Kinerja 100 Hari Kabinet Organ Dahlan Iskan setelah Ganti Hati
Heran Ada ”Tentara” Anti-Hepatitis B Sangat Banyak Dalam Darah Hari ini tepat 100 Hari saya hidup dengan hati baru. Bagaimana kinerjanya? Apakah ada yang tidak beres? Apakah bisa bekerja sama dalam satu team work yang baik dengan organ-organ saya yang lain? Bagaimana "sikap" limpa, jantung, pankreas, ginjal, dan usus-usus saya terhadap hati baru itu? Untuk mengetahui kinerja organ-organ itu, 2 November lalu saya memeriksakan diri ke laboratorium. Hari itu tepat tiga bulan sudah saya melakukan transplantasi liver di Kota Tianjin, Tiongkok. Inilah pemeriksaan laboratorium pertama di dalam negeri. Pemeriksaan kali ini saya lakukan agak lengkap. Karena itu, pengambilan darahnya sampai mencapai lima tabung. Lalu menjalani USG, ukur temperatur (suhu badan), dan timbang badan. Angka-angka hasil pemeriksaan lab itu saya kirim ke Tianjin untuk dilihat tim dokter yang melakukan transplantasi liver saya Prof Shen Zhong Yang, Prof Deng Yong Lin, dan timnya. Jawaban dari Tianjin sangat cepat: hasil pemeriksaan darah saya dinilai sangat baik. Penilaian ini sama dengan yang diberikan Prof dr Boediwarsono SpPD-KHOM maupun dr Poernomo Budi S. SpPD-KGEH di Surabaya. "Saya benar-benar bangga melihat hasil tes ini," ujar Prof Boediwarsono. Dari Tianjin ada kabar susulan: saya diminta menghentikan minum salah satu obat yang biasanya saya telan setiap pukul 8 pagi: vanganciclovir. Obat ini, yang sudah saya minum selama tiga bulan dan membuat kulit saya seperti terbakar, berfungsi untuk menghindarkan saya dari satu jenis virus yang sangat membahayakan: virus cytomegalo (CMV). Inilah virus yang biasa menyerang pasien transplantasi pada Hari-Hari pertama sampai dua bulan kemudian. Inilah virus yang amat mematikan. Inilah virus yang menyerang Cak Nur (Nurcholish Madjid) hanya tiga Hari setelah Cak Nur melakukan transplantasi liver -hingga transplantasi itu gagal dan Cak Nur meninggal dunia. Saya dulu dinyatakan berhasil melewati masa kritis satu minggu pertama, antara lain karena virus tersebut tidak menyerang saya. Lalu, berhasil melewati masa kritis bulan pertama. Dan kini dinyatakan berhasil melewati masa kritis tiga bulan pertama. Karena itu, saya harus mengucapkan terima kasih kepada teman-teman yang memaklumi keadaan saya yang selama ini masih harus sangat hati-hati itu. Misalnya, ketika ada yang mengajak saya bersalaman, saya harus mengatakan bahwa saya masih belum boleh bersalaman. Sungguh tidak sopan menolak diajak salaman. Tapi, karena taruhannya nyawa, maka saya terpaksa melakukan itu. Meski saya sudah berani menghadiri beberapa acara, seperti resepsi HUT Masjid Cheng Ho yang meriah, halalbihalal di gedung Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Jatim yang kurang bersih, peluncuran buku Ganti Hati yang disertai banyaknya permintaan tanda tangan, dan kongres Serikat Penerbit Surat Kabar (SPS) di Jakarta, saya tetap bersikap waspada ketika berada di kerumunan orang banyak. Apalagi, saya tidak bisa tahu siapa di antara mereka yang sedang mengidap flu yang bisa saja sangat membahayakan diri saya. Saya juga selalu menuruti buku petunjuk pascatransplan secara ketat. Tiap Hari saya harus mandi dua kali (ini sih, bagi orang Indonesia sudah biasa!), selalu ganti handuk, selalu pakai sikat gigi baru, dan cuci tangan sesering yang dimungkinkan. Saya juga rajin mengamati wajah orang di sekitar saya untuk menduga-nduga siapa di antara mereka yang sedang flu _untuk dihindari. Karena itu, saya selalu berdoa semoga semua teman saya tidak satu pun yang terkena flu! Doa saya itu, rupanya tidak semua terkabul. Ada seseorang yang sangat saya andalkan ternyata justru terkena flu berat. Sudah 10 Hari pun masih mbeler: Robert Lai. Karena itu, sudah 10 Hari pula saya tidak bertemu dia _meski dia tetap tinggal di Surabaya. Selama "polisi" saya yang amat keras dan disiplin itu tidak berada di samping saya, saya sendiri harus ekstra berhati-hati. Untungnya, banyak teman yang secara suka rela menjadi "polisi cadangan". Ada saja teman yang mengirim SMS pada jam-jam di mana saya harus minum obat. Bahkan, ketika melihat kesibukan saya yang sudah mulai padat (termasuk sudah mulai merombak manajemen gedung Jatim Expo), beberapa sahabat menyatakan kekhawatirannya. Mereka lantas mengirim peringatan keras: tetaplah hati-hati! Bahkan, ada yang "mengancam": jangan over confident! "Jangan over confident" memang peringatan yang tepat. Ini karena saya, sekarang ini, sudah merasa hidup seperti orang normal. Tidak ada keluhan apa pun. Bisa-bisa saya lupa diri. Lupa kalau baru 100 Hari mengganti hati. Memang, over confident adalah musuh tingkat dua bagi siapa pun yang sudah berhasil mengatasi musuh tingkat satu dalam meniti jalan sukses hidupnya. Musuh tingkat pertama manusia adalah ini: rasa takut. Karena jenis musuh ini relatif tidak sakti, sebagian besar orang mampu melewatinya. Sebagian kecil lagi gagal mengatasi rasa takut itu. Bagi yang berhasil, hidupnya akan lebih sukses. Ini karena mereka sudah punya rasa
percaya diri. Orang yang sudah punya rasa percaya diri akan bisa meraih sukses demi sukses. Dan, setelah sukses besar, dia pun terlibat dalam rasa percaya diri yang berlebihan. Inilah musuh tingkat dua manusia: over confident. Semakin sedikit orang yang mampu menghadapi musuh tingkat dua ini. Terlalu banyak orang yang gagal dalam meraih lanjutan sukses karena "sudah merasa mampu" yang berlebihan. Tapi, bagi yang sukses mengatasi musuh tingkat dua itu, dia akan meraih buah dari sukses itu sendiri: kekuasaan. Tentu semakin sedikit orang yang berhasil lolos dari musuh tingkat dua ini. Tapi, bagi sedikit orang yang berhasil itu, dia akan berada lama dalam kekuasaannya. Tapi, kekuasaan itu sendiri juga akan menjelma jadi musuh tingkat tiga dalam hidupnya. Orang yang tidak pandai-pandai menggunakan kekuasaannya, dia pun akan kembali jatuh. Tapi, siapa yang berhasil mengatasi musuh tingkat tiga ini, akan langgenglah suksesnya dan akan langgenglah kekuasaannya. Kalau sudah berada di tingkat itu, dia tinggal menghadapi satu musuh lagi dalam hidupnya: musuh tingkat empat. Kali ini tidak satu orang pun mampu melawannya: umur! Umur adalah musuh tingkat empat yang tidak ada senjata untuk melawannya. Saya sadar bahwa setelah 100 Hari menjalani transplan ini, saya masih harus menghadapi musuh tingkat dua. Tidak sesulit musuh tingkat tiga, tapi tetap akan bisa menggelincirkan. Tentu saya selalu memperhatikan pesan "jangan over confident" itu. Kalau toh ada yang harus saya abaikan, itu karena pesan tersebut sendiri betentangan antara awal dan akhirnya. Di awal pesan, mereka mengingatkan saya agar tetap berhati-hati, tapi di akhir SMS mereka minta dengan sangat agar saya menghadiri pesta perkawinan anak mereka yang diadakan secara besar-besaran. Tapi, seberapa baikkah keadaan saya sekarang? Kalau dalam tulisan ini saya membeberkan data-data kinerja 100 Hari "Kabinet organ" saya, janganlah diangap bahwa saya over confident. Saya mengungkapkan data apa adanya untuk bahan analisis bagi para peminat kedokteran, terutama untuk para mahasiswa fakultas kedokteran. Bahkan, data sebelum dilakukan transplan pun saya sertakan sebagai bahan pembanding. Jelaslah dengan berat sebelum transplan 83 kg, saya terlalu gemuk, mengingat tinggi badan saya hanya rata-rata orang Asia: 168 cm. Tapi sebenarnya, itu bukan gemuk. Itu adalah bengkak. Bahwa berat badan saya sampai 83 kg, itu bukan karena kebanyakan daging atau lemak, melainkan karena air yang saya minum tidak semuanya bisa keluar melalui kencing atau keringat. Kencing saya hanya sekitar 1 liter seHari, dan sudah 3 tahun tidak pernah bisa keringatan. Ini karena liver saya saat itu sudah rusak sehingga tidak bisa menghasilkan albumin yang cukup. Padahal, albuminlah yang bisa memisahkan air dengan darah dan kemudian mengirimkan airnya ke ginjal untuk dikeluaran sebagai kencing atau ke pori-pori untuk dikeluarkan sebagai keringat.Yang menarik adalah angka setelah transplan itu. Setelah dibius 18 jam dan dioperasi selama 5,5 jam, suhu badan saya tidak pernah naik di atas 7,4 derajat Celsius. Selama tiga Hari di ICU pun, rata-rata 36 derajat. Bahkan, setelah dirawat di kamar perawatan biasa, suhu badan saya paling tinggi hanya naik 7,3 derajat. Itu pun terjadi hanya beberapa kali dalam seminggu pertama. Setelah itu, sampai sekarang suhu badan saya tidak pernah melebihi 36,8 derajat Semua itu tentu di luar perkiraan saya. Padahal, saya sudah menyiapkan diri bahwa setelah operasi pasti suhu badan akan naik drastis. Apalagi, ini operasi besar. Pasti pakai demam segala. Ternyata tidak alhamdulillah. Sejak operasi, saya memang setiap Hari mengukur suhu badan, berat badan, tekanan darah, dan gula darah. Semua dicatat. Catatan itu secara periodik juga saya kirimkan ke Tianjin untuk dianalisis dan datanya disimpan di sana. Kalau ada dokter di Indonesia yang secara serius menginginkan data-data mengenai catatan medis saya, termasuk obat dan terapi apa saja yang diberikan kepada saya, dengan senang hati saya akan memberikannya. Catatan itu tentu amat berharga untuk bahan kajian di fakultas kedokteran.Sejak dulu saya tidak mengidap persoalan tekanan darah. Maka, meski efek samping obat yang saya minum sekarang ini bisa menaikkan tekanan darah, terlihat di angka tersebut bahwa pengaruhnya hanya sedikit sekali. Sesekali, tekanan darah saya memang sampai 130/90 mmHg. Namun, itu biasanya karena tes dilakukan setelah saya olahraga pagi. Sedangkan parameter di bidang kolesterol semua baik dan membaik karena sekarang saya lebih peduli terhadap jenis makanan yang lebih sehat. SGOT/SGPT saya suatu saat bahkan pernah sampai 620, yakni setelah dilakukan embolisasi terhadap limpa saya. Tentu, akibat "pemotongan" limpa itu terjadi infeksi yang menyebabkan SGOT/SGPT saya naik. Sejak itulah saya harus minum anticavir setiap Hari. Sejak itu SGOT/SGPT saya stabil di antara 42 dan 38. Berkat anticavir itu infeksi terkendali dan meski SGOT/SGPT saya masih di atas normal, tidak lagi teralu tinggi dan tidak lagi naik turun seperti harga saham di bursa. Sebelum transplan, albumin saya juga tidak pernah memenuhi syarat. Tapi, juga tidak pernah di bawah 2,7. Bahkan, kadang meningkat sampai 2,9 -kalau saya lagi rajin makan tim/sop ikan gabus (haruan/kutuk).
Sedangkan bilirubin saya juga tidak pernah mencapai standar sehingga wajah dan telapak tangan saya mulai menguning. Saya mencoba menaikkan bilirubin ini, namun selalu saja gagal. Baru setelah transplantasi, bilirubin menjadi amat normal. asil pemeriksaan hepatitis B menimbulkan keheranan saya (Lihat grafis hepatitis B). Kok bisa ya, setelah transplantasi hati, virus hepatitisnya hilang? Bukankah virus itu selama ini beredar di darah, sehingga meski hatinya sudah diganti, mestinya tetap ada virus hepatitis yang terus beredar di darah? Lalu masuk liver baru dan kemudian kelak menyebabkan sirosis lagi? Bahkan, mengapa justru sudah muncul antihepatitis B-nya? Dan dengan jumlah yang sudah amat besar pula, 401? Tentu saya juga tidak tahu. Saya juga tidak bertanya itu dulu, ketika saya masih di Tianjin. Kelak, kalau saya ke Tianjin lagi, akan saya tanyakan bagaimana "asbabun nuzulnya" kok kejadiannya seperti itu. Yang saya tahu dan sudah menghadapinya adalah: liver baru itu akan kembali terkena virus, yakni virus yang beredar di darah dan masuk kembali ke liver baru. Saya juga tahu bahwa pelan-pelan virus itu menyebabkan infeksi di dalam liver dan jadilan sirosis. Tapi, saya siap menghadapinya mengingat proses dari kemasukan virus sampai menjadi sirosis tidak mendadak. Itu perlu waktu bertahun-tahun. Sehingga, kalau toh akhirnya nanti kena sirosis lagi, barangkali umur saya sudah 60 tahun _sudah lebih pantas untuk meninggal. Mengapa saya siap menghadapi itu? Seorang dokter di Singapura pernah menjelaskan kepada saya bahwa akhirnya saya harus transplan, dan itu bisa membuat umur saya lima tahun lebih panjang. "Katakanlah bisa sampai 62 tahun. Kan cukup," kata dokter itu. Saya akan jengkel dengan sikapnya yang ketus, tapi saya juga mengerti bahwa memang begitulah secara teori. Ya. Sampai 62 tahun pun lumayan, kata saya dalam hati. Saya tahu virus hepatitis B yang beredar di darah itu akan masuk ke liver. Lalu tinggal di dalam salah satu sel liver. Bahkan, akhirnya menetap tidak hanya di selnya, melainkan di inti-selnya. Persembunyiannya begitu dalam di inti sel liver sehingga belum ada obat yang mampu menembusnya. Kalau toh ada obat yang mampu menembus sampai inti-sel liver, berarti juga merusak inti sel itu sendiri: sama saja kerusakan yang ditimbulkannya. Karena menyatu dengan inti sel liver, ketika sel itu memproduksi albumin dan protein, terproduksi pula virus baru hepatitis B. Lalu ikut beredar di darah. Lalu masuk lagi ke sel liver yang lain. Setelah itu berarti ada dua sel liver yang memproduksi virus hepatitis B. Dua virus itu masuk ke dua sel liver yang lain lagi. Lalu bersama-sama menjadi empat sel yang ikut memproduksi virus. Masuk lagi ke sel yang lain lagi -lama-lama semua sel liver ditempati virus. Lalu terjadilah infeksi di masing-masing sel itu: jadilah sirosis. Karena liver punya jutaan sel, memakan waktu bertahun-tahun bagi virus tersebut untuk bisa menguasai seluruh sel liver. Memang lambat -tapi sepeti lambatnya dokar: akhirnya sampai juga. Tapi, mengapa dalam kasus saya -alhamdulillah-itu tidak terjadi? Saya benar-benar ingin mencari jawabnya. Bahkan, karena di tubuh saya sudah muncul anti-HBs, secara teoretis, misalnya sekarang saya kemasukan virus hepatitis dari luar pun, sudah ada "tentara" yang langsung menangkap dan membunuh virus baru itu. Standarnya, dalam diri seseorang, cukup kalau punya "tentara anti-HBs" sebanyak 10. Artinya, 10 "tentara" itu sudah mampu menangkap dan membunuh virus yang coba-coba masuk ke liver saya. Dan kini, setelah Seratus Hari transplantasi, saya sudah memiliki 401 "tentara anti-HBs" itu. Sekali lagi, saya sungguh ingin tahu bagaimana asal mulanya hingga tiba-tiba ada "tentara" anti-HBs dalam jumlah yang sangat cukup di tubuh saya. Bagaimana dengan ginjal saya? Sangat baik. Prostat? Bersih.Limpa saya pun yang dulu membesar tiga kali lipat dan kemudian "dipotong" sepertiganya (berarti masih dua kali lipat lebih besar dari limpa normal), kini mengempis sedikit demi sedikit. Limpa saya kini tinggal 20 persen lebih besar dari limpa normal. Dalam waktu tiba bulan mendatang, mestinya, kembali ke ukuran semula. Hanya, karena salah satu jalan darah ke dalam limpa itu sudah dimatikan saat proses "pemotongan" dulu, limpa saya hanya memiliki dua saluran darah masuk. Bagaimana dengan saluran pencernaan saya yang dulu sempat dipenuhi gumpalan-gumpalan darah yang siap meletus setiap saat (dan bisa membuat saya muntah darah) itu? Bagaimana hasil "laminating" yang pernah dilakukan di Singapura dulu? Saya sungguh ingin mengetahuinya. Apakah masih ada gumpalan-gumpalan darah akibat tekanan darah yang "mendal" dari liver lama saya dulu? Apakah saya masih terancam muntah darah? Saya ingin dilakukan endoskopi (tenggorokan dimasuki alat untuk melihat keadaan di dalam saluran pencernaan saya) untuk melihatnya kembali. Tapi, dokter mengatakan tidak perlu dilakukan itu. Dengan digantinya liver rusak saya, dan dengan sudah berfungsinya hati baru saya yang muda bin bersih, secara otomatis -tanpa dilihat pun- gumpalan-gumpalan itu tidak akan ada lagi. Huh, kali ini dokter yang-over confident! (*)