Fiqih Jinayah Kelompok 6.docx

  • Uploaded by: Satria Prastyo
  • 0
  • 0
  • December 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Fiqih Jinayah Kelompok 6.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 2,968
  • Pages: 15
MAKALAH “PERTANGGUNG JAWABAN PIDANA” Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah FIQIH JINAYAH DOSEN PENGAMPU : M. AMIN NASUTION, M.A,. Disusun oleh: KELOMPOK 6 JURUSAN SIYASAH III C ENDA NUR HUSNA

: 0203172096

SATRIA

: 0203172099

AKMAL HAKIM HARAHAP

: 0203172101

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUMATERA UTARA MEDAN 2018/2019

KATA PENGANTAR Puji syukur kehadirat Allah SWT atas berkat, rahmat dan hidayah-Nya kami bisa menyelesaikan makalah ini yang berjudul “Pertanggungjawaban Pidana”. Makalah ini kami buat tentunya tidak lepas dari berbagai pihak, baik secara moral maupun materil sehingga makalah ini dapat terselesaikan meskipun jauh dari kesempurnaan. Tidak lupa kami ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang mendukung, sehingga makalah yang merupakan tugas kuliah selesai tepat pada waktunya. Terima kasih kepada Dosen yang telah membimbing kami sampai kami bisa menyelesaikan tugas yang diberikan. Kami berharap kepada temen-teman mahasiswa untuk sedia memberikan saran serta kritik guna menyempurnakan makalah ini. Dan semoga makalah ini membawa manfaat bagi kita semua.

Medan, 08 november 2018

Pemakalah

DAFTAR ISI KATA PENGANTAR ......................................................................................... i DAFTAR ISI ........................................................................................................ ii BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG ............................................................................. 1 B. RUMUSAN MASALAH ......................................................................... 1 C. TUJUAN PENULISAN ........................................................................... 1 BAB II PEMBAHASAN A. PENGERTIAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ...................... 2 B. HAPUSNYA PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ......................... 3 C. SISTEM PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DALAM HUKUM PIDANA POSITIF ................................................... 8 D. PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DALAM HUKUM ISLAM ..................................................................................... 10 E. PEMBATALAN HUKUMAN................................................................. 10 BAB III PENUTUP A. KESIMPULAN ........................................................................................ 11 B. SARAN .................................................................................................... 11 DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 12

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sistem pertanggungjawaban pidana dalam hukum pidana positif saat ini menganut asas kesalahan sebagai salah satu asas disamping asas legalitas. Sistem pertanggungjawaban pidana dalam hukum pidana nasional menerapkan asas tiada pidana tanpa kesalahan yang merupakan salah satu asas fundamental yang perlu ditegaskan secara eksplisit sebagai pasangan asas legalitas. Kedua asas tersebut tidak dipandang syarat yang kaku dan bersifat absolut. Dalam pengertian tindak pidana tidak termasuk pertanggungjawaban pidana. Tindak pidana hanya menunjuk kepada dilarang dan diancamnya perbuatan dengan suatu pidana. Namun orang yang melakukan tindak pidana belum tentu dijatuhi pidana sebagaimana yang diancamkan, hal ini tergantung pada “ apakah dalam melakukan perbuatan ini orang tersebut mempunyai kesalahan”, yang menunjuk kepada asas dalam pertanggungjawaban dalam hukum pidana : “tidak dipidana jika tidak ada kesalahan (geen straf zonder schuld; actus non facit reum nisi mens sir rea)”. Asas ini memang tidak diatur dalam hukum tertulis tapi dalam hukum tidak tertulis yang juga berlaku di Indonesia. B. Rumusan Masalah 1. Apa pengertian pertanggungjawaban pidana? 2. Bagaimana pertanggungjawaban pidana terhapus? 3. Bagaimana Sistem Pertanggungjawaban Pidana Dalam Hukum Pidana Positif? 4. Bagaimana Pertanggungjawaban Pidana Dalam Hukum Islam? 5. Bagaimana pembatalan hukuman itu terjadi? C. Tujuan Penulisan 1. Untuk mengetahui pengertian pertanggungjawaban pidana. 2. Untuk memahami bagaimana pertanggungjawaban pidana bisa terhapus. 3. Untuk mengetahui Sistem Pertanggungjawaban Pidana Dalam Hukum Pidana Positif 4. Untuk mengetahui Pertanggungjawaban Pidana Dalam Hukum Islam. 5. Untuk memahami bagaimana pembatalan hukuman bisa terjadi.

BAB II PEMBAHASAN A. PENGERTIAN PERTANGGUNG JAWABAN PIDANA Pertanggungjawaban

pidana

dalam

istilah

asing

tersebut

juga

denganteorekenbaardheid atau criminal responsibility yang menjurus kepada pemidanaan petindak dengan maksud untuk menentukan apakah seseorang terdakwa atau tersangka dipertanggung jawabkan atas suatu tindakan pidana yang terjadi atau tidak. Dalam Pasal 34 Naskah Rancangan KUHP Baru (1991/1992) dirumuskan bahwa pertanggungjawaban pidana adalah diteruskannya celaan yang objektif pada tindak pidana berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku.1 Secara subjektif kepada pembuat yang memenuhi syarat-syarat dalam undang-undang (pidana) untuk dapat dikenai pidana karena perbuatannya itu. Sedangkan, syarat untuk adanya pertanggungjawaban pidana atau dikenakannya suatu pidana, maka harus ada unsur kesalahan berupa kesengajaan atau kealpaan. Pasal 27 konsep KUHP 1982/1983 mengatakan pertanggungjawaban pidana adalah diteruskannya celaan yang objektif ada pada tindakan berdasarkan hukum yang berlaku, secara subjektif kepada pembuat yang memenuhi syaratsyarat undang-undang yang dapat dikenai pidana karena perbuatannya itu.2 Konsep rancangan KUHP Baru Tahun 2005/2005, di dalam pasal 34 memberikan

definisi

pertanggungjawaban

pidana

sebagai

berikut:

Pertanggungjawaban pidana ialah diteruskannya celaan yang objektif yang ada pada tindak pidana dan secara subjektif seseorang yang memenuhi syarat untuk dapat di jatuhi hukuman pidana karena perbuatannya itu. Di dalam penjelasannya di kemukakan: tindak pidana tidak berdiri sendiri, itu baru bermakna manakala terdapat pertanggung jawaban pidana. Ini berarti setiap orang yang melakukan tindak pidana tidak dengan sendirinya harus di pidana. Untuk dapat dipidana harus ada pertanggungjawaban pidana.

1

Hamzah Hatrik, Asas Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana Indonesia, Jakarta:Raja Grafindo, 1996, hal 11 2 Djoko Prakoso, Pembaharuan Hukum Pidana Di Indonesia. Yogyakarta: Liberty, 1987. Hal 75

Pertanggung

jawaban

pidana

lahir

dengan

diteruskannya

celaan

(vewijbaarheid) yang objektif terhadap perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak pidana yang berlaku, dan secara subjektif kepada pembuat tindak pidana yang memenuhi persyaratan untuk dapat dikenai pidana karena perbuatannya. Pertanggung jawaban pidana ini tidak hanya bagi orang, tetapi juga berlaku bagi badan hukum. Karena badan hukum ini tidak berbuat secara langsung

mempertanggung jawabkan perbuatannya, pertanggung jawaban

dikenakan kepada orang yang mewakilinya. Hukuman dimaksudkan sebagai upaya mewujudkan terciptanya ketertiban dan ketentraman masyarakat. Hukuman yang merupakan beban tanggungjawab pidana,dipikulkan kepada pembuat jarimah untuk terciptanya tujuan tadi. Untuk terciptanya tujuan tersebut, hukuman harus: 1. Memaksa seseorang untuk tidak melakukan ulang perbuatannya. 2. Menghalangi keinginan manusia untuk melakukan hal serupa, karena bayangan yang ditimbulkan atas hasil perbuatannya akan diterimanya sebagai sesuatu yang sangat merugikan dirinya. 3. Sanksi yang diterima pembuat jarimah harus pula bersesuaian dengan hasil perbuatannya. 4. Sanksi hendaknya merata tanpa pertimbangan yang menunjukan serajat manusia. 5. Hukuman harus diterima jarimah, tidak diberati dan tidak memberati, selain pembuat jarimah karena adanya pertalian geneokologis, kekeluarga.

B. HAPUSNYA PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA Pertanggung jawaban pidana bisa terhapus karena adanya sebab, baik yang berkaitan dengan perbuatan sipelaku tindak pidana maupun sebab yang berkaitan dengan pembuat delik. Adapun terhapusnya pertanggung jawaban pidana karena perbuatan itu sendiri disebabkan perbuatan yang dilakukan itu diperbolehkan menurut syarat. Selain itu, perbuatan yang dilakukan termasuk dalam kategori mubah atau tidak dilarang melakukannya. Selanjutnya, perbuatan-perbuatan yang termasuk ke dalam kategori kedua, yang berhubungan dengan kondisi pelaku

karena perbuatan itu sendiri merupakan suatu perbuatan yang dilarang melakukannya, namun pelakunya tidak dijatuhi hukuman karena keadaan yang ada didalam dirinya.3 Mengenai jenis yang pertama, yaitu terhapusnya hukuman Karena perbuatan itu sendiri, diantaranya: a.

Pembelaan Yang Sah

Dalam islam pembelaan yang sah terbagi kedalam dua bagian: 1. Apa yang disebut dengan pembelaan yang bersifat khusus dan diistilahkan dengan daf’ush sha’il atau menolah penyerang. 2. Pembelaan yang bersifat umum, yang dalam istilah popular disebut sebagai amar ma’ruf nahyi munkar. Pembelaan khusus adalah kewajiban seseorang untuk mempertahankan atau menjaga diri atau nyawa, harta miliknya atau milik orang lain, dengan memakai tenaganya dari setiap serangan yang datang. Sumber hukumnya QS. A-l baqarah ayat 194: َّ ‫ش ْه ُر ْال َح َرا ُم ِبال‬ َّ ‫ال‬ ۚ ‫اص ۚ فَ َم ِن ا ْعتَدَ ٰى َعلَ ْي ُك ْم فَا ْعتَدُوا َعلَ ْي ِه ِب ِمثْ ِل َما ا ْعتَدَ ٰى َعلَ ْي ُك ْم‬ ٌ ‫ص‬ َ ِ‫ش ْه ِر ْال َح َر ِام َو ْال ُح ُر َماتُ ق‬ ْ َ َّ ‫َّللاَ َوا ْعلَ ُموا أ َّن‬ َّ ‫َواتَّقُوا‬ َ‫َّللاَ َم َع ال ُمتَّقِين‬ Artinya: “Barang siapa yang menyerang kamu, maka seranglah dia dengan deimbang dengan serangannya terhadapmu. Bertaqwalah kamu, seseungguhnya Allah beserta orang-orang yang bertakwa”. (QS. Al-Baqarah:194). Seseorang yang melakuakan pembelaan yang sah , harus memenuhi persyaratan, yaitu adanya upaya

tindakan melawan hukum (perbuatan

sipenyerang), perlawanan si terserang dilakukan seketika, tiada pilihan lain, dan penyerangan pun dilakukan dengan seimbang, artinya sesuai dengan kekuatan si penyerang Dalam Al-Quran upaya in disebut sebagai suatu kewajiban bagi umat islam, dapat dilihat dalam surat Ali-Imran ayat 104: َ‫وف َو َي ْن َه ْونَ َع ِن ْال ُم ْنك َِر ۚ َوأُو ٰلَئِكَ ُه ُم ْال ُم ْف ِلحُون‬ ِ ‫َو ْلت َ ُك ْن ِم ْن ُك ْم أ ُ َّمةٌ يَدْعُونَ إِلَى ْال َخي ِْر َويَأ ْ ُم ُرونَ بِ ْال َم ْع ُر‬ Artinya: “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar[217]; merekalah orang-orang yang beruntung.” (QS.Ali-Imran:104). 3

Drs.H. Rahmat Hakim (Hukum Pidana islam),2000. hal 175

Ma'ruf: segala perbuatan yang mendekatkan kita kepada Allah; sedangkan munkar ialah segala perbuatan yang menjauhkan kita dari pada-Nya. Batas antara pembelaan umum dan khusus sangatlah tipis. Sebagaimana yangtelah kita ketahui bahwa yang namanya pembelaan khusus adalah menolak serangan yang datang dengan objek keselamatan diri atau orang lain, harta benda ,dan kehormatan. Adapun objek pembelaan

yang umum,sesuai namanya

ditujukan untuk kepentingan umum, keamanan, ketertiban, dan lain-lain. Perbedaan lain dari kedua istilah tersebut adalah pada pembelaan khusus, penolakan hanya terjadi pada waktu adanya serangan terhadap dirinya atau orang lain, sedangkan pembelaan umum, penolakan itu terjadi walaupun tidak ada serangan sebab intinya adalah mencegah manusia berbuat suatu maksiat ataupun sesuatu yang dilarang. b.

Pengajaran

1. Pengajaran Terhadap Istri Sesuai dengan kodratnya, suami diberikan kedudukan yang lebih tinggi dari pada istrinya, yaitu sebagai pemimpin rumah tangga. Sebagai imbalan dari kewajibannya ( suami), laki-laki mempunyai hak untuk memberikan hukuman kepada istrinya apabila si istri tidak menaati perintahnya. Dalam hal pemberian hukum itu, suami tidak boleh melakukan pemberian hukuman fisik kepada istrinya, melainkan memberinya pengajaran untuk mencegah timbulnya kemaksiatan dimasa yang akan datang. Adapun usaha yang dilakukannya adalah sesuai dengan apa yang telah digambarkan dalam surat An-Nisa. Yaitu pertama harus dahulu diberi nasihat. Selanjutnya apabila istri mengulangi, dilakukan tindakan “dirumahkan” ditempat tidurnya, dan bila tidak berhasil, ia berhak memukul istrinya. Adapun mengenai wilayah pemukulan dan cara pemukulan, para ulama menyepakatinya, seperti halnya hukuman jilid. Pemukulan tidak diarahkan kea rah muka (kepala) dan daerah yang sensitive seperti farji dan dada. Dan dalam pemukulan itu harus dihindarkan dari timbulnya noda yang sulit dihilangkan, mengeluarkan darah, mematahkan tulang, dan sebagainya.

Namun apabila perbuatan yang dilakukan suami tiu melampaui batas maka dia bisa dipinta pertanggung jawabannya. 2. Pengajaran terhadap Anak Seperti halnya suami pada istri, seorang ayah juga dapat melakukan tindakan hokum terhadap anaknya. Hak yang sama juga diberikan kepada guru, pelatih, dan orang yang diberi wasiat dan orang yang menjadi wali anak tersebut. Mereka semua diberi kewenangan untuk memberikan pengajaran dan apabila pemukulan itu melampaui batas, maka tetap hal itu bisa dipinta pertanggung jawabannya.4 c.

Pengobatan Seorang dokter dibebaskan dari pertanggungjawaban pidana akibat hasil

pengobatan tersebut apabila memenuhi syarat: 1. Dia benar-benar sebagai Dokter. 2. Pengobatan dilakukan semata-mata atas dorongan atau niat baik. 3. Tindak pengobatan yang dilakuakn sesuai aturan atau disiplin ilmu kedokteran dan kode etiknya. 4. Disetujui si sakit atau orang yang mewakilinya. Namun apabila dokter tersebut menyalahi farmakologis dan etika kedokteran dalam menangani penderita dan kemumdian terjadi sesuatu pada pasiennya, ia dapat dimintai pertanggungjawaban pidana. d.

Olahraga Olahraga dan permainan yang berkaitan denga pembinaan fisik lainnya

sangat dianjurkan oleh islam. Kegiatan ini sangat bermanfaat bagi kesehatan tubuh. Pada olahraga kemungkinan terjadinya kecelakaan sangat besar, terutama pada cabang olahraga yang memerlukan stamina luar biasa serta memerlukan kekuatan fisik dan adu kekuatan. Namun kecelakan tersebut dapat dihindari jika para pemain mengikuti aturan yangtelah disepakati. Dan kecelakaan dalan olahraga adalah suatu kewajaran, dan hal itu tidak dikenai pertanggungjawaban 4

Djoko Prakoso, Pembaharuan Hukum Pidana Di Indonesia. Yogyakarta: Liberty, 1987. Hal 169

pidana. Namun, kecelakaan yang ditimbulkan akibat ke sengajaan atau kecurangan untuk mencelakakan lawan, dapat dimintai pertanggung jawaban pidana. e.

Hilangnya Jaminan Keselamatan Hilangnya jaminan keselamatan adalah hilangnya jaminan keselamatan

jiwa dan harta sehingga diperbolehkan mengambil tindakan terhadap jiwa, anggota badan atau harta bendanya. Jaminan keselamatan itu sendiri sebelumnya melekat pada seseorang, namun karena perbuatan yang dilakukannya jaminan keselamatan jiwa dan harta hilang. Kafir Harbi, mereka yang tidak memeluk islam dan berdomisili di negeri

lawan

ataupun berdomisili dinegerinya sendiri, namun

tidak

mempunyai perjanjian keamanan bukan musta’min. 1. Pelaku jarimah riddah atau keluar dari islam menuju agama lain, pelakunya disebut murtad. 2. Pelaku perzinaan yang telah atau dalam keadaan menikah atau pezina muhsan. 3. Pelaku jarimah hirabah, pengganggu keamanan dijalan. 4. Pelaku maker, melawan pmerintah yang sah atau disebut jarimah al-baghyu dan pelakunya disebut bughat. 5. Pelaku perbuatan dikenai hukuman qishash. 6. Pelaku jarimah pencurian yang terkena hukuman had. Oleh karna itu, kalau seorang muslim membunuh orang-orang tersebut, ia tidak akan dimintai pertanggungjawaban sebagai pelaku jarimah qiashas sebab mereka tidak mempunyai jaminan atas jiwanya. f.

Karena Perintah Jabatan Yang dimaksud dengan karena perintah jabatan adalah perbuatan yang

dilakuakan merupakan bagian dari kewajiban dalam pekerjaannya atau merupakan wewenangnya. Dan oleh karna itu bagi mereka tidak ada pertanggungjawaban pidana. Syariat

islam

telah

meletakkan

beban

kepada

penguasa

untuk

melaksanakan kewajibannya demi terciptanya ketertiban umum. Mereka yang melaksanakannya adalah petugas yang berwenang. Melaksanakannya sesuai

dengan tingkatan kewenangan yang dimilikinya. Oleh karna itu, mereka tidak dibebani pertanggungjawaban pidana apabila melaksanakan sesuai dengan wewenang nya. Contohnya hakim dan algojo. Adapun mengenai terhapusnya pertanggungjawaban pidana atau terhapusnya hokum karena berkaitan dengan kondisi pelaku terdapat dalam empat keadaan. g.

Karena paksaan Untuk menghindari seseorang dari pertanggung jawaban pidana yang

berkaitan dengan paksaan ini, paksaan itu haru memenuhi criteria: 1. Paksaan tersebut merupakan ancaman berat 2. Ancaman tersebut merupakan perintah yang segera atau hampir segera, manakala orang dipaksa tidak melakukan kehendaknya, ancaman itu pasti akan jatuh 3. Orang yang memaksa itu dipercaya dapat melaksanakan ancamannya. 4. Ancaman itu akan benar-benar terjadi manakala dia menolak. Sehingga ia tidak

dapat terhindar.

Ø karena gila Ø karena mabuk Ø karena belum dewasa Ketiga hal tersebut menghapus pertangguingjawaban pidana, seperti dalam hadist nabi: “Kalam diangkat dari tiga kelompok, anak-anak hingga baligh, orang yang tertidur sampai bangun, dan orang gila sampai sadar (sembuh).” C. SISTEM PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DALAM HUKUM PIDANA POSITIF Pembicaraan mengenai pertanggungjawaban pidana tidak dapat dilepaskan dari

pembicaraan

mengenai

perbuatan

dipertanggungjawabkan untuk dipidana,

pidana. apabila

Orang

tidak

mungkin

ia tidak melakukan tindak

pidana. Para penulis sering menggambarkan bahwa dalam menjatuhkan pidana unsur “ tindak pidana” dan “pertanggungjawaban pidana” harus dipenuhi. Gambaran itu dapat dilihat dalam bentuk skema berikut: TINDAK PIDANA + PERTANGGUNGJAWABAN = PIDANA

Unsur tindak

pidana dan kesalahan (kesengajaan) adalah unsur yang

sentral dalam hukum pidana. Unsur perbuatan pidana terletak dalam lapangan objektif yang diikuti oleh unsur sifat melawan hukum, sedangkan unsur pertanggungjawaban pidana merupakan unsur subjektif yang terdiri dari kemampuan

bertanggung

jawab

dan

adanya

kesalahan

(kesengajaan

dan kealpaan).5 a. Sistem Pertanggungjawaban Pidana dalam KUHP KUHP tidak menyebutkan secara eksplisit sistem pertanggung jawaban pidana yang dianut. Beberapa pasal KUHP sering menyebutkan kesalahan berupa kesengajaan atau kealpaan. Namun sayang,

kedua

istilah

tersebut

tidak

dijelaskan lebih lanjut oleh undang-undang tentang maknanya. Jadi, baik kesengajaan maupun kealpaan tidak ada keterangan lebih lanjut dalam KUHP. Dari rumusan yang tidak jelas itu, timbul pertanyaan, apakah pasalpasal tersebut sengaja dibuat begitu, dengan maksud ke arah pertanggungjawaban terbatas (strict liability)? Kalau benar, tanpa disadari sebenarnya KUHP kita juga menganut pengecualian terhadap asas kesalahan, terutama terhadap pasalpasal pelanggaran.6 b. Sistem Pertanggungjawaban Pidana di Luar KUHP Untuk

mengetahui

pertanggungjawaban

kebijakan

legislatif

pidana di luar

dalam

menetapkan sistem

KUHP, Seperti contoh dalam

perundang - undangan dibawah ini : 1. UU No. 7 Drt. Tahun 1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi; 2. UU No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika; 3. UU No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika. 4. UU No.23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Undang-undang tersebut sengaja dipilih khusus yang menyimpang dari ketentuan terutama

5

KUHP

dan

mengenai

subjek

KUHAP delik

dan

yang

bersifat

pertanggungjawaban

umum, pidana,

Andi Zaenal Abidin, Hukum Pidana I, Jakarta:Sinar Grafika, 1983, hal 260 Choerul Huda, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana tanpa Kesalahan, Jakarta:Kencana, 2006 hal. 62 6

serta undang

proses

beracara

di

pengadilan.

Dari

masing-masing

undang-

tersebut dapat dianalisis kecenderungan legislatif dalam menetapkan

sistem

pertanggungjawaban

sosial

ekonomi

pidana

Masyarakat

yang

sesuai berdampak

dengan

perkembangan

pada

perkembangan

kejahatan. Baik negara-negara civil law maupun common law, umumnya pertanggungjawaban pidana dirumuskan secara negatif. . D. PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DALAM HUKUM ISLAM Ahmad Hanafi mengemukakan batasan atau pengertian pertanggung jawaban pidana dalam syari’at Islam ialah pembebasan seseorang dengan hasil (akibat) perbuatan (atau tidak ada perbuatan) yang dikerjakannya dengan kemauan sendiri, di mana ia mengetahui maksud-maksud dan akibat-akibat dari perbuatannya itu. Pertanggungjawaban pidana tersebut ditegakkan atas tiga hal, yaitu: adanya perbuatan yang dilarang, dikerjakan dengan kemauan sendiri, pelakunya mengetahui akibat perbuatan tersebut. Kalo ketiga hal diatas ada maka terdapat pertanggungjawaban pidana, dan kalau tidak terdapat maka tidak ada pertanggungjawaban pidana. Menurut Abdul Qader ’Oudah syari’ah menetapkan tangggung-jawab hanya kepada orang hidup yang mempunyai kewajiban. Kematian seseorang membatalkan seluruh responsibilitas dan akuntanbilitas. Syari’ah juga memaafkan perbuatn melanggar hukum dari anak-anak sampai mencapai usia baligh.7 E. PEMBATALAN HUKUMAN Beberapa hal yang dapat membatalkan hukum: 1. meninggalnya sipembuat jarimah. 2. Hilangnya anggota badan yang akan dijatuhi hukuman. 3. Bertobat. 4. Korban dan wali/ahli waris, memaafkannya atau ulul amri dalam kasus ta’zir yang berkaitan dengan hak perseorangan. 5. Adanya upaya damai antara pelaku denga korban atau wali/ahli waristnya dalam kasus jarimah qishash/diyat. 6. Lewatnya waktu tertentu dalam pelaksanaan hukuman. 7

Ibid., hlm 69

BAB III PENUTUP A.

KESIMPULAN Pertanggung

jawaban

pidana

dalam

istilah

asing

tersebut

juga

denganteorekenbaardheid atau criminal responsibility yang menjurus kepada pemidanaan petindak dengan maksud untuk menentukan apakah seseorang terdakwa atau tersangka dipertanggung jawabkan atas suatu tindakan pidana yang terjadi atau tidak. Pertanggung jawaban pidana bisa terhapus karena adanya sebab, baik yang berkaitan dengan perbuatan sipelaku tindak pidana maupun sebab yang berkaitan dengan pembuat delik. Adapun terhapusnya pertanggung jawaban pidana karena perbuatan itu sendiri disebabkan perbuatan yang dilakukan itu diperbolehkan menurut syarat. Beberapa hal yang dapat membatalkan hukum: a. Meninggalnya sipembuat jarimah. b. Hilangnya anggota badan yang akan dijatuhi hukuman. c. Bertobat. d. Korban dan wali/ahli waris, memaafkannya atau ulul amri dalam kasus ta’zir yang berkaitan dengan hak perseorangan. e. Adanya upaya damai antara pelaku denga korban atau wali/ahli waristnya dalam kasus jarimah qishash/diyat. f. Lewatnya waktu tertentu dalam pelaksanaan hukuman. B.

SARAN Dalam makalah ini masih banyak kekurangan, baik dari kapasitas

materinya yang kurang. Mohon kritik dan saran yang membangun sebagai bahan instropeksi kami dalam penyusunan sebuah makalah.

DAFTAR PUSTAKA Hamzah Hatrik, Asas Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana Indonesia, Jakarta:Raja Grafindo, 1996 Djoko Prakoso, Pembaharuan Hukum Pidana Di Indonesia. Yogyakarta: Liberty, 1987 Naskah Rancangan KUHP Baru Buku I dan II Tahun 2004/2005 (penjelasan). Andi Hamzah, Asas Asas Hukum Pidana, Jakarta: Rineka Cipta, 1994 Rahmat Hakim (Hukum Pidana islam), 2000. Andi Zaenal Abidin, Hukum Pidana I, Jakarta:Sinar Grafika, 1983 Choerul Huda, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana tanpa Kesalahan, Jakarta:Kencana, 2006

Related Documents


More Documents from "Glady Sasanti Ayuninggar"