempurna terhadap keseimbangan ekosistem nusantara, dari iklim hingga kekayaan alamnya, sehingga dengan pola hidup yang nomaden sekalipun, mereka tetap tidak mengalami halangan yang berarti untuk terus mempertahankan ras mereka. Barulah sekitar 6.000-5.000 tahun sebelum masehi, terjadi imigrasi besar-besaran dari Provinsi Yun’an, Tiongkok Selatan karena di daerah asalnya terjadi peperangan, perampokan, pembunuhan,
penganiayaan dan kejahatan lain yang membuat penduduk Provinsi Yuna’an tersebut tidak nyaman. Imigrasi yang terjadi secara besarbesaran inilah yang kemudian membuat nusantara mengalami pembaharuan
ras
dan
perubahan
komposisi
penduduk,
yang
sebelumnya hanya ada dua suku bangsa besar yang mendiami nusantara, kini bertambah satu lagi, yakni imigran tersebut. Rombongan besar imigran, yang sekarang oleh para pakar sejarah disebut sebagai Proto Melayu (Melayu Tua) datang ke nusantara mendiami dua wilayah secara garis besarnya, yakni di wilayah Kalimantan dan Sumatera. Di Kalimantan, mereka kemudian mendirikan klan baru yang akhirnya menjadi suku bangsa terbesar di Kalimantan, suku Dayak. Sementara yang ada di Sumatera, mereka mendiami sebagian wilayah Sumatera bagian tengah dan utara dan menjadi suku Batak. Sementara itu, yang terjadi pada penduduk asli nusantara, yakni suku Weda dan Negrito dengan Kedatangan para imigran tersebut, sebagian besar menyingkir dan membuka lahan kehidupan baru di wilayah timur nusantara. Kalau suku Negrito lebih ketimur dalam pengembaraan pencarian hunian selanjutnya (Papua dan Maluku) maka suku Weda memilih dalam menentukan tempat tinggalnya di daerah Sulawesi dan beberapa kepulauan di Maluku. Meskipun sebagian kecil diantara penduduk Negrito dan Weda yang tetap tinggal di daerah asalnya, hidup berdampingan dengan para imigran, dan tak jarang terjadi perkawinan silang antara dua ras ini. Kedatangan suku imigran dari Tiongkok ini, membawa alur baru dalam tatanan sosial di nusantara. Selain memperkenalkan peradaban dan tradisi yang baru di nusantara, mereka juga menanamkan pola kehidupan yang sebelumnya telah mereka kenal di Tiongkok. Namun, dengan demikian bukan berarti mereka menutup
diri dari khazanah kearifan lokal yang ada, mereka tetap menggunakan tradisi yang ada untuk kemudian mereka menyilangkannya dengan tradisi yang mereka bawa dari daerah asal mereka. Yang menarik adalah, bahwa para penduduk asli nusantara, justru mereka yang melakukan migrasi ke wilayah timur nusantara, tidak kemudian mempertahankan tanah yang mereka miliki untuk menjadi tempat tinggal mereka. Justru dengan kehadiran para imigran, seharusnya mereka berani bangkit untuk memilih imigran yang menempati wilayah timur nusantara. Pertimbangannya adalah, bahwa di wilayah timur nusantara, saat itu merupakan daerah yang paling potensial
untuk
mempertahankan
kehidupan
apabila
masih
menggunakan sistem kehidupan yang berburu (food gathering). Dengan kemudahan akes konsumsi semacam inilah maka para penduduk asli yang berpindah tempat. Putaran waktu terus membuat para imigran ini merasa bahwa nusatara adalah merupakan tanah air mereka, jiwa-jiwa nasionalisme mereka mulai muncul. Mereka merasakan betul bahwa tanah air nusantara adalah bagian yang tak terpisahkan dari diri mereka, bahkan beberapa garis keturunan kebawah yang telah mereka dapatkan di daerah tersebut menjadikan rasa nasionalisme mereka semakin terpupuk subur. 200 tahun sebelum masehi, setelah lebih dari 5.000 tahun tidak pernah terjadi migrasi besar-besaran dari China, maka di dekade abad ini, para imigran dari Tiongkok datang kembali ke nusantara untuk sekedar berupaya menjadi warga nusantara. Menjadi bagian yang penting dalam kesetaraan berbangsa di nusantara. Para imigran gelombang kedua ini semakin lama semakin banyak. Mereka mencari tempat baru untuk dapat melangsungkan kehidupan mereka selanjutnya, dan keturunan mereka pada periode
kedepannya. Rombongan yang bernama Deutro Melayu (Melayu Muda) ini kemudian memilih Jawa, sebagian Sumatera, Bali, Nusa Tenggara dan beberapa wilayah lain yang dianggap mampu untuk tujuan dasar mereka melakukan migrasi. Deutro Melayu sebagai imigrasi terbesar pada eranya dan era sebelumya itu yang kemudian ‘memaksakan diri’ menjadi penduduk asli nusantara, dengan berbagai upaya mereka kemudian berusaha untuk menjadi nomor pertama dalam kuantitas jumlah penduduk di kepuluan nusantara agar di kepulauan nusantara memiliki ke khas-an seperti mereka. Hari inipun terbukti, bahwa kekuatan deutro Melayu justru berjumlah hampir tujuh puluh persen dari jumlah penduduk ras lainnya di kepulauan nusantara. Kelompok Deutro Melayu masuk ke kepulauan nusantara dalam beberapa periode dan masing-masing periode imigrasi itu membawa jumlah manusia yang berbeda-beda jumlahnya. Kadang banyak, tak jarang pula datang hanya kisaran ratusan orang. Dengan wilayah penyebaran di titik-titik yang berbeda. Asal dari orang Melayu baik Melayu Tua maupun Melayu muda ada beberapa ahli yang kontroversi mengenai asalnya. Ada yang berpendapat behwa datangnya orang Melayu tersebut berasal dari Campa (sekarang daerah Vietnam), dan pendapat yang kedua adalah orang Melayu tersebut berasal dari Tiongkok Selatan atau tepatnya daerah Yunnan, dan pendapat yang terakhir menyebutkan dari Teluk Tonkin. Namun terlepas dari perbedaan pendapat tersebut, para ahli sepakat behwa asal mula dari Manusia Melayu baik Melayu Tua maupun Melayu Muda tersebut adalah berasal dari daratan Asia bagian selatan. Dari penyebaraan yang disebutkan diatas, ada beberapa jalur
yang dilewati dari perosees penyebaran tersebut. Proses penyebaran orang Melayu Prasejarah, menyebar ke Selatan dari dataran Asia melalui dua jalur. Dari penyebaran tersebut, jalur pertama malalui daerah sekitar Yunnan menuju ke Siam, Semenanjung Indochina, semenanjung Melayu, kemudian menyebrangi selat Malaka dan sampai ke Sumatra dan beberapa pulau lainya. Jalur kedua adalah melalui daerah sekitar Hoakian dan Kwanlung di kawasan daratan di daerah Tiongkok selatan, menuju ke Taiwan dan kepulauan Filipina dan sampailah di daerah Kalimantan, Jawa dan kepulauan lainnya. Dr Fridollin membenarkan dari proses penyebaran tersebut, yaitu dari hasil penelitian bahwa jenis ikan yang ada di sekitar perairan di Kalimantan sama dengan yang berada di sumatera. Karena pada jaman purbakala proses penyabarannya melalui daerah pesisir pantai dan sungai-sungai besar. Maka adalah wajar jika dari Tiongkok proses penyebarannya orang-orang Ras Melayu menyebar ke Indochina dan Asia tenggara. Berdasarkan dari proses penyebaran dari Manusia purbakala dapat diambil kesimpulan bahwa asal ususl dari bangsa Indonesia dalah beerasal dari ras campuran. Ditinjau dari ilmu etnologi, ini merupakan hasil dari ras campuran dari ras Mongoloid dan ras Negroit yang terdapat di Indochina. Hasil study di bidang antropologi menyebutkan : Ras Indonesia dalah terdiri dari beberapa Ras. Yaitu Ras Negrito, yang keturunannya adalah Suku Tapiro di Irian Jaya. Wedda, yang keturunannya antara lain suku Toala di Sulawesi barat daya dan suku Kubu di Sumatera Selatan. Melayu Tua, keturunannya antara laian Suku Batak di Sumatera Utara dan Suku Dayak di Kalimantan.
Dan yang terakhir adalah Melayu Muda yang keturunannya dalah suku Jawa, Bali, Bugis, Makasar, Ternate, dan suku-suku yang berbahasa Minangkabao.
Golongan.
Panjangnya pembabakan sejarah inilah yang kemudian membawa babak baru dalam era perkembangan peradaban manusia di nusantara.
Referensi
tentang
study
arkeologi
dan
sosiologi
menyebutkan bahwa banyaknya jenis suku dan perbedaan secara geografis akhirnya menciptakan tatanan tradisi sendiri, membuat adat istiadat sendiri secara evolutif. Dan hal ini pula yang kemudian membuat aliran kepercayaan yang ada di nusantara semakin lama semakin berkembang. Pada versi yang sedikit berbeda dan lebih spesifik objek kajiannya, tentang sejarah penduduk Indonesia. Disebutkan, sebagai ras campuran atas keberadaan ras induk dan ras pendatang. Untuk membedah ini, penulis bersandar pada catatan Van Hien yang dikutip oleh penulis lokal, Akhmad Khalil, M.Fill.I. Van Hien seorang Javanologis Belanda yang menulis tentang hal yang terjadi dan ada dalam pikiran masyarakat Jawa pada decade 1920-an. Meskipun buku Van Hien menitikberatkan pada persoalan mistik dan keyakinan masyarakat, namun materi pembahasan tentang Jawa, baik sebelum atau sesudah pulau ini dihuni manusia banyak disajikan dalam buku ini. Melandaskan penelitian ini pada Van Hien disamping karena hal diatas juga disebabkan karena kronologi sejarah nusantara yang jelas dan tidak debatable adalah ketika telah memasuki zaman Majapahit sekitar abad ke-12-13 masehi. Dan alasan lain mengapa pembahasannya lebih banyak menyebutkan Jawa dibanding nusantara secara umum adalah karena dalam catatan Van Hien, disebutkan kemudian, pada zamannya merupakan satu kesatuan kepulauan besar
yang bersatu dengan Sumatera, Bali, Madura dan beberapa daerah lainnya yang merupakan pecahan. Van Hien mencatat keterangan terbaik mengenai keadaan geologi pulau Jawa dapat ditemukan dalam tulisan kuno Hindu yang menyatakan bahwa Jawa sebelumnya adalah pulau-pulau yang diberi nama Nusa Kendang yang menjdi bagian dari India. Pulau ini merupakan hamparan dari beberapa pulau yang kemudian karena letusan gunung-gunung berapi dan goyngan dahsyat gempa bumi pulau-pulau itu bersatu. Babad itu menceritakan bahwa pada tahun 296 M terjadi letusan gunung-gunung berapi yang berada di pulau itu, sehingga gunung yang semula ada menjadi hilang dan memunculkan gunung-gunung berapi baru. Dicertitakan pula, 148 tahun kemudian, lebih tepatnya tahun 444 M terjadi gempa bumi yang memisahkan Tembini, darah bagian selatan pulau Jawa menjadi pulau tersendiri. Pulau tersebut adalah Nusa Barung dan Nusa Kambangan di selatan pulau Jawa. Awal abad ke-13 tepatnya di tahun 1208 pulau sumatera karena suatu musibah gempa juga terpisah dengan pulau Jawa. Begitu juga pada tahun 1254, Madura yang semula bernama Hantara mengalmi kejaian serupa, terpisah dari pulau induk. Kejadian tersebut disusul oleh pemisahan Bali pada tahun 1293, Bali yang tadinya bergandeng dengan pulau Jawa, akhirnya terpisah juga. Sumber sejarah lain yang tidak beredar adalah berasal dari manuskrip kuno yakni Serat Asal Kraton Malang berasal dari daerah Turki, tetapi ada yang menyebut dri daerah Dekhan (India). Pda tahun 350 SM, Raja Rum, pemimpin ddari wilayah tersebut mengirim perpindahan penduduk sebanyak 20.000 orang laki-laki dan 20.000 orang perempuan yang dipimpin oleh Aji Keler. Pengiriman ini adalah pengiriman yang kedua setelah kegagalan pengiriman pertama pada
tahun 450 SM dengan kembalinya seluruh utusan yang dikirim. Jawa saat itu masih bernama Nusa Kendang ditemukan sebagai pulau yang ditutupi hutan dan dihuni berbagai jenis binatang buas dan tanah datarnya ditumbuhi tanaman yang dinamakan Jawi. Karena seluruh dataran pulau ini ipenuhi tanaman tersebut, maka ia member nama pula ini dengan nama “Jawi”. Karena nama Jawi msih umum dan meliputi seluruh daratan pulau itu, mka gak sulit menentukan loksi pendaratan para utusan ini. Akan tetapi, diperkirakan pendaratan itu terjadi di Semampir, yaitu suatu tempat yang terletak dekat Surabaya saat ini. Gelombang perpindahan kedua ini juga ternyata mengalami kegagalan, karena yang tersisa dari 20.000 pasang manusia, saat itu tinggal 40 pasang. Hal ini mendorong Raja untuk mengirim utusan lagi dengna persiapan yang lebih matang dan penyediaan alat yang lebih lengkap untuk menjaga dari serangan binatang buas seperti yang dialami utusan pertama dan kedua. Disamping peralatan pengamnan diri, mereka juga dibekali dengan alat pertanian, sebagi alat bercocok tanam bila kelak berhasil menempatinya dengan aman. Sementara itu, untuk mencegah agar orang-orang supaya tidak melarikan diri, diangkatlah seorang pemimpin dari kalangan mereka, tersebutlah yang terangkat adalah Raja Kanna. Gelombang ketiga ini rupanya berhasil dan akhirnya mereka menyebar ke pedalaman yang terbuka di pulau Jawa. Dari sisi keyakinan orang-orang gelombang ketiga ini menganut keyakninan animisme. Pada tahun 100 sebelum masehi, terjadi lagi perpindahan penduduk keempat yang terdiri dari kaum Hindu-Wasiya. Mereka itu adalah para petani dan pedagang yang karena permasalahan keyakinan mereka, mereka meninggalkan India. Warga pindahan kelompok
keempat ini menetap di daerah Pasuruan dan Probolinggo. Kemudian mereka secara perlahan membuat koloni-koloni di selatan pulau Jawa yang pusatnya terletak di Singosari. Koloni ini terus berkembang dan membentuk kerajaan kecil di daerah Kediri, naskah lontar menyebutkan bahwa saat itu, sekitar tahun 900-an masehi, kerajaan tersebut dipimpin oleh Nyai Kedi, dengan kerajaan bernama Medang yang juga dinamakan Kamulan. Keturunan Hindu-Wasiya ini selain menamakan kerajaannya Medang atau Kamulan juga terkenal dengan Ngastina atau Gajah Huiya. Raja yang memerintah disana adalah Prabu Jayabaya yang sebelumnya dipimpin oleh Prabu Airlangga. Cerita lain menyebutkan, bahwa bada tahun 78 M, dari kerajaan Astina (Gujarat) mengirim seorang utusan yang bernama Aji Saka. Ia diutus untuk
menyelidiki apa yang terjadi di kepulauan
nusantara. Sesampai di kepulauan tersebut, ia mendarat di bagian timur pulau Jawa yang saat itu masih bernama Nusa Kendang. Ia berhasil mengalahkan Prabu Dewatacengkar seorang raja yang sangat tidak adil dalam memimpin masyarakatnya. Namun kemengangannya ini akhirnya dipupuskan setelah anak dari Dewatacengkar, Daniswara, mengalahkan Ajisaka. Dari Aji Saka inilah yang kemudian dijadikan patokan permulaan tahun baru Saka. Perhitungan dalam kalender tahun Jawa pada perhitungan peredaran bulan. Agama secara resmi yang diakui keberadaannya saat ini, yang muncul pertama kali adalah agama Hindu. Agama ini muncul sekitar tahun 78 Masehi. Perkiraan angka ini dihitung dari perjalanan tahun Sakka, kalender tahunan berdasarkan peredaran bulan yang digunakan oleh orang-orang Hindu. Namun penyebaran secara mendetail mengenai jalur peredaran agama Hindu tidak diketahui pasti, pada era pasca 78 M, setelah munculnya kerajaan-kerajaan di
nusantara, barulah dapat diketahui melalui referensi arkeologis dan penelusuran sejarah. Sejarah menyebutkan, bahwa kerajaan yang pertama kali muncul di nusantara adalah kerajaan Kutai Kutanegara pada abad ke-5. Kerajaan inilah yang oleh para sejarawan disepakati sebagai kerajaan tertua yang ada di nusantara. Sumber sejarah tertulis satu-satunya dari kerajan kutai adalah Yupa yang berjumlah tujuh buah. Yupa dalah sebuah batu prasasti yang berhuruf palawa yang berbahasa sansekerta yang meyebutkan bahwa kerajaan Kutai (Kalimantan Timur) berdiri pada awal abad V yang tepatnya dalah tahun 400 M. Yupa tesebut dikeluaran oleh seorang raja yang bernama Mulawarman. Selain yupa terdapat Arca yang bersifat kehinduan yaitu Mukalingga dan Arca Ganesa. Silsilah dari Raja Kerajaan kutai tersebut terdapat pada salah satu ketujuh Yupa. Yang menyebukan diantaranya Yang pertama kali mendirian Kerajaan adalah Kudungga, dan dia mempunyai anak yang bernama Mulawarman, dan dialah
sebagai penerus kerajaan.
Aswawarmman Mempunyai putra bernama Mulawarman dan dia sebagai generasi ketiga dari Kerajaan Kutai. Ada juga yangberanggapan bahwa pendiri (wangsakarta) kerajan Kutai adalah Aswawarmman, karena dialah sebagai raja yang telah menganut agama hindu. Bukan Kudungga karena Kudunga dianggap belum suci karena masih menganut agama nenek moyang7. Pada era yang bersamaan, telah berdiri pula kerajaan di pulau Jawa, dan para sejarawan juga menyepakati bahwa kerajaan ini merupakan kerajaan tertua yang ada di Jawa. Kerajaan yang dimaksud disini adalah kerajaan Tarumanegara, berlokasi di Jawa Barat. 7 Tentang agama yang dianut oleh Kudungga, agama nenek moyang yang dianut adalah agama Kapitayan.
Sumber-sumber sejarah dari kerajaan Tarumanegara relatif lebih baik dari pada kerajaan Kutai yaitu tujuh buah prasasti batu, berita Cina dari Fa hien dari dinasti Soui, dan Tang, arca-arca Rajasri, arca wisni Cibuaya I, arca Cibuaya II. Dari bukti-bukti tersebut menyebutkan puji-pujian terhadap raja Purnawarmman. Berita Cina menyebutkan bahwa pada abad VI ada sebuah negara yang bernama To lo mo, yang dianggap merupakan dari lafal Taruma. Berita dari dinasti Siou menyebutkan bahwa pada tahun 528 dan 535 datag utusan dari kerajaan To lo mo. Ada juga yang menyebutan bahwa pada abad V sudah ada kerajaan. Raja dari Kerajaan Tarumanegara tersebut disebutkan yang pertama adalah Nenenda Raja, Radjadiradjaguru, dan yang terakhir adalah sang Purnawarmman. Namun dari berita tadi tidak dapat diketemukan sumber-sumber lain yang mengatakan demikian. Perkembangan Agama dan Masayarakat di Trumanegara berdasarkan data-data dan peninggalan. Kalau dilihat dari beberapa peninggalan perhiasan, agama yang dianut pada waktu itu adalah agama Hindu. Arca-arca tersebut ada kesamaannya dengan yang diketemukan di siam kamboja dan semenanjung Melayu. Menurut berita Cina, di Nusantara ini terdapat suatu bahasa yang digunakan. Yaitu bahasa percampuran bahsa Melayu yang bercampur dengan bahasa Sansekerta. Adapun mata pencaharian dari masarakat setempat adalah berburu, penambang, dan peternakan. Pada
babakan
abad
selanjutnya
pasca
Kutai
dan
Tarumanegara, di kepulauan nusantara kemudian muncul dua kerajaan besar yang hampir menguasai selain secara geografis juga mengusai secara ekonomis di perairan nusantara, kedua kerajaan ini (dalam babakan waktu yang hampir bersamaan) kerajaan Melayu dan Kerajaan Sriwijaya.
Keberadaan dari kedua kerajaan ini yaitu Melayu dan Sriwijaya
adalah
tidak
terlepas
dari
arus
perdagangan
dan
perkembangna agama Hindu dan Budha pada waktu itu yaitu anatara India dan Cina. Para pedagang itu menempuh dua jalur perdagangan. Yaitu jalur selatan dan jalur utara. Jika orang India menempuh jalur utara, daerah singgahi adalah tanah semenanjung, dan disinilah letak kota Kedah yang kemudian tumbuh menjadi pelabuhan yang sangat penting, dan kemudian sampailah pada Sumatra tenggara, dan ditempat itulah ditemukan tanda-tanda bekas berkembangnya agama hindu. Adapun jalur selatan adalah melewati selat sunda dan membelok ke utara, dan sampailah pula ke Sumatra tenggara. Di tempat itulah kemudian tumbuh sebuah kerajaan Melayu, yang kemudian muncul pula kerajaan Sriwijaya yang cukup besar dan relatif lama masa pemerintahannya. Kemunculan kerajaan yang terakhir inilah yang banyak di teliti oleh beberapa ahli baikk politik, pemerintahan, ekonomi perdagangan, karena kerajaan ini dianggap sebagai kerajaan maritim yang yang besar di Nusantara. Menurut Berita Tiong Hoa, pada tahun 644 atau permulaan 645 menyebutkan adanya kerajaan yang bernama Mo lo Yeu, yang dianggap sebagai nama kerajaan Melayu. Menurut berita itu menyabutkan bahwa pada tahun itu kerajaan Melayu mengirimkan utusan ke Tiongkok untuk mempersembahkan hasil-hasil buminya kepada kaisar. Kerajaan Melayu ini berpusat di sekitar Jambi. Sekitar tahun 685, nama Melayu tidak muncul lagi setelah ditaklukan oleh kerajaan Sriwijaya. Baru pada sekitar pertengahan abad XIII M dijumpai lagi nama Melayu yaitu dalam kitab Pararaton dan Nagarakertagama, disitu menyebutkan pada tahun 1275 Raja Kertanagara menirimkan pasukan, yang dikenal dengan Ekspedisi Pamalayu.
Keteranan lainnya jua dapat di jumpai pada masa pemerintahan Tribuanatunggadewi (1328-1350).
Rupa-rupanya
kerajaan Melayu muncul lagi sebagai pusat pemerintahan di Sumatra. Kerajaan Sriwijaya merupakan Kerajaan di Nusantara yang keberadaannya Relatif dapat dilacak. Karena kerajaan Sriwijaya pada waktu itu adalah sebaai pusat perdaganann dan jua sebagai kerajaan yang menpunyai kekuatan Maritim yang sangat kuat. Kerajaan ini muncul pada abad VII dan pengaruhnya hilang samasekali pada abad XIV M. Pada abad VII merupakan awal berdirinya kerajaan Sriwijaya. Seperti yang di sebutkan pada Prasasti Kedukan Bukit yang berangka tahun 605 S (683 M) yang berisikan tentang penaklukan Melayu yan sekaligus sebagai Masa awal berdirinya kerajaan Sriwijaya, dan Prasasti Kota kapur 608 S (686 M) yang berisikan tentang penaklukan Bangka dan keinginannya menaklukan bumi Jawa, yang menurut
G Coedes bumi Jawa diartikan sebagai kerajaan
Tarumanegara. Pada Prasati Talang Tuo yang berangka 606 S (684 M) menyebutkan tentang maklumat untuk meengatur ketentraman dan kesejahteraan dalam negeri. Dari situ dapat simpulkan bahwa SSriwijaya telah berhasil meluaskan daerahna mulai Melayu atau Jambi sekarang saampai ke pulau bangka dan daerah lampung selatan, dan hampir juga meliuaskan kekuasaan nya sampai ke Jawa. Agama yang dianut pada masa itu adalah Agama Buddha, dan pada abad VIII awal sampai XI M merupakan sebagai masa keemasan dari bertumbuhnya agama Buddha. Menurut cerita I tsing Sriwijaya merupakan pusat pembelajaran dari agama Budha dan bahasa sansekerta. Oleh karena itu bagi pendeta Budha dari bangsa China yang hendak ke India bersinggah dulu di Sriwijjaya selama kurang lebih satu atau dua tahun, kemudian baru meneruskan ke India.
Prasasti Nalanda yang yang didirikan sekitar abad IX oleh raja Dewapaladewa menyebutkan tentang pendirian bangunan biara di Nalanda oleh Raja Sriwijaya yang menganut agama Budha yaitu yaitu Balaputradewa. Masa keemasan Kerajaan Sriwijaya, yaitu pada awal abad XIII, Dari berita China oleh Chao Ju Kua. Dia juaga menyebutkan bahwa pada sekiatar abad XII adalah masa kemunduran Sriwijaya yangdiakibatkan oleh serangan dari sekutunya yaitu kerajaan Cola untuk merebutkan wilayah perdagangan. Dan pada abad XIII kekacauan itu dapat di selesaikan dan Sriwijaya muncul sebagai kerajaan yang kuat. Masa surut kerajaa Sriwijaya, pada abad XIV. Berita itu dari Dinasti Ming, bahwa Raja San Fo Tse pada tahun 1376 telah takluk oleh Jawa. Kemudian akibat dari serangan Jawa maka kondisi internelnya sangat kacau sehingga bajak-bajak laut Cian berhasil merebut daerah itu. Maka berakhirlah kerajaan Sriwijaya. Kejayaan kerajaan di wilayah Sumatera ini, bersamaan dengan itu juga terjadi proses pengembangan kerajaan di tanah Jawa, satu permisalan yang muncul sebagai bagian dari alur sejarah adalah kerajaan Mataram Hindu atau Mataram Kuno. Kerajaan Mataram Kona adalah keraajaan yang berlatar belakang agama Hindu dan Budha. Kerajan ini diperkirakan berdiri sekitar abad VII-VIII sampai pertengahan abad X yang berdiri di kawasan Jawa tengah. Kemudian pada abad X akhir kerajan ini dipindah kewilayah Jawa Timur yang menurut beberapa pendapat perpindahan disebabkan adanya letusan gunung Merapi. Bukti dari berdirinya Kerajan Mataran Ini didapat dari Prasasti Tuk Mas yang menyebutkan bahwa awal mual berdirinya kerrajan tersebuat adalah awal abad VII. Diperkirakam juga bahwa
Kerajaan Mataran ini adalah adakaitannay dengan kerajaan Ho ling atau Keling, yang diperintah oleh seorang Ratu yang adil yaitu Ratu Shi-Mo yang berdiri pada tahun 640 (kerajaan beragama Budha). Pada Prasati Muntiasih juga menyebutkan Bahwa Sanjaya Raja Mataram telah membuat sebuah Lingga pada tanggal 6 Oktober 732. dan diprasasti itu juga menyebutkan adanya Raja Yang bernama Sanna yang memerintah dengan kasih sayang dan lembut. Ada yang berpendapat bahwa ada dua Wangsa yang berkuasa di Mataram (Jawa Tengah) Yaitu wangsa Sanjaya dan Wangsa Sailendra. Akan tetapi menurut beberapa pendapat bahwa Sanjaya adalah keturunan dari Dapunta Saelendra. Jadi Sanjaya adalah keturunan dari wangsa Sailendra. Sanjaya dianggap sebagai pendiri pertama di Mataram karena Dia dianggap yang telah berhasil menyatukan Mataram setelah Sanna, pamannya Sanjaya mangkat kerajan menjadi kacau, dan Sanjayalah yang berhasil mengkondisikan Kerajaan. Proses ini menurut kepercayaan bahwa Sanjaya adalah Raja yang ke 5. karena menurut kepercayaan raja yang ke 4 adalah masa kekacauan kerajaan. Jadi menurut beberapa pendapat bahwa diperkirakan diantara Dapunta Sailendra dan Sanna atau diantara Sanna dan Sanjaya ada seorang lagi yang menduduki sebagai Raja. Akan tetapi pendapat itu tidak diperkuat dengan bukti-buktinya. Raja-raja di Mataram Kuna hasil Penafsiran terhadap dua Prasasti Muntyasih, 907 M dan Wanua Tengah III.(Raja setelah Sanjaya) Nama Raja Sanjaya Rake Panangkaran
Tahun (M) Tak disebut 746-784
Rake Panunggalan
784-803
Rake Warak
803-827
Dyah Gula
827-828
Garung
828-847
Rake Pikatan
847-855
Kayuwangi Lokapala
855-885
Dyah Tagwas
885-885
Panumwangan
885-887
Gurun Wangi
887-887
Rake Wukal
894-898
Watu Kuro (Balitung)
899-911
Daksottama
911-915
Dyah Tolodong
915-923
Dyah Wawa
923-929
Mpu Sendok
929Pada pertengahan abad ke X Mataram dipindah Oleh
Mpu Sendok ke daerah Jawa Timur yang menurut beberapa penelitian permindahanya di akibatkan meletusnya gunuang Merapi. Berdasarkan beberapa keterangan dapat di ketahuai behwa pendiri kerajaan Mataram di Jawa Timur adalah Mpu Sendok. Menurut Prasati Paradah (943) kerajaan ini mengalami masa kemreosotan ketika dipimpin Oleh Darmawangsa Teguh. Kemudian Airlangga
keponakan
Darmawangsa
berhasil
mengemBalikan
Kerajaan Mataran dan membawa Mataram Pada puncak keemasan. Setelah Kerajaan Mataram (Jawa Timur) yang dipimpin oleh Airlanga mengalami masa keemasan maka Ia ingin menyendiri dan bertapa. Sehingga untuk menanggulangi perpecahan maka di baginya kerajaan menjadi dua yaitu Jenggal dan Panjalau. Dari sinilah mulai timbul berbagai persoalan yang akhirnya munncul kerajaan Singasari. Pembagian kekuasaan yang dilakukan oleh Airlangga adalah kerajaan menjadi dua yaitu Kerajaan Panjalu (Keda) untuk
putra Dharmawangasa Teguh, iparnya dan kerajaan Jenggala untuk putranya.
Menurut para sejarawan perpecahan tersebut mengalami
puncaknya setelah wafatnya Raja Airlangga yang kemudian terjadi saling ketidakpuasan antara kedua belah pihak, yang kemudian ditentukan dengan jalan perang. Dalam peperangan tersebut Kerajaan Jenggala mengalami kekalahan yang kemudian dijadikan daerah kekuasaan oleh Kerajaan Panjalu (Keda) sampai kemudian Kerajaan Panjalu mengalami masa keemasan. Raja terakhir dari Kerajaan Panjalu adalah Srengga atau Kertajaya yang kemudian mengalami kemerosotan setelah mendapat serangan dari Ken Arok dari Tumapel dan kemudian pada tahun 1222 Panjalu ditaklukkan oleh Ken Arok. Menurut para sejarawan, setelah kekalahan Panjalu dan Jenggala oleh Ken Arok, kemudian disatukanlah dua kerajaan tersebut menjadi Kerajaan Singasari. Kemunculan tokoh Ken Arok itulah kemudian dipercayai munculnya wangsa baru yaitu Rajasawangsa atau Girindrawangsa dan Wangsa inilah yang berkuasa di Singasari. Raja Singasari yang terakhir adalah Raja Kertanagara. Dalam perjalanannya Kerajaan yang dipimpin oleh Ken Arok tersebut banyak sekali mengalami berbagai gejolak, baik gejolak politik, ekonomi, sosial dan budaya yang banyak mempengaruhi perkembangan kerajaan tersebut. Permasalahan politik yang mendasar adalah ketika munculnya Ken Arok menjadi penguasa di Tumapel yang menurut cerita, naiknya Ken Arok adalah ketika dia telah berhasil membunuh Tunggul Ametung. Dari situlah muncul berbagai gejolak politik dan permasalahan kekuasaan yang dampaknya sangat negatif terhadap perkembangan ekonomi dan permasalahan sosial. yaitu saling
berebutnya kekuasaan antara keturunan dari Ken Arok dan dari keturunan Tunggul Ametung. Kondisi
yang semacam itu mulai
membaik ketika naiknya Kertanegara menjadi penguasa di Singasari. Munculnya Kertanegara menjadi penguasa sangat mempengaruhi perkembangan disegala bidang baik permasalahan kenegaraan dan permasalahan sosial. Langkah awal yang dilakukan Kartanegara adalah menguatkan legitimasi kekuasaan atau pemutlakan kekuasaan. Salah satu dari tindakan untuk mengokohkan kekuasaan adalah mengadakan ekspedisi militer ke berbagai daerah baik di Jawa, Bali, bahkan sampai ke sumatra. Ekspedisi itu tampaknya tidak hanya untuk perluasan ekonomi, tapi juga untuk keinginan akan kebesaran kekuasaan. Diceritakan pula pada masa kekuasaan Kertanegara datang utusan dari kerajaan Cima yang pada waktu itu diperintah oleh Kaisar KhubilaiKhan yaitu permintaan kerajaan Cina kepada Singasari untuk tunduk dan memberikan upeti. Akan tetapi permintaan tersebut disambut dengan dipotongnya telinga utusan dari Kaisar Khubilai-Khan tersebut dan menyerukan perlawanan. Setelah penghinaan yang dilakuakan Kertanegara tersebut maka Khubilai-Khan akan mengutus pasukan untuk menyerang Kertanegara. Dalam bidang keagamaan Kertanegara melakukan langkah-langkah yaitu menganut agama Buddha Tantrayana aliran Kalacakra. Aliran ini memuja teradap Siwa Hairawa. Tujuan akhir dari pemujaan ini adalah Sunyaparananda, yaitu sebagai adibuddha yang abadi. Pada pemerintahan Kertanegara tidak begitu tampak kemajuan
dibidang
ekonomi.
Menurut
para
sejarawan
yang
mengakibatkan adalah faktor internal kerajaan yang disibukkan dengan permasalahan untuk penguatkan legitimasi kekuasaan.
Jayakatwang, salah seorang dari keturunan Kertajaya (keturunan Tunggul Ametung) setelah lama menghimpun kekuatan akhirnya
melakukan
pemberontakan
terhadap
pemerintahan
Kertanegara. Dan akhirnya Kertanegara dapat dikalahkan oleh Jaya Katwang dan menggantikan kekuasaan di Singasari. Kemudian anak dari Kertanegara yaitu Raden Sanjaya berhasil merebut kembali Singasari dengan bantuan pasukan Cina yang semula tujuan Kedatangan pasukan Cina tersebut untuk menyerang Kertanegara. Akan tetapi Kertanegara sudah terbunuh oleh Jaya Katwang. Setelah Raden Sanjaya dapat menguasai Kerajaan Singasari, maka Raden Sanjaya merubah Singasari menjadi Majapahit. Dari situlah maka berakhirlah kerajaan Singasari yang menurut sejarawan ada yang menyebut bahwa yang pertama kali mendirikan Singasari adalah Ken Arok, dan ada yang menyebut bahwa yang pertama kali mendirikan Singasari adalah Kertanegara. Kerajaan Majapahit merupakan Kerajaan besar di Jawa yang berhasil menguasaai hampir seluruh nusantara. Keberadaan kerajaan ini sejak akhir abad XIII hingga akhir abad XVI M. Meskipun keberadaan Kerajaan tersebut dan kekuasaannya termasuk sebentar hanya sekitar tiga abad, akan tetapi pengaruh kekuasaan tersebut begitu hebat. Hal tersebut di karenakan politik kekuasaan yang dilakukan oleh Majapahit sangat baik dan mampu mewarnai hampir seluruh nusantara. Kemerosostan kerajaan ini dimulai setelah sepeninggalnya Raja Hayam Wuruk. Karena sepeninggalnya banyak terjadi kemelut dan terjadi perebuatan kekuasaan antara Keluarga Kerajaan. Kehancuran Majapahit lebih dipertegas lagi setelah mendapat serangan dari Pati Unus, Demak. Keberadaan dari Kerajaan Majapahit melalui proses yamg sangat panjang. Embrio Kerajaan Majapahit ini diperkirakan dari
Kerajaan Singasari. Setelah Kertanegara gugur oleh pemberontakan yang dilakukan oleh Prabu Jayakatwang, Maka Kerajaan yang menurut para sejarawan didirikan oleh Ken Arok dari Tumapel
tersebut
dikuasai oleh Wangsa Isyana. Dari dikalahkannya Kertanegara tersebut maka keturunan dari Kertanegara yaitu Raden Wijaya. Dia berusaha merebut kembali kekuasaan moyangnya. Dari Geneologinya Wijaya adalah termasuk dari keturunan Ken Arok dan Ken Dedes. Kemudian ia diambil menantu oleh Kertanegara. Menurut Prasasti Kudadu 1294 M, Wijaya adalah yang di utus oleh Kertanegara untuk memimpin pasukan Singasari untuk menghadang serangan dari arah utara, kemudian dia kalah karena dihianati oleh Arddharaja dan melarikan diri ke Madura. Dalam pelariannya Wijaya di dampingi oleh beberapa orang diantaranya Sora, Ronggo Lawe dan Nambi, anak dari Aryya Wiraraja. Pelariannya ke Madura tersebut atas anjuran dari Nambi, untuk itu pelarian Wijaya tesebut dapat diterima oleh Aryya Wiraraja. Setelah berada di Madura, Wijaya mendapat anjuran dari Wiraraja untuk kembali ke Kediri dan menyerah kepada Jayakatwang. Wijaya mendapatkan kepercayaan penuh oleh Jayakatwang, sehingga ketika ia meminta hutan Terik untuk dibuka sebagai Desa. Daerah tersebut dibuka oleh Wijaya dengan bantuan Wiraraja, dan diberi nama Majapahit. Pada tahun 1293 datang bala tentara dari Khubilai Khan yang sebenarnya untuk menyerang Singasari yang hendak menghukum Kertanegara di pelabuhan Tuban. Cerita perang tersebut disebutkan dalam Tarih Tiongkok dengan jelas. Tertera Tatar (baik dalam Pararaton maupun Nagarakertagama memakai nama Tatar) yang berjumlah sekitar 20.000 pasukan yang dipimpin oleh Shih-Pi, I-KeMe-Se
dan
Kau-Hsing.
Kedatangan
pasukan
ini
merupakan
kesempatan yang yang baik bagi Wijaya untuk membalas kepada Jayakatwang. Kemudian Wijaya mengirimkan utusan kepada pimpinan
tentara Tartar bahwa ia tunduk kepada
kekuasan Cina bersedia
membantu untuk menyerang Kediri. Diterimanya usulan Wijaya tersebut dan akhirnya Wijaya dengan bantuan Tatar berhasil mengalahkan Jayakatwang Menurut tarih Tiongkok menyebutkan Jayakatwang dibunuh, tetapi menurut Pararaton menceritakan bahwa Jayakatwang dipenjarakan di Jenggaluh (Hujing Galuh). Dalam penjara ia mengarang Kidung “Wukir Polaman” dan setelah sesai wafatlah Jayakatwang. Matinya Jayakatwanng maka beakhirlah kekuasaann Wangasa Ishana. Setelah mampu mengalahkan Jayakatwang, ia berbalik menyerang tentara Tatar. Dengan demikian maka Wijaya mampu mendirikan kekuasaan moyangnya dan ia menobatkan diri menjadi Raja Majapahit pada tahun 1215 saka (1293) dengan gelar Kertarajasa Jayawardhana. Pararaton menyebutkan mengapa Wijaya melakukan penyerangan terhadap Tatar karena pasuakkn Tatar hendak membawa putri-putri Kertanegara sebagai jarahan ke Cina. Raden Wijaya menaiki tahta Kerajaan Majapahit atau dengan nama sansekerta Tiktawilwa atau Wilwatikta dengan nama Kertarajasa Jayawardhana (1293-1308) Beberapa
masalah
kenegaraan
Majapahit
setelah
kenaikan Kertarajasa sampai dengan keruntuhan Kerajaan : No 1
Raja Kertarajasa
Tahun 1295
Masalah Pemberontakan
Sumber masalah Tidak puas dengan
Ronggolawe
kedudukan yang diperoleh
2
Kertarajasa
1298-1300 Pemberontakan
Difitnah oleh
Lembu Sora
Jayapatni, sebagai pembuat kerusuhan
3
4
Jayanegara
Jayanegara
1316
1318
Pemberontakan
Difitnah oleh
Nambi
Mahapatni
Pemberontakan
Difitnah Oleh Nambi
Semi 5
Jayanegara
1319
Pemberontakan
Difitnah oleh Nambi
Kuti 6
Jayanegara
1328
Ra Tanca
7
Tribuanatungga
1331
Pemberontakan di
dewi 8
Tribuanatungga
Sadeng dan Keta 1343
Penaklukan Bali
dewi 9
Hayam Wuruk
Pembunuhan raja oleh Tanca
Raja Bali yang jahat dapat dibunuh
?
Perang Bubar
Hayam Wuruk menghendaki Dyah Pitaloka sebagai permaisuri. Gajah Mada menginginkan agar raja Sunda mempersembahkan Putrinya sebagai tanda takluk, akan tetapi raja Sunda tidak mau.
10
Suhita
1401-1406 Peristiwa Paregrek
Pertentangan Wikramawardana dengan Bre Wirabumi yang tidak puas terhadap kedudukan
Suhita sebagai Raja. 11
Suhita
1433
Pembunuhan
Balas dendam dari
Raden Gajah
keluarga Wirabumi Karena R Gajah telah membunuh Wirabumi
12
Rajasawardhana
?
Memindahkan
Keadaan politik
pusat
Majapahit telah
pemerintahan
di memburuk akibat
Keling-Kauripan
pertentangan keluarga dan beberapa daerah bawahan melepaskan diri.
13
1453
Masa kekosongan
Akibat adanya pertentangan keluarga untuk merebutkan kekuasaan, memperlemah kedudukan. Sehingga tidak ada yang muncul menjadi penguasa.
Pasca runtuhnya Majapahit, yang oleh para seniman di eranya disebut dengan istilah sirna ilang kertaning bhumi, selain dari factor internal di kerajaan tersebut yang penuh dengan konflik, perebutan kekuatasaan, juga dipengaruhi oleh banyak factor lainnya dari luar. Konflik di internal yang terjadi membuat kerajaan Majapahit yang besar dengan ratusan Negara-negara kecil dibawahnya memisahkan diri dan membentuk pemerintahan sendiri tanpa ada intervensi dari Majapahit.
Dengan melepaskan dirinya Negara-negara kecil dibawah Majapahit, maka kekuatan militer Majapahit semakin melemah, hingga akhirnya pada medio abad ke-15 kerajaan terbesar di nusantara ini diserang dengan kekuatan militer Demak hingga runtuhlah kekuasaan mereka. Sementara di Demak, berdirilah kerajaan Islam pertama yang didirikan oleh Raden Patah paa tahun 1478. Raden Patah adalah putra Raja Majapahit, Brawijaya, dengan iu keturunan Champa (Daerah yang sekarang adalah perbatasan Kamboja dan Vietnam). Pada awal abad ke-14, Kaisar Yan Lu dari Dynasti Ming mengirmkan seorang putri kepada Brawijaya di Kerajaan Majapahit sebagai tanda persahabatan kedua negara. Putri yang cantik jelita dan pintar ini segera mendapatkan tempat istimewa di hati raja. Raja Brawijaya sangat tunduk pada semua kemauan sang putri jelita, yang nantinya membawa banyak pertentangan dalam istana Majapahit. Pada saat itu, Raja Brawijaya sudah memiliki permaisuri yang berasal dari Champa, masih kerabat Raja Champa dan memiliki julukan Ratu Ayu Kencono Wungu. Makamnya saat ini ada di Trowulan, Mojokerto. Sang permaisuri memiliki ketidakcocokan dengan putri pemberian Kaisar Yan Lu. Akhirnya
raja
Brawijaya
dengan
berat
hati
harus
menyingkirkan Puteri cantik ini dari Majaphati. Dalam keadaan mengandung putri cantik itu di hibahkan oleh Raja Brawijaya kepada Adipati Palembang, Arya Sedamar. Dan disanalah Jim-Bun atau Raden Fatah dilahirkan. Dari Arya Sedamar, ibu kandung Raden Fatah memiliki anak laki-laki dan menjadi saudara kandung beda ayah dengannya. Setelah memasuki usia belasan tahun, Raden Patah, bersama adiknya, dan diantar ibunya berlayar ke Pulau Jawa untuk belajar di
Ampeldenta. Raden Patah mendarat di Pelabuhan Tuban sekitar tahun 1419 masehi. Jim-Bun atau Raden Patah sempat tinggal beberapa lama di Ngampeldenta, di rumah pamannya, Sunan Ampel dan juga bersama para saudagar besar muslim lainny ketika itu. Di Ampeldenta Raden Patah mendapatkan dukungan dari rekan-rekan utusan Kaisar Cina, Panglim Cheng Ho atau juga dikenal Dampu Awang atau Sam Poo Tai-Jin, panglima berasal dari Xin-Kiang yang beragama Islam. Dengan dukungan moral yang banyak diberikan dari para saudagar muslim dan para ulama saat itu, bersama dengan beberapa ulama, Raden Patah mendirikan kerajaan Demak yang terletak di sebelah timur Sam Poo Toa Lang (sekarang Semarang). Kejayaan kerajaan Demak di bawah Raden Patah terbukti mampu menjadi kekuatan besar yang tak tertandingi di zamannya. Bahkan, dengan kekuatannya dan kewibawaannya, dia mampu membuat pasukan gabungan dari Demak, Tuban, Banten dan beberapa kerajaan besar lain di Sumatera untuk melakukan penyerangan terhadap Portugis di Malaka dibawah komando Adipati Unus. Hingga pada tahun 1518, Raden Patah yang sudah cukup umur akhirnya mangkat dan tahta kerajaan Demak digantikan oleh anak menantunya Adipati Unus yang karena prestasinya melawan Portugis di Malaka ia mendapat gelar Pangeran Sabrang Lor. 1521 Masehi, Adipati Unus kembali membuat tentara gabungan dan melakukan penyerangan terhadap Portugis di Malaka. Namun karena jumlah tentara yang tidak sebesar ekspedisi pertama serta terbatasnya amunisi perang akhirnya Adipati Unus gugur dalam pertempuran ini. Dan tahta kerajaan secara otomatis jatuh ke tangan adik iparnya, Sultan Trenggono. Di bawah Sultan Trenggono, Demak mengalami kemunduran dan kemajuan yang mencolok. Dikatakan kemunduran karena
Trenggono tidak lagi melanjutkan misi besar Adipati Unus yang membangun armada perang angkatan laut seperti zaman Majapahit, dimana telah terbukti dengan kekuatan armada laut Demak semakin Berjaya di tengah kerajaan besar yang ada. Oleh Trenggono, kekuatan armada laut yang berpusat di Jepara akhirnya ditutup, kapal-kapal besar yang belum selesai dibuat akhirnya dibiarkan begitu saja. Sebagai gantinya, Trenggono memperkuat armada pasukan darat, yakni pasukan kuda dan pasukan kaki. Oleh Trenggono pasukan ini diberikan kepada Fatahilah untuk melakukan penyerangan dengan jalur darat ke Jayakarta. Perubahan pasukan ini ternyata membuat konflik cukup besar di dalam istana, sehingga Ibunda Trenggono, Ratu Aisyah memilih untuk keluar istana dan menempati rumah Adipati Unus di dekat pelabuhan Jepara. Paska meninggalnya Sultan Trenggono, kerajaan dipimpin oleh Sunan Prawoto, disinilah awal kemuduran kerajaan Demak dimulai. Dengan menyerahkan tampuk kekuasaan ke Sunan Prawoto, adik dari Sultan Trenggono yang juga merasa berhak atas kekuasaan di Istana melawan Sunan Prawoto. Pangeran Seda Lepen ini kemudian dibunuh oleh pasukan Sunan Prawoto karena melakukan aksi makar. Tidak terima dengan perlakuan Sunan Prawoto yang membunuh ayahnya, Arya Penangsang, putra kandung Pangeran Seda Lepen akhirnya menghabisi Sunan Prawoto dan seluruh keluarganya pada tahun 1561. Terbunuhnya Sunan Prawoto oleh orang suruhan Arya Penangsang membuat Arya Penangsang naik takhta, oleh kekhawatiran adanya dendam dari saudara atau orang dekatnya Sunan Prawoto, Arya Penangsang juga memerintahkan pasukannya untuk menghabisi Adipati Jepara. Kematian Adipati Jepara di tangan Arya Penangsang membuat banyak Adipati memusuhi Arya Penangsang. Dari balik layar, kekuatan yang dibangun oleh Joko Tingkir,
menantu dari Sunan Prawoto, berhasil membunuh Arya Penangsang. Membaca situasi Demak yang tidak mungkin diselamatkan, akhirnya Joko Tingkir memilih untuk memindahkan istanannya ke daerah Pajang dan mendirikan Kesultanan Pajang. Pada awal berdirinya, tahun 1549, kerajaan Pajang memiliki Wilayah meliputi Jawa Tengah saja, karena negeri-negeri Jawa Timur banyak yang melepaskan diri setelah kematian Sultan Trenggana. Namun pada tahun 1568 Sultan Hadiwijaya (Joko Tingkir) dan para adipati Jawa Timur dipertemukan di Giri Kedaton oleh sunan Prapen. Dalam kesempatan itu, para adipati sepakat mengakui kedaulatan Pajang di atas negeri-negeri Jawa Timur. Sebagai tanda ikatan politik, Panji Wiryakrama dari Surabaya (Panji Wiryakrama adalah pemimpin dari persekutuan adipati di Jawa Timur) dinikahkan dengan putri Sultan Hadiwijaya. Untuk semakin memperluas wilayahnya, Sultan Hadiwijaya kemudian memberikan putrinya kepada Raden Pratanu atau Panembahan Lemah Dhuwur untuk dinikahkan sebagai symbol kontrak politik antara kasultanan Pajang dengan kadipaten Madura. Sebelum jauh, sedikit menyusupkan pada tahun pertama berdirinya
kerajaan
Pajang,
tepatnya
di
tahun
1549
terjadi
pemberontakan yang dilakukan oleh Arya Penangsang. Untuk menumpas
pemberontakan
itu,
Sultan
Hadiwijaya
akan
menghadiahkan tanah di Pati dan Mataram kepada siapapun yang mampu menumpasnya. Tersebutlah dalam sejarah tersebut bahwa pemberontakan itu berhasil diredamkan oleh Ki Ageng Pemanahan dan Ki Penjawi. Ki Penjawi pada tahun 1549 mendapatkan tanah Pati sebagai hadiah atas penumpasan tersebut. Hal lain terjadi pada Ki Ageng Pemanahan atas keberhasilan membunuh Arya Penangsang, konon melalui tangan Sutawijaya, anak dari Ki Ageng Pemanahan,
mendapatkan hadiah tanah Mataram dan menjadi adipati di daerah tersebut setelah beberapa tahun kemudian, yakni pada tahun 1556, itu saja dibantu oleh Sunan Kalijogo. Penundaan pemberian hadiah kepada Ki Ageng Pemanahan oleh Sultan Hadiwijaya karena Sultan mendapatkan berita ramalan dari Sunan Prapen bahwa di Mataram akan lahir kerajaan besar yang besarnya melebihi Pajang. Tahun 1975 Sutawijaya menggantikan ayahnya Ki Ageng Pemanahan menjadi adipati di Mataram. Kemampuannya memimpin kadipaten ini, membuatnya semakin besar dan daerahnya menjadi makmur. Tahun 1582 konflik antara Pajang dan Mataram muncul. Sutawijaya sebagai penguasa Mataram harus membela adik iparnya yaitu Tumenggung Mayang yang di hukum buang ke Semarang atas perintah dari Sultan Hadiwijaya. Konflik yang semakin menajam ini membuat terjadi perang besar-besaran. Jumlah tentara Pajang berkali-kali lipat dari jumlah tentara yang dimiliki oleh Mataram. Namun Sutawijaya tidak kehilangan akal. Dengan kemampuan dan pengalaman perangnya, dia berhasil memukul mundur tentara Pajang dan memenangi peperangan. Kekalahan perang membuat beban pikiran dan moral Sultan Hadiwijaya semakin berat. Dengan beban itu membuatnya sakit, semakin hari sakitnya semakin parah dan akhirnya meninggal dunia. Kematian Sultan Hadiwijaya mewariskan tahta kerajaan Pajang yang pada akhirnya diperebutkan oleh dua orang keturunannnya yakni Pangeran Benawa dan Arya Pangiri. Atas dukungan dari Paenembahan Kudus, pada tahun 1583, Arya Pangiri naik tahta menjadi raja dari kerajaan Pajang. Pemerintahan Arya Pangiri dalam perjalanannya disibukkan dengan upaya balas dendam pada Sutawijaya di Mataram. Karena
sibuknya memerangi Mataram maka kehidupan rakyat Mataram terabaikan. Yang diutamakan adalah memperkuat tentara untuk berperang melawan Mataram. Keadaan ini membuat Pangeran Benawa yang telah tersingkir ke Jipang menjadi prihatin. Tiga tahun setelah Pajang dipimpin oleh Arya Pangiri, 1586, Pangeran Benawa akhirnya menentukan sikap, dia memilih bersekutu dengan Sutawijaya di Mataram. Pangeran Benawa sadar bahwa pilihannya bersekutu dengan Sutawijaya yang telah membunuh Sultan Hadiwijaya adalah dosa yang tak termaafkan, namun dia sadar bahwa tidak ada kekuatan lain yang mampu melawan Pajang kecuali dari kekuatan Mataram, berangkat dari hal ini, Pangeran Benawa menganggap Sutawijaya sebagai saudara tua. Di tahun yang sama itu, pasukan besar dari Mataram dengan bantuan Pangeran Benawa menyerbu Pajang. Kedua armada perang setelah bertempur besarbesaran diakhiri dengan kekalahan Arya Pangiri. Kekalahan Arya Pangiri ini harus ditebus dengan harga yang mahal, selain mengalami tekanan yang begitu besar, dia juga diturunkan dari tahtanya sebagai raja Pajang dan dikembalikan ke negeri asalnya, Demak. Dan secara otomatis, Pangeran Benowo sebagai pihak yang memenangkan perang menduduki tahta menjadi raja Pajang ketiga. Pangeran Benowo memimpin Pajang dengan adil hingga akhir hayatnya, namun masalah menghampiri tatkala ia meninggal, tak ada putra mahkota yang menggantikannya. Sehingga keputusan yang diambil paska meninggalnya beliau adalah Pajang menjadi wilayah kecil Mataram yang dipimpin oleh Pangeran Gagak Bintang, adik kandung dari Sutawijaya. Sutawijaya sendiri mendirikan kerajaan Mataram dan sekaligus menjadi raja pertama dengan gelar Panembahan Senopati. Awalnya wilayah kerajaannya hanya di sekitar Jawa Tengah saja,
namun setelah mewarisi wilayah Pajang menjadi luas cakupan wilayahnya hingga Jawa Timur dan Madura. Pusat pemerintahan berada di Mentaok, wilayah yang terletak kira-kira di timur Kota Yogyakarta dan selatan Bandara Adi Sucipto sekarang. Lokasi keraton (tempat tinggal raja/istana) berada di daerah Banguntapan, kemudian dipindah ke Kotagede. Setelah beliau meninggal dan dimakamkan di Kotagede. Kerajaan ini diteruskan oleh putranya Mas Jolang yang bergelar Prabu Hanyokrowati. Sayangnya kekuasaan Prabu Hanyokrowati tidak berlangsung lama karena beliau wafat karena kecelakaan saat sedang berburu di hutan Krapyak. Karena itu ia juga disebut Susuhunan Seda Krapyak atau Panembahan Seda Krapyak yang artinya Raja (yang) wafat di Krapyak. Setelah itu tahta beralih sebentar ke tangan putra keempat Mas Jolang yang begelar Adipati Martopuro. Ternyata Adipati Martopuro menderita penyakit syaraf sehingga tahta beralih keputra sulung Mas Jolang yang bernama Mas Rangsang. Sesudah naik tahta, Mas Rangsang bergelar Sultan Agung Hanyokrokusumo atau lebih dikenal dengan sebutan Sultan Agung. Pada masanya Mataram berekspansi untuk mencari pengaruh di Jawa. Wilayah Mataram mencakup pulau Jawa dan Madura. Ia memindahkan lokasi keratin ke Kerta. Akibat dari gesekan dalam penguasaan perdagangan antara Mataram dengan VOC yang berpusat di Batavia, Mataram lalu berkoalisi dengan Kesultanan Banten dan Kesultanan Cirebon dan terlibat dalam beberapa peperangan antara Mataram melawan VOC. Setelah wafat, Sultan Agung dimakamkan di Imogiri dan digantikan putranya yang bergelar Amangkurat I. Demikian seterusnya hingga perpecahan kerajaan Mataram menjadi dua setelah perjanjian Giyanti, perpecahan ini membagi kerajaan Mataram yang berpusat di Kasunanan Solo dan Kasultanan
Ngayogyakrta Hadiningrat hingga saat ini.
Konstruksi Sosiologis Islam Indonesia Membahas Konstruksi Islam di nusantara, tidak dapat dilepaskan dari keberadaan agama yang sebelumnya ada, ini menjadi penting karena didalam konstruksi Islam Indonesia adalah bentuk perpaduan kebudayaan antara budaya Islam dan budaya nusantara. Sering disebut juga sebagai Islamisasi budaya nusantara. Namun sebelum sampai disana, perlu sedikit dikaji pula tentang pola lalu lintas penyebaran Islam pertama kalinya di seluruh kepulauan nusantara. Objek dari penyebaran Islam pertama kali adalah kaum ningrat (priyayi/bangsawan) dan masyarakat umum lainnya pada tahapan selanjutnya. Keterkaitan penyebaran Islam dengan politik kekuasaan bukan karena tidak mampu mengendalikan syahwat politiknya saat itu, namun karena memang sudah merupakan setting jangka panjang yang telah tersusun jauh hari sebelumnya sebagai salah satu cara paling efektif untuk menyebarkan Islam, setidaknya secara formalitas terlebih dahulu. Sering terjadi saat Islam pertama kali datang ditengah-tengah kerajaan nusantara, sebagai para pedagang, dan belum membentuk system kekuasaan, bila situasi politik di suatu kerajaan mengalami kekacauan dan kelemahan yang disebabkan oleh perebutan kekuasaan di kalangan keluarga istana, Islam dijadikan alat politik golongan bangsawan atau pihak-pihak yang menghendaki kekuasaan itu. Bara bangsawan yang bertikai menjalin hubungan dengan para pedagang muslim yang posisi ekonominya lebih kuat karena mereka menguasai perdagangan dan pelayaran. Apabila kerajaan Islam berdiri, tidak jarang penguasanya
juga melancarkan serangan kepada kerajaan di sekitarnya yang nonIslam. Untuk mencari alasan yang tepat mengenai serangan tersebut memang cukup sulit, serangan tersebut dinilai serangan politis atau serangan agamis, yang pasti,
setiap penguasa memiliki naluri
melindungi dan mempertahankan kekuasaan dan rakyatnya. Jadi dorongan yang sangat kuat untuk dalam penyerangan memang politis, meskipun tetap disusupi nilai-nilai agamis untuk menyebarkan Islam. Menenai jalur penyebaran pertama yang dilakukan oleh para penyebar agama Islam, setidaknya dapat dirangkum dalam lima strategi penyebaran, yakni melalui system perdagangan, pendidikan, perkawinan, kesenian dan politik. Kelima cara ini digunakan pertama kali untuk sekedar mengenalkan keberadaan Islam. Selanjutnya untuk pengembangannya, dilakukan berbagai strategi pendidikan agama yang melalui system tersebut secara lebih mendalam. Untuk strategi pertama, yakni melalui jalur perdagangan, pertama kali dilakukan oleh para pedagang muslim yang dating dari Gujarat, Persia dan Arab. Cara ini untuk tahap pengenalan sangat tepat mengingat dengan cara ini, masyarakat dan raja di suatu kerajaan yang menjadi relasi perdagagannya memiliki respek yang cukup tinggi dan disamping itu, mereka juga terlibat dalam perdagangan, sederhananya, tidak mungkin seorang raja atau bangsawan akan tidak menghargai relasi bisnisnya, apalagi relasi bisnis yang menguasai pelayaran dan perdagangan internasional. Aktivitas semacam ini terpusat di bagian utara pulau Jawa, yang demikian membuat banyak para pedagang muslim yang tinggal dan menetap di daerah pantai utara Jawa. Setelah transaksi perdagangan, cukup memiliki waktu untuk singgah di daerah tersebut, biasanya apabila datang dalam waktu yang cukup lama sambil menunggu musim angin untuk pelayaran kembali, mereka mendirikan masjid atas seizin raja. Disaat itulah penyebaran
agama mulai dilakukan, mereka mengenalkan agama mereka kepada raja dan para pembesar kerajaan dan sebagian masyarakat sipil yang berada disekitarnya. Mengajak untuk memeluk Islam dan menjadikan kerajaan yang dipimpin sebagai kerajaan Islam. Setelah tahap pengenalan ini selesai, datang gelombang selanjutnya yang disebut sebagai Mulla (sebutan untuk ulama Persia), para Mulla adalah guru spiritual bagi para pedagang, mereka sendiri juga melakukan aktivitas perdagangan. Para Mulla dalam sejarah berhasil menaklukan daerah Majapahit yang berada di pesisir dengan mengajak adipati yang memimpin untuk memeluk Islam. Cara-cara ini terbukti banyak memberikan hasil, karena setelah rajanya memeluk Islam, secara perlahan, masyarakat yang dipimpinnya juga mengikuti jalan yang diambil oleh rajanya. Selain oleh faktor politik yang demikian itu, juga konvensi mereka ke Islam karena sentuhan langsung dengan para pedagang membuat mereka mengenal Islam sekaligus melihat Islam sebagai tatanan yang menurut mereka paling tepat. Para pedagang Islam memiliki status ekonomi yang jauh lebih mapan dibandingkan dengan bangsa pribumi. Mereka, secara ekonomi, memiliki lebih dibanding dengan pedagang lokal, sehingga masyarakat lokal akan bangga apabila dipinang untuk dinikahi oleh para pedagang muslim. Para pedagang ini, sebelum menikah, dengan calon istrinya dilakukan persamaan akidah, setelah sama-sama muslim, pernikahan baru dilangsungkan. Pada perkembangan selanjutnya, para bangsawan juga melakukan hal yang sama, menikah dengan anak para saudagar. Misalnya apa yang terjadi dengan Raden Rahmat yang menikah dengan Nyai Manila, Sunan Gunung Jati menikahi Putri Kawunganten, Prabu Brawijaya dengan Putri dari Campa yang melahirkan Raden Patah (pendiri kerajaan Demak Bintoro). Penyebaran melalui jalur ini
terbukti paling efektif, dalam kepercayaan masyarakat nusantara, raja adalah titisan para dewa, adipati dan para bangsawan adalah juga memiliki trah pararaton yang kadewan, sehingga apa yang diucapkan, apa yang dilakukan dan apa yang ditetapkan menjadi hukum bagi masyarakat. Inilah yang kemudian memberi peran besar, bahwa dengan masuknya para raja dan priyayi kalangan istana ke dalam Islam, secara otomatis, masyarakat yang dipimpinnya juga masuk Islam dan secara menyeluruh kemudian makin menyebar. Pernikahan Raden Rahmat dengan Nyai Manila dari yang bukan kalangan bangsawan, kemudian tinggal di daerah Surabaya. Disana dia mempelajari system pendidikan masyarakat nusantara. Dengan demikian secara perlahan kemudian mempraktekan hal yang sama. Diawali dari pendidikan semacam padepokan, yang kemudian dikenal dengan istilah pesantren. Kemudian lambat laun muridnya makin lama makin banyak hingga banyak santrinya yang kemudian ditugaskan untuk menyebarkan Islam dikawasan pedalaman nusantara. Pesantren pertama kali berdiri ini oleh Raden Rahmat yang kemudian bergelar Sunan Ampel diberi nama Ampeldenta. Demikian halnya yang dilakukan oleh Sunan Giri di Gresik. Para santri yang telah lulus di pesantren oleh para sunan itu disebarkan diberbagai pelosok tanah air untuk mengenalkan kepada masyarakat agama mereka. Mengajak untuk masuk ke dalam agama Islam dan meninggalkan praktek peribadatan lama dengan cara yang santun serta tidak konforontatif dengan masyarkat lokal. Ada yang lebih unik dalam penyebaran Islam model ini, yakni dengan menyilangkan kebudayaan, menggunakan praktik ritus keagamaan klasik namun dikemas dalam gaya yang Islami, seperti praktek nyadran, sedekah gunung, sedekah laut, ngapati, mitoni, mitungdino dan sebagainya yang semula merupakan ritus agama Hindu, Budha dan aliran kepercayaan digeser esensinya dalam kerangka keIslaman.
Hal ini terkait juga dengan penyebaran Islam melalui jalur kesenian dan kebudayaan. Bahwa dengan proses akulturasi budaya inilah masyarakat cenderung tidak melakukan perlawanan, bahkan mengikuti secara perlahan dari inti ajaran keIslaman yang dianutnya. Sampai sekarang yang paling terkenal untuk jalur ini adalah wayang dan gamelan. Wayang menjadi proses Islamisasi yang tidak terlupakan karena terrekam dalam sejarah hingga saat ini dengan menampilkan tokoh ponakawan serta alur cerita yang digubah sedemikian rupa dari daerah asalnya. Di bidang ini Sunan Kalijaga sangat konsen, apalagi dengan kelihaiannya menjadi dalang dan menabuh gamelan. Sunan Kalijaga ketika mendalang berhasil menarik perhatian penonton, karena disamping melakukan berbagai pembaruan diberbagai sisi, termasuk pakem pewayangannya serta gubahan cerita dan babad yang sedemikian menariknya, beliau juga tidak pernah memungut upah atas pertunjukkannya itu, beliau hanya memberikan tiket masuk kepada penonton dengan mengucapkan kalimat syahadat. Cara ini sangat membekas dihati masyarakat, terutama masyarakat pedalaman yang sangat membutuhkan entertainment untuk menghibur hiruk-pikuknya kehidupan sehari-hari mereka yang berat. Terakhir, adalah melalui jalur politik, jalur ini menggunakan diplomasi dan berbagai jalur sebelumnya seperti pernikahan dan pendidikan. Melalui jalur politik, karena dalam kepercayaan public bahwa pangucap raja adalah hukum yang diyakini sebagai sabda pandhita ratu sangat bermakna di masyarakatnya. Setelah rajanya berhasil diIslamkan, maka secara otomatis masyarakat disekitarnya juga menganut Islam sesuai dengan sabda pandhita ratu. Perbedaan mendasar dari penyebaran Islam di nusantara dengan di daerah lainnya adalah, bahwa ketika penyebaran Islam
didaerah lain cenderung mudah diterima oleh masyarakat atau penguasa daerah tersebut karena berhadapan dengan pola hidup dan peradaban yang sederhana, sehingga kedatangan Islam menjadi alternative peradaban yang menyimpan harapan membawa kebaikan taraf kehidupan berikutnya. Akan lain ketika dijumpai di tanah nusantara, terutama Jawa, kedatangan Islam ditanah ini dihadapkan pada tatanan yang telah stabil, memiliki kebudayaan yang telah maju, tatanan sosial yang mapan serta ritus religi yang telah mengakar kuat. Dapat dilihat dari panjangnya sejarah nusantara, bahwa di nusantara sebelumnya telah berkembang pesat agama-agama klasik (animisme dan dinamisme) serta agama-agama peradaban (Hindu dan Budha). Agama ini memberikan warna sendiri dalam kehidupan sosial, bahkan seluruh masyarakat nusantara pada era tersebut menyandarkan kebutuhan sosialnya pada ritus keagamaan. Dapat disaksikan ini melalui ritus sosial berupa nyadran, sedekah gunung, sesajen dan sebagainya yang merupakan pengeJawantahan dari pernyataan keberagamaan mereka. Menghadapi situasi yang sedemikian kompleks dan memiliki peradaban cukup tinggi, para penyebar Islam harus berfikir berkali-kali untuk
mampu
menembus
batas
penyebaran.
Bahwa
dengan
disebarkannya agama ditanah nusantara berarti merupakan upaya dasar untuk mampu menembus batas sosial yang telah tersusun. Situasi ini setidaknya memberikan arus jalan besar pemikiran masyarakat nusantara pada era tersebut, pertama arus besar dari kalangan istana dan para bangsawan yang telah membuka budaya agung Hindu Budha dalam tatanan mereka. Arus ini sangat dihormati dikalangan masyarakat sipil disekitar kotaraja. Sedangkan arus besar kedua adalah arus besar dari masyarakat diluar kotaraja yang didominasi oleh kalangan petani dan nelayan. Mereka masih bersandar
kebutuhan spiritual mereka pada animisme dan dinamisme. Kalau yang pertama adalah telah mengembangkan tradisi tulisan dengan memanfaatkan sastra keagamaan Hindu Budha yang merupakan kebudayaan sinkritisme yang bersifat kompleks dari unsur klenik yang serba magis-animis hingga unsur mitologis-mistis yang halus tergabung menjadi satu sebagai bangunan budaya yang rumit dan kompleks. Kebudayaan istana ini tetap mempertahankan religi animisme-dinamisme
dengan
tata
adat
istiadat
tertentu
yang
mendukungnya dan telah diperkaya dengan sastra dan tata tulis Hindu, maka yang kedua hanya sebatas tradisi lisan, tutur tinular, yang terus berkembang dari masa ke masa. Melihat perkembangan kebudayaan masyarakat nusantara pada fase pra-Hindu-Budha, tampak bahwa kepercayaan masyarakat pada sesuatu yang gaib, misteri hanya bersifat dugaan yang berawal dari keterbatasan mereka memahami fenomena alam yang mengiringi harapannya untuk bisa hidup secara lebih baik dan sejahtera. Begitu datang ajaran baru dengan landasan yang lebih kuat, karena ditopang oleh pengalaman para penyerunya disamping juga adanya ajaran yang berdasarkan kitab suci, masyarakat nusantara lebih percaya dan meyakini sebagai sesuatu yang lebih benar tanpa menghilangkan kesan-kesan
dan
pengalaman
yang
didapat
dalam
praktik
keberagamaan sebelumnya. Begitu halnya pertama kali Islam bersinggungan dengan masyarakat nusantara sebagai salah satu alternative baru dalam pemahaman keberagamaan. Indonesia sebagai negara yang mayoritas penduduknya Islam merupakan negara yang cukup makmur dengan tingkat keberagamaan yang tinggi. Masyarakat Indonesia menempatkan agama pada titik tertinggi dalam relung kesadarannya. Segala bidang kehidupan didasar atas dasar agama, dihukumi oleh agama.
Islam masuk ke Indonesia sejak abad ke-7, tetapi versi lain sejarah Islam masuk ke Indonesia sejak abad ke-10 M. entah mana yang benar, yang jelas ada satu titik yang perlu kita bahas dari kedatangannya. Pada masa pra sejarah, dengan bukti diketemukannya fosil manusia purba, negara kita telah berpengalaman lebih dalam bidang keagamaan. Terbukti dengan diketemukannya fosil berupa menhir, dolmen, serta alat pemujaan lainnya. Bentuk agama mereka adalah, berdasarkan
penelitikan
dari
sosiolog,
adalah
animisme
dan
dinamisme. Animisme dan dinamisme begitu kuat menggelora dalam relung kesadaran orang-orang purba, segala sesuatu yang mereka lakukan sering kali atas nama kepercayaannya ini. Belum selesai tradisi animisme dan dinamisme yang berkembang di Indonesia, datanglah agama Hindu Budha, dimana kedua agama ini juga hampir sama ajarannya tentang konsep ritual peribadatannya. Hindu Budha menjadi sesuatu yang mudah di terima oleh masyarakat saat itu, karena apa yang terkandung didalam ajaran Hindu Budha kebanyakan merupakan perkembangan lebih lanjut dari apa yang telah mereka percayai sebelumnya. Tata sosial lambat laun semakin berubah. Perkembangan Hindu Budha yang sangat pesat memberikan warna tersendiri bagi kebudayaan masyarkat Indonesia. Seni-seni berupa seni pahat dan seni mematung direpresenatasikan dengan membuat Candi Borobudur, Candi Prambanan, Candi Dieng, Candi Mendut dan sebagainya. Ajaran-ajaran berupa puasa ngrowot (puasa tidak makan nasi), puasa Nyirih (Puasa tidak memakan sesuatu yang bernyawa), pemberian sesaji, pelestarian terhadap lingkungan, seni pewayangan dan seterusnya mewarnai kebudayaan Indonesia dan merupakan peningkatan dari kebudayaan animisme dan dinamisme
yang sebelumnya telah tinggi. Setelah maju dan berkembangnya agama Hindu Budha di Indonesia, seiring dengan terbukanya nusantara sebagai jalur perdagangan paling potensial di dunia, maka peleburan budaya antara budaya asli nusantara dengan budaya asing yang masuk ke nusantara membuat perbendaharaan budaya nusantara semakin kompleks. Kemajemukan budaya ini kemudian membuat satu daerah dengan daerah yang lain memiliki perbedaan yang mencolok. Satu wilayah yang kebetulan sering disinggahi oleh pedagang-pedagang asing memiliki corak budaya yang lebih maju dibandingkan dengan wilayah lain yang sama sekali tidak tersentuh oleh pedagang-pedagang asing. Ini membuat semakin mewarnai multikuluralisme. Sisi lain, selain kemajuan budaya, dengan seringnya masuk pedagang dari Gujarat, India dan Persia yang menganut agama Islam, maka secara perlahan-lahan kebudyaan nusantara khususnya pesisir mengalami perubahan. Semakin meningkat, dan semakin mendekati pada kebudayaan Islam pada umumnya. Hal ini dikarenakan di setiap Bandar perdagangan kerajaan pasti ada syahbandar yang bertugas sebagai mediator bahasa antara daerah yang satu dengan daerah yang lain. Wilayah yang banyak melakukan transaksi perdagangan dengan pedagang dari Gujarat, Persia dan India harus memiliki syahbandar yang memahami dan mampu berkomunikasi dengan bahasa itu agar terjadi transaksi yang benar-benar adil, serta tidak ada penipuan salah satu diantara keduanya. Syahbandar yang diangkat oleh kerajaan atau bahkan sampai level kadipaten, biasanya diambil dari orang asing yang memahami dan mampu berkomunikasi dengan bahasa lokal. Misalnya, orang Gujarat yang pandai berbahasa Jawa atau Melayu akan diangkat
menjadi syahbandar di wilayah Tuban, mengingat Tuban adalah terminal perdagangan yang cukup ramai setelah Malaka. Syahbandar memiliki kedudukan yang tinggi setingkat menteri untuk saat ini, artinya kalau boleh menyamakan, posisi syahbandar sama dengan mentri Luar Negeri atau setidaknya Juru Bicara Kenegaraan. Artinya dia memiliki kebebasan yang mutlak atas wilayah tertentu yang menjadi garapannya. Didukung gaya kehidupan masyarakat yang masih fedoalis, maka seolah posisi syahbandar iBarat orang yang memiliki otoritas penuh terhadap masalah hubungan eksternal dengan negara lain. Orang Gujarat yang kebanyakan beragama Islam, yang diangkat menjadi syahbandar, dengan bekal jabatan serta didukung gaya kehidupan feodalistik masyarakat, maka lambat laun, tata sosial masyarakat terpengaruh dengan gaya kehidupan syahbandar, dan secara perlahan, mereka mulai meninggalkan kebudayaan Hindu Budha mereka dan masuk Islam. Selain itu, banyak syahbandar atau bahkan pedagang dari Gujarat dan wilayah Arab lainnya yang kemudian menikah dengan gadis pribumi, sehingga model penyebaran agama melalui pernikahan banyak sekali dilakukan. Lambat laun dari hal-hal yang semacam ini kemudian menimbulkan tata sosial yang berlainan dengan budaya asli mereka. Pernikahan budaya antara kebudayaan Hindu Budha dengan Islam mulai nampak, munculnya bentuk baru pendidikan keberagamaan yang merujuk pada system pembelajaran ala Hindu Budha banyak dilakukan oleh penyebar agama ini. Termasuk juga bentuk bangunan masjid yang mirip dengan kebudayaan bangunan ala Hindu. Intinya,
Islam
di
Indonesia
merupakan
Islam
yang
mengambil Al Qur’an, Hadits, Ijma’ dan Qiyas sebagai rujukan utama
hukum Islam. Yang kemudian ini semua diakulturasikan dengan budaya lokal yang ada. Dari sinilah memunculkan cirri kas khusus yang memberikan warna berbeda dengan Islam daerah lainnya seperti India, Mesir, Arab Saudi, Iran, Irak dan sebagainya.
Dakwah Islamiyah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah Secara etimologi kata Ahli Sunnah Wal Jama’ah terdiri dari tiga kata, yaitu: ahli (pengikut), sunnah (jalan, tempat berlalu, ajaran) dan jama’ah (kumpul, kompak). Dalam pandangan lain kata sunah terkadang dipersamakan dengan “Tarekat” (jalan, ajaran) namun pada prinsipnya keduanya memiliki perbedaan, di mana sunah lebih menunjukkan pada apa – apa yang dinukil dari Rasulullah sedangkan tarekat bersumber dari pada syaikh. Sunah itu sendiri secara lughot/ bahasa diartikan sebagai “Al thoriqoh mutlaqon khoirun au syarron min sanna sunnatan hasanatan au sayyiatan”. Dengan demikian maka aswaja menurut bahasa diartikan sebagai pengikut/jalan kebenaran di dalam agama yang harus dilewati/ditempuh karena telah disepakati kebenarannya oleh para mujtahid (ahlu al-haq). Rumusan ini dari ahlul hadits menyatakan bahwa sunnah adalah nabi Muhammad SAW. Sebagai kebalikan dari bid’ah dan jama’ah adalah kesepakatan para ahlul haq/mujtahid. Sebagaimana dinyatakan: (Assunnah hia sunnatu Muhammadain, dliddu al bid’ati wa al jama’ah mujama’atu ahlu al haqqi wa ‘in qollu, wa al furqotu mujama’atu ahli al batili wa ‘in katsaru). Pernyataan di atas sejalan dengan pernyataan sahabat Ali as. ketika ditanya oleh Ibnu Kuwa’ tentang pengertian Ahli Sunnah Wal Jama’ah. Beliau mengatakan bahwa sunnah-sunnah nabi dan bid’ah adalah sesuatu yang keluar dari sunah, sedangkan jama’ah adalah kelompoknya pendapat para ahli kebenaran walaupun sedikit,
sedangkan firqoh adalah kompaknya pendapat para ahli kebatilan walaupun banyak jumlahnya. Atas dasar bahwa Aswaja merupakan kerangka paham yang berdasarkan kepada pernyataan nabi tentang Islam yang benar yaitu: ma ana wa ashabi yakni, Islam sebagaimana dicontohkan Rosulullah dan para sahabatnya maka kalangan NU merumuskan ajaran Aswaja sebagai sebuah ajaran keagamaan yang mendasar pada sumber Islam, yaitu Al-Qur’an, Hadits, Ijma’ dan Qiyas. Rumusan Aswaja ini bukan berarti membangun agama baru namun lebih sebagai upaya penyelamat umat manusia dari kesesatan/bid’ah, sebagai hingga tetap dalam bingkai Islam sebagaimana dicontohkan oleh nabi. Aswaja ialah golongan yang tetap dan tidak menyimpang dari Rosulullah SAW dan para sahabatnya. Golongan ini satu pendapat di dalam masalah aqidah (usuluddin) dan hanya sedikit perbedaan pendapat di dalam masalah syari’at (furu’uddin), namun tidak terjadi saling menganggap fasiq dan sesat terhadap yang lain. Para ulama memberi batasan sederhana untuk memudahkan pengertian, bahwa Aswaja ialah golongan masalah aqidah mengikuti madzhab Imam Abul Hasan Al Asy’ari (260 – 324 H) dan Imam Abu Manshur Al Maturidi (wafat: 333 H). ini tidak berarti, bahwa kedua Imam tersebut adalah yang menciptakan pertama kali ajaran aqidah Aswaja namun kedua-duanya hanyalah mengkodifikasikannya sesuai dengan sunah Rasulullah SAW dan thoriqoh para sahabat. Bahkan Al Asy’ari dalam hal ini banyak mendasarkan pada masalah – masalah aqidah yang telah lebih dahulu dituangkan oleh Imam Malik dan Imam Syafi’I di dalam bermadzhabnya, juga Imam Al-Maturidi mendasarkan kepada aqidah pada madzhab Imam Abu Hanifah. Berikut pendapat lain yang dikutip dari makalah Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas tentang ahlussunah wal jama’ah. Ahlus Sunnah Wal Jama’ah adalah mereka yang menempuh seperti apa yang
pernah ditempuh oleh Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam dan para sahabatnya. Disebut Ahlus Sunnah, karena kuatnya (mereka) berpegang dan ber-ittiba’ (mengikuti) Sunnah Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam dan para sahabatnya. As Sunnah menurut bahasa (etimologi) adalah jalan atau cara, apakah jalan itu baik atau buruk (Lisaanul ‘Arab VI/399). Sedangkan menurut ulama ‘aqidah (terminologi), as Sunnah adalah petunjukan yang telah ditunjukkan oleh Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam dan para sahabatnya, baik tentang ilmu, i’tiqad (keyakinan), perkataan maupun perbuatan. Demikian inilah as Sunnah yang wajib diikuti. Orang yang mengikutinya akan dipuji, dan orang yang menyelisihinya akan dicela. (Buhuuts fii ‘Aqidah Ahlis Sunnah, hlm 16). Pengertian as Sunnah menurut Ibnu Rajab al Hanbali (wafat 795 H):”As Sunnah adalah jalan yang ditempuh, mencakup didalamnya berpegang teguh kepada apa yang dilaksanakan Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam dan para khalifahnya yang terpimpin dan lurus, berupa i’tiqad (keyakinan), perkataan dan perbuatan. Itulah as Sunnah yang sempurna. Oleh karena itu, generasi Salaf terdahulu tidak menamakan as Sunnah, kecuali kepada apa saja yang mencakup ketiga aspek tersebut. Hal ini diriwayatkan dari Imam Hasan al Bashri (wafat th. 110 H), Imam al Auza’i (wafat th 157 H) dan Imam Fudhail bin ‘Iyadh (wafat th 187 H). “ (Jaami’ul ‘Uluum wal Hikam, oleh Ibnu Rajab hlm 495, tahqiq dan ta’liq Thariq bin ‘Awadhullah bin Muhammad) Disebut al Jama’ah, karena mereka bersatu di atas kebenaran. Tidak mau berpecah belah dalam urusan agama, berkumpul dibawah kepemimpinan para imam (yang berpegang kepada) al haq (kebenaran), tidak mau keluar dari jama’ah mereka, dan mengikuti apa yang telah menjadi kesepakatan Salaful Ummah. (Mujmal Ushuul Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah fil Aqiidah). Jama’ah menurut ulama ‘aqidah (terminologi) adalah, generasi pertama dari ummat ini. Yaitu kalangan sahabat, tabi’in, tabi’ut tabi’in, serta orang-orang yang mengikuti dalam kebaikan hingga
hari Kiamat, karena berkumpul di atas kebenaran. (Syarhul ‘Aqidah al Waasithiyyah, oleh Khalil Hirras hlm 61) Imam Abu Syammah asy Syafi’i (wafat th. 665 H) berkata: “Perintah untuk berpegang kepada jama’ah, maksudnya adalah, berpegang kepada kebenaran dan mengikutinya; meskipun yang melaksanakan Sunnah itu sedikit dan yang menyelisihinya banyak. Karena kebenaran itu ialah, apa yang dilaksanakan oleh jama’ah yang pertama, yaitu yang diamalkan Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam dan para sahabatnya, tanpa melihat kepada orangorang yang menyimpang sesudah mereka”.8
Adapun di dalam masalah syari’ah, aswaja menurut para ulama pada akhir-akhir ini adalah yang mengikuti madzhab Imam Abu Hanifah (80 – 150 H), Imam Malik (91 – 179 H), Imam As Syafi’I (150 – 204 H), dan Imam Ahmad bin Hambal (164 – 241H). keempat imam
tersebut
di
dalam
berijtihad
menyimpilkan
hukum
menggunakan dalil-dalil Al Qur’an, Hadits, Ijma’, Qiyas. Imam Ibnu Sholeh meriwayatkan adanya Ijma’, bahwa tidak boleh mengikuti lain empat madzhab tersebut, karena hanya empat madzhab itulah yang dapat dikodifikasi secara utuh dan lengkap serta diriwayatkan secara berturut-turut dengan silsilah sanad yang langsung sampai kepada ulama’ muta’akhirin. Adapun tentang perkembangan Aswaja di Indonesia, kiranya dapat dilihat dari sudut pengalaman ajaran Islam oleh masyarakat Indonesia terutama di Jawa. Kalau diamati secara lebih jauh, dapat diduga bahwa aswaja sudah cukup lama berkembang di Indonesia, bahkan bersamaan dengan masuknya Islam di Indonesia. Para wali penyebar Islam di Indonesia menunjukkan bahwa ajaran – ajaran yang beliau ajarkan itu menurut Aswaja. Ulama – ulama setelah para wali, 8 Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Dakwah Salafiyah adalah Dakwah Ahlussunnah, makalah ini penulis temukan di internet merupakan kutipan dari Majalah As Sunnah Edisi 11/X/1428 H/2007 M. di download pada, 23 Agustus 2009 pukul 23.34
misalnya KH. Nawawi Banten (1813 – 1897 H), KH. Khotib Minangkabau dan ulama – ulama pesantren menjelang abad 19 hingga sekarang, semuanya di dalam pengembangan ajaran agama aswajadi Indonesia mempunyai andil yang cukup besar, sehingga budaya Indonesia utamanya di Jawa adalah aswaja. Rumusan aswaja ini dapat diperinci lagi sebagai berikut: Bahwa pengikut Aswaja di dalam memahami agama dari sumber-sumbernya tersebut menggunakan pendekatan: Di bidang aqidah mengikuti paham Aswaja yang dipelopori oleh Imam Al Asy’ari dan Al Maturidi. Di bidang fiqih pendekatan salah satu empat madzhab (Abu Hanifah, Al Asyafi’I, Maliki dan Al Hambal) Di bidang tasawuf mengikuti antara lain Imam Al Junaidi al baghdadi, Imam Al Ghozali dan Imam – imam lainnya yang masih dalam satu sistem pemikiran (seperti: Abdul Qodir Al Jaelani, Syuhrawardi, Ma’ruf Al Kharkhi, Bahaudin Al Naqsabandi dan lain-lainnya). Rumusan Aswaja di atas, di Indonesia telah dilaksanakan secara konsekuen oleh NU sebagai suatu ikhtiar untuk membentuk kepribadian bangsa yang bersifat sunni. Sikap-sikap yang ditekankan adalah: Tawasut (moderat), I’tidal (selaras), Tasamuh (toleran), Tawazun (seimbang) dan Amar Ma’ruf nahi Munkar (fungsi kontrol, korektif, saran dan kritik). Dalam sikap tawasut diharapkan menjadi umat/kelompok yang menjadi panutan, bertindak lurus, adil dan selalu menghindari sikap ekstrim. Dengan tasamuh diharapkan menyadari kehidupan yang heterogen, menyadari perbedaan pendapat baik dalam masalah furu’ atau lainnya yang bernuansa ikhtilaf. Dengan tawazun, diharapkan menjadi kelompok yang memiliki keseimbangan, baik dalam
pengabdiannya terhadap Allah, manusia dan lingkungannya, serta pandai menyelaraskan kepentingan masa lalu, kini dan mendatang. Ini berarti menghargai sejarah dan berwawasan kedepan. Sementara Amar Ma’ruf Nahi Munkar, membuktikan perlunya kepekaan sosial, untuk memotivasi perbuatan baik dan mencegah semua bentuk kejahatan atau semua yang menjerumuskan dan merendahkan nilai-nilai kemanusiaan. Sikap-sikap di atas merupakan nilai-nilai yang ditawarkan kepada bangsa Indonesia sgar mampu hidup di tengah-tengah gempuran globalisasi – westernisasi, dan tetap hidup dalam bingkai Islam asal (Aswaja), melalui penegakan akhlakul karimah dengan penuh rasa persahabatan, baik Islamiyah, Wathaniyah maupun Basyariyah. Aswaja potongan istilah dari ahlus sunah wal jama’ah yang merupakan salah satu madzhab Islam yang terlihat menonjolkan sisi kemoderatannya dalam laku dan pemikiran merupakan hal yang menarik untuk dijadikan sebagai pisau analisis setiap persoalan mengenai ide dasarnya. Maksudnya, konsepsi dasar aswaja tentang tasamuh, tawazun dsb dapat dijadikan sebagai pijakan dasar dalam sisi pemikiran dan gerakan. Konsepsi aswaja sebagai manhaj al fikr akan lebih dapat diterima oleh publik sebagai sebuah kerangka berfikir, dimana dengan menggunakan aswaja sebagai pisau bedah persoalan, maka solusi atas persoalan tersebut tidak berat sebelah dan menguntungkan sebelah yang lain. Artinya, bahwa prinsip aswaja yang mengajarkan tentang itu dapat lebih mudah untuk menempatkan solusi atas problem sebagai proporsi yang benar-benar problem solving dan bukan merupakan solusi yang akan menimbulkan masalah dan persoalan baru di tengah kemaslahatan umat.
Gambaran luasnya, lebih pada bagaimana aswaja dengan prinsip dasarnya itu, mampu dijadikan sebagai paradigma dan landasan kerangka pemikiran yang selanjutnya dapat dieJawantahkan dalam dataran laku sosial. Berbicara soal paradigma, paradigma merupakan satu hal yang sangat vital dalam ranah individu ataupun kelompok oraganisasi. Hal ini lebih didasarkan pada bahwa paradigma merupakan titik pijak dalam membangun konstruksi pemikiran dan cara memandang sebuah persoalan
yang akan termanifestasikan dalam sikap dan perilaku
indiviu atau organisasi kelompok. Disamping itu, dengan paradigma ini pula sebuah organisasi atau seseorang akan menentukan memilih nilai-nilai universal dan abstrak menjadi khusus dan praksis operasional yang akhirnya menjadi karakteristik sebuah organisasi gaya berpikir seseorang. Dalam perspektif ilmu sosial, ada beberapa pengertian paradigma yang dibangun oleh para pemikir sosiologi. Salah satu diantara para pemikir sosiologi yang menafsirkan paradigma adalah G. Ritzer yang memberi pengertian paradigma sebagai pandangan fundamental tentang apa yang menjadi pokok persoalan dalam ilmu. Paradigma membantu apa yang harus di pelajari, pertanyaan yang harus diJawab, bagaimana semsetinya pertanyaan-pertanyaan itu diajukan dan aturan-aturan yang harus diikuti dalam menafsirkan Jawaban yang diperoleh. Dengan demikian, paradigma merupakan kesatuan konsensus yang terluas dalam suatu bidang ilmu dan membedakan antara kelompok ilmuan, yakni menggolongkan, mendefiniskan, dan menghubungkan antara eksemplar, teori, metode serta instrumen yang terdapat didalamnya. Mengingat banyaknya efinisi yang dibentuk para sosiolog maka perlu ada pemilihan atau perumusan tegas mengenai definisi paradigma yang hendak diambil dalam merumuskan aswaja sebagai paradigma atau lebih tepatnya
kerangka berfikir. Hal ini perlu dilakukan untuk memberi batasan yang jelas mengenai paradigma dalam pengertian kita atar tidak terjadi perbedaan persepsi dalam memaknai paradigma. Berdasarkan pemikiran dan rumusan yang disusun oleh ahli sosiologi, maka pengertian paradigma dalam diri kita dapat dirumuskan sebagai titik pijak untuk menentukan cara pandang, menyusun sebuah teori, menyusun pertanyaan, dan membuat rumusan mengenai masalah. Lewat paradigma ini pemikiran seseorang apat dikenali dalam melihat dan melakukan analisis terhadap suatu masalah. Dengan kata lain, paradigma merupakan cara dalam “mendekati” objek kajiannya (the subject matter of particular dicipline) yang ada dalam ilmu pengetahuan. Orientasi atau pendekatan umum (general orientation) ini didasarkan pada asumsi-asumsi yang dibangun dalam kaitan dengan bagaimana “realitas” yang dilihat. Perbedaan paradigma yang digunakan oleh seseorang dalam memandang suatu masalah akan berakibat
pada
timbulnya
perbedaan
dalam
menyusun
teori,
membentuk konstruk pemikiran, cara pandang sampai pada aksi dan solusi yang diambil. Sementara itu, dalam lingkup aswaja, konsep turunan berupa akulturasi nilai-nilai dasar agama Islam (aqidah dan syari’ah) pada wilayah muammalahnya dengan tradisi kearifan lokal menjadi titik tekan utama untuk dilestarikan. Bahwa kearifan lokal yang bercorak religius terus berusaha dikembangkan tanpa memformalkan hal tersebut dalam aturan legal hukum. Penempatan tradisi sebagai sumber unitas yang dinamis sekaligus paradoksal keberadaannya menjadi sumber pembentukan identitas, mitos sekaligus mediasi rekayasa sosial. Letak titik tekan penempatan tradisi sebagai sumber penciptaan unitas sosial lebih merupakan upaya yang bersifat generalisir tanpa mengalienasi khazanah lokal yang muncul.
Demikian halnya dalam persoalan menentukan paradigma sosial, dimana dengan kesadaran akan keberadaan multikulturalisme, agaknya akan lebih tepat apabila paradigma yang hendak dirumuskan berkaca pada situasi multikultural sebagai landasan pertimbangan utama. Hal ini penting mengingat bahwa kenyataan yang ada di tengah-tengah masyarakat kita hari ini adalah majemuk. Sehingga upaya penyeragaman menjadi satu sistem bersama tidak akan menjadi solusi, namun akan menjadi persoalan baru dan bahkan munculnya the clash of civilization akan tidak bisa dielakkan karena sikap chauvinistik di masyarakat kita, baik disadari atau tidak, merupakan hal yang riil. Masing-masing suku bangsa akan menganggap sukunya yang paling benar dan menyalahkan yang lain, maka apabila persoalan ini disulut dengan isu keseragaman, hal yang terjadi adalah konfrontasi dan desintegrasi bangsa. Negara bangsa Indonesia dibangun atas kesadaran tersebut, para founding fathers menyadari akan sebuah tatanan kehidupan masyarakat berperadaban dengan bersumber dan berpegang tyegus terhadap nilai-nilai autenting bangsa yaitu tradisi engan seagala pemaknaan yang diberikan, yakni multikultural. Oleh karenanya, kita yakin bahwa founding fathers merumuskan pancasila sebagai media untitas akan lebih diterima karena sikap moderat tanpa mengalienasi kelompok dan etnis lainnya meskipun minoritas. Pancasila, telah cukup menjadi identitas dan paradigma bersama masyarakat Indonesia yang heterogenitas. Selain pancasila sebagai dasar ideologi bernegara dan berbangsa, perlu juga adanya paradigma yang mampu mengatur tatanan sosial pada wilayah Islam secara khusus untuk mendukung pancasila tanpa menggeser peran dan posisi pancasila, namun dengan konsepsi pemikiran baru yang dalam perhitungannya mampu menjadi sumber inspirasi dan sumber ideologi yang berbasis heterogenitas.
Dalam hal ini, penulis menawarkan konsep aswaja sebagai manhaj al fikr sebagaimana yang telah diterapkan oleh salah satu organisasi kemahasiswaan, PMII.9 Pertimbangannya, bahwa dengan konsep aswaja yakni tawazun (keseimbangan), tasamuh (toleran), tawasut (moderat), dan I’tidal (adil) merupakan sikap-sikap yang diharapkan dan sesuai dengan khazanah klasik (turats qadim) yang dimiliki masyarakat Indonesia. Dalam setiap pencarian solusi atas problem sosial, apabila dihadapi dengan sikap tersebut diatas, maka solusi yang muncul adalah solusi yang seimbang tanpa mendeskreditkan salah satu pihak dan mengunggulkan pihak lain pada sisi satunya. Sikap
tawazun
(keseimbangan)
mengandaikan
adanya
kesamaan dan tanpa membeda-bedakan antara yang satu dengan yang lainnya dengan alat pembeda apapun. Tawazun menjadi solusi apabila problem sosial yang muncul membutuhkan keadilan yang normatif yang dapat diterima semua pihak, dengan sikap seimbang inilah, maka kita, sebagai penganut paradigma aswaja akan lebih berdiri di titik tengah setiap persoalan untuk kemudian dicari solusi atas problem yang muncul tersebut. Kembali
kepada
kesadaran
heterogenitas
masyarakat
Indonesia, maka hal yang lazim adalah perbedaan pandangan, perbedaan adat, suku, budaya, bahasa sampai pada tradisi sosial. Dan persoalan ini kadang juga berhadapan antara satu etnik dengan etnik yang lain yang rawan munculnya chaos. Oleh karenanya, sikap toleran menghargai pendapat orang lain, menghargai kebudayaan masyarakat 9 PMII, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia, adalah organisasi kemahasiswaan yang lahir dalam rahim NU yang kemudian pada deklarasi Murnajati di Malang menyatakan Independen dan keluar dari menjadi badan otonom NU secara struktural karena sikap politiknya. Dalam praktek penggunaan Aswaja sebagai manhaj al Fikr, organisasi ini menerapkan prisip gerak dasar berupa Nilai Dasar Pergerakan (NDP) yang kemudian konsepsi turuannya dalam gerakan diterjemahkan melalui peraturan organisasi. PMII pertama kali diketuai oleh Mahbub Djunaedi hingga hari ini tetap eksis dalam konstelasi gerakan mahasiswa.
etnis lain adalah sebuah keniscayaan. Sikap tasamuh dalam penanamannya akan menjadi cerminan bahwa kesadaran pluralitas akan dapat terselesaikan
melalui sikap toleran tanpa upaya
menyeragamkan pada satu sistem kolektif untuk kepentingan sesaat atu kepentingan golongan dan pribadi perseorangan yang memunculkan wacana tersebut. Moderat (tawasuth) adalah upaya mengambil titik tengah, sementara tasamuh akan lebih berkata pada bagaiman setiap orang mampu
menghargai
pendapat
orang
lain
tanpa
kemudian
menunggulkan salah satu diantaranya yang dapat menyulut konflik sosial yang chaos. Dengan saling menghargai antar tradisi etnis ini, maka kesamaan, bukan dalam artian hukum dan tradisi, akan dapat terjamin lebih aman. Dengan demikian, apabila sikap seimbang, moderat serta toleran dapat diterapkan dengan sikap I’tidal (adil) maka kesadaran nalar dan laku dalam menyikapi heterogenitas akan semakin terbangun dengan
kuat.
Disinilah
kenapa
kemudian
aswaja
hendak
ditransformasikan dari yang semuala menjadi mazhab kemudian ditingkatkan satu etape menjadi kerangka berfikir dan paradigma sosial yang berlaku kolektif. Paham Ahlus Sunah wal jama’ah seringkali dikonotasikan dengan paham yang bercorak perpaduan antara nilai-nilai sufistik, akidah dan syari’ah yang mengutamakan keseimbangan dalil naqliyah dengan dalil akliyah. Keseimbangan antara dalil tekstual dengan dalil kontekstual inilah yang memungkinkan untuk selalu tanggap terhadap persoalan-persoalan baru yang akhir-akhir ini perputarannya sangat cepat. Penggunaan dalil rasio dengan melihat kondisi konteks sebagai sebuah objek yang dikaji adalah hal yang keniscayaan. Terkait dengan follow up tentang penyikapannya selanjutnya akan dihadapkan pada
dalil-dalil tekstual yang ada dalam Islam, baik berupa nash Al Qur’an ataupun hadits yang menjurus pada persoalan tersebut. Dengan keseimbangan ini pula, maka salah satu diantara dalil rasio (aqliyah) dan dalil tekstual (naqliyah) tidak akan menjustifikasi benar salah atas salah satu diantara keduanya. Ekstrimisme pemikiran yang mengalienasikan tekstual tidak diterima dalam wilayah ini, demikian juga sebaliknya, ortodoksi penggunaan dalil naqliyah yang tertutup tidak akan bebas bergerak pada pemahaman aswaja. Dalam paham ini keseimbangan untuk mencapai li maslahatil ummah dengan pertimbangan malahat dan mafsadah yang matang. Aswaja yang telah menunjukkan sikap moderatnya melalui ciri dasarnya, juga dalam pengembangannya menunjukkan sikap yang moderat juga selain pada penyikapan atas persoalan yang muncul juga pada sisi ibadahnya. Konsep ibadah, baik pada ranah ibadah individual ataupun ibadah kolektif tidak terlalu menekankan pada pengikatan oleh syarat dan rukun serta ketentuan teknis lainnya (muqayyadah) tetapi ada dan bahkan lebih banyak yang bersifat bebas tanpa ketentuan yang mengikat (Muthalaqah). Sehingga dalam aplikasi ibadahnyapun akan terus berubah sesuai dengan perkembangan sosial yang selalu bergeser tatanannya. Berangkat dari fleksibilitas aswaja dalam menyikapi berbagai persoalan inilah yang kemudian memunculkan aswaja selain sebagai sebuah madzhab10 (sesuai dengan sabda nabi), juga harus diterapkan menjadi semacam bangunan konsepsi dasar pemikiran yang akhirnya diterjemahkan dalam kesadaran laku. Artinya, bahwa aswaja selain sebagai madzhab yang 10 Hadits tersebut berbunyi, “Masyarakat Yahudi akan terpecah menjadi 71 golongan, Nasrani menjadi 72 golongan, dan umatku akan pecah menjadi 73 golongan, hanya satu yang akan selamat (dari 73 golongan tersebut)”. Ketika ditanya sahabat, “Golongan mana yang akan selamat?” Rasul menJawab “Ahlussunah wal Jama’ah” Dan ketika ditanya lagi, “Apa Ahlussunah wal jama’ah itu?” Beliau menJawab, “Mereka yang mengikuti jalanku dan para sahabatku”.
mengatur tentang persoalan teoritis dan kontekstual pada dataran sosial keagamaan, juga perlu kiranya aswaja dikembangkan menjadi bangunan dasar pemikiran sehingga cakrawala berpikir akan luas, namun tetap mengidealkan sikap yang moderat dan toleran. Dimana apabila demikian, maka seheterogen apapun bangsa Indonesia, seberapa banyakpun adat dan tradisi yang berkembang di Indonesia, seberapa kuatpun ortodoksi berbudaya (chauvinisme) maka itu tidak akan menjadikan batu sandungan dalam upaya univikasi atau tepatnya persatuan dan kesatuan berbangsa dan bernegara. Heterogen adalah hal yang telah ada dan telah disadari keberadaannya sejak zaman dahulu kala, bahkan sampai-sampai salah seorang Empu dari kerajaan Mojopahit pada zaman periode kekuasaan Hayam Wuruk membuat saloka yang terkait dengan heterogenitasnya yang kemudian diadopsi sebagai jargon bangsa Indonesia, yakni bhineka tunggal ika tan han dharma magrwa (walaupun berbeda-beda tetapi tetap satu jua, tidak ada agama yang mendua). Karena heterogenitas ini telah muncul sejak lama dan sejak zaman dahulu kala berkembang pesat, maka ini seharusnya menjadi satu kekayaan bangsa, bukan sebagai alat untuk penyamaan tradisi dan tindak desintegrasi univikasi Indonesia sebagai sebuah bangsa dan negara yang berdaulat penuh. Pertanyaan selanjutnya, kesadaran pluralitas ini apakah akan hanya diketahui dalam dataran konsep atau kemudian diterjemahkan dalam gerakan riil?, ataukah hanya menjadi jargon politik bangsa saja? Jawaban pendeknya hanya, tergantung bagaimana kita menyikapinya saja, tidak ada generalisir terhadap persoalan itu. Penghargaan atas pluralitas inilah yang ditawarkan aswaja, sehingga apabila aswaja tidak hanya sebagai madzhab, tetapi juga sebagai manhaj al fikr, maka bangunan pemikiran dalam menciptakan
konsepsi baru serta membaca situasi riil yang terjadi di lapangan akan lebih fleksibel dan moderat penyikapannya. Tidak ada hal yang lebih dapat menjamin keragaman tersebut terus berjalan sesuai rencana yang diharapkan, jadi, lagi-lagi, tergantung bagaimana kita menyikapinya. Bukan berarti dalam jangka panjang aswaja bahkan menjadi ideologi negara, berupaya untuk meruntuhkan pancasila, namun justru itu sebenarnya upaya revitalisasi pancasila dalam dataran konsep dan laku, upaya untuk menjaga keharmonisan heterogen yang merupakan cita-cita luhur pancasila dan para founding fathers Indonesia tempo dulu. Aswaja harus mampu menjadi sebuah solusi global atas persoalan sektoral sekalipun, dalam pergulatannya, sebagai sebuah pemikiran tentunya aswaja sebagai manhaj al fikr tentunya akan bergulat dengan pemikiran-pemikiran lain yang dinilai lebih up to date dan lebih modern dan ilmiah. Oleh karenanya, sebagai salah satu dari tradisi kemoderatan bangsa Indonesia, bahkan sebelum Islam masuk di Indonesia sekalipun, maka kita harus memandang aswaja lebih merupakan tradisi yang telah turun temurun dan ternyata terbilang efektif (turats qadim). Disadari
atau
tidak,
hari
ini
pecaturan
geopolitik,
geoekonomi, geososial dan geokultural semakin menjadi-jadi, bahwa mulai dari sistem politik, sistem perekonomian makro dan mikro, tatanan sosial sampai pada penyeragaman budaya menjadi lahan yang subur untuk bertarung memperebutkan ideologi dominan. Pertarungan ini akan terus berlanjut hingga salah satu ideologi memenangkan dan berhasil meruntuhkan ideologi yang lainnya. Budaya populer, sebagai representasi tawaran budaya kapitalime modern yang dibingkai sangat rapi dan menarik perhatian publik adalah musuh utama khazanah klasik yang kita miliki. Bahwa
budaya populer (turats Jadid) akan berhadap-hadapan dalam kontra revolutif dengan kearifan lokal yang ada disetiap daerah. Pertarungan tradisi ini belum akan berhenti sehingga satu budaya berhasil menggulingkan budaya lainnya yang dirasa menjadi musuh utamanya. Sayangnya, kesadaran sosial kolektif atas persoalan ini belum dapat dibangun maksimal dalam wilayah sosial, dan masyarakat benar-benar tidak kritis dalam membacanya. Oleh karena hal tersebut itulah maka aswaja yang bersifat paling moderat harus mampu melawan tradisi Barat yang banyak dinilai lebih tinggi tingkat mudharatnya dibaning kemanfaatan untuk umat secara menyeluruh. Dengan aswaja yang merupakan tradisi berbasis tradisi ini harus dipertahankan sebagaimana Rasulullah mengajarkan secara tidak langsung kepada setiap sahabat yang hadir dirumahnya mengenai bagaimana bersikap moderat, bersikap seimbang dan adil. Popular culture adalah model penjajahan gaya baru yang seharusnya disikapi dengan krits bahwa negara kita kaya tradisi, tidak perlu mengimpor popular culture secara menyeluruh karena justru akan mematikan hazanah lokal yang telah ada sejak dulu. Perlu diungkap pula dalam catatan ini, bahwa sejarah munculnya aswaja (ahlussunah wal jama’ah) adalah bagian terpenting mengapa NU saat ini dengan mudah mengklaim organisasinya sebagai penganut
aswaja.
Pentingnya
mencacat
sejarah
ini
karena
dikhawatirkan banyak yang tidak mengetahui sejarahnya sehingga dengan mudah ‘iman’ keaswajaannya bergeser dan aswaja, yang menurut nabi sebagai satu paham yang paling benar, dapat diklaim oleh organisasi lainnya yang norma dasarnya tidak didasarkan pada sandaran aswaja, baik sebagai manhaj al fikr, manhaj al harokah atau sebagai sandaran spiritual dalam ritus keagamaannya. Pada dasarnya, sejarah aswaja, tidak terlepas dari sejarah
peradaban awal Islam pasca Rasulullah, dan didalamnya penuh dengan darah dan kekerasan. Merupakan konflik politik yang tidak berujung pada penyelesaian secara diplomatis ataupun peperangan. Namun tidak pernah berhenti hingga saat ini dengan turunan-turunan coraknya. Munculnya aswaja adalah sebagai antitesis terhadap konflik tersebut, yang
berdiri
di
tengah
sebagai
mediator
sekaligus
sebagai
penyeimbang gerakan pro dan kontra yang semakin lama semakin meruncing. Suatu ketika Rasulullah SAW bersabda kepada para sahabatnya tentang umat Islam pasca meninggalnya beliau, dalam sabda beliau itu, beliau menceritakan bahwa kaum Yahudi terpecah menjadi 72 golongan, yang masing-masing golongan mengklaim kebenaran mutlak atas golongan yang dianutnya berdasarkan perspektif agama dan sosial. Demikian juga dengan Islam pasca meninggalnya Rasulullah, bahwa menurut rasul, umat Islam juga akan terpecah menjadi 73 golongan yang masing-masing mengklaim kebenaran atas keyakinan yang dianutnya, baik dilihat dari sudut pandang agama maupun sudut pandang sosial. Kebenaran-kebenaran yang disajikan ke-73 golongan yang dimaksudkan oleh rasul, kemudian rasul mempertegas dengan memberikan keterangan bahwa dari ke-73 golongan tersebut hanya ada satu golongan yang selamat dan merupakan kebenaran yang hakiki dilihat dari sudut pandang manapun. Mendengar pernyataan yang sangat mengerikan itu, lalu sahabat mempertegas lagi pertanyaan dengan langsung menohok rasul dengan pertanyaan tentang siapa golongan yang dimaksudkan mendapat petunjuk dan kebenaran yang dimaksud rasul. Dengan tegas rasul menJawab, bahwa golongan yang selamat adalah golongan orang yang mengikuti sunnah rasul dan sahabat-sahabatnya, lalu mempertegas lagi dengan istilah ahlussunah wal jama’ah. Dari sinilah klaim kebenaran aswaja, baik sebagai
madzhab maupun sebagai golongan mendapatkan klaim dari berbagai golongan yang lain. Masing-masing golongan mengklaim bahwa golongannya adalah ahlussunah wal jama’ah dengan perspektif masing-masing. Sejarah panjangnya adalah, pasca meninggalnya Rasulullah SAW, Rasulullah tidak meninggalkan petunjuk, petuah ataupun wasiat tentang siapa yang kemudian setelahnya akan menjadi khalifah pemimpin umat Islam kedepan. Hal ini sangat membuat bingung umat Islam, karena pada awal Islam, keputusan mengenai kebijakan selalu terpusat kepada rasul, tidak ada keputusan apapun, baik yang menyangkut agama ataupun sosial yang tidak melalui rasul, maka ketika
rasul
meninggal
tanpa
memberikan
wasiat
mengenai
kekhalifahan sangat membuat masyarakat Islam kebingungan. Apalagi dengan munculnya banyak orang yang berpotensi memimpin Islam setelah nabi. Spekulasi nama-nama khalifah muncul dari banyak namanama sahabat yang paling dekat, yang paling berilmu hingga yang paling memiliki kekayaan atau ketangkasan berperang. Persoalan itu juga tidak lepas dari karakter dasar masyarakat Arab yang memiliki karakter yang keras dan tidak mudah disatukan, masyarakat padang pasir memiliki sifat yang cenderung fatalistic, dan juga mereka akan mudah membentuk solidaritas dalam suku dan membuat tali permusuhan dengan suku lain yang dianggap bersilang pendapat. Sebagaimana sifat gurun pasir, pasir adalah padat dan tidak mudah disatukan, labil dengan kondisi alam, mudah terbawa arus angin, kemana angin berhembus, maka disana ia terlempar, demikian juga dengan kondisi alam yang ada, kesulitan mendapatkan air cenderung membuat masyarakat padang pasir menjadi seolah mengabaikan usaha dan menggantungkan segala sesuatunya kepada Allah dengan tanpa usaha yang berlebih untuk mengatasi.
Primordialisme pasca nabi-pun menjadi bagian yang tak terpisahkan, masing-masing suku atau klan mengusulkan orang terbaik dari mereka, memaksakan pimpinan mereka untuk menjadi khalifah pengganti rasulullah, sehingga tak terelakkan, sederet nama-nama sahabat semakin memenuhi bursa kepemimpinan Islam pasca rasulullah ini. Tidak hanya itu, kondisi ini semakin diperparah dengan banyaknya kandidat yang paling potensial melakukan trik dan intrik di dalam diri mereka. Dalam sidang terbatas yang diikuti oleh para sahabat rasulullah, akhirnya dapat diputuskan khalifah pengganti rasulullah, yakni Abu Bakar As Sidq radhilallahu ‘anhu. Pengangkatan khalifah pertama ini bukan berarti keputusan final yang diambil, karena keputusan ini ternyata juga kontroversial, apalagi tanggapan dari kandidat lain yang muncul dan memiliki peluang yang sama besarnya. Maka dapat ditemui banyak kontroversi yang terjadi antar sahabat. Salah satu kontroversi yang paling kentara adalah ucapan pengangkatan Abu Bakar As Sidiq ra sebagai khalifah dari Umar bin Khattab. Ucapan beliau adalah “Falfatun min fatina ra’aha Allah li’izzal Islam wal Muslimin”. Artinya, pengangkatan Abu Bakar adalah merupakan kesalahan yang efek negatifnya dijaga oleh Allah untuk kejayaan Islam dan umat Islam secara keseluruhan. Meskipun dengan sambutan yang keras dari berbagai pihak dengan kepemimpinan baru di tangan Abu Bakar As Sidiq ra ini, namun pemerintahan dapat terus berjalan dan mengisi perjalanan kepemimpinannya dengan program-program yang terbukti memberi kemajuan cukup banyak bagi perkembangan dan kemajuan Islam, baik di internal Arab maupun dalam ekspansi eksternalnya dalam menyebarkan agama Islam hingga ke luar daerah. Setelah cukup lama memimpin, Abu Bakar As Sidiq ra sakit
dan meninggal dunia. Saat sakit, beliau memberikan wasiat agar khalifah generasi berikutnya untuk dipegang oleh Umar bin Khattab ra. Wasiat sang khalifah yang telah wafat dipenuhi, Umar bin Khattab ra menjadi khalifah penerus Abu Bakar As Sidiq ra. Namun bukan berarti perang politik selesai di situ, dengan diangkatnya Umar bin Khattab ra sebagai khalifah, serangan politik dari bani Umayah terus menerus meneror perjalanan politiknya. Termasuk yang paling gencar melakukan aksi terror adalah dari kaum munafik di kalangan bani Umayah, mereka menggulirkan isu yang tidak-tidak, termasuk isu yang mengatakan bahwa dengan tabiat Umar bin Khattab ra yang keras, maka perjalanan kepemimpinan juga militeristik dan membahayakan bagi kedamaian Islam kedepan. Dengan tegar, khalifah Umar sebagai puncak pimpinan Islam menghadapi dengan bijak perlakuan dari lawan politiknya itu. Dengan tanggapan yang demikian itu, justru serangan dari kaum munafik di kalangan bani Umayah semakin keras, hingga membuat siasat licik untuk menghabisi nyawa khalifah. Melalui tangan pasukan khusus pengawal khalifah, yakni Abu Lu’luah, akhirnya khalifah Umar bin Khattab ra menemui ajal ditengah melakukan ibadah di masjid. Kematian sang Khalifah ini pertanda perang politik semakin memanas, apalagi berbagai kekuatan lain yang dengan siap menyambut posisi kekhalifahan pasca khalifah Umar bin Khattab ra semakin banyak dan membanjiri bursa calon khalifah. Menjelang
wafatnya,
Umar
bin
Khattab
ra
sempat
memberikan wasiat agar tampuk kepemiminan kekhalifahan dipegang oleh Abu Ubaid bin Jarroh. Namun ternyata kabar kematian calon khalifah yang dikandidatkan khalifah Umar bin Khattab ra belum terdengar sampai di telinga khalifah. Setelah dijelaskan akan kematian Abu Ubaid bin Jarroh, barulah wasiatnya diubah, yakni dengan
membentuk tim formatur yang akan memilih calon khalifah. Beberapa nama yang masuk calon formatur adalah Abdullah bin Umar, putra dari Umar bin Khattab, Abdullah bin Umar memiliki syarat khusus dalam menjadi tim formatur, yakni memiliki hak suara untuk memilih khalifah, namun tidak diperkenankan untuk memilih khalifah. Nama lain yang masuk dalam dewan formatur adalah Ali bin Abi Thalib, Usman bin Affan, Abdurrahman bin ‘Auf, Sa’ad bin Abi Waqas, Zubair bin Awwam dan Thalhah bin Zubair. Selain berpesan tentang dewan formatur itu, beliau juga berwsiat tentang mekanisme pengambilan keputusan dalam tim formatur itu, yakni selama empat hari, terhitung sejak dibentuk dewan formatur, dewan formatur harus menyelesaikan tugasnya memilih khalifah. Apabila ternyata dalam empat hari itu ternyata tim formatur tidak mengambil keputusan secara utuh, maka ketua dewan formatur berhak mengambil keputusan sendiri, dan apabila ada yang tidak menyepakati keputusan yang diambil oleh ketua tim formatur, maka harus dibunuh sebagai imbalan atas ketidaksepakatannya. Perang wacana terus berkecamuk, masing-masing suku mengajukan nama-nama kandidat, juga bani yang turut serta menyumbangkan nama-nama kandidat calon khalifah. Syarat utama dari bursa calon ini adalah, masing-masing suku atau bani berhak mengajukan satu nama calon. Sehingga praktis banyak kandidat potensial terpental dari bursa, seperti Zubair bin Awwam yang terpental dari bursa calon khalifah karena masih satu bani dengan Ali bin Abi Thalib, yakni dari bani Hasyim. Nama-nama yang berputar di bursa calon khalifah semaki membuat panic suasana tim formatur, karena masing-masing suku tetap berpegang teguh atas kandidat di sukunya sendiri tanpa berupaya mendapatkan kesamaan pandangan untuk menentukan pucuk pimpinan Islam.
Akhirnya kunci terakhir dipegang oleh Abdurrahman bin ‘Auf ra, hanya dia yang belum menjatuhkan pilihan calon khalifah. Kemudian, dengan posisinya yang masih netral, dia datang menemui Ali bin Abi Thalib untuk berdialog empat mata, Abdurrahman bin ‘Auf ra berkata, “Seandainya kau tidak masuk diantara orang yang dicalonkan, siapa yang kamu pilih?”. Ali bin Abi Thalib menJawab, “Usman bin Affan”. Setelah menanyakan kepada Ali bin Abi Thalib ra, Jawabannya membuat Abdurrahman harus menemui Usman bin Affan ra untuk menanyakan hal yang sama. “Usman, seandainya kau berada di luar enam orang ini, siapa yang kamu pilih sebagai khalifah?” Jawaban dari pertanyaan Usman atas pertanyaan itu, “Ali”. Abdurrahman dapat mengambil kesimpulan tegas, bahwa kandidat yang terkuat diantara calon khalifah adalah Usman bin Affan ra dan Ali bin Abi Thalib ra. Abdurrahman-pun mengambil keputusan untuk menjatuhkan pilihan. Sikap primordialisme diutamakan, yakni karena dia berasal dari bani Umayyah, maka pilihan jatuhnya pada Usman bin Affan ra. Dan kemudian terpilihlah Usman bin Affan ra sebagai khalifah pengganti khalifah Umar bin Khattab ra. Dalam perjalanan politiknya, Usman bin Affan ra ternyata tidak mendapatkan jalan yang begitu mulus, banyak ganjalan yang dialami oleh Usman bin Affan, apalagi saat berbagai kekuatan saling sokong mendorong untuk meruntuhkan kekuasaan Usman bin Affan. Suasana politik semakin mencekam. Kekuatan yang paling kentara melawan kebijakan dan kepemimpinan Usman bin Affan adalah dari kalangan bani Umayah yang munafik serta para pendukung Ali bin Abi Thalib ra yang fanatic. Bahkan sangking fanatiknya, mereka mengkultuskan Ali bin Abi Thalib ra serta mengatakan bahwa yang paling pantas menjadi khalifah adalah Ali bin Abi Thalib ra.
Gelombang demonstrasi dari berbagai sisi terus menyerang kepemimpinan Usman bin Affan. Sang khalifah semakin dipojokkan oleh banyaknya adu domba yang mengadu domba berbagai daerah kekuasaannya untuk melakukan aksi membangkan pada dirinya sebagai khalifah. Isu yang pertama kali dihembuskan adalah bahwa dalam menentukan gubernur untuk wilayah kekuasaannya, dinilai terlalu nepotis, karena yang dipilih menjadi gubernur adalah orangorang dari kalangan suku atau klan keluarganya. Ini semakin membuat kacau kondisi Negara saat itu. Banyaknya demonstrasi yang terjadi membuat Usman bin Affan perlu mengambil kebijakan tegas. Mengetahui kondisi yang demikian itu, Ali bin Abi Thalib ra, segera melakukan lobby politik dengan Usman bin Affan ra. diperbincangkan
adalah,
agar
Lobby tersebut inti dari yang Usman
bin
Affan
ra
segera
mengundurkan diri dari kursi ke khalifahan karena dinilai plin-plan dan tidak tegas dalam pengambilan kebijakan. Melalui utusannya, Hasan bin Ali, pada pagi harinya, Ali menanyakan kepada khalifah tentang kesediaannya untuk meninggalkan kursi ke khalifahan. Jawaban dari khalifah Usman bin Affan ra menyanggupi untuk mengundurkan diri dari menjadi khalifah. Namun pada sore harinya, Ali melakukan hal yang sama, menanyakan pertanyaan yang sama seperti yang diajukan oleh Hasan bin Ali. Kali ini dengan utusan lain, yakni Husein bin Ali. Namun Jawaban yang diterima Husein bin Ali berbeda dari yang ditanyakan oleh Hasan bin Ali. Khalifah tidak bersedia mundur, bahkan dengan pertumpahan
darah
sekalipun,
kursi
kekhalifahan
tetap
akan
dipertahankannya. Mendengar Jawaban yang berbeda itu, Ali bin Abi Thalib memandang bahwa suasana politik akan semakin kacau, oleh karena itu, dia menugaskan kepada kedua orang anaknya, Hasan bin Ali dan Husein bin Ali untuk menjaga pintu rumah sang khalifah dari
kemungkinan terburuk, pembunuhan terhadap khalifah. Gelombang demonstrasi yang anarkis terjadi dimana-mana, kekacauan sering terjadi tanpa diketahui sebab musababnya. Orang Mesir datang ke Makkah dan menuntut agar gubernur Mesir dipecat dari jabatannya. Dengan segera, Usman bin Affan ra menulis surat pemecatan terhadap Abdullah bin Syarah dari jabatan sebagai gubernur Mesir. Dengan membawa surat tersebut, akhirnya rombongan demonstran kembali lagi ke Mesir dengan kemenangan. Tidak terhenti sampai disitu ternyata, ditengah perjalanan pulang kembali ke Mesir, ada yang membuat intrik lagi. Kali ini dengan
mengutus
seorang
budak
hitam
yang dibuat
sangat
mencurigakan berjalan searah dengan mereka. Kecurigaan orang-orang Mesir semakin menjadi manakala budak tersebut bertingkah aneh. Orang-orang Mesir kemudian menangkap budak tersebut dan memeriksanya. Terkejut mereka melihat surat yang dibawa oleh budak tersebut yang berisi perintah pembunuhan kepada siapapun calon gubernur yang akan menggantikan Abdullah bin Syarah. Dalam surat itu, terpampang dengan jelas tanda tangan dari khalifah Usman bin Affan ra. Terlepas dari tanda tangan itu asli atau tidak, surat itu telah berhasil membuat orang Mesir merasa ditipu dan naik pitam, segera rombongan yang sudah sampai ditengah jalan itu kembali ke Madinah untuk meminta pertanggungJawaban khalifah. Sesampai di Madinah, orang-orang Mesir semakin terkejut, karena disana telah dijumpai rombongan besar dari Kuffah dan Basyrah. Yang membuat mereka terkejut adalah, mereka datang dari arah yang berbeda-beda, Kuffah berangkat dari daerah Utara dari arah Madinah, sementara Basyrah berangkat dari arah Timur Madinah, sementara rombongan mereka sendiri, Mesir, berangkat dari Arah Timur Madinah. Yang membuat mereka bertanya, siapa yang membuat
scenario ini, dan mengapa yang mempunyai masalah orang mesir, justru orang dari Kuffah dan Basyrah juga datang ke Madinah?. Tentang siapa yang membuat scenario ini, tak ada satu orangpun yang mengetahui siapa dalang dibalik semua itu. Begitu mendengar kabar bahwa sang khalifah terkepung, Muawiyah bin Abu Sofyan segera mengirimkan pasukan khusus dari perwira tingginya untuk melindungi Usman bin Affan dari kemungkinan terburuk, para perwira tinggi langsung didatangkan oleh Muawiyah bin Abu Sofyan dari Damaskus. Namun ditengah perjalanan itu, kabar tidak mengenakkan terdengar ditelinga para Perwira Tinggi itu dan memaksa mereka kembali ke Damaskus untuk mengabarkan kabar buruk tersebut. Ditengah kekacauan yang semakin memanas itu, putra Abu Bakar As Sidiq ra, Muhammad bin Abu Bakar menerjang khalifah Usman bin Affan ra yang sedang membaca Al Qur’an. Dengan hunusan pedangnya, Muhammad bin Abu Bakar berhasil membunuh khalifah seketika itu juga. Kepala Khalifah terpenggal dan suasana semakin menjadi kacau dengan kematian khalifah. Mendengar kabar kematian Khalifah, Muawiyah bin Abu Sofyan mulai memainkan insting politiknya. Muawiyah bin Abu Sofyan mengumpulkan orang-orang Damaskus di masjid, dengan tangisan, entah pura-pura atau nyata, dia menyatakan bela sungkawa atas kematian orang terbaik di sukunya itu. Baju Usman bin Affan ra yang masih berlumuran darah didatangkan dari Madinah. Baju tersebut digantungkan di pintu masjid untuk membakar semangat dendam. Tuntutannya adalah diberlakukan hukum qishash, yakni siapa yang membunuh maka dibunuhlah pembunuh tersebut. Serta dibunuh pula orang-orang yang terlibat dalam pemberontakan terhadap Usman bin Affan. Karena sifat dari orang-orang gurun pasir yang sangat
primordial, masyarakat Damaskus dan masyarakat dari suku Umayah merasa
terprovokasi untuk
meminta
pertanggungJawaban
atas
kematian Usman bin Affan ra. Pada saat yang bersamaan, Thalhah, Zubir, Sa’ad bin Abi Waqas dan Abu Hurairah segera berunding untuk menentukan calon khalifah pengganti Usman bin Affan, dari pertemuan itu memutuskan untuk memilih Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah pengganti Usman bin Affan. Dari semua kalangan menyetujui Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah, hanya orang-orang Syam dan Syiria yang tidak mengakui Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah. Setelah kepemimpinan Ali bin Abi Thalib ra dilantik menjadi khalifah, Ali bin Abi Thalib mengeluarkan kebijakan pertamanya, yakni memecat semua gubernur yang dipilih oleh Usman bin Affan ra, karena banyak yang menuai protes atas kebijakan Usman bin Affan ra tersebut yang dinilai terlalu nepotis dalam kebijakannya. Aisyah yang saat itu sedang di Makkah, mendengar pengangkatan Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah serta kabar dibunuhnya Usman bin Affan sangat terprovokasi. Dari awal, hubungan antara menantu dan mertua ini memang tidak harmonis, selalu terjadi perbedaan pendapat hingga puncaknya di perang Jamal yang menghabiskan nyawa hingga 10.000 orang dari kedua belah pihak. Ketidakharmonisan hubungan keluarga ini karena Aisyah merasa tersinggung saat diisukan selingkuh dengan Sofwan. Perang yang dimenangkan oleh Ali bin Abi Thalib ini dikutuk oleh banyak pihak, karena peperangan ini adalah peperangan yang akan semakin memperlemah Islam. Dari kedua kelompok ini, muncullah kelompok baru yang netral, yang tidak memihak keduanya, kelompok ini dipimpin oleh Sa’ad bin Abi Waqas. Aisyah semakin menjadi, ketika kabar sampai ditelinganya, ia
langsung menuju ke Basrah, memobilisasi pasukan untuk menuju Madinah dan menuntut Ali bin Abi Thalib untuk segera mengambil tindakan atas berbagai kekacauan yang terjadi. Satu tahun kemudian, Muawiyah bin Abu Sofyan menyusun kekuatan besar untuk melakukan pemberontakan terhadap Ali bin Abi Thalib. Perangpun berkecamuk, perang besar yang mengorbankan banyak nyawa ini disebut perang Shiffin. Pasukan Ali bin Abi Thalib dipimpin oleh orang yang ahli perang dari suku Badui asli, pasukkannyapun sangat kuat sehingga mampu mendesak mundur pasukan dari Muawiyah bin Abu Sofyan. Pasukan Muawiyah bin Abu Sofyan terdesak mundur, tetapi belum kalah, pasukan Muawiyah memiliki politisi yang sangat cerdik, Amr bin Ash. Ia membisiki Muawiyah bin Abu Sofyan untuk mengubah siasat perangnya dengan mengajuakan perjanjian damai dengan Ali bin Abi Thalib, Usulan tersebut disetujui Muawiyah bin Abu Sofyan, ia memerintahkan pasukannya untuk mengangkat Al Qur’an tinggi-tinggi sebagai tanda ajakan damai. Ali paham bahwa itu adalah siasat licik dari Muawiyah, karena itu, Ali bin Abi Thalib tetap memacu pasukannya untuk terus maju menyerang. Ditengah kebimbangan itu, dalam barisan Ali bin Abi Thalib pecah, ada banyak pasukan yang menyerukan kata-kata “Mereka sudah mengajak damai, kita harus berhenti menyerang”, “Pantaskan menyerang orang yang sudah meminta damai”, bahkan pada barisan kelompok ini tidak hanya seruan damai yang diserukan, tetapi ancaman, ‘Jika Ali bin Abi Thalib tetap maju menyerang, jangan kaget kalau terjadi pembunuhan Usman kedua kalinya”. Ini cukup membuat curiga pasukan lainnya, karena tidak mungkin dalam satu barisan perang, ada pasukan yang berani mengancam pimpinan pasukannya. Akhirnya Ali bin Abi Thalib sepakat dengan seruan damai yang diajukan oleh kelompok Muawiyah.
Setelah perang selesai, finah dikalangan umat Islam menyebar kemana-mana, yakni mempertanyakan status hukum berperang sesama muslim, dan Jawaban spekulatif inipun sangat controversial, ada yang menyatakan halal dengan alasan tertentu, adapula yang mengharamkannya. Barisan yang paling kuat mengharamkan perang antar sesama muslim adalah barisan kelompok khawarij, mereka adalah barisan yang tidak sepakat dengan adanya perang, mereka tidak mengakui Ali bin Abi Thalib, tetapi juga tidak berada di kelompok Muawiyah, bahkan mereka mengharamkan keduanya. Dan mereka juga sempat menyinggung perang antar sesama muslim yang terjadi sebelumnya, yakni perang Jamal antara Ali bin Abi Thalib dan Aisyah. Mereka menyatakan kafir terhadap Ali bin Abi Thalib, Aisyah dan Muawiyah. Sementara kelompok lain, yang berada di barisan Ali bin Abi Thalib adalah kelompok dengan legitimasi hadist (keshahan hadits ini banyak dipertanyakan) “Ana madinah al ‘ilmi wa ‘Ali babuha” (SayaMuhammad- adalah gudangnya ilmu dan Ali adalah pintunya. Hadist ini sangat membuat masyarakat merasa bahwa Ali adalah yang paling pantas memimpin mereka. Bahkan diantara yang paling fanatic di barisan ini mengatakan bahwa sesungguhnya yang diangkat sebagai nabi adalah Ali bin Abi Thalib, Muhammad adalah hanya sebagai juru bicaranya saja. Kelompok ini pada perkembangan selanjutnya disebut sebagai kelompok syi’ah. Kelompok yang berkembang lainnya adalah kelompok yang menggunakan medio doktrin agama untuk melegitimasikan kekuasaan sebagaimana dilakukan oleh Muawiyah dengan doktrin jabariyah-nya. Mereka berpendapat bahwa setiap hal yang terjadi adalah kehendak Allah, bahwa manusia hanya dapat menerima dengan menjalankannya saja. Doktrin kebenaran dan keburukan dikembangkan dengan
sedemikian rupa sehingga sangat mudah diterima oleh masyarakat awwam. Gerakan ini dilawan dari putra khalifah Ali bin Abi Thalib, yakni Muhammad bin Ali yang baru berusia 18 tahun. Ia menyerukan kepada umat Islam di masjid-masjid bahwa setiap tindakan yang terjadi, setiap hal yang terjadi di dunia ini adalah akibat dari perbuatan manusia itu sendiri. Allah tidak ikut campur terhadap hal yang terjadi di dunia ini. Doktrin ini kemudian disebut sebagai qadariyah. Ada pula kelompok lain yang turut serta dalam penggolongan agama ini, kelompok ini cenderung apatis dengan kehidupan politik, mereka
mengkonsentrasikan
diri
pada
beribadah
dan
ilmu
pengetahuan. Termasuk didalamnya adalah kelompok para perawi’ hadits, para ahli zuhud dan pembaca Al Qur’an. Mereka murni hanya mementingkan ibadah kepada Allah dan pengembangan ilmu pengetahuan. Berapa pendapat dari sejarawan muslim, menyebut kelompok ini sebagai kelompok murji’ah, adapula yang memberi nama dengan mu’tazilah,
adapula yang menyebut dengan istilah
ahlussunah. Gerakan ini pada perkembangan selanjutnya ternyata mampu menandingi gerakan Muawiyah, sebagai counter part dan antithesis dari teologi jabariyah. Kemenangan ini karena ajaran yang dibawa oleh kaum mu’tazilah ternyata lebih mapan dalam konsepsi pengetahuan dan ibadah. Posisi utama yang dikendalikan oleh Hasan al Bashri sebagai pembawa arus gerakan mu’tazilah ini ternyata mampu membalik ajaran jabariyah yang dikemas sedemikian rupa oleh Muawiyah dengan pengembangan konsepsi pengetahuan yang melahirkan banyak disiplin ilmu baru, diantara ilmu baru yang berkembang diera tersebut adalah al ‘ilm al bayan, al ‘ilm al irfan dan al ‘ilm al burhan. Tentulah dengan pemahaman pengetahuan turunan yang lebih rasional dan sesuai dengan prinsip dasar agama, kaum mu’tazilah mampu memperoleh posisi sosial dan politik yang sangat
kuat dan strategis. Pasca
munculnya
ilmu-ilmu
tersebut
menjadi
bahan
perdebatan yang cukup banyak dikalangan masyarakat, terutama para ahli
ilmu.
Dari
kaum
mu’tazilah
sendiri
banyak
semakin
mengandalkan rasio, serta meninggalkan berbagai pendekatan yang sifatnya tidak rasional, seperti pendekatan peribadatan dan pendekatan spiritual mistis. Perdebatan tentang teori kebenaran ini, kemudian memunculkan nama baru sebagai penengah ditengah perdebatan mu’tazilah yang mengunggulkan rasio, yakni Imam Abu Hanifah. Beliau mengimbangi pemikiran mu’tazilah yang cukup liberal dengan pemahaman rasio, mengimbangi pemahaman agama yang dangkal kaum khawarij yang mudah mengkafirkan orang lain yang tidak sepaham, serta cara pandang yang sangat mistik yang dikembangkan kaum syi’ah. Konsepsi keseimbangan dengan dasar tasamuh dan tawazun inilah yang kemudian dalam waktu kedepan mendapat posisi strategis dan berangsur-angsur terkenal dengan nama ahlussunah wal jama’ah. Pada periode selanjutnya, paham ini semakin dikembangkan luas oleh para ulama, diantaranya adalah Al muahsibi dan Ibnu Kullah. Bahkan diantara para ulama yang paling tegas dalam mengaplikasikan madzhab ini adalah Abu Hasan Al Asy’ari. Hebatnya lagi, Abu Hasan Al Asy’ari memberlakukan ahlussunah wal jama’ah ini sebagai madzhab resmi dinasti Abasiyah. NU Struktural dan Kultural Sebagaimana dapat mudah ditemukan referensi ilmiah mengenai Nahdlatul Ulama’, baik jama’ah maupun jami’yyahnya, semua kalangan, baik intern NU ataupun non NU bahkan non Islam sekalipun dapat mengetahui secara lebih mendalam tentang jama’ah dan Jami’yyah yang memiliki jumlah anggota terbesar di Indonesia.
Banyak ilmuwan dalam tesis atau disertasinya yang mengangkat NU sebagai grand theme dari berbagai persepektif yang kemudian dikemas dalam kemasan yang lebih menarik perhatian, meskipun sebenarnya beberapa tradisi NU lebih dapat dinilai mistis non ilmiah daripada sisi keilmiahannya. Nama-nama besar seperti Greg Barton, Ben Anderson, Andre Felliard, David Levine, Herbert Feith, Harry J. Benda, Clifford Geertz, Bruce Glassburner, Van Der Kroef, WF Wertheim, dan Indonesianis lainnya adalah orang-orang yang sedikit banyak meletakkan NU sebagai bagian penting dari Indonesia, baik dari sisi sosial, ekonomi, politik dan kebudayaan. Nahdlatul Ulama’, adalah organisasi yang berdiri pada tanggal 31 Januari 1926 secara resmi pada pertemuan beberapa ulama’ besar yang membahas Komite Hijaz yang akan diberangkatkan ke Makkah untuk menghadap ke Raja Ibnu Saud, Raja baru kerajaan Saudi yang berasal dari kalangan Wahabi. Pertemuan ulama di Surabaya ini, selain membahas mengenai kondisi Islam global, juga mendiskusikan mengenai masa depan Islam Nusantara, tradisi warisan zaman kuno, penjajahan, ekonomi masyarakat serta hal-hal lain yang tekait dengan kondisi aktual saat itu. Meskipun secara resmi berdiri pada tanggal 31 Januari 1926, namun embrio organisasi ini telah ada sejak permulaan zaman pergerakan, yakni dengan ditandai kemunculan Nahdlatut Tujjar, organisasi sosial Islam yang bergerak untuk menangani persoalan perekonomian sosial, khususnya untuk para pedagang yang ketika itu banyak mengalami tindakan represif dari rezim penjajah Belanda, adapula organisasi yang bernama Taswirul Afkar, yakni organisasi yang secara khusus mendalami pendidikan, baik pendidikan agama ataupun pendidikan umum dan sosial. Dan yang paling penting sebenarnya tidak pada titik tersebut, justru dapat dikatakan, embrio NU ada sejak adanya Islam di Jawa khususnya atau nusantara pada
umumnya, hal ini dapat dilihat dari peran Ulama besar pada zamannya yang
mencoba
mengembangkan
Islam
yang
lunak
dengan
diakulturasikan dengan khazanah kearifan lokal. Ini justru menjadi embrio utama NU dari zaman Samudera Pasai dan Demak Bintoro yang Ulama di zaman tersebut menggunakan tradisi sosial sebagai tradisi religius dengan perubahan-perubahan pada titik tertentu yang dinilai melanggar norma sosial atau ajaran agama, Islam khususnya. Mengapa dapat dikatakan embrio NU ada jauh sebelum adanya organisasi?, setidaknya banyak faktor yang dapat dijadikan asumsi logis mengenai hal ini, terkait dengan NU yang ada jauh sebelum masuknya budaya Barat atau tradisi Wahabisme ke nusantara. Secara umum, NU adalah organisasi (jami’yyah) yang memiliki struktur keorganisasian, hirarki kepengurusan, sistem administrasi, anggota serta sistem kaderisasi. Tetapi selain itu, NU adalah sekumpulan orang yang menjaga tradisi tertentu dengan ritus tertentu yang ada pada wilayah tertentu sesuai dengan khazanah kearifan lokal wilayah tersebut, atau pendeknya dapat dikatakan komunitas (Jama’ah). Secara organisasi NU memang lahir pada saat pertemuan KH. Hasyim Asy’ari dengan ulama’-ulama’ besar lainnya di Surabaya, namun sebagai Jama’ah yang mempertahankan tradisi kearifan lokal sebagai modal utama mempertahankan tradisinya, NU ada jauh sebelum zaman pergerakan awal. Tetapi, secara umum ini bukan klaim kosong yang berdasarkan dalil tradisi, namun apabila ditarik pada wilayah lainnya, NU adalah organisasi yang memiliki ‘kandang’ pesantren, NU adalah organisasi yang berada dibawah para Kyai-kyai Pesantren, dan adanya pesantren sebagai satu institusi pendidikan resmi pertama kali didirikan oleh Sunan Ampel di Ampeldenta Surabaya. Sebagai jam’iyyah, posisi NU dalam percaturan tata sosial menjadi satu tatanan hirarkis organisasi. Dimana dalam organisasi ini
diatur tentang peraturan organisasi serta arahan roda organisasi yang baik untuk jangka pendek ataupun jangka menengah dan panjang. Tentulah sebagai sebuah organisasi yang memiliki massa sangat besar, NU mempunyai tatanan hirarkis yang dimulai dari tingkatan kebawah hingga tingkat teratas yang menjadi pusat komando NU. Menilik hirarkis NU, organisasi yang menjadi representasi kalangan pesantren ini, memulai jejaring hirarkisnya dari tingkatan masjid dan mushala yang disebut sebagai KAR atau Kelompok Anak Ranting, selanjutnya pada tingkat desa/dusun, disebut sebagai pengurus Ranting, sedangkan di tingkatan Kecamatan istilah untuk menyebut tingkatan ini adalah MWC (Majelis Wakil Cabang) sedangkan untuk tingkat Kabupaten/Kota atau wilayah khusus disebut dengan Pengurus Cabang. Beberapa cabang dalam satu provinsi atau pulau membentuk organisasi bersama pada tingkatan tersebut dengan nama Pengurus Wilayah yang biasanya berdomisili di ibu kota provinsi. Selanjutnya seluruh pengurus Wilayah yang ada, NU berada dalam garis komando PBNU (Pengurus Besar Nahdlatul Ulama).
--------- : Garis Koordinasi _____
: Garis Instruksi
Sedangkan system di internal hirarkis tersebut, jam’iyyah NU dipimpin oleh Dewan Syuro’, Dewan Mustasyar dan Dewan Tanfidz. Dewan suro berfungsi sebagai kepala, biasanya pada tingkatan ini adalah ulama/kyai yang telah memiliki pemahaman agama yang paling tinggi, karena dalam posisi ini, para pengurus berkewajiban untuk memberikan pembelaan dan pengajuan suatu perkara (sosial) kepada Pengurus Tanfidziah. Dewan Syuro (Syuriyyah NU) ini apabila disamakan dengan pola manajemen pesantren dapat dikatakan sebagai Kyai/Ulama-nya yang memimpin umat dalam satu wilayah teritori
tersendiri dimana organisasi tersebut berada. Dewan Syuro (Syuriyah) ini dipimpin oleh seorang kyai/ulama yang memiliki pemahaman agama lebih matang, tingkat peribadatan yang tinggi serta kemampuan menyelesaikan konflik sosial yang muncul (melalui forum bahtsul masail). Di tingkat Pengurus Besar yang memimpin dewan syuro ini disebut sebagai rais ‘aam. Sedang ditingkat wilayah dan atau cabang disebut sebagai Rais Syuriyah. Rais ‘Aam menjadi kyai untuk seluruh warga Nahdlatul Ulama di seluruh Indonesia dan secara otomatis menjadi rujukan hukum oleh seluruh PC NU atau PW NU dalam pengambilan keputusan yang terkait dengan problem sosial. Sedangkan yang dimaksud dengan Dewan Mustasyar ditempatkan sebagai dewan penasehat. Tugas dan wewenang dari posisi ini adalah memberikan pertimbangan, nasihat serta masukanmasukan yang terkait dengan kebijakan organisasi. Dewan mustasyar dengan posisi ini setidaknya mampu ‘mempengaruhi’ Dewan Tanfidziyah dalam penyikapan dan realisasi program kerjanya. Posisi selanjutnya disebut dengan dewan tanfidziyah, dewan ini ibaratnya adalah lembaga eksekutif, dimana dalam posisi ini adalah posisi fight yang bersentuhan langsung sebagai eksekutor kebijakan organisasi. Dengan dipimpin oleh seorang ketua dengan perangkat lengkap di berbagai sector kehidupan sosial, dewan tanfidz menjadi pemegang kendali organisasi serta yang paling berwenang untuk mengambil keputusan organisasi. Secara berurutan, dapat digambarkan sebagai berikut:
--------- : Garis Koordinasi _____
: Garis Instruksi
NU sebagai Jam’iyyah menempatkan struktur kepengurusan sebagai alat legitimasi terhadap kebijakan organisasi, dimana melalui struktur ini, kebijakan organisasi, baik internal maupun eksternal yang paling berwenang untuk mengeluarkannya adalah ketua dewan tanfidziyah bersama dengan ketua dewan syuro (rais syuriyah). Kebijakan yang telah dikeluarkan oleh organisasi yang bersifat internal diterjemahkan melalui struktur dibawahnya yang memiliki hubungan langsung dengan kebijakan tersebut. Dalam hal kebijakan eksternal, Ketua Dewan Tanfidziyah bersama dengan ketua dewan syuro melakukukan analisis dari berbagai sudut pandang, bersama pula dewan mustasyar dan struktur kepengurusan pada tingkatan tersebut. Analisis ini digunakan sebagai upaya antisipasi terjadinya hal-hal yang diluar misi dasar organisasi. Setelah pembahasan dilakukan, maka pengambilan keputusan atas kebijakan organisasi baru dapat dikeluarkan dan dihubungkan dengan pihak luar yang terkait.
Sementara itu, pada tingkatan paling bawah, yakni Kelompok Anak Ranting (KAR) yang struktur kepengurusannya serta aktivitas organisasinya berada di masjid-masjid dan mushalla, pola pengambilan kebijakan lebih didasarkan atas kebutuhan bersama jama’ah. Artinya, pengambilan kebijakan organisasi diputuskan bersama dengan jama’ah (masyarakat sekitar) dengan turut serta melibatkan pengurus masjid serta ulama setempat. Hal ini karena KAR bersentuhan langsung dengan masyarakat dan bertanggungJawab penuh atas kondisi jama’ah yang dipimpin. Selain structural tersebut, NU juga memiliki beberapa badan otonom (banom) yang membawahi beberpa sector sosial. Keberadaaan badan otonom ini berfungsi sebagai gerakan spesifik, dimana objek dari gerakan tersebut tertuju secara langsung melalui nama lembaga. Beberapa badan otonom yang dimaksud adalah Muslimat, Fatayat, GP. Ansor, IPNU/IPPNU, Lesbumi, Lakpesdam, dan sebagainya. Banom ini selain badan otonom resmi yang berlaku dari pengurus besar hingga pengurus ranting, ada pula badan otonom yang didirikan pada masingmasing tingkatan kepengurusan tertentu, namun tidak dijumpai pada structural yang lain. Hal ini didasarkan pada faktor kebutuhan akan lembaga tersebut yang berbeda antara satu daerah dengan daerah yang lain. Keberadaan badan otonom ini, oleh pengurus structural digunakan sebagai kePajangan tangan. Muslimat adalah organisasi kewanitaan NU yang anggotanya berumur kisaran 40-45 tahun keatas. Muslimat termasuk organisasi kewanitaan yang memiliki sejarah panjang dalam menopang gerakan NU sepanjang sejarah. Organisasi yang diperuntukkan untuk memberikan bekal spiritual dan moral bagi wanita usia separuh baya ini juga memberikan sumbangsih terhadap pengembangan pendidikan masyarakat dengan banyaknya lembaga pendidikan yang didirikan oleh Muslimat. Selain lembaga pendidikan, Muslimat juga mendirikan
beberapa rumah bersalin, pos pendidikan, pengajian dan sebagainya. Sementara Fatayat, hampir sama dengan muslimat. Ini juga merupakan organisasi kewanitaan dengan anggota yang kisaran umurnya 25-40 tahun. Organisasi yang digawangi oleh ibu-ibu muda ini dalam kontribusi sosialnya telah tercatat dalam sejarah sebagai organisasi yang memberikan pengaruh besar terhadap kesejahteraan sosial. Peranannya baik secara langsung ataupun tidak langsung dalam lingkungan sosial telah menempatkan Fatayat sebagai badan otonom NU yang cukup aktif dalam aktivitas organisasinya. GP Ansor juga merupakan salah satu badan otonom NU yang memiliki ruang gerak di wilayah kepemudaan. Gerakan Pemuda Ansor (GP Ansor) adalah merupakan barisan muda NU yang memiliki barisan paramiliter sebagai barisan keamanan NU, pasukan paramiliter ini disebut sebagai Banser atau barisan Ansor serba guna. Banser sebagai sebuah organisasi turunan memiliki kekuatan yang hampir ada disetiap tingkatan kepengurusan jami’yah NU, mulai dari pusat hingga KAR. Pada awalnya, berdirinya Banser adalah sebagai kesatuan pelindung dan pengaman para kyai NU yang sedang beraktivitas dakwah. Banser merupakan penerjemahan lanjutan dari apa yang pernah ada dalam NU di masa kolonial, yakni pasukan perang. Pada saat itu, NU memiliki kesatuan perang sebagai pengeJawantahan atas keputusan resolusi jihad dan pernyataan perang NU melawan penjajahan sebagai manifesto kehidupan berbangsa. Ansor selain memiliki Banser juga memiliki kepengurusan sendiri yang bergerak dengan jalan sesuai AD/ART sendiri. Kepengurusan Ansor diatur secara mandiri mulai dari tingkat pusat hingga ranting. Namun keberadaan Ansor sebagai organisasi otonom NU membuat gerakan dan jalur organisasinya harus tetap berkiblat pada organisasi induk, yakni nahdlatul Ulama.
Kantong pelajar dan mahasiswa juga memiliki wadah tersendiri yakni IPNU dan IPPNU. Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama adalah organisasi pelajar NU yang khusus untuk laki-laki sedangkan untuk perempuan, didirikan Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama yang juga memiliki kepengurusan dan tatanan organisasi sendiri. Meskipun dua organisasi ini berbeda kepengurusan dan masing-masing memiliki system organisasi sendiri, namun keduanya menjadi satu kesatuan yang hampir tak terpisahkan antara yang satu dengan yang lainnya karena keduanya memiliki arah gerak serta cita dan tujuan yang sama. IPNU/IPPNU dahulu juga merupakan kantong mahasiswa, dimana pada awal berdirinya diperuntukkan khusus untuk para pelajar, namun ketika para mahasiswa NU yang awalnya tergabung dalam Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) memilih mengeluarkan diri karena problem ideologi, kemudian membentuk divisi kemahasiswaan dalam IPNU/IPPNU. Namun problem ‘nama’ organisasi membuat para mahasiswa memikirkan kembali membentuk wadah baru yang cita dan tujuan searah namun memiliki ruang khusus, maka atas prakarsa dari para aktivis mahasiswa di tahun 1960 berdirilah Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) yang kemudian resmi menjadi badan otonom sebagai wadah mahasiswa dalam NU. Meskipun dua belas tahun kemudian memilih untuk keluar dari NU karena persoalan politik yang digelar dalam deklarasi Murnajati PMII. IPNU dan IPPNU sebagai kantong pelajar membawa arah baru bagi perkembangan pengkaderan NU ditingkat pelajar. Dimana dengan IPNU, doktrin aswaja mulai disuntikan ditengah para pelajar serta menumbuhkan sikap yang nahdliyyah ditengah para pelajar dalam hubungan sosial dan agamanya. Pengkaderan dalam IPNU dan IPPNU membawa misi besar sebagai penyokong awal gerakan pengkaderan disisi pembangunan sumber daya manusia NU.
Teringat Lekra (lembaga kesenian rakyat) dan Manikebu (Manifesto Kebudayaan) serta berbagai kelompok seni lainnya yang ada di era orde lama, maka untuk membentuk kantong budaya di tubuh NU
dibentuklah
Lesbumi.
Lesbumi
selain
memfasilitiasi
pengembangan budaya dan seni masyarakat juga memberikan warna baru dalam pengembangan berbudaya, menampilkan perkembangan baru dalam system kebudayaan serta memberikan corak baru dalam hubungan seni antar seniman yang saat itu sangat konfrontatif. Sebutlah misalnya pertarungan besar yang terjadi dalam satu angkatan seni antar kelompok, diantara Lekra dan Manikebu banyak sekali konflik, yang direpresentasikan dalam karya, yang bertolak belakang. Keberaadan Lesbumi juga bercita-cita untuk melestarikan khazanah kearifan lokal yang ada, dimana Lesbumi memberikan corak tersendiri dalam pengembangan kebudayaan sebagaimana disebutkan diatas. Lesbumi memilih untuk menempatkan khazanah lokal sebagai asset terbesar budaya yang perlu dikembangkan dan dilestarikan, sehingga dalam setiap karya dan produksinya, khazanah lokal memberi arti tersendiri dalam perform lesbumi. Lembaga kajian dan pengembangan sumber daya manusia (lakpesdam) NU juga memberi warna baru dalam cara pandang tentang sumber daya manusia, lembaga ini concern dalam pengembangan sumber daya manusia, baik dalam lingkup politik, sosial, budaya, ekonomi serta pemberdayaan sumber daya manusia dibidang tenaga kerja dan tatanan sosial. Sebutlah misalnya tentang peranan lakpesdam dalam menghadapi banyaknya TKI/TKW NU yang berada diluar negeri, pentingnya lakpesdam dalam gerakan ini adalah untuk memproteksi, mengantisipasi serta menangani terjadinya kekerasan, baik kekerasan fisik maupun non fisik yang sering kali terjadi. Rabithan Ma’had Islamiyah (RMI) adalah induk semang NU,
dimana dalam RMI, peranan pondok pesantren sebagai ‘induk’ NU mendapatkan posisi tersendiri dalam ruang sendiri pula. Hubungan antar lembaga pesantren yang satu dengan yang lain difasilitasi dalam ruang yang sama di RMI, hal ini dapat dilihat dari perkembangan RMI dari masa ke masa yang menjadi wadah komunikasi, wadah pertukaran pendapat serta wadah pengembangan keagamaan dalam berbagai sector kehidupan. Didalam RMI, selain terjalin komunikasi antar pesantren, juga mempererat hubungan antara pesantren yang satu dengan pesantren yang lain, sehingga suasana harmonis antar pesantren dapat tercipta melalui lembaga ini. Terinspirasi dari gaya ulama pesantren pada masa lampau yang sering terjalin komunikasi dan pertukaran pelajar, maka RMI menempatkan posisi organisasinya berada pada tingkatan tersebut yang tidak ingin terjadi pergeseran antar posisi pesantren. Atau bahkan ‘pertengkaran’ antar pesantren. Disamping itu, RMI juga dalam komunikasinya membawa misi paling penting dalam mengemban ajaran NU. Dimana sesuai statute NO 1926, bahwa setiap kitab yang diajarkan di pesantren harus yang tidak bertolak belakang dengan ajaran Islam ahlussunah wal jama’ah. Peranan RMI dalam hubungan antar pesantren juga ada public share soal itu. Peranan vital inilah yang menjadi posisi RMI sangat penting selain sebagai ‘ruh’ gerakan NU. Demikian juga halnya dibidang pengambilan keputusan hukum dalam NU, selain bersumber dari kitab-kitab yang ditentukan oleh pesantren (RMI), sebagai wadahnya dibentuk lembaga khusus yang menangani persoalan sosial yang terjadi terkait dengan hukum agama. Dalam NU, lembaga tersebut diberi nama dengan lembaga bahtsul masa’il. Lembaga ini khusus menangani soal keputusan hukum dalam persoalan yang terjadi, baik yang bersifat mendasar
ataupun turunan. Lembaga ini bertugas mengumpulkan kyai dan ulama, masyarakat, pengkaji dan serta orang yang ahli dibidangnya, untuk bermusyawarah menentukan hukum atas persoalan yang terjadi yang akan dibahas. Lembaga ini menjadi ‘hakim’ atas masalah sosial yang terjadi. Melalui lembaga ini pula, dapat diketahui keputusan atas problem sosial yang terjadi, hukum halal haramnya serta peraturan lain yang terkait atasnya. Untuk mempublikasikan hasil ijtihad hukum yang diambil dalam keputusan bahtsul masail tersebut, dalam NU dibentuk Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama (LDNU). Lembaga ini membawa misi dakwah kepada warga NU khususnya dan umat muslim pada umumnya, serta pada cakupan paling luas, seluruh masyarakat tanpa memandang suku dan agamanya. LDNU membawa arah pengembangan pola komunikasi sosial keagamaan. Lembaga ini menjadi mediator antara jami’yah NU dengan jama’ah NU. Dengan LDNU, maka posisi NU stuktural akan mampu bersentuhan langsung dengan NU cultural. Sehingga dalam pengembangannya, NU tetap tidak jauh dari akar rumput yang merupakan basis masa terbesarnya. Dalam bidang pendidikan formal, NU juga memiliki perangkat khusus, lembaga ini diberi nama Ma’arif. Lembaga yang khusus menangani pendidikan formal, baik jenjang dasar hingga lanjut ini memiliki ruang gerak yang lumayan luas. Pada tingkat kabupaten/ kota misalnya, peranan Ma’arif hampir setara dengan Dinas Pendidikan atau Departemen Agama dalam mengurusi persoalan pendidikan NU. Posisi ini cukup strategis sebagai lembaga yang khusus menangani persoalan pendidikan agama di tingkatan dasar. Lembaga ini mulai dari pendidikan TK, MI/SD, SMP/MTs,
MA/SMA/SMK serta Perguruan Tinggi yang berada dibawah naungan NU sebagai pemegang kebijakan yang penting. Dengan lembaga ini pula, pendidikan masyarakat, terutama di daerah pedesaan, tidak lagi mendapatkan kesulitan. Secara historiorganisatoris, lembaga ini merupakan manifesto dari statuten NO 1926 yang diantara isinya adalah mendirikan lembaga yang bergerak dalam pengembangan pendidikan keagamaan serta pendidikan sosial. Amanat ini diwujudkan dan telah direpresentasikan dalam kehidupan sosial agama. Terbukti dengan menjamurnya pendidikan ma’arif NU. Hanya saja, pengembangannya masih sangat terbatas. PengeJawantahan lain dari statuten NO 1926 dalam pengembangan perekonomian sosial adalah berdirinya Lembaga Perekonomian Nahdlatul Ulama. Salah satu amanat dari founding fathers NU adalah melakukan pemberdayaan sosial melalui lembaga perekonomian, yang dalam statuten NO disebut sebagai perniagaan. Pentingnya pemberdayaan ekonomi sosial ini adalah, dengan system pemerdayaan ekonomi yang tepat, maka jaminan kesejahteraan masyarakat NU dapat lebih terakomodir, sehingga penempatan posisi sosial masyarakat NU tidak lagi terbelakang. Pemberdayaan ekonomi adalah juga merupakan misi dari pengeJawantahan atas berdirinya nahdlatul wathan. Organisasi yang didirikan oleh KH. Wahab Chasbullah sepulang dari Makkah. Yakni kebangkitan para pedagang. Disamping itu pula, dengan pemberdayaan dibidang ekonomi, maka peranan NU sebagai organisasi sosial keagamaan
dapat
benar-benar
menjadi
pemberdaya
sekaligus
pembangkit kesejahteraan sosial secara menyeluruh. Pemberdayaan ekonomi ini saat ini dibentuk dengan didirikannya lembaga-lembaga keuangan yang memberikan wadah
khusus pada pengembangan ekonomi masyarakat NU lemah. Dimana pada pelayanannya ada yang memberikan kredit usaha dengan system bagi hasil. Berbagai upaya selain mendirikan lembaga keuangan juga dilakukan seperti memberikan pelayanan pembentukan kelompok usaha yang paling potensial di masing-masing daerah. Dibidang pertanian dan perikanan, NU juga memiliki lembaga
khusus
yang
concern
dibidangnya,
yakni
Lembaga
Pengembangan Pertanian NU. Lembaga ini khusus menangani masalah pertanian yang terkait dengan pemberdayaan pertanian, peningkatan hasil pertanian, pengolahan system baru yang lebih produktif serta pemberian stimulus untuk pengembangan system pertanian yang telah ada. Dalam bidang pertanian ini, NU memposisikan diri sebagai lembaga yang mengayomi kebutuhan para petani akan peningkatan hasil serta jaminan kualitas hasil pertanian. Oleh karenanya, lembaga NU ini sering mengadakan pelatihan pertanian dengan bekerja sama dengan pihak ketiga yang memiliki ruang gerak pertanian yang paling concern. Tujuannya adalah, pengembangan hasil pertanian dapat dilakukan melalui system pengkaderan pertanian yang dilakukan secara menyeluruh dan bertahap. Serta dibidang hukum, NU memiliki lembaga khusus, yakni Lembaga Bantuan Hukum NU. Lembaga ini diisi posisinya oleh para sarjana hukum, magister hukum, doctor hukum sampai professor yang ahli
dalam
bidang
hukum
untuk
melakukan
pendampingan,
penyelesaian serta pemberdayaan hukum masyarakat NU. Lembaga ini didirikan
mengingat
masyarakat
yang
banyaknya
tidak
tercover
terjadi oleh
kasus
hukum
yuridis
NU,
sehingga
dalam
pendampingannya selalu saja dilakukan oleh orang lain. Berangkat dari fenomena inilah, NU memiliki inisiatif untuk
membentuk lembaga Bantuan Hukum NU agar masyarakat NU juga tercover dalam pendampingan hukum serta merupakan bentuk pengayoman terhadap warga NU dari NU jami’yah ke jama’ah NU. Fenomena sosial lain adalah, banyaknya warga NU yang menjadi buruh dan karyawan di perusahan-perusahaan, baik di dalam maupun di luar negeri. Untuk mengcover ini, NU mendirikan Sarbumusi, Serikat Buruh Muslim Indonesia. Lembaga ini sejak awal berdirinya hendak menjadikan para buruh serta karyawan yang ada lebih terakomodir dalam ruang yang sama dengan kesepahaman yang sama pula. Ruang ini selain sebagai forum komunikasi, juga memberikan wadah untuk mempersatukan buruh dalam satu suara. Sehingga kebijakan perusahaan atau pemerintah dalam penetapan UMR dapat lebih terkawal, sehingga kesejahteraan buruh dapat dilaksanakan. Sarbumusi dalam wilayah kerjanya memiliki ruang yang lebar, tidak hanya buruh dalam wilayah nasional saja, tetapi juga buruh migran dan buruh yang berada di perusahaan-perusahaan pemerintah dan asing. Lembaga ini menjadi penting manakala pada tiap tahunnya, pengambilan kebijakan penetapan UMR sering kali tidak sesuai dengan kebutuhan buruh. Oleh karenanya, selain sebagai lembaga advokasi, lembaga ini juga sebagai mediator antara pengambil kebijakan dengan pihak yang terkait dengan kebijakan tersebut, baik buruh/karyawan atau pemilik perusahaan. Adapula Haiah Ta’miril Masajid Indonesia (HTMI) yang bertugas
melaksanakan
kebijakan
Nahdlatul
Ulama
dibidang
pengembangan dan pemakmuran masjid. Serta Jam’iyah Ahlit Thariqah Al Mu’thabarah an Nahdliyah, yakni salah satu majelis khusus untuk digunakan sebagai wadah para aktivis tarekat di dalam Nahdlatul Ulama. Tarekat ini meliputi banyak aliran yang kesemuanya
itu tertampung dalam wadah lembaga ini. Selain lembaga-lembaga diatas, adapula di dalam sturktural NU lembaga lain yang memiliki peranan yang lebih dalam kehidupan sosial keagamaan masyarakat NU. Diantaranya adalah Lembaga Kemaslahatan Keluarga, Lembaga Amil Zakat, Infak dan Shadaqah NU (LAZIS NU), Lembaga Waqaf dan Pertanahan NU, Lembaga Takmir Masjid Indonesia, Lembaga Pelayanan Kesehatan, Lajnah Falakiyah, Lajnah Ta’lif wa nasyr NU dan lembaga-lembaga lain yang merupakan lembaga structural untuk menopang kepengurusan NU dalam upaya suksesi kemaslahatan NU sebagai organisasi yang memiliki basis massa terbesar di Indonesia. Dalam masing-masing tingkatan structural di dalam NU, adapula pertemuan-pertemuan rutin yang diselenggarakan agar laju organisasi tetap berjalan pada rel yang ditetapkan. Pertemuan tersebut adalah, muktamar, Konferensi Besar, Musyawarah Nasional Alim Ulama, Konferensi Wilayah, Konferensi Cabang, Konferensi Majelis Wakil Cabang dan Rapat Anggota. Penjelasan dari pertemuan-pertemuan diatas adalah, pertama, muktamar. Muktamar adalah instansi permusyawaratan tertinggi dalam Nahdlatul Ulama. Diselenggarakan oleh Pengurus Besar Nahdlatul Ulama sekali dalam lima tahun. Muktamar memilih Rais ‘Am dan Wakil Rais ‘Am melalui pemungutan suara langsuntg. Ketua Umum Tanfidziyah dipilih oleh muktamar setelah mendapat persetujuan Rais ‘Am dan Wakil Rais ‘Am. Kedua, Konferensi Besar adalah instansi tertinggi setelah muktamar dan diadakan oleh pengurus Besar Nahdlatul Ulama. Konferensi Besar ini dihadiri oleh Pengurus Besar Pleno dan utusan Pengurus Wilayah. Ketiga, Musyawarah Nasional Alim Ulama, yakni musyawarah alim-ulama yang diselenggarakan oleh Pengurus Besar
Syuriyah, satu kali dalam satu periode kepengurusan untuk membicarakan masalah keagamaan. Sementara keempat,
Konferensi Wilayah yakni instansi
permusyawaratan tertinggi untuk tingkat wilayah, dihadiri oleh Pengurus Wilayah dan utusan Pengurus Cabang yang ada didaerahnya, terdiri dari Syriyah dan tanfidziyah. Konferensi Wilayah ini diselenggarakan sekali dalam lima tahun. Kelima, Konferensi Cabang, adalah Instansi permusyawaratan tertinggi pada tingkat Cabang, dihadiri oleh utusan-utusan Syuriyah dan Tanfidziyah Majelis Wakil Cabang dan Ranting di daerahnya dan diadakan sekurang-kurangnya sekali dalam lima tahun. Keenam, Konferensi Majelis Wakil Cabang adalah instansi permusyawaratan tertinggi pada tingkat Majelis Wakil Cabang, dihadiri oleh utusan-utusan Syuriyah dan Tanfidziyah Ranting di daerahnya dan diselenggarakan sekali dalam empat tahun. Ketujuh, Rapat Anggota, yakni instansi permusyawaratan tertinggi pada tingkat Ranting yang dihadiri oleh anggota-anggota Nahdlatul Ulama di daerah Ranting dan diselenggarakan selambat-lambatnya sekali dalam tiga tahun. Sementara itu, diluar struktur, dapat pula disaksikan fenomena menarik yang setiap hari dapat dijumpai di desa-desa. Pengajian rutin, pengajian selapanan, pengajian mingguan, yassinan, tahlilan, mitung dino, matang puluh, ngapati, mitoni, ziarah, tarikatan serta forum sosial lainnya yang berada tidak jauh dari aktivitas sosial sehari-hari. Termasuk diantaranya adalah jama’ah shalat tiap waktu shalat. Yang unik dari aktivitas tersebut adalah, bahwa dalam aktivitas tersebut adalah aktivitas dari warga NU. Bahwa ada ‘sturktur lain’ yang berkembang dalam tubuh NU melalui lembaga-lembaga
sosial yang tidak terstruktur dan melakukan aktivitasnya tanpa ada back up sepenuhnya dari NU struktur. Bahwa dalam aktivitas sosial keagamaan mereka menyadarkan spiritualitas mereka pada paham yang sama dengan NU, Islam Ahlussunah Wal jama’ah, namun dalam aktivitas keseharian mereka, berjalan seperti apa adanya. Tanpa campur tangan dari kepengurusan NU, baik tingkatan cabang hingga ranting. Di setiap dusun, tahlilan pada malam jum’at adalah aktivitas rutin yang hampir-hampir tak ada matinya. Setiap dusun, ditiap daerah, tahlilan malam jum’at adalah bagian penting yang tidak bisa ditinggalkan begitu saja. Istilah hukumnya, menjadi fardlu kifayah. Setiap malam jum’at itu pula, bergilir tiap rumah dalam satu dusun menjadi tuan rumah untuk melakukan ritus ini, ritus mendoakan terhadap orang yang telah mendahului kembali ke alam lain. Tahlilan malam jum’at seolah menjadi faksi tersendiri yang berjalan secara natural tanpa motif apapun, tidak ada motivasi atau kepentingan yang bergerak atasnya, semuanya berjalan dengan sendirisendiri tanpa ada kepentingan lain yang menyusup diantaranya. Dengan kekuatan inilah, kekuatan akan kebutuhan sandaran spiritual sosial, kelompok-kelompok ini tetap bertahan. Demikian juga dengan kelompok sosial keagamaan lainnya, seperti pengajian ibu-ibu, tahlilan ibu-ibu, albarzanji, diba’an, pengajian mingguan, pengajian remaja, tahlilan pemuda, tarekatan, serta kelompok yang tidak kalah pentingnya, kelompok shalat jama’ah pada tiap waktu shalat. Mereka berjalan sendiri, hanya kebutuhan spiritual yang menjadi pemacu semangat mereka untuk tetap mempertahankan tradisi yang telah lama berjalan ini. Hampir setiap hari, dalam tujuh hari satu minggu, tidak ada waktu yang kosong untuk aktivitas sosial keagamaan. Baik siang hari maupun malam hari.
Dengan kelompok-kelompok yang berbeda dan bentuk aktivitas yang kadang berbeda pula ritusnya. Pada barisan lain, yang berlaku secara insidental, kelompok besar juga dapat ditemui dalam wilayah sosial. Tradisi mitung dino adalah tradisi tahlilan mendoakan orang yang meninggal selama tujuh hari berturut-turut dari hari kematiannya. Tradisi ini merupakan ritual turunan dari ritual dalam agama dan kepercayaan yang telah ada sebelumnya. Bahwa orang yang sudah meninggal harus diadakan upacara untuk mengantar kepergian orang tersebut ke alam kekal. Oleh para ulama di zaman dahulu, ritual upacara ini kemudian digeser menjadi ritus berdoa bersama untuk mengantar kepergian orang yang meninggal dan dikemas dalam tradisi tahlilan, seperti yang sekarang ini masyarakat NU jalankan sebagai tradisi. Setelah upacara mitung dino, masyarakat NU juga selalu melakukan upacara yang sama di usia kematian ke-40, atau sering disebut dengan istilah matangpuluh. Upacara ini pada dasarnya sama, hanya merupakan loncatan berjangka dalam upacara tahlilan periodik. Setelah empat puluh hari kematian, juga ada istilah nyewu, yakni upacara tahlilan setelah seribu hari kematian juga ada khaul yang diperingati setiap tahun untuk mengingat dan mendoakan kematian orang yang mendahului. Selain upacara kematian, dalam ritus sosial keagamaan NU juga ditemui ritual lain seperti nyadran. Upacara untuk menghormati bulan suci Sya’ban ini dilakukan menjelang bulan puasa. Yakni melakukan upacara sedekahan. Diantara yang paling sering dan rutin dilakukan adalah di kasultanan Jogjakarta. Disini ritual nyadran dilakukan dengan upacara besar-besaran, selain merupakan upacara masyarakat Jogjakarta, diwaktu ini juga dilakukan prosesi nyepuh, yakni membersihkan benda-benda pusaka yang dimiliki oleh kraton
Jogja. Ada pula prosesi sedekah laut, sedekah gunung, padhusan dan lain sebagainya yang dilakukan dengan berdoa bersama kepada tuhan melalui perantaraan (wasilah) kepada gunung atau laut yang telah memberi kepada masyarakat sekitar sumber kehidupan yang tiada berakhir untuk kelangsungan hidup mereka. Setelah upacara tersebut selesai, diadakan ruwatan bersama masyarakat, yakni makan bersama serta berdoa kepada tuhan untuk tetap memberikan kekuatan kepada gunung atau laut yang telah memberikan kepada mereka penghasilan untuk memenuhi kebutuhan keseharian mereka. Pendek kata, ritual ini adalah ritual ucapan terima kasih kepada tuhan melalui perantara alam yang telah memberi berkah kepada manusia. Membaca Albarzanji dan manaqiban juga merupakan ritual warga NU, disini, dalam ritual ini, mereka secara bersama-sama membaca sejarah hidup nabi Muhammad SAW serta para sahabat dan ulama-ulama besar. Ritual ini dimaksudkan agar manusia tetap mengingat sejarah perjuangan nabi dan sahabat serta para ulama yang telah berjuang untuk menyebarkan Islam diseluruh penjuru dunia. Penghormatan terhadap para pendahulu mereka ini juga diiringi dengan membaca shalawat bersama-sama dan menjadikan ritual ini sebagai ritual ‘wajib’ setiap minggunya dibanyak pelosok desa. Gemagema irama rebana semakin menambah semarak ritual ini. Dan yang dapat dijumpai setiap harinya, praktik ibadah orang NU saat shalat subuh adalah membaca doa qunut pada I’tidal raka’at terakhir, tujuan dari membaca doa qunut adalah mengikuti sunnah rasul dan qaul para imam madzhab yang menekankan pentingnya shalat subuh dengan qunut sebagaimana dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW dalam beberapa hadist yang berkata tentang itu. Selain pada waktu shalat subuh, orang NU juga membaca doa qunut
manakala terjadi musibah, bencana atau peperangan. Qunut pada saat ini disebut dengan doa qunut nazilah yang dibaca tidak hanya waktu subuh, tetapi pada setiap shalat yang dilakukan agar mendapat perlindungan dari Allah dari marabahaya yang mengancam mereka akibat musibah atau peperangan yang terjadi yang dapat mengancam keamanan dan kesejahteraan masyarakat. Adapula ritual lain yang sering dilakukan oleh warga NU, yakni mengadakan upacara ulang tahun nabi Muhammad SAW, ritual ini sering disebut sebagai maulid Nabi (muludan). Upacara untuk memperingati hari kelahiran nabi, yakni tanggal 12 rabiul awwal ini, hampir setiap tahun diadakan oleh masyarakat sendiri untuk memberikan penghormatan kepada nabi serta mengingat sejarah perjalanan kehidupan beliau yang dapat dijadikan panutan bagi umat manusia. Disamping itu, ritual warga NU yang paling kentara pada bulan ramadhan adalah, warga NU selalu menjalankan shalat tarawih 23 raka’at atau lebih sebagai pengeJawantahan atas pernyataan memuliakan bulan ramadhan. Dan yang paling tidak kalah pentingnya dari semua itu adalah, keberadaan pesantren. Pondok pesantren sebagai institusi pendidikan agama yang telah ada sejak awal Islam masuk ke Indonesia ini adalah ‘kandang’ utama warga nahdliyyin. Sebagaimana dapat dilihat dalam sejarah awal berdirinya NU, NU lahir ditengah pergulatan pemikiran para pembaharu Islam yang hendak menjadikan Islam, dalam pemahamannya menggunakan metode baru yang dikembalikan pada al Qur’an dan hadits sebagai referensi dasar dan kemudian ditafsirkan secara benar salah dengan ekstrim. Perkembangan
dinamika
pemikiran
Islam
dizaman
pergerakan awal itulah yang membuat ulama dari kalangan pesantren mendirikan NU sebagai alat perjuangan sekaligus penerapan Islam
yang ahlussunah wal jama’ah sebagai satu madzhab yang paling tepat dibandingan madzhab yang lain, terutama madzhab wahabisme yang sangat ekstrim dalam memahami ajaran agama.
NU dan Perjalanan Politiknya Tujuan pertama yang dinyatakan Nu pada tahun 1926 adalah untuk menciptakan hubungan antara ulama
yang berpegang pada
empat madzhab sunni dan meneliti buku-buku teks agama untuk mengetahui apakah buku-buku tersebut mengandung pikiran-pikiran para reformis atau tidak. Tujuan-tujuan lainnya adalah untuk melakukan amal, pendidikan, memajukan pertanian dan perdagangan. Dalam tujuan dasar pemberntukan Nahdlatul Ulama ini, berbicara terkait dengan nasionalisme tidak disebutkan secara eksplisit sekali pun hal tersebut sudah sangat popular dikalangan beberapa kyai, termasuk pendiri Nahdlatul Ulama, KH. Wahab Chasbullah, yang dalam gerakan dilakukan sebelumnya baik di Syarikat Islam, serta perhimpunan sekolah-sekolah agama (Nahdlatul Wathan) beliau selalu mengajarkan murid-muridnya untuk menyanyikan lagu anti kolonial. Demikian juga dalam perjalanan sejarah awalnya Nahdlatul Ulama,
organisasi
terbesar
di
Indonesia
ini
tidak
terlalu
mempersoalkan urusan politik dari kolonial, baik yang bersifat imperialis kolonialistik maupun yang bersifat sosial. Organisasi ini hanya terpusat pada kebijakan pemerintah Hindia Belanda dibidang keagamaan. Banyak kasus yang dapat dijadikan contoh mengenai perlawanan Nahdlatul Ulama terhadap kebijakan Pemerintah Hindia Belanda dibidang keagamaan yang tidak sesuai dengan ketentuan syara’ serta tidak membawa kemaslahatan sesuai ajaran Islam. Sejarah telah mencacat, kebijakan Pemerintah Hindia Belanda ketika mengeluarkan kebijakan Ordonasi Guru, kebijakan
yang dikeluarkan pada tahun 1905, diubah pada tahun 1923 dan 1925, yang mengatur tentang kriteria-kriteria yang ketat pada sekolahsekolah. Para ulama jelas merasa gerah, sebab kebijakan tersebut terbukti mengalienasi lembaga pendidikan yang dimiliki oleh Nahdlatul Ulama, baik dalam Nahdlatul Wathan maupun Taswirul Afkar, sebab dalam urusan manajemen, lembaga pendidikan yang dimiliki oleh Nahdlatul Ulama kurang begitu terorganisir secara tertib. Demikian halnya juga terjadi ketika Pemerintah Hindia Belanda mencabut peraturan warisan dari yurisdiksi Peradilan Islam di Jawa, Madura dan Kalimantan Selatan pada tahun 1937. Pada masa periode ini, pemikiran politik NU lebih ditempatkan sebagai posisi yang oposan terhadap pemerintah Hindia Belanda pada sisi keagamaan yang cenderung kurang kooperatif, sedangkan pada kebijakan lainnya, Nahdlatul Ulama tidak terlalu mempersoalkan sebagaimana gerakan organisasi lainnya. Fokus Nahdlatul Ulama adalah pada misi sosial, yakni hal-hal yang terkait dengan masyarakat umum, dibidang agama, peradagangan, pertanian serta urusan lain yang terkait dengan kemaslahatan umat sesuai dengan ketentuan syara’. Namun
kondisi
tersebut
ternyata
mulai
mengalami
pergeseran, cara pandang politik Nahdlatul Ulama telah mengalami pengembangan yang sedemikian tinggi, dari yang awalnya nalar politik tersebut berkembang dalam masing-masing individu dalam jam’iyah Nahdlatul Ulama, saat ini mulai berubah menjadi perbincangan umum dikalangan para elit structural Nahdlatul Ulama. Dasar pemikiran dari perubahan nalar politik ini karena disebabkan
pentingnya,
dalam
anggapan
Nahdlatul
Ulama,
kemerdekan bangsa untuk menjamin kebebasan menjalankan system sosial yang dikelola sendiri oleh orang pribumi. Tidak ada lagi intervensi asing yang merupakan ‘orang luar’ dan menerapkan hukum
tidak sesuai dengan tempatnya. Berangkat dari hal inilah, maka Nahdlatul Ulama mulai merancang satu system kemerdekaan secara menyeluruh dengan menempatkan posisi orang pribumi sebagai pemimpin nasional yang akan menjadi motor penggerak. Pada bulan Juni 1940 dalam satu pertemuan rahasia di Muktamar Nahdlatul Ulama ke-15, para elit structural NU mengambil keputusan yang cukup mengagetkan. Yakni melakukan diskusi serta mengambil keputusan soal siapakah calon presiden yang paling tepat untuk memimpin Indonesia. Melihat bukan pada hasil diskusi, melainkan pada materi yang didiskusikan, terhitung para elit Nahdlatul Ulama sudah berani menentukan posisi politiknya. Pada posisi pertama yang vis a vis terhadap pemerintah Kolonial Belanda, kemudian mengambil posisi lain sebagai posisi oposisi lebih kuat dengan rencana impeachment terhadap pemerintah Kolonial Belanda dengan menetukan calon presiden yang akan memimpin Indonesia setelah merdeka. Tentunya pemikiran ini tidak didasari dengan alasan yang pendek, ada alasan khusus yang dipikir secara mendalam dan panjang mengapa para elit Nahdlatul Ulama berani mengambil posisi yang demikian itu. Alasan yang paling riil adalah, bahwa Nahdlatul Ulama menginginkan kemerdekaan yang berdaulat. Menginginkan system pemerintahan yang diatur sendiri oleh orang pribumi dengan demokrasi, tidak dengan imperialisme. Dalam pertemuan di Muktamar di Surabaya itu, hasil keputusannya adalah, ada dua opsi kandidat yang diusung sebagai calon presiden, yakni seorang pimpinan Partai Nasional Indonesia yang sangat lantang dalam menentang kebijakan pemerintah Hindia Belanda, Soekarno. Kandidat yang kedua adalah, seorang lulusan dari Belanda yang sangat cerdas dalam pemikirannya, pemikir dari
Sumatera, Drs. Mohammad Hatta. Kedua kandidat inilah yang saat itu paling menonjol dan paling mungkin untuk dapat dijadikan pemimpin perjuangan rakyat kedepan untuk mencapai Indonesia merdeka. Track record perjuangan kedua tokoh ini benar-benar dicatat sebagai bahan pertimbangan layak atau tidaknya menjadi pemimpin bangsa. Setidaknya dilihat dari langkah-langkah yang telah dilakukan oleh dua orang ini dapat memberikan gambaran yang cukup untuk memutuskan calon presiden. Dari hasil voting yang dilakukan oleh sebelas orang elit Nahdlatul Ulama telah berhasil menentukan secara aklamatif siapa yang tepat untuk memimpin bangsa Indonesia. Sepuluh orang memilih Soekarno sebagai calon presiden dan hanya satu orang yang memilih Drs. Mohammad Hatta sebagai presiden. Yang paling aneh adalah, diantara dua kandidat tersebut, yang paling mendalam pengetahuan agamanya, setidaknya dalam kaca mata public, justru adalah Drs. Mohammad Hatta, karena sebelum berangkat ke negeri Belanda untuk melanjutkan studynya, dia banyak mengenyam
pendidikan
agama
Islam.
Sementara
Soekarno,
pengetahuan agama secara mendalam dilakukan ketika kost di rumah H.O.S. Tjokroaminoto, seorang tokoh pergerakan yang mendirikan Syarikat Islam. Dan paling menarik, gagasan Soekarno adalah membentuk Negara sekuler yang memisahkan agama dengan Negara. Sebagaimana yang telah dilakukan oleh Mustafa Kemal Attaruk di Turki. Padahal sedari awal Nahdlatul Ulama adalah organisasi yang paling getol memperjuangkan kepentingan agama atas kepentingan politik dan kepentingan lainnya11. Belum lagi, gagasan Soekarno tentang Negara sekuler yang diidam-idamkannya setelah bercermin dari prestasi Mustafa kemal 11 St. Sularto, Dialog dengan Sejarah; Soekarno Seratus Tahun, Kompas, Jakarta, 2001, hal. 204
Attaruk pada awalnya sangat mendapatkan peralawanan dari berbagai kalangan, dan yang paling menonjol adalah dari kalangan Islam reformis. Nahdlatul Ulama sendiri, pada tanggal 1 Juli 1940 dalam surat kabar Berita Nahdlatoel Oelama menulis secara eksplisit mengenai penolakannya terhadap system Negara sekuler yang ingin diciptakan oleh Soekarno12. Tulisan lain di Berita Nahdlatoel Oelama pada bulan Agustus 1940 telah mulai melunak, dalam tulisan tersebut, Nahdlatul Ulama telah memahami konsepsi yang diajukan oleh Soekarno dan mendukung gagasan-gagasan besarnya untuk menciptakan pluralisme, yakni memisahkan kepentingan agama dengan Negara serta tidak melakukan diskriminasi antar agama karena mayoritas dan minoritas serta kesemuanya itu berdiri pada satu paham kebersamaan yang nasionalis dan mengayomi semua golongan. Pada awalnya, Nahdlatul Ulama, sebagaimana kebanyakan organisasi Islam yang lainnya hendak menjadikan Indonesia sebagai Negara yang memiliki hukum Islam sebagai dasar yurisprudensi Negara. Bahwa Nahdlatul Ulama juga menginginkan agar peraturan sosial yang berlaku di Indonesia ditertibkan berdasarkan ajaran agama. Namun setelah mulai ‘merapat’ ke dalam barisan nasionalis melalui kedekatan secara politik dengan pemikiran-pemikiran Soekarno, serta pertimbangan dari para founding fathers Nahdlatul Ulama, NU mengubah haluan politiknya tidak lagi berdasarkan atas Islam, tetapi berdasarkan system nasional yang berasaskan kebersamaan untuk saling mengayomi sesama. Kesadaran ini timbul karena kesadaran bahwa Indonesia adalah Negara yang majemuk, sehingga apabila diseragamkan pada satu system mayoritas, dengan memaksakan system tersebut kedalam wilayah tirani minoritas, maka konflik rasial 12 Andree Feillard, Nahdlatul Ulama dan Negara, dalam kumpulan artikel berjudul, Gus Dur, NU dan Masyarakat Sipil, Ellyasa KH. Darwis (Ed), LKiS, 1994, hal 7
tidak akan terhindarkan. Peranan Nahdlatul Ulama dalam pemahaman mengenai pluralisme dan kesadaran majemuk itu kembali dimanifestasikan dalam perumusan naskah Pancasila, tanggal 1 Juni 1945. Perdebatan mengenai konsepsi dasar Negara ini didahului dari upaya penetapan Piagam Jakarta (The Jakarta Charters). Piagam ini menuliskan secara eksplisit mengenai kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi para pemeluknya. Tujuh kata ini yang menjadi perdebatan panjang, bahwa apabila dicantumkan dalam dasar Negara, maka secara otomatis dasar Negara ini tidak memberikan proteksi kepada tirani minoritas yang ada. Artinya, keberadaan agama lain yang tidak disebutkan secara langsung dalam Piagam Jakarta eksistensinya dipertanyakan kembali. Padahal, agama-agama ini ada kebanyakan jauh sebelum Islam datang ke nusantara. Pada perdebatan soal ini, utusan dari Manado dan Bali menemui KH. Hasyim Asy’ari, mereka adalah penganut dari agama lain, kedatangan mereka menghadap kepada Rais Akbar Pengurus Besar Nahdlatul Ulama ini adalah untuk mengadukan eksistensi mereka dalam kerangka Negara kesatuan yang sedang dirumuskan. Pencantuman tujuh kata tersebut, oleh mereka, dianggap mengalienasi keberadaan agama mereka yang merupakan agama mayoritas di daerah mereka. Kedatangan mereka membuahkan hasil. Setelah kedua utusan tersebut pergi, KH. Hasyim Asy’ari, memanggil anaknya, KH. Wahid Hasyim untuk menghadap. KH. Wahid Hasyim adalah salah satu utusan Nahdlatul Ulama (kalangan pesantren) dalam penyusunan naskah Pancasila. Pada pertemuan ini, mereka memperbincangkan mengenai konsepsi dasar Negara dengan rumusan-rumusan strategisnya. Hasil diskusi mereka,
memutuskan agar Nahdlatul Ulama melalui utusannya, dapat membawa suara yang sesuai dengan konsep dasar ahlussunnah wal jama’ah, yakni prinsip tasamuh, tawazun, I’tidal dan amar ma’ruf nahi munkar serta misi Islam yang rahmatal lil’alamin. Diputuskan dengan tegas Nahdlatul Ulama menolak konsep Jakarta Charter dan menerima pancasila sebagai dasar Negara. Pertimbangan lain adalah, bahwa Indonesia adalah Negara multikulural, multiagama dan multi tradisi, sehingga keanekaragaman ini perlu dijaga untuk menjaga persatuan dan kesatuan bangsa. Keputusan politik ini, memberikan sumbangan besar terhadap bangsa Indonesia, dan secara tidak langsung, Nahdlatul Ulama turut serta memberikan kontribusi besar terhadap upaya mencapai pandangan kemajemukan yang bersatu dibawah satu naungan bersama yang tidak saling mengucilkan satu sama lain. Sesuai dengan cita-cita Soekarno untuk membentuk Negara secular dengan konsep baru, Nahdlatul Ulama turut mendukung dengan mengesampingkan hal yang diperjuangkan sejak awal untuk membentuk darul Islam dan menyetujui langkah pemisahan kepentingan antara kepentingan agama dan Negara, namun pemisahan ini tidak berarti Negara tidak campur tangan dalam urusan agama secara sepenuhnya. Agama masih menjadi tanggung Jawab Negara dalam pelestariannya. Pada awalnya, tepat mulai pembahasa dasar Negara, 1 Juni 1945, Nahdlatul Ulama dengan gigih memperjuangkan berlakunya Jakarta Charter, hingga ditetapkan pada tanggal 22 Juni 1945, NU masih bersikeras dengan teguh mengajukan bahwa Jakarta Charter adalah konsep yang tepat untuk menyusun sebuah Negara. Bahkan, utusan dari Nahdlatul Ulama sempat mengusulkan agar presiden dan wakil presiden juga harus beragama Islam. Secara otomatis, usulan mereka ditolak oleh kalangan sekuler dan kalangan non muslim. Karena keberadaannya jelas akan mengalienasikan agama yang mereka
anut serta kepercayaan terhadap agama mereka tidak mendapatkan legitimasi dari Negara. Setelah ditetapkan sebagai dasar Negara pada tanggal 22 Juni 1945, Piagam Jakarta berlaku sebagai dasar Negara yang sah. Namun hal lain terjadi pada hari setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, ada utusan orang Kristen yang bertemu dengan Drs. Mohammad Hatta dan mengatakan daerah mereka tidak akan masuk dalam sebuah Negara yang berdasarkan agama. Pada tanggal 18 Agustus 1945, Drs. Mohammad
Hatta
beserta
empat
pimpinan
Islam,
termasuk
diantaranya KH. Wahid Hasyim dari NU mengaakan pertemuan untuk membahas persoalan tersebut. Pada pertemuan itu, diputuskan bahwa kalangan Nahdlatul Ulama, melalui KH. Wahid Hasyim, setelah melalui diskusi dengan KH. Hasyim Asy’ari, sebagaimana disebutkan diatas, menerima perubahan terhadap Piagam Jakarta. Tujuh kata dalam Piagam Jakarta dihapus dan ditambahkan kata-kata Yang Maha Esa, sebagai representasi
dari
pernyataan
keberagamaan
yang
monoteistik
sebagaimana dianut oleh Islam. Pertimbangan lain yang menjadi bahan rujukan oleh KH. Wahid Hasyim adalah, pertama, bahwa Indonesia masih membutuhkan kekuatan bersama dari berbagai kalangan, baik muslim ataupun non muslim untuk bersatu padu mengusir penjajah Belanda yang hendak kembali lagi ke negeri jajahan mereka. Dengan persatuan dan kesatuan inilah maka kemungkinan untuk dapat memukul mundur penjajah semakin terbuka lebar peluangnya. Kedua, terkait dengan penerapan syari’at Islam, pada nantinya akan ditetapkan melalui UUD 45 pasal ke-29 sebagai pernyataan keagamaan diyakini untuk diamalkan oleh seluruh rakyat Indonesia. Tanggal 22 Oktober 1945, NU kembali menyatakan sikap
politiknya, yakni sikap politik kebangsaan. Pada saat itu, tentara Inggris and sekutu mulai berdatangan untuk menduduki kembali negeri jajahan mereka yang telah merdeka. Nahdlatul Ulama dengan keras meminta kepada pemerintah untuk mengambil sikap tegas menyikapi kedatangan mereka. Sehingga karena sikap politik kebangsaan dan komitmen Nahdlatul Ulama terhadap Negara Indonesia yang berdaulat, maka Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari menyerukan seruan jihad kepada seluruh anggotanya. Seruan jihad ini ditindaklanjuti oleh para simpatisan Nahdlatul Ulama dalam bentuk resolusi Jihad. Perang suci untuk mengusir penjajah asing yang hendak kembali menjadikan Indonesia Negara yang dapat dieksploitasi secara sosial ekonomi. Nahdlatul Ulama terus mendesak pemerintah baru SoekarnoHatta untuk menurunkan kebijakan yang tegas. Tindakan yang dilakukan Nahdlatul Ulama ini membuat penjajah yang hendak menjajah kembali Indonesia merasa sangat gerah dengan perlawanan yang dilakukan kalangan tradisionalis. Meskipun dengan senjata seadanya, dengan perlengkapan perang yang apa adanya, tentara tradisional terus maju, bahkan siap mati untuk mencapai derajat mati syahid, dalam membela Negara. Pada kasus inilah akhirnya Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari mengeluarkan maqalah: “Cinta tanah air adalah sebagian dari iman”. Dari doktrin inilah, semangat perlawanan kaum tradisional yang dibantu oleh tentara Negara semakin berani melawan dengan tanpa rasa takut. Kedekatan Nahdlatul Ulama dengan para tokoh nasionalis semakin membuat keretakan hubungan antara Nahdlatul Ulama dengan kalangan Islam modernis/para pembaharu. Apalagi ketika dilihat dalam pidato yang disampaiakan oleh Rais ‘Am Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, KH. Wahab Chasbullah, Rais ‘Am kedua setelah meninggalnya KH. Hasyim Asy’ari. Padahal pada awalnya, sejak tahun 1937 Nahdlatul Ulama telah bergabung dengan kaum modernis
dan tokoh pembaharu dari berbagai organisasi pergerakan Islam dalam MIAI (Majelis Islam A’la Indonesia), sebuah majelis khusus antar organisasi Islam dalam rangka melindungi kepentingan umum. Dalam pidato pelantikannya, tahun 1950, KH. Wahab Chasbullah mengatakan tentang kekuatan Nahdlatul Ulama sebagai salah satu “kanon” dan menyentuh pada persoalan politik secara langsung, suatu jalan yang sama sekali tidak lazim berlangsung dalam organisasi sosial-keagamaan. Konflik semakin memanas antara kalangan Nahdlatul Ulama dengan kalangan modernis, sehingga pada tahun 1952, Nahdlatul Ulama mengambil keputusan tegas dalam bidang politik, yakni keluar dari Masyumi. Pertimbangan keluar ini disamping konflik yang semakin memanas antara kelompok tradisionalis dengan kelompok modern juga disebabkan karena kelompok pembaharu ini terus mengalienasikan Nahdlatul Ulama dalam posisi di Masyumi, terlalu mendominasi di dalam satu ruang politik. Kebijakan keluar dari Masyumi ini diambil pada Muktamar ke-19 di Palembang, disamping menyatakan diri keluar dari Masyumi, pada muktamar ini juga diputuskan bahwa Nahdlatul Ulama mengubah organisasinya dari organisasi keagamaan menjadi partai politik. Keputusan hasil muktamar ini, selain menimbulkan gejolak di luar, terjadinya pertentangan antara kaum tradisionalis dan kaum modernis, juga terjadi perdebatan panjang di dalam tubuh Nahdlatul Ulama sendiri. Ketegangan muncul antara kaum tua dengan kaum muda. Kaum tua mengusulkan sebagaimana tersebut diatas, sedangkan dari kaum muda menginginkan agar dari keputusan tersebut dilakukan peninjauan ulang. Setelah melalui perdebatan yang panjang, akhirnya kaum muda dapat menerima keputusan dari kaum tua namun dengan mengajukan tiga syarat.
Tiga syarat yang dimaksud adalah, pertama, pengambilan keputusan tersebut agar jangan sampai menimbulkan kegoncangan bagi umat Islam di Indonesia. Kedua, pelaksanaan keputusan tersebut, terlebih dahulu harus dilakukan perundingan dengan Masyumi. Ketiga, putusan tersebut dijalankan dalam hubungan yang lebih luas yang berkenaan dengan aadnya keinginan untuk membentuk dewan pimpinan umat Islam yang nilainya lebih tinggi, dimana partai dan organisasi Islam baik yang sudah maupun yang belum tergabung dengan Masyumi dapat berkumpul dan berjuang bersama-sama. Sebagai
implementasi
dari
keputusan
tersebut,
pasca
muktamar, Nahdlatul Ulama membentuk “Delegasi Muktamar NU”, yang terdiri atas tujuh orang. Mereka adalah, Zainul Arifin sebagai ketua yang merangkap anggota delegasi, KH. Wahab Chasbullah (PBNU) Amien Iskandar (Cabang Bandung), Hulaimi (Cabang Tasikmalaya), Zaenal Muttaqien (Cabang Ciparai), Husin Saleh (Cabang Jakarta Raya) dan Junaidi Yasin (Cabang Menes). Delegasi ini membawa tuntutan-tuntutan NU untuk memperbaiki Masyumi. Apabila tuntutan itu dipenuhi, NU akan tetap bernaung dalam wadah partai politik Masyumi. Tetapi apabila tuntutan itu tidak dapat dipenuhi, NU akan keluar dari Masyumi. Diantara tuntutan NU adalah soal penghapusan dualism keanggotaan di dalam Masyumi. Meskipun akhirnya tidak disepakati, pertemuan dengan pihak Masyumi, Delegasi Muktamar NU yang sebelumnya telah mengajukan dua usulan, yakni, pertama, megubah organisasi Masyumi menjadi satu badan federasi yang hanya mempunyai anggota-anggota organisasi saja, bukan perorangan. Untuk yang terakhir ini Nahdlatul Ulama mengusulkan agar dimasukkan kedalam partai-partai lain, partai baru yang namanya bukan Msyumi. Kedua, menetapkan Masyumi sebagai partai yang beranggota perorangan, konsekuensinya, para anggota organisasi-organissi yang tergabung di dalamnya
dikeluarkan, kemudian, dibentuk suatu badan federasi baru yang namanya bukan Masyumi. Dengan ditolaknya kedua usulan tersebut, dengan alasan Masyumi tetap menginginkan anggota dualisme, maka NU akhirnya mengukuhkan untuk menjalankan hasil keputusan muktamar, yakni keluar dari Masyumi dan menjadi partai politik. Adapun keanggotaan dalam parlemen yang sedang berjalan, Nahdlatul Ulama
tetap
berada
dibawah
naungan
Masyumi
hingga
berlangsungnya pesta demokrasi ditahun 1955. Keputusan keluar dari Masyumi ini, ada dua resiko besar yang akan dihadapi oleh Nahdlatul Ulama. Pertama, wewenang politik Nahdlatul Ulama diperkuat, suatu campuran politisi agama dan politisi sekuler yang terkadang lebih menaruh perhatian pada patronase dibandingkan persoalan-persoalan agama. Kedua, Nahdlatul Ulama menjadi lebih dekat dengan Soekarno dan kelompok nasionalis. Dengan dukungan ini, ia juga mengamankan bagi dirinya sendiri suatu posisi yang menyenangkan dalam kancah politik dan mempertahankan departemen agama di tangannya. Jumnlah kursi cabinet yang diberikan kepada Nahdlatul Ulama semakin meningkat, disamping Departemen Agama, juga diberikan kursi Departemen Agraria dan kursi Wakil Perdana Menteri. Kemudian dalam cabinet Ali Sastroamidjojo (19561957) suatu koalisi yang unik terbentuk dari partai-partai besar kecuali komunis, NU memperoleh 5 kursi kabinet. Dengan keluarnya Nahdlatul Ulama dari Masyumi, membuat tokoh-tokoh Masyumi meragukan kemampuan Nahdlatul Ulama dalam urusan politik, terutama dari kalangan bawah. Bahkan salah satu tokoh Islam Reformis, Isa Ansari sangat ironis sekali dalam pernyataan politiknya yang meragukan kemampuan Nahdlatul Ulama dalam mengendarai roda politik. Namun statement ini kemudian dibantah dengan logika sederhana dari kyai kharismatik Jombang, KH. Wahab Chasbullah, “Bila saya membeli mobil baru, penjualnya tidak akan
bertanya, apakah saya mempunyai surat izin mengemudi, bukankah begitu? Saya akan membuat iklan untuk mencari supir dan saya yakin akan banyak sopir yang antri menunggu di depan pintu saya”. Selain dengan Jawaban yang demikian, untuk menJawab tantangan dari kaum modernis yang kebanyakan diantara mereka adalah tokoh-tokoh didikan dari Barat, Nahdlatul Ulama dalam urusannya mengadakan kerja sama dengan berbagai pihak, para ekonom, ahli hukum, pengusaha serta tokoh lainnya yang tidak memiliki hubungan langsung dengan Nahdlatul Ulama. Cara ini terbukti efektif dalam rangka menJawab dengan Jawaban konkrit atas keraguan yang diajukan kalangan modernis. Nahdlatul Ulama semakin menunjukkan sikap politiknya yang tegas dan sesuai prinsip dasar ahlussunah wal jama’ah. Pada akhir tahun 1953, Nahdlatul Ulama memberikan gelar kepada Soekarno dengan sebutan Waliyyul Amri Al Dlarury bi’Isyaukah yang memberikan legitimasi kepada presiden dan menteri agama merujuk pada peradilan agama menurut aturan-aturan fiqh. Kelihatannya sederhana, namun ternyata dengan memberikan gelar ini, para pembaharu melakukan pengecaman yang keras terhadap Nahdlatul Ulama, menurut mereka, langkah yang diambil Nahdlatul Ulama merupakan langkah penjegalan terhadap kaum pembaharu untuk merealisasikan terbentuknya Negara Islam dengan dasar syari’ah yang selama ini sedang diupayakan melalui dewan konstituante. Pada setahun berikutnya, tahun 1954, KH. Wahab Chasbullah memiliki keinginan Negara Indonesia di dasarkan pada syari’ah, dan demokrasi yang sesuai dengan ajaran Islam. Dalam program resminya, Nahdlatul Ulama menghendaki suatu “Negara nsional berdasarkan Islam” dimana kepala Negara dan para menterinya harus Islam, kecuali untuk para administrator bisa non-muslim. Pendidikan agama akan
menjadi kewajiban namun agama non-Islam akan dihormati. Otonomi akan pada tingkatan tertentu bisa diberikan kepada wilayah-wilayah yang mayoritas non muslim, “Sejauh hal itu tiadk merusak kepentingan umum”. Dengan Pancasila, Nahdlatul Ulama khawatir akan gerakan-gerakan kebatinan akan menggunakan dasar pertamanya Ketuhanan Yang Maha Esa untuk bertahan hidup. Dilihat dari perjalanan sejarah, yang paling gigih dalam pembelaan terhadap Islam sebenarnya bukan Masyumi atau kelompok pembaharu yang tergabung dalam ruang lainnya, tetapi malah justru Nahdlatul Ulama. Tentu saja usulan Nahdlatul Ulama mendukung Negara Islam yang menJawab usul ABRI untuk kembali ke UUD 1945, yaitu kembali ke Negara non-Islam dan menguatnya kekuasaan presiden. Perdebatan-perdebatan sangat sengit pun tak terhindarkan, dalam satu perdebatan mengenai itu, KH. Wahab Chasbullah malah sempat berbicara tentang jahiliyyah dalam hubungan dengan Pancasila. Namun kedua usulan yang sama kerasnya itu akhirnya tidak mendapatkan suara mayoritas salah satu diantara keduanya, bahkan tidak mampu menembus angka dua pertiga suara. Usulan Nahdlatul Ulama mendapatkan 201 suara yang mendukung, dan 265 menolak, sementara usulan ABRI mendapatkan penolakan 269 suara dan mendapat persetujuan 203 suara, hanya selisih dua suara. Pada tahun 1957, Angkatan Darat menyatakan keadaan Darurat Perang, tepatnya di bulan Maret. Hal ini didesak atas banyaknya insiden pemberontakan-pemberontakan di daerah-daerah karena tidak dilibatkannya mereka dalam system perpolitikan secara langsung dalam parlemen. Keadaan darurat inilah yang akhirnya membuat presiden Soekarno dan ABRI mengeluarkan Dekrit Presiden 1 Juli 1959 tentang pemberlakukan kembali UUD 45 sebagai dasar Negara Indonesia. Nahdlatul Ulama akhirnya menyetujui dekrit tersebut, namun dengan konsekuensi, bahwa UUD 45 tersebut diilhami
dari Piagam Jakarta. Pertanyaan yang sebenarnya paling mendasar untuk diajukan dari perdebatan diatas adalah, mengapa Nahdlatul Ulama terlalu berhati-hati dengan Pancasila sebagai dasar Negara setelah selama 14 tahun menerimanya sebagai satu-satunya ideologi nasional?. Dalam kasus ini, Nahdlatul Ulama mempunya dua alasan yang sangat rasional. Disamping keinginannya yang wajar sebagai lembaga keagamaan yang juga berkeinginan untuk menciptakan Negara Islam, kasus lain yang terjadi adalah dengan keberadaan Partai Komunis Indonesia yang suaranya hanya 2% dibawah suara Partai Nahdlatul Ulama dari hasil pemilu 1955. Mengapa demikian? Karena dikalangan grass root, terutama pada aliran kepercayaan yang masih tersebar di berbagai belahan tanah air, Ketuhanan Yang Maha Esa, sila pertama Pancasila, dijadikan legitimasi bagi keberadaan mereka oleh para elit daerah PKI. Dalam kampanye politiknya, partai komunis terbesar di Indonesia ini memberikan perlindungan, melalui
Pancasila, terhadap keberadaan
aliran kepercayaan yang dipandang sebagai laku ritus teologis yang syirik oleh para ulama. Sehingga dikhawatirkan, aliran kepercayaan ini kedepan akan menjadi ‘agama’ bagi para konstituen Partai Komunis Indonesia. Setidaknya itulah yang menjadi alasan mengapa Nahdlatul Ulama begitu gigih memperjuangkan terbentuknya Negara Islam dan menolak Pancasila sebagai dasar ideology Negara. Pertanyaan kedua, mengapa Nahdlatul Ulama dengan begitu mudah menerima dekrit presiden yang menyatakan pemberlakuan kembali UUD 45 sebagai dasar Negara Indonesia?. Dalam prinsip agama, terutama bidang fiqh, dalam Nahdlatul Ulama, salah satu Imam Madzhab mengeluarkan al Ushul Al Fiqh,
yang diantara banyak di dalamnya, salah satunya berisi, menghindari kerusakan (mafsadah) aharus lebih didahulukan dari pada mencari kemaslahatan (maslahah). Dari sumber teori al ushul al fiqh inilah yang dijadikan legitimasi dari mengapa Nahdlatul Ulama menerima pemberlakuan UUD 45 sebagai dasar Negara. Menurut Nahdlatul Ulama itu adalah jalan keluar yang paling baik, dimana Nahdlatul Ulama telah berupaya menciptakan keberadaan Negara Islam hingga akhir. Nahdlatul Ulama tahu kemana ia dapat pergi
dengan
adanya
tekanan-tekanan
oleh
ABRI
dan
ketidakmungkinan mencapai suara mayoritas. Perasaan khawatir timbul pada Kyai Bisri Sansuri terhadap Demokrasi Terpimpin yang diberlakukan oleh Presiden Soekarno, meskipun demikian, hal itu tidak menghalangi Kyai Wahab Chasbullah dari keyakinannya bahwa umat belum siap untuk berkonfrontasi dengan pemrintah. Dalam katakatanya, Nahdlatul Ulama harus menumpang kereta sebelum terlalu terlambat untuk mengontrol pemerintah menurut formula klasik Al Qur’an, amar ma’ruf nahi munkar. Ketika Masyumi dan Partai Sosialis Indonesia yang menolak demokrasi terpimpin Soekarno, dilarang pda tahun 1960, hanya Nahdlatul Ulama yang bisa bergembira karena ia belum mengikuti jalan partai-partai tersebut yang telalu tergesa dalam mengambil kebijakan politik. Bukan hanya sekedar bertahan tetapi karena hegemoni di bidang agama menjadi meningkat. Dalam dekade 1960-an, tepatnya medio awal dekade, NU juga mengambil sikap politik yang lebih tegas dari sebelumnya. Yakni Nahdlatul Ulama menempatkan diri sebagai kekuatan melawan komunisme dalam segala bentuknya. Hamper disemua lini kehidupan yang berhasil digarap PKI, NU tampil sebagai kekuatan pembanding yang mencoba membendung gerakan komunisme tersebut. Posisi melawan
terhadap
gerakan
komunisme
ini
didasarkan
atas
ketidaksamaan prinsip dasar kepercayaan beragama. Kalau yang
pertama meletakan agama sebagai landasan kehidupan, baik dibidang sosial serta bidang-bidang yang lainnya, yang kedua menempatkan agama sebagai lembaga sosial yang hegemonic dan bernilai doctrinal. Oleh karenanya, keduanya jelas bersebrangan dan satu sama lain tidak mendukung. Bahkan kalangan ekstrimis yang kedua, menempatkan agama sebagai sesuatu yang sangat tidak diperlukan karena keberadaan agama justru merupakan lembaga yang dapat dimanfaatkan secara politik namun tidak memberikan kesejahteraan yang konkrit terhadap rakyat dalam segala tingkatannya. Gerakan perlawanan politik ini dapat dilihat diberbagai lini politik mereka, apabila yang satu mendirikan kelompok taktis, maka yang satunya bergerak mengimbanginya dengan membuat kelompok yang sama untuk tujuan yang sama dan berupaya saling menjatuhkan satu sama lainnya. Tak jarang, kelompok ini seringkali menimbulkan konflik horizontal di masyarakat sendiri. Dapat dilihat misalnya, ketika Partai Komunis Indonesia mendirikan Gerakan Potensif Pemuda Rakyat, sebagai wadah kepemudaan untuk kader-kader PKI, NU dengan lantang menyiarkan keberadaan Gerakan Pemuda Ansor dengan Barisan Ansor Serba Guna (Banser) sebagai antithesis terhadap gerakan PKI. Demikian juga pada gerakan lainnya, ketika Nahdlatul Ulama mendirikan Serikat Buruh Muslimin
Indonesia
(Serbumusi)
adalah
alasan
utama
untuk
membendung gerakan PKI yang dilakukan melalui SOBSI. Demikian halnya juga terjadi ketika PKI mendirikan Barisan Tani Indonesia (BTI), Nahdlatul Ulama juga mendirikan Persatuan Tani Nahdlatul Ulama Ulama (Pertanu). Demikian pula ketika Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) sebagai wadah kebudayaan konstituen PKI, Nahdlatul Ulama Ulama hadir sebagai barisan penghadang gerakan melalui Lembaga Budaya Muslimin Indonesia (Lesbumi)13. 13 Hairus Salim HS, Kelompok Paramiliter NU, LKiS, Yogyakarta, 2004, hal. 910
Perbedaan pandangan dan sikap anti komunis yang dikobarkan oleh Nahdlatul Ulama mencapai titik puncak ketika PKI melakukan kudeta berdarah di tahun 1966. Kudeta yang menggunakan hubungan rahasia dengan elite militer Negara, baik dari kalangan Angkatan Udara hingga Pasukan Cakrabirawa (Pasukan Pengaman Presiden) ini yang kemudian dikenal dengan G30.S/PKI. Sehari setelah pemberontakan pada tanggal 30 September 1966 itu, GP-Ansor sebagai wadah kaum muda NU adalah organisasi yang pertama kali memberikan kecaman keras terhadap tindakan PKI. Dalam statementnya, GP-Ansor menulis; (1) Mencela dengan keras tindakan perebutan kekuasaan oleh apa yang menamakan dirinya “Gerakan 30 September” dan; (2) Menolak dan menentang pembentukan “Dewan Revolusi”. Bahkan tidak hanya sebatas mengeluarkan statement, GP-Ansor juga aktif bersama militer melakukan penangkapan dan penyembelihan terhadap PKI. Dengan dipimpin Subhan ZE, Nahdlatul Ulama mempelopori pembentukan Kesatuan Aksi Pengganyangan Gestapu (KAP-Gestapu), yang kemudian menjadi Front Pancasila yang didukung oleh wakilwakil dari NU, PSII, Katholik, IPKI, Parkindo, Perti, PNI, Muhammadiyah, Soksi dan Gasbindo. Gerakan anti komunis ini juga merupakan gerakan yang pertama dikalangan sipil. Pada
tanggal
4
Oktober,
KAP-Gestapu
mengadakan
demonstrasi pertama yang menuntut pelarangan partai-partai yang telah melakukan, merencanakan serta mendukung G 30 S/PKI. Tuntutan lain adalah, harta kekayaan orang-orang yang terlibat harus disita sebagai kekayaan Negara dan yang bagi para perangkat pemerintah yang terlibat dalam pemberontakan itu segera dibersihkan. Statemen itu dibaca sendiri oleh Subchan ZE. Aktivis NU lain selain Subchan ZE,
yang tampil
dipermukaan adalah Zamroni, seorang pimpinan organisasi badan otonom NU, yakni Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), dia menjabat sebagai ketua Umum PB PMII sekaligus juga ketua presidium KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia), yang dibentuk tanggal 25 Oktober 1965 di kediaman Mayor Jendral Syarif Thayeb, menteri Pendidikan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan, sebuah organisasi yang menyatakan diri anti-Soekarno. Para aktivis KAMI tidak hanya dari PMII, tetapi juga dari kalangan Islam modernis, HMI (Himpunan Mahasiswa Islam), serta gerakan mahasiswa Kristen dan nasionalis sekuler. Pada tanggal 4 Oktober malam, semua media massa yang ada, baik cetak maupun elektronik sudah disebarkan pernyataan dibubarkannya PKI dan penyeruan kepada semua masyarakat Indonesia agar mendukung gerakan yang dilakukan oleh ABRI, yakni gerakan penertiban umum. Subchan ZE sendiri terus melakukan agitasi massa secara terus menerus dan besar-besaran guna melakukan gerakan sesuai misi KAP-Gestapu. Dari konflik tersebut, dapat terlihat dengan jelas, bahwa Negara dalam situasi genting, bukan pada dataran konflik nasionalnya yang sudah demikian kentara, namun dari sisi politik. Ada dua kepemimpinan Negara yang sah saat itu, pertama, kepemimpinan yang dipegang oleh Soekarno atas nama presiden RI/Mandataris MPR serta Jenderal Soeharto yang memegang amanat Supersemar (Surat Perintah Sebelas Maret). Membaca kondisi seperti ini, tokoh muda Nahdlatul Ulama yang tidak bergerak dilapangan, serta beberapa orang lapangan dan beberapa
tokoh
lainnya
mengajukan
memorandum
ke
DPR.
Memorandum yang diajukan adalah DPR GR segera mengadakan Sidang Istimewa dalam rangka menJawab situasi yang mulai memanas
ini.
Setelah
memorandum
diajukan,
DPR
GR
menyetujui
memorandum tersebut dan mengadakan Sidang Istimewa sebagaimana yang diusulkan. Hasil sidang Istimewa MPRS memutuskan Ketetapan MPRS yang berisi diantaranya Memberhentikan Presiden Soekarno dari jabatannya
dan
memilih/mengangkat
pejabat
presiden.
Dalam
keputusan itu juga berisi, perintah kepada Badan Kehakiman untuk mengadakan pengusutan, pemeriksaan dan penuntutan secara hukum. Serangkaian sidang-sidang yang diadakan oleh MPR akhirnya menetapkan Ketetapan MPRS No. XXXIII/MPRS/1967 tentang pemberhentian masa jabatan presiden Soekarno danh mengangkat Jendral Soeharto sebagai pejabat presiden. Memilih jenderal Soeharto sebagai pejabat presiden ini berkat kekuatan dari Supersemar yang diperkuat oleh TAP MPRS No. IX/MPRS/1966. Setahun kemudian, tepatnya di bulan Maret 1968, MPRS akhirnya mengukuhkan Jenderal Soeharto sebagai presiden Republik Indonesia kedua dengan jabatan penuh. Dibawah pemerintahan Jenderal Soeharto, dia memulai langkah politiknya dengan permintaan kepada seluruh partai politik yang ada agar mengadakan pemilihan umum. Permintaan itu sebelumnya memang sudah diusulkan Soekarno kepada pemerintah yang baru, menantang kepada Jenderal Soeharto tentang siapa yang memang membawa amanat rakyat secara menyeluruh. Tanggal 3 Juli 1971,
menjadi pemilu pertama bagi
pemerintahan Jenderal Soeharto. Pemilu kali ini diikuti oleh 9 partai politik dan satu golongan, yakni Golongan Karya. Pada pemilihan umum kali ini, hasilnya cukup mengagetkan banyak pihak, baik masyarakat Nahdlatul Ulama sendiri atau masyarakat di luar Nahdlatul Ulama. Karena hasil pemilu menunjukkan Golongan Karya yang baru
pertama kali mengikuti proses pemilihan umum menjadi pemenang pemilu, sementara di urutan kedua adalah Partai Nahdlatul Ulama. Golkar berhasil mengantongi 67,8% atau 227 kursi parlemen, sementara NU berhasil mengantongi 18,7% atau 58 kursi. Perolehan NU naik sekitar 0,3% dari hasil pemilihan umum di tahun 1955. Sementara partai pemenang pemilu di tahun 1955, Partai Nasional Indonesia
(PNI)
nasibnya
sangat
tragis,
dia
hanya
mampu
mengantongi 6,9% suara, sangat jauh loncatannya karena ditahun 1955 PNI berhasil mendapatkan 22,3% suara. Pada tahun 1972, Presiden Soeharto mengeluarkan keputusan mengenai perlu adanya fusi partai politik. Bahwa dari banyaknya partai, perlu dikelompokan berdasarkan visi dan misi dasarnya. Secara keseluruhan, akhirnya presiden memutuskan untuk memfusi dari 9 partai politik yang ada dan mengikuti pemilu di tahun 1971, disederhanakan menjadi dua partai dan satu golongan. Untuk partai politik yang bernafaskan Islam, dibentuklah Partai Persatuan Pembangunan (PPP), sementara dari kalangan nasionalis, dibentuk Partai Demokrasi Indonesia (PDI) dan satu golongan untuk menampung organisasi politik yang tidak tercover dalam kategorisasi di atas, yakni Golongan Karya (Golkar). Sebagai partai yang bernafaskan Islam, Nahdlatul Ulama mengikuti keputusan presiden tersebut meskipun pada awalnya sempat melakukan protes karena pengelompokan partai dan organisasi politik yang bernafaskan Islam tersebut sama sekali tidak menunjukkan identitas Islam dalam nama partai, namun akhirnya dapat diredam oleh pemerintah orde baru melalui perangkat politiknya presiden Soeharto. Tanggal 5 Januari 1973, Partai Persatuan Pembangunan resmi berdiri sebagai partai politik, selain Partai Nahdlatul Ulama juga bergabung partai politik lain yang sama-sama memiliki corak keIslaman, yakni
Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), Parmusi dan Partai Tarbiyatul Islam (Perti). Pendirian
Partai
Persatuan
Pembangunan
ini
melalui
konfederasi dalam rapat Presidium Badan Pekerja dan Pimpinan Fraksi. Mereka sepakat mefusikan diri dalam satu partai politik. Deklarasi fusi ini ditanda tangani oleh KH. Idham Cholied (NU), H.M. Mintaredja (MI), H. Anwar Cokroaminoto (SI) H. Rusli Halil (Perti) dan KH. Masykur (NU). Adapun mengenai structural kepengurusan, dalam konfederasi itu diputuskan bahwa untuk jabatan kepengurusan disusun berdasarkan pada pertimbangan kekuatan dan keahlian masing-masing. Di masa-masa awal, posisi NU dalam PPP relative cukup strategis, jika dibandingkan, perjalanan politik di PPP mengalami perbaikan yang signifikan dibandingkan ketika NU bergabung di Masyumi. Namun demikian, peranan tokoh-tokoh NU masih mendominasi di Dewan Syuro partai, kalau melihat sejarah perjalanan politik dengan Masyumi, peranan inilah yang sering dipegang oleh NU dan juga yang menjadi alasan pokok mengapa NU keluar dari barisan Masyumi. Sementara posisi awal di dewan eksekutif (semacam dewan tanfidziyah dalam struktur NU) dipegang oleh utusan dari Parmusi (Partai Muslimin Indonesia) yakni H.M. Mintaredja. Setelah lengser dari jabatannya sebagai ketua dewan eksekutif, H.M. MIntaredja digantikan oleh Djaelani Naro yang berpasangan dengan tokoh NU di dewan syuronya, yakni KH. Bisri Sansuri. KH. Bisri Sansuri dengan karakternya yang sangat low profile, pengetahuan agama yang mendalam serta lemah lembut dan santun memunculkan charisma yang luar biasa ditengah kancah perpolitikan PPP. KH. Bisri Sansuri yang mencerminkan sikap luar biasa
sebagai seorang ulama sekaligus politisi NU, ternyata mampu membawa hawa segar dalam tubuh PPP. Hal ini dapat dibuktikan dengan kehadirannya, yang selama delapan tahun PPP terdapat keretakan-keretakan (faksi-faksi) berdasarkan kepentingan individu atau kelompok, dapat diredam dan disatukan. Dawuh-nya seolah mampu menyihir para politisi PPP dari berbagai kalangan untuk ‘tunduk’ dalam kekuasaannya. Berkat KH. Bisri Sansuri ini pula, posisi politik NU di tubuh PPP semakin kuat dan mendapatkan posisi strategis secara politik. Berkat duet ini pula, PPP pada tahun 1977, pemilu kedua yang diadakan oleh pemerintah orde baru mengalami kenaikan jumlah suara, selain karena fusi partai juga karena mulai banyaknya masyarakat yang simpati terhadap PPP. PPP mampu mengambil 99 kursi DPR dengan prosentase suara mencapai 29,29%. Namun sayangnya, kehadiran KH. Bisri Sansuri ditubuh PPP hanya sampai di tahun 1980 di bulan April. Beliau meninggal dunia. Dengan meninggalnya ulama NU yang sangat kharismatik ini membuat posisi NU dalam tubuh Partai Persatuan Pembangunan semakin melemah. Kondisi ini diperparah dengan cengkraman H. Djaelani Naro, ketua dewan eksekutif partai yang hendak menguasai secara menyeluruh posisi strategis partai. Berkat ambisiusnya H. Djaelani Naro ini pula, posisi NU dalam PPP semakin kehilangan sayapnya. Padahal NU merupakan massa terbesar dalam tubuh partai. Kenekatan Djaelani Naro ini semakin menjadi ketika menjelang diadakannya pesta demokrasi (pemilihan Umum) 1982, Naro menjelang pemilu menyodorkan daftar calon legeslatif (caleg) PPP kepada pemerintah yang menempatkan 29 Caleg NU pada urutan terbawah, yang itu berarti kemungkinan terpilihnya sangat kecil, atau bahkan tidak tepilih sama sekali. Meskipun demikian, awalnya orang-
orang dalam tubuh NU di PPP masih merasa biasa saja, namun setelah kebijakan-kebijakan Naro yang lain yang semakin menjadi-jadi, bahkan Andree Feilland dalam bukunya, NU Vis a Vis Negara menyebutkan kebijakan Naro sebagai proses de-NU-isasi14. Dengan problem yang sedemikian kerasnya itu, posisi NU dalam tubuh PPP semakin mengecil dan membuat jurang pemisah yang semakin lebar. Dari konflik kebijakan internal ini, akhirnya NU melakukan protes keras terhadap setiap kebijakan yang dikeluarkan oleh Naro yang selalu mengalienasikan Nahdlatul Ulama. Selain sudah melanggar consensus, secara psikologis Naro juga telah melecehkan tokoh-tokoh Nahdlatul Ulama. Sayangnya protes keras yang terus menerus ini sama sekali tidak mendapat tanggapan dari Naro. Kondisi perpecahan di internal PPP semakin diperparah lagi dengan konflik yang memanjang dari luar, yakni posisi awal Nahdlatul Ulama yang mengambil sikap vis a vis terhadap pemerintah. Kondisi ini memaksa Nahdlatul Ulama untuk mengambil keputusan tegas sebagai posisi yang oposan atau posisi yang akomodatif. Pada pidato yang tegas, Presiden Soeharto melakukan penyerangan terhadap semua kelompok/organisasi di tanah air yang mencoba melawan ideology Pancasila. Posisi dilematis ini, Nahdlatul Ulama justru kemudian menjadi organisasi massa pertama yang secara implicit menyatakan mengakhiri konfrontasi dengan pemerintah. Keputusan menyatakan mengakhiri konfrontasi dengan pemerintah ini terjadi ketika Nahdlatul Ulama mengadakan Musyawaran Nasional Alim Ulama pada Desember 1983 di Situbondo, Jawa Timur. Pada munas alim ulama ini, ada dua hal penting yang diputuskan sebagai langkah politik Nahdlatul Ulama. Pertama, Nahdlatul Ulama menyatakan dirinya mengakhiri konfrontasi dengan pemerintah, komitmen ini ditandai dengan 14 Andree Feilland, Nu Vis a Vis Negara, Op Cit, hal. 223
penerimaan pancasila sebagai ideology organisasi. Kedua, Nahdlatul Ulama menyatakan keluar dari Partai Persatuan Pembangunan dan secara umum menyatakan keluar dari politik praktis. Menerima Pancasila sebagai asas tunggal bangsa merupakan bentuk perjalinan hubungan baik dengan pemerintah, karena pada saat itu, banyak sekali gerakan Islam yang menolak menerima Pancasila seperti gerakan Usroh di berbagai tempat di Indonesia. Kondisi ini dapat dilihat pada terjadinya Peristiwa Lampung yang mencapai puncaknya di tahun 198915. Keputusan ini kemudian dipertegas dalam Muktamar Nahdlatul Ulama ke-27 di Situbondo juga pada 8-12 Desember 1984 yang menyatakan pengunduruan diri dari politik praktis. Dalam muktamar inilah yang kemudian dikenal dengan proses lahirnya Khittah 1926. Khittah berarti garis lurus. Dalam hubungannya dengan Nahdlatul Ulama, kata ini berarti garis pendirian, perjuangan dan kepribadian Nahdlatul Ulama, baik yang berhubungan dengan keagamaan, kemasyarakatan dan termasuk diantaranya jalur politik yang ditempuh. Khittah ini juga dalam Nahdlatul Ulama dijadikan sebagai kerangka berfikir dan landasan bergerak, baik pribadi ataupun secara organisasi serta dalam proses pengambilan keputusan. Melihat sejarah sebelumnya, gagasan khittah ini sebenarnya telah digagas oleh para pembesar Nahdlatul Ulama sejak tahun 1959. Dalam muktamar ke-22 di Jakarta, Desember 1959, seorang muktamirin16 dari Mojokerto, KH. Achyat Chalimi, mengatakan, “Peranan politik partai NU telah hilang dan perannya dipegang oleh perorangan. Sehingga partai sebagai alat sudah hilang. Karena itu 15 Abdul Syukur, Gerakan Usroh di Indonesia;Peristiwa Lampung 1989, Ombak, Jogjakarta, 2003, hal. 33 16 Muktamirin adalah istilah untuk menyebutkan anggota/peserta muktamar, yakni peserta permusyawaratan tertinggi di tubuh NU
diusulkan agar NU kembali pada tahun 1926”.17 Alasan lain dari para ulama yang ada dalam tubuh Nahdlatul Ulama adalah pada awalnya Nahdlatul Ulama adalah organisasi Sosial keagamaan yang mengedepankan aspek kesejahteraan agama dan sosial, namun hari ini peranannya tergeser oleh kepentingan politik dari segelintir elit Nahdlatul Ulama yang berupaya untuk merebut kekuasaan akan tetapi mengabaikan kepentingan dasar Nahdlatul Ulama. Ini menunjukkan nilai-nilai ke-NU-an yang ada telah digeserkan peranannya menjadi hanya sebagai kendaraan politik. Menanggapi protes tersebut, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama
memberikan
Jawaban
dalam
pandangan
umum
yang
disampaikan oleh KH. Idham Chalid. “Kita kembali kepada semangat dan jiwa ta’abbudiyah tahun 1926, tapi dalam perjuangan , kita berjuang di tahun 1959”.18 Namun demikian, semangat para ulama Nahdlatul Ulama untuk menegakkan khittah ternyata tidak terhenti sampai disitu saja, melainkan terus berjalan hingga pada muktamar ke-25 di Surabaya pada tahun 1974. KH. Dahlan, seorang anggota presidium kabinet dan menteri agama terakhir dari unsur Nahdlatul Ulama memberikan pandangan tentang kemungkinan-kemungkinan perubahan struktur politik di dalam pemerintahan orde baru. Gagasan Khittah di muktamar Surabaya kali ini digulirkan langsung oleh Rais Am PBNU, KH. Wahab Chasbullah. Kepada muktamirin beliau menyarankan pentingnya
kembali ke khittah. KH. Wahab Chasbullah ketika
menyampaikan usulan ini pada pidato iftitah dalam Muktamar, sehingga isi muktamar juga sedikit banyak bersinggungan dengan khittah. Tetapi sayangnya, masalah khittah ini belum mendapat tanggapan yang begitu serius, hanya dijadikan wacana tambahan. 17 Kacung Marijan, Quo Vadis NU setelah Kembali ke Khittah, hal 133 18 Ibid, hal. 85
Pada muktamar berikutnya ditahun 1979 di Semarang, wacana khittah semakin beredar berputar di kalangan muktamirin. Bahkan menjadi wacana yang paling santer beredar. Pemikiran untuk mengembalikan Nahdlatul Ulama sebagai organisasi sosial keagamaan (jam’iyah diniyah) sebagaimana awal berdirinya di tahun 1926 berangkat dari beberapa fenomena yang terjadi di sekitar Nahdlatul Ulama. Pertama, kekecewaan tokoh-tokoh Nahdlatul Ulama terhadap percaturan politik yang ada, dimana posisi Nahdlatul Ulama semakin terpinggirkan; Kedua, adanya kekecewaan terhadap kalangan politisi di NU, yang dianggap cenderung bersifat oportunistik. Dimana di satu sisi, massa Nahdlatul Ulama hanya dijadikan alat politik yang hanya menguntungkan dan disisi lain mereka cenderung mengabaikan kepentingan
(aspirasi) politik Nahdlatul Ulama di dalam PPP,
sehingga Nahdlatul Ulama mengalami penyusutan jumlah kursi di DPR/MPR dan DPRD. Gagasan khittah semakin memanas di Muktamar Semarang. Bahkan salah satu keputusan muktamar ke-26 ini yakni dalam keputusan program dasar pengembangan lima tahun yang bertujuan; (1) menghayati makna seruan kembali ke jiwa 1926; (2) memantapkan upaya intern untuk memenuhi seruang tersebut; dan (3) memantapkan cakupan partisipasi Nahdlatul Ulama secara lebih nyata dalam pembangunan
bangsa.
Namun
sayangnya,
Program
Dasar
Pengembangan Lima tahun ini tidak berjalan mulus. Hal ini disebabkan karena dalam tubuh Nahdlatul Ulama tidak mencapai kesepakatan pemahaman dan pengeJawantahannya, meskipun telah disepakati sebagai salah satu produk hukum yang disahkan keberadaannya. Konfrontasi di internal ini memetakan Nahdlatul Ulama menjadi tiga faksi besar. Yakni faksi politik yang digawangi oleh Idham Cholied dan para politisi lainnya yang sejalan dengannya. Faksi
ini menginginkan agar Nahdlatul Ulama tetap berada di jalur politik untuk memperjuangkan kepentingan politiknya, sehingga organisasi yang besar seperti Nahdlatul Ulama tetap mendapatkan ‘kehormatan’ secara politik. Faksi kedua adalah faksi khittah. Faksi ini di dominasi oleh para ulama, kyai dan tokoh Nahdlatul Ulama lainnya yang tidak bergerak di jalur politik. Dimana keinginan mereka adalah, mengembalikan Nahdlatul Ulama pada kerangka dasarnya, yakni sebagai lembaga sosial kemasyarakatan dan keagamaan. Pada faksi ini, nama-nama seperti KH. Abdul Hamid, KH. Ahmad Siddiq, KH. Ali Maksum, dan sederetan nama-nama kyai lain menjadi pelopor. Sementara faksi terakhir, faksi yang dipimpin oleh HM. Yusuf Hasyim, lebih mengusulkan agar Nahdlatul Ulama tetap berada di jalur politik namun Nahdlatul Ulama juga harus tetap memberikan perhatiannya dalam gerakan pada aspek sosial keagamaan.19 Munculnya tiga faksi tersebut memberi artian bahwa Nahdlatul Ulama telah berhasil membawa organisasinya pada ketentuan awal berdirinya Nahdlatul Ulama, yakni sebagai lembaga sosial keagamaan secara konseptual, namun dalam hal operasional, Nahdlatul Ulama mengalami kegagalan total, karena tiga faksi menunjukkan perpecahan internal NU dalam hal pandangan politiknya. Kegagalan dalam operasional produk hukum ini salah satu penyebab yang paling rentan adalah banyaknya pengurus besar Nahdlatul Ulama yang juga merupakan pimpinan tinggi dari Partai Persatuan Pembangunan. Barulah kemudian, sebagaimana telah disebutkan dimuka, pada munas alim ulama di Pondok Pesantren Salafiyah Safiiyah, di Situbondo tahun 1983 menjadikan masalah khittah ini sebagai agenda utama pertemuan. Bahkan dalam salah satu siding komisi, para ulama yang mengikuti musyawarah nasional Alim Ulama ini membentuk 19 Maksoem Machfoedz, kebangkitan Ulama dan Bangkitnya Ulama, Surabaya, Yayasan Kesatuan Umat, 1982, hal 269
komisi khittah, yakni komisi khusus yang membahas mengenai landasan perjuangan Nahdlatul Ulama, yang di dalamnya terdapat persoalan mengenai asas tunggal dan struktur organisasi Nahdlatul Ulama. Sejarah terjadinya Munas Alim Ulama yang menempatkan khittah sebagai agenda utama tidak telepas dari konflik yang ada di internal NU. Di dalam Nahdlatul Ulama ada dua kubu yang bersetru mempertahankan pendapatnya masing-masing. Pertama adalah kubu Cipete dan kelompok Situbondo. Kalau yang pertama merupakan representasi
dari
pemikiran
KH.
Idham
Cholied
serta
para
pendukungnya yang berada di jalur politik, maka yang kedua merupakan representasi dari kalangan pesantren di Jawa Timur yang dipimpin oleh Kyai As’ad Syamsul Arifin, bahkan sangking kerasnya, Kyai As’ad mengeluarkan statement untuk tidak mengakui KH. Idham Cholied sebagai ketua umum PBNU. Dari persetruan ini, kyai As’ad Syamsul Arifin memiliki cara tersendiri untuk memenangkan pendapatnya, melalui sayap pemuda yang di-backing olehnya, ia memainkan peranannya baik dalam munas ataupun
muktamar.
Kelompok
muda
yang
dimaksud
adalah
“Kelompok Diskusi 164”. Mei 1983, kelompok ini berkumpul di Jakarta untuk mengadakan pembahasan mengenai kronologi sejarah perjalanan Nahdlatul Ulama, setelah melakukan pembahasan yang sedemikian panjangnya, kelompok ini berhasil mengambil keputusan untuk mendirikan “Tim Tujuh untuk Pemulihan Khittah NU 1926”. Tim ini dipimpin oleh Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang di damping oleh HM. Zamroni (Wakil Ketua/Aktivis ’66 dari PMII), Said Budairy (Sekretaris), H. Mahbub Djunaedi (Pendiri dan Ketua Umum pertama PMII), Fahmi Saifudin, Daniel Tanjung dan Ahmad Bagja (Mantan Ketua umum PMII). Tim ini memiliki tugas untuk
menyusun serta merumuskan konsep pembenahan dan pengembangan Nahdlatul Ulama sesuai dengan khittah 1926 serta menyusun pola kepemimpinan NU.20 Hasil-hasil dari keputusan yang diambil oleh Tim Tujuh untuk Pemulihan Khittah NU 1926 inilah yang kemudian dijadikan referensi serta materi persidangan dalam Musyawarah Nasional Alim Ulama di bulan Desember 1983 di Situbondo dan Muktamar Nahdlatul Ulama di bulan Desember 1984 di Situbondo yang inti dari kedua forum permusyawaratan tinggi ini adalah kembali ke khittah Nahdlatul Ulama 1926 dengan pengembangan-pengembangan tertentu untuk lebih mengembangkan Nahdlatul Ulama di sisi sosial dan keagamaan. Pada muktamar ini pula, ketua Tim Tujuh untuk Pemulihan Khittah NU 1926, KH. Abdurrahman Wahid, terpilih sebagai ketua dewan Tanfidziyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama. Konsekuensi logis dari khittah Nahdlatul Ulama adalah penegasan bahwa Nahdlatul Ulama tidak lagi terikat oleh PPP. Nahdlatul Ulama memberikan kebebasan kepada anggotanya untuk menyalurkan aspirasi politiknya ke partai manapun. Lebih tegas lagi, salah satu hasil dari Musyawarah Nasional Alim Ulama, memberikan landasan gerak yang tegas, bahwa setiap pengurus Nahdlatul Ulama ditingkat manapun, dilarang keras untuk merangkap jabatan sebagai pengurus partai politik. Sikap musyawarah nasional Alim Ulama yang begitu tegas dalam hal kepengurusan ini berangkat dari berkacanya kemungkinan kondisi yang akan dihadapi, pertama bahwa merangkap jabatan berarti membagi konsentrasi kerja, hal ini berpengaruh terhadap kondisi orang tersebut dalam melaksanakan tugas dan jabatannya sesuai amanat yang diembannya. Padahal dua organisasi ini, baik Nahdlatul Ulama ataupun partai politik, memiliki ruang gerak serta tujuan yang berbeda. Kedua, lebih pada penanaman citra diri. 20 Kacung Marijan, Op. Cit, hal. 140
Yakni bahwa dengan adanya ketidakrangkapan kepengurusan, maka citra Nahdlatul Ulama (sebagai organisasi yang khittah) dapat lebih tercermin sebagai jam’iyyah Diniyah. Selain faktor itu, para ulama juga menyadari madharat yang timbul akibat Nahdlatul Ulama terlalu dalam bersinggungan dengan politik menyebabkan Nahdlatul Ulama sendiri terpecah kesatuannya, timbul konflik di internal Nahdlatul Ulama. Aturan lain soal ketentuan khittah Nahdlatul Ulama, dalam Muktamar Situbondo disebutkan: Hak politik adalah salah satu hak dari seluruh warga Negara, termasuk warga Negara yang menjadi anggota Nahdlatul Ulama. Tetapi Nahdlatul Ulama bukan merupakan wadah kegiatan politik praktis. Penggunakan hak politik dilakukan menurut ketentuan perundang-undangan yang ada dan dilaksankan dengan akhlakul karimah sesuai dengan ajaran Islam, sehingga tercipta kebudayaan politik yang sehat. Nahdlatul
Ulama
menghargai
warga
Negara
yang
menggunakan hak politiknya secara baik, sungguhsungguh dan bertanggung Jawab. Untuk mempertegas peraturan ini, menjelang pemilihan umum 1987, Kyai As’ad Samsul Arifin, melalui Mahbub Djunaedi memberikan ketegasan untuk mengontrol sikap politik warga Nahdlatul Ulama. “Dalam Pemilu 1987 nanti, warga Nahdlatul Ulama wajib menyukseskan pesta demokrasi, tetapi tidak wajib berkampanye untuk PPP. Sekali lagi, Nahdlatul Ulama bukan PPP dan PPP bukan Nahdlatul Ulama, karena keduanya punya dunia sendiri-sendiri. Keduanya tidak punya ikatan organisasi. Ini merupakan keputusan
Muktamar PPP dan keputusan Muktamar Nahdlatul Ulama”.21 Penegasan dilakukan karena adanya ketidaksepahaman mengenai hasil Muktamar, terutama tentang keputusan Khittah Nahdlatul Ulama. Seperti konflik yang terjadi sebelumnya, antara kubu KH. Idham Cholid dan kubu Kyai As’ad Syamsul Arifin, konflik ini terus berlanjut. KH. Idham Cholied, melalui generasi penerusnya yang masih duduk di PPP seperti H. Imron Rosadi, H. Imam Sofwan, Kyai Syansuri Badawi dan beberapa tokoh Nahdlatul Ulama lainnya masih tetap berupaya untuk melakukan manuver politiknya dengan melakukan konspirasi menggulingkan Naro dari kursi ketua umum partai. Menanggapi berbagai konflik yang mencuat itu, satu hal lontaran dari salah satu tokoh Nahdlatul Ulama yang terkenal karena interpelasinya
terhadap
NKK/BKK,
Syafi’i
Sulaiman,
“Tapi
Pemeritnah tetap saja tidak percaya, bahwa Nahdlatul Ulama betulbetul netral dari PPP. Untuk membuktikannya bahwa Nahdlatul Ulama betul-betul keluar dari PPP, suara PPP harus dikurangi. Tanpa itu, pemerintah tidak percaya kepada Nahdlatul Ulama”22. Tarik menarik dan konflik semakin memanas antara dua belah pihak, terutama menjelang pemilu 1987, saat masa kampanye, kedua
belah
pihak
memanfaatkan
kesempatan
ini
untuk
kepentingannya masing-masing. Kelompok pertama, yang konsisten dengan hasil muktamar Situbondo, yang menginginkan Nahdlatul Ulama kembali ke khittah, banyak mendapatkan serangan. Namun mereka tidak kalah dalam memberikan perlawanan yang serupa. Kelompok kedua, yang tetap menginginkan Nahdlatul Ulama berada pada jalur politik, banyak menggandeng ulama-ulama untuk turut serta berkampanye dengan jargon PPP adalah saluran aspirasi politik umat 21 Kacung Marijan, Op. Cit, hal. 160 22 Kacung Maridjan, op.cit hal. 160-161
Islam. Termasuk juga, jargon lain yang muncul, Nahdlatul Ulama adalah salah satu organisasi yang membidani lahirnya PPP, maka, seluruh warga Nahdlatul Ulama harus memilih PPP sebagai aspirasi politiknya. Gesekkan itu terus berlanjut, kelompok pertama, yang diantaranya terdapat Abdurrahman Wahid, KH. Ahmad Siddiq, KH. As’ad Syamsul Arifin, KH. Yusuf Hasyim, Mahbub Junaidi dan sederet tokoh nasional lainnya memberikan reaksi keras atas disangkut pautnya
Nahdlatul
Ulama
kedalam
kampanye
dalam
upaya
pemenangan PPP. Reaksi keras ini adalah upaya untuk mengeluarkan Nahdlatul Ulama secara structural dan cultural terhadap padangan Nahdlatul Ulama adalah bagian integral dari PPP. Reaksi keras yang muncul dari kelompok Situbondo (kelompok yang konsisten terhadap keputusan muktamar Situbondo) direpresentasikan dengan melakukan black campaign terhadap kampanye PPP di kantong-kantong Nahdlatul Ulama seperti di Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat dan daerah lainnya. Aksi kampanye balik untuk menyerang PPP itu sebenarnya telah dilakukan selama setahun sebelumnya, yakni di tahun 1986, H. Syafi’i Sulaiman, dalam penutupan konferensi cabang Nahdlatul Ulama di Lumajang, dalam pidatonya mengatakan, “Nahdlatul Ulama bukan PPP, bukan Golkar, bukan pula PDI”23. Tentulah dengan aksi black campaign yang dilakukan para tokoh Nahdlatul Ulama barisan Situbondo membawa angin segar bagi kontestan pemilu lainnya. Golkar dan PDI semakin mendapatkan angin segar untuk dapat merealisasikan cita-cita politiknya mendapat kursi banyak di DPR/MPR. Kampanye yang dilangsungkan di banyak tempat oleh kelompok Situbondo terbukti berhasil memojokkan PPP. Di Daerah Istimewa Yogyakarta misalnya, para ulama mengadakan 23 Kacung Maridjan, op.cit, hal.162
bahtsul masail sekitar pemilu 1987. Hasil dari bahtsul masail terbukti cukup mengagetkan, yakni menggiring pondok pesantren se-DIY untuk memilih Golkar sebagai aspirasi politiknya. Alasan mereka memilih Golkar adalah, Golkar dipandang mampu membawa manfaat bagi bangsa dan umat Islam Indonesia, juga merupakan representasi dari perintah ketaatan terhadap ulil amri. “Kami yakin dengan menitipkan aspirasi ke Golkar, disamping kita juga membawa kewibawaan ulama, juga permasyarakatan ajaran Ahlussunah wal jama’ah akan lebih dapat terealisir”24. Tidak hanya itu, black campaign yang dilakukan oleh Kelompok Situbondo tidak hanya terhenti pada seruan, pidato, kajian, atau selebaran saja. Melainkan telah sampai kepada keputusan resmi PBNU. Instruksi PBNU ini langsung ditanda tangani oleh KH. As’ad Syamsul Arifin, KH. Achmad Siddiq, Abdurrahman Wahid dan HM. Anwar Nuris tertanggal 16 April 1987 yang berisi butir-butir sebagai berikut: Seluruh warga Nahdlatul Ulama, baik aktivis/fungsionaris maupun anggota biasa/simpatisan dimanapun berada dilarang/haram mencoblos tanda gambar bintang/PPP pada pemilu 23 April 1987 nanti. Seluruh warga Nahdlatul Ulama tersebut dilarang/haram menjadi Golput. Diperintahkan kepada seluruh warga Nahdlatul Ulama untuk menyalurkan aspirasi politiknya kepada salah satu dari Golkar atau PDI dengan landasan ahlaqul karimah. Agar pengurus jam’iyah Nahdlatul Ulama di segala tingkatan 24 DPW Nahdlatul Ulama Daerah Istimewa Yogyakarta, Hasil Bahtsul Masail sekitar Pemilu Antar Pondok Pesantren se-DIY, Yogyakarta: Karya GRafika, 1987, hal. 3. Dikutip dari Bahrul Ulum, Bodohnya Nahdlatul Ulama apa Nahdlatul Ulama Dibodohi?, Yogyakarta, Ar Ruzz, 2002. Hal.97
meningkatkan kerjasama dengan aparat pemerintahan dan pelaksana pemilu, terutama dalam rangka mengadakan pendataan terhadap aktivsi/fungsionaris serta warga Nahdlatul Ulama yang selama masa kampanye aktif mendukung PPP, baik tenaga, harta maupun dalam wujud tingkah laku, lebih lagi yang bersifat memfitnah dan mendiskreditkan ulama dan jam’iyah itu sendiri. Agar para alim ulama menhggerakan dan meningkatkan gerakan batin, baik dengan shalat hajat, istighatsah, maupun pembacaan hizib dan doa. Bukan saja untuk meningkatkan taqarub kita kepada Allah SWT, tetapi lebih dari itu gerakan inti ulama yang terselubung PPP segera mendapatkan penyelesaian dari Allah SWT sesuai dengan upayanya selama ini. Agar pengajian/majelis ta’lim dan kegitan keagamaan yang diselenggarakan/dilakukan oleh jam’iah Nahdlatul Ulama setelah Pemulu 1987 tidak lagi melibatkan warga Nahdlatul Ulama yang termasuk pada butir 4 (empat) diatas25. Setelah instruksi ini dikeluarkan dan diedarkan oleh PBNU, justru timbul masalah lagi, harian Suara Indonesia, menurunkan laporan yang berisikan fatwa KH. As’ad Syamsul Arifin, inti dari laporan tersebut adalah, bahwa tindakan menggembosi salah satu dari tiga kontestan pemulu tidak dibenarkan oleh agama Islam. Barang siapa yang suka menggembosi tidak sah menjadi imam shalat, tidak sah menjadi wali anaknya, karena hukumnya rusak (fasad)26. Meskipun terdapat banyak sekali rintangan, baik dari luar, dari kelompok Cipete (kelompok yang tetap menghendaki Nahdlatul 25 Kacung Marijan, op.cit, hal. 164 26 Kacung Marijan, op.cit, hal. 165
Ulama berada dalam PPP, dipimpin oleh KH. Idham Cholied) serta konflik internal dari KH. As’ad Syamsul Arifin, ternyata hasil yang didapatkan oleh Kelompok Situbondo terbukti cukup membuahkan hasil. Suara PPP di pemilu 1987 menurun drastis. Hasil pemilu 1987 jika dibandingkan dengan pemilu sebelumnya melonjak turun hingga 40%, sebuah gembosan yang luar biasa. Dari penurunan suara yang terjadi di PPP, para konstituen PPP ternyata berpindah, kebanyakan ke Golkar, hampir semua kenaikan suara Golkar diimbangi dengan menurunnya suara PPP. Di dalam PPP, Nahdlatul Ulama memmberikan porsi terbesar pemilih yang eksodus. Di tahun 1971, Nahdlatul Ulama mampu meraih 2/3 total suara partai Islam. Jika proporsi itu tetap sama pada tahun 1982, berarti hilangnya suara PPP antara 1982 dan 1987 yang lebih dari 40% adalah mustahil tanpa adanya eksodus besar-besaran pemilih dari kalangan Nahdlatul Ulama. Apabila dibandingkan, hasil perolehan suara empat partai yang berfusi di PPP dalam pemilu 1971 sejumlah 27,1% (2/3 adalah suara Nahdlatul Ulama), di pemilu berikutnya, tahun 1977, terjadi kenaikan tipis, yakni mendapat suara sejumlah 27,8%, sedangkan pada pemilu tahun 1982, PPP mendapatkan suara sejumlah 27,8% (mengalami sedikit penurunan). Namun setelah gerakan black campaign yang dilakukan oleh Abdurrahman Wahid dan kawankawan, suara PPP di pemilu tahun 1987 melonjak turun hingga ke prosentase 16%. 27 Analisis data pemilu 1987 memperlihatkan bahwa, dukungan Nahdlatul Ulama terhadap PPP merosot di 24 dari 27 daerah pemilihan propinsi, kecuali di Propinsi Nusa Tenggara Timur, Irian Jaya dan Timor Timur (salah satu propinsi di Indonesia yang kini menjadi 27 Martin Van Bruinessen, Nahdlatul Ulama, Tradisi, relasi-relasi Kuasa, Pencarian Wacana Baru, Yogyakarta, LKiS, 2002, hal. 144
Negara sendiri dengan nama Timor Leste) yang jaraknya cukup jauh dan angkanya tidak terlalu berarti. Angka
perhitungan
akhir
pemilu
1987
menunjukkan
kemenangan yang gilang gemilang bagi partai pemerintah Golkar (plus Nahdlatul Ulama). Dikatakan Golkar dan Nahdlatul Ulama, karena Nahdlatul Ulama (setidaknya kelompok Situbondo) telah melakukan black campaign terhadap PPP yang memang memiliki massa besar di kalangan umat Islam. Kelompok Situbondo berani melakukan hal tersebut karena merasa gerah di PPP yang dipimpin oleh H. Djaelani Naro yang sangat berani mengalienasikan Nahdlatul Ulama dalam system berpolitiknya, beberapa pembesar Nahdlatul Ulama justru dibuang, tidak ditempatkan sebagaimana layaknya kelompok yang mendominasi partai. Berkat
‘bantuan’
dari
Kelompok
Situbondo,
Golkar
mengalami kemenangan yang gilang-gemilang. Ucapan terima kasih yang diberikan oleh Golkar (pemerintah) kepada Nahdlatul Ulama berupa pemberian otonomi khusus bagi Nahdlatul Ulama, penguatan pemberdayaan pesantren,
madrasah-madrasah
guru-gurunya
dan
mendapatkan
sekolah-sekolah perhatian
khsusus
serta dari
pemerintah. Pemeberdayaan baik fisik ataupun non fisik terus berjalan, bahkan pemerintah, melalui kaki tangannya (Yayasan Amal Bhakti Muslim Pancasila) banyak mendirikan masjid-masjid di daerah kantong Nahdlatul Ulama. Ditingkatan elite sendiri, Slamet Effendi Yusuf, ketua GP Ansor, diberikan posisi khsusus di Golkar, yakni menjabat sebagai Ketua Departemen Pemuda DPP Golkar, meskipun sempat menuai protes di kalangangan dua belah pihak, di Nahdlatul Ulama dan di Golkar, Slamet Effendi Yusuf dengan mudah menduduki jabatannya. Di Nahdlatul Ulama, sebagaimana keputusan khittah
Nahdlatul Ulama 1984 di Situbondo, pengurus Nahdlatul Ulama ataupun badan otonomnya, dilarang untuk merangkap jabatan sebagai pengurus organisasi atau partai politik, sementara di Golkar, seorang ketua departemen harus memiliki masa bhakti di partai minimal 10 tahun dan karena Slamet Effendi Yusuf di tahun 1982 pernah menjadi Calon Anggota DPR PPP dari daerah pemilihan Yogyakarta. Namun ternyata, protes dan kritik tajam seputar itu tertelan waktu. Di lain pihak, terjadi hal yang lebih dilematis lagi, Abdurrahman Wahid, sebagai ketua Tanfidziyah PBNU, oleh pemerintah
diberikan
kursi
khusus
sebagai
anggota
MPR.
Abdurrahman Wahid diangkat karena dianggap mewakili masyarakat secara umum. Tentunya, bagi Abdurrahman Wahid sendiri menjadi problem yang sangat dilematis, satu sisi ia harus memimpin roda organisasi PBNU apabila menerima tawaran tersebut ia harus meninggalkan organisasi yang dipimpinnya agar lebih fokus,
namun apabila
menolak, ia khawatir hubungan baik yang telah ia bangun dengan pejabat tinggi selama ini akan hancur. Paling rumit, seandainya dia menerima jabatan itu, dia akan mengalami kebingungan dalam menentukan fraksi yang akan menampungnya. Memilih PPP akan membuatnya merasa kehilangan muka, karena ia adalah termasuk pihak yang menggembosi suaranya, memilih PDI, tidak mungkin karena akan mempersulit dirinya sendiri, sementara ketika memilih Golkar, akan nampak terbuka sekali jalur politiknya. Namun demikian, putusan akhir yang dia ambil adalah, menerima tawaran untuk menjadi anggota MPR dan menentukan Golkar sebagai fraksi yang akan menampungnya. Kritik sempat muncul dari kalangan Nahdlatul Ulama sendiri, namun kritik itu tidak bertahan lama, bahkan dalam muktamar 1989 di
Yogyakarta, tidak ada yang melakukan gugatan yang serius terhadap Abdurrahman Wahid dalam rangkap jabatannya sebagai anggota MPR yang memilih fraksi Golkar. Setelah keputusan khittah 1984 di Situbondo, perjalanan kepemimpinan Nahdlatul Ulama berjalan mulus, bahkan nyaris tanpa kendala yang berarti. Bahkan karena kemulusannya itu, pada muktamar 1989 di Yogyakarta, seluruh peserta hampir mendukung kepemimpinan Nahdlatul Ulama periode pertama khittah. Saat itu pula, lahirlah penegasan tajam tentang khittah Nahdlatul Ulama dengan pesan-pesan: “Nahdlatul
Ulama
sebagai
organisasi
sosial
keagamaan (jam’iyah diniyah) tidak mempunyai ikatan organisasi dalam bentuk apapun dengan organisasi kekuatan sosial politik yang manapun juga. Nahdlatul Ulama tidak akan menggabungkan diri secara organisatoris kedalam organisasi sosial politik manapun, tetapi juga tidak akan bersikap menentang organisasi sosial politik manapun, dan tidak akan menjadi partai politik sendiri”28. Dalam muktamar ke-28 itu, Nahdlatul Ulama juga melakukan pembahasan mengenai kemungkinan pandangan politik netral atau golput. Keputusan mengenai hal ini, Nahdlatul Ulama memberikan fatwa kewajiban untuk menyalurkan aspirasi politiknya melalui partai peserta pemilu, namun tidak memiliki kewajiban untuk mengikuti salah satu partai, kebebasan memilih diberikan sepenuhnya kepada warga Nahdlatul Ulama. Sedang tentang perbedaan pandangan dalam pilihan politik harus tetap berjalan dalam suasana persaudaraan, tawaddu’ (rendah hati), dan saling menghargai satu sama lain sehingga 28 PBNU, Permasalah dan Jawaban Muktamar Nahdlatul Ulama ke-28, Menara Kudus, Kudus, 1989 hal. 171, sebagaimana dikutip oleh Bahrul Ulum, Op.cit. hal. 104
dalam berpolitik tetap menjaga persatuan dan kesatuan di lingkungan Nahdlatul Ulama. Meskipun Nahdlatul Ulama telah berpisah dengan PPP. Apalagi setelah konflik politik pemilu di tahun 1987 yang terjadi benturan cukup keras antara Nahdlatul Ulama dan PPP. Namun, Nahdlatul Ulama ternyata masih bermain di setiap langkah politik PPP. Pada muktamar ke-2 PPP, tahun 1989, politisi Nahdlatul Ulama berhasil menempatkan tiga orang anggota formatur, yakni Imam Sofwan, Karmani dan Sulaiman Fadli. Walaupun Nahdlatul Ulama tidak berhasil memperjuangkan Chalid Mawardi atau Karmadi menjadi ketua umum PPP, namun mereka berhasil menempatkan Matori Abdul Djalil sebagai sekretaris umum dan sejumlah orang Nahdlatul Ulama di dalam kepengurusan PPP. Di pihak lain, mereka menyepakati terpilihnya Ismail Hasan Metareum sebagai ketua umum dari pada H. Jaelani Naro yang dinilai terlalu otoriter dan telah banyak membuat maneuver politik yang mengalienasikan Nahdlatul Ulama. Tidak hanya di muktamar PPP ini saja Nahdlatul Ulama bermain, pada muktamar selanjutnya, di tahun 1994, Nahdlatul Ulama kembali mengeluarkan taring politiknya di PPP. Bahkan secara tegas Nahdlatul Ulama menyatakan bahwa mereka ingin mengambil alih kepemimpinan partai pada kepengurusan mendatang. Para tokoh Nahdlatul Ulama yang terlibat langsung dalam konstelasi ini adalah KH. Yusuf Hasyim, KH. Syansuri Baidawi dan KH. Munasir. Mereka pulalah yang menyusun jalan politik upaya perebutan kursi ketua umum PPP, pada pertemuan pertama mereka di Taman Mini Indonesia Indah (TMII). Pertemuan lain yang terjadi adalah pertemuan antara KH. Yusuf Hasyim dengan Buya Ismail Hasan Metareum serta para ulama dan politisi di Rembang, Jawa Tengah. Hasil pertemuan ini, mereka menyepakati untuk mendukung politisi Nahdlatul Ulama, siapapun orangnya nanti untuk merebut kursi pimpinan PPP.
Sayangnya, sederet pertemuan berikutnya ternyata tidak membuahkan
hasil
yang
sebagaimana
diharapkan.
Kelompok
Nahdlatul Ulama yang masih berupaya merebut kursi pimpinan DPP PPP, ternyata masih tidak mampu menandingi kekuatan Perti (Muslimin Indonesia) dibawah kekuatan Buya Ismail Hasan Metareum (incumbent) yang di back up sepenuhnya oleh pemerintah orde baru. Kelompok Nahdlatul Ulama yang masih tetap bertahan di PPP ini menyebut kelompok mereka sebagai Kelompok Rembang,
di
dalamnya banyak terdapat kyai-kyai besar seperti KH. Maimoen Zubair yang menjadi motor penggerak Kelompok Rembang. Namun kekalahan Kelompok Rembang dalam Muktamar PPP 1994 ini tidak mematahkan semangat mereka untuk tetap bertahan di partai berlambang bintang ini. Sebagaimana yang dituturkan oleh Ketua Majelis Pertimbangan PPP yang sekaligus tokoh besar Nahdlatul Ulama, KH. Maimoen Zubair dalam wawancara dengan Edy Budiarso dari Tempo. “Orang Nahdlatul Ulama kan bebas menyalurkan aspirasi politiknya, termasuk ketua umumnya sendiri, sedangkan Nahdlatul Ulama-nya sendiri kan tidak bisa dibawa kemanamana. Nahdlatul Ulama organisasi mass agama, dan agama itu dimana-mana…. Itu hak pribadi saya… kehadiran PPP itu tetap dibutuhkan sebagai kekuatan politik dalam kehidupan bernegara kita. Artinya bhineka tunggal ika tetap dipertahankan. Saya sebagai orang PPP, karena PPP berasal dari fusi partai-partai Islam. Dan sekarang ini Islam itu sudah besar dan ada dimana-mana… masing-masing sudah mengakui mana yang tepat. Saya sejak dulu ada di PPP, sehingga saya istiqamah saja”29. 29 http://www.tempo.co.id/ang/min/01/50/utama2.htm, di download pada Sabtu, 26 September 2009, pukul 21.34
Disisi lain, bagi kelompok Situbondo yang dipimpin oleh Abdurrahman Wahid, ternyata kemesraan yang dibangun dengan pemerintah selama ini tidak berlangsung lama. Setelah berjasa memenangkan
Golkar
pada
pemilihan
umum
1977
dan
‘menyingkirkan’ PPP dalam tubuhnya, serta penerimaan ‘reward’ dari pemerintah, justru kelompok Situbondo ini mengalami kolaps. Hal ini dikarenakan banyak terjadinya ketimpangan cara pandang antara Abdurrahman Wahid dan pemerintah yang sering tidak senada. Rujuk antara pemerintah dan politik Islam berpuncak pada pembentukan Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) pada tanggal 7 Oktober 1990. Ide yang bergulir dari para mahasiswa dari Universitas Brawijaya, Malang yang disambut baik oleh Imaduddin Abdulrahim dan Dawam Raharjo. ICMI akhirnya berdiri dan untuk memperkuat posisi ICMI, Imaduddin menggandeng dua menteri sebagai penguat, yakni Emil Salim dan BJ. Habibie. BJ. Habibie kemudian menghadap presiden untuk meminta restu mengenai keberadaan ICMI, Presiden dengan senang hati menyetujui BJ. Habibie untuk bergabung di ICMI dengan harapan kedepannya ICMI akan dapat digunakan sebagai senjata dari kalangan intelektual muda Islam yang dapat menopang dirinya. Ternyata meskipun telah mendapatkan ‘restu’ dari presiden, keberadaan ICMI justru menimbulkan konflik baru dari kalangan ABRI. Mereka tidak memberikan izin pelaksanaan kongres di Malang. Alasan ABRI adalah, keberadaan ICMI tak ubahnya seperti Masyumi, bayang-bayang ketakutan masa lalu yang dilakukan Masyumi menimbulkan kabut pekat di kalangan ABRI. Berdirinya ICMI yang diharapkan mampu menjadi batu loncatan bagi banyak kalangan untuk dapat langsung ‘duduk manis’ tanpa melalui banyak rintangan membuat para cendekiawan banyak
yang tertarik untuk bergabung di wadah baru ini. Namun, beberapa intelektual nasional banyak pula yang menolak kehadiran ICMI. Deliar Noer misalnya, ia beranggapan keberadaan ICMI hanyalah sebagai barisan pendukung pemerintah yang tidak benar-benar menegakkan demokrasi di Indonesia. Selain Deliar Noer, Abdurrahman Wahid juga menolak bergabung dengan ICMI. Penolakan yang dilakukan oleh Abdurrahman Wahid berdampak sangat luas, setidaknya bagi kalangan tradisionalis, karena dia mencabut legitimasi penuh Islam yang mau diraih baik oleh presiden maupun ICMI. Secara resmi, Abdurrahman Wahid melakukan penolakan terhadap keputusan pemerintah, dan menyatakan secara tidak langsung vis a vis terhadap presiden. Akhirnya, tawaran yang selama ini ditawarkan kepada Abdurrahman Wahid untuk memimpin Forum Demokrasi, sebuah lembaga nirlaba yang concern berjuang menegakkan demokrasi di Indonesia, diterimanya sebagai tindakan civil disobedience kepada pemerintah. Selain di Forum Demokrasi Abdurrahman Wahid juga memperluas jaringan eksternal Nahdlatul Ulama-nya antara lain menjadi salah satu Dewan Presidium WCRP (World Council of Religion and Peace); anggota Dewan Pembina dan Pendiri Pusat Simon Perez untuk perdamaian (Simon Perez Peace Centre) yang bermarkas di Tel Aviv, Israel; serta ia menjadi Penasehat International Dialogue Foundation on Perspective Studies of Syari’ah and Secular Law di Den Haag, Belanda. Ketidakmesraan hubungan antara pemerintah dan Nahdlatul Ulama semakin menajam. Pada tahun 1992, saat rencana akan diselenggarakan Rapat Akbar Nahdlatul Ulama di Jakarta. Secara sepihak
pemerintah
melakukan
pelarangan
kegiatan.
Presiden
melakukan penghalangan terhadap kegiatan rapat akbar ini. Sehingga, dengan tegas, Abdurrahman Wahid menulis surat kepada presiden;
“Dengan menghalangi Nahdlatul Ulama mendapatkan legitimasi penuh bagi posisi-posisinya, tanggung Jawab orientasi kelompok keagamaan kini berada di tangah pemerintah. Apabila pemerintah juga gagal, maka dalam sepuluh tahun mendatang, kekutan yang tidak mau menerima ideology nasional akan bertambah besar dan akan mengancam Republik Indonesia beserta Pancasila … yang saat ini terjadi di Aljazair akan terjadi juga di sini … dan apabila kecenderungan ini berlanjut, sebuah Negara Islam akan menggantikan Negara yang kita miliki sekarang ini”.30 Tidak terhenti sampai disitu saja serangan yang dilakukan oleh pemerintah kepada Abdurrahman Wahid. Melalui ICMI, pemerintah melakukan penggembosan kekuatan Abdurrahman Wahid di
dalam
tubuh
Nahdlatul
Ulama.
Sehingga
gerakan
Anti-
Abdurrahman Wahid pun muncul, terutama dari kelompok yang mendukung keberadaan ICMI. Sedikitnya sudah 4 kali pemerintah berusaha menggulingkan Abdurrahman Wahid dari kursi ketua umum PBNU, namun keempat usaha itu ternyata tidak membuahkan hasil yang sebagaimana diharapkan oleh pemerintah. Abdurrahman Wahid tetap duduk dengan tenang, bahkan semakin keras melakukan controlling terhadap pemerintah Orde Baru. Pada
Munas
Alim
Ulama
di
Cilacap
tahun
1987,
Abdurrahman Wahid pertama kali diserang secara halus untuk dilengserkan, namun peranan KH. Achmad Siddiq melindunginya. KH.
Achmad
Siddiq
memberikan
dukungan
penuh
kepada
Abdurrahman Wahid dengan memepertaruhkan jabatannya sendiri sebagai Rais ‘Aam. Serangan kedua muncul saat berlangsungnya Muktamar Nahdlatul Ulama di Krapyak Jogjakarta tahun 1989, namun keberadaan KH. Ali Ma’sum memberikan perlindungan yang luar 30 Andree Feillard, op.cit, hal.405
biasa kepada bekas santrinya itu, meskipun serangan banyak bermunculan kepadanya. KH. Achmad Siddiq kembali terpilih sebagai Rais ‘Am PBNU dengan 118 suara melawan 116 suara yang mendukung Idham Chalied. Serangan selanjutnya pada Munas Lampung tahun 1992, kali ini Abdurrahman Wahid berhadapan dengan tokoh yang cukup berpengaruh, KH. Ali Yafie. Namun serangan dari kubu KH. Ali Yafie ternyata mampu di pukul mundur olehnya karena keberhasilan Abdurrahman Wahid dalam reformasi Nahdlatul Ulama. Suatu tingkat kestabilan telah tercapai, meskipun pada tahun yang sama KH. Achmad Shiddiq yang selama ini mendampinginya sebagai Rais ‘Am wafat. Sebagai penggantinya, KH. Ilyas Ruchiyat, seorang ulama yang dianggap paling netral kemudian dipilih menjadi Rais ‘Am ad interim. Pada muktamar Nahdlatul Ulama ke-29 di Cipasung, tahun 1994, posisi Abdurrahman Wahid benar-benar terancam ketika pemerintah
ikut
bergabung
dengan
kelompok
yang
sangat
menyesalkan kritiknya terhdap ICMI untuk menggulingkannya. Namun, ia kembali terpilih dengan kemenangan tipis, suatu bukti bahwa
kekuatan
Abdurrahman
Wahid
merupakan
kekuatan
tradisionalis pembaharu yang sangat kuat. Kekuatan Abdurrahman Wahid terbukti cukup ampuh, ia mampu bertahan dari empat kali serangan yang dilakukan oleh pemerintah. Bahkan ia dengan semakin ganas melakukan maneuvermaneuver politik yang cukup meresahkan bagi pemerintah orde baru. Ia sangat kritis terhadap setiap kebijakan yang diambil oleh pemerintah orde baru. Salah satu kebijakan yang paling banyak diamati, selain di bidang politik adalah perekonomian nasional khususnya bidang pembangungan
nasional.
Dalam
membiayai
pelaksanaan
pembangunan, tentu dibutuhkan dana yang besar. Di samping mengandalkan devisa dari ekspor nonmigas, pemerintah juga mencari bantuan kredit luar negeri. Dalam hal ini, badan keuangan internasional IMF berperan penting. Dengan adanya pembangunan tersebut, perekonomian Indonesia mencapai kemajuan. Meskipun demikian, laju pertumbuhan ekonomi yang cukup besar hanya dinikmati para pengusaha besar yang dekat dengan penguasa. Pertumbuhan ekonomi tidak dibarengi dengan pemerataan dan landasan ekonomi yang mantap sehingga ketika terjadi krisis ekonomi dunia sekitar tahun 1997, Indonesia tidak mampu bertahan sebab ekonomi Indonesia dibangun dalam fondasi yang rapuh. Bangsa Indonesia mengalami krisis ekonomi dan krisis moneter yang cukup berat.
Bantuan
IMF
ternyata
tidak
mampu
membangkitkan
perekonomian nasional. Hal inilah yang menjadi salah satu factor penyebab runtuhnya pemerintahan Orde Baru tahun 1998. Penyebab utama runtuhnya kekuasaan Orde Baru adalah adanya krisis moneter tahun 1997. Sejak tahun 1997 kondisi ekonomi Indonesia terus memburuk seiring dengan krisis keuangan yang melanda Asia. Keadaan terus memburuk. KKN semakin merajalela, sementara kemiskinan rakyat terus meningkat. Terjadinya ketimpangan sosial yang sangat mencolok menyebabkan munculnya kerusuhan sosial. Muncul demonstrasi yang digerakkan oleh mahasiswa. Tuntutan utama kaum demonstran adalah perbaikan ekonomi dan reformasi total. Demonstrasi besar-besaran dilakukan di Jakarta pada tanggal 12 Mei 1998. Pada saat itu terjadi peristiwa Trisakti, yaitu meninggalnya empat mahasiswa Universitas Trisakti akibat bentrok dengan aparat keamanan. Empat mahasiswa tersebut adalah Elang Mulya Lesmana, Hery Hariyanto, Hendriawan, dan Hafidhin Royan.
Keempat mahasiswa yang gugur tersebut kemudian diberi gelar sebagai “Pahlawan Reformasi”. Menanggapi aksi reformasi tersebut, Presiden Soeharto berjanji akan mereshuffle Kabinet Pembangunan VII menjadi Kabinet Reformasi. Selain itu juga akan membentuk Komite Reformasi yang bertugas menyelesaikan UU Pemilu, UU Kepartaian, UU Susduk MPR, DPR, dan DPRD, UU Antimonopoli, dan UU Antikorupsi. Dalam perkembangannya, Komite Reformasi belum bisa terbentuk karena 14 menteri menolak untuk diikutsertakan dalam Kabinet Reformasi. Adanya penolakan tersebut menyebabkan Presiden Soeharto mundur dari jabatannya. Tepat tanggal 21 Mei 1998, Presiden Soeharto membacakan keputusan pengunduran dirinya sebagai Presiden RI dan menyerahkan jabatannya kepada wakil presiden untuk sementara waktu sampai dilangsungkannya pemilihan umum. Dari keputusan itu, secara otomatis BJ. Habibie diangkat menjadi presiden menggantikan Soeharto. Ditubuh Nahdlatul Ulama sendiri, pada Juni 1998, KH. Cholil Bisri memprakarsai pertemuan politik di pesantrennya, Raudlatut Thalibin, Rembang, Jawa Tengah. Dalam mengawali perbincangan itu, KH. Cholil Bisri mengatakan “Kini sudah saatnya Nahdlatul Ulama berbuka, setelah lebih dari 32 tahun berpuasa dari arena
politik
yang
sempat
membuat
Nahdlatul
Ulama
sempoyongan”.31 Dalam pertemuan itu, tidak hanya para kyai yang hadir, namun juga para politisi Nahdlatul Ulama dari berbagai partai politik ikut serta menghadirinya. Dari pembicaraan awal oleh KH. Cholil Bisri, muncullah diskusi yang panjang mengenai system berpolitik Nahdlatul Ulama. Keputusan akhirnya, mereka sepakat untuk 31 Fawzy Alco, Seribu Angin, Upaya Membenturkan Antar Kyai Lewat Panggung Politik, Qirtas, Yogyakarta, 2003, hal. 2
mendirikan partai baru yang merepresentasikan keberadaan Nahdlatul Ulama dalam konstelasi politik nasional. Kesepakatan itu kemudian ditindak lanjuti, masih dalam pertemuan itu, untuk membentuk “Lajnah Sebelas” yang bertugas untuk membuat rumusan tentang visi, misi, platform hingga AD/ART partai untuk diusulkan ke PBNU. Usulan dari pertemuan Rembang itu direspon positif oleh PBNU, PBNU sebagai tindak lanjut membentuk tim lima ditambah tim asistensi yang terdiri dari empat orang yang akhirnya menjadi tim Sembilan. PBNU nampaknya tidak hanya mendapatkan usulan dari kelompok Rembang saja, melainkan banyak DPW Nahdlatul Ulama dan DPC Nahdlatul Ulama yang mendesak melakukan hal yang sama, tidak hanya sekedar usul, namun usulan mereka juga disertai dengan usulan nama-nama partai. Di Ciganjur, Jakarta Selatan, pada tanggal 23 Juli 1998 diadakan pertemuan antara politisi Nahdlatul Ulama, ulama Nahdlatul Ulama serta para tokoh-tokoh Nahdlatul Ulama lainnya, pada pertemuan tersebut, lahirlah Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang langsung dibidani oleh PBNU. Pukul 15.00 WIB, lima kyai sepuh didaulat untuk mendeklarasikan partai baru ini, kelima kyai tersebut adalah KH. Ilyas Ruhiyat, KH. Abdurrahman Wahid, KH. Munasir Ali, KH. Muchith Muzadi dan KH. Musthofa Bisri. Menyadari keputusan untuk mendirikan partai sangat riskan, dan jelas akan banyak mendapatkan kritikan, baik dari dalam Nahdlatul Ulama sendiri atau dari luar Nahdlatul Ulama. Abdurrahman Wahid sebagai ketua umum PBNU mengeluarkan instruksi kepada seluruh jajaran kepengurusan Nahdlatul Ulama di berbagai tingkatan untuk tidak merangkap jabatan menjadi pengurus PKB. Abdurrahman Wahid dan para fungsionaris PBNU untuk memperkuat legitimasi PKB dimata warga Nahdlatul Ulama
khususnya dan di mata masyarakat Indonesia pada umumnya, selalu mengatakan bahwa PKB adalah satu-satunya partai yang lahir dari dalam Nahdlatul Ulama. Pernyataan meligitimasi PKB menjadi satusatunya partai yang menampung aspirasi politik warga Nahdlatul Ulama membuat konflik besar di internal Nahdlatul Ulama. Banyak tokoh Nahdlatul Ulama yang tidak dilibatkan dalam pembentukan partai baru ini akhirnya melakukan perlawanan terhadap Abdurrahman Wahid, perlawanan yang sangat terbuka dengan membuat partai-partai tandingan yang secara tidak langsung membawa nama Nahdlatul Ulama. Abu Hasan, seorang saingan terkuat Abdurrahman Wahid dalam muktamar Nahdlatul Ulama di Ciasung tahun 1994 untuk merebutkan kursi ketua umum PBNU mendirikan Partai SUNI (Serikat Uni Nasional Indonesia). Pengusaha dari Jambi ini merupakan orang yang paling tidak sepakat dengan keputusan sepihak yang diambil oleh PBNU dalam membentuk PKB. Selain Abu Hasan, tokoh lain yang ikut mendirikan partai pesaing PKB adalah KH. Syukron Amin. Dia mendirikan PNU (Partai Nahdlatul Ummah). Partai ini didirikan oleh ulama Nahdlatul Ulama yang aktif dalam organisasi dakwah ittihadul muballighin. Partai ini juga mendapatkan dukungan kuat dari beberapa pemimpin Nahdlatul Ulama termasuk KH. Idham Chalied, mantan ketua umum PBNU dan KH. Sahal Mahfudz. Dua bulan setelah PNU berdiri, berdiri pula partai baru pesaing PKB, yakni PKU (Partai Kebangkitan Ummat). Kalau selama ini Abdurrahman Wahid mendapatkan rival dari lawan politiknya, kali ini melalui PKU Abdurrahman Wahid justru bertentangan dengan pamannya sendiri, KH. Yusuf Hasyim serta adik kandungnya, KH. Salahudin Wahid. Bahkan serangan dari barisan keluarga ini mengelurkan statemen yang cukup keras dengan mengatakan partai yang mereka dirikan merupakan aspirasi dari para
anggota yang tidak puas dengan kepemimpinan Abdurrahman Wahid32. Serangan
demi
serangan
terus
menerus
menembak
Abdurrahman Wahid, namun kelihaiannya dalam berpolitik membuat dia semakin kuat ketika ditentang. Terbukti dengan banyaknya serangan justru membuat barisan PKB ditangan putra KH. Wahid Hasyim ini semakin banyak mendapatkan dukungan, tidak hanya dari kalangan Nahdlatul Ulama saja, melainkan bahkan dari komunitas non muslim, karena PKB yang didirikan PBNU tidak mengkhususkan sebagai penampung aspirasi umat Islam, namun terbuka bagi seluruh rakyat Indonesia tanpa memandang suku dan agama. Inilah yang merupakan salah satu era babak baru Nahdlatul Ulama dalam kancah perpolitikan nasional pasca tumbangnya kekuasaan otoriter yang dipimpin oleh Soeharto. Mundurnya Soeharto pada tanggal 21 Mei 1998, meyusul krisis moneter yang menimpa Indonesia sejak pertengahan tahun 1997 mengawali tahapan baru dalam pemerintahan Indonesia. Secara formal, tahapan baru ini ditandai dengan beralihnya kekuasaan Negara dari tangah Soeharto ke tangan BJ. Habibie untuk sementara waktu sampai diadakan pemilu. Ketika Habibie mengganti Soeharto sebagai presiden tanggal 21 Mei 1998, ada lima isu terbesar yang harus dihadapinya, yaitu: Masa depan Reformasi; Masa depan ABRI; Masa depan daerah-daerah yang ingin memisahkan diri dari Indonesia; Masa depan Soeharto, keluarganya, kekayaannya dan kronikroninya; serta 32 Bahrul Ulum, op.cit, hal. 136
Masa depan perekonomian dan kesejahteraan rakyat. Lima tantangan besar yang menjadi beban bagi BJ. Habibie adalah warisan-warisan kejahatan orde baru yang harus ia selesaikan. Namun sebelum itu, ia mengambil kebijakan terlebih dahulu dengan melakukan pengujian ulang terhadap beberapa produk hukum berupa undang-undang yang dikeluarkan orde baru serta mengganti atau merubahnya dengan yang lebih tepat sesuai dengan tuntutan era reformasi. Sedikitnya ada lima undang-undang yang berhasil dia garap dalam periode pertama kepemimpinannya; UU No. 1 tahun 1985 tentang Pemilu UU No. 2 tahun 1985 tentang Susduk MPR/DPR UU No. 3 tahun 1985 tentang Sistem Kepartaian UU No. 4 tahun 1985 tentang Pengaturan Antisubversif. UU No. 5 tahun 1985 tentang Organisasi Massa di Indonesia. Secara otomatis, dengan berubahnya system penyelenggaraan pemilu, system kepartaian serta Susduk MPR/DPR, banyak tokoh yang mencoba ‘mengadu nasib’ dengan mendirikan partai-partai baru untuk bertarung dalam pemilihan umum yang akan berlangsung pada tahun 1999. Setidaknya ada 148 partai politik yang telah mendaftarkan diri untuk menjadi kontestan dalam pemilu 1999 setelah terjadinya perubahan undang-undang system kepartaian. Namun setelah melalui proses verifikasi oleh Tim Sebelas (Nurcholis Madjid, Miriam Budiardjo, Adi Andojo Suetcipto, Mulyana W. Kusumah, Kastorius Sinaga, Eep Safulloh Fatah, Rama Pratama, Adnan Buyung Nasution, Affan Gafar dan Anas Urbaningrum), hanya 48 partai yang dinyatakan lolos verifikasi dan mendapatkan tiket untuk mengikuti pemilihan umum tahun 1999 dengan bukti surat keputusan Mendagri selaku
ketua Lembaga Pemilihan Umum (LPU) No. 3 tahun 199933. Membuka lembaran politik baru bagi pemerintahan BJ. Habibie tidak hanya berpengaruh di internal bangsa, dengan banyaknya partai yang hendak turut bertarung di pemilu yang mencapai angka hingga 148 partai, ini adalah jumlah partai terbesar sepanjang sejarah Indonesia. Namun tidak hanya partai saja yang over quote, dalam pelaksanaan pemilu 1999 mendapatkan perhatian yang luar biasa dari dunia intenasional. Hal ini dapat dibuktikan dari banyaknya pihak luar negeri yang ikut serta meramaikan pesta demokrasi dengan mengambil peran sebagai peneliti, pengawas (pemantau) serta pengamat politik. Lembaga-lembaga pemantau pemilu yang terdaftar di KPU dari luar negeri mencapai 20 lembaga/organisasi dan dari dalam negeri sendiri, lembaga pemantau mencapai angka 119 lembaga resmi. Selain itu, tidak kurang dari 13 perwakilan Kedutaan Besar, lembaga dari dalam negeri antara lain KIPP (Komite Independent Pemantau Pemilu), Forum Rektor, Unfrel (University Network for Free Election), Jampi (Jaringan Masyarakat Pemantau Pemilu) Jappin (Jaringan Pesantren Pemantau Pemilu), IJTI (Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia), PWI Reformasi, Namfrel (National Citizens Movement for Free Election) dari Filipina dan Carter Center. Jumlah pemantau asing yang terdaftar di KPU sebanyak 515 orang. Sedangkan jumlah pengamat dari Kedutaan Jepang, Amerika, Inggris, Kanda, Prancis dan Australia sebanak 139 orang34. Secara umum, pelaksanaan pemilu 1999 dinilai oleh sejumlah lembaga pemantau pemilu independent, baik dari dalam maupun luar negeri, sudah jauh lebih baik dan memenuhi syarat sebagai “free and fair election” di bandingkan dengan pemilu yang diselenggarakan oleh 33 Bahrul Ulum, op.cit, hal .154 34 Bahrul Ulum, op.cit, hal. 154-155
pemerintahan Orde Baru. Namun demikian, itu bukan berarti pemilu 1999 bebas dari kecurangan. Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) sempat mengadakan jajak pendapat terhadap hasil dari pemilu 1999. Dari jajak pendapat yang bersifat acak tersebut, ternyata masyarakat cenderung ragu bahwa partai-partai politik yang ada akan memenuhi komitmennya pada kepentingan masyarakat setelah pemilu usai. Mereka bercermin pada pemilu 1999 yang dinilai hasilnya tak memuaskan. Karena itu, menjelang pemilu legislatif yang digelar 5 April 2004 lalu, masih banyak masyarakat yang belum menentukan pilihannya (undecided voter). Jajak pendapat tersebut menemukan fakta bahwa angka undecided voter cukup tinggi, berkisar antara 35% hingga 60% dari seluruh partai berdasarkan perbandingan pemilu 1999. Jajak pendapat tersebut juga mencatat 60% responden menyatakan tidak puas dengan hasil pemilu 1999. 43% responden menyatakan tidak yakin, sedangkan 24% tak punya pendapat apa-apa. Hanya 33% yang berpikiran sebaliknya, bahwa pemilu 2004 akan membawa perubahan. Sebagian responden juga tak melirik partaipartai baru yang bermunculan pasca 1999. Sebanyak 74% responden yang rata-rata berusia 17 tahun atau sudah menikah itu ternyata tidak dapat menyebutkan partai-partai baru tersebut35. PKB sebagai representasi politik Nahdlatul Ulama, ternyata juga mampu menembus angka yang sama sekali tidak terduga, PKB bertengger di urutan ke-3 dalam pelaksanaan pemilu kali ini dengan meraup suara sekitar 13 juta suara. Sebagai pemenangnya adalah PDIP yang meraih 35.689.073 suara atau 33,74 persen dengan perolehan 153 kursi. Golkar memperoleh 23.741.758 suara atau 22,44 persen sehingga mendapatkan 120 kursi atau kehilangan 205 kursi dibanding 35 M. Misbachul Mujib, M.Hum, Pemilu Indonesia Fakta dan Optimisme terhadap Idealita, Makalah untuk syarat Calon Anggota KPU Bantul, 20 Agustus 2008
Pemilu 1997. PKB dengan 13.336.982 suara atau 12,61 persen, mendapatkan 51 kursi. PPP dengan 11.329.905 suara atau 10,71 persen, mendapatkan 58 kursi atau kehilangan 31 kursi dibanding Pemilu 1997. PAN meraih 7.528.956 suara atau 7,12 persen, mendapatkan 34 kursi. Di luar lima besar, partai lama yang masih ikut, yakni PDI merosot tajam dan hanya meraih 2 kursi dari pembagian kursi sisa, atau kehilangan 9 kursi dibanding Pemilu 199736. Tidak seperti pada pemilihan umum yang diselenggarakan oleh pemerintah Orde Baru, pada Pemilihan Umum kali ini tidak menghasilkan
kekuatan
tunggal
mayoritas
(Single
Majority).
Komposisi hasil pemilu itu, memaksa kekuatan-kekuatan politik untuk melakukan
koalisi
antar
partai
dalam
rangka
memenangkan
pertarungan-pertarungan politik di Sidang Umum MPR. Bacaan koalisi telah banyak muncul ditengah para pengamat politik. Disamping itu, massa fanatic juga telah turut serta menyumbangkan peranannya dalam upaya koalisi antar partai. Misalnya, pendukung fanatic dari Megawati Soekarno Putri yang merupakan ketua umum PDI-P, mengadakan aksi cap jempol darah sebagai dukungan kepada Megawati untuk duduk sebagai presiden. Kekuatan lain yang muncul dari partai Golkar yang menjagokan BJ. Habibie dengan ancaman dari rakyat Makassar yang akan merdeka bila BJ. Habibie tidak terpilih. Dua kubu saling mengandalkan
kekuatannya,
karena
disamping keduanya tokoh yang paling berpengaruh di tingkat nasional, juga karena partai yang mengusungnya merupakan partai pemenang pemilu urutan pertama dan kedua. Keduanya saling menggalang kekuatan koalisi untuk memenangkan dirinya dalam Sidang Umum MPR.
36 The Asian Network for Free Election (ANFREL), A Decade of Democracy in Indonesia: 2009 Free Election, Report of International Election Observation Mission, 2009, hal. 34
Ide cerdas kemudian muncul dari para politisi Islam, dari dua kekuatan besar yang ada, tentu akan lebih menarik lagi apabila muncul satu kekuatan pembanding dari poros tengah, yakni koalisi antar partai Islam. Ide cemerlang ini kemudian menjadi wacana serius di kalangan politisi, bahkan mencuri perhatian Megawati dan Habibie. Kesadaran menciptakan poros tengah ini berangkat dari kenyataan bahwa Habibie merupakan kandidat yang masih kontroversi di tengah Golkar sendiri karena banyak calon lain dari partai Golkar yang juga ingin maju. Sementara Megawati tidak mempunyai dukungan terbuka dari partai politik lain. Premis dasar inilah yang kemudian memunculkan statement every body’s game yang akhirnya memunculkan kekuatan poros tengah. Kekerasan benturan yang terjadi antara kubu Megawati dan kubu Habibie membuat para politisi di poros tengah berfikir tajam untuk memunculkan calon alternative. Usul cerdas muncul dari Amien Rais, Politisi Partai Amanat Nasional (Representasi dari massa Muhammadiyah) adalah mengajukan Abdurrahman Wahid sebagai calon presiden dari poros tengah, menurut Amien Rais, Abdurrahman Wahid adalah tokoh yang paling tepat karena kelihaian, kecerdasan serta kemampuan luar biasa dalam menciptakan surprise politik. Lebih jauh, Amien mengatakan bahwa Abdurrahman Wahid merupakan calon yang memiliki criteria terbaik di antara yang terjelek (the best among the worst). Kemunculan Abdurrahman Wahid yang dijagokan oleh Amien Rais ternyata tidak berjalan mulus, perdebatan sengitpun terjadi dikalangan poros tengah sendiri. Matori Abdul Jalil, ketua umum Partai
Kebangkitan
Bangsa
menuduh
Amien
Rais
hendak
‘mendompleng’ menduduki RI-2 dari kekuatan yang dimili oleh Abdurrahman Wahid, sementara politisi PKB lainnya, AS Hikam, pencalonan ini dianggap tidak masuk akal. Lebih jauh, secara tegas
Yusril Ihza Mahendra, Politisi Partai Bulan Bintang, mengatakan bahwa pencalonan Abdurrahman Wahid sebagai presiden adalah keputusan Amien Rais sendiri, bukan merupakan keputusan poros tengah37. Abdurahman Wahid sendiri ternyata belum mengambil keputusan mengenai dicalonkannya dirinya oleh Amien Rais. Tetapi dengan getolnya, Amien Rais tetap memperjuangkan pencalonan Abdurrahman Wahid sebagai presiden. Dalam pengajian bersama antara Pemuda Muhammadiyah dengan GP Ansor di kantor PP Muhammadiyah, Amien Rais kembali menegaskan dukungannya kepada Abdurrahman Wahid. Sebagaimana tradisi Nahdlatul Ulama, para ulama kemudian mengadakan pertemuan, beberapa kali pertemua yang diadakan, mereka masih ragu terhadap pencalonan yang diajukan oleh Amien Rais atas nama poros tengah. Untuk meyakinkan keseriusan poros tengah, tokoh-tokoh politik dari poros tengah kemudian mengadakan pertemuan dengan para ulama-ulama Nahdlatul Ulama. Pertemuan itu antara lain berlangsung di Pesantren Langitan, Jawa Timur, Rumah Abdurrahman Wahid, Jakarta Selatan, dan di Buntet, Jawa Barat. Abdurrahman
Wahid
yang
masih
bimbang
dengan
keputusannya, akhirnya diyakinkan oleh pamannya, KH. Yusuf Hasyim. Dengan berbekal ‘restu’ dari pamannya itu, Abdurrahman Wahid akhirnya menerima pinangan dari Poros Tengah. Kesediaannya menjadi calon presiden pertama kali digelar dalam acara yang diadakan oleh BM PAN di Hotel Arya Duta. Sayangnya, kesediaan Abdurrahman Wahid menerima lamaran menjadi calon presiden dari Poros Tengah tidak mendapatkan dukungan dari partai yang dibidaninya, PKB. PKB justru mengadakan koalisi dengan PDI-P untuk mengusung Megawati. 37 Bahrul Ulum, op.cit, hal. 161
Kekuatan poros tengah semakin tajam, apalagi dengan kemenangan Amien Rais yang merupakan tokoh poros tengah dalam pemilihan ketua MPR. Kekuatan gabungan Poros Tengah berhasil mengalahkan koalisi PDI-P dan PKB. Tidak hanya itu, Poros Tengah juga berhasil memukul PDI-P dan PKB untuk kedua kalinya pada pemilihan ketua DPR. Poros Tengah mendukung Akbar Tandjung, politisi senior dari Partai Golkar. Karena menderita kekalahan yang bertubi-tubi, akhirnya PKB mulai berpaling dari PDI-P. Salah satu kebijakan yang diambil oleh PKB adalah kembali mendukung Abdurrahman Wahid dan bergabung bersama Poros Tengah. Presiden BJ. Habibie, yang juga merupakan kandidat dari Partai Golkar, justru mengalami nasib yang kurang beruntung. Laporan pertanggungJawaban jabatannya sebagai presiden selama 512 hari ditolak oleh Sidang Umum MPR. Berkaca pada ditolaknya laporan pertanggungJawaban yang ia bacakan, BJ. Habibie dengan sportif menarik diri dari pencalonan sebagai Presiden RI. Pengunduran diri Habibie sebagai calon presiden dari Partai Golkar semakin memperlebar konflik antara PDI-P dengan Poros Tengah. Perebutan kursi presiden antar dua kubu ini semakin panas. Hingga saat yang paling menegangkan untuk kedua kubu ini terjadi, tepatnya tanggal 20 Oktober 1999, suasana pemilihan presiden begitu menegangkan. Hasil akhirnya, Poros Tengah mengantongi 373 suara dengan kandidat Abdurrahman Wahid, sedangkan kekuatan PDI-P dengan kandidat Megawati Soekarno Putri hanya mampu mengantongi 313 suara. Suara lain, 9 Abstain dan 4 suara dinyatakan tidak sah. Dari hasil pemilihan, Abdurrahman Wahid terpilih menjadi presiden RI, pendukungnya menyambut kemenangan Abdurrahman Wahid dengan mengumandangkan shalawat badar, “lagu kebangsaan Nahdlatul
Ulama”.
Abdurrahman
Wahid
sendiri,
kemudian
mengangkat tangan Megawati Soekarno Putri meneriakkan “Merdeka” dan menyampaikan ucapan terima kasih kepada Megawati serta menyerukan agar Megawati dan pendukungnya agar dilindungi38. Kemenangan Abdurrahman Wahid sebagai presiden RI ke-4 tidak hanya kemenangan untuk dirinya sendiri, melainkan kemenangan untuk ‘kaum bersarung’ dan warga Negara secara keseluruhan. Berbagi bentuk tasyakur atas kemenangan kader Nahdlatul Ulama itu hampir ditiap kantong-kantong Nahdlatul Ulama seperti di Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat serta daerah kantong lainnya. Sisi lain, kemenangan ini juga berhasil mengangkat citra Nahdlatul Ulama dalam konstelasi perpolitikan nasional, dimana selama pemerintahan Orde Baru Nahdlatul Ulama selalu mendapatkan marginalisasi dari penguasa, saat ini Nahdlatul Ulama telah berhasil menunjukkan taringnya sebagai organisasi yang benar-benar memiliki kemampuan diberbagai sector kehidupan. Di dalam tubuh Nahdlatul Ulama sendiri, kemenangan Abdurrahman Wahid justru memecah Nahdlatul Ulama kedalam beberapa faksi yang saling bertentangan. Ketua Lakpesdam saat itu, Ulil Abshar Abdalla mengkategorikan faksi dalam tubuh Nahdlatul Ulama menjadi 3 faksi utama. Faksi pertama adalah faksi politik yang diwakili oleh para politisi Nahdlatul Ulama, yakni faksi elite Nahdlatul Ulama yang bersentuhan langsung dengan politik yang bergelut di PKB. Kedua, faksi Kyai, yakni faksi yang tidak langsung bersentuhan dengan dunia politik tetapi tidak mengharamkan berpolitik, tujuan mereka yang penting Nahdlatul Ulama tetap berada pada jalurnya sebagai organisasi sosial keagamaan tanpa tersentuh dengan unsur politik. Ketiga, faksi muda Nahdlatul Ulama, faksi ini adalah faksi yang paling concern dalam pemikiran dan kajian. Kebanyakan dari faksi ketiga ini adalah para aktivis muda Nahdlatul Ulama yang duduk 38 Bahrul Ulum, op.cit hal. 166
diberbagai organisasi yang memiliki hubungan baik langsung atau tidak langsung dengan Nahdlatul Ulama. Mereka praktis menjauhi dunia politik dan berkonsentrasi pada pengembangan pemikiran KH. Abdurrahman Wahid, terutama dalam hal pemikiran sosial dan agama.39 Di faksi pertama sendiri, faksi para elite Nahdlatul Ulama yang berada di jalur politik, konflik terus terjadi, terutama para elite yang merasa tidak puas dengan keberadaan PKB. Muncul partai yang ‘berlabel’ Nahdlatul Ulama seperti PKU, Partai SUNI dan PNU. Konflik sejarahpun tetap terulang, dimana konflik dengan PPP masih tersisa, para politisi PPP yang dari Nahdlatul Ulama tetap masih terkesan vis a vis dengan Abdurrahman Wahid. Pada muktamar Nahdlatul Ulama ke-XXX di Lirboyo, Kediri, Jawa Timur, November 1999, Abdurrahman Wahid secara resmi dan sesuai prosedur yang berlaku dalam tata administratif Nahdlatul Ulama telah selesai masa jabatannya dari Ketua Umum PBNU. Abdurrahman Wahid yang telah menduduki kursi kepresidenan kemudian menyerahkan kepada muktamirin untuk memberikan masukan,
usulan
atau
kritikan
terhadap
pemerintahan
yang
dipimpinnya saat ini. Hasil dari muktamar yang cukup panas ini, melahirkan kepemimpinan baru dalam tubuh Nahdlatul Ulama, yakni di tangan KH. Hasyim Muzadi dan Rais Am dipegang oleh KH. Sahal Mahfudz. Duet kepemimpinan ini pada awalnya sangat harmonis, meskipun pada nantinya keduanya banyak terlibat konflik langsung terkait dengan pandangan politik. Abdurrahman Wahid selama menjadi presiden seringkali bersebrangan dengan ketua PBNU, KH. Hasyim Muzadi. Terutama 39 Bahrul Ulum, op.cit, hal. 182-183
tentang cara pandang Abdurrahman Wahid yang seringkali ‘nyeleneh’. KH. Hasyim Muzadi memandang apa yang dilakukan oleh Abdurrahman Wahid sebagai tindakan yang tidak mencerminkan kader Nahdlatul Ulama yang baik, karena sering kali mengeluarkan statement yang kontroversial. Bahkan, melalui Forum Kyai Langitan, KH. Hasyim Muzadi memberikan kritikan tajam untuk Abdurrahman Wahid tentang tindakan kontroversialnya itu. Tidak hanya dari tubuh Nahdlatul Ulama yang mengalami kegelisahan mengenai tindakan Abdurrahman Wahid yang sangat controversial, tetapi juga di jajaran legeslatif. Mayoritas anggota DPR telah
menandatangani
penggunaan
hak
angket
untuk
dapat
melengserkan Abdurrahman Wahid dari kursi kepresidenan. Kasus yang digulirkan adalah mengenai buloggate dan bruneigate. Pada Sidang Tahunan MPR Agustus 2000, anggota DPR yang telah bersepakat menggunakan hak angketnya akan memperjuangkan pencabutan mandat yang diberikan MPR kepada presiden dan menyerahkan jabatan presiden untuk sementara waktu kepada wakil presiden sampai pemilu berlangsung. Upaya yang dilakukan oleh DPR ternyata membuat gerah warga Nahdlatul Ulama diberbagai tingkatan, bahkan KH. Hasyim Muzadi yang sebelumnya telah banyak mengkritik sepak terjang Abdurrahman Wahid kini memposisikan diri sebagai pembela. Ia banyak memberikan pembelaan terhadap Abdurrahman Wahid dalam kapasistasnya sebagai kader Nahdlatul Ulama melalui media massa. Sayangnya, pembelaan yang dilakukan oleh KH. Hasyim Muzadi tidak mendapat respon positif dari Abdurrahman Wahid, namun justru sebaliknya. Abdurrahman Wahid tidak terlihat ada perbaikan dalam kinerjanya, tetapi malah tambah merosot. Melihat posisi politik yang sedemikian parahnya itu, Amien
Rais, promotor utama yang mengusung Abdurrahman Wahid sebagai presiden kemudian mengeluarkan statemen yang semakin memanaskan situasi politik, “Biar saya dihujat sebagai orang yang bertanggung Jawab mempresidenkan Abdurrahman Wahid. Saya hanya ingin menebus dosa atas pilihan yang keliru tempo hari itu. Karena itu Abdurrahman Wahid tidak perlu bertahan lebih lama, demi kutuhan bangsa”40. Praktis pernyataan yang sangat controversial itu disambut dengan kemarahan yang luar biasa dari warga Nahdlatul Ulama. Tidak hanya
menyalahkan
Amien
Rais
saja,
melainkan
institusi
Muhammadiyah dan PAN. Pendukung Abdurrahman Wahid dari Jawa Timur, Jawa Tengah dan Jawa Barat telah bersiap untuk membela Abdurrahman Wahid. KH. Cholil Bisri, mengatakan, “Kalau Abdurrahman Wahid dipaksa turun, santri pendukungnya akan bertindak, dan bila massa pesantren itu bertindak, gesekan antara Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah tak terhindarkan. Karena itulah, saya berusaha menepis upaya massa mengidentifikasi Amien Rais dengan Muhammadiyah”41 Konflik ini memaksa KH. Hasyim Muzadi yang juga ketua PBNU turun tangan. KH. Hasyim Muzadi setelah meminta restu dari Kyai Langitan42 mengadakan safari keliling guna menyelamatkan kepemimpinan Abdurrahman Wahid dari upaya impactment
yang
dilakukan oleh Amien Rais dan kelompoknya. Safari pertama, ia mengunjungi Abdurrahman Wahid untuk menyampaikan pesan-pesan dari para kyai di Jawa Timur, selanjutnya ia mendatangi Megawati Soekarno Putri, kemudian Syafi’i Ma’arif, ketua Pimpinan Pusat 40 http://www.gatra.com/2000-10-26/versi_cetak.php?id=641, Gus Dur di desak Mundur, Edisi 4 November 2000, hal 25 41 Ibid, hal. 24 42 Forum ulama-ulama sepuh NU yang merupakan forum tertinggi secara cultural di dalam tubuh Nahdlatul Ulama. Di dalamnya terdapat kyai-kyai khash yang dijadikan patokan petuah.
Muhammadiyah untuk meminta dukungan agar Abdurrahman Wahid tetap diberi kesempatan untuk memimpin bangsa ini. Selain safari, KH. Hasyim Muzadi juga memberikan statement: ”Jika Abdurrahman Wahid dimundurkan, karena didasarkan pada desakan-desakan, baik perorangan maupun kelompok, akan semakin memicu polarisasi masyrakat. Tapi apakah Abdurrahman Wahid saja yang bisa di desak mundur? Apakah Amien Rais atau Akbar Tandjung tidak bisa didesak mundur juga? Kalau sekarang timbul gelombang meminta Abdurrahman Wahid mundur, lalu bagaimana jika nanti ada desakan agar Amien Rais dan Akbar Tandjung mundur. Kalau negara sudah seperti ini, maka akan kacau. Karena itu, berilah kesempatan kepada Abdurrahman Wahid satu periode ini. Kalau dia keliru, mari sama-sama meluruskan, dikritik atau diingatkan. Sebab dia memimpin Negara yang dimiliki oleh orang banyak. Jadi kritikan terhdap Abdurrahman Wahid jangan dipasung, tapi jangan pula diturunkan”43. Gelombang meminta Abdurrahman Wahid turun telah sampai puncaknya pada tanggal 23 Juli 2001. Saat itu, Sidang Istimewa dilangsungkan dengan agenda pencabutan mandat MPR kepada Abdurrahman Wahid sebagai kepala negara. Dalam sidang itu pula, jabatan presiden setelah dicabutnya mandat diserahkan kepada wakil presiden
Megawati
Soekarno
Putri
untuk
menjalankan
roda
pemerintahan sampai pemilu diselenggarakan. Putusan sidang istimewa MPR tersebut berujung pada konflik yang luar biasa, barisan pendukung Abdurrahman Wahid turun ke Ibukota dari seluruh penjuru tanah air, mereka memberi nama barisan ini dengan Pasukan Berani Mati. Pasukan besar yang dipimpin oleh KH. Nuril Arifin (Gus Nuril), pengasuh pondok pesantren Soko Tunggal, Semarang, Jawa Tengah ini telah berikrar dengan seluruh 43 Bahrul Ulum, op.cit, hal. 200
pasukkannya bahwa mereka rela mengorbankan nyawa mereka demi pemimpin mereka. Dari Kabupaten Wonosobo sendiri, jumlah pasukan berani mati yang dikirim ke Jakarta sejumlah 99 orang dipimpin oleh Kyai Achmad Fadlun Zuhri (Gus Fadlun), mereka berangkat atas restu dan ‘jaminan’ dari Mbah Natsir, Stieng, Kejajar. Menurut penuturan Achmad Fadlun Zuhri, kekuatan Pasukan Berani Mati saat itu hampir mencapai 500 ribu orang. Angka ini diperoleh dari jumlah bus yang disewa untuk perjalanan ke Jakarta sejumlah 150 bus besar, kebanyakan mereka dari Jawa Timur. Di Jakarta mereka menempati Asrama Haji Pondok Gede, Kantor Ansor dan beberapa tempat lainnya. Keberadaan Pasukan Berani Mati membuat aparat mengalami kerepotan. Disamping jumlah mereka yang sangat besar, kedatangan mereka juga disertai tekad untuk berjuang meskipun dengan taruhan nyawa. Kemungkinan, menurut, Fadlun, seandainya terjadi bentrok dengan aparat, Pasukan Berani Mati kemungkinan menang lebih, soalnya selain di dukung dengan tekad mereka yang bulat, juga mereka dibekali dengan kekuatan yang tidak kasat mata. “Menang mungkin, tapi kita kan satu komando, jadi tidak mungkin bertindak ceroboh, kemungkinan bisa menang, PBM dibekali dengan kekuatan yang tidak kelihatan oleh mata” tuturnya.44 Seluruh pasukan berani mati telah berkumpul di Bundaran HI dengan kawalan ketat aparat keamanan. Rencana mereka akan mengadakan longmarch ke Senayan. Namun ditengah perjalanan, mereka dihentikan oleh para Kyai Sepuh termasuk Mbah Idris Lirboyo untuk menghentikan aksi mereka. KH. Nuril Arifin, panglima pasukan berani mati menuturkan, sehari sebelum dilaksanakan istighatsah akbar
pasukan yang
44 Hasil Wawancara melalui telephone dengan Kyai Achmad Fadlun Zuchri, Komandan pasukan berani mati Wonosobo, pada tanggal 26 September 2009, pukul 16.53.
dipimpinnya dibubarkan atas insturksi dari PBNU ''Kami ini patuh pada kiai dan ulama. Begitu Kiai Hasyim Muzadi (Ketua Umum PBNU) perintah agar PBM bubar, kami tidak usah bertanya apa alasannya, ya kami ikuti perintah itu,'' katanya45. Pertimbangan untuk membubarkan Pasukan Berani Mati justru berasal dari kalangan kyai sepuh, fungsionari PBNU dan Abdurrahman Wahid sendiri. Dikhawatirkan apabila Pasukan Berani Mati dibiarkan menjalankan aksinya, yang terjadi adalah kondisi negara semakin kacau. Aparat dikhawatirkan tidak akan mampu membendung amukan massa dari Pasukan Berani Mati. Untuk menjaga kemaslahatan bersama, para Kyai sepuh bersama dengan fungsionari PBNU akhirnya bersepakat untuk menginstruksikan agar PBM dibubarkan. PBM sendiri adalah organisasi taktis yang dibentuk karena solidaritas dan dukungan pada Abdurrahman Wahid dan bukan keputusan resmi PBNU, namun seluruh PBM adalah warga Nahdlatul Ulama, sehingga yang dapat menghentikan aksi mereka hanyalah kyai sepuh dan atau PBNU. Pasca pelengseran Abdurrahman Wahid sebagai presiden dan digantikan oleh Megawati Soekarno Putri yang bersanding dengan Hamzah Haz (dari PPP), kondisi Nahdlatul Ulama semakin hari kian tambah parah. Konflik di internal semakin banyak. Konflik yang terus menerus akhirnya berujung pada menjelang pemilu tahun 2004 dimana Abdurrahman Wahid memecat Matori Abdul Djalil. Pemecatan dilakukan karena Matori dianggap penghianat. Dengan pemecatan itu, Matori tidak tinggal diam, dia melakukan perlawanan secara politis dengan Abdurrahman Wahid dan perlawanan melalui jalur hukum meskipun akhirnya kalah. Kekalahan Matori Abdul Djalil, baik secara politik ataupun 45 http://www.hamline.edu/apakabar/basisdata/2001/04/28/0037.html, Di download pada 26 September 2009, pukul 17.15
secara hukum berujung pada pembentukan partai baru yang dia gagas untuk menandingi PKB di pemilu 2004, partai yang ia dirikan bernama Partai Kejayaan Demokrasi (PKD). Namun, partai tersebut ternyata gagal menjadi peserta pemilu 2004. Konflik dengan Matori Abdul Djalil terbukti cukup berpengaruh terhadap suara PKB di pemilu 2004. Suara PKB yang sebelumnya di Pemilu 1999 mampu meraup angka 13.336.982 suara pemilih dengan posisi di tiga besar, pada pemilu 2004 PKB kehilangan suara hingga 1.347.418 suara menjadi 11.989.546 suara. Atau sekitar 2% suara PKB hilang karena konflik yang terjadi. Di luar PKB, Kondisi Nahdlatul Ulama tidak kalah memprihatinkan. Tiga kader Nahdlatul Ulama sekaligus maju bersama menjadi calon wakil presiden, ketiga calon adalah KH. Salahudin Wahid (adik kandung Abdurrahman Wahid) yang berpasangan dengan Wiranto, KH. Hasyim Muzadi (Ketua PBNU) yang berpasangan dengan Megawati Soekarno Putri dan HM. Jusuf Kalla yang berpasangan dengan Susilo Bambang Yudhoyono. Sementara yang mencalonkan diri menjadi presiden adalah Hamzah Haz yang berpasangan dengan Agum Gumelar. Namun diantara keempat kader Nahdlatul Ulama yang bertarung dalam pilpres 2004, yang paling disorot adalah pencalonan yang dilakukan oleh KH. Hasyim Muzadi, pasalnya, selain dia sedang menjabat sebagai ketua umum PBNU, dia juga tidak memiliki partai politik yang mengusung, sehingga praktis, bacaan politik public langsung mengarahkan bahwa tujuan dari KH. Hasyim Muzadi maju adalah, Megawati ingin menggunakan suara massa Nahdlatul Ulama. Megawati-Hasyim Muzadi berhasil meraup 31.569.104 suara dan dapat bersaing dengan SBY-Kalla dengan suara sejumlah 39.838.184 pada babak kedua Pilpres 2004. Pada putaran kedua
pilpres, suatu kebahagian bagi kalangan tertentu di dalam Nahdlatul Ulama, yang berhasil mengangkat ketua PBNU masuk dalam putaran kedua pilpres, yang artinya, selangkah lagi menuju kursi RI-2. Tetapi, hasil pada pilpres putaran kedua tidak seperti yang sebagaimana diharapkan, Suara Mega-Hasyim tidak mampu menungguli suara SBY-Kalla. Sehingga praktis, pukulan telak bagi Nahdlatul Ulama yang mengalami kekalahan beruntun. Pasca konflik berkepanjangan antara Matori Abdul Djalil sebagai ketua PKB pertama, disusul kemudian konflik PKB jilid II, yang juga dengan ketua umum PKB kedua, Alwi Shihab. Konflik ini sama posisinya dengan konflik kedua, hanya saja dalam konflik ini agak lebih luas, Abdurrahman Wahid dibantu oleh Muhaimmin Iskandar dan Alwi Shihab dengan Saefullah Yusuf. Keduanya sempat mengadakan muktamar luar biasa dan menggalang kekuatan dari kalangan kyai. Namun akhirnya, keputusan pengadilan memenangkan kubu Abdurrahman Wahid-Muhaimmin Iskandar dan memecat Alwi Shihab dan Saefullah Yusuf dari Ketua Umum dan Sekjen. Konflik ini ternyata tidak berhenti sampai disitu saja, kekalahan kubu Alwi Shihab oleh para pendukungnya dianggap sebagai kesalahan besar Abdurrahman Wahid. Perpecahan terjadi tidak hanya di kalangan elite poltik saja, melainkan merayap hingga para ulama langitan terpanggil untuk menyelesaikan konflik yang berkepanjangan ini. PBNU sendiri juga telah berupaya untuk menjadi mediator, namun hasilnya gagal. Kubu Alwi Shihab, KH. Chaerul Anam dan beberapa politisi lain akhirnya menggandeng kyai Langitan untuk mendirikan partai baru untuk menandingi kekuatan PKB, dari hasil pertemuan antar ulama dan politisi, lahirlah PKNU (Partai Kebangkitan Nasional Ulama). Para ulama melahirkan PKNU setelah melalui istikhoroh
(memohon petunjuk Allah SWT) dan ijtihad politik dalam bentuk serangkaian pertemuan. Sebelum kelahiran PKNU disepakati di Langitan, didahului dengan pertemuan di Pondok Pesantren Al-Falah, Ploso, Mojo, Kediri, Jawa Timur, pada tanggal 10 Nopember 2006. Ihwal pendirian partai politik baru sejatinya sudah disepakati oleh semua kiai/ulama dalam rapat hari Rabu tanggal 6 September 2006 di Graha Astra Nawa, Jl Gayungsari Timur, Surabaya. Rapat ini memberikan mandat kepada KH. Abdullah Faqih (Langitan, Widang, Tuban) dan KH. Abdurrochman Chudlori (Tegalrejo, Magelang). Tugasnya mempersiapkan pendirian partai baru sekaligus melakukan istikhoroh guna memperoleh isyaroh atau petunjuk-petunjuk dari Allah SWT. KH. Abdullah Faqih dan KH. Abdurrochman Chudlori kemudian mengembangkan menjadi Tim 9 pada pertemuan di Pondok Pesantren Langitan, Widang, Tuban, hari Kamis tanggal 14 September 2006. Tim 9 berkembang menjadi Tim 17 dalam rapat hari Jum’at tanggal 21 September 2006 di Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri, dan dilengkapi dengan Tim 13 Asistensi. Kemudian dilanjutkan dengan Pertemuan kiai-kiai kharismatik yang dibagi dalam dua forum. Forum pertama digelar terbuka di Aula Pondok Langitan. Forum ini untuk menjaring keinginan kiai dan tokoh NU yang tak tergabung dalam Tim 17. Di antara kiai sepuh yang hadir, KH Abdurrahman Chudlori (Magelang), KH Ma'ruf Amin, KH Mas Subadar (Pasuruan), KH Muhaiminan Gunardo (Temanggung), KH Nurul Huda Jazuli (Kediri), KH Idris Marzuki (PP Lirboyo Kediri), KH Sholeh Kosim (Sidoarjo) dan kiai sepuh lainnya yang tergabung dalam Tim 17, tim yang merumuskan dan menggodok partai baru. Forum kedua digelar tertutup di ruang belakang Pondok Langitan. Pertemuan itu hanya diikuti Tim 17. Agendanya, kesepakatan pembentukan partai baru, nama dan asas partai, AD/ART partai, lagu atau mars partai, struktur
kepengurusan di tingkat nasional dan daerah, serta lainnya. "Para ulama sepakat menggunakan nama PKNU. Keputusan ini telah melalui berbagai pertimbangan. Dalam rumusan parpol yang sudah didaftarkan ke Departemen Hukum dan HAM itu, Susunan kepengurusan PKNU terdiri dari dewan mustasyar, dewan syuro dan dewan tanfidz. Fungsi dari dewan mustasyar salah satunya adalah memiliki kewenangan di dalam menyelesaikan berbagai persoalan dan mengantisipasi apabila ada persoalan di internal partai. Sementara logo PKNU warna dominan hijau, terdapat bintang 9 beserta bola dunianya. Serta ada warna merah dan putih sebagai lambang bendera Indonesia. Rencana
pendirian
partai
baru
ini,
didasarkan
pada
pertimbangan panggilan hati nurani para kiai dan besarnya aspirasi rakyat bawah, yang menghendaki perlunya wadah politik warga NU. PKNU lahir pada hari Selasa tanggal 21 Nopember 2006 di Pondok Pesantren Langitan, Widang, Tuban, Jawa Timur. Kelahiran PKNU disepakati melalui akad dan mufakat (ittifaq) sejumlah ulama yang oleh masyarakat dikenal mempunyai integritas keilmuan dan bermoral dalam pertemuan Tim Tujuh-Belas. Tim Tujuh-Belas yang melahirkan PKNU merupakan representasi para ulama dari Nahdlatul Ulama (NU). Mereka antara lain KH. Abdullah Faqih (Langitan, Tuban, Jawa Timur), KH. Ma’ruf Amin (Tenara, Banten), KH. Abdurrochman Chudlori (Tegalrejo, Magelang, Jawa Tengah), KH. Ahmad Sufyan Miftahul Arifin (Panji, Situbondo, Jawa Timur), KH. M. Idris Marzuki (Lirboyo, Kediri, Jawa Timur), KH. Ahmad
Warson
Munawwir
(Krapyak,
DI
Jogjakarta),
KH.
Muhaiminan Gunardo (Parakan, Temanggung, Jawa Tengah), KH. Abdullah Schal (Bangkalan, Jawa Timur), KH. Sholeh Qosim (Sepanjang, Sidoarjo, Jawa Timur), KH. Nurul Huda Djazuli (Ploso,
Kediri, Jawa Timur), KH. Chasbullah Badawi (Cilacap, Jawa Tengah), KH. Abdul Adzim Abdullah Suhaimi, MA (Mampang Prapatan, DKI Jakarta), KH. Mas Muhammad Subadar (Besuk, Pasuruan, Jawa Timur), KH. A. Humaidi Dakhlan, Lc (Banjarmasin, Kalimantan Selatan), KH. M. Thahir Syarkawi (Pinrang, Sulawesi Selatan), Habib Hamid bin Hud Al-Atthos (Cililitan, DKI Jakarta), dan KH. Aniq Muhammadun (Pati, Jawa Tengah). Asas merupakan ciri khusus yang dapat membentuk karakter politik bagi sebuah partai. Bagi PKNU, asas Islam Ahlus Sunnah Wal Jamaah bermakna mendasar untuk membentuk karakter dan sikap politik yang moderat (tawassuthiyyah), toleran (tasammuhiyyah), reformatif (islahiyyah), dinamis (tathowwuriyyah), dan bermetode (manhajiyyah). Adapun prinsip perjuangan partai adalah lebih operasional, bagaimana mengaktualisasikannya dalam kehidupan nyata. Prinsip perjuangan PKNU adalah pengabdian kepada Allah SWT, menegakkan kebenaran dan keadlan, mewujudkan kebersamaan dan persaudaraan sejati sesuai dengan nilai-nilai Islam Ahlus Sunnah Wal Jamaah di dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Semoga "Dengan adanya partai baru ini diharapkan nantinya bisa menjadi wadah kepentingan orang NU dan mereka yang nasionalis muslim berfaham ahlu sunnah wal jamaah.46 Setelah konflik dengan kubu Alwi Shihab berakhir dengan pendirian partai baru, konflik selanjutnya terjadi justru dari internal partai, dimulai dari pemecatan ketua DPW PKB Jawa Tengah, Abdul Kadir Karding, S.Pi dan digantikan oleh KH. Yusuf Chudhori (Tegalrejo, Magelang) merembet pada konflik ditingkat pusat. Abdurrahman Wahid memecat Sekjen DPP PKB, Lukman Edi yang juga menjabat sebagai menteri pembangunan daerah tertinggal. 46 http://dpwpknuJawatengah.blogspot.com/2008/07/sumber.html, di download pada 26 September 2009, pukul 20.14 WIB.
Disusul kemudian, Abdurrahman Wahid memasang Yenni Zanuba Wahid (putri Abdurrahman Wahid) untuk menggantikan Lukman Edi di posisi Sekjen berpasangan dengan Muhaimmin Iskandar. Kekecewaan kubu Lukman Edi merambat pada konflik tingkat lanjut, kali ini giliran Muhaimmin Iskandar yang dipecat oleh Abdurrahman Wahid dari jabatan ketua umum. Muhaimmin yang sebelumnya telah mengenal sepak terjang Abdurrahman Wahid, terutama belajar dari konflik dengan kubu Alwi Shihab pada periode sebelumnya
setidaknya
telah
mengetahui
celah
kelemahan
Abdurrahman Wahid. Dalam posisi ini, pertarungan antara kubu Abdurrahman Wahid dengan Muhaimmin Iskandar semakin memanas, pertarungan ini membuat posisi PBNU merasa serba salah. PBNU telah berkali-kali mencoba memfasilitasi penyelesaian konflik yang terjadi, namun hasilnya tidak sesuai yang diharapkan. Konflik ini semakin luas, banyak DPW dan DPC yang berpengurus ganda, versi Muhaimin Iskandar dan versi Abdurrahman Wahid. Demikian halnya dengan daftar calon anggota legeslatif yang diusulkan untuk mengikuti pemilihan umum 2009. Calon ganda tidak terelakkan. Berkat kelihaian Muhaimin yang telah banyak belajar dari sepak terjang Abdurrahman Wahid, membuat konflik ini dimenangkan oleh Muhaimin Iskandar, praktis kubu Abdurrahman Wahid diberbagai tingkatan dibredel secara hukum. Caleg-caleg partai yang telah diusulkan dari kubu Abdurrahman Wahid banyak yang mengundurkan diri, untuk yang tidak mengundurkan diri, oleh kubu Muhaimin, caleg yang sebelumnya pendukung Abdurrahman Wahid ditempatkan di nomor urut yang kurang begitu menguntungkan. Alhasil dari konflik yang berkepanjangan ini membuat PKB semakin hancur. Hasil pemilu
2009 menunjukkan PKB berada pada jurang yang sangat memilukan, suaranya turun drastic hingga hampir mencapai 50% dari pemilu sebelumnya. Pada pemilu 2009 yang berlangsung pada 9 April 2009, PKB berada di urutan ke-7 dibawah PPP dan PAN. Partai Demokrat berada di urutan pertama dengan 21.703.137 suara (20,85%), di urutan kedua Partai Golkar dengan 15.037.757 suara (14,45%), posisi ketiga diambil oleh PDI P dengan 14.600.091 suara (14,03%), selanjutnya PKS dengan 8.206.955 suara (7,88%), PAN dengan 6.254.580 suara (6,01%),
PPP 5.533.214 suara (5,32%), PKB 5.146.122 suara
(4,94%), Gerindra 4.646.406 suara (4,46%), Hanura 3.922.870 suara (3,77 %). Total Suara Sah Nasional sejumlah 104.099.785 suara. Berikut tabelnya47;
47 http://mediacenter.kpu.go.id/, di download pada 26 September 2009 pada pukul 21.02
Kekalahan Nahdlatul Ulama tidak hanya terhenti pada pemilihan legeslatif 2009 saja, tetapi berlanjut pada tahapan selanjutnya di pemilihan presiden. Secara terbuka, KH. Hasyim Muzadi menyatakan dukungannya kepada kader Nahdlatul Ulama yang turut bertanding dalam pilpres, yakni H.M. Jusuf Kalla yang berpasangan dengan Wiranto. Kandidat lain adalah Megawati Soekarno Putri yang berpasangan dengan Prabowo Subiyanto serta Susilo Bambang Yudhoyono yang berpasangan dengan Boediono. Hasil pilpres 2009 kembali membuat ‘malu’ Nahdlatul Ulama, pasalnya calon yang dijagokan oleh ‘Nahdlatul Ulama’ (KH. Hasyim Muzadi) mengalami kekalahan, sementara calon yang didukung oleh PKB, PPP, dan kelompok politik Nahdlatul Ulama lainnya berhasil memenangi pilpres. Komisi Pemilihan Umum resmi menetapkan Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono sebagai pemenang Pemilu Presiden 8 Juli 2009. Pasangan ini meraih 73.874.562 suara (60,80 persen), jauh melampaui perolehan Megawati SoekarnoputriPrabowo Subianto (32.548.105 suara atau 26,79 persen) dan Jusuf Kalla-Wiranto (15.081.814 suara atau 12,41 persen)48.
48 http://www.ahmadheryawan.com/opini-media/sosial-politik/5748-menujupilpres-babak-kedua.html, di download pada 26 September 2009 pukul 21.30