Kasus Sap 5.docx

  • Uploaded by: Eka Dwyn
  • 0
  • 0
  • November 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Kasus Sap 5.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 1,820
  • Pages: 6
KASUS PT Sumalindo Lestari Jaya Tbk. Profil Perusahaan PT Sumalindo Lestari Jaya Tbk. adalah sebuah perusahaan kayu yang berbasis di Indonesia. Perusahaan yang didirikan pada tanggal 14 April 1980 ini merupakan pabrik kayu terbesar di Kalimantan Timur dan telah mempekerjakan sebanyak 3700 staf. Kegiatan utama Perusahaan terdiri dari pengolahan kayu, kegiatan penebangan, operasi hutan tanaman industri, serta perdagangan ekspor, impor dan lokal. Perusahaan ini memiliki sejumlah konsesi hutan alam dan konsesi hutan tanaman yang dikelola sesuai dengan prinsip-prinsip pengelolaan hutan lestari. Pada tanggal 8 Maret 2013, perusahaan menjual seluruh sahamnya di PT. Sumalindo Alam Lestari kepada PT. Mentari Pertiwi Makmur.Sebelumnya, saham perusahaan ini tercatat di Bursa Efek Indonesia namun sejak tanggal 10 Juni 2013, pihak Bursa memutuskan untuk melakukan penghentian sementara terhadap perdagangan efek perusahaan di seluruh pasar terkait dengan masalah pemberitaan media Tribun Katim yang menyebutkan bahwa Kantor Operasional PT Sumalindo Lestari Tbk yang berlokasi di Sengkotek Jl. Cipto Mangunkusumo Kecamatan Loa Janan Ilir terbakar.

Kasus Pelanggaran Kasus sengketa di Sumalindo cukup menarik perhatian karena melibatkan pemegang saham mayoritas sekaligus pendiri perusahaan (Sampoerna dan Sunarko), dengan pemegang saham minoritas (Deddy Hartawan Jamin).Konflik di Sumalindo dipicu oleh anjloknya kinerja perusahaan, bahkan terus merugi setiap tahunnya. Padahal dalam laporan tahunan perusahaan patungan keluarga Sampoerna dan Sunarko pada 2012, total menguasai lebih dari 840 ribu hektare hutan alam dan 73 ribu hektar hutan tanaman industri (HTI). Dengan kapasitas produksi kayu lapis hingga 1,1 jutameter kubik per tahun, Sumalindo menguasai lebih dari 30 persen pasar Indonesia dan termasuk lima besar produsen kayu di dunia. Sejak 1980-an, keluarga Hasan Sunarko sudah malang melintang di bisnis kayu dengan bendera Hasko Group dan PT Buana Alam Semesta. Adapun Sampoerna baru masuk ke industri hutan pada 2007 dengan mengibarkan bendera Samko Timber, Ltd di bursa Singapura.

Sebagai perusahaan raksasa pemegang hak penguasaan hutan terbesar, hal itu tentu bukanlah sebuah hal yang wajar. Indikator paling nyata adalah harga saham perusahaan yang pada 2007 senilai Rp 4.800, terjun bebas di kisaran Rp 100 pada 2012. Terkait hal tersebut, Deddy Hartawan Jamin, pemilik 336, 27 juta saham atau 13,6 persen, sejak awal mempertanyakan duduk soalnya kepada Direktur Utama Amir Sunarko bin Hasan Sunarko. Ketika itu, Direktur Utama hanya menjawab bahwa Sumalindo merugi karena dampak krisis ekonomi 2008. Sementara upaya untuk mendapat keterbukaan selalu kandas, bahkan di RUPS upaya ini selalu digagalkan melalui voting, karena manajemen mendapat dukungan dari pemegang saham mayoritas/pengendali. Kenyataan bahwa selalu kalah dalam voting ketika meminta audit perusahaan, Deddy Hartawan Jamin akhirnya mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Ada dua hal yang dituntutnya, yakni audit terhadap pembukuan perusahaan dan audit dalam bidang industri kehutanan. Hasilnya, pada 9 Mei 2011 majelis hakim PN Jakarta Selatan mengabulkan permohonan tersebut. Upaya memperjuangkan keterbukaan ini sempat mendapat halangan dari Sumalindo dengan mengajukan Kasasi di MA, namun mendapat penolakan tahun 2012. Selain persoalan tersebut, Deddy Hartawan Jamin marasa yakin untuk memperkarakan konflik tersebut ke meja hijau karena adanya sejumlah temuan penting, yakni: Pertama, pada laporan keuangan Sumalindo tercetak “Piutang Ragu-Ragu” tanpa ada penjelasan sedikit pun tentang siapa yang menerima utang tersebut. Padahal selama ini laporan keuangan PT Sumalindo Lestari Jaya, Tbk diaudit oleh auditor Ernst & Young. Belakangan diketahui bahwa Piutang Ragu-Ragu tersebut adalah pinjaman tanpa bunga sama sekali yang diberikan kepada anak perusahaan Sumalindo, yakni PT Sumalindo Hutani Jaya (SHJ) mencapai lebih dari Rp 140 miliar sejak 1997. Kejanggalan kedua, adalah terkait pernyataan Direktur Utama kepada Pemegang Saham Publik Minoritas bahwa PT Sumalindo Hutani Jaya telah dijual kepada PT Tjiwi Kimia Tbk. Selain tidak memiliki manfaat sama sekali bagi Sumalindo, penjualan tersebut dinilai sangat merugikan. Pada 1 Juli 2009, SHJ telah menerbitkan Zero Coupon Bond (surat utang tanpa bunga) atas utangnya kepada Sumalindo sebesar 140 miliar lebih, untuk jangka waktu satu tahun. Atas dasar itulah, bisa dikatakan arah dan tujuan penjualan anak perusahaan ini cukup mencurigakan. Pada 15 Juli 2009, tak lama setelah surat utang diterbitkan, Sumalindo dan pabrik kertas Tjiwi Kimia menandatangani akta pengikatan jual beli. Selain memberi uang muka, Tjiwi Kimia membayar kepada Sumalindo dengan cara mencicil selama tiga tahun, sebagian lainnya dibayar dengan kayu hasil tebangan

yang ada di areal eks lahan SHJ. Penentuan nilai aset SHJ pun sarat kongkalikong, karena penilaian hanya didasarkan atas saham dan besaran utang kepada Sumalindo.Padahal, banyaknya pohon yang ada di areal SHJ pun seharusnya masuk dalam perhitungan aset. Ketiga, Surat Menteri Kehutanan yang menyetujui penjualan SHJ kepada Tjiwi Kimia patut dipertanyakan. Menteri Kehutanan merilis surat persetujuan pengalihan saham tersebut tertanggal 1 Oktober 2009. Padahal Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) yang mengagendakan penjualan SHJ baru dilangsungkan pada 15 Oktober 2009.

Analisis Kasus Dalam kasus PT Sumalindo Lestari Jaya, Tbk terdapat jenis-jenis pelanggaran yang diantaranya melanggar Prinsip Keterbukaan. Pelanggaran-pelanggaran tersebut yaitu terdiri dari: 1.

Direksi dan Dewan Komisaris PT SULI membeli ZCB dari PT SHJ yang

kemudian tidak disampaikan pada RUPS Pada tanggal 1 Juli 2009 PT Sumalindo Lestari Jaya, Tbk melakukan sebuah transaksi yaitu membeli/menerima ZCB dari PT Sumalindo Hutani Jaya (PT SHJ) sebesar Rp 140.254.908.652,00 dengan jangka waktu 1 tahun tanpa adanya jaminan pembayaran sebagaimana biasa dilakukan dalam transaksi hutang. Tindakan korporasi tersebut baru diketahui oleh pemegang saham minoritas tanggal 15 Oktober 2009, pada waktu RUPS-LB dilaksanakan. Transaksi yang terjadi antara PT SULI dan PT SULI tersebut adalah transaksi yang material, karena transaksi tersebut mempunyai nilai yang lebih besar dari 10 % pendapatan PT SULI atau lebih besar dari 20 % ekuitas, sebagaimana diatur oleh Peraturan Badan Pengawas Pasar Modal (BAPEPAM) No.IX.E.2 Berdasarkan hal tersebut direksi PT SULI melakukan pelanggaran saat membeli ZCB, karena seharusnya direksi PT SULI meminta persetujuan melalui RUPS-LB pada saat membeli ZCB yang diterbitkan oleh PT SHJ, karena demi terwujudnya tata kelola perusahaan yang transparan dan adil bagi seluruh pemangku kepentingan khususnya pemegang saham minoritas. 2.

Direksi PT SULI melakukan pengikatan jual beli saham pada PT SHJ untuk

kemudian dijual sahamnya kepada PT Tjiwi Kimia tanpa diketahui oleh Pemegang Saham Minoritas. Pada tanggal 15 Juli 2009 PT SULI melakukan pelanggaran ketika

melaksanakan pengikatan jual beli saham pada PT. SHJ. Pengikatan jual beli saham sebesar (60 %) atau sebanyak 7.201.500 lembar saham pada PT SHJ dengan pihak lain yaitu PT Tjiwi Kimia seharga Rp 7.201.500.000,00. Bahwa tindakan pengikatan jual beli saham tersebut adalah tindakan korporatif yang termasuk tindakan penting dan material, karena hilangnya investasi potensial PT SULI pada Hutan Tanaman Industri (HTI) yang nilainya sangat material. Karena itu, tindakan tersebut seharusnya didahului oleh tindakan mempresentasikan maksud dan tujuan pelepasan saham di hadapan RUPSLB PT SULI sebelum PT SULI membuat dan menandatangani akta pengikatan jual beli saham sesuai dengan Peraturan Badan Pengawas Pasar Modal (BAPEPAM) No. IX.E.2 3.

Transaksi benturan kepentingan yang dilakukan direksi PT SULI dengan PT. SHJ

tidak sampaikan pada RUPS. Berdasarkan Neraca Konsolidasi PT SULI pertanggal 30 September

2009,

ternyata

PT

SULI mempunyai

ekuitas

bersih

sebesar

Rp

179.311.000.000,00, dan diketahui bahwa PT SULI mempunyai pendapatan usaha untuk periode 9 bulan yang berakhir pada tanggal 30 September 2009 sebesar Rp 428.779.000.000,00. Pemberian utang tanpa jaminan pengembalian kepada PT SHJ oleh PT SULI sebesar Rp 140.254.908.652,00 tersebut adalah termasuk pemberian hutang dalam kategori transaksi mengandung benturan kepentingan dan tidak pernah disampaikan pada RUPS, maka berdasarkan hal tersebut direksi PT SULI telah melanggar Keputusan Ketua BAPEPAM-LK Nomor: Kep-412/Bl/2009 Tentang Transaksi Afiliasi Dan Benturan

Kepentingan

Transaksi

Tertentu

yang

berbunyi:

“Perusahaan

wajib

mengumumkan keterbukaan informasi atas setiap Transaksi Afiliasi kepada masyarakat dan menyampaikan bukti pengumuman dan dokumen pendukungnya kepada Bapepam dan LK paling lambat akhir hari kerja ke-2 (kedua) setelah terjadinya Transaksi, yang paling kurang meliputi…” PT SULI dalam kedudukan sebagai perusahaan terbuka, wajib hukumnya memberikan informasi yang benar dan jujur kepada pemegang saham dalam hal ini pemegang saham minoritas, dalam rangka mentaati asas transparansi atau asas keterbukaan informasi. 4.

Pemegang Saham Minoritas tidak mendapatkan tanggapan secara jelas atas

pelanggaran yang dilakukan oleh Direksi dan Dewan Komisaris PT SULI Dedy Hartawan Jamin selaku pemegang saham minoritas telah mempertanyakan kepada PT SULIdalam forum RUPS- tahunan maupun RUPS-LB mengenai semua pelanggaran yang dilakukan oleh PT SULI, akan tetapi tidak ditanggapi dan dijawab secara jelas dan tuntas oleh PT SULI. Pada kasus PT SULI ini berdasarkan fakta pelanggaran yang ada direksi dan dewan

komisaris tidak menyampaikan informasi penting yaitu pengikatan jual beli saham kepada pihak Investor dalam hal ini PT Tjiwi Kimia, Tbk baik kepada pemegang saham maupun masyarakat dalam bentuk laporan berkala maupun laporan peristiwa penting. Tindakan pengikatan jual beli saham tersebut adalah tindakan korporatif yang termasuk tindakan penting dan material, karena hilangnya investasi potensial PT SULI pada Hutan Tanaman Industri (HTI) yang nilainya sangat material. Karena itu, tindakan tersebut seharusnya didahului oleh tindakan mempresentasikan maksud dan tujuan pelepasan saham di hadapan RUPSLB PT SULI sebelum PT SULI membuat dan menandatangani akta pengikatan jual beli saham sesuai dengan Peraturan Badan Pengawas Pasar Modal (BAPEPAM) No. IX.E.2. Berdasarkan ketentuan tersebut, direksi PT SULI telah melakukan pelanggaran terhadap pemegang saham minoritas karena, seharusnya direksi PT SULI menyampaikan maksud dan tujuannya dihadapan RUPS baru kemudian melakukan pengikatan jual beli saham pada PT SHJ. Pelanggaran GCG yang dilakukan Definisi menurut Cadbury mengatakan bahwa Good Corporate Governance adalah mengarahkan dan mengendalikan perusahaan agar tercapai keseimbangan antara kekuatan dan kewenangan perusahaan. Bank Dunia (World Bank)

mendefinisikan

good

coprorate governance (GCG) sebagai kumpulan hukum, peraturan, dan kaidah-kaidah yang wajib dipenuhi, yang dapat mendorong kinerja sumber-sumber perusahaan untuk berfungsi secara efisien guna menghasilkan nilai ekonomi jangka panjang yang berkesinambungan bagi para pemegang saham maupun masyarakat sekitar secara keseluruhan. preventif dalam bentuk aturan, pedoman, bimbingan, dan arahan maupun secara represif dalam bentuk pemeriksaan, penyidikan,

dan pengenaan sanksi.

Secara

ringkas prinsip-prinsip pokok corporate governance yang perlu diperhatikan untuk terselenggaranya praktik GCG adalah Keadilan (Fairness), Transparansi (transparency), Akuntabilitas (Accountability) dan Responsibilitas (Responsibility). Dari prinsip-prinsip tersebut, yang menyangkut masalah pada PT Sumalindo Lestari Jaya, Tbk adalah adanya pelanggaran terhadap pada salah satu Prinsip GCG yaitu Prinsip Transparansi atau yang disebut dengan Prinsip Keterbukaan. Prinsip keterbukaan merupakan prinsip yang penting untuk mencegah terjadinya tindakan penipuan (fraud). Menurut Barry A.K. Rider, “more disclosure will inevitably discourage wrongdoing and

abuse”. Dengan pemberian informasi berdasarkan prinsip keterbukaan ini, maka dapat diantisipasi terjadinya kemungkinan pemegang saham, investor, investor atau stakeholder tidak memperoleh informasi atau fakta material yang ada. Kesimpulan dan Saran Dalam kasus PT Sumalindo Lestari Jaya Tbk. pihak perusahaan memberikan informasi yang tidak transparan, sehingga akhirnya ada jarak antara pihak yang punya akses informasi kuat dengan pihak yang memiliki akses informasi lemah. Sebenarnya, aturan penanaman modal di Indonesia sudah baik, namun dalam penerapannya masih saja menimbulkan permasalahan. Di mana perusahaan harus memiliki dewan komisaris atau komite audit yang independen. Apalagi dalam salah satu keputusannya, ditegaskan bahwa jika terjadi sengketa di antara pemegang saham, maka hal tersebut menjadi tanggung jawab perusahaan dan tidak melibatkan Kementerian Kehutanan. Direksi adalah organ Perseroan yang bertanggung jawab penuh atas setiap anggota Direksi wajib dengan iktikad baik dan penuh tanggung jawab menjalankan tugas untuk kepentingan dan usaha Perseroan. Hal ini membawa konsekuensi hukum bahwa setiap anggota Direksi bertanggung jawab secara pribadi apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai menjalankan tugasnya untuk kepentingan dan usaha. Untuk itu Direksi PT Sumalindo Lestari Jaya Tbk hendaknya melakukan kewajiban dan tanggungjawabnya dengan baik sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Related Documents

Kasus Sap 5.docx
November 2019 18
Kasus
June 2020 54
Sap
June 2020 69
Sap
November 2019 86
Sap
June 2020 67

More Documents from ""

Pt Rumah Rotan Bali.docx
November 2019 18
Pengauditan Ii Cover.docx
November 2019 14
Kasus Sap 5.docx
November 2019 18
Seminar Ak Sap 2.doc
December 2019 25