LAPORAN KASUS BESAR ANESTESI
RESUSITASI JANTUNG PARU PADA SEORANG WANITA USIA 66 TAHUN DENGAN PENURUNAN KESADARAN ET CAUSA HIPERGLIKEMIA DAN KAD
Diajukan untuk melengkapi syarat kepaniteraan klinik senior di bagian Anestesiologi Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro
Disusun oleh : AMALIA PERMATA BAHAR 22010117220213
Pembimbing : dr. Syeikh Faiz Hasan
KEPANITERAAN KLINIK SENIOR ILMU ANESTESIOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG 2018
HALAMAN PENGESAHAN
Nama Mahasiswa
: Amalia Permata Bahar
NIM
: 22010117220213
Bagian
: Anestesiologi RSDK / FK UNDIP
Judul kasus
: Resusitasi Jantung Paru pada Seorang Perempuan 66 tahun dengan Penurunan Kesadaran et causa Hiperglikemia dan KAD : dr. Syeikh Faiz Hasan
Pembimbing
Semarang, 7 Januari 2018 Pembimbing
dr. Syeikh Faiz Hasan
BAB I PENDAHULUAN
Bantuan hidup dasar atau basic life support adalah tindakan darurat untuk membebaskan jalan napas, membentu pernapasan dan mempertahankan sirkulasi darah tanpa menggunakan alat bantu. Bantuan hidup dasar ini terdiri dari beberapa elemen yaitu penyelamatan pernapasan dan kompresi dada eksternal, jika kedua elemen tersebut digabungkan maka digunakan istilah Resusitasi Jantung Paru (RJP).1,2,3 Bantuan hidup dasar dapat dilakukan oleh orang awam dan juga orang yang terlatih dalam bidang kesehatan. Hal ini bermaksud bahwa resusitasi jantung paru boleh dilakukan dan dipelajari dokter, perawat, para medis dan juga orang awam. Keadaan di mana terdapat kegagalan pernapasan yang dapat menyebabkan systemic cardiopulmonary arrest (SCA) adalah kecelakaan, sepsis, kegagalan respiratori, sudden infant death syndrome dan yang lainnya.1,2,3 Menurut American Heart Association (AHA), rantai kehidupan mempunyai hubungan erat dengan tindakan resusitasi jantung paru, karena penderita yang diberikan resusitasi jantung paru, mempunyai kesempatan yang sangat besar untuk dapat hidup kembali. Pasien yang ditemukan dalam keadaan tidak sadar diri atau mengalami ancaman gagal pernafasan selalu diasumsi mempunyai gangguan SCA terlebih dahulu.4,5 Pada kondisi napas dan denyut jantung berhenti maka sirkulasi darah dan transportasi oksigen berhenti, sehingga dalam waktu singkat organ-organ tubuh terutama organ vital akan mengalami kekurangan oksigen yang berakibat fatal bagi korban dan mengalami kerusakan. Organ yang paling cepat mengalami kerusakan adalah otak, karena otak hanya akan mampu bertahan jika ada asupan gula/glukosa dan oksigen.1,2,3 Jika dalam waktu lebih dari 10 menit otak tidak mendapat asupan oksigen dan glukosa maka otak akan mengalami kematian secara permanen. Kematian otak berarti pula kematian seseorang. Oleh karena itu golden period (waktu emas) pada seseorang yang mengalami henti napas dan henti jantung adalah dibawah 10 menit.
Artinya dalam watu kurang dari 10 menit penderita yang mengalami henti napas dan henti jantung harus sudah mulai mendapatkan pertolongan. Jika tidak, maka harapan hidup orang tersebut sangat kecil.1 American Heart Assosiation (AHA) telah memperbarui pedoman Cardio Pulmonary Resuscitation (CPR) dan Emergency Cardiovascular Care (ECC) untuk menyempurnakan panduan terdahulu yaitu tahun 2010. Kehadiran rekomendari baru ini tidak untuk menunjukkan bahwa pedoman sebelumnya tifak aman atau tidak efektif, melainkan untuk menyempurnakan rekomendasi terdahulu. Seperti kita ketahui, penolong pertama penderita henti jantung tidak hanya dokter tetapi orang awam dan awam khusus dan mereka perlu mendapatkan pengetahuan baru mengenai resusitasi jantung paru dengan harapan dapat menurunkan angka kematian pasca henti jantung mendadak.1,4,5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Cardiac Arrest Cardiac arrest atau henti jantung adalah keadaan yang terjadi ketika jantung tiba-tiba berhenti berkontraksi yang mengakibatkan hilangnya fungsi jantung untuk memompa darah ke seluruh tubuh.
1
Ketika jantung berhenti
memompa darah ke seluruh tubuh, organ vital yang paling terpengaruh adalah otak, sehingga kurangnya oksigen ke otak dapat mengakibatkan seseorang kehilangan kesadaran dan berhenti bernapas.1 Gejala dari cardiac arrest meliputi hilangnya kesadaran, tidak adanya respon, tidak terabanya nadi di a.carotis, gangguan napas dan atau tidak bernapas sama sekali.
1
Beberapa orang dapat merasakan aritmia, nyeri dada akibat iskemia
jantung, dan tanda-tanda gagal jantung sebelum cardiac arrest terjadi. 3 Sebanyak 41% memiliki riwayat penyakit infark miokard akut, 73% memiliki riwayat gagal jantung kongestif, dan 20% memiliki riwayat pernah mengalami cardiac arrest sebelumnya.
3
Penderita infark miokard memiliki resiko lebih tinggi mengalami
cardiac arrest selama menjalani perawatan di rumah sakit, sementara penyebab di luar penyakit jantung antara lain gagal ginjal, pneumonia, sepsis, diabetes, dan riwayat keganasan sebelumnya. 3 Selain itu penyebab tersering dari cardiac arrest adalah kelainan irama jantung yaitu fibrilasi ventrikel (VF) atau takikardi tanpa denyut (80-90%), kemudian disusul oleh ventrikel asistol (+10%). Resiko tinggi juga ditemukan pada mereka dengan umur lebih dari 70 tahun, riwayat stroke, gagal ginjal, dan gagal jantung sebelumnya.3
2.2 Respiratory Arrest Respiratory arrest adalah keadaan berhentinya pernapasan spontan atau terdapatnya pernapasan yang tidak adekuat akibat kegagalan paru dalam menjalankan fungsinya.
5
Respiratory arrest sering terjadi bersamaan dengan
terjadinya cardiac arrest, namun tidak selalu. 5 Pada keadaan henti napas, pasien berhenti bernapas tetapi nadi carotis masih teraba.
5
Terlepas dari penyebabnya,
keadaan ini adalah situasi yang mengancam jiwa yang membutuhkan penanganan
cepat. Ketika seorang pasien mengalami henti napas, tidak ada oksigen yang sampai ke organ vital sehingga dapat berakibat pada kerusakan otak atau henti jantung dalam beberapa menit jika tidak segera ditangani. Keadaan ini disebabkan oleh beberapa penyebab yaitu beberapa penyakit neuromuskuler, penyakit-penyakit metabolik, stroke, overdosis obat yang dapat menekan pusat pernapasan di otak, tenggelam, inhalasi asap/uap/gas beracun, obstruksi jalan napas oleh benda asing, infark miokard, tercekik (sufokasi), trauma dada dan lain-lainnya. 6 Gejala-gejala pada seseorang yang akan mengalami respiratory arrest adalah peningkatan usaha nafas, gasping, pergerakan napas paradoksikal, sianosis, dan retraksi intercostal. Beberapa orang juga dapat mengalami penurunan kesadaran karena mengalami hipoksia dan peningkatan karbondioksida dalam darah.6
2.3 Resusitasi Jantung Paru (RJP) Resusitasi jantung paru (RJP) merupakan bagian dari kumpulan tindakan yang ada pada Bantuan Hidup Dasar, terdiri dari kompresi jantung atau pijat jantung luar dan ventilasi/pemberian napas buatan (dengan atau tanpa menggunakan alat (mouth to mouth)). Hal ini berguna untuk mengembalikan fungsi sirkulasi dan pernapasan spontan sementara menunggu bantuan tim medis atau peralatan lebih lanjut datang.7 Dalam resusitasi jantung paru berdasarkan AHA 2015 ada yang dikatakan sebagai high quality CPR. Yang termasuk dalam high quality CPR adalah frekuensi kompresi efektif yaitu minimal 100 kali/menit, kedalaman kompresi yang tepat yaitu 5 cm, memberikan kesempatan dada untuk recoil/mengembang kembali dengan sempurna, minimalkan interupsi (selesai 5 siklus, evaluasi perabaan a. Carotis dan pernapasan maksimal 10 detik), mencegah hiperventilasi (1 siklus terdiri dari 30 kali kompresi dan 2 kali ventilasi untuk penolong tunggal, sedangkan untuk 2 orang penolong 1 siklus terdiri dari 15 kali kompresi dan 2 kali ventilasi).8
2.3.1 Indikasi RJP
Hilangnya kesadaran
Pasien tidak bergerak
Henti napas (apneu): henti napas primer, jantung dapat memompa darah selama beberapa menit, dan sisa O2 yang ada di dalam paru dan darah akan terus beredar ke otak dan organ vital lain. Penanganan dini pada korban dengan henti napas atau sumbatan jalan napas dapat mencegah henti jantung. 8
Tanda-tanda diperlukannya penanganan jalan napas dan pernapasan : a. aliran udara di hidung atau mulut tidak dapat didengar atau dirasakan b. pada gerakan napas spontan terlihat retraksi supraklavikula dan sela iga serta tidak ada pengembangan dada saat inspirasi c. adanya kesulitan inflasi paru dalam usaha memberikan ventilasi buatan d. bisa disertai bunyi napas tambahan (snoring, wheezing) e. dapat disertai retraksi f. pada keadaan klinis dapat diketahui: - hiperkarbia: penurunan kesadaran, peningktan CO2 arteri - hipoksemia: takikardi, gelisah, berkeringat, sianosis
Henti jantung (cardiac arrest) dengan tanda-tanda antara lain : a. hilangnya kesadaran dalam waktu 10-20 detik setelah henti jantung b. henti napas (apnea) yang muncul setelah 15-20 detik henti jantung c. terlihat seperti mati, yang ditandai warna kulit pucat sampai kelabu d. pupil dilatasi dalam waktu 45 detik setelah henti jantung e. tidak teraba denyut arteri
2.3.2 Kontraindikasi RJP
DNR (Do Not Resuscitate).
Tidak ada manfaat fisiologis karena fungsi organ vital sudah tidak dapat dikembalikan lagi.
Ada tanda-tanda kematian (rigor mortis atau kaku mayat dan lebam).
2.3.3 Prosedur RJP
Menjaga jalan napas tetap terbuka. Airway diperiksa dengan cara membuka mulut pasien, dilihat apakah ada benda asing, darah, cairan yang mengganggu jalan napas, membersihkan dengan two finger swipe (look, listen, and feel), bisa juga dengan mengajak pasien bicara apabila bisa menjawab dengan baik maka airway baik. Pasien tidak sadar tonus otot menghilang sehingga lidah akan jatuh sehingga menutup jalan napas. Manuver untuk membebaskan jalan napas yaitu triple airway maneuver yang terdiri dari head tilt, chin lift, dan jaw thrust. Head tilt – chin lift dilakukan dengan cara meletakkan tangan penolong di atas kening pasien dan dagu pasien, kemudian kepalanya ditengadahkan ke atas. Tindakan ini tidak diperbolehkan untuk pasien yang mengalami cedera servikal (leher), karena dapat memperparah cedera servikal tersebut.
Gambar 1. Kiri (Head tilt) dan 2. Kanan (Chin lift) Jaw thrust dilakukan pada pasien terlentang dengan cara meletakkan jari indeks dan jari tengah kedua tangan di posterior mandibula kemudian didorong kearah atas, sedangkan jempol kedua tangan mendorong dagu untuk membuka jalan napas. Tindakan ini mencegah lidah untuk jatuh kebelakang.
Gambar 3. Jaw thrust
o B(Breathing)
: ventilasi paru dan oksigenisasi yang adekuat. Untuk
menilai pernapasan korban dilakukan 3 cara: Look melihat gerakan dada apakah mengembang atau tidak, simetris atau tidak, ada gerak paradoksal atau tidak. Listen mendengarkan suara napas korban ada atau tidak. Feel merasakan hembusan napas korban pada mulut/hidung ada atau tidak.
Gambar 4. Breathing evaluation Apabila tidak ada napas, maka dilakukan ventilasi buatan dengan tanpa alat (mulut ke mulut, atau mulut ke hidung) atau dengan alat (mulut ke sungkup). Frekuensi yang diberikan yaitu 1 siklus 2 kali ventilasi (sebelum terpasang endotracheal tube), namun apabila sudah terpasang endotracheal tube, frekuensinya 12-16 kali/menit. o C(Circulation)
: mengadakan sirkulasi buatan dengan kompresi jantung
paru. Sebelum melakukan kompresi jantung luar, lakukan perabaan a.carotis terlebih dahulu selama maksimal 10 detik.
Gambar 5. Perabaan a.carotis.
Apabila tidak teraba nadi barulah dilakukan kompresi jantung luar / kompresi dada. Kompresi dada terdiri dari pemberian tekanan yang teratur dan kuat di sternum bagian tengah bawah. Kompresi ini akan menciptakan aliran darah dengan cara meningkatkan tekanan intrathorakal dan secara langsung menekan jantung. Hal ini menimbulkan aliran darah dan oksigen menuju miokardium dan otak. Kompresi dada yang efektif penting untuk menyediakan aliran darah selama RJP. Karena alasan ini semua penderita henti jantung harus mendapatkan kompresi dada. Langkah dalam melakukan kompresi dada luar yaitu pasien hendaknya terlentang pada permukaan yang keras bila kompresi dada luar dilakukan. Penolong berlutut di samping pasien dan meletakkan pangkal sebelah tangannya di atas tengah pertengahan bawah sternum. Tangan penolong yang lain diletakkan di atas tangan pertama. Dengan jari-jari terkunci, lengan lurus dan kedua bahu tepat di atas sternum korban, penolong memberikan tekanan vertikal ke bawah yang cukup untuk menekan sternum 5-6cm. Setelah kompresi harus ada relaksasi (rekoil sempurna dari dada) untuk memberi kesempatan jantung terisi darah kembali sebelum kompresi berikutnya. Kecepatan kompresi dada yaitu mulai 100-120 kali per menit. Penolong seharusnya mencoba untuk mengurangi gangguan yang terjadi selama kompresi untuk memaksimalkan jumlah kompresi yang diberikan tiap menit.
Gambar 6. Kompresi Dada Luar
Bantuan Hidup Lanjut bantuan hidup dasar ditambah dengan : o D (Drugs and fluids)
: pemberian obat-obatan termasuk cairan. Obat
utama yang diberikan pada RJP adalah epinefrin / adrenalin dengan dosis 0,5 – 1 mg IM. o E (ECG)
: diagnosis elektrokardiografis secepat mungkin setelah dimulai
RJP, untuk mengetahui apakah ada fibrilasi ventrikel, ventrikel takikardi, asistole atau pulseless electrical activity.
Gambar 7. Ventrikel takikardi dan ventrikel fibrilasi.
Gambar 8. Irama Asistol o F (Fibrillation treatment) : tindakan untuk mengatasi fibrilasi ventrikel. Hal ini diatasi dengan menggunakan AED (Automated External Defibrilation). Setelah mengaktifkan emergency response system, penolong yang seorang diri harus mencari AED (bila AED dekat dan mudah didapatkan) dan kemudian kembali ke penderita untuk memasang dan menggunakan AED. Penolong lalu memberikan CPR berkualitas tinggi. Bila terdapat dua atau lebih penolong, seorang penolong harus segera memberikan kompresi dada sedangkan penolong kedua mengaktifkan emergency response system dan mengambil AED (atau defibrillator manual pada kebanyakan rumah sakit). AED harus digunakan secepat mungkin dan kedua penyelamat harus
memberikan RJP dengan kompresi dada dan ventilasi. Irama jantung yang dapat dishock dengan AED yaitu ventrikel takikardi atau ventrikel fibrilasi.
Gambar 9. Algoritma RJP berdasarkan AHA 2015 Urutan dalam melakukan RJP: 1. 3 A (amankan lokasi, amankan penolong dengan menggunakan alat pelindung diri, amankan pasien).9
2. Cek kesadaran pasien dengan cepat dengan menggunakan AVPU (Alert, Verbal, Pain, Unresponsive).9 a. Alert : pasien atau korban dalam keadaan sadar tanpa rangsang apapun. b. Verbal : pasien memberikan respon saat dipanggil (rangsang verbal). c. Pain : pasien baru memberikan respon dengan rangsang nyeri (bisa dengan menepuk bahu dengan kuat, menekan sternum, menekan glabela, atau menekan pangkal kuku). d. Unresponsive : pasien tidak merespon walaupun sudah dirangsang verbal dan nyeri. 3. Cek nadi a.carotis dan napas selama maksimal 10 detik. Apabila ada denyut nadi tetapi tidak ada napas maka diberikan bantuan napas / ventilasi buatan saja. Apabila tidak ada denyut nadi a.carotis dan tidak ada napas maka harus dilakukan kompresi dada dan ventilasi buatan. Pada kondisi cardiac arrest yang diutamakan adalah circulation karena gangguan utama terletak dijantung, oleh karena itu urutan primary survey berubah dari A-B-C menjadi C-A-B (berdasarkan AHA 2015).9 4. Memberikan kompresi jantung + napas buatan (30 : 2) Kompresi dada dimulai sesegera mungkin apabila tidak ada denyut nadi, sedangkan tindakan mengatur posisi kepala, mendapatkan lapisan penutup untuk bantuan napas dari mulut ke mulut atau memasang masker akan memakan waktu. Perbandingan kompresi dada dengan ventilasi yaitu 30 kali dibandingkan 2 kali (1 siklus) dan dilakukan sebanyak 5 siklus atau selama 2 menit.9 5.
Evaluasi nadi a.carotis dan napas setiap 2 menit atau setiap selesai 5 siklus kompresi dada dan ventilasi buatan. Periksa apakah terdapat denyut nadi dan napas spontan atau batuk.
6. Jangan hentikan kompresi dada dan ventilasi buatan 30 : 2 sampai ada indikasi stop RJP. Indikasi stop RJP adalah :
9
a. Kembalinya sirkulasi dan ventilasi spontan (ROSC) b. Pasien dirawat kepada yang lebih berwenang
c. Telah ada tanda-tanda kematian yang irreversibel (refleks muntah (“gag reflex”), serta pupil tetap dilatasi selama 15-30 menit atau lebih, tidak ada aktifitas listrik jantung (asistole) selama paling sedikit 30 menit walaupun dilakukan upaya RJP dan terapi obat yang optimal, ini menandakan mati jantung). d. Penolong kelelahan atau keselamatan penolong terancam e. Jika 30 menit setelah ACLS yang adekuat tidak ada tanda-tanda kembalinya sirkulasi spontan (asistole yang menetap), bukan intoksikasi obat atau hipotermia.
Tabel 1. High quality CPR (Cardiopulmonary Resuscitation). 9 Circulation support merupakan langkah untuk pengenalan tidak adanya denyut nadi dan pengadaan sirkulasi buatan dengan kompresi jantung, penghentian perdarahan dan posisi untuk shock. 2.3.4 Penghentian RJP f. Kembalinya sirkulasi dan ventilasi spontan (ROSC) g. Pasien dirawat kepada yang lebih berwenang atau AED telah tiba h. Penolong kelelahan atau keselamatan penolong terancam i. Telah ada tanda-tanda kematian yang irreversibel (refleks muntah (“gag reflex”), serta pupil tetap dilatasi selama 15-30 menit atau lebih, tidak ada aktifitas listrik jantung (asistole) selama paling sedikit 30 menit walaupun dilakukan upaya RJP dan terapi obat yang optimal, ini menandakan mati jantung).
j. Jika 30 menit setelah ACLS yang adekuat tidak ada tanda-tanda kembalinya sirkulasi spontan (asistole yang menetap), bukan intoksikasi obat atau hipotermia.
2.4 Pemasangan Endotracheal Tube (ET) Intubasi endotrakeal adalah memasukkan pipa endotrakea (Endotracheal tube/ET) ke dalam trakea melalui hidung atau mulut. Endotracheal tube sesuai dengan namanya adalah pipa kecil yang dimasukkan ke dalam trakea, tindakannya dinamakan intubasi endotrakeal. Ada beberapa indikasi khusus intubasi endotrakeal pada pasien, di antaranya adalah: 1.
Untuk patensi jalan napas. Intubasi endotrakeal diindikasikan untuk menjamin ventilasi, oksigenasi yang adekuat dan menjamin keutuhan jalan napas.
2. Perlindungan terhadap paru dengan penutupan cuff dari ET harus dilaksanakan pada pasien-pasien yang baru saja makan atau pasien dengan obstruksi usus. 3. Operasi yang membutuhkan ventilasi tekanan positif paru, misalnya torakotomi, penggunaan pelumpuh otot, atau ventilasi kontrol yang lama. 4. Operasi yang membutuhkan posisi selain terlentang. Pemeliharaan patensi jalan napas atau penyampaian ventilasi tekanan positif pada paru tidak dapat diandalkan 5. Operasi daerah kepala, leher, atau jalan napas atas. 6. Diperlukan
untuk
kontrol
dan
pengeluaran
sekret
pulmo
(bronchialpulmonair toilet). 7. Diperlukan proteksi jalan napas pada pasien yang tidak sadar atau dengan depresi reflek muntah (misal selama anestesi umum) 8. Adanya penyakit atau kelainan jalan napas atas. Misalnya paralisis pita suara, tumor supraglotis dan subglotis. 9. Aplikasi pada ventilasi tekanan positif.
Kesulitan intubasi dapat diperkirakan dengan standar dari Cormack dan Lehane. (a) Terdapat 4 derajat/kelas/grade berdasarkan penglihatan yang dapat dicapai dengan laringoskopi, yaitu: - Derajat/kelas I: Semua glotis terlihat, tidak ada kesulitan. - Derajat/kelas II: Hanya glotis bagian posterior yang terlihat, hal ini yang menyebabkan kesulitan ringan. Penekanan pada leher dapat memperbaiki penglihatan terhadap laring - Derajat/kelas III: Tidak ada bagian glotis yang terlihat, tetapi epiglotis terlihat. Dapat menyebabkan kesulitan yang agak berat. - Derajat/kelas IV: Epiglotis tidak terlihat. Dapat menyebabkan kesulitan besar. Atau dapat menggunakan perkiraan dari Mallampati, yaitu Mallampati Test (b) Gradasi 1 2 3 4
Pilar Faring + -
Uvula + +
-
Tabel 2. Mallampati Score
Gambar 10. Mallampati Score
BAB III
Palatum molle + + + -
LAPORAN KASUS
1.1 Identitas Penderita Nama
: Ny. M
Umur
: 66 tahun
Jenis kelamin : Perempuan Pekerjaan
: Pensiunan
Ruang
: Label Merah IGD RSUP Dr. Kariadi
No. CM
: C736846
Tgl masuk
: 05 Februari 2019
1.2 Anamnesis Alloanamnesis dengan Keluarga pasien pada tanggal 05 Februari 2019 di Label Merah IGD RSUP Dr. Kariadi. Keluhan utama: Penurunan kesadaran A. Riwayat Penyakit Sekarang: ±10 jam SMRS pasien mengeluhkan badan terasa lemas sehingga pasien hanya mampu berbaring di tempat tidur. Pasien mual (+), muntah (+) sebanyak 5 kali berisi makanan. Batuk (+), demam (-), BAB dan BAK dalam batas normal. Sejak pukul 03.00 WIB pasien mulai tidak sadarkan diri. Pasien memiliki riwayat DM (+), Hipertensi (+). Pukul 07.00 pasien dibawa ke IGD RSUP Dr. Kariadi. B. Riwayat Dahulu: Riwayat tekanan darah tinggi (+) Riwayat penyakit kencing manis (+) Riwayat penyakit jantung (-) Riwayat asma dan alergi disangkal Riwayat trauma sebelumnya disangkal C. Riwayat Penyakit Keluarga Riwayat penyakit kencing manis disangkal Riwayat tekanan darah tinggi disangkal
Riwayat penyakit jantung disangkal D. Riwayat Sosial Ekonomi Pasien merupakan seorang pensiunan . Biaya pengobatan: JKN non-PBI. Kesan : sosial ekonomi cukup.
1.3 Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan dilakukan di Label Merah IGD RSUP Dr. Kariadi A. Keadaan Umum Tidak sadar, terpasang infus NaCl 0.9% Penurunan kesadaran TD
: 63/34 mmHg
HR
: 99 x/menit
RR
: 22 x/menit
Suhu
: 36,6o C
B. Survey Primer Airway
: clear (gudel)
Breathing
: tidak ada nafas spontan
Circulation
: tekanan darah tidak terukur, nadi tidak terukur
C. Pengkajian berkaitan dengan kegawatan Jalan napas
: paten
Pernapasan
: henti napas
Sirkulasi
: gangguan hemodinamik
Nyeri
: tidak nyeri
1.4 Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan Darah Lengkap Hemoglobin Hematokrit Eritrosit MCH MCV MCHC Leukosit Trombosit
Hasil (05/02/2019)
Satuan
Nilai Rujukan
10.7 36.9 3.48 30.7 106 29 22.6 297
g/dL % 106/uL Pg fL g/dL 103/uL 103/uL
13-16 40-54 4.4-5.9 27-32 76-96 29-36 3.8-10.6 150-400
RDW MPV Kimia Klinik Glukosa Sewaktu SGOT SGPT Albumin Ureum Kreatinin Elektrolit Natrium Kalium Chlorida Koagulasi Prothrombin time Thromboplastine time Kimia Klinik Temp FiO2 pH pCO2 pO2 pH(T) pCO2(T) pO2(T) HCO3TCO2 BEecf BE (B) SO2c A-aDO2 RI Imunoserologi
Procalcitonin
13.3 10.8
% fL
11.60-14.80 4-11
1310 409 148 3.2 148 4.5
mg/dl U/L U/L g/dL mg/dL mg/dL
80-160 15-34 15-60 3.4-5.0 15-39 0.6-1.3
126 7.7 82
mmol/L mmol/L mmol/L
136-145 3.5-5.1 98-107
11.6 10.9
Detik Detik
9.4-11.3 27.7-40.2
37.5 60.0 7.392 18.5 162.4 7.394 18.9 165.3 11.3 11.9 -13.8 -11.4 98.0 240.7 1.5
C %
160.29
mmHg mmHg mmHg mmHg mmol/L mmol/L mmol/L mmol/L % mmHg
ng/ml
1.5 Diagnosis 1.5.1 Cardiac arrest 1.5.2 Observasi penurunan kesadaran et causa hiperglikemia
7.37-7.45 35-45 83.0-108.0 7.35-7.45
22-26 -2 – 3 95-100
<0.5 risiko rendah untuk sepsis. 0.5-2 perlu pemeriksaan ulang 6-24 jam > 2 risiko tinggi untuk sepsis berat atau septik syok
1.5.3 Ketoasidosis Diabetik
1.6 Tindakan Life-Saving
Nama Tindakan
: Resusitasi Jantung Paru
Diagnosis Banding
: Cardiac arrest
Dasar Diagnosis
: Klinis dan penunjang
Indikasi Tindakan
: Henti jantung
Tata Cara
: Sesuai prosedur
Tujuan
: Bantuan hidup lanjut
Risiko
: Patah tulang, kematian
Komplikasi
: Patah tulang
Prognosis
: Dubia
Alternatif & Risiko
: Tidak ada
Lain-lain
: Tidak ada
Tindakan
Monitoring hasil tindakan
(05/02/2019 Jam 07.30 WIB)
TD tidak terukur, pulsasi a.carotis
Cek kesadaran pasien tidak sadar
tidak teraba
Cek nadi karotis tidak teraba A : Cardiac Arrest P : Resusitasi Jantung Paru, Injeksi Epinefrin 2 amp
(05/02/2019 Jam 07.45 WIB)
TD : 85/40 mmHg
Cek kesadaran pasien tidak sadar
HR : 74 x/menit
Cek Nadi Karotis teraba
RR : 12 x/menit (bagging) spO2 : 100%
A: ROSC post cardiac arrest P: Vascon SP 4.5 cc/jam Dobutamin SP 7.2 cc/jam
Inj. Omeprazole 1 vial/12 jam Konsul ICU (05/02/2019 Jam 09.10 WIB)
TD : 70/37 mmHg
Cek kesadaran GCS E1M1Vet
HR : 112 x/menit RR : 39 x/menit
A: Penurunan Kesadaran
SpO2 : 100%
P: terapi lanjutkan SP insulin 6 unit/jam s/d GDS <300 cek GDS/2 jam cek lab (DR, ur/cr, elektrolit, BGA) (05/02/2019 Jam 10.30 WIB)
TD : 63/34 mmHg
Cek kesadaran GCS E1M1Vet
HR : 99 x/menit RR : 22 x/menit
A: Penurunan Kesadaran
SpO2 : 100%
P: Koreksi bicnat
GDS : HI
insulin SP 8 unit/jam s/d GDS <300 cek GDS per jam konsul mata konsul neurologi (05/02/2019 Jam 14.00 WIB) Cek kesadaran GCS E1M1Vet
A : Penurunan kesadaran P : Pertahankan ET dan ventilator cek elektrolit, BGA (05/02/2019 Jam 18.00 WIB) Cek kesadaran GCS E1M1Vet
A: Penurunan Kesadaran Hiperglikemi dd/ KAD Asidosis metabolic Syok dd/sepsis
hipovolemik P : Inf Paracetamol 1gr/8 jam terapi lain dilanjutkan cek ulang DR, GDS, uc/cr, SGOT/SGPT, albumin, procalcitonin, elektrolit (06/02/2019 Jam 06.30) Cek kesadaran GCS E1M1Vet
A : Penurunan kesadaran syok sepsis (perbaikan) hiperglikemia insufisiensi renal insufisiensi hepar P : Balance cairan Kultur urine terapi lain dilanjutkan konsul ICU (06/02/2019 Jam 10.00 WIB) Cek kesadaran GCS E1M1Vet
A : Penurunan kesadaran syok sepsis (peraikan) hiperglikemia azotemia peningkatan transaminase P : insulin SP vascon SP 09 cc/jam Dobutamine SP 3.6 cc/jam inj omeprazole 40 g/12 jam IV Pengawasan hemodinamik/jam
BAB IV PEMBAHASAN KASUS
Pada kasus ini, pasien adalah seorang perempuan usia 66 tahun datang ke IGD Label merah RSUP Dr.Kariadi pada tanggal 05/02/2019 pukul 07.00 dengan penurunan kesadaran sejak pukul 03.00 WIB. Berdasarkan pemeriksaan fisik yang dilakukan saat pertama kali datang didapatkan GCS: E1M1Vet, dengan TD: 60/40 mmHg, HR: 92 x/menit, RR:24 x/menit, T: 36,6ºC, SpO2 92%. Pasien memiliki riwayat DM (+) dan HT (+). Selama 1 hari lebih 11 jam pasien dirawat di IGD RSUP dr. Kariadi kondisi pasien cukup stabil dengan ET terpasang dan diberikan oksigen 10Lpm disertai jackson reese untuk menstabilkan jalan nafas pasien. Kemudian tiba – tiba pada pukul 07.30 tanggal 05/02/2019 kondisi pasien mengalami perburukan yaitu tensi pasien yang tidak terukur dan saat dilakukan perabaan a. carotis selama 10 detik pun nadi tidak teraba sehingga direncanakan untuk dilakukan resusitasi jantung paru (RJP) sebanyak 5 siklus atau selama 2 menit kemudian evaluasi perabaan a. carotisnya. Sebelum melakukan tindakan tersebut, dokter menjelaskan prosedur tindakan tersebut kepada keluarga pasien. Setelah mendapatkan informed consent dari keluarga, dokter segera bertindak untuk melakukan resusitasi jantung paru.1,3-5 Namun setelah 2x siklus RJP tidak ada perubahaan pada perabaan a. carotis, sehingga masuk adrenalin sebagai advance life support. RJP tetap dilanjutkan, kemudian dievaluasi lagi perabaan a.carotis sudah dapat teraba (+). Pasien diberikan total 2 ampul injeksi adrenalin. Pada saat RJP pasien diberikan manual bagging untuk membantu ventilasi dan oksigenasi pasien.. Menurut American Heart Assosiation (AHA) 2015, resusitasi jantung paru dilakukan pada seseorang yang tidak sadar dan tidak teraba nadi, dilakukan resusitasi jantung paru dengan perbandingan kompresi dan ventilasi yaitu 30 : 2, dengan frekuensi 100-120 x/menit dengan kedalaman 5-6 cm atau 2 inchi, kompresi dilakukan dengan menunggu recoil sempurna dari dinding dada dengan interupsi minimal. Pada kasus ini, dokter sudah melakukan tindakan sesuai pedoman menurut AHA 2015.5
Setelah dilakukan resusitasi jantung paru, nadi pasien dapat teraba kembali dengan denyut nadi 74 x/menit, tekanan darah 85/40 mmHg, nilai SpO2 100%, dan didapatkan napas spontan. Kondisi tersebut dinamakan Return Of Spontaneous Circulation (ROSC) yaitu keberhasilan resusitasi jantung paru yang ditandai dengan kembalinya sirkulasi spontan dengan terabanya nadi karotis. Pasien dilakukan evaluasi dan monitoring, selanjutnya dilakukan perawatan lanjutan diruangan ICU.
BAB V RINGKASAN Kesimpulan 1. Resusitasi jantung paru otak merupakan usaha yang dilakukan untuk mengembalikan fungsi sirkulasi dan atau pernafasan pada henti jantung (cardiac arrest) dan atau henti nafas (respiratory arrest) dengan bantuan pernapasan dan kompresi dada. Fase-fase pada resusitasi jantung paru adalah Bantuan Hidup Dasar, Bantuan Hidup Lanjut dan Bantuan Hidup Perpanjangan. 1,3 2. Resusitasi yang berhasil setelah terjadinya henti jantung membutuhkan gabungan dari tindakan yang terkoordinasi yang meliputi pengenalan segera hengi jantung dan aktivasi emergency response system, resusitasi jantung paru awal dengan menekankan pada kompresi dada, defibrilasi yang cepat, advanced life support yang efektif, perawatam post-cardiac arrest yang terintegrasi. 1,3 3. Indikasi dilakukan resusitasi jantung paru otak adalah henti napas dan henti jantung 4. High quality CPR menurut Guideline American Heart Asosiation (AHA), terdiri dari kecepatan kompresi dada pada seorang dewasa yang menjadi korban serangan jantung, penolong perlu melakukan kompresi dada pada kecepatan 100 hingga 120kali/menit dengan kedalaman 2.4 inch 6cm). 5. Prosedur resusitasi otak jantung paru dapat diterapkan pada bayi, anak dan dewasa.
DAFTAR PUSTAKA 1. British Heart Foundation. Cardiac Arrest. https://www.bhf.org.uk/heart health/conditions/cardiac-arrest. 2. Roifah I. Metode Cardio Pulmonary Resucitation Untuk Meningkatkan Survival Rates Pasien Post Cardiac Arrest.; 2014. 3. Douglas P. Zipes, Peter Libby, Robert O. Bonow, Douglas L. Mann GFT. Braunwald’s Heart Disease E-Book: A Textbook of Cardiovascular Medicine. Elsevier; 2018. 4. American Heart Association. About Cardiac Arrest. http://www.heart.org/HEARTORG/Conditions/More/CardiacArrest/AboutCardiac-Arrest_UCM_307905_Article.jsp#.WM_GSTt97IU. 5. ACLS Medical Training. Respiratory Arrest. https://www.aclsmedicaltraining.com/respiratory-arrest/. Published 2018. Accessed April 14, 2018. 6. Institute AC. Managing Respiratory Arrest. https://acls.com/freeresources/knowledge-base/respiratory-arrest-airway-management/managingrespiratory-arrest. Published 2018. Accessed April 14, 2018. 7. Soenarjo, Marwoto H, Witjaksono, et al. Anestesiologi. In: Semarang: IDSAI; 2010:45-52. 8. Hazinski M D. Fokus Utama Pembaruan Pedoman American Heart Association 2015 Untuk CPR Dan ECC.; 2015. 9. Bagian Diklat RSCM. Bantuan Hidup Dasar. http://www.academia.edu/25375707/BANTUAN_HIDUP_DASAR. Accessed April 14, 2018. 10. Soenarjo, Marwoto H, Witjaksono, et al. Anestesiologi. In: Semarang: IDSAI; 2010:45-52. 11. Comittee on Trauma Advanced Trauma Life Supportfor Doctor’s 7th Edition. Chicago: American College of Surgeon Committee on Trauma; 2004. 12. Hardisman. Memahami Patofisiologi dan Aspek Klinik Syok Hipovolemik: Update dan Penyegaran. J Kesehat Andalas. 2013;2(178-182).