Fiqih Muammalah Kelompok 3.docx

  • Uploaded by: Glady Sasanti Ayuninggar
  • 0
  • 0
  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Fiqih Muammalah Kelompok 3.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 4,063
  • Pages: 22
AKAD MU’AWADHAH DAN TIJARAH Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah: Fiqh Muamalah Dosen Pengampu : Dr. Taufiqurrahman K, SHI, MA

Disusun Oleh : Kelompok 3 1. Nana Dwi Mei Linawati

(1820610041)

2. Risha Nur Fitriani

(1820610047)

3. Glady Sasanti Ayuninggar

(1820610051)

4. Alfina Rahmawati

(1820610058)

5. Ahmad Sulthon Adib

(1820610064)

6. Tina Raisa Murti

(1820610066)

PROGRAM STUDI AKUNTANSI SYARIAH FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS TAHUN AKADEMIK 2019

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Manusia sebagai makhluk sosial, tidak lepas untuk berhubungan dengan orang lain dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup. Kebutuhan manusia sangatlah beragam, terkadang secara pribadi manusia tidak mampu untuk memenuhinya, dan harus terhubung dengan orang lain. Hubungan yang terjadi antara satu manusia dengan manusia lain untuk memenuhi kebutuhannya harus terdapat aturan-aturan yang menjelaskan hak dan kewajiban keduanya berdasarkan kesepakatan. Proses untuk membuat kesepakatan tentang aturan-aturan yang menjelaskan hak dan kewajiban dalam rangka memenuhi kehidupan keduanya, lazim disebut dengan proses berakad atau melakukan kontrak. Hal ini merupakan fitrah yang sudah ditakdirkan oleh Allah. Ajaran agama Islam yang bersumber pada wahyu Illahi dan Sunnaturasul mengajarkan kepada umatnya untuk berusaha mendapatkan kehidupan yang baik di dunia maupun di akhirat. Memperoleh kehidupan yang baik di akhirat inilah yang dapat menjamin tercapainya kesejahteraan hidup lahir dan batin. Dalam pembahasan fiqih, akad atau perjanjian yang digunakan untuk bertransaksi sangat beragam, sesuai dengan karakteristik dan spesifikasi kebutuhan yang ada.

B. Rumusan Masalah 1. Apa definisi Akad Mu’awadhah? 2. Apa definisi Akad Tijarah? 3. Bagaimana urgensi dalam Akad Mu’awadhah? 4. Bagaimana keutamaan dalam Akad Mu’awadhah? 5. Apa hikmah dari Akad Mu’awadhah? 6. Apa saja macam- macam Akad Mu’awadhah?

C. Tujuan Masalah 1. Untuk mengetahui definisi Akad Mu’awadhah. 2. Untuk mengetahui definisi Akad Tijarah. 3. Untuk mengetahui urgensi Akad Mu’awadhah. 4. Untuk mengetahui keutamaan Akad Mu’awadhah. 5. Untuk mengetahui hikmah Akad Mu’awadhah. 6. Untuk mengetahui macam- macam Akad Mu’awadhah.

BAB II PEMBAHASAN A. Definisi Akad Mu’awadhah ( ‫) معاوضه‬ Menurut bahasa mu’awadhah berasal dari kalimat

‫أع َواض‬

yang berarti

‫ال َخلَف َوالبَ َحل‬

‫ ْال ِع َوض‬jamaknya

(pengganti). 1

Menurut Dasuqi, ulama Malikiyah yang mendefinisikannya adalah sebagai berikut:

‫ض ِمنَ ْالخَانِبَي ِْن‬ ٍ ‫علَى ِع َو‬ َ ‫ع ْقدٌم ْحتَ ٍو‬ َ Artinya: “Akad yang berhubungan dengan tukar-menukar dari kedua belah pihak”

Menurut al-Tasuli, ulama Malikiyah yang mendefinisikannya sebagai berikut:

‫ب‬ ٍ ‫ان بِ ِمثْ ِل ِه ْأوثَ ْو‬ ٍ ‫ان ِبثَ ْو‬ ِ ‫ض بِ ْلعَ ْر‬ ِ ‫َبي ٌع العَ ْر‬ ٍ ‫ب ْأو َح َي َو‬ ٍ ‫ض َك َح َي َو‬ ‫ِب ِمثْ ِل ِه‬ Artinya: “Tukar-menukar harta dengan harta, seperti hewan dengan baju, hewan dengan hewan semisalnya, ataun baju dengan semisalnya”2

Adapun ulama kontemporer seperti al-Turkamani mendefinisikan mu’awadhah sebagaimana dikutip Qudzafi ‘Azat al-Ghanaim sebagai berikut:

ٍ ‫ت مت َزَ ا َما‬ ٍ ‫َاء ْالتِزَ ا َما‬ ‫ت متَقَابِلَ ٍة‬ ِ ‫اس اِ ْنش‬ ِ ‫س‬ َ ‫ْالمبَادَلَة الَّتِي تَقوم‬ َ ‫علَى أ‬ ‫َبيْنَ ْال َعاقِدَي ِْن‬ 1 2

Enang Hidayat, Transaksi Ekonomi Syari’ah, Remaja Rosdakarya, Bandung, 2016, hal.29. Ibid, hal. 30.

Artinya: “Tukar-menukar sesuatu yang dapat menegakkan dasar kelaziman akad diantara kedua belah pihak” Sedangkan Abd al-Razaq al-Sanhuri mendefinisikan mu’awadhah sebagai berikut:

َ ‫ْالعَ ْقدالَّذِي ياْخذَفِ ْي ِه ك ُّل ِمنَ ْالمتَ َعاقِدَي ِْن مقَا ِبالً ِل َما أ ْع‬ ‫طاه‬ Artinya: “Akad yang menjadikan masing-masing kedua belah pihak saling tukar menukar sesuatu”3 Dari definisi mu’awadhah menurut istilah adalah akad yang mengandung serah terima harta dari kedua belah pihak. Maksudnya satu pihak menyerahkan sesuatu dan yang lainnya menerimanya sambil menyerahkan penggantinya. Misalnya dalam akad jual beli, seorang penjual menyerahkan barang miliknya kepada pembeli dan pembeli menyerahkan penggantinya berupa uang kepada penjual. Akad dalam muamalah yang tergolong ke dalam mu’awadhah sebagaimana akan dikemukakan adalah jual beli (ba’i) dan sewa-menyewa atau upah-mengupah (ijarah). Mayoritas ulama membagi akad mu’awadhah secara ringkas ke dalam dua bagian, yaitu: Pertama: akad mu’awadhah mahdhah, kedua: akad mu’awadhah ghairu mahdhah. Akad mu’awadhah mahdhah berarti yang menjadi tujuan dari salah satu pihak adalah tukar-menukar harta. Maksudnya harta disini adalah mencakup manfaatnya. Misalnya jual beli (ba’i), dan sewa-menyewa atau upahmengupah (ijarah). Akad mu’awadhah ghairu mahdhah berarti yang menjadi tujuan dari salah satu pihak (bukan kedua belah pihak) adalah tukar-menukar harta. Misalnya khulu’ (perceraian yang diminta istri dari suaminya dengan memberikan ganti sebagai tebusannya).4

3 4

Ibid, hal. 30. Ibid, hal. 31.

Di antara kedua macam penbagian akad mu’awadhah tersebut penggunaan makna istilah akad mu’awadhah yang paling umum dalam bahasa fuqaha adalah akad mu’awadhah mahdhah yang dibangun berdasarkan asas saling tukar-menukar yang dilakukan oleh kedua belah pihak, baik berhubungan dengan harta atau manfaat.

B. Pengertiaan Akad Tijarah Secara bahasa, tijarah berasal dari bahasa Arab yang artinya perdagangan, perniagaan, dan bisnis. Secara istilah tijarah adalah akad perdagangan yaitu mempertukarkan harta dengan harta menurut cara yang telah ditentukan dan bermanfaat serta dibolehkan oleh syariah. Semua bentuk akad yang ditujukan untuk tujuan komersial memperoleh keuntungan.5 Akad tijarah/mu’awadhah (compensational contract) adalah segala macam perjanjian yang menyangkut for profit transaction. Akad-akad ini dilakukan dengan tujuan mencari keuntungan, karena itu bersifat komersil. Contoh akad tijarah adalah akad-akad investasi, jual-beli, sewa-menyewa.6 Akad mu’awadhah dan tijarah memiliki sedikit perbedaan dari segi pengertian secara bahasa, namun keduanya memiliki persamaan pada prinsip dan tujuan yaitu untuk mencari keuntungan bersifat komersil. Kemudian, berdasarkan tingkat kepastian dari hasil yang diperolehnya, akad tijarah dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu : 1. Natural Uncertainty Contracts (NCC) Dalam NCC, kedua belah pihak saling mempertukarkan aset yang dimilikinya, karena itu objek pertukarannya (baik barang maupun jasa) harus ditetapkan di awal akad dengan pasti, baik jumlahnya (quantity), mutunya (quality), harganya (price), dan waktu penyerahannya (time of delivery). Jadi kontrak-kontrak ini secara “sunnatullah” (by their nature) 5 http://maulidar14.blogspot.com/2016/10/jurnal-pembagian-akad-dalam-fiqh.html?m=1 diakses pada tanggal 12 Maret 2019 pukul 14.50 WIB. 6 Adiwarman A. Karim, Bank Islam Analisis Fiqih dan Keuangan Edisi Kelima, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2014, hal 70.

menawarkan return yang tetap dan pasti. Dalam akad-akad berikut, pihakpihak yang bertransaksi saling mempertukarkan asetnya (baik real assets maupun financial assets). Jadi masing-masing pihak tetap berdiri sendiri (tidak saling bercampur membentuk usaha baru), sehingga tidak ada pertanggungan risiko bersama. Juga tidak ada percampuran percampuran aset si A dengan si B. Yang ada misalnya adalah si A memberikan barang ke B, kemudian sebagai gantinya B menyerahkan uang kepada si A. Disini barang ditukarkan dengan uang, sehingga terjadilah jual-beli.7 Yang termasuk dalam kategori ini adalah kontrak-kontrak yang berbasis jualbeli, upah-mengupah, dan sewa-menyewa, yaitu: a. Akad Jual-Beli (Al-Bai’, Salam, dan Istishna’) Pada dasarnya ada 5 bentuk akad al-Bai’, yakni: 1)

al-Bai’ Naqdan Al-Bai’ Naqdan adalah akad jual beli biasa yang dilakukan secara tunai. (Al-Bai’ berarti jual beli, sedangkan naqdan artinya tunai). Uang ataupun barang diserahkan di muka pada saat yang bersamaan, yakni di awal transaksi (tunai).

2) al-Bai’ Muajjal Jual-beli dapat juga dilaksanakan tidak secara tunai, tapi dengan cicilan. Jual-beli cicilan ini secara umum disebut al-bai’ muajjal. Pada jenis ini, barang diserahkan di awal periode, sedangkan uang dapat diserahkan pada periode selanjutnya. Pembayaran ini dapat dilakukan secara cicilan selama periode utang, disebut taqsith atau dapat juga dilakukan secara sekaligus (lump-sum) di akhir periode, disebut muajjal. 3) al-Bai’ Taqsith Dimana si penjual menyatakan dengan terbuka kepada si pembeli mengenai tingkat keuntungan yang diambilnya. Bentuk jual-beli seperti ini dinamakan murabahah (terambil dari kata bahasa Arab ribhu, keuntungan). Dalam ilmu fiqih, akad 7

Ibid, hal. 71.

murabahah ini digunakan dalam praktik bank syariah, karena nasabah diasumsikan tidak begitu mengetahui teknis perhitungan bagi hasil. Jadi bank syariah memberitahukan tingkat keuntungan yang diambilnya kepada nasabah.8 4) Salam Dalam jual-beli jenis ini, barang yang ingin dibeli biasanya belum ada (misalnya masih harus diproduksi). Jual-beli salam adalah kebalikan dari jual beli muajjal. Dalam jual-beli salam, uang

diserahkan

sekaligus

dimuka

sedangkan

barangnya

diserahkan di akhir periode pembiayaan. 5) Istishna’ Akad

istishna’

sebenarnya

adalah

akad

salam

yang

pembayaran atas barangnya dilakukan secara cicilan selama periode pembiayaan (jadi tidak dilakukan secara lump-sum di awal). Istishna’ adalah kebalikan dari taqsith.9 b. Akad Sewa-Menyewa (Ijarah, Ju’alah dan Ijarah Muntahia Bittamlik) Ijarah adalah akad untuk memanfaatkan jasa, baik jasa atas barang ataupun jasa atas tenaga kerja. Bila digunakan untuk mendapatkan manfaat barang, maka disebut sewa-menyewa. Sedangkan jika digunakan untuk mendapatkan manfaat tenaga kerja, disebut upahmengupah. Sedangkan ju’alah adalah akad ijarah yang pembayarannya didasarkan atas kinerja (performance) objek yang disewa/diupah. Pada ijarah, tidak terjadi perpindahan kepemilikan objek ijarah. Objek ijarah tetap menjadi milik yang menyewakan. Ijarah yang membuka kemungkinan perpindahan kepemilikan atas objek ijarahnya ini disebut sebagai Ijarah Muntahia Bittamlik (IMBT).10 2. Natural Certainty Contracts (NUC)

8

Ibid, hal. 72-73. Ibid, hal. 74. 10 Ibid, hal. 75. 9

Dalam NUC, pihak-pihak yang bertransaksi saling mencampurkan asetnya (baik real assets maupun financial assets) menjadi satu kesatuan, dan kemudian menanggung risiko bersama-sama untuk mendapat keuntungan. Disini, keuntungan dan kerugian ditanggung bersama. Karena itu, kontrak ini tidak memberikan kepastian pendapatan (return), baik dari segi jumlah (amount) maupun waktu (timing)-nya. Yang termasuk dalam kontrak ini adalah kontrak-kontrak investasi. Kontrak investasi ini secara “sunnatullah” (by their nature) tidak menawarkan return yang tetap dan pasti. Jadi sifatnya tidak fixed and predetermined. Contoh NUC adalah sebagai berikut:11 a. Musyarakah (muwafadhah, ‘inan, wujuh, abdan, mudharabah) Akad musyarakah (atau disebut juga syirkah) mempunyai 5 variasi, yakni: muwafadhah, ‘inan, wujuh, abdan, mudharabah. Dalam syirkah mufawadhah, para pihak yang berserikat mencampurkan modal dalam jumlah yang sama, yakni Rp X dicampur dengan Rp X juga. Sedangkan

pada

syirkah

‘inan,

para

pihak

yang

berserikat

mencampurkan modal dalam jumlah yang tidak sama, misalnya Rp X dicampur dengan Rp Y. Dalam syirkah wujuh, terjadi percampuran antara modal dengan reputasi/nama baik seseorang (wujuh, berasal dari kata bahasa Arab yang berarti wajah = reputasi). Bentuk syirkah ‘abdan, dimana terjadi percampuran jasa-jasa antara orang yang berserikat. Misalnya ketika konsultan perbankan syariah bergabung dengan konsultan information technology untuk mengajarkan proyek sistem informasi Bank Syariah Z. Dalam syirkah bentuk ini, tidak terjadi percampuran percampuran modal (dalam arti uang), tetapi yang terjadi adalah percampuran keahlian/keterampilan dari pihak-pihak yang berserikat. Bentuk syirkah yang terakhir adalah syirkah mudharabah. Dalam syirkah ini, terjadi percampuran antara modal dengan jasa (keahlian/keterampilan) dari pihak-pihak yang berserikat. 11

Ibid, hal. 76.

Dalam semua bentuk syirkah tersebut, berlaku ketentuan sebagai berikut: bila bisnis untung maka pembagian keuntungannya didasarkan menurut nisbah bagi hasil yang telah disepakati oleh pihakpihak yang bercampur. Bila bisnis rugi, maka pembagian kerugiannya didasarkan menurut porsi modal masing masing pihak yang bercampur.12 b. Muzara’ah c. Musaqah d. Mukhabarah Pembedaan antara Natural Certainty Contracts (NCC) dengan natural uncertainty contracts (NCC) ini sangat penting, karena keduanya memiliki karakteristik khas yang tak boleh dicampuradukkan. Bila NCC diubah menjadi uncertain, terjadilah gharar ketidakpastian, unknown to both parties). Dengan kata lain, kita mengubah hal-hal yang sudah pasti menjadi tidak pasti. Hal ini melanggar “sunatullah”, karena itu dilarang. Demikian pula sebaliknya dilarang, yakni bila NCC diubah menjadi certain, maka terjadilah riba nasiah. Artinya, kita mengubah hal-hal yang harusnya tidak pasti menjadi pasti. Hal ini pun melanggar sunatullah, karena itu dilarang. Tetapi justru hal itulah yang dilakukan oleh perbankan konvensional dengan penerapan sistem bunganya. C. Urgensi Akad Mu’awadhah Allah Swt. Menciptakan manusia dan kebutuhannya juga keinginannya (syahwat). Bahkan Allah Swt. Memberikan petunjuk kepada manusia tata cara memperoleh itu semuanya sesuai dengan cara yang dianjurkan-Nya.13 Di dalam Al-Qur’an, Allah Swt. Memberikan jalan yang berhubungan dengan cara memperoleh keinginan manusia tersebut. Misalnya keinginan manusia terhadap syahwat farji, Allah Swt. Berfirman:

َ ‫فا َ ْن ِكحواْ َما‬... َ َ‫سا ٌ ِء َمثْنَى َو ثل‬ ‫ث َور َب َع‬ َ ‫ط‬ َ ِ‫اب لَكم ِمنَ ا ٌ لن‬

(٣) ... 12 13

Ibid, hal. 76. Enang Hidayat, Loc.cit, hal. 31

)3:

4،‫(النساء‬

“... Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat ...” (QS Al-Nisa [4]: 3)

Keinginan manusia terhadap syahwat batin, maka Allah Swt. Berfirman: )157 :7 ،‫(األعراف‬

َ ‫ا ٌ ْل َخبَّ ِِئ‬ (١٥٧) ... ‫ث‬

َّ ٌ ‫ َوي ِح ُّل لَهم ا‬... ‫علَ ْي ِهم‬ ِ َ‫لطيِب‬ َ ‫ت َوي َح ِرم‬

“... Dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk ...” (QS Al-A’raf [7]: 157)

Begitu juga keinginan manusia terhadap kendaraan, pakaian, maka Allah Swt. Berfirman:

َ‫َو ْال َخ ْي َل َو ْال ِبغَا َل َو ْال َح ِمي َْر ِلت َ ْر َكب ْوهَا َو ِز ْينَةً َويَ ْخلق َما الَ ت َ ْعلَم ْون‬ )8:16 ،‫(النحل‬ “Dan

(dia

telah

menciptakan),

bagal

dan

keledai,

agar

kamu

menungganginya dan (menjadikannya) perhiasan, dan Allah menciptakan apa yang kamu tidak mengetahuinya”. (QS Al-Nahl [16]: 8)

ً ‫س ْوءتِك ْم َو ِر ْي‬ ‫شا‬ ً ‫علَيْك ْم لَبَا‬ َ ‫يَبَنِي َءادَ َم قَ ْد أَ ْنزَ ْلنَا‬ َ ‫ي‬ ْ ‫ور‬ ِ ‫سا ي‬ )26:7 ،‫( األعراف‬ “Hai anak Adam sesungguhnya kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutup auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan. (QS. Al-A`raf [7]: 26)”14

Jiwa manusia terbentuk untuk saling tukar-menukar kebutuhannya. Hal ini menurut ibnu Taimiyah bertujuan agar manusia terhindar dari perselisihan, pencurian, khianat, tipu daya, dan cara lainnya yang tidak sesuai dengan syariat islam. Maka Allah Swt, memerintahkan kepada kita agar dalam bermuamalah dengan keridhaan kedua belah pihak, karena hal tersebut merupakan prinsip dalam bermuamalah sebagaimana dalam firman-Nya: 14

Ibid, hal. 32.

َ‫اط ِل إِالَّ أَ ْن تَك ْون‬ ِ َ‫يأَيُّ َهأ الَّ ِذيْنَ َءا َمن ْوا ََل تَأْكل ْوا أَ ْم َوألَك ْم بَ ْينَك ْم بِ ْالب‬ )29:4 ،‫(النساء‬

‫اض ِم ْنك ْم‬ ٍ ‫ع ْن تَ َر‬ َ ً ‫ارة‬ َ ‫ِت َج‬

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu (QS. An-Nisa` [4]: 29)” Kebutuhan manusia terhadap mu’awadhah ini merupakan kebutuhan yang mendesak baik bagi kehidupan dunia maupun akhirat. Karena manusia tidak bisa hidup sendirian, tanpa butuh kepada orang lain. Akan tetapi manusia membutuhkan pertolongan sesamanya. Kalau tidak terlaksana mu’awadhah ini, manusia akan mengalami kerusakan, baik kerusakan yang berhubungan dengan urusan dunia maupun akhirat. Maka tidak akan sempurna kemaslahatan manusia kecuali dengan jalan saling tukar-menukar (mu’awadhah). Dan diantara keagungan syariat islam, Mu’awadhah termasuk kegiatan yang disukai syariat islam. Syariat menjadikan hukum mu’awadhah ini termasuk fardhu kifayah (kewajiban kolektif). Bahkan hukumnya termasuk fardhu ‘ain apabila pemerintaha menyerukannya dan masyarakat sangat membutuhkannya.15 D. Keutamaan Akad Mu’awadhah Muhammad Utsman Syabir sebagaimana dikutip Anas Abdul Wahid Shalih al-Jabir mengemukakan beberapa keutamaan akad mu’awadhah yang paling penting adalah sebagai berikut: 1. Mu’awadhah menghendaki adnya saling membalas kebaikan dan saling kikir di antara manusia karena jiwa mereka menurut tabiatnya adalah kikir.

15

Ibid, hal. 33.

2. Mu’awadhah tidak menyebabkan akad menjadi rusak dan batal disebabkan rusaknya tukar-menukar. Misalnya ketika telah terjadi akad jual beli atas harga yang telah ditentukan, kemudian harga tersebut rusak, maka mu’awadhah ini tidak rusak juga batal. 3. Mu’awadhah bisa rusak disebabkan adanya ketidakjelasan (gharar) dan ketidaktahuan

(jahalah)

yang

berlebihan

sehingga

menyebabkan

timbulnya perdebatan. Akan tetapi tidak menjadi rusak disebabkan gharar dan jahalah yang ringan.16 E. Hikmah Disyariatkan Akad Mu’awadhah Akad mu’awadhah disyariatkan menjadi rahmat bagi manusia. Karena di dalamnya terkandung hikmah adanya saling tolong-menolong di antara sesama manusia yang berkenaan dengan kebutuhan hidupnya masing-masing. Kebutuhan tersebut tidak bisa diperoleh, melainkan hanya dengan melaksanakan akad mu’awadhah tersebut. Hidup bermasyarakat merupakan karakter manusia yang telah Allah Swt ciptakan sejak diciptakannya lelaki dan perempuan, kemudian berbangsabangsa dan bersuku-suku agar saling mengenal di antara mereka. Kemudian Allah Swt. Menitipkan mereka naluri saling tolong-menolong untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Kalaulah tidak disyariatkan sebuah jalan yang adil untuk memenuhi kebutuhan mereka, tentunya akan menimbulkan kemudharatan dan kerusakan bagi kehidupan mereka, terutama orang yang lemah. Islam telah mensyariatkan terpenuhinya kebutuhan sehari-hari manusia harus dengan jalan saling sukadi antara kedua belah pihak. Maka seseorang tidak boleh mengambil harta orang lain secara paksa. Dengan demikian pensyariatan akad mu’awadhah ini terdapat hikmah dan rahmatnya hukum Allah sebagaimana firmannya: )50:5‫(الما ءدة‬

16

Ibid, hal. 33-34.

ْ ‫سن ِمنَ هللااِ ح ْك ًما ِلقَ ْو ٍم يو ٌقِن‬ ‫ون‬ َ ‫و َم ْن أَ ْح‬... َ

”...Dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang meyakini (agamanya)”. (QS. Al-Maa’idah [5]: 50)17 F. Macam-Macam Akad Mu’awadhah 1. Jual beli Definisi jual beli menurut para ulama adalah mereka sepakat bahwa jual beli merupakan “tukar-menukar harta dengan cara-cara tertentu yang bertujuan untuk memindahkan kepemilikan”. Jual beli dinamakan dengan akad mu’awadhah, karena didalanya terlibat dua pihak yang melakukan transaksi, dimana penjual menyerahkan barang kepada pembeli, dan pembeli menerima penyerahan barang tersebut kemudian dia menyerahkan penggantinya berupa harga (uang) kepada penjual. 2. Sewa-Menyewa dan Upah-Mengupah a. Definisi Ijarah Ijarah menurut bahasa berarti balasan terhadap suatu perbuatan. Maksudnya yaitu sesuatu yang engkau berikan kepada orang lain berupa upah dalam pekerjaan. Sedangkan ijarah menurut istilah dikemukakan pendapat para ulama sebagai berikut:18  Hanafiyah “Akad terhadap manfaat dengan adanya imbalan”.  Malikiyah “Kepemilikan terhadap manfaat sesuatu yang diperbolehkan pada waktu yang diketahui disertai adanya imbalan”.  Syafi’iyah “Akad terhadap manfaat yang dituju serta diketahui, yang membutuhkan tenaga dan diperbolehkan oleh syara’ dengan imbalan tertentu”. 17 18

Ibid, hal. 34. Ibid, hal. 35.

 Hanabilah “Akad terhadap manfaat yang diperbolehkan syara’, dapat diambil sewaktu-waktu pada waktunya yang telah ditentukan,baik berupa benda tertentu maupun sifat dalam tanggungan atau pekerjaan tertentu dengan adanya imbalan tertentu pula”. Dari definisi menurut istilah tentang ijarah sebagaimana dikemukakan para ulama diatas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa yang disebut dengan ijarah adalah “akad terhadap manfaat dengan waktu tertentu dan disertai adanya imbalan atau pengganti tertentu pula”. Definisi tentang ijarah ini terkandung dua pengertian, yaitu bisa bermakna jual beli manfaat benda dan bisa disebut dengan jual beli kekuatan atau tenaga manusia.19 b. Dalil Hukum Disyariatkannya Ijarah Para ulama-selain Abu Bakar al-Asham, Ismail bin ‘Ulyah, alHasan al-Basri, al-Qasyani, al-Nahrawani, dan ibnu kaisan Kaisantelah sepakat membolehkan akad ijarah berdasarkam dalil hukum Islam sebagaimana yang akan dijelaskan dibawah ini. Adapun mereka yang tidak membolehkan beralasan karena ijarah itu jual beli manfaat, sedangkan manfaat itu ketika terjadinya akad termasuk sesuatu yang tidak bisa diketahui dan dikuasai. Menurut mereka sesuatu yang tidak bisa dikuasai tidak memungkinkan bisa diperjual-belikan. Selain itu tidak diperbolehkan penyandaran jual beli kepada jual beli kepada sesuatu pada masa Akan tetapi alasan mereka tersebut dibantahnya oleh ulama para ulama yang membolehkan bahwa manfaat itu sekalipun tidak bisa dikuasai ketika terjadinya akad, namun dapat dipergunakan pada umumnya dan sangat dibutuhkan oleh masyarakat. Dalil hukum Islam tentang persyariatan ijarah: 1) Al-quran

19

Ibid, hal. 36.

...‫وره َّن‬ َ ‫فَإِ ْن أَ ْر‬... َ ‫ض ْعنَ لَك ْم فَأَتوه َّن أج‬

)6:65,‫(الطالق‬

“…Kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak) mu untukmu, maka berikanlah kepada mereka upahnya…” (QS. Al-Thalaq(65):6) 2) Hadis

َّ ‫ص َل‬ ‫علَ ْي ِه‬ َ ِ‫ّللا‬ َ ‫ع ْن‬ َ َ ِ‫ع ْب ِدهللااِ ب ِْن ع َم َرقَا َل قَا َل َرسوالهلل‬ َ ‫سلَّ َم أَ ْع‬ ‫ع َر قه‬ َّ ‫ط َوااَلْ ِجي َْرأ َ ْج َره قَ ْب َل اَ ْن َي ِج‬ َ ‫ف‬ َ ‫َو‬ )‫(رواهابن ماجه والبيهقي‬ “Diriwayatkan dari Abdullah bin Umar ia berkata, “Rasulullah Saw. Bersabda: “Berikanlah upah kepada pekerja sebelum kering keringatnya”. (HR Ibnu Majah dan al Baihaqi). 3) Ijma’ Kaum muslimin telah sepakat pada masa permulaan Islam sampai sekarang tentang diperbolehkannya ijarah, tanpa ada seorang pun yang menentangnya Abu Bakar al-Asham, Ismail bin Ulyah, alHasan al-Bashri, al-Qasyani, al-Nahrawani, dan ibnu kaisar karena manusia membutuhkan manfaat sebagaimana membutuhkannya benda dengan melalui akad jual beli. Tatkala akad jual beli diperbolehkan, maka wajib diperbolehkannya akad ijarah terhadap manfaat. 4) Akal Ijarah menjadi perantara (wasilah) adanya kemudahan bagi manusia dalam memperoleh apa yang diinginkannya berupa manfaat bagi orang yang tidak memiliki benda. Maka kebutuhan akan manfaat seperti butuhnya benda. Orang fakir membutuhkan harta orang kaya dan orang kaya pun membutuhkan tenaga orang fakir.20 c. Macam-Macam Ijarah Mayoritas ulama membagi ijarah berdasarkan jenis manfaat objek akadnya kepada dua bagian, yaitu; ijarah terhadap manfaat benda 20

Ibid, hal. 36-42.

(ijarah a’yan), seperti rumah, mobil, dan baju dimanfaatkan. Istilah lainya disebut dengan sewa-menyewa. Dan ijarah terhadap pekerjaan (ijarah a’mal) seperti mempekerjakan tukang bangunan dan pembantu rumah. Istilah lainya adalah upah-mengupah. Adapun pembagian dari segi derajatnya ijarah, Ibnu Taimiyah membaginya kepada tiga macam yaitu: 1) Setiap orang yang menyerahkan manfaat dengan adanya pengganti (‘iwadh). Termasuk hal ini adalah maskawin (mahar). 2) Ju’alah, yaitu manfaat benda tersebut tidak diketahui. Akan tetapi adanya pengganti dapat tertanggung dan akadnya termasuk akad jaiz (ghairu

lazim).

Misalnya

seseorang

berkata;

“Barangsiapa

mengembalikan mobilku kepadaku, maka baginya ada upah.” 3) Ijarah khusus yaitu seseorang yang menyewakan benda miliknya atau seseorang memperjuangkan orang lain untuk melakukan suatu perbuatan dalam tanggungan. Manfaat benda yang disewakan tersebut dapat diketahui dengan jelas dan upah bagi orang yang melakukan suatu perbuatan tersebut dapat diketahui dengan jelas. Maka dalam keadaan demikian hukum ijarah tersebut bersifat lazim dan menyerupai hukum akad jual beli dalam hal hukumnya dan ijarah dengan makna seperti inilah yang diistilahkan oleh para ulama mutaakhirin.21 d. Rukun dan syarat ijarah 1) Rukun ijarah Menurut mayoritas ulama terkecuali hanafiyah rukun ijarah ada empat. Pertama, dua orang yang berakad (‘aqidain), yaitu pihak yang menyewakan (mu’jir) dan pihak penyewa (musta’jir). Kedua, yaitu upah atau imbalan (al-ujrah). Ketiga, manfaat. Upah dan manfaat ini termasuk ke dalam objek akad (ma’qud ‘alaih). Keempat, ijab kabul (shighah). Sedangkan menurut ulama Hanafiyah Cuma satu yaitu shighah. 21

Ibid, hal. 43-44.

2) Syarat ijarah Syarat yang berhubungan dengan mu’jir dan musta’jir antara lain:  Baligh dan berakal.  Sama-sama ridha melakukan akad.  Dapat mentasharufkan dan mengatur harta (cerdas).  Mempunyai wewenang terhadap objek akad. Syarat yang berhubungan dengan ujrah antara lain:  Upah atau imbalan itu harus diketahui dengan jelas.  Upah atau imbalan itu harus berupa harta yang bernilai.  Upah atau imbalan itu harus bisa diukur dan diserah terimakan secara langsung ketika terjadinya akad. Syarat yang berhubungan dengan manfaat antara lain:  Manfaat benda tersebut dapat diketahui dengan jelas, baik dilihat oleh penglihatan mata atau bisa juga oleh petunjuk atau isyarat.  Manfaat

benda

tersebut

bernilai

dan

menjadi

tujuan

pemanfaatannya menurut adat kebiasaan manusia.  Manfaat benda tersebut diperbolehkan oleh syara’.  Memanfaatkan benda tersebut tidak menyebabkan rusaknya zat benda.  Manfaat benda tersebut bisa di serah terimakan secara langsung dan tidak bercacat.  Manfaat benda tersebut terbatas dari cacat yang menyebabkan madharat kepada pihak penyewa.  Manfaat tersebut bukaan bentuk kekhususan pihak penyewa.  Masing-masing pihak (mu’jir dan musta’jir) dapat memahami ungkapan ijab dan qabul.  Berkumpul dalam satu majelis akad.  Adanya keselarasan antara ungkapan ijab dan qabul.22 e. Sifat Akad Ijarah 22

Ibid, hal. 44-46.

Menurut ulaama Hanafiah akad ijarah bersifat mengikat bagi kedua belah pihak (lazim). Akan tetapi di bolehkan membatalkannya apabila terdapat udzur dari salah satu pihak. Sedangkan menurut mayoritas ulama sama akad ijarah bersifat lazim. Akan tetapi tidak bisa di batalkan. f. Berakhirnya Akad Ijarah Akad ijarah berakhir disebabkan oleh hal sebagai berikut: 1) Masa yang telah disepakati oleh kedua belah pihak pada waktu akad telah berakhir 2) Berakhir karena iqalah 3) Rusak atau musnahnya barang yang disewakan 4) Karena terdalat udzur kepada 5) Salah satu pihak meninggal dunia23

23

Ibid, hal. 46-47.

BAB III PENUTUP

Kesimpulan 1. Definisi mu’awadhah menurut istilah adalah akad yang mengandung serah terima harta dari kedua belah pihak. Maksudnya satu pihak menyerahkan sesuatu

dan

penggantinya.

yang

lainnya

Misalnya

dalam

menerimanya akad

jual

sambil beli,

menyerahkan

seorang

penjual

menyerahkan barang miliknya kepada pembeli dan pembeli menyerahkan penggantinya berupa uang kepada penjual. 2. Akad tijarah/mu’awadhah (compensational contract) adalah segala macam perjanjian yang menyangkut for profit transaction. Akad-akad ini dilakukan dengan tujuan mencari keuntungan, karena itu bersifat komersil. Contoh akad tijarah adalah akad-akad investasi, jual-beli, sewa-menyewa 3. Urgensi akad muawadhah Dan diantara keagungan syariat islam, Mu’awadhah termasuk kegiatan yang disukai syariat islam. Syariat menjadikan hukum mu’awadhah ini termasuk fardhu kifayah (kewajiban kolektif). Bahkan hukumnya termasuk fardhu ‘ain apabila pemerintaha menyerukannya dan masyarakat sangat membutuhkannya. 4.

keutamaan akad mu’awadhah yang paling penting adalah sebagai berikut: a. Mu’awadhah menghendaki adnya saling membalas kebaikan dan saling kikir di antara manusia karena jiwa mereka menurut tabiatnya adalah kikir. b. Mu’awadhah tidak menyebabkan akad menjadi rusak dan batal disebabkan rusaknya tukar-menukar. Misalnya ketika telah terjadi akad jual beli atas harga yang telah ditentukan, kemudian harga tersebut rusak, maka mu’awadhah ini tidak rusak juga batal. c. Mu’awadhah bisa rusak disebabkan adanya ketidakjelasan (gharar) dan ketidaktahuan (jahalah) yang berlebihan sehingga menyebabkan timbulnya perdebatan. Akan tetapi tidak menjadi rusak disebabkan gharar dan jahalah yang ringan.

5. Hikmah dari akad muawadhah Hidup bermasyarakat merupakan karakter manusia yang telah Allah Swt ciptakan sejak diciptakannya lelaki dan perempuan, kemudian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar saling mengenal di antara mereka. Kemudian Allah Swt. Menitipkan mereka naluri saling tolong-menolong untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Kalaulah tidak disyariatkan sebuah jalan yang adil untuk memenuhi kebutuhan mereka, tentunya akan menimbulkan kemudharatan dan kerusakan bagi kehidupan mereka, terutama orang yang lemah. 6. Macam-Macam Akad Mu’awadhah a.

Jual beli

b. Sewa-Menyewa dan Upah-Mengupah c. Ijma’ d. Akal

DAFTAR PUSTAKA

Hidayat, Enang. 2016. Transaksi Ekonomi Syariah. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya http://maulidar14.blogspot.com/2016/10/jurnal-pembagian-akad-dalamfiqh.html?m=1 diakses pada tanggal 12 Maret 2019 pukul 14.50 WIB. Karim,Adiwarman. 2004. Bank Islam: Analisis Fiqih dan Keuangan. Depok: PT. RAJA GRAFINDO PERSADA

Related Documents

Fiqih
May 2020 39
Fiqih
July 2020 28

More Documents from ""