Hukum Pers Uas Lena.docx

  • Uploaded by: Ellena Grace Martin
  • 0
  • 0
  • April 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Hukum Pers Uas Lena.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 5,581
  • Pages: 28
HUKUM PERS

Disusun Oleh:

Ellena Grace S 1408015109

UNIVERSITAS MULAWARMAN FAKULTAS HUKUM SAMARINDA 2017

PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sosial budaya dan isu sara menjadi hal yang paling sering menjadi perdebatan saat ini, hal ini dapat kita temukan diberbagai pemberitaan yang ada baik di Televisi, sampai dengan media sosial. Hal ini juga dapat membuat perdebatan yang menimbulkan pro dan kontra di antara masyarakat. Berbagai pendapat dan argumen dilontarkan, hal ini dapat menimbulkan perpecahan di antara golongan masyarakat. Peran media masa dan pers menjadi

sangat

penting

dalam

menyuguhkan

pemberitaan

kepada

masyarakat, bagaimana pers dan media masa dapat memilih dan menyaring pemberitaan seperti apa yang harus di sampaikan. Dalam kesempatan ini saya akan membahas dan menganalisis pemberitaan terkait sosial budaya dan isu sara. A. Rumusan Masalah 1. Apa yang dimaksud dengan sosial budaya dan isu sara? 2. Bagaimana mengatasi konflik sosial budaya dan isu sara? 3. Bagimana Peran pers dan media sosial dalam menyuguhkan pemberitaan terkait sosial budaya dan isu sara.

PEMBAHASAN A. Pengertian Sosial budaya dan Isu Sara 1. Pengertian Sosial Budaya Sosial Budaya terdiri dari 2 kata, yang pertama definisi sosial, menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia milik W.J.S Poerwadarminta, sosial ialah segala sesuatu yang mengenai masyarakat atau kemasyarakatan atau dapat juga berarti suka memperhatikan kepentingan umum (kata sifat). Sedangkan budaya dari kata Sans atau Bodhya yang artinya pikiran dan akal budi. Budaya ialah segala hal yang dibuat oleh manusia berdasarkan pikiran dan akal budinya yang mengandung cipta, rasa dan karsa. Dapat berupa kesenian, pengetahuan, moral, hukum, kepercayaan, adat istiadat ataupun ilmu. Maka definisi sosial budaya itu sendiri adalah segala hal yang dicipta oleh manusia dengan pemikiran dan budi nuraninya untuk dan/atau dalam

kehidupan

bermasyarakat.

Atau

lebih

singkatnya

manusia

membuat sesuatu berdasar budi dan pikirannya yang diperuntukkan dalam kehidupan bermasyarakat. 2.

Manusia Sebagai Pencipta dan Pengguna Kebudayaan Terciptanya sebuah kebudayaan bukan hanya dari buah pikir dan budi manusia, tetapi juga dikarenakan adanya interaksi antara manusia dengan alam sekitarnya. Suatu interaksi dapat berjalan apabila ada lebih dari satu orang yang saling berhubungan atau komunikasi. Dari interaksi itulah terjadi sebuah kebudayaan yang menyangkut lingkungan sekitar dan oleh sebab itu pula kita mempunyai beragam kebudayaan. Perubahan kebudayaan bisa saja terjadi akibat perubahan sosial dalam masyarakat,

begitu

pula

sebaliknya.

Manusia

sebagai

pencipta

kebudayaan dan pengguna kebudayaan, oleh karena itu kebudayaan akan selalu ada jika manusia pun ada.

3. Peran dan Dampak Negatif Sosial Budaya Kebudayaan pun memiliki peran dalam kehidupan social manusia, diantaranya adalah : 

Sebagai pedoman dalam hubungan antara manusia dengan komunitas atau kelompoknya.



Sebagai simbol pembeda antara manusia dengan binatang



Sebagai petunjuk atau tata cara tentang bagaimana manusia harus berperilaku dalam kehidupan sosialnya.



Sebagai modal dan dasar dalam pembangunan kehidupan manusia.



Sebagai suatu cirri khas tiap kelompok manusia.

Tidak berarti pula penciptaan sosial budaya itu kemudian tak memiliki dampak negatif. Bila kebudayaan yang ada kemudian menimbulkan akses negatif bagi kehidupan sosial adalah sesuatu yang perlu dipikirkan ulang, jika ingin menciptakan sebuah budaya. Beberapa dampak negative kebudayaan bagi kehidupan sosial manusia, antara lain: 

Menimbulkan

kerusakan

lingkungan

dan

kelangsungan

ekosistem alam 

Mengakibatkan adanya kesenjangan sosial yang kemudian menjadi

penyebab

munculnya

penyakit-penyakit

sosial,

termasuknya tingginya tingkat kriminalitas 

Mengurangi bahkan dapat menghilangkan ikatan batin dan moral yang biasanya dekat dalam hubungan sosial antar masyarakat.

2. Pengertian Isu Sara SARA adalah berbagai pandangan atau tindakan yang didasarkan pada sentimen identitas yang menyangkut keturunan, agama, kebangsaan atau kesukuan dan golongan. setiap tindakan yang melibatkan kekerasan dan diskriminasi dan pelecehan yang didasarkan pada identitas diri dan golongan dapat dikatakan sebagai tindakan SARA. Tindakan ini mengebiri dan melecehkan kemerdekaan dan segala hak-hak dasar yang melekat pada manusia. SARA dapat di golongkan dalam tiga kategori : 1. Individual Merupakan tindakan sara yang dilakukan oleh individu maupun kelompok. Termasuk di dalam kategori adalah tindakan maupun pernyataan yang bersifat menyerang, mengintimidasi, melecehkan dan menghina identitas diri maupun golongan. Untuk melihat contoh tindakan SARA yang dilakukan oleh individu maupun kelompok yang terjadi di Indonesia salah satunya. 2. Institusional Tindakan sara yang dilakukan oleh suatu institusi, termasuk negara, baik secara langsung maupun tidak langsung, sengaja atau tidak sengaja telah membuat peraturan diskriminatif dalam struktur organisasi maupun kebijakannya. Untuk melihat contoh tindakan SARA yang dilakukan oleh suatu institusi di Indonesia salah satunya. 3. Kultural Penyebaran mitos, tradisi dan ide-ide diskriminatif melalui struktur budaya masyarakat. Dalam pengertian SARA dapat disebut diskriminasi yang merujuk kepada pelayanan yang tidak adil terhadap suatu individu tertentu, dimana layanan ini dibuat berdasarkan karakteristik yang diwakili oleh individu tersebut. Diskriminasi

merupakan

suatu

kejadian

yang

biasa

dijumpai

dalam

masyarakat manusia, ini disebabkan karena kecenderungan manusia untuk membeda-bedakan yang lain. Ketika seseorang diperlakukan secara tidak adil karena karakteristik suku, antar golongan, kelamin, ras, agama dan kepercayaan, aliran politik, kondisi fisik atau karakteristik lain yang diduga merupakan dasar dari tindakan diskriminasi. Diskriminasi tidak langsung, terjadi saat peraturan yang bersifat netral menjadi diskriminatif saat diterapkan di lapangan. SARA akhir-akhir ini muncul sebagai masalah yang dianggap menjadi salah satu sebab terjadinya berbagai gejolak sosial di negara kita. Perkelahian antara suku Madura dan suku Dayak di Kalimantan Barat, perkelahian antara suku Makassar dan penduduk asli Timor yang kemudian berkembang menjadi pergesekan antar agama Katolik dan Islam, merupakan contoh peristiwa SARA Suku, Agama, Ras, antar golongan). Di negara kita Indonesia terdiri dari pulau-pulau dan suku bangsa, maka masalah SARA merupakan hal yang biasa. Tapi ada beberapa hal menarik untuk dicermati dalam masalah SARA. Pertama, hubungan antara suku pribumi dan non pribumi, sampai saat ini belum dapat dipecahkan, dan tetap menjadi pemicu potensial yang timbulnya konflik sosial. Kedua, SARA muncul kembali sebagai faktor pendorong timbulnya "nasionalisme daerah", merupakan upaya memisahkan suatu wilayah dari wilayah Republik Indonesia. Meskipun masalah ini secara historis seharusnya sudah selesai ketika bangsa ini memproklamasikan Sumpah Pemuda 1928. Ketiga, ada gejala bergesernya sebab pemicu timbulnya gejolak sosial dari masalah SARA ke masalah yang bersifat struktural. SARA, khususnya agama sering terlihat menjadi pemicu. Namun kita perlu bersikap hati-hati sebelum mengambil kesimpulan bahwa agama "adalah pemicu utama" pecahnya suatu konflik sosial. Faktor agama dari SARA hanya menjadi "limbah" suatu masalah yang lebih besar, seperti masalah penguasaan sumber daya alam, kesiapan bersaing, serta kolusi antara pejabat dan suatu etnik tertentu.

B. Mengatasi Konflik sosial Budaya dan Isu Sara 1. Mengatasi konflik sosial Budaya Cara mengatasinya: 1) Koersi yaitu suatu bentuk akomodasi yang prosesnya dilakukan dengan paksaan. 2)

Kompromi yaitu suatu bentuk akomodasi yang dilakukan dimana

pihak-pihak yang terlibat saling mengurangi tuntutan agar tercapai penyelesaian dari penyelisihan. 3)

Arbitrasi yaitu konflik yang dihentikan dengan cara mendatangkan

pihak ke tiga untuk memutuskan dan kedua belah pihak harus mentaati keputusan tersebut karena bersifat memikat. 4)

Mediasi yaitu penyelesaian konflik dengan mengundang pihak ketiga

yang bersifat netral dan tidak hanya berfungsi sebagai penasehat. 5)

Toleransi yaitu suatu bentuk akomodasi di mana ada sikap saling

menghargai dan menghormati pendirian masing-masing pihak yang berkonflik. 6)

Konveksi yaitu penyelesaian konflik apabila salah satu pihak bersedia

mengalah dan mau menerima pendirian pihak lain. 7)

Konsilasi yaitu suatu usaha untuk mempertemukan keinginan-

keinginan pihak-pihak yang berselisih demi tercapainya suatu tujuan bersama. 8)

Adjudikasi yaitu suatu penyelesaian konflik melalui pengadilan.

9)

Stalemate yaitu suatu keadaan dimana pihak-pihak yang

bertentangan memiliki kekuatan seimbang,namun terhenti pada suatu titik tertentu dalam melakukan pertentangan karena kedua belah pihak sudah tidak mungkin lagi untuk maju atau mundur. 10)

Gencatan Senjata yaitu penangguhan permusuhan untuk jangka

waktu tertentu guna melakukan pekerjaan tertentu yang tidak boleh di ganggu.

11)

Segregasi yaitu upaya saling memisahkan diri dan saling

menghindar diantara pihak-pihak yang bertentangan dalam rangka mengurangi ketegangan. 12) dalam

Cease Fire yaitu menangguhkan permusuhan atau peperangan waktu

tertentu

sambil

mengupayakan

terselenggaranya

penyelesaian konflik,diantara pihak-pihak yang bertikai. 13)

Dispasement yaitu usaha mengakhiri konflik dengan mengalihkan

perhatian pada objek masing-masing. Adapun faktor faktor yang menyebabkan terjadinya konflik Sosial Budaya, antara lain: 1)

Perbedaan Antar Individu Coba perhatikan orang tua, adik,dan kakak mu! Kerap muncul persamaan ciri2

fisik di antara mereka, sehingga sering muncul pendapat bahwa sang anak terlihat mirip dgn orang tuanya. Persamaan fisik tadi ternyata tidak menjamin akan terjadinya hubungan yang harmonis di antara mereka. Perbedaan pandangan atau pendapat pun msh bisa terjadi. 2)

Perbedaan Kebudayaan Perbedaan kebudayaan dapat memicu terjadinya konflik. Perbedaan kebudayaan

antara orang eropa yang dating ke Benua Amerika dan orang Indian yang merupakan penduduk asli menyebabkan terjadinya konflik sampai menelan korban jiwa. Dan sampai saat ini semakin bayak orang Eropa hijrah ke Amerika,sehingga warga Amerika terdominasi Warga Eropa 3)

Perbedaan Kepentingan Perbedaan kepentingan antar individu maupun kelompok juga papat memicu

terjadinya konflik. Setiap orang atau kelompok tentu memiliki kebutuhan & kepenyingan sedang orang lain atau kelompok lain pun memiliki kepentingan dan

kebutuhan sendiri.Contohnya, pengusaha memiliki kepentingan untuk memperoleh laba usaha yang besar 4)

Perubahan Sosial Perubahan social di masyarakat mengkibatkan terjadinya konflik. Contohnya,

berkembangnya perkotaan menyebabkan lahan perumahan dan pertanian menjadi sempit. Hal ini bisa mendatangkan konflik antar anggota keluarga akibat memperebutkan harta warisan 2. Mengatasi Konflik Isu Sara 1. Berdoa pada Tuhan Yang Maha Kuasa Doa pada Tuhan sangat penting dalam kehidupan orang beriman. Melihat dari sila pertama Pancasila saja sudah menyiratkan akan betapa berharganya campur tangan Tuhan dalam hidup manusia. Untuk dapat mengatasi konflik SARA yang semakin pelik ini, kita harus mengandalkan Tuhan dengan memohon kekuatan dari Nya untuk dapat mengatasi konflik SARA dan mengendalikan diri. Kita harus bersyukur pada Tuhan yang telah menciptakan kita pada suku, agama, ras, dan golongan tertentu. Seringkali ada orang yang menyalah-nyalahkan Tuhan atas penempatan dirinya di sebuah keluarga dengan suku tertentu yang sangat berbeda dan kurang dapat diterima oleh masyarakat setempat. Ini sungguh hal yang tidak masuk akal dan memilukan. Pencipta memiliki kedaulatan penuh atas hidup ciptaan Nya. Kayu tidak tahu kenapa dia harus menjalani proses yang penjang dan menyakitkan untuk dapat berubah wujud menjadi kursi, kursi lebih indah ketika diolah oleh tukang kayu. Satu hal yang harus kita ingat: di manapun kita ditempatkan oleh Tuhan, kita harus selalu bersyukur atas hidup kita dan memuliakan nama Tuhan selamanya.

2. Mengendalikan emosi Ketika kita mendengar orang menghina kita atau sesuatu yang berhubungan erat dengan kita, seringkali kita merasa tersinggung. Oleh sebab itu, kita harus berusaha mengendalikan emosi. Jangan pernah membalas kejahatan dengan kejahatan, namun dengan kebaikan. Pada waktu diejek, jangan mengutuk, memukul, menampar, menonjok, mengeluarkan kata-kata kotor, dan sebagainya. Hal pertama yang harus dilakukan ketika perasaan kita dicampur aduk oleh orang yang menyebalkan adalah menenangkan hati. Setelah itu berdoa mohon kesabaran dari Tuhan, menasihati orang kejam itu secara sopan, dan mendoakan orang tersebut agar ia dapat bertobat. Menasihati orang secara sopan dan terbuka itu lebih baik daripada hanya membiarkannya, membalasnya, memukulnya, atau menggosipkannya di belakang karena nasihat bisa membuat orang lain memperbaiki dirinya. Bayangkan saja kalau kejahatan dibalas dengan kejahatan itu tidak akan pernah berujung, selalu ada kelanjutan dari perseteruan itu dan balas dendam. Selain itu, cap negatif dari orang jahat itu terhadap kita akan semakin buruk. Hal ini tidak akan menyelesaikan masalah, malah cuma menambah dan memperbesar konflik saja. Orang yang disakiti juga akan menyakiti orang-orang lain yang tak bersalah akibat emosi yang meluapluap dari hatinya. 3. Jangan memanggil orang lain dengan julukan berdasarkan SARA Hal ini mungkin tidak bermasalah bagi beberapa orang karena kedekatan atau canda gurau saja. Namun, julukan dapat pula menyinggung perasaan orang lain. Misalnya, orang tertawa sambil memanggil seseorang yang belum terlalu dekat dengannya dan berkata “orang kaya baru”

atau “orang China bermata sipit”. Orang yang dipanggil

sembarangan itu dapat tersinggung perasaannya jika orang tersebut memiliki perasaan yang sensitif. Bahkan ada kemungkinan ia langsung

mengungkapkan perasaan marahnya dan bertengkar dengan orang yang memanggilnya dengan julukan itu. Sedekat apapun hubungan kita dengan seseorang, sebisa mungkin jangan menyinggung atau memberi julukan berkaitan dengan masalah SARA ini agar tidak melukai hatinya.

4. Jangan menghakimi dan berpikiran negatif tentang suku, agama, ras, dan golongan yang berbeda Saat menjumpai beberapa orang dari golongan tertentu yang memiliki sifat buruk sama, jangan pernah menghakimi atau menghina golongan tersebut. Sebagai contoh, orang kaya di sekitar rumah Anda semuanya suka

membuang

sampah

sembarangan.

Lalu

Anda

langsung

menyimpulkan bahwa orang kaya itu tidak bertanggung jawab. Hal ini tidak boleh dilakukan karena tidak semua orang seperti itu. Kesimpulan yang didapat tidak menyeluruh, tapi hanya dari sudut pandang Anda saja. Masih ada banyak orang kaya yang bertanggung jawab dan membuang tempat sampah pada tempatnya. Itu adalah pandangan subjektif yang tidak adil dan sangat picik dengan menyamaratakan orang lain berdasarkan suku, agama, ras, dan golongan tertentu.

Dengan menghakimi orang lain, berarti merasa lebih baik darinya padahal semua orang sama-sama pernah berbuat dosa dan memiliki kelemahan. Orang yang suka menghakimi orang lain adalah orang yang sombong dan tidak menghormati Tuhan. Menghakimi itu hak khusus Tuhan saja, bukan manusia. Dengan memandang rendah dan menghakimi orang lain berarti sama dengan mengambil alih kekuasaan Tuhan. Padahal bagaimanapun juga, hak Sang Pencipta Yang Kudus dan Sempurna tidak bisa diminta oleh manusia yang penuh noda. Jangan suka mencari-cari kesalahan orang lain dan membesar-besarkan nya, tetapi introspeksi diri sendiri

terlebih dulu. Apakah ada tindakan kita yang salah sehingga membuat orang lain membenci kita. Jika ada, perbaiki karakter pribadi dan jadi orang yang lebih bijaksana. Ketika ada orang dari suku, agama, ras, dan golongan yang berbeda, bertemanlah dengan orang tersebut. Jangan pernah

menjauhi

dan

membeda-bedakan

orang.

Jangan

pula

membanding-bandingkan antara suku, agama, ras, dan golongan satu dengan yang lainnya. Tiap suku, agama, ras, dan golongan memiliki keunikan, kelebihan, dan kekurangan masing-masing.

5. Jangan memaksakan kehendak pada orang lain Pemaksaan yang saya maksud di sini, khususnya berkaitan dengan agama. Ada orang yang berpikir bahwa ia memeluk agama yang terbaik. Mungkin memang benar demikian. Jika ingin bersaksi tentang iman di agama tertentu boleh-boleh saja. Hal ini sering saya dan teman-teman saya lakukan. Namun yang salah adalah jika seseorang memaksakan kehendak pada orang lain untuk memeluk agamanya dengan menjelekjelekkan agama lain. Jika orang lain mau percaya, itu bagus. Namun bila tidak percaya pun juga tidak menjadi masalah. Bersaksi bukan keberhasilan mengajak orang masuk agama tertentu tapi bersandar pada Tuhan

yang

mampu

mengubahkan

hati.

Selain

itu,

kita

juga

menceritakan tentang kebenaran firman Tuhan baik dari Kitab Suci maupun pengalaman rohani. Jangan pernah memaksakan kehendak pada orang lain, apalagi dengan melakukan pengancaman, pengeboman, penyogokan, teror, kekerasan, dan lain-lain. Semua itu hanya akan memperkeruh

suasana.

Tuhan

tidak

ingin

umat

Nya

saling

menghancurkan sebab kejahatan dan pemaksaan itu juga pasti meremukkan hati Tuhan yang sangat memperhatikan umat Nya.

6. Menghormati dan mengasihi orang lain Apakah Anda ingin dihina oleh orang lain? Saya percaya tidak ada orang yang ingin dihina dan disepelekan. Oleh sebab itu, kita harus menyadari akan hal ini. Jangan menghina dan menjauhi orang lain bila Anda tidak mau dihina dan dijauhi. Jangan menyuruh-nyuruh orang lain jika Anda tidak ingin disuruh-suruh. Jangan memukul orang kalau tidak mau dipukul. Jangan pamer dan menyombongkan kelebihan diri jika Anda tidak suka orang yang suka pamer. Seorang pelukis yang lukisannya diinjak-injak akan sedih karena hasil karyanya diremehkan, padahal ia telah

berjuang

keras

untuk

membuat

karya

terbaik.

Jangan

memperlakukan orang lain secara kasar karena itu bukan hanya menyakiti hati sesamamu, melainkan juga hati Tuhan yang telah menciptakan manusia. Hormati dan kasihi orang lain seperti menghormati dan mengasihi diri sendiri dan juga Sang Pencipta kita. Maafkan dan ampuni orang yang bersalah pada kita walaupun mereka tidak minta maaf. Ini memang sulit. Tetapi tetaplah beriman bahwa bersama Tuhan, tidak ada yang tak mungkin asal hati kita benar-benar mau tulus mengasihi sesama dan menyenangkan hati Nya. Tiap ada kemauan untuk damai, salalu ada jalan.

6. Melakukan dan memikirkan hal-hal positif secara bersama-sama Satu hal penting yang wajib diingat oleh setiap warga Indonesia adalah: keanekaragaman suku, agama, ras, dan golongan itu memperlengkapi kesatuan Indonesia. Jika tubuh hanya terdiri dari mata saja, tubuh tidak dapat melakukan aktivitas lain selain melihat. Demikian pula dengan bangsa ini. Jika hanya terdiri dari satu suku saja, maka terasa kurang lengkap dan miskin budaya. SARA seharusnya semakin memperkaya budaya negeri kita tercinta dan jangan sampai memecahkan persatuan yang telah terbina selama ini. Berpikirlah positif terhadap suku, agama,

ras ,dan golongan lain. Mari kita lakukan hal-hal positif seperti ramah tamah dengan banyak orang, diskusi kenegaraan, bakti sosial, dan gotong royong bersama-sama dengan orang-orang dari suku, agama, ras, dan golongan yang sama maupun berbeda. Kegiatan-kegiatan tersebut dapat memupuk semangat nasionalisme, rasa kekeluargaan, dan kebersamaan antar masyarakat Indonesia.

Demikianlah upaya mengatasi konflik SARA di Indonesia menurut opini saya. Perubahan besar dimulai bukan dari orang lain tapi dari diri sendiri, namun dapat berpengaruh pada orang-orang di sekitar kita. Mari kita berjuang bersama untuk Indonesia yang penuh damai dan sukacita di dalam Tuhan. C. Peran pers dan media sosial dalam menyuguhkan pemberitaan terkait sosial budaya dan isu sara. Media masa dan media sosial masih menjadi sarana mudah penyebaran informasi palsu atau hoax dan isu Suku Agama Ras dan Antar Golongan atau SARA. Di saat terjadi konflik, pers seharusnya memberikan informasi yang seimbang, sehat, serta menenangkan suasana dan bukannya malah memanas-manasi atau memprovokasi publik untuk ikut memperuncing sebuah konflik. Idealnya, pers atau media seharusnya menyediakan informasi yang jujur, jernih dan seluas mungkin mengenai apa yang layak dan perlu diketahui oleh masyarakat sehingga dapat membantu meredakan dan menyelesaikan konflik. Meskipun juga tidak dapat dimungkiri “kebanyakan” media masih saja memberitakan fakta-fakta terkait konflik dengan “membabi buta”.

Media harus berusaha mencari angle-angle yang menarik yang

menjadi bagian dalam meredam konflik. Untuk itu, dalam memberitakan konflik yang bertujuan meredam konflik, media massa seharusnya lebih

menekankan pada penggunaan prinsip peace journalism atau jurnalisme damai daripada war journalism atau jurnalisme perang. Jurnalisme damai diartikan sebagai jurnalisme yang berdiri di atas nama kebenaran yang menolak propaganda dan kebohongan di mana kebenaran dilihat dari beragam sisi tidak hanya dari sisi “kita. Pengertian tersebut dapat ditafsirkan bahwa dalam menampilkan berita yang mengandung konflik, pihak-pihak yang terlibat dalam konflik diberikan kesempatan untuk mengemukakan permasalahan dari sudut pandang mereka masing-masing sehingga tidak ada bias dan keberpihakan dari jurnalis maupun media massa yang menampilkan permasalahan tersebut. Adanya prinsip keadilan dan berimbang dalam penyajian berita konflik juga mencegah jurnalis dari tuduhan melakukan propaganda. Hal ini dapat dicontohkan dengan beberapa headline dengan prinsip jurnalisme damai yang dapat meredam konflik misalnya, dalam konflik antarsuku, media memberikan judul beritanya “Warga Kwamki Lama Deklarasi Tolak Perang Suku” (liputan6.com, 10 Mei 2016), Anggota DPR Minta Penyelesaian Konflik Tanjungbalai secara Bijaksana (antaranews.com, 2 Agustus 2016), Tjahjo Minta Pemprov Sumut Cegah Konflik di Tanjungbalai Meluas

(merdeka.com, 31

Juli

2016),

Sutiyoso

Pastikan

Konflik

di

Tanjungbalai Tak Meluas (tribunnews. com, 30 Juli 2016) dan masih banyak lagi. Berita dengan headline dan angle di atas diharapkan dapat menjadi pencerahan bagi pihak-pihak yang bertikai sehingga dapat mendinginkan suasana. Sebaliknya,

headline dengan prinsip jurnalisme perang yang hanya

menampilkan akibat-akibat yang terjadi atau pun pernyataan yang makin memperuncing konflik misalnya dapat dilihat dari beberapa judul berikut: Dua Orang Tewas dan 95 Rumah Dibakar di Tolikara (bbc.com, 26 April 2016), Konflik di Tolikara, 2 Tewas, 95 Rumah Terbakar (beritasatu.com, 24 permukaan, parsial, sepotong-potong, tidak proporsional, sebagian besar hanya menekankan aspek kekerasan dan konflik terbuka saja, bukan pada

aspek situasi, akar masalah yang bisa mendukung perbaikan situasi dan perdamaian. Oleh karena itu, seharusnya media massa dapat menjadi sumber informasi yang berimbang dengan memberitakan konflik secara komprehensif mengenai akar masalahnya guna mendukung resolusi konflik bukan hanya menampilkan gambar-gambar serta pemberitaan yang terlalu vulgar seperti darah, mayat bergelimpangan, pembakaran yang akhirnya malah memperparah konflik. Idealnya suatu berita yang baik adalah berita yang ditulis berdasarkan fakta sesungguhnya tidak dikotori oleh kepentingan segelintir orang sehingga mendistorsi fakta tersebut. Namun dalam realita media sebagai ruang publik, media kerap tidak bisa memerankan diri sebagai pihak yang netral. Media senantiasa terlibat dengan upaya merekonstruksi realitas sosial. Dengan berbagai alasan teknis, ekonomis, maupun ideologis, media massa selalu terlibat dalam penyajian realitas yang sudah diatur sedemikian rupa sehingga tidak mencerminkan realita sesungguhnya. Keterbatasan ruang dan waktu juga turut mendukung kebiasaan media untuk meringkaskan realitas berdasarkan “nilai berita”. Prinsip

berita

yang

berorientasi

pada

hal-hal

yang

menyimpang

menyebabkan liputan peristiwa jarang bersifat utuh, melainkan hanya mencakup hal-hal yang menarik perhatian saja yang ditonjolkan. Berita juga sering dibuat berdasarkan semangat “laku-tidaknya berita itu dijual”. Sejauh ini, bisa dikatakan media massa cenderung meliput berita konflik hanya pada aspek perilaku konfliknya saja atau aspek-aspek konflik yang kelihatan kasat mata. Misalnya perilaku membunuh, membantai kelompok tertentu, menembak, membakar, dan lain-lain. Berita-berita sensasional dan dramatis demikian sering menjadi liputan utama. Media seringkali juga menyajikan secara berlebihan aspek kekerasan dan konflik, misalnya sekian banyak tempat yang strategis rusak dibakar, jumlah korban yang terluka atau terbunuh, dan lain sebagainya.

Liputan yang ada di lapangan bukan pada keseluruhan fakta tentang dimensi-dimensi konflik yang ada, mencakup situasi konflik dan persepsi atau pandangan pihak-pihak yang terlibat dalam konflik sehingga informasi tentang konflik yang tersedia dalam dunia kita sekarang menjadi bersifat sangat permukaan (superficial) dan tidak proporsional (out of proportion). Sejauh ini telah umum diakui bahwa media massa seringkali menyajikan informasi tentang konflik secara permukaan dan sepotong-potong. Hanya aspek konflik yang paling mudah dilihat dan peristiwa konflik yang paling dramatis yang mendapat perhatian terbesar untuk diliput. Aspek lain dari kekerasan, seperti situasi yang menjadi akar konflik dan persepsi berbagai pihak tentang konflik, tidak mendapat perhatian berarti, meski hal itu sangat penting untuk diketahui publik. Selain bersifat permukaan, liputan media massa dan laporan resmi pemerintah

tentang

konflik

di

Indonesia

seringkali

bias

dan

tidak

proporsional. Bentuk bias dan ketidak proporsionalan liputan itu dapat berupa peliputan yang berlebihan tentang cakupan dan intensitas konflik yang tidak sesuai dengan tingkatan konflik yang nyata atau sebaliknya. Untuk mengatasi masalah ini, terdapat beberapa alternatif solusi yang dapat dilakukan media massa seperti dikemukakan oleh Chang (dalam Trijono, 2002) antara lain: 1) dengan menambah dan terus menerus membuka saluran/channel komunikasi sehingga arus informasi terus mengalir dan ketersediaan informasi bisa diperoleh secara memadai, 2) meningkatkan kualitas informasi tentang konflik yang ada sehingga bisa diperoleh informasi yang bermakna dan berguna secara memadai bagi kepentingan publik secara luas, 3) memfokuskan pada penyajian informasi dan proses komunikasi yang mengarah pada isu-isu spesifik dari situasi konflik dan setiap dimensi krisis secara mendalam sehingga tidak memperluas dan makin membuat ruwet interpretasi dan pemaknaan publik yang bisa semakin mengacaukan situasi krisis.

Perbaikan kualitas komunikasi dan informasi yang diliput media massa melalui berbagai upaya kampanye dan perluasan aktivitas komunikasi perdamaian atau jurnalisme damai dapat membantu perbaikan situasi konflik dan krisis yang terjadi sehingga dalam hal ini media massa dapat menjadi salah satu alternatif solusi dalam meredam dan membantu menyelesaikan konflik yang sedang terjadi. Selain itu, dibutuhkan sinergisitas yang konstruktif antara media massa, Dewan Pers, Komisi Penyiaran Indonesia, pemerintah dan masyarakat untuk terus mengkampanyekan setiap pemberitaan dan ekspos media yang edukatif, objektif, damai dan berorientasi pada resolusi konflik.

D. Analisis Terhadap kasus Pemberitaan tentang Sosial Budaya dan Isu Sara 1. Analisis terhadap pemberitan tentang 212 Media merupakan salah satu alat yang dapat mempengaruhi pola pikir seseorang, pasalnya dalam media sendiri banyak berita yang di publikasikan

hanya

sekedarnya

saja.

Sehingga

dapat

membuat

masyarakat awam hanya menerima apa yang diberikan oleh media tanpa tahu

kebenarannya.

Media

massa

adalah

“komunikasi

dengan

menggunakan sarana atau peralatan yang dapat menjangkau massa sebanyak-banyaknya dan area yang seluas- luasnya”. “Komunikasi massa tak

akan

lepas

penyampaian

dari

pesannya

massa, adalah

karena melalui

dalam

komunikasi

media”(McQuail

massa, 2005:3)

menyatakan bahwa media massa merupakan sumber kekuatan alat kontrol, manajemen, dan inovasi dalam masyarakat yang dapat didayagunakan sebagai pengganti kekuatan atau sumber daya lainnya. Bukan hanya itu, media juga dapat menjadi sumber dominan yang dikonsumsi oleh masyarakat untuk memperoleh gambaran dan citra realitas sosial baik secara individu maupun kolektif, dimana media menyajikan nilai-nilai dan penilaian normatif yang dibaurkan dengan berita dan hiburan. Media massa merupakan salah satu sarana untuk pengembangan kebudayaan, bukan hanya budaya dalam pengertian seni dan simbol tetapi juga dalam pengertian pengembangan tata-cara, mode, gaya hidup dan norma-norma. (Dennis McQuail, 1987:1). Media massa sangat berperan dalam perkembangan atau bahkan perubahan pola tingkah laku dari suatu masyarakat, oleh karena itu kedudukan media massa dalam masyarakat sangatlah penting. Dengan adanya media massa, masyarakat yang tadinya dapat dikatakan tidak beradab dapat menjadi masyarakat yang beradab. Hal itu disebabkan, oleh karena media massa mempunyai jaringan yang luas dan bersifat massal sehingga masyarakat yang membaca tidak hanya orang per orang tapi

sudah mencakup jumlah puluhan, ratusan, bahkan ribuan pembaca, sehingga pengaruh media massa akan sangat terlihat di permukaan masyarakat. Denis McQuail (1987) menggambarkan bahwa media massa memiliki sumber kekuatan sebagai alat kontrol, manajemen, dan inovasi dalam masyarakat yang dapat didayagunakan sebagai pengganti kekuatan atau sumber daya lainnya, dan media juga seringkali berperan sebagai wahana pengembangan kebudayaan, bukan saja dalam pengertian pengembangan

seni

dan

simbol,

tetapi

juga

dalam pengertian

pengembangan tata cara, mode, gaya hidup dan norma. Framing merupakan salah satu hal yang paling penting dalam media, framing sendiri merupakan bentuk dari pengalihan isu dari suatu berita yang akan di terbitkan oleh media. Fungsinya adalah untuk mempengaruhi khalayak terkait dengan isi berita yang akan di terbitkan. Dalam hal ini framing merupakan hal yang paling terpenting dalam media, framing sendiri bertujuan untuk membingkai sebuah informasi agar melahirkan citra, kesan, makna tertentu yang diinginkan oleh media, atau wacana yang akan ditangkap oleh khalayak. Framing sendiri tidak berbohong, tapi ia mencoba untuk membelokkan fakta yang ada dengan halus dan melalui penyeleksian informasi, penonjolan aspek tertentu, pemiliha kata, bunyi, atau

gambar,

hingga

meniadakan

informasi

yang

seharusnya

disampaikan. Framing sendiri merupakan cara pandang yang digunakan oleh wartawan atau media dalam menyeleksi isu dan menulis berita. Framing adalah bagaimana wartawan melaporkan sebuah peristiwa berdasarkan sudut pandangnya. Dalam hal ini juga ada beberapa fakta yang di tonjolkan dan ada beberapa fakta yang dibuang. Dalam hal ini penulis akan membandingkan 3 artikel yang mengusung tema yang sama tapi dalam kemasan yang berbeda. Seperti yang dijelaskan di atas bahwa penulis akan menganalisis 3 artikel dari sumber yang berbeda semua.

Artikel yang pertama yaitu bertakeline NUSRON WAHID MINTA AKSI 212 DAN 412 TAK DIBENTURKAN. Dalam artikel ini berisikan tentang aksi damai 212 dan 412 itu berbeda motif. Dimana aksi 212 merupakan aksi yang bermotif agama sedangkan 412 bermotif tentang budaya. Yang diinginkan adalah kebudayaan di indonesia merupakan bagian dari strategi dakwah agama. Sebaliknya agama tidak merusak tradisi kebudayaan Indonesia. Sebagai komponen bangsa, kita harus solid dengan kemajemukan. Jangan seakan-akan Indonesia hanya dimiliki sekelompok tertentu yang ingin memaksakan kehendak. Artikel yang kedua : MEMBANDINGKAN AKSI 212 DAN 412 Secara keseluruhan, aksi berjalan dengan tertib dan lancar, meski dalam foto-foto yang beredar di media sosial, banyak taman yang rusak akibat diinjak-injak oleh massa, serta sampah berserakan di beberapa titik di sekitar Bundaran HI. Dari jumlah massa, jumlahnya mencapai ribuan tapi masih di bawah 100 ribu. Jika dibandingkan dengan aksi 212 yang berlangsung pada Jumat (2/12) lalu, aksi Minggu kemarin kalah semarak. Aksi yang diikuti oleh ratusan ribu orang, bahkan bisa sampai satu juta lebih orang ini tampak lebih tertib, meski jumlah massa lebih banyak. Aksi damai umat Islam pada 2 Desember (212) kemarin menuai simpati dari berbagai kalangan. Aksi Jumat lalu tersebut merupakan aksi pengerahan massa terbesar dalam sejarah Indonesia. Tak sedikit yang mengatakan, aksi 212 mirip dengan pelaksanaan ibadah haji di Makkah, dimana jutaan umat Islam dari seluruh penjuru dunia berkumpul di Tanah Suci. Seperti halnya yang diungkapkan Kapolri Jenderal Tito Karnavian. Artikel ke 3 : Kata Aa Gym Soal Demo Tandingan Aksi 212

“Kita hargai yang akan mengadakan demo tandingan, kelihatannya akan sangat beda rasanya aksi panggilan iman dan aksi karena duniawi,” tulis Aa Gym di akun Twitternya, Aa Gym, Sabtu sore. Sebelumnya, Aa Gym terdecak kagum dengan antusias masyarakat Indonesia yang mengkuti aksi super damai 212. Diperkirakan, lebih dari 5 juta orang tergerak di seluruh Indonesia, termasuk lebih dari 3 juta Muslim yang mengitari Monas. “Tak pernah terbayangkan siapapun shalat Jumat sebanyak ini, Alhamdulillah Aa bersyukur dan bangga jadi seorang Muslim,” tulis Aa Gym. Hari ini, ribuan orang yang digerakan partai politik menggelar aksi Kita Indonesia di Bundaran HI. Aksi yang disebut sebagai atraksi budaya ini sempat disebut sebagai aksi tandingan aksi 212. Namun, panitia telah membantahnya. Ketua Panitia, Viktor S Laiskodat mengatakan, acara aksi Kita Indonesia fokus menampilkan kegiatan seni budaya. “Kita atraksi budaya dan refleksi kebangsaan akhir tahun,” kata Viktor. Jadi, ia menegaskan tidak ada pengerahan massa besar-besaran untuk aksi Kita Indonesia. Dalam hal ini bisa dilihat bahwa terjadi framing dari ketiga media massa tersebut. Menurut penulis, tema yang diambil yaitu perbandingan antara aksi damai 212 dan 412 dimana dari ketiga media tersebut memberitakan kedua aksi itu dari kacamata yang berbeda. Seperti yang sudah dituliskan oleh penulis bahwa framing merupakan hal yang dapat memanipulasi berita dan membuat berita dari kacamata yang berbeda. Jika kita melihat judul artikel yang pertama dimana disebutkan bahwa NUSRON

WAHID

MINTA

AKSI

212

DAN

412

TAK

DIBENTURKAN. Dari judul artikel ini mengusut tentang aksi 212 dan 412 tapi dapat di terangkan dengan kacamata atau pandangan dari salah satu anggota fraksi golkar. Dan sedangkan dalam artikel yang kedua yang bejudul MEMBANDINGKAN AKSI 212 DAN 412 isi artikelnyapun menceritakan tentang aksi 212 dan 412 merupakan dua aksi yang

berbeda dimana 212 aksi tentang keagaaman dan 412 aksi yang berlatang belakang kebudayaan. Kata Aa Gym Soal Demo Tandingan Aksi 212 dimana isi dari artikel tersebut mengangkat dari segi sang ulama dalam artian ulama disini merupakan pembela kaum islam. Dan dalam framing sendiri ini merupakan hal yang bisa mengangkat citra seseorang. Terlihat di artikel 1 dan artikel 3 dimana sama-sama menceritakan tentang tandingan aksi 212 dan 412 akan tetapi disisi ini melihat dari kacamata dua orang yang sama berlatarkan agama islam tapi karena Nusron merupakan salah satu anggota dewan dari salah satu partai politik dia harus berusaha untuk mencoba tetap netral. Karena hal ini juga merupakan salah satu cara untuk menaikan citra dia dan citra partai politiknya. Sedangkan di artikel ke 3 media mencoba ingin menframing dari kacamata salah satu pembela aksi 212 yaitu AA GYM dimana AA GYM sendiri merupakan salah satu ustad yang ternama di Indonesia. Jadi mau tidak mau dia akan mengatas namakan agama dalam memberikan keterangan

kepada

media.

Dan

media

sendiri

berusaha

untuk

memframing perkataan AA GYM yang berlatang tentang agama Islam. Hal ini terlihat sekali media tersebut mengambil salah satu cuplikan di twitternya AA GYM yang dimana disalah satu cuitannya dia menuliskan tentang perbandingan aksi 212 dan 412 dari segi pandang agama Islam. Dalam Framing sendiri diefinisikan sebagai proses membuat suatu pesan lebih menonjol, menempatkan informasi lebih daripada yang lain sehingga khalayak lebih tertuju pada pesan tersebut. Maka dengan adanya framing ini peristiwa yang sama bisa menghasilkan berita dan persepsi yang berbeda. Dalam hal ini media telah melakukan framing kepada artikel nomor 3 dimana media telah mengutip bagian tertentu pada twittan AA GYM dan tidak menjawab persolan. bahkan hanya mengutip dari penjelasan konyol

saja sekedar hanya dijadikan olok-olok agar orang yang di framing itu terlihat bersalah. BERITA 1

http://nasional.kompas.com/read/2016/12/05/10280961/nusron.wahid.mi nta.aksi.212.dan.412.tak.dibenturkan BERITA II

https://www.merdeka.com/peristiwa/membandingkan-aksi-212-dan412.html BERITA III

Dapat kita lihat dan temukan begitu banyak pemberitaan mengenai 212, banyak media masa serta media sosial yang mengeluarkan berita tersebut. Berbagai macam tema dan judul berita yang dibuat, mulai dari tema yang biasa hingga tema atau judul yang sedikit keluar dari konteks pemberitaan. Maraknya pemberitaan mengenai aksi 212 yang dilakukan dimanfaatkan sebagian orang untuk membuat pemberitaan yang dapat menimbulkan perpecahan. Jika kita hubungkan dengan sosial media serta sara banyak media yang menyuguhkan pemberitaan yang pada akhirnya membuat sebagian masyarakat ribut dan memberikan pandangan baik pro ataupun kontra. Pemberitaan aksi 212 juga dijadikan ajang sebagai perlombaan politik oleh sebagian orang yang tidak bertanggung jawab, Hal ini lah yang menjadi

masalahnya. Pemberitaan mengenai isu sara dapat kita jumpai dipemberitaan 212, banyak yang memberikan pandangan positif serta ada juga yang memberikan pandangan negatif. Sebai pihak yang memberikan pemberitaan sangat di harapkan media masa dan media sosial dapat lebih bijak sana dalam menyaring pemberitaan seperti apa yang harus diberikan kepada masyarakat. Karena saat ini bangsa kita perlu yang namaya pengeratan saling bertoleransi antar suku, ras, agama serta golongan. Berkerja secara propesional, dan sesuai dengan peraturan dan tatacara serta aturan yang trlah ada dan titetapkan. Kepada masyarakat juga di harapkan dapat lebih bijak sana dalam menanggapai pemberitaan yang ada.

2. Analisis terhadap pemberitaan Ahli fungsi Lapangan Kinabalu Keputusan pemerintah kalimantan Timur untuk membangun sebuah mesjid di sebuah lapangan yaitu lapangan Kinabalu menimbulkan banyak pertentangan, banyak media masa serta media online yang memuat pemberitaan tersebut, hal ini sangat menjadi perhatian bahi pemerintah kalimantan Timur, dimana dalam rencana pembangunan masjid tersebut banyak

menimbulkan penolakan

dan

pertentangan

dari

berbagai

kalangan baik dari kalangan pemerintah, masyarakat sampau tokoh agama. Hal ini dikarenkan, diarea lapangan tersebut telah terdapat sebuah mesjid yang telah ada sejak lama, serta di seberang lapangan bola tersebut terdapat bangunan gereja. Apanila pembangunan mesjid Alfaruq tetap dijalankan, hal ini dapat menimbulkan permasalahn baru, diantaranya terjadinya kecemburuan sosial dari warga yang telah lama beribadah di mesjid yang lama. Serta bagaimana keberadan gereja yang telah ada di sekitar lapangan tersebut. Pemberitaan ini diharapkan kepada media masa dan media sosial dapat lebih bijak dalam memberikan pemberitaan kepada masyarakat agar

tidak terjadi permasalahan diantaranya masalah sosial dan budaya serta isu sara. Tentu dalam pemberitaan ini bisa saja ada sebagaian kelompok yang menggunakan keadaan untuk memecah belah persatuan yang ada. Untuk pemeritah juga di harapkan untuk lebih memikirkan tentang rencana pembangunan masjid Al faruq tersebut. Diharapkan

kepada

seluruh

masyarakat

agar

lebih

bijak

dalam

menanggapi pemberitaan yang ada agar tidak terjadi perpechan diantara masyarakat.

KESIMPULAN Media massa harus dipandang sebagai intitusi yang bebas dari nilai dan menyampaikan realitas secara apa adanya. Media mempunyai kekuatan untuk mengkonstruksi realitas dalam masyarakat sehingga hal ini menjadikan media harus berimbang dalam melaporkan konflik, harus ikut mencegah konflik dan dapat mendorong terciptanya perdamaian dengan cara memfokuskan pemberitaannya dalam upaya-upaya perdamaian yang dilakukan oleh pihak-pihak yang bertikai. Media dapat juga mengambil fokus pemberitaan akibat yang ditimbulkan oleh konflik sehingga diharapkan pihak yang bertikai menyadari akibat yang ditimbulkan dari konflik itu. Hal ini menjadikan media merupakan bagian dari solusi dalam meredam konflik dan bukan malah “memanasmanasi” serta memperburuk konflik. Media hendaknya selalu menjadikan kode etik jurnalistik sebagai asas dalam melakukan aktivitas pemberitaan dan kebebasan pers yang dijalankan hendaknya tidak disalahgunakan untuk meningkatkan penjualan atau keuntungan ekonomi bahkan kepentingan

lainnya

atas

sebuah

peristiwa konflik

yang terjadi.

Dibutuhkan sinergisitas yang konstruktif antara media massa, Dewan Pers, Komisi Penyiaran Indonesia, pemerintah dan masyarakat untuk terus mengkampanyekan setiap pemberitaan dan ekspos media yang edukatif, objektif, damai dan berorientasi pada resolusi konflik.

Related Documents


More Documents from "Chadijah Chairun Nissa"

Hukum Pers Uas Lena.docx
April 2020 14
Doamne_rugaciuni.pdf
October 2019 10
Deutsch-adjektive.pdf
October 2019 21
Simbol Math.docx
June 2020 8
Trips Wto.docx
June 2020 13