Uas Hukum Kesehatan.docx

  • Uploaded by: Chadijah Chairun Nissa
  • 0
  • 0
  • April 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Uas Hukum Kesehatan.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 9,496
  • Pages: 16
HUKUM KESEHATAN (1) Seluruh aturan aturan hukum dan hubungan hubungan kedudukan hukum yang langsung berkembang dengan atau yang menetukan situasi kesehatan di dalam mana manusia berada (Prof. Dr. Rang- ahli hukum negeri Belanda) (2) Hukum kesehatan adalah semua peraturan hukum yang berhubungan langsung pada pemberian kesehatan dan penerapannya pada hukum perdata, hukum administrasi dan hukum pidana (HJJ. Leenen- 1972) Hukum Kesehatan adalah semua ketentuan hukum yang berhubungan langsung dengan pemeliharaan atau pelayanan kesehatan dan penerapannya. Hal ini berarti hukum kesehatan adalah aturan tertulis mengenai hubungan antara pihak pemberi pelayanan kesehatan dengan masyarakat atau anggota masyarakat. Dengan sendirinya hukum kesehatan itu mengatur hak dan kewajiban masing-masing penyelenggara pelayanan dan penerima pelayanan atau masyarakat. Hukum kesehatan relatif masih muda bila dibandingkan dengan hukumhukum yang lain. Perkembangan hukum kesehatan baru dimulai pada tahun 1967, yakni dengan diselenggarakannya “Word Congress on Medical Law “ di Belgia tahun 196721. Tujuan hukum kesehatan adalah agar memberi keyakinan diri kepada tenaga kesehatan dalam menjalankan profesi kesehatan yang berkualitas dan selalu berada pada jalur aman, tidak melanggar etika dan ketentuan hukum DASAR HUKUM KESEHATAN Undang-Undang Dasar 1945 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Undang-Undang No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan Undang-Undang No. 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran 6. PP No. 10 Tahun 1966 tentang Wajib Simpan Rahasia kedokteran 7. PP No. 32 tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan 8. Permenkes RI No. 585/Men.Kes/Per/1989 tentang Persetujuan Tindakan Medik 9. Permenkes RI No. 729a/Men.Kes/Per/XII/1989 tentang Rekam Medis/Medical Record 10. Kepdirjen Pelayanan Medis No. HK.00.06.6.5.1866 tentang Pedoman Persetujuan Tindakan Medis (Informed Consent) 1. 2. 3. 4. 5.

Sejarah Hukum Kesehatan di Indonesia, Di Indonesia, perkembangan hukum kesehatan dimulai dengan terbentuknya kelompok studi untuk Hukum Kedokteran FKUI dan Rumah Sakit Ciptomangunkusomo di Jakarta tahun 1982. Kelompok studi hukum kedokteran ini akhirnya pada tahun 1983 berkembang menjadi Perhimpunan Hukum Kesehatan Indonesia (PERHUKI). Hukum kesehatan mencakup komponen-komponen atau kelompok-kelompok profesi kesehatan yang saling berhubungan dengan yang lainnya. Undang-Undang tentang Kesehatan, yang pernah berlaku di Indonesia :

- UU Pokok Kesehatan No. 9 Tahun 1960 ; - UU Kesehatan No. 23 Tahun 1992, direvisi menjadi UU No. 36 Tahun 2009. Pada tanggal 30 oktober 2009 UU kesehatan No.23 tahun 1992 dinyatakan tidak berlaku dan direvisi menjadi UU No. 36 tahun 2009 hal ini disesuaikan dengan perkembangan masalah kesehatan dan glonalisasi. Tenaga Kesehatan Tenaga Kesehatan Dalam Undang-Undang Kesehatan No.36 Tahun 2009 disebutkan bahwa tenaga kesehatan merupakan sumber daya kesehatan yang paling utama. Sebab dengan tenaga kesehatan ini semua sumber daya kesehatan yang lain seperti fasilitas pelayanan kesehatan, pembekalan kesehatan serta teknologi dan produk teknologi dapat dikelola secara sinergis dalam rangka mencapai tujuan pembangunan kesehatan yang diharapkan. Dalam Peraturan Pemerintah ini dijelaskan, bahwa tenaga kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan atau keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan. Fungsi Peraturan Menteri (Permen) adalah menyelenggarakan fungsi pemerintahan umum sebagai pembantu presiden sesuai dengan lingkup tugasnya dan kewenangannya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Peraturan dan Penyelenggaraan Praktik Ahli Gizi Permenkes Nomor 161/MenKes/PER/I/2010 Uji kompetensi adalah suatu proses untuk mengukur pengetahuan, keterampilan, dan sikap tenaga kesehatan sesuai dengan standar profesi. Sertifikat kompetensi adalah surat tanda pengakuan terhadap kompetensi seseorang tenaga kesehatan untuk dapat menjalankan praktik dan/atau pekerjaan profesinya di seluruh Indonesia setelah lulus uji kompetensi. Registrasi adalah pencatatan resmi terhadap tenaga kesehatan yang telah memiliki sertifikat kompetensi dan telah mempunyai kualifikasi tertentu lainnya serta diakui secara hukum untuk menjalankan praktik dan/atau pekerjaan profesinya. Surat Tanda Registrasi yang selanjutnya disingkat STR adalah bukti tertulis yang diberikan oleh pemerintah kepada tenaga kesehatan yang telah memiliki sertifikat kompetensi. Majelis Tenaga Kesehatan Indonesia yang selanjutnya disingkat MTKI adalah lembaga yang berfungsi untuk menjamin mutu tenaga kesehatan yang memberikan pelayanan kesehatan. Majelis Tenaga Kesehatan Provinsi yang selanjutnya disingkat MTKP adalah lembaga yang membantu pelaksanaan tugas MTKI. Pasal 2 PMK Nomor 1796 /MENKES/PER/VIII/2011 tahun 2011, Pelaksanaan registrasi, setiap tenaga kesehatan yang akan menjalankan pekerjaannya wajib memiliki STR. Untuk memperoleh STR tenaga kesehatan harus memiliki ijazah dan sertifikat kompetensi. Ijazah dan sertifikat kompetensi

diberikan kepada peserta didik setelah dinyatakan lulus ujian program pendidikan dan uji kompetensi. Pasal 3 Ijazah dikeluarkan oleh perguruan tinggi bidang kesehatan sesuai dengan peraturan perundang-undangan, Sertifikat kompetensi dikeluarkan oleh MTKI. Pasal 4 Sertifikat kompetensi berlaku selama 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang setiap 5 (lima) tahun. Untuk pertama kali sertifikat kompetensi diberikan selama jangka waktu 5 (lima) tahun terhitung sejak tanggal kelahiran tenaga kesehatan yang bersangkutan. Sertifikat kompetensi dipergunakan sebagai dasar untuk memperoleh STR. Pasal 5 Sertifikat kompetensi yang telah habis masa berlakunya dapat diperpanjang melalui partisipasi tenaga kesehatan dalam kegiatan pendidikan dan/atau pelatihan, serta kegiatan ilmiah lainnya sesuai dengan bidang tugasnya atau profesinya. Partisipasi tenaga dapat digunakan sepanjang telah memenuhi persyaratan perolehan Satuan Kredit Profesi. Satuan Kredit Profesi selama 5 (lima) tahun harus mencapai minimal 25 (dua puluh lima) Satuan Kredit Profesi. Jumlah Satuan Kredit Profesi dari setiap kegiatan pelatihan, temu ilmiah dan kegiatan lainnya untuk setiap kegiatan ditentukan oleh Organisasi Profesi. Pasal 6 Pelaksanaan uji kompetensi dilakukan oleh perguruan tinggi bidang kesehatan yang telah terakreditasi dari badan yang berwenang, bersamaan dengan pelaksanaan ujian akhir. Perguruan tinggi bidang kesehatan melaporkan akan dilakukannya uji kompetensi kepada MTKI melalui MTKP sekurang-kurangnya 2 (dua) bulan sebelum dilakukan uji kompetensi. MTKI setelah menerima laporan dari perguruan tinggi bidang kesehatan menyiapkan soal uji kompetensi, dan pengawas. Pasal 7 Ketentuan lebih lanjut mengenai uji kompetensi bagi peserta didik pada perguruan tinggi bidang kesehatan diatur oleh Menteri dan Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pendidikan nasional. Pasal 8 Setelah uji kompetensi dilakukan, perguruan tinggi bidang kesehatan melaporkan kepada MTKI melalui MTKP tentang peserta didik yang dinyatakan lulus. MTKI setelah menerima laporan mempersiapkan sertifikat kompetensi. Sertifikat kompetensi diberikan MTKI kepada peserta didik pada waktu pengambilan sumpah. Pasal 9 MTKI setelah menerima laporan selain mempersiapkan sertifikat kompetensi juga mempersiapkan STR. STR diberikan MTKI kepada peserta didik yang dinyatakan lulus bersamaan dengan pemberian sertifikat kompetensi. STR dikeluarkan oleh MTKI dan berlaku secara nasional. Masa berlaku STR sepanjang masa berlakunya sertifikat UNDANG.UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2014 TENTANG TENAGA KESEHATAN

BAB III KUALIFIKASI DAN PENGELOMPOKAN TENAGA KESEHATAN

1.

Pasal 8 Tenaga di bidang kesehatan terdiri atas: a. Tenaga Kesehatan; dan b. Asisten Tenaga Kesehatan. Pasal 9 Tenaga Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf a harus memiliki kualifikasi minimum Diploma Tiga, kecuali tenaga medis. Ketentuan lebih lanjut mengenai kualifikasi minimum Tenaga Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri. Pasal 10 Asisten Tenaga Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf b harus memiliki kualifikasi minimum pendidikan menengah di bidang kesehatan. Asisten Tenaga Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat bekerja di bawah supervisi Tenaga Kesehatan. Ketentuan lebih lanjut mengenai Asisten Tenaga Kesehatan diatur dengan Peraturan Menteri. Pasal 11 Tenaga Kesehatan dikelompokkan ke dalam: a. tenaga medis; b. tenaga psikologi klinis; c. tenaga keperawatan; d. tenaga kebidanan; e. tenaga kefarmasian; f. tenaga kesehatan masyarakat; g. tenaga kesehatan lingkungan; h. tenaga gizi; i. tenaga keterapian fisik; j. tenaga keteknisian medis; k. tenaga teknik biomedika; l. tenaga kesehatan tradisional; dan m. tenaga kesehatan lain. DIETITIAN Dietitian/ahli gizi terdaftar adalah seorang profesional yang memiliki basis ilmiah dan informasi nutrisi objektif. Informasi gizi diberikan oleh dietitian tidak dikenakan mode saat ini dan klaim liar. Ada banyak spesialisasi di bidang dietetics, seperti dokter yang mengkhususkan diri dalam bidang keahlian tertentu. Dietitian dapat mengkhususkan diri dalam menangani penyakit tertentu, menyediakan rumah sakit untuk pasien dan konseling klinik rawat, gizi olahraga, pelayanan makanan, kesehatan, food service (bisnis), penelitian dan jurnalisme. Tugas: Dietitians menerapkan pengetahuan ilmiah tentang makanan dan gizi untuk individu dan kelompok pada keadaan sehat maupun sakit untuk meningkatkan hasil kesehatan yang optimal dalamkonteks sosial, ekonomi dan budaya

NUTRITIONIST Istilah umum yang mengacu kepada siapapun yang mempraktekkan ilmu gizi. Individu yang bekerja di tokotoko makanan kesehatan, yang menjual suplemen makanan, atau seorang otodidak dapat menyebut diri mereka ahli gizi. Nutritionist adalah spesialis kesehatan yang membantu orang lain mempertahankan atau mencapai kesehatan yang lebih baik melalui makanan yang sehat. Dan pakar dalam hubungan antara makanan dan tubuh; mereka tahu makanan apa yang terbaik untuk mencapai kesehatan yang optimal. Tugas: Ahli gizi bekerja di berbagai pengaturan, dari rumah sakit untuk departemen kesehatan.

Menurut UU No. 36 Tahun 2014 tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan yang berhubungan dengan gizi adalah sebagai tenaga kesehatan di bidang gizi pendidikan nya minimum diploma tiga, yang sudah lulus dengan gelar ahli madya berkompeten. Ketentuan lebih lanjut mengenai ahli gizi sudah diatur dengan peraturan menteri. Tenaga gizi terdapat pada pasal 11 bagian H yang dimaksud adalah tenaga gizi yang terdiri atas nutrisionis dan dietisien.

Upaya Perbaikan Gizi Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 23 tahun 2014 Pasal 1 Beberapa pengertian yang tercantum dalam Permenkes ini, antara lain: 1. Gizi Seimbang adalah susunan hidangan makanan sehari yang terdiri atas berbagai ragam bahan makanan yang berkualitas dalam jumlah dan proporsi yang sesuai dengan aktifitas fisik, umur, jenis kelamin dan keadaan fisiologi tubuh sehingga dapat memenuhi kebutuhan gizi seseorang, guna pemeliharaan dan perbaikan sel tubuh dan proses kehidupan serta pertumbuhan dan perkembangan secara optimal. 2. Keluarga Sadar Gizi yang selanjutnya disingkat KADARZI adalah suatu keluarga yang mampu mengenal, mencegah, dan mengatasi masalah gizi setiap anggotanya. 3. Pelayanan Gizi adalah rangkaian kegiatan untuk memenuhi kebutuhan gizi perorangan dan masyarakat melalui upaya pencegahan, peningkatan, penyembuhan, dan pemulihan yang dilakukan di masyarakat dan fasilitas pelayanan kesehatan. 4. Angka Kecukupan Gizi adalah suatu nilai acuan kecukupan rata-rata zat gizi setiap hari bagi semua orang menurut golongan umur, jenis kelamin, ukuran tubuh, aktivitas fisik untuk mencapai derajat kesehatan yang optimal. 5. Tenaga Gizi adalah setiap orang yang telah lulus pendidikan di bidang gizi sesuai ketentuan peraturan perundangan-undangan.

Pasal 2

a. Diantaranya tercantum, bahwa pengaturan upaya perbaikan gizi ditujukan untuk menjamin: setiap orang memiliki akses terhadap informasi gizi dan pendidikan gizi; b. setiap orang terutama kelompok rawan gizi memiliki akses terhadap pangan yang bergizi; dan c. setiap orang memiliki akses terhadap pelayanan gizi dan kesehatan. Untuk mencapai tujuan diatas dilakukan melalui: a. perbaikan pola konsumsi makanan yang sesuai dengan gizi seimbang; b. perbaikan perilaku sadar gizi, aktivitas fisik, dan kesehatan; c. peningkatan akses dan mutu pelayanan gizi yang sesuai dengan kemajuan ilmu dan teknologi; dan d. peningkatan sistem kewaspadaan pangan dan gizi. Pasal 8 (Kecukupan Gizi) (1) Setiap orang harus mengonsumsi makanan sesuai dengan standar angka kecukupan gizi. (2) Menteri menetapkan standar angka kecukupan gizi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurangkurangnya setiap 4 (empat) tahun sekali. (3) Standar angka kecukupan gizi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat digunakan untuk: a. acuan dalam menilai kecukupan gizi; b. acuan dalam menyusun makanan sehari-hari; c. acuan perhitungan dalam perencanaan penyediaan pangan tingkat regional maupun nasional; d. acuan pendidikan gizi; dan e. acuan label pangan yang mencantumkan informasi nilai gizi. Pasal 9 (1) Setiap penyelenggara usaha jasa boga harus memberikan informasi tentang komposisi makanan-minuman dan nilai gizinya. (2) Penilaian terhadap informasi diatas dilaksanakan bersamaan dengan penilaian untuk mendapatkan sertifikat higiene sanitasi. Pasal 10 (1) Setiap penyelenggara usaha pangan industri rumah tangga harus memberikan informasi tentang komposisi makanan-minuman dan nilai gizinya. (2) Penilaian terhadap informasi diatas dilaksanakan bersamaan dengan permohonan registrasi usaha pangan industri rumah tangga di dinas kesehatan kabupaten/kota. Pasal 12 Pelayanan gizi dilakukan untuk mewujudkan perbaikan gizi pada seluruh siklus kehidupan sejak dalam kandungan sampai dengan lanjut usia dengan prioritas kepada kelompok rawan gizi; Kelompok rawan gizi tersebut antara lain meliputi:bayi dan balita;anak usia sekolah dan remaja perempuan; ibu hamil, nifas dan menyusui; pekerja wanita; dan usia lanjut. Pelayanan gizi ini dilakukan di:fasilitas pelayanan kesehatan;institusi/fasilitas lainnya;asyarakat; dan lokasi dengan situasi darurat.

Pasal 18 Suplementasi gizi ditujukan untuk memenuhi kecukupan gizi. Suplementasi gizi diberikan untuk anak usia 6 – 59 bulan, anak sekolah, ibu hamil, ibu nifas, remaja perempuan, dan pekerja wanita. Sedangkan Jenis suplementasi gizi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi: a. kapsul vitamin A; b. tablet tambah darah; c. makanan tambahan ibu hamil; d. Makanan Pendamping Air Susu Ibu (MP-ASI); e. makanan tambahan anak balita 2-5 tahun; f. makanan tambahan anak usia sekolah; dan g. bubuk multi vitamin dan mineral. Pasal 19 Tata laksana gizi kurang merupakan rangkaian tindakan yang bertujuan untuk pemulihan status gizi dengan prioritas menurunkan angka kesakitan pada balita gizi kurang. Tata laksana gizi kurang dilaksanakan oleh masyarakat dan fasilitas pelayanan kesehatan. Pasal 20 Tata laksana gizi buruk merupakan rangkaian tindakan yang bertujuan untuk perbaikan status gizi dengan prioritas menurunkan angka kematian pada balita gizi buruk; Perbaikan status gizi terhadap balita penderita gizi buruk harus diberikan formula gizi buruk yang salah satu komponennya merupakan mineral mix; Tata laksana gizi buruk dilaksanakan melalui rawat jalan atau rawat inap sesuai dengan kondisi pasien. Pasal 21 Tata laksana gizi lebih merupakan rangkaian tindakan yang bertujuan untuk mencapai status gizi baik dan menurunkan risiko timbulnya penyakit gangguan metabolik dan degenerative; Dilakukan melalui tindakan yang bersifat pencegahan, peningkatan, penyembuhan dan pemulihan. Pelayanan Gizi Diluar Fasilitas Pelayanan Kesehatan Pasal 24 Pelayanan gizi diluar fasilitas pelayanan kesehatan diarahkan untuk mempertahankan dan meningkatkan status gizi masyarakat.Pelayanan gizi tersebut antara lain meliputi: a. pelayanan gizi di panti asuhan; b. pelayanan gizi di lembaga pemasyarakatan; c. pelayanan gizi di sekolah; d. pelayanan gizi di tempat kerja; e. pelayanan gizi di pondok pesantren; f. pelayanan gizi di asrama haji/jemaah haji; g. pelayanan gizi di pusat pelatihan olah raga; h. pelayanan gizi di panti wreda; dan i. pelayanan gizi di hotel dan restoran. Pasal 26 (Pelayanan Gizi di Lokasi dengan Situasi Darurat) Pelayanan Gizi di Lokasi dengan Situasi Darurat diarahkan untuk mempertahankan dan memulihkan serta meningkatkan status gizi masyarakat di daerah bencana. Pasal 27 Pemenuhan gizi dalam situasi darurat dilakukan untuk mencegah dan mengatasi terjadinya penurunan status gizi secara cepat dan tepat; Dilakukan terhadap masyarakat akibat korban bencana, masyarakat di pengungsian, dan masyarakat di penampungan. Upaya ini dilakukan sampai

dengan dikeluarkannya pernyataan selesainya situasi darurat oleh kepala daerah. Pasal 28 Surveilans gizi bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai perubahan pencapaian indikator kinerja perbaikan gizi secara nasional, dan regional; Merupakan kegiatan analisis secara sistematis dan terus menerus terhadap masalah gizi dan indikator pembinaan gizi masyarakat. Ditujukan agar dapat melakukan tindakan penanggulangan secara efektif dan efisien serta tindak lanjut sebagai respon terhadap perkembangan informasi. Pasal 29 Prioritas penilaian status gizi dilakukan pada balita, anak usia sekolah, dan pekerja perempuan. Penilaian status gizi ini dapat ditentukan dengan cara: Antropometri; Biokimia;Klinis; dan/atau Konsumsi makanan. Selain berbagai hal diatas, pada lampiran Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Upaya Perbaikan Gizi, juga dijelaskan tentang Keluarga Sadar Gizi disertai contoh dan cara pengisian formulirnya, diantaranya: a. Pendampingan Keluarga Menuju Keluarga Sadar Gizi) b. Strategi Komunikasi Informasi Edukasi (KIE) Keluarga Sadar Gizi (Kadarzi) NOMOR 51 TAHUN 2016 TENTANG STANDAR PRODUK SUPLEMENTASI GIZI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA Pasal 1 (1) Untuk memenuhi kecukupan gizi bagi bayi, balita, anak usia sekolah, wanita usia subur, ibu hamil, dan ibu nifas, diberikan suplementasi gizi. (2) Suplementasi gizi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan penambahan makanan atau zat gizi yang diberikan dalam bentuk: a. makanan tambahan; b. tablet tambah darah; c. kapsul vitamin A; dan d. bubuk tabur gizi. (3) Suplementasi gizi dalam bentuk makanan tambahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a merupakan makanan tambahan dengan formulasi khusus dan difortifikasi dengan vitamin dan mineral yang diberikan kepada: a. balita 6-59 bulan dengan kategori kurus; b. anak usia sekolah dasar dengan kategori kurus; dan c. ibu hamil kurang energi kronis. (4) Suplementasi gizi dalam bentuk tablet tambah darah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b merupakan suplemen gizi dengan kandungan paling sedikit zat besi dan asam folat yang diberikan kepada wanita usia subur dan ibu hamil. (5) Suplementasi gizi dalam bentuk kapsul vitamin A sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c merupakan kapsul yang mengandung retinol

(palmitat/asetat) dosis tinggi yang diberikan kepada bayi, anak balita, dan ibu nifas. (6) Suplementasi gizi dalam bentuk bubuk tabur gizi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d merupakan bubuk multi vitamin dan mineral yang diberikan kepada balita 6-24 bulan. Pasal 2 (1) Setiap produk suplementasi gizi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2) yang beredar di Indonesia wajib memenuhi standar. (2) Standar produk suplementasi gizi dalam bentuk makanan tambahan dan bubuk tabur gizi meliputi: a. kandungan; b. bahan tambahan pangan, bagi makanan tambahan; c. cemaran mikroba dan logam berat; d. pengolahan; dan e. pengemasan dan pelabelan. (3) Standar produk suplementasi gizi dalam bentuk makanan tambahan dan bubuk tabur gizi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tercantum dalam Lampiran I dan Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. (4) Standar produk suplementasi gizi dalam bentuk tablet tambah darah dan kapsul vitamin A sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 3 Setiap produsen dalam memproduksi produk suplementasi gizi harus memenuhi standar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2.

(1)

(2)

(3)

(4)

(5)

Pasal 4 Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan dan pemerintah daerah melakukan pembinaan terhadap pemenuhan standar produk suplementasi gizi sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri ini sesuai dengan kewenangan masing-masing. Kepala badan yang memiliki tugas dan fungsi di bidang pengawasan obat dan makanan melakukan pengawasan terhadap pemenuhan standar produk suplementasi gizi sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri ini. Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan melalui: a. advokasi dan sosialisasi; dan/atau b. monitoring dan evaluasi. Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pelanggaran terhadap pemenuhan standar produk suplementasi gizi sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri ini dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 5 Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku: a. setiap produsen yang memproduksi produk suplementasi gizi dalam bentuk makanan tambahan dan bubuk tabur gizi harus menyesuaikan dengan ketentuan Peraturan Menteri ini paling lambat dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sejak Peraturan Menteri ini diundangkan; dan b. produk suplementasi gizi dalam bentuk makanan tambahan dan bubuk tabur gizi dari pengadaan pemerintah berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan yang lama tetap dapat diedarkan sampai dengan batas kadaluwarsa produk. Pasal 6 Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku: a. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 224/Menkes/SK/II/2007 tentang Spesifikasi Teknis Makanan Pendamping Air Susu Ibu (MP-ASI); b. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 899/Menkes/SK/X/2009 tentang Spesifikasi Teknis Makanan Tambahan Anak Balita 2-5 Tahun, Anak Usia Sekolah Dasar dan Ibu Hamil; dan c. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 41 Tahun 2013 tentang Standar Bubuk Tabur Gizi (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 916), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. NOMOR 49 TAHUN 2014 TENTANG STANDAR MUTU GIZI, PELABELAN, DAN PERIKLANAN SUSU FORMULA PERTUMBUHAN DAN FORMULA PERTUMBUHAN ANAK USIA 1-3 TAHUN BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan: 1. Anak Usia 1-3 Tahun adalah seseorang yang berumur mulai dari satu tahun sampai tiga tahun (umur 12 bulan sampai dengan 36 bulan). 2. Susu Formula Pertumbuhan Anak 1-3 Tahun adalah produk formulasi yang diperoleh dari bahan dasar susu atau bahan yang berasal dari hewan yang semuanya telah dibuktikan sesuai untuk anak yang berumur 1-3 tahun. 3. 3. Formula Pertumbuhan Anak 1-3 Tahun adalah produk formulasi yang diperoleh dari bahan dasar dari tumbuhan yang semuanya telah dibuktikan sesuai untuk anak yang berumur 1-3 tahun. 4. 4. Mutu Gizi Susu Formula Pertumbuhan Anak 1-3 Tahun adalah nilai yang ditentukan atas dasar

kriteria kandungan gizi, keamanan gizi dan mutu protein. 5. 5. Kandungan Gizi adalah jumlah zat gizi dalam 100 kilo kalori (kkal) susu siap dikonsumsi. 6. 6. Keamanan Gizi adalah jumlah zat gizi yang aman dikonsumsi yang berada di bawah batas atas. 7. Mutu Protein adalah ketersediaan secara biologis asam amino untuk digunakan oleh tubuh manusia. 8. Zat Gizi adalah substansi pangan terdiri dari karbohidrat, protein, lemak, vitamin, mineral, serat, dan air yang berfungsi memberikan energi, diperlukan untuk pertumbuhan, perkembangan dan/atau pemeliharaan kesehatan yang bila kekurangan atau kelebihan dapat menyebabkan perubahan karakteristik biokimia dan fisiologis tubuh. 9. Gizi Mikro adalah zat gizi yang dibutuhkan dalam jumlah sedikit (dalam satuan miligram atau mikrogram) berupa vitamin dan mineral. 10. Gizi Makro adalah zat gizi yang dibutuhkan dalam jumlah banyak (dalam satuan gram atau kilo kalori) berupa karbohidrat, serat, protein, lemak, dan air. 11. Label Pangan yang selanjutnya disebut label adalah setiap keterangan mengenai pangan yang berbentuk gambar, tulisan, kombinasi keduanya, atau bentuk lain yang disertakan pada pangan, yang dimasukkan ke dalam, ditempelkan pada, atau merupakan bagian kemasan pangan. 12. Iklan adalah setiap keterangan atau pernyataan mengenai pangan dalam bentuk gambar, tulisan atau bentuk lain yang dilakukan dengan berbagai cara untuk pemasaran dan atau perdagangan. 13. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan. 14. Kepala Badan adalah Kepala Badan yang melaksanakan tugas dan tanggung jawab di bidang pengawasan obat dan makanan. Pasal 2 Ruang lingkup pengaturan standar mutu gizi, pelabelan, dan periklanan Susu Formula Pertumbuhan dan Formula Pertumbuhan Anak Usia 1-3 Tahun meliputi Kandungan Gizi, Keamanan Gizi, Mutu Protein, pelabelan dan periklanan serta pembinaan dan pengawasan. BAB II KANDUNGAN GIZI DAN KEAMANAN GIZI Pasal 3 (1) Setiap Susu Formula Pertumbuhan dan Formula Pertumbuhan Anak Usia 1-3 Tahun yang beredar di Indonesia wajib memenuhi standar Kandungan Gizi dan Keamanan Gizi. (2) Standar Kandungan Gizi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi jenis Zat Gizi, kandungan Zat Gizi minimal, dan kandungan Zat Gizi maksimal. (3) Dalam hal sumber protein yang digunakan pada Formula Pertumbuhan Anak Usia 1-3 Tahun

berasal dari selain protein susu sapi maka mutu protein, paling sedikit 85% dari mutu kasein. (4) Standar Kandungan Gizi dan Keamanan Gizi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. Pasal 4 (1) Standar Kandungan Gizi dan Keamanan Gizi Susu FormulaPertumbuhan dan Formula Pertumbuhan Anak Usia 1-3 Tahun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dapat ditambahkan komponen lain penambah Zat Gizi. (2) Komponen lain penambah Zat Gizi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. (3) Penambahan komponen lain selain yang disebutkan pada ayat (2) harus dibuktikan secara ilmiah kelayakan dan keamanannya bagi Anak Usia 1-3 Tahun. Pasal 5 Batas maksimum cemaran mikroba, cemaran kimia, dan logam berat serta bahan tambahan panganlainnya pada Susu Formula Pertumbuhan dan Formula Pertumbuhan Anak Usia 1-3 Tahun harus sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. BAB III PELABELAN Pasal 6 (1) Setiap produsen Susu Formula Pertumbuhan dan Formula Pertumbuhan Anak Usia 1-3 Tahun wajib mencantumkan label yang ditulis dan dicetak dengan menggunakan Bahasa Indonesia serta memuat paling sedikit mengenai: a. nama produk; b. daftar bahan yang digunakan; c. berat bersih atau isi bersih; d. nama dan alamat pihak yang memproduksi atau mengimpor; e. halal bagi yang dipersyaratkan; f. bulan dan tahun kedaluwarsa; g. informasi nilai gizi; h. anjuran konsumsi perhari; i. cara penggunaan/penyajian dilengkapi dengan peringatan tentang bahaya terhadap kesehatan apabila cara penyiapan, penyimpanan dan penggunaan tidak tepat; j. ilustrasi tentang cara penyiapan; k. cara penyimpanan; l. nomor izin edar dari Kepala Badan; m. kalimat “pemberian ASI dapat diteruskan sampai usia 2 tahun”; dan n. peringatan “tidak cocok untuk bayi di bawah usia satu tahun”. (2) Nama produk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a harus mencantumkan:

“susu formula pertumbuhan bersumber dari hewani” apabila sumber protein berasal dari hewani; atau b. “formula pertumbuhan bersumber bukan dari hewani” apabila sumber protein berasal bukan dari susu hewan. Produsen dilarang mencantumkan kata “susu” apabila sumber protein bukan berasal dari hewani. Selain keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pada label Susu Formula Pertumbuhan dan Formula Pertumbuhan Anak Usia 1-3 Tahun dapat mencantumkan: a. pesan gizi; dan/atau b. keterangan lain yang perlu diketahui, termasuk mengenai dampak terhadap kesehatan manusia. Pesan zat gizi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a apabila sekurang-kurangnya mengandung 15% acuan label gizi (ALG) per 100 gram untuk vitamin dan mineral serta 20% acuan label gizi (ALG) per 100 gram untuk protein. (6) Dalam pencantuman pesan gizi dan keterangan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (4) harus memenuhi persyaratan keamanan komponen, kandungan dan bukti manfaatnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 7 Produsen dan/atau importir Susu Formula Pertumbuhan dan Formula Pertumbuhan Anak Usia 1-3 Tahun dilarang mencantumkan klaim dan pesan gizi dan/atau kesehatan yang tidak berbasis bukti ilmiah. Pencantuman klaim dan pesan gizi dan/atau kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) setelah dilakukan pengkajian dan disetujui oleh Menteri. Pencantuman klaim dan pesan gizi dan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus mudah dimengerti dan bersifat edukatif bagi masyarakat. a.

(3) (4)

(5)

(6)

(1)

(2)

(3)

BAB IV PERIKLANAN Pasal 8 (1) Setiap iklan Susu Formula Pertumbuhan dan Formula Pertumbuhan Anak Usia 1-3 Tahun harus memuat informasi atau data yang akurat dengan: a. berbasis bukti; b. komunikatif; c. informatif; d. edukatif; dan e. bertanggung jawab. (2) Setiap iklan Susu Formula Pertumbuhan dan Formula Pertumbuhan Anak Usia 1-3 tahun tidak diperbolehkan apabila : a. memberikan informasi atau pernyataan yang tidak benar, palsu, menipu dan menyesatkan;

b. c.

d.

e.

f. g.

bertentangan dengan norma kesusilaan dan ketertiban umum; membandingkan dengan Susu Formula Pertumbuhan dan Formula Pertumbuhan Anak Usia 1-3 Tahun produsen lain; memuji dan secara berlebihan termasuk pernyataan yang bersifat superlatif dan menyiratkan kata ”satu-satunya”atau yang bermakna sama mengenai keunikan atau kecanggihan sehingga cenderung bersifat menyesatkan; mengiklankan Susu Formula Pertumbuhan dan Formula Pertumbuhan Anak Usia 1-3 Tahun yang tidak memiliki izin edar atau tidak memenuhi standar mutu dan keamanan; menggunakan tenaga kesehatan sebagai model; menggunakan metode penjualan multi-level marketing; dan h. memberi testimoni dalam bentuk iklan atau publikasi di media massa.

BAB V LARANGAN Pasal 9 Pelaku Usaha dilarang: a. mengiklankan Susu Formula Pertumbuhan dan Formula Pertumbuhan Anak Usia 1-3 Tahun yang memakai nama dagang yang sama dengan nama dagang susu formula bayi dan susu formula lanjutan; dan b. menggunakan perlakuan iradiasi terhadap: 1. bahan yang digunakan dalam Susu Formula dan Formula Pertumbuhan Anak Usia 1-3 Tahun; dan 2. Susu Formula Pertumbuhan dan Formula Pertumbuhan Anak Usia 1-3 Tahun. BAB VI PEMBINAAN DAN PENGAWASAN Bagian Kesatu Pembinaan Pasal 10 (1) Menteri, menteri terkait, Kepala Badan, dan pemerintah daerah melakukan pembinaan terhadap pelaksanaan Peraturan Menteri ini sesuai dengan tugas, fungsi, dan kewenangan masing-masing. (2) Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan melalui: a. advokasi dan sosialisasi mengenai standar mutu gizi, pelabelan dan periklanan Susu Formula Pertumbuhan dan Formula Pertumbuhan Anak Usia 1-3 Tahun; dan/atau b. monitoring dan evaluasi. Bagian Kedua Pengawasan Pasal 11

(1) Pengawasan terhadap mutu gizi, pelabelan, dan periklanan Susu Formula Pertumbuhan dan Formula Pertumbuhan Anak Usia 1-3 Tahun dilaksanakan oleh Kepala Badan dan berkoordinasi dengan instansi terkait. (2) Dalam rangka pengawasan, Kepala Badan dapat mengambil tindakan administratif terhadap pelanggaran ketentuan dalam Peraturan Menteri ini berupa: a. peringatan secara tertulis; b. larangan mengedarkan untuk sementara waktu dan/atau perintah menarik Susu Formula Pertumbuhan dan Formula Pertumbuhan Anak Usia 1-3 Tahun dari peredaran; c. Penarikan produk jika tidak memenuhi persyaratan sebagaimana tercantum dalam peraturan ini; d. penghentian produksi untuk sementara waktu; dan/atau e. pencabutan izin edar. (3) Penarikan produk sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan apabila produsen dan/atau distributor memproduksi dan/atau mengedarkan Susu Formula Pertumbuhan dan Formula Pertumbuhan Anak Usia 1-3 Tahun dengan menambahkan komponen lain yang belum terbukti manfaatnya secara ilmiah. (4) Pengawasan terhadap periklanan Susu Formula Pertumbuhan dan Formula Pertumbuhan Anak Usia 1-3 Tahun dalam media cetak, media penyiaran, media teknologi informasi, dan media luar ruang dilaksanakan oleh Kepala Badan. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pengawasan mutu gizi, pelabelan, dan periklanan Susu Formula Pertumbuhan dan Formula Pertumbuhan Anak Usia 1-3 Tahun oleh Kepala Badan. PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2012 TENTANG PEMBERIAN AIR SUSU IBU EKSKLUSIF BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Air Susu Ibu yang selanjutnya disingkat ASI adalah cairan hasil sekresi kelenjar payudara ibu. 2. Air Susu Ibu Eksklusif yang selanjutnya disebut ASI Eksklusif adalah ASI yang diberikan kepada Bayi sejak dilahirkan selama 6 (enam) bulan, tanpa menambahkan dan/atau mengganti dengan makanan atau minuman lain. 3. Bayi adalah anak dari baru lahir sampai berusia 12 (dua belas) bulan. 4. Keluarga adalah suami, anak, atau keluarga sedarah dalam garis lurus ke atas dan ke bawah sampai dengan derajat ketiga. 5. Susu Formula Bayi adalah susu yang secara khusus diformulasikan sebagai pengganti ASI untuk Bayi sampai berusia 6 (enam) bulan. 6. Fasilitas Pelayanan Kesehatan adalah suatu alat dan/atau tempat yang digunakan untuk

menyelenggarakan upaya pelayanan kesehatan, baik promotif, preventif, kuratif maupun rehabilitatif yang dilakukan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan/atau masyarakat. 7. Tenaga Kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan/atau keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan. 8. Tempat Kerja adalah ruangan atau lapangan tertutup atau terbuka, bergerak atau tetap dimana tenaga kerja bekerja, atau yang sering dimasuki tenaga kerja untuk keperluan suatu usaha dan dimana terdapat sumber atau sumber-sumber bahaya. 9. Pemerintah Pusat yang selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 10. Pemerintah Daerah adalah gubernur, bupati, atau walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah. 11. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan. Pasal 2 Pengaturan pemberian ASI Eksklusif bertujuan untuk: a. menjamin pemenuhan hak Bayi untuk mendapatkan ASI Eksklusif sejak dilahirkan sampai dengan berusia 6 (enam) bulan dengan memperhatikan pertumbuhan dan perkembangannya; b. memberikan perlindungan kepada ibu dalam memberikan ASI Eksklusif kepada bayinya; dan c. meningkatkan peran dan dukungan Keluarga, masyarakat, Pemerintah Daerah, dan Pemerintah terhadap pemberian ASI Eksklusif. BAB II TANGGUNG JAWAB Bagian Kesatu Tanggung Jawab Pemerintah Pasal 3 Tanggung jawab Pemerintah dalam program pemberian ASI Eksklusif meliputi: a. menetapkan kebijakan nasional terkait program pemberian ASI Eksklusif; b. melaksanakan advokasi dan sosialisasi program pemberian ASI Eksklusif; c. memberikan pelatihan mengenai program pemberian ASI Eksklusif dan penyediaan tenaga konselor menyusui di Fasilitas Pelayanan Kesehatan dan tempat sarana umum lainnya;

d. mengintegrasikan materi mengenai ASI Eksklusif

b. melaksanakan advokasi dan sosialisasi program

pada kurikulum pendidikan formal dan nonformal bagi Tenaga Kesehatan; e. membina, mengawasi, serta mengevaluasi pelaksanaan dan pencapaian program pemberian ASI Eksklusif di Fasilitas Pelayanan Kesehatan, satuan pendidikan kesehatan, Tempat Kerja, tempat sarana umum, dan kegiatan di masyarakat; f. mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi yang berkaitan dengan ASI Eksklusif; g. mengembangkan kerja sama mengenai program ASI Eksklusif dengan pihak lain di dalam dan/atau luar negeri; dan h. menyediakan ketersediaan akses terhadap informasi dan edukasi atas penyelenggaraan program pemberian ASI Eksklusif.

pemberian ASI Eksklusif dalam skala kabupaten/kota; c. memberikan pelatihan teknis konseling menyusui dalam skala kabupaten/kota; d. menyediakan tenaga konselor menyusui di Fasilitas Pelayanan Kesehatan dan tempat sarana umum lainnya dalam skala kabupaten/kota; e. membina, monitoring, mengevaluasi, dan mengawasi pelaksanaan dan pencapaian program pemberian ASI Eksklusif di Fasilitas Pelayanan Kesehatan, satuan pendidikan kesehatan, Tempat Kerja, tempat sarana umum, dan kegiatan di masyarakat dalam skala kabupaten/kota; f. menyelenggarakan penelitian dan pengembangan program pemberian ASI Eksklusif yang mendukung perumusan kebijakan kabupaten/kota; g. mengembangkan kerja sama dengan pihak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan; dan h. menyediakan ketersediaan akses terhadap informasi dan edukasi atas penyelenggaraan pemberian ASI Eksklusif dalam skala kabupaten/kota.

Bagian Kedua Tanggung Jawab Pemerintah Daerah Provinsi Pasal 4 Tanggung jawab pemerintah daerah provinsi dalam program pemberian ASI Eksklusif meliputi: a. melaksanakan kebijakan nasional dalam rangka program pemberian ASI Eksklusif; b. melaksanakan advokasi dan sosialisasi program pemberian ASI Eksklusif dalam skala provinsi; c. memberikan pelatihan teknis konseling menyusui dalam skala provinsi; d. menyediakan tenaga konselor menyusui di Fasilitas Pelayanan Kesehatan dan tempat sarana umum lainnya dalam skala provinsi; e. membina, monitoring, mengevaluasi, dan mengawasi pelaksanaan dan pencapaian program pemberian ASI Eksklusif di Fasilitas Pelayanan Kesehatan, satuan pendidikan kesehatan, Tempat Kerja, tempat sarana umum, dan kegiatan di masyarakat dalam skala provinsi; f. menyelenggarakan, memanfaatkan, dan memantau penelitian dan pengembangan program pemberian ASI Eksklusif yang mendukung perumusan kebijakan provinsi; g. mengembangkan kerja sama dengan pihak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan; dan h. menyediakan ketersediaan akses terhadap informasi dan edukasi atas penyelenggaraan pemberian ASI Eksklusif dalam skala provinsi. Bagian Ketiga Tanggung Jawab Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota Pasal 5 a. Tanggung jawab pemerintah daerah kabupaten/kota dalam program pemberian ASI Eksklusif meliputi: melaksanakan kebijakan nasional dalam rangka program pemberian ASI Eksklusif;

BAB III AIR SUSU IBU EKSKLUSIF Bagian Kesatu Umum Pasal 6 Setiap ibu yang melahirkan harus memberikan ASI Eksklusif kepada Bayi yang dilahirkannya. Pasal 7 Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 tidak berlaku dalam hal terdapat: a. indikasi medis: b. ibu tidak ada; atau c. ibu terpisah dari Bayi. Pasal 8 (1) Penentuan indikasi medis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf a dilakukan oleh dokter. (2) Dokter dalam menentukan indikasi medis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus sesuai dengan standar profesi, standar pelayanan, dan standar prosedur operasional. (3) Dalam hal di daerah tertentu tidak terdapat dokter, penentuan ada atau tidaknya indikasi medis dapat dilakukan oleh bidan atau perawat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Bagian Kedua Inisiasi Menyusu Dini Pasal 9 (1) Tenaga Kesehatan dan penyelenggara Fasilitas Pelayanan Kesehatan wajib melakukan inisiasi menyusu dini terhadap Bayi yang baru lahir kepada ibunya paling singkat selama 1 (satu) jam.

(2) Inisiasi menyusu dini sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan cara meletakkan Bayi secara tengkurap di dada atau perut ibu sehingga kulit Bayi melekat pada kulit ibu. Pasal 10 (1) Tenaga Kesehatan dan penyelenggara Fasilitas Pelayanan Kesehatan wajib menempatkan ibu dan Bayi dalam 1 (satu) ruangan atau rawat gabung kecuali atas indikasi medis yang ditetapkan oleh dokter. (2) Penempatan dalam 1 (satu) ruangan atau rawat gabung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dimaksudkan untuk memudahkan ibu setiap saat memberikan ASI Eksklusif kepada Bayi. BAB IV PENGGUNAAN SUSU FORMULA BAYI DAN PRODUK BAYI LAINNYA Pasal 15 Dalam hal pemberian ASI Eksklusif tidak dimungkinkan berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, Bayi dapat diberikan Susu Formula Bayi. Pasal 16 Dalam memberikan Susu Formula Bayi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15, Tenaga Kesehatan harus memberikan peragaan dan penjelasan atas penggunaan dan penyajian Susu Formula Bayi kepada ibu dan/atau Keluarga yang memerlukan Susu Formula Bayi. Pasal 17 (1) Setiap Tenaga Kesehatan dilarang memberikan Susu Formula Bayi dan/atau produk bayi lainnya yang dapat menghambat program pemberian ASI Eksklusif kecuali dalam hal diperuntukkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15. (2) Setiap Tenaga Kesehatan dilarang menerima dan/atau mempromosikan Susu Formula Bayi dan/atau produk bayi lainnya yang dapat menghambat program pemberian ASI Eksklusif. Pasal 18 (1) Penyelenggara Fasilitas Pelayanan Kesehatan dilarang memberikan Susu Formula Bayi dan/atau produk bayi lainnya yang dapat menghambat program pemberian ASI Eksklusif kepada ibu Bayi dan/atau keluarganya, kecuali dalam hal diperuntukkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15. (2) Penyelenggara Fasilitas Pelayanan Kesehatan dilarang menerima dan/atau mempromosikan Susu Formula Bayi dan/atau produk bayi lainnya yang dapat menghambat program pemberian ASI Eksklusif. (3) Dalam hal terjadi bencana atau darurat, penyelenggara Fasilitas Pelayanan Kesehatan dapat menerima bantuan Susu Formula Bayi dan/atau produk bayi lainnya untuk tujuan kemanusiaan setelah mendapat persetujuan dari kepala dinas kesehatan kabupaten/kota setempat.

(4) Penyelenggara Fasilitas Pelayanan Kesehatan dilarang menyediakan pelayanan di bidang kesehatan atas biaya yang disediakan oleh produsen atau distributor Susu Formula Bayi dan/atau produk bayi lainnya. Pasal 19 Produsen atau distributor Susu Formula Bayi dan/atau produk bayi lainnya dilarang melakukan kegiatan yang dapat menghambat program pemberian ASI Eksklusif berupa: a. pemberian contoh produk Susu Formula Bayi dan/atau produk bayi lainnya secara cuma-cuma atau bentuk apapun kepada penyelenggara Fasilitas Pelayanan Kesehatan, Tenaga Kesehatan, ibu hamil, atau ibu yang baru melahirkan; b. penawaran atau penjualan langsung Susu Formula Bayi ke rumah-rumah; c. pemberian potongan harga atau tambahan atau sesuatu dalam bentuk apapun atas pembelian Susu Formula Bayi sebagai daya tarik dari penjual; d. penggunaan Tenaga Kesehatan untuk memberikan informasi tentang Susu Formula Bayi kepada masyarakat; dan/atau pengiklanan Susu Formula Bayi yang dimuat dalam media massa, baik cetak maupun elektronik, dan media luar ruang. Pasal 20 (1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf e dikecualikan jika dilakukan pada media cetak khusus tentang kesehatan. (2) Pengecualian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setelah memenuhi persyaratan: a. mendapat persetujuan Menteri; dan b. memuat keterangan bahwa Susu Formula Bayi bukan sebagai pengganti ASI. Pasal 21 (1) Setiap Tenaga Kesehatan, penyelenggara Fasilitas Pelayanan Kesehatan, penyelenggara satuan pendidikan kesehatan, organisasi profesi di bidang kesehatan dan termasuk keluarganya dilarang menerima hadiah dan/atau bantuan dari produsen atau distributor Susu Formula Bayi dan/atau produk bayi lainnya yang dapat menghambat keberhasilan program pemberian ASI Eksklusif. (2) Bantuan dari produsen atau distributor Susu Formula Bayi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diterima hanya untuk tujuan membiayai kegiatan pelatihan, penelitian dan pengembangan, pertemuan ilmiah, dan/atau kegiatan lainnya yang sejenis.

KETENTUAN UMUM PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NO. 269/MENKES/PER/III/2008

h. i. j.

BAB I REKAM MEDIS 1. Rekam medis adalah berkas yang berisikan catatan dan dokumen tentang identitas pasien, pemeriksaan, pengobatan, tindakan dan pelayanan lain yang telah diberikan kepada pasien. 2.Dokter dan dokter gigi adalah dokter, dokter spesialis, dokter gigi, dan dokter gigi spesialis lulusan pendidikan kedokteran dan kedokteran gigi baik di dalam maupun di luar negeri yang diakui oleh Pemerintah Republik Indonesia sesuai dergan peraturan perundang-undangan. 3.Sarana pelayanan kesehatan adalah tempat penyelenggaraan upaya pelayanan kesehatan yang dapat digunakar untuk praktik kedokteran dan kedokteran gigi. 4.Tenaga kesehatan tertentu adalah tenaga kesehatan yang ikut memberikan pelayanan kesehatan secara langsung kepada pasuen selain dokter dan dokter gigi. 5.Pasien adalah setiap orang yang melakukan konsultasi masalah kesehatannya untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang diperlukan baik secara langsung maupun tidak langsung kepada dokter atau dokter gigi. 6.Catatan adalah tulisan yang dibuat oleh dokter atau dokter gigi tentang segala tindakan yang dilakukan kepada pasien dalam rangka pemberian pelayanan kesehatan. 7.Dokumen adalah catatan dokter, dokter gigi, dan/atau tenaga kesehatan tertentu, laporan hasil pemeriksaan penunjang catatan observasi dan pengobatan harian dan semua rekaman, baik berupa foto radiologi, gambar pencitraan (imaging), dan rekaman elektro diagnostik. 8.Organisasi Profesi adalah Ikatan Doker Indonesia untuk dokter dan Persatuan Dokter Gigi Indonesia untuk dokter gigi BAB II JENIS DAN ISI REKAM MED1S Pasal 2 (1) Rekam medis harus dibuat secara tertulis, lengkap dan jelas atau secara elektronik. (2) Penyelenggaraan rekam medis dengan menggunakan teknologi informasi elektronik diatur lebih lanjut dengan peraturan tersendiri. Pasal 3 (1) Isi rekam medis untuk pasien rawat jalan pada sarana pelayanan kesehatan sekurang-kurangnya memuat : a. identitas pasien; b. tanggal dan waktu; c. hasil anamnesis, mencakup sekurangkurangnya keluhan dan riwayat penyakit; d. hasil pemeriksaan fisik dan penunjang medik; e. diagnosis; f. rencana penatalaksanaan; g. pengobatan dan/atau tindakan;

pelayanan lainyang telah diberikan kepada pasien; untuk pasien kasus gigi dilengkapi dengan odontogram klinik; dan persetujuan tindakan bila diperlukan.

(2) Isi rekam medis untuk pasien rawat inap dan perawatan satu hari sekurang-kurangnya memuat: a. Identitas pasien; b. tanggal dan waktu; c. hasil anamnesis, mencakup sekurangkurangnya keluhan dan riwayat penyakit; d. hasil pemerisaan fisik dan penunjang medik; e. diagnosis: f. rencana penatalaksanaan; g. pengobatan dan/atau tindakan; h. persetujuan tindakan bila diperlukan; i. catatan observasi klinis dan hasil pengobatan. j. ringkasan pulang (discharge summary); k. nama dan tanda tangan dokter, dokter gigi, atau tenaga kesehalan tertentu yang memberikan pelayanan kesehatan; l. pelayanan lain yang dilakukan oleh tenaga kesehatan tertentu; dan m. untuk pasien kasus gigi dilengkapi dengan odontogram klinik. (3) Isi rekam medis untuk pasien gawat darurat sekurang-kurangnya memuat: a. identitas pasien; b. kondisi saat pasien tiba di sarana pelayanan kesehatan; c. identitas pengantar pasien; d. tanggal dan waktu; e. hasil anamnesis, mencakup sekurangkurangnya keluhan dan riwayat penyakit; f. hasil pemeriksaan fisik dan penunjang medik; g. diagnosis; h. pengobatan dan/atau tindakan; i. ringkasan kondisi pasien sebelum meninggalkan pelayanan unit gawat darurat dan rencana tindak lanjut; j. nama dan tanda tangan dokter, dokter gigi, atau tenaga kesehatan tertentu yang memberikan pelayanan kesehatan; k. sarana transportasi yang digunakan bagi pasien yang akan dipindahkan ke sarana pelayanan kesehatan lain; dan l. pelayanan lain yang telah diberikan kepada pasien. m. Isi rekam medis pasien dalam keadaan bencana, selain memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditambah dengan: n. Isi rekam medis untuk pelayanan dokter spesialis atau dokter gigi spesialis dapat dikembangkan sesuai dengan kebutuhan.

o.

Pelayanan yang diberikan dalam ambulans atau pengobatan masal dicatat dalam rekam medis sesuai ketentuan sebagaimana diatur pada ayat (3) dan disimpan pada sarana pelayanan kesehatan yang merawatnya.

(4) Isi rekam medis pasien dalam keadaan bencana, selain memenuhi ketetuan sebagaimana dimaksud pada ayat 93) ditambah dengan : a. jenis bencana dan lokasi di mana pasien ditemukan; b. kategori kegawatan dan nomor pasien bencana masal; dan c. identitas yang menemukan pasien; Pasal 4 (1) Ringkasan pulang sebagaimana diatur dalam Pasal ayat 2 harus dibuat o!eh dokter atau dokter gigi yang melakukan perawatan pasien. (2) Isi ringkasan pulang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya memuat: a. identitas pasien; b. diagnosis masuk dan indikasi pasien dirawat; c. ringkasan hasil pemeriksaan fisik dan penunjang, diagnosis akhir, pengobatan, dan tindak lanjut; dan d. nama dan tanda tangan dokter atau dokter gigi yang memberikan pelayanan kesehatan. BAB III TATA CARA PENYELENGGARAAN Pasal 5 (1) Setiap dokter atau dokter gigi dalam menjalankan praktik kedokteran wajib membuat rekam medis. (2) Rekam medis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dibuat segera dan dilengkapi setelah pasien menerima pelayanan. (3) Pembuatan rekam medis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan melalui pencatatan dan pendokumentasian hasil pemeriksaan pengobatan, tindakan dan pelayanan lain yang telah diberikan kepada pasien. (4) Setiap pencatatan ke dalam rekam medis harus dibubuhi nama, waktu, dan tanda tangan dokter, dokter gigi, atau tenaga kesehatan tertentu yang memberikan pelayanan kesehatan secara langsung. (5) Dalam hal terjadi kesalahan dalam melakukan pencatatan pada rekam medis dapat dilakukan pembetulan. (6) Pembetuan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) hanya dapat dilakukan dengan cara pencoretan tanpa menghilangkan catatan yang dibetulkan dan dibubuhi paraf dokter, dokter gigi, atau tenaga kesehatan tertentu yang bersangkutan. Pasal 6 Dokter, dokter gigi, dan/atau tenaga kesehatan tertentu bertanggungjawab atas catatan dan/atau dokumen yang dibuat pada rekam medis. Pasal 7

Sarana pelayanan kesehatan wajib menyediakan fasilitas yang diperlukan dalam rangka penyelenggaraan rekam medis.

(1)

(2)

(3)

(4)

(1)

(2)

(1)

(2)

(3)

BAB IV PENYIMPANAN, PEMUSNAHAN, DAN KERAHASIAAN Pasal 8 Rekam medis pasien rawat inap di rumah sakit wajib disimpan sekurang-kurangnya untuk jangka waktu 5 (lima) tahun terhitung dari tanggal terakhir pasien berobat atau dipulangkan. Setelah batas waktu 5 (lima) tahun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilampaui, rekam medis dapat dimusnahkan, kecuali ringkasan pulang dan persetujuan tindakan medik. Ringkasan pulang dan persetujuan tindakan medik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus disimpan untuk jangka waktu 10 (sepuluh) tahun terhitung dari tanggal dibuatnya ringkasan tersebut. Penyimpanan rekam medis dan ringkasan pulang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) dilaksanakan oleh petugas yang ditunjuk oleh pimpinan sarana pelayanan kesehatan. Pasal 9 Rekam medis pada sarana pelayanan kesehatan non rumah sakit wajib disimpan sekurang-kurangnya untuk jangka waktu 2 (dua) tahun terhitung dari tanggal terakhir pasien berobat. Setelah batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilampaui, rekam medis dapat dimusnahkan. Pasal 10 Informasi tentang identitas diagnosis, riwayat penyakit, riwayat pemeriksaan dan riwayat pengobatan pasien harus dijaga kerahasiaannya oleh dokter, dokter gigi, tenaga kesehatan tertentu, petugas pengelola dan pimpinan sarana pelayanan kesehatan. Informasi tentang identitas, diagnosis, riwayat penyakit, riwayat pemeriksaan, dan riwayat pengobatan dapat dibuka dalam hal: a) untuk kepentingan kesehatan pasien; b) .memenuhi permintaan aparatur penegak hukum dalam rangka penegakan hukum atas perintah pengadilan; c) permintaan dan/atau persetujuan pasien sendiri d) permintaan institusi/lembaga berdasarkan ketentuan perundang-undangan; dan e) untuk kepentingan penelitian, pendidikan, dan audit medis, sepanjang tidak menyebutkan identitas pasien; Permintaan rekam medis untuk tujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus dilakukan secara tertulis kepada pimpinan sarana pelayanan kesehatan. Pasal 11

(1) Penjelasan tentang isi rekam medis hanya boleh dilakukan oleh dokter atau dokter gigi yang merawat pasien dengan izin tertulis pasien atau berdasarkan peraturan perundang-undangan. (2) Pimpinan sarana pelayanan kesehatan dapat menjelaskan isi rekam medis secara tertulis atau langsung kepada pemohon tanpa izin pasien berdasarkan peraturan perundang-undangan. BAB V KEPEMILIKAN, PEMANFAATAN DAN TANGGUNG JAWAB Pasal 12 (1) Berkas rekam medis milik sarana pelayanan kesehatan. (2) Isi rekam medis merupakan milik pasien. (3) Isi rekam medis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dalam bentuk ringkasan rekam medis. (4) Ringkasan rekam medis sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat diberikan. dicatat, atau dicopy oleh pasien atau orang yang diberi kuasa atau atas persetujuan tertulis pasien atau keluarga pasren yang berhak untuk itu. Pasal 13 (1) Pemanfaatan rekam medis dapat dipakai sebagai: a. pemeliharaan kesehatan dan pengobatan pasien; b. alat bukti dalam proses penegakan hukum, disiplin kedokteran, dan kedokteran gigi dan penegakkan etika kedokteran dan etika kedokteran gigi; c. keperluan pendidikan dan penelitian. d. dasar pembayar biaya pelayanan kesehatan; dan e. data statistik kesehatan. (2) Pemanfaatan rekam medis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c yang menyebutkan identitas pasien harus mendapat persetujuan secara tertulis dari pasien atau ahli warisnya dan harus dijaga kerahasiaannya. (3) Pemanfaatan rekam medis untuk keperluan pendidikan dan penelitian tidak diperlukan persetujuan pasien, bila dilakukan untuk kepentingan negara. (Informed Consent) adalah Tindakan medik dinamakan juga informed consent. Consent artinya persetujuan, atau izin. Jadi informed consent adalah persetujuan atau izin oleh pasien atau keluarga yang berhak kepada dokter untuk melakukan tindakan medis pada pasien, seperti pemeriksaan fisik dan pemeriksaan lain-lain untuk menegakkan diagnosis, memberi obat, melakukan suntikkan, menolong bersalin, melakukan pembiusan, melakukan pembedahan, melakukan tindak-lanjut jika terjadi kesulitan, dan sebagainya Sunarto Adi Wibowo, Ibid, hal.77 Surat Keputusan Direktur Jenderal Pelayanan Medik Nomor HK. 00.06.3.5.1886 tanggal 21 April 1999 tentang pedoman persetujuan tindakan medic (informed consent) mengatakan

bahwa informed consent terdiri dari kata informed yang berarti telah mendapat informasi dan consent berarti persetujuan (ijin). Yang dimaksud dengan informed consent dalam profesi kedokteran adalah pernyataan setuju (consent) atau ijin dari seseorang pasien yang diberikan dengan bebas, rasional, tanpa paksaan (voluntary) tentang tindakan kedokteran yang akan dilakukan terhadapnya sesudah mendapatkan informasi cukup tentang tindakan kedokteran yang dimaksud. Informed consent menurut Ketentuan Umum Pasal 1 angka 1 Permenkes No. 290 tahun 2008 yaitu persetujuan yang diberikan oleh pasien atau keluarga terdekat setelah mendapat penjelasan secara lengkap mengenai tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan terhadap pasien Fungsi Informed Consent Dilihat dari fungsinya, informed consent memiliki fungsi ganda, yaitu fungsi bagi pasien dan fungsi bagi dokter. Dari sisi pasien, informed consent berfungsi untuk : 1. Bahwa setiap orang mempunyai hak untuk memutuskan secara bebas pilihannya berdasarkan pemahaman yang memadai 2. Proteksi dari pasien dan subyek 3. Mencegah terjadinya penipuan atau paksaan 4. Menimbulkan rangsangan kepada profesi medis untuk mengadakan introspeksi diri sendiri (self-Secrunity) 5. Promosi dari keputusan-keputusan yang rasional 6. Keterlibatan masyarakat (dalam memajukan prinsip otonomi sebagai suatu nilai sosial dan mengadakan pengawasan penyelidikan biomedik). Guwandi (I), 208 Tanya Jawab Persetujuan Tindakan Medik (Informed Consent). (Jakarta : FKUI, 1994), hal.2 “Sedangkan bagi pihak dokter, informed consent ber fungsi untuk membatasi otoritas dokter terhadap pasiennya.”Ibid , hal 3. Sehingga dokter dalam melakukan tindakan medis lebih berhati-hati, dengan kata lain mengadakan tindakan medis atas persetujuan dari pasien. Tujuan Informed Consent a. Memberikan perlindungan kepada pasien terhadap tindakan dokter yang sebenarnya tidak diperlukan dan secara medik tidak ada dasar pembenarannya yang dilakukan tanpa sepengetahuan pasiennya. b. Memberi perlindungan hukum kepada dokter terhadap suatu kegagalan dan bersifat negatif, karena prosedur medik modern bukan tanpa resiko, dan pada setiap tindakan medik ada melekat suatu resiko (Permenkes No. 290/Menkes/Per/III/2008 Pasal 3) Suatu Informed Consent harus meliputi 1. Dokter harus menjelaskan pada pasien mengenai tindakan, terapi dan penyakitnya 2. Pasien harus diberitahu tentang hasil terapi yang diharapkan dan seberapa besar kemungkinan keberhasilannya 3. Pasien harus diberitahu mengenai beberapa alternatif yang ada dan akibat apabila penyakit tidak diobati.

4. Pasien harus diberitahu mengenai risiko apabila menerima atau menolak terapi Hal-hal yang diinformasikan 1. Hasil Pemeriksaan Pasien memiliki hak untuk mengetahui hasil pemeriksaan yang telah dilakukan. Misalnya perubahan keganasan pada hasil Pap smear. Apabila infomasi sudah diberikan, maka keputusan selanjutnya berada di tangan pasien 2. Risiko Risiko yang mungkin terjadi dalam terapi harus diungkapkan disertai upaya antisipasi yang dilakukan dokter untuk terjadinya hal tersebut. Reaksi alergi idiosinkratik dan kematian yang tak terduga akibat pengobatan selama ini jarang diungkapkan dokter. Sebagian kalangan berpendapat bahwa kemungkinan tersebut juga harus diberitahu pada pasien. Jika seorang dokter mengetahui bahwa tindakan pengobatannya berisiko dan terdapat alternatif pengobatan lain yang lebih aman, ia harus memberitahukannya pada pasien. Jika seorang dokter tidak yakin pada kemampuannya untuk melakukan suatu prosedur terapi dan terdapat dokter lain yang dapat melakukannya, ia wajib memberitahukan pada pasien. 3. Alternatif Dokter harus mengungkapkan beberapa alternatif dalam proses diagnosis dan terapi. Ia harus dapat menjelaskan prosedur, manfaat, kerugian dan bahaya yang ditimbulkan dari beberapa pilihan tersebut. Sebagai contoh adalah terapi hipertiroidisme. Terdapat tiga pilihan terapi yaitu obat, iodium radioaktif, dan subtotal tiroidektomi. Dokter harus menjelaskan prosedur, keberhasilan dan kerugian serta komplikasi yang mungkin timbul. 4. Rujukan/ konsultasi Dokter berkewajiban melakukan rujukan apabila ia menyadari bahwa kemampuan dan pengetahuan yang ia miliki kurang untuk melaksanakan terapi pada pasien-pasien tertentu. Pengadilan menyatakan bahwa dokter harus merujuk saat ia merasa tidak mampu melaksanakan terapi karena keterbatasan kemampuannya dan ia mengetahui adanya dokter lain yang dapat menangani pasien tersebut lebih baik darinya. 5. Prognosis Pasien berhak mengetahui semua prognosis, komplikasi, sekuele, ketidaknyamanan, biaya, kesulitan dan risiko dari setiap pilihan termasuk tidak mendapat pengobatan atau tidak mendapat tindakan apapun. Pasien juga berhak mengetahui apa yang diharapkan dari dan apa yang terjadi dengan mereka. Semua ini berdasarkan atas kejadiankejadian beralasan yang dapat diduga oleh dokter. Kejadian yang jarang atau tidak biasa bukan merupakan bagian dari Informed Consent. Ada beberapa kaidah yang harus diperhatikan dalam menyusun dan memberikan Informed Consent agar hukum perikatan ini tidak cacat hukum, diantaranya adalah: 1. Tidak bersifat memperdaya (Fraud). 2. Tidak berupaya menekan (Force). 3. Tidak menciptakan ketakutan (Fear). Kendala-kendala yang timbul dalam pelaksanaan Informed Consent untuk menghindari tuntutan malpraktek

Beberapa kendala timbul dalam pelaksanaan Informed Consent yang dilakukan untuk menghindari tuntutan malpraktek. Kendala-kendala tersebut berasal dari tenaga medis, tenaga kesehatan, rumah sakit, pasien dan keluarga pasien. 1. Tenaga Medis a. Tenaga medis (dokter) sibuk praktek dibeberapa tempat/RS dan selain itu dokter memiliki pasien yang banyak. b. Kebiasaan dokter untuk mendelegasikan tugasnya kepada Tenaga Kesehatan, padahal tidak semua Tenaga Kesehatan kompeten dalam bidang tersebut. c. Dokter boleh mendelegasikan bila kondisi life saving (emergency), setelah dokter datang harus menandatanganinya. 2. Tenaga Kesehatan (Perawat/Bidan) a. Tenaga Kesehatan dalam melaksanakan delegasi meminta Informed Concent ke pasien/keluarga tanpa ada beban karena merasa hal tersebut sudah tugas rutin. b. Beberapa tenaga kesehatan belum sepenuhnya memahami dampak yang timbul bila ada kesalahan. 3. Pasien dan keluarga Dari pasien dan keluarga informed concent merupakan hal yang biasa layaknya menulis identas yang perlu ditanda tangani seperti saat masuk RS, dan tidak tahu dampak bila terjadi masalah. 4. Rumah sakit Rumah sakit belum tegas dalam pelaksanaan SOP informed concent terhadap dokter dan Tenaga Kesehatan, perlu diberi sangsi bila terjadi pelanggaran. Dengan adanya SOP informed consent yang jelas maka jelas pula perlindungan bagi dokter dan tenaga kesehatan dalam menjalankan profesinya, setidak-tidaknya perlindungan terhadap kejadian yang tak terduga. Informed consent (Peraturan Menteri Kesehatan RI No.585.Menkes/Per/IX/1989) Dalam dunia kedokteran, biasanya untuk menghindari resiko malpraktik, tenaga medis membuat exconeratic clausule yaitu : Syarat-syarat pengecualian tanggung jawab berupa pembatasan atau pun pembebasan dari suatu tanggung jawab Dalam hal ini, bentuk dari exconeratic clausule adalah informed consent/persetujuan tindakan medis (pertindik). Pertindik merupakan suatu izin atau pernyataan setuju dari pasien yang diberikan secara bebas, sadar dan rasional setelah memperoleh informasi yang lengkap, valid dan akurat dipahami dari dokter tentang keadaan penyakitnya serta tindakan medis yang akan diperolehnya. Persetujuan Tindakan Medik (Informed Concent) dapat terdiri dari : 1. Yang dinyatakan (expressed), yakni secara lisan (oral) atau tertulis (written) 2. Dianggap diberikan (Implied atau tocit concent), yakni dalam keadaan biasa (normal) atau dalam keadaan darurat (emergency).

Expressed concent adalah persetujuan yang dinyatakan secara lisan atau tulisan, bila yang akan dilakukan lebih dari prosedur pemeriksaaan dan tindakan biasanya. Implied Concent adalah persetujuan yang diberikan pasien secara tersirat, tanpa pernyataan tegas. Isyarat persetujuan ini ditangkap oleh dokter dari sikap dan tindakan pasien. Implied concent dalam bentuk lain apabila pasien dalam keadaan gawat darurat dan memerlukan penanganan secara cepat dan tepat sementara keadaan tidak dapat memberikan persetujuannya dan keluargapun tidak ada ditempat, maka dokter dapat melakukan tindakan medis tertentu yang terbaik menurut dokter ((Peraturan Menteri Kesehatan RI No.585.Menkes/Per/IX/1989) Jenis ini dapat pula disebut sebagai presumed consent. Hal-hal yang perlu disampaikan dalam Informed concent 1. Maksud dan tujuan tindakan medis tersebut; 2. Resiko yang melekat pada tindakan medis itu 3. Kemungkinan timbulnya efek samping 4. Alternatif lain tindakan medis itu; 5. Kemungkinan-kemungkinan (sebagai konsekuensi) yang terjadi bila tindakan medis itu tidak dilakukan; 6. Dalam menjelaskan mengenai resiko perlu dikatakan mengenai : a. Sifat dan resiko tindakan b. Berat ringannya resiko yang terjadi c. Kemungkinan resiko itu terjadi d. Kapan resiko tersebut akan timbul seandainya terjadi Sanksi Hukum terhadap Informed Consent a. Sanksi pidana Apabila seorang tenaga kesehatan menorehkan benda tajam tanpa persetujuan pasien dipersamakan dengan adanya penganiayaan yang dapat dijerat Pasal 351 KUHP b. Sanksi perdata Tenaga kesehatan atau sarana kesehatan yang mengakibatkan kerugian dapat digugat dengan 1365, 1367, 1370, 1371 KUHPer c. Sanksi administratif Pasal 13 Pertindik mengatur bahwa : Terhadap dokter yang melakukan tindakan medis tanpa persetujuan pasien atau keluarganya dapat dikenakan sanksi administratif berupa pencabutan izin praktik. REKAM MEDIS/MEDICAL RECORD Peraturan Menteri kesehatan 749/Menkes/XII/1989

RI

Nomor

Medical record adalah berkas yang berisikan catatan, dan dokumen tentang identitas pasien, pemeriksaan, pengobatan, tindakan dan pelayanan lain kepada pasien pada sarana pelayanan kesehatan. Sarana pelayanan kesehatan adalah tempat yang digunakan untuk menyelenggarakan upaya kesehatan baik untuk rawat jalan maupun rawat inap yang dikelola oleh pemerintah ataupun swasta.

MANFAAT REKAM MEDIS 1.

Dasar pemeliharaan kesehatan dan pengobatan pasien;

2.

Bahan pembuktian dalam perkara hukum;

3.

Bahan untuk keperluan penelitian dan pendidikan;

4.

Dasar pembayaran biaya pelayanan kesehatan;

5.

Bahan untuk menyiapkan stastitik kesehatan.

KEWAJIBAN PASIEN 1. BERDASARKAN UU NO.8 / 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN · Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur · Beritikad baik · Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati · Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut. 2. BERDASARKAN UU.NO.29/2004 TENTANG PRAKTIK KEDOKTERAN Memberikan informasi yang lengkap dan jujur tentang masalah kesehatannya Mematuhi nasihat dan petunjuk dokter dan dokter gigi Mematuhi ketentuan yang berlaku di sarana kesehatan Memberikan imbalan jasa atas pelayan yang diterima KEWAJIBAN TENAGA KESEHATAN Pasal 51 UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran 1.

Memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional serta kebutuhan medis pasien

2.

Merujuk pasien ke dokter atau dokter gigi lain yang mempunyai keahlian atau kemampuan yang lebih baik, apabila tidak mampu melakukan suatu pemeriksaan atau pengobatan

3.

BERDASARKAN UU NO.8 / 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN Mematuhi standar profesi dan menghormati hak pasien

NOMOR 41 TAHUN 2014 TENTANG PEDOMAN GIZI SEIMBANG BAB II PRINSIP GIZI SEIMBANG A. Empat Pilar Gizi Seimbang Pedoman Gizi Seimbang yang telah diimplementasikan di Indonesia sejak tahun 1955 merupakan realisasi dari rekomendasi Konferensi Pangan Sedunia di Roma tahun 1992. Pedoman tersebut menggantikan slogan “4 Sehat 5 Sempurna” yang telah

diperkenalkan sejak tahun 1952 namun sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) dalam bidang gizi serta masalah dan tantangan yang dihadapi. Diyakini dengan mengimplementasikan Pedoman Gizi Seimbang secara benar, semua masalah gizi dapat diatasi. Prinsip Gizi Seimbang terdiri dari 4 (empat) Pilar yang pada dasarnya merupakan rangkaian upaya untuk menyeimbangkan antara zat gizi yang keluar dan zat gizi yang masuk dengan memantau berat badan secara teratur. Empat Pilar tersebut adalah: 1. Mengonsumsi anekaragam pangan 2. Membiasakan erilaku hidu bersih 3. Melakukan aktivitas fisik 4. Memantau berat badan secara teratur untuk memerhatikan berat badan normal

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2017 TENTANG PENYELENGGARAAN IMUNISASI Pasal 1 Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan: 1. Imunisasi adalah suatu upaya untuk menimbulkan/meningkatkan kekebalan seseorang secara aktif terhadap suatu penyakit sehingga bila suatu saat terpajan dengan penyakit tersebut tidak akan sakit atau hanya mengalami sakit ringan. 2. Vaksin adalah produk biologi yang berisi antigen berupa mikroorganisme yang sudah mati atau masih hidup yang dilemahkan, masih utuh atau bagiannya, atau berupa toksin mikroorganisme yang telah diolah menjadi toksoid atau protein rekombinan, yang ditambahkan dengan zat lainnya, yang bila diberikan kepada seseorang akan menimbulkan kekebalan spesifik secara aktif terhadap penyakit tertentu. 3. Imunisasi Program adalah imunisasi yang diwajibkan kepada seseorang sebagai bagian dari masyarakat dalam rangka melindungi yang bersangkutan dan masyarakat sekitarnya dari penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi.

4. Imunisasi Pilihan adalah imunisasi yang dapat diberikan kepada seseorang sesuai dengan kebutuhannya dalam rangka melindungi yang bersangkutan dari penyakit tertentu. 5. Auto Disable Syringe yang selanjutnya disingkat ADS adalah alat suntik sekali pakai untuk pelaksanaan pelayanan imunisasi. 6. Safety Box adalah sebuah tempat yang berfungsi untuk menampung sementara limbah bekas ADS yang telah digunakan dan harus memenuhi persyaratan khusus. 7. Cold Chain adalah sistem pengelolaan Vaksin yang dimaksudkan untuk memelihara dan menjamin mutu Vaksin dalam pendistribusian mulai dari pabrik pembuat Vaksin sampai pada sasaran. Pasal 4 (1) Imunisasi Program terdiri atas: a. Imunisasi rutin; b. Imunisasi tambahan; dan c. Imunisasi khusus. (2) Imunisasi Program harus diberikan sesuai dengan jenis Vaksin, jadwal atau waktu pemberian yang ditetapkan dalam Pedoman Penyelenggaraan Imunisasi sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. Pasal 5 (1) Imunisasi rutin dilaksanakan secara terus menerus dan berkesinambungan. (2) Imunisasi rutin terdiri atas Imunisasi dasar dan Imunisasi lanjutan. Pasal 6 (1) Imunisasi dasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) diberikan pada bayi sebelum berusia 1 (satu) tahun. (2) Imunisasi dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas Imunisasi terhadap penyakit: a. hepatitis B; b. poliomyelitis; c. tuberkulosis; d. difteri; e. pertusis; f. tetanus; g. pneumonia dan meningitis yang disebabkan oleh Hemophilus Influenza tipe b (Hib); dan h. campak. Pasal 7 (1) Imunisasi lanjutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) merupakan ulangan Imunisasi dasar untuk mempertahankan tingkat kekebalan dan untuk memperpanjang masa perlindungan anak yang sudah mendapatkan Imunisasi dasar. (2) Imunisasi lanjutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan pada: a. anak usia bawah dua tahun (Baduta); b. anak usia sekolah dasar; dan c. wanita usia subur (WUS). (3) Imunisasi lanjutan yang diberikan pada Baduta sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a terdiri atas Imunisasi terhadap penyakit difteri, pertusis, tetanus, hepatitis B, pneumonia dan meningitis yang disebabkan oleh Hemophilus Influenza tipe b (Hib), serta campak. (4) Imunisasi lanjutan yang diberikan pada anak usia sekolah dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b terdiri atas Imunisasi terhadap penyakit campak, tetanus, dan difteri.

Related Documents

Hukum Pers Uas Lena.docx
April 2020 14
Uas Hukum Bisnis.docx
May 2020 10
Uas Hukum Kesehatan.docx
April 2020 18
Uas Hukum Koperasi.docx
November 2019 10
Uas
April 2020 50
Hukum
June 2020 34

More Documents from ""