[tnego] Negosiasi Terhambat Kenapa.docx

  • Uploaded by: arneta
  • 0
  • 0
  • April 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View [tnego] Negosiasi Terhambat Kenapa.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 2,515
  • Pages: 16
ALASAN NEGOSIASI INTEGRATIF SULIT TERCAPAI Negosiasi menurut Stephen Kozicki merupakan suatu bentuk seni untuk mencapai sebuah kesepakatan dengan cara memecahkan suatu perbedaan melalui kreatifitas. Negosiasi merupakan salah satu seni berdiplomasi dengan melalui suatu proses tawar-menawar antara dua belah pihak atau lebih dalam menyelesaikan suatu permasalahan atau konflik agar tercapai suatu kesepakatan bersama secara adil diantara kedua belah pihak. Dalam usahanya untuk menemukan sebuah kesepakatan ataupun menyeleasikan konflik antara pihak-pihak yang terlibat, negosiasi sangat dibutuhkan untuk mewujudkan kesepakatan tersebut. Untuk melakukan negosiasi, terdapat beberapa jenis negosiasi yang dapat dijalankan berdasarkan dari hasil negosiasinya. Terdapat dua macam negosiasi yaitu negosiasi distributif dan negosiasi integratif. Negosiasi distributif merupakan suatu bentuk negosiasi yang bersifat win-lose atau zero sum sedangkan negosiasi integratif dikenal sebagai negosiasi yang bersifat win-win. Negosiasi integratif merupakan suatu bentuk negosiasi dengan tujuan untuk mendapatkan keuntungan sebanyak mungkin. Dalam negosiasi Integratif, karena hasil akhir yang diharapkan adalah win-win solution , maka pihak-pihak yang terlibat akan bekerja sama untuk mencapai keuntungan maksimal

dengan

mengintegrasikan

kepentingan

mereka.

Selain

memadukan kepentingan, setiap pihak juga akan berusaha memperjuangkan

kepentingannya agar tetap merasa diuntungkan tanpa juga harus merugikan pihak lain. Kepentingan yang dimaksud merupakan termasuk kebutuhan, keinginan, kekhawatiran, dan ketakutan penting untuk setiap pihak karena hal-hal tersebut merupakan alasan yang mendasari mengapa orang terlibat dalam konflik (Spangler, 2003). Pada negosiasi integratif, diperlukan adanya kejujuran, integritas , komunikasi yang baik, sharing mengenai informasi, dan juga kemauan semua pihak untuk mau bekerja sama satu sama lain agar tercapainya kesepakatan dalam negosiasi tersebut. Kesepakatan juga akan lebih mudah tercapai jika semua pihak yang terlibat dalam negosiasi memiliki tujuan yang sama. Tujuan tersebut dapat berupa common goal jika semua pihak mendapat bagian dan keuntungan yang sama, shared goal jika pihak-pihak yang terlubat saling bekerja sama dan memiliki tujuan yang berbeda, atau joint goal yaitu bentuk tujuan yang didapat dari individu-individu dengan tujuan pribadi yang berbeda dan disatukan untuk membentuk keputusan kolektif. Negosiasi

integratif

kadang

kala

tak

berjalan

sesuai

harapan.

Kesepakatan dalam negosiasi integratif terkadang tak bisa langsung dicapai. Terdapat alasan-alasan tersendiri yang menjadikan negosiasi ini sukar untuk dicapai. Alasan tersebut menjadi faktor-faktor penghambat dalam negosiasi integratif, antara lain adalah sebagai berikut.

1. Sejarah hubungan antara kedua belah pihak. Latar belakang hubungan antara kedua belah pihak yang melakukan negosiasi akan sangat berpengaruh. Jika di masa lalu kedua belah pihak pernah mengalami konflik, maka akan menimbulkan ketidakpercayaan diantara keduanya.Ada tidaknya konflik atau pun sikap kompeititif di antara kedua belah pihak akan sangat mempengaruhi proses negosiasi. Hal ini dikarenakan hubungan antar negosiator di masa lalu yang buruk akan memunculkan sikap ofensif atau defensive, saling mencurigai, dan sukar mempercayai pihak lain. Kurang adanya rasa saling percaya ini tentu

akan

menimbulkan

efek

negatif

dalam

sebuah

negosiasi.

Kecurigaan akan muncul terhadap sikap kooperatif yang dikhawatirkan akan menjadi jebakan saja di masa depan sehingga negosiator cenderung menginginkan hasil menang-kalah. Oleh karena itu, sejarah hubungan antar pihak yang melakukan negosiasi dapat menjadi penghambat dalam negosiasi integratif ini.

2. Keyakinan bahwa permasalahan hanya dapat diselesaikan secara distributif. Ada kecenderungan untuk memandang masalah sebagai suatu konteks menang-kalah karena dinamika konflik yang ada. Selain itu, ada unsur keberpihakan dari para negosiator sehingga mempersulit proses

negosiasi integratif karena keberpihakan tersebut dapat menyimpangkan persepsi mereka tentang situasi, cakupan kemungkinan hasil, dan kemungkinan

untuk

mencapai

hasil.

Hal-hal

tersebut

cenderung

menghalangi para negosiator dari memiliki perilaku-perilaku yang diperlukan untuk menyukseskan negosiasi integratif.

3. Sifat motif ganda dalam sebagian besar situasi negosiasi. Negosiator tidak selalu hanya menggunakan negosiasi integratif atau distributif saja dan biasanya menggunakan keduanya, karena sebagain besar dari situasi negosiasi bersifat motif ganda. Situasi negosiasi yang bersifat motif ganda ini menjadikan beberapa hal harus dikalkulasikan secara distributif dan sebagian lain harus diproses secara integratif. Jika negosiator tidak bisa mengidentifikasikan potensi intregatif di dalam situasi negosiasi tersebut, maka akan menjadi salah satu penghambat dalam proses negosiasi intregatif.

4. Perspektif jangka pendek. Kesepakatan yang dihasilkan dari negosiasi integratif membutuhkan waktu yang cukup karena melalui pemrosesan informasi sebelum dijadikan kesepakatan itu sendiri. Pemrosesan informasi ini memerlukan waktu yang tidak sebentar untuk mendapatkan hasil yang memuaskan. Hasil dari negosiasi integratif ini juga membutuhkan waktu yang cukup untuk diimplementasikan untuk mendapatkan hasil yang baik dan dengan

begitu dapat menunjukkan hasil yang signifikan. Oleh karena itu, proses negosiasi integratif ini membutuhkan banyak waktu untuk mendapatkan hasil maksimal yang memuaskan semua pihak. Perspektif jangka pendek ini akan menjadi penghambat sebab penerapan negosiasi integratif ini memerlukan waktu yang cukup.

5. Perundingan distributif versus negosiasi integratif. Negosiator

dalam

proses

menggunakan

pendekatan

menggunakan

taktik-taktik

perundingan

negosiasi distributif

belum

integratif. dalam

tentu

murni

Negosiator

dapat

situasi

integratif

demi

memenangkan pihaknya karena keinginan untuk sama-sama menang mereka masih semu dan ingin memenangkan dirinya sendiri. Negosiasi secara distributif ini tidak akan optimal dalam situasi integratif. Mereka mengatakan

bahwa

mereka

ingin

sama-sama

menang

padahal

sebenarnya mereka hanya ingin untuk memenangkan diri mereka sendiri. Mereka berbicara seperti negosiator integratif, tetapi bertindak seperti perunding distributif.1Selain itu, belum ada bukti bahwa negosiasi integratif akan tetap efektif melawan perundingan distributif yang kuat dan konsisten. Oleh karena itu, hal ini dapat menghambat negosiasi integratif. Sebagian negosiator beranggapan bahwa negosiasi integratif tidak lebih efektif daripada perundingan distributif.

1 Kurniawan Andy, “Strategi dan Taktik Negosiasi Integratif”, Papers, hal. 20

6. Negosiator tidak mengejar kesepakatan integratif dan cenderung ingin memenuhi kebutuhannya sendiri. Negosiator tidak melihat adanya potensi integrasi dalam suatu situasi tertentu dan tidak dapat mempertahankan diskusi integratif yang produktif sehingga mereka akan cenderung untuk menguntungkan diri mereka sendiri

dalam

memenuhi

kebutuhan

mereka

sendiri.

Sehingga

menghambat keberhasilan negosiasi integratif. 7. Tidak dapat mendefinisikan masalah. Salah

satu

langkah

dalam

negosiasi

integratif

adalah

menentukan/mendefinisikan permasalahan yang akan diangkat dimana permasalahannya merupakan masalah bersama dan pembahasannya bertujuan untuk menyatukan informasi serta menguntungkan semua pihak. Namun, dalam proses penentuan masalah terdapat hambatan yang dapat menganggu proses tersebut. Dalam menentukan masalah, tentu masalah yang akan diangkat merupakan permasalahan yang dialami oleh semua pihak yang terlibat dalam negosiasi tersebut. Penghambat dalam penentuan masalah ini adalah berbedanya permasalahan yang dialami masing-masing pihak. Terhambatnya

negosiasi

terjadi

mendefinisikan

permasalahan

karena

yang

sulitnya

dialami

oleh

untuk

dapat

semua

pihak.

Sehingganya diperlukan pengertian antar semua pihak yang ikut bernegosiasi agar permasalahan yang diangkat mendapat persetujuan dari semua pihak.

Berdasarkan pemaparan diatas, maka dapat dilihat bahwa negosiasi integratif tidak selamanya dapat berjalan dengan mulus, namun bisa saja terhambat akibat beberapa faktor. Contoh perundingan yang cukup mengalami hambatan adalah perundingan dalam Protokol Kyoto. Protokol Kyoto adalah perjanjian internasional yang menangani isu pemanasan global, khususnya membahas persoalan emisi gas rumah kaca. Awal mula diinisiasinya Protokol Kyoto ialah karena kegiatan-kegiatan manusia semakin lama semakin banyak mengeluarkan gas-gas yang sifatnya menyerap dan memantulkan radiasi balik dari atmosfer bumi sehingga suhu

bumi

semakin

meningkat.

Hal

ini

menimbulkan

berbagai

permasalahan di berbagai negara, seperti penurunan produksi pangan hingga fluktuasi ekonomi. Tidak hanya itu, di negara berkembang, hal ini juga membawa permasalahan ekonomi dan sosial, namun tidak memiliki kemampuan yang memadai guna menyikapi perubahan iklim ini. Maka dari itu, pada tahun 1992 di Rio de Janeiro, Brasil, negara-negara di dunia menginisiasi sebuah konvensi yang dikenal dengan United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC). Konvensi ini kemudian

dijadikan

landasan

bagi

para

negara-negara

dalam

menghadapi permasalahan yang berkaitan dengan perubahan iklim. Konvensi tersebut memerlukan suatu dasar pelaksanaan, yang kemudian dikenal dengan Protokol Kyoto karena dilakukan di Kyoto, Jepang. Protokol ini diadopsi pada tanggal 11 Desember 1997 lalu mulai dibuka untuk ditandatangani pada 16 Desember 1998. Protokol Kyoto mengatur

prinsip yang sama untuk semua negara penandatangan tetapi dengan tanggung jawab yang berbeda (differentiated responsibility). Negaranegara industri maju (disebut Annex 1 countries) diharuskan berkomitmen untuk mengurangi jumlah emisinya, sementara negara berkembang (Non Annex 1) tidak berkewajiban mengurangi emisi, tetapi harus melaporkan status emisinya

2

Komitmen pertama dalam Protokol Kyoto diterapkan

sejak tahun 2008 hingga 2012, kemudian dilanjutkan pada periode Komitmen Kedua sejak Januari 2013 hingga 2018 (diperpanjang hingga tahun 2020). Meskipun penerapan Protokol Kyoto ini telah disetujui semua negara yang terlibat di dalamnya, namun hambatan-hambatan juga sering ditemui. Misalnya, pada proses pembentukan Protokol Kyoto itu sendiri. Pertemuan otoritas tertinggi (Conference on Parties / COP) yang telah digelar selama dua kali tidak menemukan kesepakatan terkait dengan pengurangan emisi gas rumah kaca tersebut. Barulah pada COP 3 perjuangan negosiasi mulai gencar dilakukan antara negara-negara Annex I dengan negara-negara berkembang yang rentan terhadap perubahan iklim. Negara-negara maju memiliki kepentingan bahwa pembangunan di negara mereka tidak dapat lepas dari konsumsi energi dari

sektor

kelistrikan,

transportasi,

dan

industri.

Untuk

mengakomodasikan kepentingan antara kedua pihak tersebut Protokol 2 Meria Utama, “Kebijakan Pasca Ratifikasi Protokol Kyoto Pengurangan Dampak Emisi Rumah Kaca Dalam Mengatasi Global Warming”, diakses di: eprints.unsri.ac.id/5056/ pada tanggal 14 Maret 2019.

Kyoto adalah satu-satunya kesepakatan internasional untuk berkomitmen dalam mengurangi emisi gas rumah kaca yang mengatur soal pengurangan emisi tersebut dengan lebih tegas dan terikat secara hukum (legally binding). 3Adanya perbedaan kepentingan oleh negara Annex I sesuai dengan salah satu faktor penghambat yang telah dipaparkan di atas, yakni negosiator tidak mengejar kesepakatan integratif dan cenderung ingin memenuhi kebutuhannya sendiri. Dalam kasus ini, negara

akan

cenderung

untuk

mengambil

keputusan

yang

menguntungkan negara dalam memenuhi kebutuhannya. Sehingga menghambat keberhasilan negosiasi integratif serta kesepakatan pun sulit dicapai dan memerlukan waktu yang cukup lama. Sedangkan pada Periode Komitmen Kedua yang dimulai Januari 2013 hingga 2018 (diperpanjang hingga tahun 2020) sudah ada beberapa negara maju yang mengundurkan diri (withdrawal) terutama yang berasal dari negara Annex 1. Pengunduran diri yang dilakukan oleh beberapa negara maju tentu sangat berpengaruh pada masa depan Protokol Kyoto. Pengunduran diri dari Kanada sebagai salah satu pemain utama pada Periode Komitmen Pertama membuat posisi Protokol Kyoto semakin rapuh. Pengunduran diri Kanada dari Protokol Kyoto pada 12 Desember 2012 karena dua hal. Pertama, karena ketidakikutsertaan Amerika Serikat dan Cina sebagai negara penghasil emisi terbesar dalam melaksanakan 3 WWF, “Negotiation: Kyoto Protocol”, diakses di: https://www.wwf.or.id/tentang_wwf/upaya_kami/iklim_dan_energi/solusikami/negotiation_kyot o_p.cfm pada tanggal 14 Maret 2019

penurunan emisi secara wajib di bawah Protokol Kyoto. Sehingga, bagi Kanada hal tersebut dirasa tidak efektif dalam usaha Protokol Kyoto untuk mengurangi emisi dunia. Alasan kedua adalah alasan ekonomi. Pada saat itu, Partai Pemerintah Konservatif di Kanada tidak ingin negaranya mengalami keterpurukan finansial karena Kanada harus membayar denda US$14 milyar. Setelah itu, sebelas negara telah meratifikasi perpanjangan Protokol Kyoto Periode Komitmen Kedua pada UNFCCC yang diselenggarakan di Bonn, Jerman pada Juni 2014. Kesebelas negara tersebut ialah Arab, Barbados, Mauritius, Bangladesh, Monako, Sudan, Negara Federasi Mikronesia, Kenya, Honduras, Cina, dan Norwegia. Namun, sesuai dengan aturan Protokol Kyoto membutuhkan tiga per empat dari 192 negara anggota UNFCCC yang harus meratifikasi Protokol Kyoto Periode Komitmen Kedua agar Protokol Kyoto dapat diberlakukan. Selanjutnya setelah 2018 ada ketidakpastian terhadap Protokol Kyoto terutama setelah berakhirnya Protokol Kyoto 1997 Periode Komitmen Pertama. 4

Ketidakpastian ini dirasakan UNFCCC setelah COP ke-15 karena adanya

4 Andreas Pramudianto, “Dari Kyoto Protocol 1997 Hingga Paris Agreement 2015: Dinamika Diplomasi

Perubahan

Iklim

Global

Dan

Asean

Menuju

2020”,

diakes

di:

https://www.google.com/url? sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=10&cad=rja&uact=8&ved=2ahUKEwiHtsS414LhAh VKT30KHUfUBjAQFjAJegQIABAC&url=http%3A%2F%2Fglobal.ir.fisip.ui.ac.id%2Findex.php %2Fglobal%2Farticle%2Fdownload %2F119%2F196&usg=AOvVaw3p2Ye5OVnhCUsnZmWEClIN pada tanggal 14 Maret 2019.

beberapa negara Annex I yang mengundurkan diri di Periode Komitmen Kedua yang sangat berpengaruh pada masa depan Protokol Kyoto. Pengunduran diri dari Kanada sebagai salah satu pemain utama pada Periode Komitmen Pertama, ditambah dengan tidak berpartisipasinya Amerika Serikat membuat posisi Protokol Kyoto yang semakin rapuh. Pada COP ke-13 di Nusa Dua, Bali di mana sekitar 186 negara terlihat enggan terlibat dalam Protokol Kyoto karena merasa pelaksanannya dapat merugikan bagi negara mereka. Termasuk Amerika, mereka hanya bersedia terlibat jika bahaya langsung mengenai mereka. Amerika cenderung menolak dalam komitmen dan mengabaikan kepentingan masyarakat dunia. Selanjutnya proses negosiasi yang alot mengenai jumlah emisi yang harus dikurangi dan juga pengimplementasian kerangka panjang yang telah diputuskan memanas akibat negara-negara besar yang tidak dapat mempertahankan diskusi integratif yang produktif. Mereka cenderung memilih untuk memasukkan kepentingan yang menguntungkan mereka dalam memenuhi kebutuhannya. Dalam COP 15 tahun 2009 di Copenhagen negara-negara seperti Amerika, Cina, dan 23 negara lainnya cenderung memasukkan kepentingan politik mereka di dalam konferensi. Kesepakatan politik yang berbentuk kompromi tersebut dirumuskan secara tertutup oleh 25 negara menjelang berakhirnya COP 15. Kompromi tersebut berisi bahwa mereka akan menghentikan tugas untuk mencapai

kesepakatan perubahan iklim dan membuat konferensi di Copenhagen ini untuk mencapai kesepakatan yang tidak mengikat secara politik bagi para negara peserta. karena

Penyebab munculnya naskah kompromi ini adalah

negara-negara yang

hadir dalam konferensi

tidak dapat

menyepakati pengurangan jumlah emisi gas karbon dan juga Cina yang enggan menerima apabila emisi gas rumah kacanya dikontrol oleh badan independen.

Sikap

negara-negara

yang

hadir

yang

tidak

dapat

menyepakati jumlah pengurangan emisi maupun Cina yang cenderung ingin memenuhi keinginan sendiri ini menyebabkan Protokol Kyoto tidak mengalami perkembangan yang berarti. Selain karena hal tersebut, naskah kompromi yang disepakati oleh 25 negara tersebut menyebabkan banyak negara yang tidak ingin lagi berkomitmen kuat dalam menjalankan Protokol Kyoto. Dalam naskah kompromi tersebut dirumuskan bahwa negara-negara berkembang hanya akan diberikan jaminan bantuan keuangan untuk menghadapi dampak dari perubahan iklim.

5

Namun

kesepakatan naskah kompromi tersebut tidak diakui oleh UNFCCC karena tidak adanya keterlibatan dari seluruh peserta konferensi mengenai kesepakatan tersebut. Hal ini menyebabkan UNFCCC menutup COP 15 dengan tanpa menghasilkan kesepakatan mengikat secara hukum maupun kerangka jangka panjang dari Protokol Kyoto itu sendiri.

5 . Agus Setiawan, “KTT Kopenhagen Berakhir Tanpa Hasil”, diakses di: https://www.dw.com/id/ktt-kopenhagen-berakhir-tanpa-hasil/a-5039010 pada tanggal 15 Maret 2019.

Pada COP ke-21 yang diselenggarakan di Paris Perancis tanggal 30 November 2015 menemui titik terang bagi Protokol Kyoto yang hampir mengalami kegagalan karena ketidakefektivitasannya dan banyak negara menganggap Protokol Kyoto tidak relevan lagi. Pada COP tersebut, terbentuklah kesepakatan rancangan yang disusun oleh Ad Hoc Working Group on the Durban Platform for Enhanced Action yaitu Paris Agreement 2015. Rancangan yang berhasil dibentuk oleh lebih dari 156 negara ini kembali menunjukkan arah dalam melanjutkan Protokol Kyoto 1997. Paris Agreement menerapkan prinsip yang berbeda, yakni applicable for all. Dalam Paris Agreement terdapat komitmen yang dapat menjamin negaranegara maju untuk berkontribusi dalam penurunan emisi hingga tahun 2030. Pada umumnya, perbedaan serta hambatan dalam negosiasi Protokol Kyoto ini terjadi akibat adanya perbedaan pandangan dari masing-masing negara. Misalnya, Amerika Serikat yang menuntut bahwa setiap komitmen jangka panjang seharusnya berlaku untuk semua negara signifikan. Hal ini menuai tuntutan dari Cina dan India karena menurutnya emisi per kapitanya jauh lebih rendah dibanding Amerika Serikat. Kedua negara tersebut menghendaki bahwa negara-negara Annex I tetap memenuhi janjinya sesuai dengan apa yang telah ditetapkan pada Protokol Kyoto.

DAFTAR REFERENSI BUKU

Kurniawan, Andy. 2016.Strategi dan Taktik Negosiasi Integratif. Papers. Lewicki, Roy J., Barry, Bruce, & Saunders, David M. 2012. Negosiasi Edisi 6. Jakarta: Salemba Humanika. Roy, S.L. 1991. “Diplomasi”. Jakarta: Rajawali Pers. Spangler,

Brad.

2003.

Integrative

or

Interest-Based

Bargaining.

dalam Beyond Intractability, (eds.) Guy Burgess dan Heidi Burgess. Conflict Information Consortium, University of

Colorado, Boulder.

SKRIPSI DAN MAKALAH Pramudianto, Andreas. 2016. Dari Kyoto Protocol 1997 Hingga Paris Agreement 2015: Dinamika Diplomasi Perubahan Iklim Global Dan Asean

Menuju

2020.

Diakes

di:

https://www.google.com/url?

sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=10&cad=rja&uact=8&ved=2ah UKEwiHtsS414LhAhVKT30KHUfUBjAQFjAJegQIABAC&url=http%3A %2F%2Fglobal.ir.fisip.ui.ac.id%2Findex.php%2Fglobal%2Farticle %2Fdownload %2F119%2F196&usg=AOvVaw3p2Ye5OVnhCUsnZmWEClIN tanggal 14 Maret 2019.

pada

Utama, Meria. 2014. Kebijakan Pasca Ratifikasi Protokol Kyoto Pengurangan Dampak Emisi Rumah Kaca Dalam Mengatasi Global Warming. Diakses di: eprints.unsri.ac.id/5056/ pada tanggal 14 Maret 2019. Wiratama, Iko Dian. 2016. Strategi dan Taktis Negosiasi Integratif. Diakses di: https://ikodianw.files.wordpress.com/2016/10/strategi-dan-taktisnegosiasi-integratif.docx pada tanggal 15 Maret 2019.

ARTIKEL INTERNET Setiawan, Agus. 2009. KTT Kopenhagen Berakhir Tanpa Hasil. Diakses di: https://www.dw.com/id/ktt-kopenhagen-berakhir-tanpa-hasil/a-5039010 pada tanggal 15 Maret 2019. Watkins, Michael, Susan Rosegrant. 2001. Breakthrough International Negotiation: How Great Negotiators Transformed the World's Toughest Post-Cold War Conflicts. San Francisco: Jossey-Bass. Diakses di: http://www.beyondintractability.org/bksum/watkins-breakthrough

pada

tanggal 19 Januari 2019. WWF.

Negotiation:

Kyoto

Protocol.

Diakses

di:

https://www.wwf.or.id/tentang_wwf/upaya_kami/iklim_dan_energi/solus ikami/negotiation_kyoto_p.cfm pada tanggal 14 Maret 2019

Related Documents


More Documents from "lp3y.org"