A. PENDAHULUAN Pada masa modern ini kita pasti sudah sering mendengar yang dinamakan perdagangan atau perniagaan, yakni kegiatan tukar menukar barang atau jasa atau keduanya yang berdasarkan kesepakatan bersama bukan pemaksaan. Pada masa awal sebelum uang ditemukan, tukar menukar barang dinamakan barter yaitu menukar barang dengan barang. Perdagangan dilakukan dengan penukaran uang. Setiap barang dinilai dengan sejumlah uang. Pembeli akan menukar barang atau jasa dengan sejumlah uang yang diinginkan penjual. Dalam perdagangan ada orang yang membuat yang disebut produsen. Kegiatannya bernama produksi. Jadi, produksi adalah kegiatan membuat suatu barang. Ada juga yang disebut distribusi. Distribusi adalah kegiatan mengantar barang dari produsen ke konsumen. Konsumen adalah orang yang membeli barang. Konsumsi adalah kegiatan menggunakan barang dari hasil produksi. Pentingnya perdagangan sangat berpengaruh bagi ekonomi negara bukan hanya karena dampaknya bagi masyarakat, tetapi juga kepentingan berbagai aktor di dalamnya. Di dalam sistem ekonomi internasional, negara-negara diakomodasi World Trade Organization (WTO), satu-satunya badan internasional yang mengatur perdagangan antarnegara. WTO didirikan tahun 1995 dari proses negosiasi Uruguay Round tahun 1986-1994 serta rangkaian perundingan General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) sejak 1948. Indonesia telah menjadi anggota sejak 1 Januari 1995, sebelumnya anggota GATT sejak 24 Februari 1950, dan meratifikasi Persetujuan WTO dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing the World Trade Organization. Meski telah ada peraturan-peraturan hukum dalam hal kerjasama ekonomi internasional, konflik kepentingan dan ketidaksepahaman yang berlanjut menjadi sengketa antar negara tidak dapat dihindari. Dengan didasari prinsip penyelesaian sengketa secara damai, negara-negara diharapkan menggunakan di antara dua metode yang tersedia untuk menyelesaikan sengketa, yaitu perundingan atau negosiasi diplomatik antara negara-negara yang bersengketa (dengan tingkatan intervensi dan bantuan negara ketiga yang beragam), dan sistem pengadilan oleh entitas yang independen (melalui arbitrase dan penyelesaian di jalur hukum) begitu juga didalam kasus sengketa perdagangan rokok kretek IndonesiaAustralia. 1
1
G. Sampson (ed.), The Role of the World Trade Organization in Global Governance, United Nations University Press, Tokyo, 2001, hlm., 5.
B. PEMBAHASAN KASUS Pada bulan April 2010, Pemerintah Australia memberitahukan bahwa akan memperkenalkan undang-undang yang mengatur mengenai pengemasan produk tembakau yang akan mulai diterapkan pada 1 Januari 2012 dengan implementasi penuh sejak 1 Desember 2012. Dalam peraturan tersebut dikatakan, seluruh rokok ataupun produk tembakau lainnya wajib dikemas dalam kemasan polos tanpa mencantumkan warna, gambar, logo, ataupun slogan produk. Tujuan utama dari Tobacco Plain Packaging Act ini sendiri adalah sebagai langkah dalam meningkatkan kesehatan masyarakat, yaitu dengan mencoba mengurangi jumlah individu yang akan merokok atau mengonsumsi produk tembakau.2 Dalam pemberlakuan Tobacco Plain Packaging Act ini, Australia mendasarkan pada salah satu prinsip utama GATT (General Agreement on Tariffs and Trade) , yaitu prinsip national treatment. Menurut prinsip ini, produk dari suatu negara anggota yang diimpor ke dalam suatu negara harus diperlakukan sama seperti halnya produk dalam negeri. Tetapi di sisi lain, penerapan prinsip national treatment yang diberlakuan negara tuan rumah seharusnya memiliki unsur tidak merugikan negara lain. Direktur
Jenderal
Kerjasama
Perdagangan
Internasional
Kementerian
Perdagangan (Kemendag) Iman Pambagyo mengatakan penerapan aturan kemasan polos akan memaksa industri rokok lokal untuk menyesuaikan harga. Hal ini akan memiliki dampak negatif terutama pada produsen rokok kecil dan menengah yang mungkin
tidak
memiliki
kapasitas
untuk
melakukannya.
Terlebih
lagi
mempertimbangkan efek dominonya terhadap jutaan petani tembakau dan cengkeh yang tersebar di seluruh Indonesia. Selain itu, ada kemungkinan negara-negara lain juga menerapkan kebijakan yang sama, terlebih Selandia Baru dan Irlandia sudah mengindikasikan rencananya untuk mengikuti langkah Australia tersebut . 3 Hal inilah yang dinilai dapat menjadi ancaman nyata bagi produk tembakau dari Indonesia, walaupun ekspor rokok tahunan Indonesia ke Australia tidak begitu besar namun dengan peraturan kemasan polos tersebut daya saing produk diyakini akan menurun dan juga berpengaruh terhadap kinerja ekspor tembakau dan rokok Indonesia.
2
“Ini 4 kasus Indonesia dengan WTO”, http://finance.detik.com/read/2014/05/06/081643/2574147/4/2/ini-4kasus-indonesia-dengan-wto# diakses pada tanggal 3 Desember 2018 pukul 2.48 WIB. 3 “Aturan Australia Soal Rokok Hambat Ekspor Produk Tembakau RI” dalam https://finance.detik.com/industri/d-2570326/aturan-australia-soal-rokok-hambat-ekspor-produk-tembakau-ri diakses pada tanggal 3 Desember 2018 pukul 3.26 WIB
Kepala Media Centre AMTI (Asosiasi Masyarakat Tembakau Indonesia) Hananto Wibisono juga menilai kebijakan kemasan polos dilakukan tanpa bukti ilmiah yang dapat membuktikan bahwa kebijakan tersebut dapat mengurangi jumlah perokok. kebijakan kemasan polos sebenarnya hanya akan semakin mendorong perkembangan industri rokok ilegal atau palsu, seperti yang telah terjadi di Australia dimana angka rokok ilegalnya meningkat sehingga pada akhirnya, pertumbuhan industri ilegal akan merugikan semua pihak, yaitu, mematikan industri legal, merugikan negara dalam hal pendapatan cukai, serta merugikan konsumen yang membeli produk illegal atau palsu.4 Karena beberapa alasan tersebut menjadikan Indonesia menggugat Australia ke World Trade Organitation (WTO). Indonesia meyakini kebijakan Australia itu bertentangan dengan Pasal XXIII GATT 1994 dan dengan tiga perjanjian WTO lainnya tentang prosedur penyelesaian sengketa antarnegara, hak paten dalam perdagangan, serta hambatan teknis dalam perdagangan. Kebijakan kemasan rokok polos bertentangan dengan sejumlah pasal dalam Kesepakatan Aspek Kekayaan Intelektual yang Terkait Perdagangan (Trade Related Aspect of Intelectual Property/TRIPs) yang dianut negara anggota WTO. Salah satunya, pasal 20 Kesepakatan TRIPS yang menyatakan bahwa anggota WTO tidak diperbolehkan untuk menerapkan persyaratan khusus guna mempersulit penggunaan merek dagang. Selain itu, kemasan rokok polos juga diduga melanggar Pasal 2.2 dari Kesepatan Hambatan Teknis Perdagangan (Technical Barrier to Trade/ TBT) yang berisi, negara anggota WTO berkewajiban untuk memastikan bahwa peraturan teknis yang diterapkan tidak menghambat perdagangan lebih dari pada yang diperlukan. Direktur Jenderal Kerja Sama Perdagangan Internasional Kementerian Perdagangan, Bachrul Chairi menjelaskan pengaduan ini merupakan langkah terakhir karena proses litigasi di WTO ini ditempuh setelah upaya pendekatan bilateral yang dilakukan Indonesia tidak membawa hasil.5 Selain Indonesia, ada empat negara lain yang menggugat Australia ke WTO karena kasus tersebut yakni Honduras, Republik Dominika, Ukraina, dan Kuba. Namun, gugatan yang dilakukan Indonesia dan ke empat negara tersebut kepada Australia akhirnya dimenangkan oleh Australia. Dalam panel
4
“Aturan rokok kemasan polos di Australia pukul daya saing Indonesia” dalam https://www.merdeka.com/uang/aturan-rokok-kemasan-polos-di-australia-pukul-daya-saing-indonesia.html diakses pada tanggal 3 Desember 2018 pukul 3.31 WIB 5 ”Wajibkan Kemasan Rokok Polos, Australia Digugat 5 Negara ke WTO” dalam https://bisniskeuangan.kompas.com/read/2014/10/14/194623126/Wajibkan.Kemasan.Rokok.Polos.Australia. Digugat.5.Negara.ke.WTO diakses pada tanggal 3 Desember pukul 3.43 WIB
WTO tersebut dikatakan bahwa hukum Australia ditujukan untuk meningkatkan kesehatan masyarakat dengan mengurangi penggunaan produk tembakau. Selain itu, panel tersebut juga menolak argumen yang menyatakan bahwa Australia telah secara tidak sah melanggar merek dagang tembakau dan melanggar hak kekayaan intelektual.6 Karena keputusan tersebut pemerintah mulai mengkaji opsi pengajuan banding. Sementara itu pemerintah Honduras menyatakan bakal mengajukan banding terhadap putusan tersebut. Menurut pemerintah setempat, putusan WTO mengandung kesalahan faktual dan cacat hukum, serta bias. Appellate Body yang terdiri atas tujuh hakim dan berkedudukan di Swiss bertugas mengkaji ulang putusan panel WTO. Hal serupa dilakukan seorang pejabat Kementerian Perdagangan Indonesia yang akan mengkaji terlebih dahulu putusan panel WTO. 7 Setelah sempat protes, akhirnya Indonesia memilih akan mematuhi kebijakan kemasan rokok yang berlaku di Australia. Indonesia merupakan pihak ketiga dalam banding atas putusan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Badan ini menolak gugatan Pemerintah Honduras dan Republik Dominika atas kebijakan Australia terkait kemasan netral untuk produk tembakau. Karena hal tersebut Indonesia punya hak untuk memihak sedangkan Indonesia memutuskan untuk memberikan dukungan terhadap kebijakan Australia tersebut. Bentuk dukungannya adalah dengan mematuhi aturan yang berlaku di Australia.8
6
“Kalah dari Australia Soal Isu Kemasan Rokok, Kemendag Pertimbangkan Banding di WTO” dalam http://industri.bisnis.com/read/20180701/12/811504/kalah-dari-australia-soal-isu-kemasan-rokok-kemendagpertimbangkan-banding-di-wto diakses pada tanggal 3 Desember 2018 pukul 4.04 WIB 7 “Australia Menangkan Gugatan Indonesia di WTO” dalam https://news.detik.com/dw/d-4091371/australiamenangkan-gugatan-indonesia-di-wto diakses pada tanggal 3 Desember 2018 pukul 4.20 WIB 8 “Indonesia Akhirnya Patuhi Kebijakan Kemasan Rokok Polos Australia” dalam https://ekonomi.kompas.com/read/2018/08/20/095002926/indonesia-akhirnya-patuhi-kebijakan-kemasanrokok-polos-australia diakses pada tanggal 3 Desember 2018 pukul 4.25 WIB
C. PEMBAHASAN GATT (General Agreement on Tariff and Trade) pada awalnya hanya meliputi tentang perdagangan barang, kemudian pada Uruguay Round mulai dibicarakan tentang dumping, antidumping, perlindungan jasa, serta perlindungan HKI (Hak Kekayaan Intelektual) sehingga GATT sepakat untuk diubah menjadi WTO atau World Trade Organization, yang memiliki tiga annex utama yakni: 1.
TRIMs atau Trade Related of Investment Measures
2.
TRIPs atau Trade Related Aspect of Intelectual Property Rights
3.
GATs atau General Agreement on Trade and Services Indonesia bersama empat negara penggugat lainnya yakni Republik Dominika,
Kuba, Honduras, dan Ukraina menilai bahwa kebijakan kemasan rokok yang diterapkan Australia menyalahi peraturan perdagangan yang diatur dalam GATT 1994, yakni menyalahi pasal XXII dan pasal XXIII. Menurut Pasal XXII ayat (1) GATT, setiap negara peserta harus memberikan pertimbangan yang simpatik kepada negara peserta lain, serta memberikan kesempatan yang cukup untuk berkonsultasi mengenai hal-hal yang diajukan negara
peserta lain yang ada pengaruhnya terhadap pelaksanaan
Perjanjian. Pasal ini mengatur konsultasi dua tahap. Pertama, di antara sesama negara peserta GATT, kemudian Contracting Parties, negara peserta secara bersama-sama. Pasal ini telah disempurnakan dari waktu ke waktu. Sedangkan Pasal XXIII menentukan kapan suatu negara peserta dapat menggunakan prosedur ini guna melindungi kepentingannya9, serta menyalahi tiga ketentuan WTO, yakni: Understandings on rules and procedures governing the settlement of dispute; agreement on trade-related aspects of intellectual property rights; dan agreement on technical barriers to trade. Kebijakan mewajibkan kemasan polos terhadap semua produk tembakau termasuk rokok yang diterapkan Australia sejak tanggal 1 Desember 2012 ini juga dianggap menyalahi salah satu annex utama dalam WTO, yakni TRIPs, atau perlindungan atas hak merk/paten. Pasal-pasal dalam TRIPs memuat hal-hal berikut: 1.
Hak Cipta (pasal 9-14): meliputi ekspresi (ungkapan), program komputer dan kompilasi data. Jangka waktu perlindungan minimum 50 tahun.
9
Zulkifli Lawido. Memahami Penyelesaian Sengketa WTO. Diakses di: https://www.academia.edu/8596441/Memahami_Penyelesaian_Sengketa_WTO pada tanggal 3 Desember 2018.
2.
Merek (Pasal 15-21): perlindungan bagi tanda yang mampu membedakan suatu barang atau jasa dari yang lain. Pemilik merek terdaftar mempunyai hak eksklusif untuk melarang pihak lain menggunakannya tanpa ijin. Jangka waktu perlindungan minimum tujuh tahun dan dapat diperbarui.
3.
Indikasi Geografis (pasal 22-24): tanda yang mengidentifikasi bahwa suatu benda berasal dari wilayah negara anggota, atau kawsan di dalam suatu negara anggota, dimana reputasi, kualitas dan ciri barang tersebut sangat ditentukan oleh faktor geografis.
4.
Desain produk industri (pasal 25-26): perlindungan untuk desain industri yang baru dan asli dengan jangka waktu minimum 10 tahun. Desain tekstil harus dilindungi dengan ketentuan ini atau hak cipta.
5.
Paten (pasal 27-35): hak eksklusif bagi penemuan produk maupun proses dalam semua bidang teknologi. Obyek perlindungan paten harus bersifat penemuan baru, inventif dan dapat diterapkan dalam skala industri. Masa perlindungan 20 tahun. Untuk kepentingan publik, pemerintah bisa mengijinkan pihak ketiga memanfaatkan paten tanpa ijin pemegang paten, yaitu melalui ketentuan lisensi wajib. Pasal 27.3 memberikan perlindungan bagi bahan hayati yang akan dibahas pada bagian lain.
6.
Lay-out rangkaian elektronik terpadu (pasal 35-38): jangka waktu perlindungan 10 tahun sejak pendaftaran atau pemanfaatan secara komersial.
7.
Perlindungan bagi informasi yang dirahasiakan (pasal 39): perlindungan bagi informasi yang dianggap rahasia bagi perusahaan atau individu dan berisaft komersial.10 Indonesia sendiri merupakan negara penghasil tembakau terbesar keenam serta penghasil daun tembakau terbesar ketiga belas di dunia jelas menyerap tenaga kerja bagi penduduk Indonesia itu sendiri. Maka dari itu kepentingan Indonesia terletak pada pembatasan kemasan rokok ini agar tidak bertentangan dengan aturan perdagangan yang telah disepakati di WTO.
10
Hira Jhamtani. Memahami TRIPS: Hak Kekayaan Intelektual Terkait Perdagangan. Diakses di: https://bebaspikir.com/2016/01/memahami-trips-hak-kekayaan-intelektual-terkait-perdagangan/ pada tanggal 2 Desember 2018.
D. SIMPULAN DAN SOLUSI Usaha untuk melindungi kepentingan nasional negara perlu diupayakan semaksimal mungkin, mengingat perekonomian negara sangat berdampak pada kemakmuran rakyat. Pembangunan nasional Indonesia sendiri tujuan utamanya adalah demi tercapainya kesejahteraan rakyat. Di sisi lain, Indonesia pun harus mengusahakan hubungan kerja sama yang baik dengan negara lain karena kebergantungan satu negara kepada negara yang lain adalah keniscayaan. Meski demikian, mengetahui bahwa sengketa tidak bisa terhindarkan, WTO telah menyediakan mekanisme agar setiap sengketa yang dihadapi diselesaikan secara damai. Namun ada saja celah yang menghambat efektivitas sistem penyelesaian sengketa tersebut. Dengan bertitik-tolak pada permasalahan yang dihadapi Indonesia yaitu lemahnya argumen dan bukti yang mendukung gugatan atau sanggahan, dan ketidakpatuhan negara lain
dalam
melaksanakan
rekomendasi
sehingga
menimbulkan
kerugian
bagi
perekonomian nasional Indonesia, penulis mengajukan beberapa saran yang diharapkan dapat membantu. Capacity-building harus dilakukan Indonesia dari segi hukum, ekonomi, dan politik, sehingga meningkatkan kuatnya argumen dan pengumpulan bukti. Sedangkan untuk masalah ketidakpatuhan, yang mana hal ini sangat dipengaruhi banyak faktor di luar kekuasaan negara complainant, maka yang dapat dilakukan adalah reformasi dalam hal pengawasan kepatuhan dan kompensasi serta penangguhan konsesi. Proposal peningkatan kapasitas Compliance Panel dan pengaturan spesifik mengenai pemberian kompensasi dalam bentuk finansial ataupun akses pasar diharapkan dapat mendorong negara-negara dalam melaksanakan rekomendasi dalam waktu yang telah disepakati. Proposal adanya pengaturan pemberian kompensasi kolektif juga dapat menjadi cambuk kepatuhan. Kepatuhan sendiri memiliki dampak positif, tidak hanya kepada negara complainant tetapi juga kepada negara responden yang tidak perlu membayar kompensasi.