LAPORAN KASUS BESAR SEORANG LAKI LAKI 49 TAHUN DENGAN MATA KIRI KONJUNGTIVITIS ET CAUSA SUSPEK VIRUS
Diajukan Guna Memenuhi Tugas Kepaniteraan Senior Ilmu Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro
Penguji kasus
: dr. Arnila Novitasari Saubig, Sp. M
Pembimbing
: dr. Ivana Tanoko
Dibacakan oleh
: Sitiayu Anisa Gultom
Dibacakan tanggal : 21 Juni 2018
BAGIAN ILMU KESEHATAN MATA FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG 2018
HALAMAN PENGESAHAN
Nama
: Sitiayu Anisa Gultom
NIM
: 22010117220171
Judul Laporan
: Seorang laki-laki 49 tahun dengan mata kiri Konjungtivitis et causa suspek virus
Penguji
: dr. Arnila Novitasari Saubig, Sp, M
Pembimbing
: dr. Ivana Tanoko
Semarang, 21 Juni 2018 Pembimbing
dr. Ivana Tanoko
Penguji Kasus
dr. Arnila Novitasari Saubig, Sp.M
1
BAB I PENDAHULUAN
Konjungtivitis adalah proses inflamasi akibat infeksi atau non-infeksi pada konjungtiva yang ditandai dengan dilatasi vaskular, infiltrasi seluler, dan eksudasi.1 Di Indonesia konjungtivitis menduduki peringkat 10 besar penyakit rawat jalan terbanyak pada tahun 2009. Dari 135.749 pasien yang berkunjung ke poli mata, 73% adalah kasus konjungtivitis.2 Berdasarkan penyebabnya, konjungtivitis dibagi menjadi konjungtivitis infeksi dan noninfeksi. Pada konjungtivitis infeksi, penyebab tersering adalah virus dan bakteri, sedangkan pada kelompok non-infeksi disebabkan oleh alergi, reaksi toksik, dan inflamasi sekunder lainnya. Konjungtivitis juga dapat dikelompokkan berdasarkan waktu yaitu akut dan kronik. Pada kondisi akut, gejala terjadi hingga empat minggu, sedangkan pada konjungtivitis kronik, gejala lebih dari empat minggu. Konjungtivitis sering terjadi bersama atau sesudah infeksi saluran napas dan umumnya terdapat riwayat kontak dengan pasien konjungtivitis viral. Penyebaran virus umumnya terjadi melalui tangan, peralatan mandi yang digunakan bersama, bantal kepala yang digunakan bersama atau kontak dengan alat pemeriksaan mata yang terkontaminasi.3,4 Virus merupakan penyebab konjungtivitis yang paling sering terjadi. Konjungtivitis virus dapat disebabkan berbagai jenis virus dan yang paling sering adalah adenovirus. Pada umumnya infeksi virus bersifat self-limiting, namun proses penyembuhanya dapat lebih lama dibandingkan bakteri. Gejala yang sering dikeluhkan pasien serupa mata merah, gatal, dan sekret yang membuat fisura palpebra lengket atau sulit dibuka saat bangun tidur. Berikut ini dilaporkan kasus mata kiri konjungtivitis et causa suspek virus pada penderita laki-laki 49 tahun yang berobat ke poliklinik Mata RS William Booth Semarang.
2
BAB II LAPORAN KASUS
IDENTITAS Nama
: Tn. S
Usia
: 49 tahun
Jenis Kelamin
: Laki-laki
No. CM
: 27-54-94
Alamat
: Semarang
Pekerjaan
: Wiraswasta
ANAMNESIS Hari/tanggal
: Kamis, 31 Mei 2018 (autoanamnesis) di poliklinik mata RS William Booth Semarang
Keluhan Utama
: Mata Kiri Merah
Riwayat Penyakit Sekarang
:
±3 hari yang lalu, pasien mengeluh mata kiri merah (+) seperti ada benda asing. Pasien juga mengeluhkan mata kiri gatal dan berair.dari mata kiri pasien keluar kotoran mata berwarna putih terutama saat pasien bangun tidur. Kotoran tidak terlalu banyak dan tidak sampai membuat kelopak mata pasien saling menempel. Pasien memberikan tetes mata LFX namun keluhan tidak membaik sehingga pasien datang berobat ke poliklinik mata RS William Booth Semarang. Riwayat batuk pilek dan nyeri telan (-) Riwayat Penyakit Dahulu: Riwayat sakit mata merah pada lingkungan sekitar (-) Riwayat Operasi (-) Riwayat alergi (-) Riwayat menggunakan kacamata atau softlens disangkal Riwayat trauma / kelilipan (+) Riwayat Penyakit Keluarga: Tidak ada anggota keluarga yang menderita penyakit yang sama Riwayat Sosial Ekonomi: Pasien adalah seorang wiraswasta Biaya pengobatan ditanggung sendiri Kesan ekonomi cukup PEMERIKSAAN FISIK Pemeriksaan Fisik ( 31 Mei 2018) 3
Status Praesens Keadaan Umum
: Baik
Kesadaran
: Compos Mentis, GCS 15
Tanda Vital
: TD: 130/70 mmHg, RR: 18x/menit
Kepala
Nadi: 80x/menit, Suhu: 37,5oC : Pembesaran kelenjar preaurikuler -/-
Thorax
: Tidak ada kelainan
Abdomen
: Tidak ada kelainan
Ekstremitas
: Tidak ada kelainan
Injeksi konjungtiva
Status Opthamologi Mata Kanan
Mata Kiri
5/5
VISUS
5/10
Tidak dilakukan
KOREKSI
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
SENSUS COLORIS
Tidak dilakukan
(-)
PARASE/PARALYSE
(-)
Sikatrik (-),
SUPERCILIA
Sikatrik (-),
Hiper/hipopigmentasi (-)
Hiper/hipopigmentasi (-)
Trichiasis (-),Dischiasis (-)
CILIA
Trichiasis (-),Dischiasis (-)
Edema (-), Spasme (-)
PALPEBRA SUPERIOR
Edema (-), Spasme (-)
Edema (-), bekas luka (-),
PALPEBRA INFERIOR
Edema (-), bekas luka (-),
eritema (-)
eritema (-)
kemosis (-),
CONJUNGTIVA
kemosis (-)
folikel (-)
PALPEBRALIS
folikel (+)
Injeksi (-), sekret (-)
CONJUNGTIVA
Injeksi (+), Sekret (+) 4
serous, folikel (-)
FORNICES
serous, folikel (+)
Injeksi konjungtiva (-)
CONJUNGTIVA BULBI
Injeksi konjungtiva (+)
Intak
SCLERA
Intak
Jernih, defek negatif
CORNEA
Jernih, defek negatif
Kedalaman cukup, Tyndall
CAMERA OCULI
Kedalaman cukup, Tyndall
efek (-)
ANTERIOR
efek (-)
Kripte (+). Sinekia (-)
IRIS
Kripte (+), Sinekia (-)
Bulat, sentral, reguler, d:
PUPIL
Bulat, sentral, reguler, d:
3mm, RP (+) N
3mm, RP (+) N
Jernih
LENSA
Keruh tak rata
Cemerlang (+)
FUNDUS REFLEKS
Cemerlang (+)
Tidak dilakukan
CORPUS VITREUM
Tidak dilakukan
T(Digital) normal
TENSIO OCULI
T(Digital) normal
Tidak dilakukan
SISTEM CANALIS
Tidak dilakukan
LACRIMASLIS Tidak dilakukan
TEST FLUORESCEIN
Tidak dilakukan
Status Lokalis : Pemeriksaan nnll : pre aurikula
: -/-
Submandibular : -/-
5
RESUME Seorang laki-laki berumur 49 tahun datang ke poliklinik mata RS William Booth dengan keluhan mata kiri merah. ±3 hari yang lalu keluhan dirasakan sejak pasien membaik setelah diberikan tetes mata LFX pasca terkena serbuk kayu pada tanggal 19 mei 2018. Injeksi konjungtiva mata kiri (+), hiperemis (+), lakrimasi (+), sekret (+), demam (-), nerocos (-), silau (-). Tidak ada riwayat batuk pilek dan nyeri telan, dan tidak ada riwayat sakit mata merah di lingkungan sekitar.
Pemeriksaan Fisik : Status presens dalam batas normal, pembesaran kelenjar preaurikuler (-) Status Opthamologi Mata Kanan
Mata Kiri
5/5 Kemosis (-),
VISUS CONJUNGTIVA
5/10 Kemosis (-),
folikel (-)
PALPEBRALIS
Folikel (+)
Injeksi (-), sekret (-)
CONJUNGTIVA
Injeksi (+), sekret (+)
serous , folikel (-)
FORNICES
serous , folikel(+)
DIAGNOSA KLINIS
Mata Kiri Konjungtivitis et causa virus
DIAGNOSIS BANDING Mata Kiri Konjungtivitis et causa bakteri TERAPI Kompres dingin C lyteers ED 6 x gtt 1 Vit C 500 mg 1x1tab
6
PROGNOSIS Mata Kanan
Mata Kiri
Quo ad visam
Ad bonam
Ad bonam
Quo ad sanam
Ad bonam
Ad bonam
Quo ad vitam
Ad bonam
Quo ad cosmeticam
Ad bonam
USUL
Pemeriksaan sekret mata dengan pengecatan Gram
Edukasi mengenai penyakit, tatalaksana, prognosis serta komplikasi
EDUKASI
Menjelaskan pada pasien bahwa mata merah disebabkan oleh virus dan dimungkinkan bisa sembuh sendiri.
Menjelaskan bahwa penyakitnya menular, jika memegang mata agar segera cuci tangan.
Menjelaskan untuk menghindari kontak dengan anggota keluarga terutama anak
Menjelaskan pada pasien agar menjaga kesehatan dan kebersihan mata
Menjelaskan pada pasien agar menjaga kebersihan rumah dan sekitar
Pasien diminta untuk meneteskan, meminum dan menggunakan obat secara teratur dan menjaga daya tahan tubuh, dengan memakan makanan yang bergizi dan istirahat yang cukup, untuk mempercepat penyembuhan penyakit.
7
BAB III DISKUSI 3.1 Anatomi Konjungtiva Konjungtiva merupakan membran mukosa tipis dan transparan yang melapisi bagian anterior bola mata dan bagian dalam palpebra. Konjungtiva dibagi tiga bagian yaitu konjungtiva palpebra, konjungtiva bulbar dan forniks. Konjungtiva palpebra melapisi bagian dalam palpebra, dibagi lagi menjadi tiga bagian yaitu marginal, tarsal dan orbital. Bagian marginal terletak di tepi palpebra hingga 2 mm ke dalam palpebra, bagian tarsal melekat di tarsal plate, sedangkan bagian orbital terletak di antara konjungtiva tarsal dan forniks. Di konjungtiva palpebra terdapat kelenjar henle dan sel goblet yang memproduksi musin. Konjungtiva bulbar melapisi bagian anterior bola mata dan dipisahkan dengan sklera anterior oleh jaringan episklera. Konjungtiva yang berbatasan dengan kornea disebut limbal conjunctiva. Di konjungtiva bulbar terdapat kelenjar manz dan sel goblet. Konjungtiva forniks merupakan penghubung konjungtiva palpebra dengan konjungtiva bulbar. Daerah tersebut memiliki kelenjar lakrimal aksesoris yaitu kelenjar krause dan wolfring yang menghasilkan komponen akuos air mata.4,5
Gambar 1, Anatomi Konjungtiva 8
3.2 Histologi Konjungtiva Konjungtiva terdiri atas tiga lapisan yang secara histologi berbeda, yaitu lapisan epitelium, adenoid, dan fibrosa. Lapisan epitelium merupakan lapisan terluar konjungtiva dengan struktur yang bervariasi di setiap regio. Epitel konjungtiva marginal terdiri atas lima lapis epitel gepeng berlapis dan pada konjungtiva tarsal terdiri atas dua lapis epitel silindris dan gepeng. Konjungtiva forniks dan bulbar terdiri atas tiga lapis epitel yaitu sel silindris, sel polihedral, dan sel kuboid, sedangkan konjungtiva limbal terdiri atas berlapis-lapis sel gepeng. Lapisan adenoid merupakan lapisan limfoid yang berfungsi dalam respons imun di permukaan mata. Lapisan itu disebut conjunctiva-associated lymphoid tissue (CALT); terdiri atas limfosit dan leukosit yang dapat berinteraksi dengan mukosa sel epitel melalui sinyal resiprokal yang dimediasi oleh growth factor, sitokin dan neuropeptida.5,6 Lapisan fibrosa terdiri atas jaringan kolagen dan fibrosa serta pembuluh darah dan konjungtiva. Konjungtiva palpebra diperdarahi oleh pembuluh darah palpebra, sedangkan konjungtiva bulbar memperoleh darah dari arteri siliaris anterior. Persarafan sensorik konjungtiva berasal dari cabang nervus kranialis V.
Gambar 2, Histologi Konjungtiva
9
3.3 Definisi Konjungtivitis Konjungtivitis merupakan radang konjungtiva atau radang selaput lendir yang menutupi belakang kelopak mata dan bola mata dalam bentuk akut maupun kronis yang disebabkan oleh bakteri, virus, jamur, klamidia, alergi, toksik, maupun iritasi. 3.4 Gambaran Klinis Konjungtivitis Gambaran klinis konjungtivitis secara umum, adalah sebagai berikut7 : 1. Hiperemia, disebabkan dilatasi pembuluh-pembuluh konjungtiva posterior. 2. Sekret, berasal dari eksudasi sel-sel radang. Kualitas dan sifat alamiah eksudat(mukoid, purulen, berair, ropy, atau berdarah) tergantung dari etiologinya. 3. Kemosis, mengesankan konjungtivitis alergika namun dapat terjadi pada konjungtivitis gonokok atau meningokok akut dan terutama pada konjungtivitis adenovirus. 4. Epifora, sebagai reaksi dari badan asing pada konjungtiva atau kornea atau merupakan iritasi toksik 5. Pseudoptosis, disebabkan karena adanya infiltrasi selsel radang pada palpebra superior maupun karena edema pada palpebra superior. 6. Folikel, tampak pada kebanyakan kasus konjungtivitis virus, pada semua kasus konjungtivitis klamidia kecuali konjungtivitis inklusi neonatal, pada beberapa kasus konjungtivitis parasitik dan pada beberapa kasus konjungtivitis toksik yang diinduksi pengobatan topikal. 7. Hipertrofi papila, terjadi karena konjungtiva terikat pada tarsus atau limbus di bawahnya oleh serabut-serabut halus. 8. Pseudomembran dan membran, adalah hasil proses eksudatif dan hanya berbeda derajatnya. Pseudomembran adalah pengentalan diatas permukaan epitel, bila diangkat epitel tetap utuh. Membran adalah pengentalan yang meliputi seluruh epitel dan jika diangkat akan meninggalkan permukaan yang kasar dan berdarah. 9. Limfadenopati preaurikuler, terdapat pada konjungtivitis herpes simplek primer, keratokonjungtivitis epidemika, konjungtivitis inklusi dan trachoma
10
Perbedaan jenis-jenis konjungtivitis Tanda
Bakterial
Viral
Alergik
Gatal
Minimal
Minimal
Hebat
Air mata
Sedang
Profuse
Sedang
Sakit
Jarang
Sewaktu-
-
-
Ringan-sedang
Ringan-
tenggorokan dan
Toksik
waktu
demam yang Menyertai Injeksi
Mencolok
Sedang
Konjungtiva
Sedang
Hemoragi
+
+
-
-
Kemosis
++
+/-
++
+/-
Eksudat
Purulen atau
Serous
Mucoid,
-
Mukopurulen Pseudomembran
+/- (strep,
lengket, putih +/-
-
-
+/-
-
+
-
Folikel
-
+
-
+ (medikasi)
Nodus
+
++
-
-
-
-
- (kecuali
-
C.diph) Papil
Preaurikular Panus
vernal) Pewarnaan Usapan
Bakteri,
Monosit,
PMN
Limfosit
Eosinofil
-
11
3.5 Konjungtivitis Virus 3.5.1 Definisi dan etiologi Konjungtivitis merupakan peradangan pada konjungtiva. Istilah ini mengacu pada peradangan yang tidak spesifik dengan penyebab yang beragam. Virus merupakan agen infeksi yang umum ditemukan selain konjungtivitis bakterial, alergi, dan lan-lain.8 Berbagai jenis virus diketahui dapat menjadi agen penyebab konjungtivitis. Adenoviral merupakan etiologi tersering dari konjungtivitis virus. Beberapa subtipe dari konjungtivitis adenovirus antara lain demam faringokonjungtiva serta keratokonjungtivitis epidemika. Infeksi mata primer oleh karena herpes simplex sering ditemukan pada anak-anak dan biasanya menimbulkan konjungtivitis folikuler. Infeksi ini umumnya disebabkan oleh HSV tipe I walaupun HSV tipe II dapat pula menyebabkan konjungtivitis terutama pada neonatus. Penyebab lain yang lebih jarang antara lain infeksi virus varicella-zoster (VZV), pikornavirus (enterovirus 70, coxsakie A24), poxvirus (molluskum kontagiosum, vaccinia). Infeksi oleh pikornavirus menyebabkan konjungtivitis hemoragika akut yang secara klinis mirip dengan infeksi oleh adenovirus namun lebih parah dan hemoragik. Molluscum kontagiosum dapat menyebabkan konjungtivitis kronis yang terjadi akibat shedding partikel virus dari lesi ke dalam sakus konjungtiva. Infeksi oleh virus Vaccinia saat ini sudah jarang ditemukan seiring dengan menurunnya insiden infeksi smallpox. Infeksi HIV pada pasien AIDS pada umumnya menyebabkan abnormalitas pada segmen posterior, namun infeksi pada segmen anterior juga pernah dilaporkan. Konjungtivitis yang terjadi pada pasien AIDS cenderung lebih berat dan lama daripada individu lain yang immunokompeten. Konjungtivitis juga kadang dapat ditemukan pada periode terinfeksi virus sistemik seperti virus influenza, Epstein-Barr virus, paramyxovirus (measles, mumps, Newcastle) atau Rubella.
3.5.2 Patofisiologi Konjungtiva selalu berhubungan dengan dunia luar. Kemungkinan konjungtiva terinfeksi dengan mikroorganisme sangat besar. Pertahanan Konjungtiva terutama oleh karena adanya tear film atau lapisan air mata pada konjungtiva yang 12
berfungsi untuk melarutkan kotoran-kotoran dan bahan-bahan yang toksik kemudian mengalirkan melalui saluran lakrimalis ke meatus nasi inferior.Lapisan air mata mengandung beta lisin, lisosim, IgA, dan IgG yang berfungsi untuk menghambat pertumbuhan kuman. Epitelium yang melapisi konjungtiva dan sklera bagian luar terpapar dengan dunia luar. Hal ini merupakan kesempatan bagus bagi virus untuk menginvasi. Tiap beberapa detik palpebra menutup memberi perlindungan bagi sklera da konjungtiva berupa sekret dan pembersihan dari benda asing. Namun tetap saja ada kesempatan kecil virus dapat masuk ke dalam sel. Apalagi ketika terjadi jejas misalnya abrasi inokulasi langsung mungkin dapat terjadi saat pemeriksaan oftalmologi atau dari kontaminasi lingkungan. Pada sebagian besar kasus, replikasi biasanya terlokalisasi dan menyebabkan inflamasi misalnya konjungtivitis. Virus memiliki genom asam nukleat single atau double stranded yang dilingkupi kapsid dengan atau tanpa amplop diluarnya. Asam nukleat dapat berupa RNA atau DNA yang dibutuhkan untuk melakukan transkripsi menghasilkan enzim atau protein yang dibutuhkan unuk bereplikasi. Pada permukaan kapsid terdapat ligan yang berfungsi untuk menempel pada sel host sehingga menjadi jalan masuk virus ke dalam sel. Pada virus yang memiliki amplop yang melingkupi kapsid, sejenis glikoprotein terekspresikan di permukaan yang berfungsi melindungi virus dari antibodi. Namun virus yang memiliki amplop lebih rentan terhadap pajanan dunia luar seperti sinar UV. Sebaliknya pada virus yang hanya memiliki kapsid seperti adenovirus dapat bertahan lebih lama di luar tubuh.9
3.5.3
Gejala dan Tanda Klinis
Konjungtivitis folikuler virus akut dapat muncul sebagai gejala yang ringan dan sembuh sendiri hingga gejala berat yang menimbulkan kecacatan.7 a. Demam faringokonjungtival Tipe ini biasanya disebabkan oleh adenovirus tipe 3 dan kadang-kadang tipe 4 dan 7. Demam faringokonjungtival ditandai oleh demam 38,3 - 400C, sakit tenggorokan, dan konjungtivitis pada satu atau dua mata. Folikel sering mencolok pada kedua konjungtiva, dan pada mukosa faring. Penyakit ini dapat terjadi bilateral atau unilateral. Mata merah dan berair mata sering terjadi, dapat disertai keratitis superficial sementara ataupun sedikit kekeruhan di daerah 13
subepitel. Limfadenopati preaurikuler yang muncul tidak disertai nyeri tekan. Sindrom yang ditemukan pada pasien mungkin tidak lengkap, hanya terdiri atas satu atau dua gejala utama (demam, faringitis, dan konjungtivitis).
b. Keratokonjungtivitis epidemika: Keratokonjungtivitis epidemika disebabkan oleh adenovirus subgroup D tipe 8, 19, 29, dan 37. Konjungtivitis yang timbul umumnya bilateral. Awitan sering pada satu mata kemudian menyebar ke mata yang lain. Mata pertama biasanya lebih parah. Gejala awal berupa nyeri sedang dan berair mata, diikuti dalam 5-14 hari kemudian dengan fotofobia, keratitis epitel, dan kekeruhan subepitel bulat. Fase akut ditandai dengan edema palpebra, kemosis, dan hiperemia konjungtiva. Dalam 24 jam sering muncul folikel dan perdarahan konjungtiva. Kadangkadang dapat terbentuk pseudomembran ataupun membran sejati yang dapat meninggalkan parut datar ataupun symblepharon. Konjungtivitis berlangsung selama 3-4 minggu. Kekeruhan epitel terjadi di pusat kornea, menetap berbulanbulan namun menyembuh tanpa disertai parut.
Gambar 3. Folikel dan perdarahan konjungtiva c. Konjungtivitis virus herpes simpleks (HSV) Konjungtivitis HSV umumnya terjadi ada anak-anak dan merupakan keadaan luar biasa yang ditandai pelebaran pembuluh darah unilateral, iritasi, disertai sekret mukoid, dan fotofobia. Konjungtivitis dapat muncul sebagai infeksi primer HSV atau pada episode kambuh herpes mata. Sering disertai keratitis herpes simpleks, dengan kornea menampakkan lesi-lesi eptelial tersendiri yang umumnya menyatu membentuk satu ulkus atau ulkus epithelial yang bercabang banyak (dendritik). Konjungtivitis yang terjadi umumnya folikuler namun dapat juga pseudomembranosa. Vesikel herpes kadang-kadang muncul di palpebra dan tepian palebra, disertai edema berat pada palpebra. Nodus preaurikuler yang nyeri tekan adalah gejala yang khas untuk konjungtivitis HSV. 14
Gambar 4. Folikel dan pseudomembran d. Konjungtivitis hemoragika akut Konjungtivitis hemoragika akut disebabkan oleh enterovirus tipe 70 dan kadangkadang oleh virus coxsakie tpe A24. Yang khas pada konjungtivitis tipe ini adalah masa inkubasi yang pendek (sekitar 8-48 jam) dan berlangsung singkat (5-7 hari). Gejala dan tandanya adalah rasa sakit, fotofobia, sensasi benda asing, banyak mengeluarkan air mata, edema palpebra, dan perdarahan subkonjungtiva. Kadang-kadang dapat timul kemosis. Perdarahan subkonjungtiva yang terjadi umumnya difus, namun dapat diawali oleh bintik-bintik perdarahan. Perdarahan berawal dari konjungtiva bulbi superior menyebar ke bawah. Pada sebagian besar kasus, didapatkan limfadenopati preaurikular, folikel konjungtiva, dan keratitis epithelia. Pada beberapa kasus dapat terjadi uveitis anterior dengan gejala demam, malaise, dan mialgia. Transmisi terjadi melalui kontak erat dari orang ke orang melalui media sprei, alat-alat optic yang terkontaminasi, dan air.
e. Konjungtivitis Newcastle Konjungtivitis Newcastle disebabkan oleh virus Newcastle dengan gambaran klinis sama dengan demam faring konjungtiva. Penyakit ini biasanya terdapat pada pekerja peternak unggas yang ditulari virus Newcastle pada unggas. Umumnya penyakit bersifat unilateral walaupun dapat juga bilateral. Konjungtivitis ini memberikan gejala influenza dengan demam ringan, sakit kepala dan nyeri sendi. Konjuntivitis Newcastle akan memberikan keluhan rasa sakit pada mata, gatal, mata berair, penglihatan kabur dan fotofobia. Penyakit ini sembuh dalam jangkat waktu kurang dari satu minggu. Pada mata akan terlihat edema palpebral ringan, kemosis dan secret yang sedikit, dan folikel-folikel yang terutama ditemukan pada konjungtiva tarsal superior dan inferior. Pada kornea
15
ditemukan keratitis epithelial atau keratitis subepitel. Pembesaran kelenjar getah bening yang tidak nyeri tekan.
Konjungtivitis virus menahun meliputi: a. Blefarokonjungtivitis Mulloskum Kontagiosum Molluscum kontagiosum ditandai dengan adanya reaksi radang dengan infiltrasi mononuclear dengan lesi berbentuk bulat, berombak, berwarna putih-mutiara, dengan daerah pusat yang non radang. Nodul molluscum pada tepian atau kulit palpebra dan alis mata apat menimbulkan konjungtivitis folikuler menahun unilateral, keratitis superior, dan pannus superior, dan mungkin menyerupai trachoma.10
Gambar 5. Folikel
Gambar 6. Folikel
b. Blefarokonjungtivitis varicella-zoster Blefarokonjungtivitis
varicella-zoster
ditandai
dengan
hiperemia
dan
konjungtivitis infiltratif yang disertai erupsi vesikuler sepanjang penyebaran dermatom nervus trigeminus cabang oftalmika. Konjungtivitis yang terjadi umumnya
bersifat
papiler,
namun
dapat
pula
membentuk
folikel,
pseudomembran, dan vesikel temporer yang kemudian berulserasi. Pada awal perjalanan penyakit dapat ditemukan pembesaran kelenjar preaurikula yang nyeri tekan. Selanjutnya dapat terbentuk parut palpebra, entropion, dan bulu mata salah arah. Lesi palpebra dari varicella dapat terbentuk di bagian tepi ataupun di dalam 16
palpebra sendiri dan seringkali meninggalkan parut. Sering timbul konjungtivitis eksudatif ringan, tetapi lesi konjungtiva yang jelas (kecuali pada limbus) sangat jarang terjadi. Lesi di limbus menyerupai phlyctenula dan dapat melalui tahaptahap vesikel, papula, dan ulkus. Kornea di dekatnya mengalami infiltrasi dan bertambah pembuluh darahnya.10 c. Keratokonjungtivitis morbili. Enantema khas morbili seringkali mandahului erupsi kulit. Pada tahap awal konjungtiva nampak seperti kaca yang aneh, yang dalam beberapa hari diikuti pembengkakan lipatan semilunar (tanda Meyer). Beberapa hari sebelum erupsi kulit timbul konjungtivitis eksudatif dengan sekret mukopurulen. Bersamaaan dengan munculnya erupsi kulit akan timbul bercak-bercak koplik pada konjungtiva dan kadang-kadang pada carunculus. Keratitis epithelial dapat terjadi pada anak-anak dan orang tua.10
3.5.4
Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan yang perlu dilakukan berupa pemeriksaan dasar mata untuk
membuat diagnosis dan mengevaluasi pasien dengan mata merah. Pemeriksaan dasar mata tersebut meliputi : a. Penilaian tajam penglihatan bertujuan untuk menilai tajam penglihatan masih normal atau mengalami penurunan akibat permasalahan pada mata. Penilaian tajam penglihatan menggunakan kartu Snellen, dan bahkan jari, gerakan tangan, dan senter (penlight) bila diperlukan. b. Penilaian penyebab mata merah; menggunakan bantuan loupe dan senter. Pemeriksaan dimulai dari inspeksi dan palpasi kulit regio periorbita, kemudian bagian kelopak mata dan konjungtiva tarsal. Dari pemeriksaan tersebut, dapat dideteksi keberadaan proptosis, malfungsi kelopak mata, atau suatu keterbatasan gerakan bola mata. Setelah menilai keadaan pada regio tersebut, pemeriksaan beralih ke konjungtiva bulbi untuk mulai membedakan injeksi konjungtiva dan injeksi silier. Pada mata merah tanpa visus menurun umumnya
ditemukan
injeksi
konjungtiva
dan/
atau
perdarahan
subkonjungtiva, serta gambaran khas konjungtivitis berdasarkan etiologinya. Bila mata merah dan visus menurun selalu disertai dengan injeksi episklera dan injeksi konjungtiva. 17
c. Penilaian karakteristik air mata; karakteristik air mata yang perlu diketahui adalah bentuk dan sifat sekresi, serta membaginya menjadi kategori sesuai jumlahnya (banyak atau sedikit), dan karakter (purulen, mukopurulen, atau mukous). d. Penilaian kornea; bertujuan untuk menilai kejernihan dan regularitas permukaan kornea. Bila didapatkan kekeruhan pada kornea, perlu ditentukan jenis kekeruhan pada kornea pasien. Pemeriksaan menggunakan bantuan senter atau tes plasido. Pemeriksaan lanjutan dapat menggunakan tes fluorescein sebagai pemeriksaan keutuhan epitel kornea dengan metode pewarnaan. e. Penilaian kedalaman bilik mata depan; menilai bilik mata depan termasuk dalam kategori dangkal atau dalam. Selain itu, pemeriksaan ini bertujuan mendeteksi keberadaan lapisan darah atau pus di bilik mata depan. f. Penilaian pupil; bertujuan menilai besar pupil, adanya mid-dilatasi, miosis, dan refleks pupil langsung dan tidak langsung. g. Penilaian tekanan intraokular; bertujuan menentukan tekanan dalam bola mata dalam kategori normal, tinggi, atau rendah dengan menggunakan tonometer Schiotz. Sebagai deteksi awal tekanan okular, bila tidak tersedia tonometer Schiotz, dapat menggunakan metode palpasi bola mata. Meskipun lebih sederhana, hasil pemeriksaan metode palpasi sangat subjektif (tergantung pengalaman dan intepretasi pemeriksa) dan data yang didapatkan bersifat kualitatif.
3.5.5
Diagnosis dan Diagnosis Banding Anamnesis yang teliti mengenai keluhan pasien dan riwayat terdahulu sangat
penting dalam menegakkan diagnosis konjungtivitis virus. Pada penyakit ini, pasien akan mengeluhkan gejala-gejala yang berkaitan dengan proses infeksi (bengkak, merah, nyeri) dan beberapa hari kemudian akan muncul infiltrasi di bagian subepitel. Infiltrasi subepitel akan muncul sebagai keputihan di daerah kornea yang bisa menurunkan visus pasien untuk sementara waktu. Sebagian dari pasien akan mengalami pembengkakan di daerah kelenjar getah bening di bagian depan telinga (preaurikula). Dokter bisa menggunakan biomicroscopic slit lamp untuk melakukan pemeriksaan bagian depan mata. Kadang-kadang, pasien mengalami pseudomembrane pada jaringan di bagian bawah kelopak mata pada konjungtiva.7 18
Pemeriksaan penunjang yang harus dilakukan untuk konjungtivitis viral adalah kultur dengan pemeriksaan sitologi konjungtiva yang dilakukan pada infeksi yang menahun dan sering mengalami kekambuhan, pada reaksi konjungtiva yang atipikal, serta terjadi kegagalan respon terhadap pengobatan yang diberikan sebelumnya. Pengecatan giemsa juga dapat dilakukan. Pada konjungtivitis virus ditemukan sel mononuklear dan limfosit. Inokulasi merupakan teknik pemeriksaan dengan memaparkan organism penyebab kepada tubuh manusia untuk memproduksi kekebalan terhadap penyakit itu. Deteksi terhadap antigen virus dan klamidia dapat dipertimbangkan. Polymerase chain reaction (PCR) merupakan pemeriksaan yang digunakan untuk mengisolasi virus dan dilakukan pada fase akut.7
1. Konjungtivitis viral akut a. Demam faringokonjungtiva Diagnosis demam faringokonjungtivitis dapat ditegakkan dari tanda klinis maupun laboratorium. Virus penyebab demam faringokonjungtiva ini dapat dibiakkan dalam sel HeLa dan di identifikasi dengan uji netralisasi. Dengan berkembangnya penyakit virus ini dapat di diagnosis secara serologis melalui peningkatan titer antibodi penetral virus. Namun, diagnosis klinis merupakan diagnosis yang paling mudah dan praktis. Pada kerokan konjungtiva didapatkan sel mononuklear dan tidak ada bakteri yang tumbuh pada biakan.1
b. Keratokonjuntivitis epidemika Virus ini dapat diisolasi dalam biakan sel dan dapat diidentifikasi dengan uji netralisasi. Kerokan konjungtiva menampakkan reaksi radang mononuklear primer. Bila terbentuk pseudomembran, juga tampak neutrofil yang banyak.1
c. Konjungtivitis herpetik Pada konjungtivitis virus herpes simplek, jika konjungtivitisnya folikuler, reaksi radangnya terutama akibat kemotaksis nekrosis. Inklusi intranuklear (karena adanya marginasi kromatin) tampak dalam sel-sel konjungtiva dan kornea dengan fiksasi Bouin dan pilasan papanicolaou, tetapi tidak tampak dalam pulasan giemsa. Temuan sel-sel epitel raksasa multinukleus memiliki nilai diagnostik. Pada konjungtivitis Varisella-Zooster, diagnosis biasanya 19
ditegakkan dengan ditemukan sel raksasa pada pewarnaan giemsa, kultur virus, dan sel inklusi intranuklear.
d. Konjungtivitis New castle Diagnosis dari konjungtivitis ini adalah dari anamnesis dan juga gambaran klinisnya.
e. Konjungtivitis hemoragik epidemik akut Diagnosis utama adalah dari gambaran klinisnya.
2. Konjungtivitis Viral Kronis a.
Blefarokonjungtivitis Molluscum Contagiosum Bioposi menunjukkan inklusi sitoplasma iosinofilik yang memenuhi sitoplasma sel yang rusak, mendesak inti ke satu sisi.
b.
Blefarokonjungtivitis varicella zooster Pada zooster maupun varicella, kerokan dari vesikel palpebranya mengandung sel raksasa dan banyak leukosit polimorfonuklear, kerokan dari konjungtiva pada varicella dan dari vesikel konjungtiva pada zooster dapat mengandung sel raksasa dan monosit
c.
Blefarokonjungtivitis morbili Kerokan konjungtiva menunjukkan rekasi sel mononuclear, kecuali jika ada pseudomembran atau infeksi sekunder. Sediaan terpulas giemsa menampilkan sel-sel raksasa
3.5.6
Komplikasi Konjungtivitis
virus
bisa
berkembang
menjadi
kronis,
seperti
blefarokonjungtivitis. Komplikasi lainnya bisa berupa timbulnya pseudomembran, dan timbul parut linear halus atau parut datar, dan keterlibatan kornea serta timbul vesikel pada kulit
20
3.5.7 Tatalaksana Konjungtivitis viral biasanya bersifat suportif dan merupakan terapi simptomatis, belum ada bukti yang menunjukkan keefektifan penggunaan antiviral. Umumnya mata bisa dibuat lebih nyaman dengan pemberian cairan pelembab. Kompres dingin pada mata 3 – 4 x / hari juga dikatakan dapat membantu kesembuhan pasien. Penggunaan kortikosteroid untuk penatalaksanaan konjungtivitis viral harus dihindari karena dapat memperburuk infeksi. Penatalaksanaan berdasarkan klasifikasi dan gejala dari konjungtivitis virus dapat diuraikan sebagai berikut : 1. Konjungtivitis viral akut7 a. Demam faringokonjungtiva Pengobatan untuk demam faringokonjungtiva hanya bersifat suportif karena dapat sembuh sendiri diberi kompres, astrigen, lubrikasi, sedangkan pada kasus yang berat dapat diberikan antibiotik dengan steroid lokal. Pengobatan biasanya simptomatis dan pemberian antibiotik untuk mencegah infeksi sekunder.
b. Keratokonjungtivitis epidemika Hingga saat ini belum ada terapi spesifik, namun kompres dingin akan mengurangi beberapa gejala. Selama konjungtivitis akut, penggunaan kortikosteroid dapat memperpanjang keterlibatan kornea lebih lanjut sehingga harus dihindari. Anti bakteri harus diberikan jika terjadi superinfeksi bakteri.
c. Konjungtivitis herpetik Untuk konjungtivitis herpes simpleks yang terjadi pada anakdiatas satu tahun atau pada orang dewasa yang umumnya sembuh sendiri dan mungkin tidak perlu terapi. Namun, antivirus topikal atau sistemik harus doberikan untuk mencegah terkena kornea. Jika terjadi ulkus kornea, harus dilakukan debridement korneadengan mengusap ulkus menggunakan kain steril dengan hati-hati, oenetesan obat anti virus, dan penutupan mata selama 24 jam. Antivirus topikal sendiri harus diberikan 7-10 hari. Misalnya trikloridin setiap 2 jam sewaktu bangun. Penggunaan kortikosteroid 21
dikontraindikasikan karena bias memperburuk infeksi herpes simpleks dan mengubah penyakit dari suatu proses singkat yang sembuh sendiri menjadi infeksi berat yang berkepanjangan. Pada konjungtivitis varicella zooster pengobatan dapat dilakukan dengan pemberian kompres dingin. Pada saat acyclovir 400 mg/hari selama 5 hari
merupakan pengobatan umum.
Walaupun diduga steroid dapat mengurangi penyulit akan tetapi dapat mengakibatkan penyebaran sistemik. Pada 2 minggu pertama dapat diberikan analgetik untuk menghilangkan rasa sakit. Pada kelainan peermukaan dapat diberikan salep terasilin. Steroid tetes deksametason 0,1% diberikan bila terdapat episkleritis, skleritis dan iritis.1
d. Konjungtivitis new castle Pengobatan yang khas hingga saat ini tidak ada dan dapat diberikan antibiotik untuk mencegah infeksi sekunder disertai obat-obat simtomatik. e. Konjungtivitis hemorhagik epidemik akut Penyakit ini dapat sembuh sendiri sehingga pengobatan hanya simtomatik. Pengobatan antibiotika spekturm luas, sulfacetamide dapat digunkan untuk mencegah infeksi sekunder. Penyembuhan dapat terjadi dalam 5-7 hari. 2. Konjungtivitis viral kronik a. Konjungtivitis Molluscum Contagiosum Eksisi, insisi sederhana pada nodul yang memungkinkan darah tepi yang memasukinya atau krioterapi akan menyembuhkan konjungtivitis. Pada kondisi ini eksisi nodul juga menyembuhkan konjungtivitisnya. 3. Blefarokonjungtivitis varicella zoster Pada kondisi ini diberikan acyclovir oral dosis tinggi (800mg/oral 5x selama 10 hari) 4. Keratokonjungtivitis morbili Tidak ada terapi yang spesifik, hanya tindakan penunjang saja yang dilakukan, kecuali ada infeksi sekunder. Konjungtivitis viral merupakan penyakit infeksi yang angka penularannya cukup tinggi, sehingga pencegahan adalah hal yang sangat penting. Penularan juga bisa terjadi di fasilitas kesehatan bahkan ke tenaga kesehatan yang memeriksa pasien. Langkah – langkah pencegahan yang perlu diperhatikan adalah mencuci tangan 22
dengan bersih, tidak menyentuh mata dengan tangan kosong, serta tidak menggunakan peralatan yang akan digunakan untuk pemeriksaan pasien lain. Dalam penularan ke lingkungan sekitar, pasien sebaiknya disarankan untuk menghindari kontak dengan orang lain seperti di lingkungan kerja / sekolah dalam 1 – 2 minggu, juga menghindari pemakaian handuk bersama.
23
ANALISIS KASUS Pasien merupakan seorang pria usia 49 tahun. ± 3 hari yang lalu pasien mengeluh mata kirinya merah. Pasien juga mengeluhkan mata nrocos, terasa gatal dan mengganjal.
Pada anamnesis didapatkan mata kiri pasien mengeluarkan sekret
berwarna putih dengan jumlah yang tidak begitu banyak. Pasien ini didiagnosa sebagai mata kiri konjungtivitis et causa suspek virus dengan dasar pemikiran sebagai berikut: Anamnesis:
Penderita mengeluh mata kiri merah sejak ± 3 hari yang lalu
Gatal
Merah
Nrocos
Sekret serous
Pada pemeriksaan fisik, suhu normal, pembesaran kelenjar preaurikuler (-) Pemeriksaan Oftalmologis:
Terdapat injeksi konjungtiva
Folikel (+) pada konjungtiva palpebra
Sekret serous
Pada kasus ini pasien diberikan terapi :
Kompres dingin
C lyteers ED 6x gtt OS
Vit C 500 mg 1 x 1 tab
Penanganan utama pada pasien ini adalah terapi menggunakan tetes mata artificial 6 x gtt 1 untuk membantu menghilangkan debris dan mengurangi iritasi. Pemberian Vit. C 500 mg 1x1tab untuk meningkatkan sistem kekebalan tubuh, karena penyakit yang disebabkan oleh virus kemungkinan bisa sembuh sendiri. Serta diberikan kompres dingan dan istirahat yang cukup. Tidak ada pengobatan spesifik. Apabila keluhan tidak membaik setelah 5 hari pasien disarankan untuk menemui dokter spesialis mata.
24
DAFTAR PUSTAKA 1. Vaughan D, Asbury T. Oftalmologi Umum. Jakarta: Buku Kedokteran EGC. 2015. 2. Kemenkes RI.10 Besar Penyakit Rawat Jalan Tahun 2009. Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2009.2010, diakses 02 Juni 2018, dari http://www.Depkes.go.id 3. Azari AA, Barney NP. Conjunctivitis:a systemic review of diagnosis and treatment. JAMA.2013;310(6):1721-9. 2. 4. Cantor LB, Rapuano CJ, Cioffi GA. External disease and cornea. Italia: American Academy of Ophtalmology; 2014. 5. Tsai JC, Denniston AKO, Murray PI, Huang JJ, Aldad TS. Oxford American handbook of ophthalmology. New York: Oxford University Press; 2011. 6. Khurana AK. Comprehensive ophthalmology. Edisi ke-4. New Delhi: New Age International; 2007 7. Ilyas, H. Sidarta Prof. dr. SpM. Ilmu Penyakit Mata. Jakarta: FKUI; 2003, hal 2, 134. 8. Scott, IU. Viral Conjunctivitis. 2011. Available: http://emedicine.medscape.com/article/1191370-overview#showall 9. Pedoman Diagnosis dan Terapi, SMF Ilmu Penyakit Mata, Edisi III, 2006 .Rumah Sakit Umum Dokter Soetomo. Surabaya 10. Garcia-Ferrer FJ, Schwab IR, Shetlar DJ. Conjunctiva. In: Riordan-Eva P, Whitcher JP (editors). Vaughan & Asburry’s General Opthalmology. 16th edition. McGraw-Hill Companies. USA: 2004. p108-112
25