Hukum Pers dan Iklan (9-10) Amira Paripurna SH,LLM
Pokok Bahasan Etika
dalam Profesi Kode Etik Jurnalistik Mekanisme Pertanggungjawaban Hukum dalam kaitannya dengan pemberitaan Pers
ETIKA, MORAL DAN AGAMA (3)
(4) (5)
Etika (bahasa Yunani) ethos dalam bentuk tunggal yang berarti adat kebiasaan, adat istiadat, akhlak yang baik. Menurut Bertens (1994) Etika dapat dirumuskan menjadi 3 Etika dipakai dalam arti : nila-nilai dan norma2 moral yang menajdi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Disebut juga sebagai sistem nilai dalam hidup manusia perseorangan atau hidup bermasyarakat. Misalnya Etika orang Jawa,Etika agama Islam Etika dipakai dalam arti:kumpulan asas atau nilai moral Yang dimaksud disini adalah kode etik Advokat, Kode Etik Jurnalis Etika dipakai dalam arti : ilmu tentang yang baik atau yang buruk, arti etika disini sama dengan filsafat moral
Kode
etik (canon) merupakan pedoman yang dirumuskan secara praktis. Suatu kode etik hanya akan menjadi rumusan tak bermakna jika hakekatnya tidak disadari dalamkonteks yang berasal dari luar kode itu sendiri. Dengan kata lain, teks dalam kode etik dianalisis bukan dengan hanya memahami artinya, tetapi dengan melihat konteksnya pada aspek-aspek diluar kode itu sendiri, yaitu pada eksistensi profesi/kelompok yang memiliki kode tsb dalam lingkungan yang lebih luas
Etika dan Etiket Penggunaan 2 kata ini sering dicampuradukkan. Kata etika berarti moral, etiket berarti sopan santun, tata krama. Persamaan antara kedua istilah tersebut adalah keduanya mengatur mengenai perilaku manusia secara normatif, artinya memberi norma perilaku manusia bagaimana seharusnya berbuat atau tidak berbuat Menurut Bertens (1994) Perbedaan tersebut dapat dirinci sebagai berikut : (4) Etika menetapkan norma perbuatan, apakah perbuatan itu boleh dilakukan atau tidak. Misalnya masuk rumah orang lain tanpa izin. Bagaimana cara masuknya, bukan soal. Etiket menetapkan cara melakukan perbuatan menunjukkan cara yang tepat,baik dan benar sesuai dengan yang diharapkan (5) Etika berlaku tidak bergantung pada ada tidaknya orang lain misalnya larangan mencuri selalu berlaku baik ada atau tidak orang lain. Etiket hanya berlaku dalam pergaulan jika tidak ada orang lain hadir, etiket tidak berlaku, misalnya makan tanpa baju, jika makan sendiri makan telanjangpun tidak jadi masalah (6) Etika bersifat absolut, tidak dapat ditawar, misalnya jangan mencuri,jangan membunuh. Etiket bersifat relatif,yang dianggap tidak sopan dalam suatu kebudayaan dapat saja dianggap sopan dalam kebudayaan lain. Contoh memegang kepala orang lain, di Indonesia tidak sopan, tetapi di AS biasa saja (7) Etika memandang manusia dari segi dalam (batiniah) orang yang bersikap etis adalah orang yang yang benar2 baik sifatnya tidak munafik. Etiket memandang manusia dari segi luar (lahiriah), tampaknya dari luar sangat sopan dan halus tetapi dalam dirinya penuh kebusukan dan kemunafikan. Misalnya seorang penipu
Arti
Moral : Etika=Moral, Asal katanya saja yang berbeda moral (bahasa Latin- Mos/Mores yang berarti adat kebiasaan) Jadi moral dan etika sama-sama berarti nilai-nilai dan norma etis yang menjadi pegangan seseorang atau suatu kelompok dalam dalam mengatur tingkah lakunya
Moralitas
: keseluruhan asas dan nilai yang berkenaan dengan baik dan buruk Faktor penentu Moralitas -Motivasi -Tujuan Akhir -Lingkungan Perbuatan
Agama
adalah kepercayaan kepada Tuhan YME yang dilaksanakan dengan ibadah berdasarkan nilai2 dan norma2 yang diwahyukankepada dan yang dituntunkan oleh rasul2nya untuk kebahagiaan manusia dunia akherat. Agama mengandung nilai moral yang menjadi ukuran moralitas perilaku manusia. Moral memperolah daya ikat dari agama
KODE ETIK JURNALISTIK
Dalam melaksanakan fungsi, hak, kewajiban dan peranannya, pers menghormati hak asasi setiap orang, karena itu pers dituntut profesional dan terbuka untuk dikontrol oleh masyarakat. Untuk menjamin kemerdekaan pers dan memenuhi hak publik untuk memperoleh informasi yang benar, wartawan Indonesia memerlukan landasan moral dan etika profesi sebagai pedoman operasional dalam menjaga kepercayaan publik dan menegakkan integritas serta profesionalisme. Atas dasar itu, wartawan Indonesia menetapkan dan menaati Kode Etik Jurnalistik
Kode Etik ini dibuat atas prinsip bahwa pertanggungjawaban tentang pentaatannya berada terutama pada hati nurani setiap wartawan Indonesia.(Kode Etik Jurnalistik Wartawan Indonesia, Pasal 6 ayat 1). Hati nurani adalah kesadaran yang berfungsi secara otonom dalam diri pribadi, tidak dikarenakan adanya otoritas di luar diri yang bersangkutan. Untuk memiliki hati nurani, dengan sendirinya harus dimulai dengan kesadaran etis, yaitu dengan memahami konteks setiap tindakan dengan hal-hal diluar tindakan itu sendiri. Hal yang diluar tindakan itu dapat bersifat relijius (Tuhan), duniawi (masyarakat).
Pasal 1 Wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk.
Penafsiran Independen berarti memberitakan peristiwa atau fakta sesuai dengan suara hati nurani tanpa campur tangan, paksaan, dan intervensi dari pihak lain termasuk pemilik perusahaan pers. Akurat berarti dipercaya benar sesuai keadaan objektif ketika peristiwa terjadi. Berimbang berarti semua pihak mendapat kesempatan setara. Tidak beritikad buruk berarti tidak ada niat secara sengaja dan semata-mata untuk menimbulkan kerugian pihak lain.
Pasal 2 Wartawan Indonesia menempuh cara-cara yang profesional dalam melaksanakan tugas jurnalistik.
Penafsiran Cara-cara yang profesional adalah: a. menunjukkan identitas diri kepada narasumber; b. menghormati hak privasi; c. tidak menyuap; menghasilkan berita yang faktual dan jelas sumbernya; rekayasa pengambilan dan pemuatan atau penyiaran gambar, foto, suara dilengkapi dengan keterangan tentang sumber dan ditampilkan secara berimbang; menghormati pengalaman traumatik narasumber dalam penyajian gambar, foto, suara; tidak melakukan plagiat, termasuk menyatakan hasil liputan wartawan lain sebagai karya sendiri; penggunaan cara-cara tertentu dapat dipertimbangkan untuk peliputan berita investigasi bagi kepentingan publik.
Pasal 3 Wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah.
Penafsiran Menguji informasi berarti melakukan check and recheck tentang kebenaran informasi itu. Berimbang adalah memberikan ruang atau waktu pemberitaan kepada masing-masing pihak secara proporsional. Opini yang menghakimi adalah pendapat pribadi wartawan. Hal ini berbeda dengan opini interpretatif, yaitu pendapat yang berupa interpretasi wartawan atas fakta. Asas praduga tak bersalah adalah prinsip tidak menghakimi seseorang.
Pasal 4 Wartawan Indonesia tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis, dan cabul.
Penafsiran Bohong berarti sesuatu yang sudah diketahui sebelumnya oleh wartawan sebagai hal yang tidak sesuai dengan fakta yang terjadi. Fitnah berarti tuduhan tanpa dasar yang dilakukan secara sengaja dengan niat buruk. Sadis berarti kejam dan tidak mengenal belas kasihan. Cabul berarti penggambaran tingkah laku secara erotis dengan foto, gambar, suara, grafis atau tulisan yang semata-mata untuk membangkitkan nafsu birahi. Dalam penyiaran gambar dan suara dari arsip, wartawan mencantumkan waktu pengambilan gambar dan suara.
Pasal
5 Wartawan Indonesia tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan susila dan tidak menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan. Penafsiran Identitas
adalah semua data dan informasi yang menyangkut diri seseorang yang memudahkan orang lain untuk melacak. Anak adalah seorang yang berusia kurang dari 16 tahun dan belum menikah.
Pasal
6 Wartawan Indonesia tidak menyalahgunakan profesi dan tidak menerima suap. Penafsiran Menyalahgunakan profesi adalah segala tindakan yang mengambil keuntungan pribadi atas informasi yang diperoleh saat bertugas sebelum informasi tersebut menjadi pengetahuan umum. Suap adalah segala pemberian dalam bentuk uang, benda atau fasilitas dari pihak lain yang mempengaruhi independensi.
Pasal 7
Wartawan Indonesia memiliki hak tolak untuk melindungi narasumber yang tidak bersedia diketahui identitas maupun keberadaannya, menghargai ketentuan embargo, informasi latar belakang, dan “off the record” sesuai dengan kesepakatan.
Penafsiran Hak tolak adalak hak untuk tidak mengungkapkan identitas dan keberadaan narasumber demi keamanan narasumber dan keluarganya. Embargo adalah penundaan pemuatan atau penyiaran berita sesuai dengan permintaan narasumber. Informasi latar belakang adalah segala informasi atau data dari narasumber yang disiarkan atau diberitakan tanpa menyebutkan narasumbernya. “Off the record” adalah segala informasi atau data dari narasumber yang tidak boleh disiarkan atau diberitakan.
Pasal 8 Wartawan Indonesia tidak menulis atau menyiarkan berita berdasarkan prasangka atau diskriminasi terhadap seseorang atas dasar perbedaan suku, ras, warna kulit, agama, jenis kelamin, dan bahasa serta tidak merendahkan martabat orang lemah, miskin, sakit, cacat jiwa atau cacat jasmani. Penafsiran Prasangka adalah anggapan yang kurang baik mengenai sesuatu sebelum mengetahui secara jelas. Diskriminasi adalah pembedaan perlakuan.
Pasal
9 Wartawan Indonesia menghormati hak narasumber tentang kehidupan pribadinya, kecuali untuk kepentingan publik. Penafsiran Menghormati hak narasumber adalah sikap menahan diri dan berhati-hati. Kehidupan pribadi adalah segala segi kehidupan seseorang dan keluarganya selain yang terkait dengan kepentingan publik.
Pasal 10 Wartawan Indonesia segera mencabut, meralat, dan memperbaiki berita yang keliru dan tidak akurat disertai dengan permintaan maaf kepada pembaca, pendengar, dan atau pemirsa.
Penafsiran Segera berarti tindakan dalam waktu secepat mungkin, baik karena ada maupun tidak ada teguran dari pihak luar. Permintaan maaf disampaikan apabila kesalahan terkait dengan substansi pokok. Pasal 11 Wartawan Indonesia melayani hak jawab dan hak koreksi secara proporsional.
Penafsiran Hak jawab adalah hak seseorang atau sekelompok orang untuk memberikan tanggapan atau sanggahan terhadap pemberitaan berupa fakta yang merugikan nama baiknya. Hak koreksi adalah hak setiap orang untuk membetulkan kekeliruan informasi yang diberitakan oleh pers, baik tentang dirinya maupun tentang orang lain. Proporsional berarti setara dengan bagian berita yang perlu diperbaiki.
Dewan Pers Dalam upaya mengembangkan kemerdekaan pers dan meningkatkan kehidupan pers nasional, dibentuk Dewan Pers yang independen. Dewan Pers melaksanakan fungsi-fungsi sebagai berikut: melindungi kemerdekaan pers dari campur tangan pihak lain; melakukan pengkajian untuk pengembangan kehidupan pers; menetapkan dan mengawasi pelaksanaan Kode Etik Jurnalistik; memberikan pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian pengaduan masyarakat atau kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers. Mengembangkan komunikasi antara pers, masyarakat, dan pemerintah; Memfasilitasi organisasi-organisasi pers dalam menyusun peraturan-peraturan di bidang pers dan eningkatkan kualits profesi kewartawanan; Mendata perusahaan pers. Anggota Dewan Pers terdiri dari: wartawan yang dipilih oleh organisasi wartawan pimpinan perusahaan pers yang dipilih oleh organisasi perusahaan pers; tokoh masyarakat, ahli di bidang pers dan atau komunikasi, dan bidang-bidang lainnya yang dipilih oleh organisasi wartawan dan organisasi perusahaan pers. Ketua dan Wakil Ketua Dewan Pers dipilih dari dan oleh anggota. Keanggotaan Dewan Pers sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) pasal ini ditetapkan dengan Keputusan Presiden. Keanggotaan Dewan Pers berlaku untuk masa tiga tahun dan sesudah itu dapat dipilih kembali untuk satu periode berikutnya. Sumber Pembiayaan Dewan Pers berasal dari: organisasi pers; perusahaan pers; bantuan dari negara dan bantuan lain yang tidak mengikat. (pasal 15 UU Pers No.40/1999)
Mekanisme Pertanggungjawaban Hukum Mekanisme
Pers 1. Seseorang atau sekelompok orang langsung meminta hak jawab dan hak koreksi kepada redaksi sebuah perusahaan pers, dengan memberikan data dan fakta sebagai bukti sanggahan dan bantahan bahwa berita yang disampaikan perusahaan tersebut tidak benar. Dan redaksi wajib melayani permintaan ini dengan segera meralat pemberitaanyang keliru disertai permintaan maaf dan klarifikasi. Ralat harus ditempatkan pada halaman yang sama dimana informasi yang salah itu dimuat.
2. Seseorang atau sekelompok orang yang merasa dirugikan akibat pemberitaan pers,dapat mengadukan persoalannya kepada dewan pers. Yang mana dewan pers, sebagai lembaga mediator persoalan pers akan memberikan pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian. Dewan pers dalam menyelesaikan persoalan ini meminta perusahaan pers memenuhi hak jawab dan hak koreksi atas kerugian yang diakibatkan pemberitaan. 3. Beberapa media juga menggunakan lembaga mediator sendiri untuk persoalan yang diakibatkan karya jurnalistik, yakni ombusdman. Ombusdman yang akan membantu penyelesaian persoalan akibat pemberitaan dengan muaranya adalah dikeluarkan hak jawab dan hak koreksi oleh media yang dituduh bersalah.
4. Persoalan pers juga bisa diadukan kepada pengadilan, karena hak setiap warga negara mencari keadilan termasuk melalui pengadilan. Dan pengadilan dalam menyelesaikan persoalan ini menggunakan UU Pers sebagai dasar hukum. 5. Hak jawab dan hak koreksi dikeluarkan setelah melalui dialog dan kesepemahaman tentang isi atau materi yang akan disampaikan antara pers media dengan orang atau sekelompok orang yang merasa dirugikan akibat pemberitaan. 6. Jika sengketa terjadi dan pers tidak mau melaksanakan hak jawab dan hak koreksi,masyarakat yang dirugikan bisa menggugat secara perdata dengan UU Pers. Sehingga gugatan yang digunakan adalah pasal-pasal yang terdapat dalam pasal-pasal UU Pers
Pertanggungjawaban Pers Menurut UU Pers No.40/1999 Pasal 12 Perusahaan pers wajib mengumumkan nama, alamat dan penanggung jawab secara terbuka melalui media yang bersangkutan; khusus untuk penerbitan pers ditambah nama dan alamat percetakan. Penjelasan Pengumuman secara terbuka dilakukan dengan cara :
Media cetak memuat kolom nama, alamat, dan penanggungjawab penerbitan serta nama dan alamat percetakan; Media elektronik menyiarkan nama, alamat, dan penanggungjawabnya pada awal atau akhir setiap siaran karya jurnalistik; Media lainnya menyesuaikan dengan bentuk, sifat, dan karakter media yang bersangkutan.
Pengumuman tersebut dimaksudkan sebagai wujud pertanggungjawaban atas karya jurnalistik yang diterbitkan atau disiarkan. Yang dimaksud dengan “penanggungjawab” adalah penanggung jawab perusahaan pers yang meliputi bidang usaha dan bidang redaksi. Sepanjang menyangkut pertanggungjawaban pidana menganut ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Menurut KUHP Menganut sistem penyertaan (deelneming). Yang diatur dalam pasal 55 dan 56,yang meliputi a. orang yang melakukan (pleger) b. Orang yang menyuruh melakukann (doen pleger) c.Orang yang turut melakukan (mede pleger) d.Orang yang membujuk melakukan Dalam hal ini dapat menyertakan Direksi, Pemimpin Umum, Pimred,Redaktur Pelaksana,Redaktur,Reporter,Korektor,Layouter. Menurut UU Pokok Pers No. 11/1966 jo No. 21/1982 pertanggungjawaban bersifat water fall (air terjun) pertanggungjawaban dapat dilimpahkan kepada bawahan
Mekanisme Penyelesaian Sengketa Pers Menurut UU No.40/1999 B. Pelanggaran dalam kegiatan jurnalistik diselesaikan berdasar mekanisme jurnalistik -Pasal 1 (1) mengatur mengenai ruang lingkup kegiatan jurnalistik -Pasal 7 (2) Wartawan memiliki dan menaati Kode Etik Jurnalistik -Pasal 5 (2) dan (3) Pers wajib melayani hak Jawab Pers wajib melayani Hak Koreksi -Pasal 15 (2 c dan d) Dewan Pers melaksanakan fungsi-fungsi sebagai berikut:menetapkan dan mengawasi pelaksanaan Kode Etik Jurnalistik; memberikan pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian pengaduan masyarakat atau kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers. -Pasal 18(2) Perusahaan pers yang melanggar ketentuan Pasal 5 ayat ayat (2). dipidana dengan pidana denda paling banyka Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
B. Penyelesaian pelanggaran kegiatan jurnalistik yang dapat diselesaikan dengan jalur hukum Pasal 5 (1) Pers nasional berkewajiban memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah. Pasal 18 (2) Perusahaan pers yang melanggar ketentuan Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2). Serta Pasal 13 dipidana dengan pidana denda paling banyka Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
C.Pemberitaan
berkategori non karya jurnalistik -berita bertendensi pemerasan -berita bertendensi malice (dengki/benci) untuk menjatuhkan seseorang/kelompok/institusi -berita hasil fabrikasi (sumber-sumber cek/ricek) direkasayasa -Menghina Agama Dapat diproses berdasarkan KUHP
Putusan MA terhadap sengketa Pers No No Perkara 1 3173 K/pdt/1993
Kasus Gugatan Perdata
2 3
Pidana Gugatan Perdata
1608 K/PID/2005 903 K/ PDT/2005
Para Pihak Surat kabar Harian Garuda, Y Soeryadi, Syawal Indra, Irianto Wijaya, Yayasan Obor Harapan Medan Vs. Anif Bambang Harymurti Tomy Winata Vs. PT Tempo Inti Media, Zulkifli Lubis, Bambang Harymurti, Fikri Jufri, Toriq Hadad, Achmad Taufik, Bernarda Burit, Cahyo Junaedi
Pendapat MA mengenai UU Pers Sebagai Lex Specialis Mahkamah Agung berpendapat bahwa pers adalah lembaga masyarakat dan sekaligus alat perjuangan nasional yang membawa dan menyampaikan pesan-pesan, baik berbentuk pemberitaan, ulasan, maupun pandanganpandangan yang bersifat idiil yang komitmen dan terikat pada asipirasi, cita-cita memperjuangkan kebenaran dan keadilan serta hati nurani masyrakat dan bangsa (Putusan MA No 3173 K/Pdt/1993 ). Selain Mahkamah Agung menyatakan dengan tegas bahwa fungsi kebebasan pers menyampaikan kritik dan koreksi, dihubungkan dengan tanggung jawab pemberitaan dan ulasan yang dikemukakan pers mka kepada masyarakat diberikan hak jawab. Dimana tujuan pemberian hak jawab adalah agar kebebasan pers disatunafaskan dengan tanggung jawab pers (Putusan MA No 3173 K/Pdt/1993 ) Mengenai kebenaran atas suatu peristiwa Mahkamah Agung juga berpendapat bahwa kebenaran yang diberitakan oleh pers merupakan suatu kebenaran yang elusive yang berarti sukar dipegang kebenarannya, dimana kebenaran yang hendak diberitakan sering berada diantara pendapat dan pendirian seseorang dengan orang lain atau antara satu kelompok dengan kelompok laiin. Oleh karena itu kebenaran yang elusive tidak mesti merupakan kebenaran absolut (Putusan MA No 3173 K/Pdt/1993 )
Dalam penggunaan hak jawab, Mahkamah agung berpendapat bahwa apabila penggunaan hak jawab tersebut tidak digunakan, maka pemberitaan yang dilakukan oleh pers mengandung kebenaran atau paling tidak mempunyai nilai estimasi karena sudah dianggap memenuhi batas minimal investigasi reporting yaitu mencari, menemukan, dan menyelidiki sumber berita, sehinga paling tidak sudah terpenuhi pemberitaan yang konfirmatif . Mahkamah Agung berpegang pada pendapatnya bahwa kebebasan pers merupakan prinsip dasar yang dijamin dalam UUD dan system kenegaraan Republik Indonesia oleh karena itu hak jawab dan penyelesaian melalui lembaga pers merupakan prinsip yang mengatur keseimbangan lembaga pers dan individu atau kelompok. Maka penggunaan hak jawab atau penyelesaian melalui lembaga pers merupakan tonggak yang harus ditempuh sebelum memasuki upaya hukum lain (Lihat Putusan MA No 903 K/PDT/2005)
Mahkamah Agung berpendapat bahwa kebebasan pers merupakan condition sine qua non bagi terwujudnya demokrasi dan Negara berdasar atas hukum karena tanpa kebebasan pers maka kemerdekaan menyatakan pikiran dan pendapat menjadi sia-sia. Mahkamah Agung tetap berpendapat bahwa kebebasan pers merupakan condition sine qua non bagi terwujudnya demokrasi dan Negara berdasar atas hukum, maka tindakan hukum yang diambil terhadap pers yang menyimpang tidak boleh membahayakan sendi-sendi demokrasi dan negara berdasarkan hukum ( Lihat Putusan MA No 1608 K/PID/2005)
Mahkamah Agung menilai bahwa instrumen hak jawab merupakan keseimbangan antara kemestian pers bebas dan upaya perlindungan kepentingan individu dari pemberitaan pers yang keliru. Mahkamah Agung berpendapat bahwa unsur melawan hokum menjadi hilang manakala pemberitaan telah cover both side dan suatu berita telah dibantah melalui hak jawab maka si pembuat berita oleh karenanya telah melakukan kewajiban hukumnya. Dan dengan dimuatnya hak jawab dan berita tersebut telah melalui pengecekan ke berbagai sumber serta telah sesuai dengan asas kepatutan, ketelitian, dan kehati-hatian di dalam masyarakat, maka berita tersebut tidak dipandang sebagai suatu pemberitaan yang mengandung sifat “melawan hukum”, (Lihat Putusan MA No 1608 K/PID/2005)