Kartel Sms.docx

  • Uploaded by: Hervino Winanda
  • 0
  • 0
  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Kartel Sms.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 1,539
  • Pages: 5
Kasus Kartel SMS oleh Enam Operator Telekomunikasi Isu tarif adalah isu sensitif pada bisnis telekomunikasi saat ini. Sensitif karena berdampak langsung kepada konsumen dan merupakan alat bagi operator dalam menjaring pelanggan melalui strategi pemasaran. Tetapi posisi yang berbeda antara regulator dan pelaku pasar secara politis, acapkali memberikan pengaruh signifikan terhadap struktur pasar. Untuk menguji analisis di atas, maka dugaan kartel SMS yang dilaporkan BRTI kepada KPPU dapat menjadi contoh kasus. BRTI menduga operator melakukan kartel karena menurut pengamatan BRTI, harga rata-rata SMS masih berkisar Rp.250-Rp.350 per SMS. Padahal BRTI telah menentukan harga ideal yaitu Rp.73-Rp.75 per SMS. Seakan tidak mau kehilangan momentum pasca putusan terhadap Temasek Holdings dan PT Telkomsel, KPPU pun melanjutkan investigasi atas laporan ini. Enam operator telekomunikasi dinyatakan terbukti secara sah melanggar pasal 5 UU No.5 tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Keenam operator diduga melakukan kartel bisnis layanan SMS dengan adanya kesepakatan harga layanan SMS off-net antar operator. Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) memutuskan mewajibkan lima operator membayar denda. Kelima operator itu adalah PT Excelcomindo Pratama Tbk (XL) sebesar Rp. 25 miliar, PT Telekomunikasi Seluler (Telkomsel) Rp. 25 miliar, PT Telkom Tbk Rp. 18 miliar, PT Bakrie Telecom Rp. 4 miliar, dan PT Mobile 8 Telecom Rp. 5 miliar. Sedangkan PT Smart Telecom tidak harus membayar denda karena merupakan pemain baru yang masuk pasar dan memiliki posisi tawar yang paling lemah. Terlapor lainnya, yaitu PT Indosat Tbk, PT Hutchinson CP Telecommunication, dan PT Natrindo Telepon Seluler tidak terbukti melanggar pasal tersebut. Ketua Majelis Komisi KPPU Dedie Martadisastra menyebutkan, perkara muncul setelah adanya laporan mengenai dugaan pelanggaran terhadap UU no.5 tahun 1999. KPPU melihat terdapat kerugian konsumen yang dihitung berdasarkan selisih penerimaan harga kartel dengan harga kompetitif SMS off net setidaknya Rp. 2,8 triliun, ujarnya dalam pembacaan putusan di Jakarta, Rabu (08/18/6). Selain Dedie, Majelis komisi terdiri atas Erwin Syahril dan Nawir Messi masing-masing sebagai anggota. Nilai kerugian terhadap masing-masing konsumen operator tersebut sejak 2004 hingga 2007 yakni, Telkomsel Rp. 2 triliun, XL Rp. 346 miliar, Mobile-8 Rp. 52 miliar, Telkom Rp. 173 miliar, Bakrie Rp. 62,9 miliar, dan SMART Rp. 0,1 miliar. Telkomsel tercatat menjadi operator yang berkontribusi paling besar dalam kerugian konsumen berdasarkan proporsi pangsa pasar. Menurut data Corporate Communications Telkomsel Suryo Hadiyanto, jumlah rata-rata trafik operator ini mencapai 200 juta SMS per hari. Namun majelis komisi tidak berwenang menjatuhkan sanksi ganti rugi untuk konsumen, papar Dedie.

Tidak adanya regulasi khusus mengenai SMS, paparnya, mengakibatkan operator mengambil tindakan untuk mengatur keseimbangan trafik SMS antara operator melalui instrumen harga. Akibatnya, menimbulkan kerugian bagi konsumen. Padahal di pasal 5 UU 5 tahun 1999, tercantum bahwa pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga atas suatu barang atau jasa yang harus dibayar konsumen pada pasar bersangkutan yang sama. Adalah bijaksana apabila isu dugaan kartel ini diawali dengan mencermati mata rantai penyelenggaraan telekomunikasi terutama terkait dengan penetapan tarif. Banyaknya operator telekomunikasi yang masuk pasar mencerminkan hambatan masuk pasar yang semakin menurun. Kerentanan munculnya hambatan ini terjadi manakala para operator harus melakukan keterhubungan jaringan dengan operator lain, sebagaimana diatur dalam Permenkominfo No. 8/2006 tentang Interkoneksi. Mata rantai penting yang perlu digarisbawahi adalah berperannya BRTI untuk memeriksa, mengevaluasi, dan mengawasi Dokumen Penawaran Interkoneksi (DPI) yang diajukan oleh operator. Persetujuan BRTI menjadi keharusan terutama bagi operator yang memiliki pendapatan usaha (operating revenue) 25 % atau lebih dari total pendapatan usaha seluruh operator dalam segmentasi layanannya. Lain kata, BRTI sudah seharusnya mengetahui penetapan harga yang ditetapkan oleh operator posisi dominan dalam setiap DPI-nya dengan operator lain. Karena ini akan memberikan efek domino terhadap operator yang tidak dominan. Tarif interkoneksi penting karena menjadi komponen perhitungan tarif SMS oleh operator. Bahkan sebenarnya dalam Pasal 14 ayat (2) Permenkominfo No. 8/2006, besaran biaya interkoneksi dapat disesuaikan dengan nilai ekonomis, yaitu kapasitas permintaan dan jumlah trafik yang dikomitmenkan oleh operator yang meminta layanan interkoneksi. Artinya terbuka peluang negosiasi antara dua operator dalam perjanjian interkoneksi. Kalau demikian maka tidak mengherankan apabila dalam perjanjian interkoneksi, operator penyedia interkoneksi mengoptimalkan strategi bisnis dan posisi tawarnya untuk bernegosiasi dengan operator baru yang kapasitas permintaan dan jumlah trafiknya masih belum teruji di pasar. Regulasi interkoneksi tidak melarang untuk melakukan itu. Tetapi BRTI harus mengawasi agar tidak terjadi harga tidak wajar yang dapat menciptakan hambatan persaingan bagi operator baru. BRTI seharusnya sejak awal mengintervensi pasar apabila ada prilaku pelaku pasar tidak pro persaingan. Namun yang terjadi justru sebaliknya, patokan harga ditetapkan BRTI pada saat mekanisme harga pasar telah terbentuk. Lantas, bila demikian apakah tarif SMS yang diduga kartel itu semata-mata disebabkan oleh operator? Menurut pendapat Ketua Yayasan Lembaga Konsumen, bahwa tarif SMS seharusnya lebih murah tetapi hal ini tak lepas dari kesalahan pemerintah. Pemerintah belum memiliki regulasi yang lengkap dan konkrit tentang besaran tarif SMS. Apabila dianalisis dugaan kartel SMS dalam UU Anti Monopoli, maka ada dua pasal yang terkait dengan dugaan ini yaitu Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 11 UU No. 5/1999. Dugaan kartel operator ini lebih cenderung terjerat dengan Pasal 5 ayat (1), yang berbunyi: “Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga atas suatu barang dan atau jasa yang harus dibayar oleh konsumen atau pelanggan pada pasar bersangkutan yang sama”.

Dalam teori hukum persaingan, Pasal 5 ayat (1) mengatur secara per se illegal. Maksudnya tidak perlu pembuktian lebih lanjut apakah kartel itu dapat atau tidak dapat mengakibatkan persaingan usaha tidak sehat. Sebaliknya, Pasal 11 mengatur secara rule of reason, dimana harus dibuktikan dahulu apakah perjanjian itu mengakibatkan terjadinya praktik monopoli atau persaingan usaha tidak sehat. Meskipun Pasal 5 ayat (1) tidak memerlukan pembuktian dampak persaingan tetapi adanya perjanjian untuk maksud kartel menjadi anasir pokok menerapkan pasal ini. Mengapa demikian, karena hasil sementara KPPU hanya menemukan salah satu klausul harga dalam perjanjian interkoneksi. Artinya, operator melakukan itu bukan karena maksud untuk kartel, tetapi karena ada peluang bagi operator yang tidak dilarang regulasi untuk bernegosiasi. Bahkan apabila diuji lebih lanjut, tarif Rp.250 – 350 per SMS dalam perjanjian interkoneksi operator di atas secara faktual masih sesuai dengan harga pasar. Sebaliknya, harga yang ditetapkan BRTI, jelas bukanlah harga pasar karena memang tidak ada operator dengan tarif demikian. Kalaupun ada mungkin Rp.100 per SMS. Dalam konteks ini diharapkan, agar KPPU dapat menerapkan UU Anti Monopoli secara cermat. Alasan utamanya adalah karena hambatan persaingan tidak saja datang dari pelaku usaha di pasar, melainkan juga dapat ditimbulkan oleh pemerintah melalui kebijakan dan regulasinya. Dengan kata lain, dugaan kartel SMS ini tidak dapat ditimpakan menjadi kesalahan mutlak para operator. Semoga dengan kasus ini, pemerintah meregulasi tarif dengan formulasi yang baik bagi operator dan konsumen.

Kasus Wartelkom ( Pemblokiran Saluran Langsung Internasional SLI ) Sebagai perusahaan telekomunikasi paling besar, PT Telekomunikasi Indonesia (Telkom) Tbk, mencatatkan diri sebagai salah satu perusahaan telekomunikasi yang pernah dijatuhi putusan di Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Dari beberapa putusan KPPU tiga di antaranya menyangkut Telkom dan salah satu yang paling menyita perhatian publik adalah terkait kasus pemblokiran saluran langsung internasional (SLI). Lanjutan dari kasus pemblokiran SLI, kata Wakil Ketua KPPU M Nawir Messi, Telkom sudah mengirimkan surat kepada KPPU bahwa bersedia melaksanakan keputusan tanpa eksekusi dari KPPU. “Telkom sudah mengirim bukti pembatalan kerjasama dengan sekitar 13 ribu wartel,” katanya di kantor pusat KPPU. Telkom bersedia mengubah perjanjian dengan wartel dan wartelkomnya dengan cara menghapus

klausul

yang

menyaratkan

wartel

dan

wartelkom

tidak

bekerja

sama

dengan provider selain Telkom dalam rangka penyelenggaraan SLI. Dia menjelaskan gambaran perkara bahwa Telkom melakukan pemblokiran SLI milik PT Indosat dengan kode akses 001 dan 008. Sebagai gantinya, disediakan akses SLI 007 dan 017 (sekarang 01017) milik Telkom. Setiap konsumen yang akan melakukan panggilan SLI milik Indosat secara otomatis di-blocking, atau langsung dialihkan ke akses milik Telkom. Ketentuan itu sebagai konsekuensi perjanjian kerjasama antara Telkom dan wartel yang mensyaratkan hanya menjual produk Telkom. Kasus ini jelas-jelas melanggar penggunaan salah satu kode akses dan interkoneksi yaitu melakukan penutupan (blocking) terhadap kode akses tertentu, dan setiap penyelenggara wajib menjamin bahwa semua kode akses SLJJ dan SLI dapat diakses dari setiap terminal pelanggannya secara otomatis (normally open). Dalam putusan KPPU pun menimbang bahwa PT. Telekomunikasi Indonesia ( Telkom ) melanggar Pasal 15, Pasal 19, dan Pasal 25 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999. Untuk itu berdasarkan unsur-unsur yang tercantum dalam beberapa pasal di atas pihak Telkom dalam perkara ini, sebagai penyedia jaringan tetap lokal dan jasa telepon lokal yang telah melakukan perjanjian interkoneksi dengan PT. Indosat sebagai penyedia jasa SLI dan SLI-008 dan jaringan tetap sambungan internasional, berdasarkan pasal 19 UU Nomor 36 Tahun 1999 berkewajiban untuk menjamin konsumen atau penggunanya dengan: (1) menjamin tetap tersambungnya atau tersedianya jasa SLI 001 atau 008 Indosat sebagai pilihan jasa selain 017 atau

007 milik Terlapor; (2) menjamin kebebasan untuk memilih jenis jasa-jasa telepon internasional apakah 001, 008, 017 atau 007 (3) menjamin tidak akan melakukan routing atau perubahan rute hubungan ke jaringan penyelenggara lain tanpa sepengetahuan pengguna. Menurut Nawir, dalam dunia persaingan ada konsep fasilitas esensial di mana setiap fasilitas publik yang bersifat esensial harus dibuka dan pembukaannya diatur dalam regulasi yang dibuat negara. Dia mengibaratkan saluran SLI itu dengan bandar udara (bandara) “Konsep bandara adalah fasilitas esensial yang harus membuka diri pada semua operator penerbangan,” katanya mencontohkan. SLI adalah fasilitas Telkom yang secara persaingan harusnya diperlakukan sebagai fasilitas esensial. Artinya, semua operator punya hak untuk menggunakan. Ikhwal operator lain membayar berapa, cara hubungan perjanjian, itu yang harus diatur oleh negara.

Related Documents

Kartel
April 2020 11
Kartel Sms.docx
May 2020 15
Kartel-bakoyanni
April 2020 10

More Documents from "Itxartu Taldea"

Kartel Sms.docx
May 2020 15
Latihan Soal 2k.docx
June 2020 9
Price Analysis
May 2020 15
Kelompok 2.docx
November 2019 20
Sap 4 Presentasi.docx
November 2019 19