AKHLAK PRIBADI III (MALU, IFFAH, TAWADHU DAN PEMAAF) Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Akhlak Dosen Pengampu: Drs, H. Zaini Munir, M.A.
Oleh : Kelompok 8 Auliya Cita Rahmawati
(1600001257)
Tri Utami Rahmawati
(1600001264)
Farhah Prihasti Anggraeni
(1600001265)
Wike Nurani
(1600001266)
Kania Sasmie Genie
(1600001269)
PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS AHMAD DAHLAN YOGYAKARTA 2018
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah Yang Maha Esa yang telah melimpahkan rakhmat dan karunia-Nya, sehingga penyusun dapat menyelesaikan tugas mata kuliah Akhlak. Makalah ini berjudul: “Akhlak Pribadi (malu, iffah, tawadhu, dan pemaaf)”. Adapun tujuan penyusunan makalah ini sebagai salah satu tugas mata kuliah Akhlak dari Bapak Zaini Munir. Makalah ini memuat tentang akhlak pribadi (malu, iffah, tawadhu, dan pemaaf) yang akan berguna bagi kita baik sekarang maupun dimasa yang akan datang. Semoga makalah ini dapat berguna bagi pembaca baik secara langsung maupun tidak langsung. Penyusun menyadari terwujudnya makalah ini tidak terlepas dari bimbingan serta bantuan dari berbagai pihak, baik secara moril maupun material. Oleh karena itu sewajarnyalah pada kesempatan ini penyusun menyampaikan ucapan terimakasih yang setinggi-tingginya kepada yang terhormat: 1. Bapak Zaini Munir selaku dosen mata kuliah Akhlak yang telah memberikan ilmu pengetahuan dalam penyusunan makalah ini. 2. Rekan-rekan kelas 4E BK yang telah memberikan dorongan dan bantuan untuk terselesaikannya makalah ini. 3. Kepada keluarga yang telah memberikan dukungan dan doa sehingga penyusun dapat menyelesaikan makalah ini. Akhirnya dengan penuh harapan, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi penyusun khususnya, dan dunia pendidikan pada umumnya. Amin Yogyakarta, 27 Mei 2018
Penyusun
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ............................................................................................ ii DAFTAR ISI .......................................................................................................... iii BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1 A. Latar Belakang ............................................................................................. 1 B. Rumusan Masalah ........................................................................................ 2 C. Tujuan .......................................................................................................... 2 BAB II PEMBAHASAN ....................................................................................... 3 A. Malu ............................................................................................................. 3 1.
Malu dan Iman .......................................................................................... 4
2.
Akibat Hilangnya Malu ............................................................................ 4
B. Iffah .............................................................................................................. 5 1.
Bentuk-bentuk Iffah ................................................................................. 6
C. Tawadhu ....................................................................................................... 8 1.
Keutamaan Tawadhu ................................................................................ 8
2.
Bentuk-bentuk Tawadhu .......................................................................... 9
3.
Takabur atau Sombong ............................................................................. 9
4.
Bentuk-bentuk Takabur .......................................................................... 10
D. Pemaaf ........................................................................................................ 11 1.
Lapang Dada ........................................................................................... 12
2.
Dendam .................................................................................................. 13
BAB III PENUTUP ............................................................................................. 15 A. Kesimpulan ................................................................................................ 15 B. Saran ........................................................................................................... 15 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 16
iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Dalam kehidupan sehari-hari, tidak sedikit kaum muslimin dalam berakhlak
dan
beradab
tidak
mengindahkan
nilai-nilai
keislaman.
Padahal,islam telah mengatur dengan jelas tuntunan dalam berakhlak dan beradab sebagaimana yang di contohkan Rasulullah saw. Akhlak tentunya harus ditanamkan pada diri setiap manusia sejak dini dan di petahankan hingga ajal mejemput. Karena dengan adanya sifat akhlak pada diri manusia dapat menciptakan kehidupan yang damai bahagia dunia dan akhirat. Tetapi akhlak manusia di dunia pada saat ini sudah mulai hilang dalam diri manusia. Sebagai contohnya semakin hilangnya malu pada remaja, maraknya tindakan korupsi dikalangan pejabat baik daerah maupun Negara. Ini sangat disesalakan oleh banyak pihak terutama masyarakat. Pejabat yang sudah diberi kekuasaan tidak bisa dipercaya dan tidak jujur dalam menjalankan tugas dan kewajibannya,yang berarti tidak konsekuen dalam bekerja. Yang mengakibatkan masyarakat saat ini sudah mulai tidak percaya dengan orangorang yang bekerja sebagai pejabat dalam setiap pekerjaan yang dikerjakan. Karena tindakan korupsi sangat merugikan banyak orang. Hal-hal yang belakangan ini muncul yaitu suatu perilaku batasan antara pornografi dan pornoaksi dengan seni yang sangat tipis dan berpakaian yang ketat, minim merupakan bagian dari pada seni yang saat ini telah merajalela menjadi sebuah nilai budaya atau bagian dari seni yang umum untuk masyarakat khususnya remaja muda. Di lingkungan pelajar dan mahasiswa misalnya, sering kita dengar tawuran antar pelajar, siswa-siswi yang tidak berakhlak, dan pergaulan bebas. Oleh karena itu dibutuhkan penguat kembali berdasarkan Al-quran dan Al-Hadist. Akhlak inilah berperan sebagai cermin pribadi seseorang apakah punya rasa malu, iffah, tawadhu, pemaaf dan lain sebagainya.
1
B. Rumusan Masalah 1. Apa pengertian malu? 2. Bagaimana konsep malu dan iman? 3. Bagaimana akibat hilangnya malu? 4. Apa pengertian dari iffah? 5. Bagaimana konsep dasar tawadhu? 6. Bagaimana konsep dasar pemaaf?
C. Tujuan 1. Mengetahui pengertian dari malu. 2. Mengetahui konsep malu dan iman. 3. Mengetahui akibat hilangnya malu. 4. Mengetahui pengertian dari iffah. 5. Mengetahui konsep dasar tawadhu. 6. Mengetahui konsep dasar pemaaf.
2
BAB II PEMBAHASAN
A. Malu Malu (al-haya) adalah sifat atau perasaan yang menimbulkan keengganan melakukan sesuatu yang rendah atau tidak baik. Orang yang memiliki rasa malu, apabila melakukan sesuatu yang tidak patut, rendah atau tidak baik dia akan terlihat gugup atau mukanya merah. Sebaliknya, orang yang tidak punya rasa malu akan melakukannya dengan tenang tanpa ada rasa gugup sedikitpun. Sifat malu adalah akhlaq terpuji yang menjadi keistimewaan ajaran islam. Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya semua agama itu mempunyai akhlaq, dan akhlaq islam itu adalah sifat malu” (HR. Malik). Sifat malu dapat dibagi menjadi tiga jenis (Ilyas, 2016:129) yaitu: Pertama, malu kepada Allah SWT; Kedua, malu kepada diri sendiri; Ketiga, malu kepada orang lain. Seseorang akan malu kepada Allah SWT apabila dia tidak mengerjakan perintah-Nya, tidak menjauhi larangan-Nya, serta tidak mengikuti petunjuk-Nya. Seseorang yang malu terhadap Allah SWT, dengan sendirinya akan malu terhadap dirinya sendiri. Ia malu mengerjakan perbuatan salah sekalipun tidak ada orang lain yang melihat atau mendengarnya. Penolakan dating dari dalam dirinya sendiri. Ia akan mengendalikan bahwa nafsunya dari keinginan-keinginan yang tidak baik. Setiap keinginan untuk mengerjakan perbuatan yang rendah muncul, ia tertegun, tertahan, dan akhirnya membatalkan keinginan tersebut. Setelah malu pada dirinya sendiri, dia akan malu melakukan sesuatu yang merugikan orang lain. Ketiga rasa malu tersebut harus ditumbuhkan dan dipelihara terus menerus oleh seorang Muslim. Lebih-lebih lagi malu kepada Allah SWT, karena malu kepada Allah ini yang menjadi sumber dari dua jenis malu lainnya. Dan malu kepada Allah adalah malu yang bersumber dari iman, dari
3
keyakinan bahwa Allah SWT selalu melihat, mendengar, dan mengawasi apa saja yang dia lakukan. 1. Malu dan Iman Malu adalah salah satu refleksi iman. Bahkan malu dan iman akan selalu hadir bersama-sama. Apabila salah satu hilang yang lain juga hilang. Semakin kuat iman seseorang, semakin tebal lah rasa malunya, demikian sebaliknya. “Malu itu sebagian dari iman, dan iman itu di dalam surge. Lidah yang keji itu adalah termasuk kebengisan, dan kebengisan itu didalam neraka” (HR. Tarmidzi). “Rasa malu dan iman itu sebenarnya berpadu menjadi satu, maka bilamana lenyap salah satunya hilang pula yang lainnya” (HR. Hakim). 2. Akibat Hilangnya Malu Rasa malu berfungsi mengontrol dan mengendalikan seseorang dari segala sikap dan perbuatan yang dilarang oleh agama. Tanpa kontrol rasa malu seseorang akan bebas melakukan apa saja yang diinginkan oleh hawa nafsu nya. Dalam hal ini Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya di antara yang didapat oleh manusia dari kata-kata kenabian yang pertama ialah; jika engkau tidak lagi mempunyai sifat malu, maka berbuatlah sekehendak hatimu”. (HR. Bukhari). Penegasan Rasulullah diatas mengingatkan bahwa apabila seseorang tidak lagi memiliki sifat malu, maka dia akan kehilangan kontrol terhadap segala tingkah lakunya. Dia akan menjadi manusia lepas kendali
yang
merasa
bebas
melakukan
apa
saja,
tanpa
mempertimbangkan halal haram, baik buruk, dan manfaat mudharat perbuatannya tersebut. Dia akan melakukan hal apa saja untuk memuaskan nafsunya. Segala macam cara dia halalkan untuk mencapai tujuannya. Dalam kehidupan sehari-hari ditengah masyarakat, kita dapat merasakan kebenaran sabda Rasulullah SAW diatas. Betapa kita merasa heran apabila melihat seorang muslim melanggar nilai dan ajaran agamanya tanpa rasa rikuh sedikitpun. Lihatlah misalnya berapa banyak kasus pagar makan tanaman, seorang ayah kandung tidak malu menzinai 4
anaknya sendiri, bakan seorang suami tidak malu memaksa istrinya untuk mencarikan seorang gadis untuk diperkosa didepan istrinya sendiri hanya untuk memuaskan nafsu balas dendamnya. Hilangnya rasa malu adalah awal dari kehancuran dan kebinasaan. Malu, amanah, rahmah dan islam adalah empat hal yang saling berkaitan. Konsekuensi logis dari hilangnya malu adalah hilangnya amanah. Bila amanah hilang, akan hilanglah rahmah, dan bila rahmah hilang, hilanglah islam. Adakah orang yang tidak punya rasa malu mendapatkan peluang untuk menikmati kehidupan dengan wajar? Kita yakin tidak, kecuali ditengah-tengah masyarakat yang juga sudah kehilangan rasa malu. Bila seseorang tidak punya rasa malu bagaimana mungkin percaya untuk mengurusi materi, karena dia tidak akan malumalunya menyelewengkannya. Bagaimana mungkin membuat janji dengannya, sebab dia tidak akan malu-malu melanggarnya. Bagaimana mungkin diserahi suatu tanggung jawab karena dia tidak akan malu-malu untuk mengabaikannya. Pada akhirnya orang yang tidak punya rasa malu akan mengalami kehancuran dan kebinasaan. Dan kalau sifat malu itu juga hilang dari masyarakat, maka masyarakat itupun akan mengalami kehancuran dan kebinasaan. B. Iffah Secara etimologis, ‘iffah adalah bentuk masdar dari affa-ya ‘iffu-‘iffah yang berarti menjauhkan diri dari hal-hal yang tidak baik. Dan juga berarti kesucian tubuh. Secara terminologis, iffah adalah memelihara kehormatan diri dari segala hal yang akan merendahkan, merusak, dan menjatuhkannya. Nilai wibawa seseorang tidaklah ditentukan oleh bentuk rupanya, dan jabatannya tetapi ditentukan oleh kehormatan dirinya. Oleh sebab itu, untuk menjaga kehormatan diri tersebut, setiap orang haruslah menjauhkan diri dari segala perbuatan dan perkataan yang dilarang oleh Allah SWT. Dia harus mampu mengendalikan hawa nafsunya, tidak saja dari hal-hal yang haram, bahkan kadang-kadang harus juga menjaganya dari hal-hal yang halal karena bertentangan dengan kehormatan dirinya.
5
1. Bentuk-bentuk Iffah Al-Qur’an dan hadis memberikan beberapa contoh dari iffah sebagai berikut: a. Untuk menjaga kehormatan diri dalam hubungan dengan masalah seksual, seorang Muslim dan Muslimah diperintahkan untuk menjaga penglihatan, pergaulan dan pakaiannya. Tidak mengunjungi tempattempat hiburan yang ada kemaksiatannya dan tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang bisa mengantarkannya kepada perzinaan. Kalau dia melakukan perbuatan yang mendekati perzinaan, misalnya pergaulan bebas laki-laki perempuan, nama baik dan kehormatannya akan tercemar. Sekalipun dia tidak melakukan perzinaan, tetapi masyarakat akan mudah menuduhnya telah melakukan perzinaan. Di samping tidak bergaul secara beba, untuk menjaga kehormatan diri dalam masalah seksual ini, Islam mengajarkan kepada kita bagaimana mengatur pandangan terhadap lawan jenis dan bagaimana berpakaian yang sopan dan benar menurut agama. Pakailah pakaian yang menutup aurat, tidak ketat, tidak transparan dan tidak menunjukkan kesombongan. Pakaian menunjukkan identitas diri. b. Untuk menjaga kehormatan diri dalam hubungannya dengan masalah harta, Islam mengajarkan, terutama bagi orang miskin untuk tidak menadahkan tangan meminta-minta. Al-qur’an menganjurkan kepada orang-orang yang berpura-pura untuk membantu orang-orang miskin yang tidak mau memohon bantuan karena sifat iffah mereka. Allah berfirman:“(Berifaklah) kepada orang-orang fakir yang terikat (oleh jihad) di jalan Allah; mereka tidak dapat (berusaha) dimuka bumi; orang yang tidak tahu menyangka mereka orang kaya karena mereka memelihara diri dari minta-minta. Kamu kenal mereka dengan melihat sifat-sifatnya, mereka tidak meminta kepada orang secara mendeak. Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkah di jalan Allah maka sesungguhnya Allah maha mengetahui.” (QS. Al-Baqarah 2: 273).
6
Orang-orang fakir yang dimaksudkan dalam ayat di atas adalah orang-orang yang karena menyediakan diri untuk berjihad sampai tidak dapat berusaha mencari nafkah. Orang-orang yang tidak mengerti keadaan mereka mengira bahwa mereka adalah orang-orang yang berkecukupan disebabkan mereka selalu menjaga kehormatan diri mereka dari meminta-minta. Tetapi orang yang melihat mereka dengan teliti akan melihat wajah mereka pucat dan keadaannya sangat menyedihkan. Jika ada yang terpaksa meminta maka ia meminta dengan jalan yang halus tanpa mendesak. Meminta-minta kehormatan.
Daripada
adalah
perbuatan
meminta-minta
yang
seseorang
merendahkan lebih
baik
mengerjakan apa saja untuk mendapatkan penghasilan asal halal, sekalipun hanya mengumplkan kayu api. c. Untuk
menjaga
kehormatan
diri
dalam
hubungann
dengan
kepercayaan oranglain kepada dirinya, seseorang harus betul-betul menjauhi segala macam bentuk ketidakjujuran. Sekali-kali jangan dia berkata bohong, mungkir janji, khianat dan lain sebagainya. Apabila seseorang dipercaya untuk mengelola keuangan, kelolalah dengan jujur dan transparan. Lebih-lebih lagi apabila pemilik harta itu tidak dapat mengontrolnya. Misalnya mengelola harta anak yatim. ALqur’an mengingatkan kepada para wali anak yatim agar daat menahan diri jangan sampai tergoda untuk memakan harta hak anak yatim. Bagi wali yang kaya lebih baik dia membiaya keidupan anak yatim yaitu dengan kekayaannya sendiri, sebaga wujud dari kasih sayang dan belas kasihnya kepada mereka. Kecuali bagi wali yang miskin, dia boleh mengguakan harta itu untuk kepentingan siyatim. Termasuk biaya pengelolaan harta mereka apabila diperlukan. Demikianlah sikap iffah yang sangat diperlukan untuk menjaga kehormatan dan kesucian diri sehingga tidak ada peluang sedikitpun bagi orang lain-yang tidak senang dengannya-untuk melemparkan tuduhan dan fitnahan. Orang yang mempunyai sikap iffah (disebut ‘afif) akan dihormati
7
dan mendapat kepercayaan dari masyarakat. Dan lebih penting lagi ia akan mendapat ridha dari Allah SWT. C. Tawadhu Tawadhu artinya rendah hati, lawan dari sombong atau takabur. Orang yang rendah hati tidak memandang dirinya lebih dari orang lain, sementara orang yang sombong menghargai dirinya secara berlebihan. Rendah hati tidak sama dengan rendah diri, karena rendah diri berarti kehilangan kepercayaan diri. Sekalipun dalam praktiknya orang yang rendah hati cenderung merendahkan dirinya dihadapan orang lain, tapi sikap tersebut bukan lahir dari rasa tidak percaya diri. Sikap tawadhu terhadap sesama manusia adalah sifat mulia yang lahir dari kesadaran akan kemahakuasaan Allah SWT atas segala hamba-Nya. Manusia adalah makhluk lemah yang tidak berarti apa-apa dihadapan Allah SWT. Manusia membutuhkan karunia, ampunan dan rahmat dari Allah. Tanpa rahmat,karunia dan nikmat dari Allah SWT, manusia tidak akan bisa bertahan hidup, bahkan tidak akan pernah ada diatas permukaan bumi ini. Orang yang tawadhu menyadari bahwa apa saja yang dia miliki, baik bentuk rupa yang cantik atau tampan, ilmu pengetahuan, harta kekayaan, maupun pangkat dan kedudukan dan lain-lain sebagainya. Semua itu adalah karunia dari Allah SWT. Allah SWT berfirman : “Dan apa saja nikmat yang ada pada kamu,maka dari Allah-lah (datangnya),dan bila kamu ditimpa oleh kemudharataan,maka hanya kepada-Nya-lah kamu meminta pertolongan.” (QS. An-Nahl 16:53) Dengan kesadaran seperti itu sama sekali tidak pantas bagi dia untuk menyombongkan diri sesama manusia,apalagi menyombongkan diri terhadap Allah SWT. 1. Keutamaan Tawadhu Sikap tawadhu tidak akan membuat derajat seseorang menjadi rendah, malah dia akan di hormati dan dihargai. Masyarakat akan senang dan tidak ragu bergaul dengannya. Bahkan lebih dari itu derajatnya dihadapan Allah SWT semakin tinggi. Rasulullah saw bersabda :
8
“Tawadhu’, tidak ada yang bertambah bagi seorang hamba kecuali ketinggian (derajat). Oleh sebab itu tawadhu’lah kamu, niscaya Allah akan meninggikan (derajat) mu...”. (HR.Dailami). Disamping memngangkat derajatnya, Allah memasukan orangorang yang tawadhu’ kedalam kelompok hamba-hamba yang mendapatkan kasih sayang dari Allah yang Maha Penyayang. Firman-Nya “Dan hambahamba Tuhan yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati...” (QS. Al-Furqon 25:63) 2. Bentuk-bentuk Tawadhu Sikap tawadhu dalam pergaulan bermasyarakat dapat terlihat antara lain dalam bentuk-bentuk berikut ini : a. Tidak menonjol diri dari oraang-orang yang level atau statusnya sama, kecuali apabila sikap tersebut menimbulkan kerugian bagi agama atau umat islam. b. Berdiri dari tempat duduknya dalam satu majlis untuk menyambut kedatangan orang yang lebih mulia dan lebih berilmu daripada dirinya, dan mengantarkannya kepintu keluar jika yang bersangkutan meninggalkan majlis. c. Bergaul dengan orang awam dengan ramah, dan tidak memandang dirinya lebih dari mereka. d. Mau mengunjungi orang lain sekalipun lebih rendah status sosialnya. e. Mau duduk bersama dengan fakir miskin, orang-orang cacat tubuh, dan kaum dhu’afa lainnya, sera bersedia mengabulkan undangan mereka. f. Tidak makan minum dengan berlebihan dan tidak memakai pakaian yang menunjukkan kemegahan dan kesombongan. 3. Takabur atau Sombong Lawan dari sikap tawadhu’ adalah takabur atau sombong, yaitu sikap meganggap diri lebih dan meremehkan orang lain. Karena sikapnya itu orang sombong akan menolak kebenaran, kalau kebenaran itu datang dari pihak yang setatusnya dia anggap lebih rendah darinya. Rasulullah
9
saw bersabda : “takabur itu adalah menolak kebenaran dan melecehkan orang lain”. (HR.Muslim) Karena orang yang sombong selalu menganggap dirinya benar, maka dia tidak mau menerima kritikan dan nasehat dari orang lain. Dia akan menutup mata terhadap kelemahan dirinya. Dia akan menutup telinganya kecuali untuk mendegarkan pujian-pujian terhadap dirinya. Oleh sebab itu sudah merupakan sunnatullah kalau kemudian Allah memalingkan orang yang sombong dari tanda-tanda kekuasaan Allah. Allah SWT berfirman : “Aku akan memalingkan orang-orang yang menyombongkan dirinya di muka bumi tanpa alasan yang benar dari tanda-tanda kekuasaan-Ku. Jika melihat tiap-tiap ayat (Ku), mereka tidak beriman kepadanya. Dan jika mereka melihat jalan yang membawa kepada petunjuk, mereka tidak mau menempuhnya, tetapi jika mereka melihat jalan kesesatan, mereka terus menempuhnya. Yang demikian itu adalah karena mereka mendustakan ayat-ayat Kami dan mereka selalu lalai pada-Nya.”. (QS. Al-A’ruf 7:146). Karena dia jauh dari kebenaran, maka di Akhirat nanti orang-orang yang sombong tidak akan masuk sorga. Rasulullah saw bersabda : “Tidak akan masuk sorga orang yang di dalam hatinya ada sebiji zarh sifat sombong.” (HR.Muslim). 4. Bentuk-bentuk Takabur Kesombongan dapat terlihat dari sikap dan kata-kata dengan alasan yang
berbeda-beda.
Para
wanita
misalnya,
menyombongkan
kecantikannya, orang-orang kaya menyombongkan harta kekayaannya, para pemimpin menyombongkan pengikutnya yang banyak, bahkan para penjahat
pun
menyombongkan
kejahatan
dan
kemaksiatan
yang
dilakukannya. Berikut ini adalan beberapa contoh bentuk-bentuk kesombongan dalam pergaulan bermasyarakat : a. Kalau mendatangi suatu majlis, dia ingin dan senang kalau para hadirin berdiri menyambutnya, padahal rasulullah saw menyatakan : “Barangsiapa menyenangi orang-orang berdiri menghormatinya,
10
maka bersiap-siaplah dia menempati tempat duduknya di neraka.”. (HR. Bukhari). b. Kalau berjalan, di ingin ada orang yang berjalan dibelakangnya, untuk menunjukan bahwa dia lebih hebat dan lebih mulia dari yang lainnya. c. Tidak mau mengunjungi orang yang statusnya dianggap lebih rendah dari dirinya. Dan dia tidak suka kalau orang yang dianggap rendah setatusnya itu duduk berdampingan dengannya atau berjalan di sisinya. d. Mereka malu dan hina mengerjakan pekerjaan rumah tangga,dan kalau berbelanja tidak mau membawa sendiri barang belanjaannya karena akan merendahkan derajatnya. Demikianlah, seyogyanya seorang muslim selalu berusaha menjadi orang yang tawadhu’ dan menjauhi egala bentuk kesombongan atau takabur dalam eluruh aspek kehidupannya. D. Pemaaf Pemaaf adalah sikap suka memberi maaf terhadap kesalahan orang lain tanpa ada sedikitpun rasa benci dan keinginan untuk membalas. Dalam bahasa arab sifat pemaaf tersebut disebut dengan al-‘afwu yang secara etimologis berarti kelebihan atau yang berlebih, sebagai mana terdapat dalam Surat Al-Baqarah ayat 219: “Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: “Yang berlebih dari keperluan”...” (QS. AlBaqarah 2:219). Yang berlebih seharusnya diberikan agar keluar. Dari pengertian mengeluarkan yang berlebihan itu, kata al-afwu kemudian berkembang maknanya menjadi menghapus. Dalam konteks bahasa ini memaafkan berarti menghapus luka atau bekas-bekas luka yang ada di dalam hati. Islam mengajarkan kepada kita untuk dapat memaafkan kesalahan orang lain tanpa harus menunggu permohonan maaf dari yang bersalah. Menurut M.Quraish Shihab tidak ditemukan satu ayatpun yang menganjurkan untuk meminta maaf, tetapi yang ada adalah perintah untuk memberi maaf.
11
Sekalipun orang yang bersalah telah menyadari kesalahannya dan berniat untuk meminta maaf, tetapi boleh jadi dia mengalami hambatan psikologis untuk mengajukan permintaan maaf. Apalagi bagi orang-orang yang merasa status sosialnya lebih tinggi dari pada orang yang akan dimintainya maaf itu. Misalnya seorang pemimpin kepada rakyatnya, seorang bapak kepada anaknya, seorang manajer kepada karyawannya, atau yang lebih tua kepada yang lebih muda. Barangkali itulah salah satu hikmahnya, kenapa Allah memerintahkan kita untuk memberi maaf sebelum dimintai maaf. 1. Lapang Dada Tindakan memberi maaf sebaiknya diikuti dengan tindakan berlapang dada. Di dalam beberapa ayat Al-Quran perintah memaafkan diikuti dengan perintah berlapang dada. “Maafkanlah mereka dan berlapang dadalah, sesungguhnya Allah senang kepada orang-orang yang
berbuat
kebajikan
(terhadap
yang
melakukan
kesalahan
kepadanya).” (QS. Al-Maidah 5:13). Untuk lebih memahami maksud berlapang dada ada baiknya dilakukan tinjauan kebahasaan. Berlapang dada dalam bahasa Arab disebut dengan ash-shafhu yang secara etimologis berarti lapang. Halaman pada sebuah buku dinamai shafhah karenakelapangan dan keluasannya. Dari sini ash-shafhu dapat diartikan kelapangan dada. Berjabat tangan dinamai mushafahah karena melakukannya menjadi perlambang kelapangan dada. Ibarat menulis di selembar kerta, jika terjadi kesalahan tulis, kesalahan itu akan dihapus dengan alat penghapus. Tetapi serapi-rapi menghapus tentu akan meninggalkan bekas, bahkan barangkali kertas tersebut menjadi kusut. Supaya lebih baik dan lebih rapi, sebaiknya diganti saja kertasnya dengan lembaran baru. Menghapus kesalahan itulah yang disebut dengan memaafkan, sedangkan berlapang dada adalah menukar lembaran yang salah dengan lembaran yang baru sama sekali. Jadi berlapang dada menuntut seseorang untuk membuka
12
lembaran baru hingga sedikitpun hubungan tidak ternodai, tidak kusut dan tidak seperti halaman yang telah dihapus kesalahannya. 2. Dendam Lawan dari sifat pemaaf adalah dendam, yaitu menahan rasa permusuhan di dalam hati dan menunggu kesempatan untuk membalas. Seorang yang pendendam tidak akan mau memaafkan kesalahan orang lain sekalipun orang tersebut meminta maaf kepadanya. Bagi dia, tidak ada maaf sebelum dia dapat kesempatan membalaskan sakit hatinya. Orang yang enggan memberi maaf pada hakikatnya enggan memperoleh pengampunan dari Allah SWT. Allah SWT sendiri Yang Maha Kuasa berjanji akan memberikan maaf dan ampunan kepada setiap orang
yang meminta
ampun
kepada-Nya.
Apa
alasan
manusia
yang dha'if untuk tidak memberikan maaf kepada sesama. Abu Bakar RA pernah bertekad untuk menghentikan bantuan keuangan kepada kerabatnya ataupun orang lain yang ikut terlibat menyiarkan berita bohong yang disebarluaskan oleh orang-orang munafik Madinah untuk menjatuhkan nama 'Aisyah binti Abi Bakr, dan untuk seterusnya tentu akan merusak nama baik Rasulullah saw sendiri sebagai suami 'Aisyah. Allah SWT menurunkan firman-Nya menegur tekad Abu Bakar tersebut : "Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kamu bersumpah bahwa mereka (tidak) akan memberi (bantuan) kepada kaum kerabat (nya), orang-orang yang miskin dan orang-orang yang berhijrah pada jalan Allah, dan hendaklah mereka mema'afkan dan berlapang dada. apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu? dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (QS. An-Nur 24:22). Sifat pendendam tidak hanya merusak pergaulan bermasyarakat tapi juga merugikan dirinya sendiri. Energi akan terkuras dalam memelihara dan berusaha untuk melampiaskan dendamnya. Setiap kali dia melihat orang yang dia dendami, atau bahkan hanya melihat rumah, kantor atau kendaraannya saja, hatinya sakit dan semangat membalas dendamnya
13
meluap-luap. Hal itu tentu akan menguras energinya dan membuat dia kelelahan. Oleh sebab itu jauhilah sifat pendendam betapapun kecilnya. Andai kata seseorang tidak mampu menguasai marahnya segera terhadap orang lain yang menyakiti atau menyinggung perasaannya, dia boleh menghindar untuk menenangkan dan menguasai nafsu marahnya. Rasulullah saw memberi waktu tiga hari, karena tiga hari tersebut dianggap sudah cukup untuk meredakan kemarahan. Setelah itu dia wajib kembali menyambung tali persaudaraan dan persahabatan sesama Muslim. Rasulullah saw bersabda : "Tidaklah halal bagi seorang Muslim mendiamkan saudaranya lebih dari tiga hari; keduanya bertemu tapi saling memelingkan mukanya. Dan yang paling baik di antara keduanya ialah yang memulai lebih dahulu mengucapkan salam." (H. Muttafaqun 'Alaihi) Demikianlah, mudah-mudahan kita semua menjadi orang-orang yang pemaaf.
14
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan Akhlak pribadi seperti malu, iffah, tawadhu dan pemaaf harus dimiliki oleh setiap mulim. Malu (al-baya) adalah sifat atau perasaan yang menimbulkan keengganan melakukan sesuatu yang rendah atau tidak baik. Orang yang memiliki rasa malu, apabila melakukan sesuatu yang tidak patut, rendah atau tidak baik dia akan terlihat gugup atau mukanya merah. Sebaliknya, orang yang tidak punya rasa malu akan melakukannya dengan tenang tanpa ada rasa gugup sedikitpun. Iffah adalah memelihara kehormatan diri dari segala hal yang akan merendahkan, merusak, dan menjatuhkannya. Nilai wibawa seseorang tidaklah ditentukan oleh bentuk rupanya, dan jabatannya tetapi ditentukan oleh kehormatan dirinya. Tawadhu artinya rendah hati, lawan dari sombong atau takabur. Orang yang rendah hati tidak memandang dirinya lebih dari orang lain, sementara orang ya ng sombong menghargai dirinya secara berlebihan. Rendah hati tidak sama dengan rendah diri, karena rendah diri berarti kehilangan kepercayaan diri. Sekalipun dalam praktiknya orang yang rendah hati cenderung merendahkan dirinya dihadapan orang lain, tapi sikap tersebut bukan lahir dari rasa tidak percaya diri. Pemaaf adalah sikap suka memberi maaf terhadap kesalahan orang lain tanpa ada sedikitpun rasa benci dan keinginan untuk membalas. Dalam bahasa arab sifat pemaaf tersebut disebut dengan al-‘afwu yang secara etimologis berarti kelebihan atau yang berlebih.
B. Saran Saran dari penulis yaitu diharapkan mahasiswa sebagai calon pendidik dapat memahami dan mengaplikasikan dan mengamalkan konsep tentang akhlak pribadi (malu, iffah, tawadhu dan pemaaf).
15
DAFTAR PUSTAKA
Ilyas, Yunahar. (2016). Kuliah Akhlak. Yogyakarta: Lembaga Pengkajian dan Pengamalan Islam (LPPI).
16