Hpi Kelompok 5.docx

  • Uploaded by: Satria Prastyo
  • 0
  • 0
  • December 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Hpi Kelompok 5.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 3,308
  • Pages: 15
KELOMPOK 5 : “LARANGAN, PENCEGAHAN DAN PEMBATALAN PERNIKAHAN”. 1. DELLA ALVIO NITA 2. ANNISA NURFADILLAH 3. M. KHOIR SIMAMORA 4. SATRIA

BAB PEMBAHASAN A. PENGERTIAN PERKAWINAN Perkawian atau nikah menurut bahasa ialah berkumpul dan bercampur. Menurut istilah syarak pula ialah ijab dan qabul(‘aqad) yang menghalalkan persetubuhan antara lelaki dan perempuan yang diucapkan oleh kata kata yang menunjukkan nikah, menurut peraturan yang ditentukan oleh islam. Perkataan zawaj digunakan didalam alquran bermaksud pasangan dalam penggunanya perkataan ini bermaksud perkhawinan allah swt. menjadikan manusia itu berpasang pasangan, menghalalkan perkhawinan dan mengharamkan zina. Adapun nikah menurut syariat nikah juga berarti akad, sedangkan pengertian hubungan badan itu hanya metafora saja. Islam adalah agama yang syumul( universal) agama yang mencakup semua isi kehidupan.tidak ada suatu masalah pun, dalam kehidupan ini,yang tidak dijelaskan.1 Islam adalah agama yang syumul (universal) agama yang mencakup semua isi kehidupan. Tidak ada suatu masalah pun, dalam kehidupan ini, yang tidak dijelaskan. Dan tidak ada satu pun masalah yang tidak disentuh nilai islam, walau masalah tersebut nampak kecil dan sepele. Itulah islam, agama yang memberi rahmat bagi sekalian alam. Dalam masalah perkawinan, islam telah berbicara banyak. Dari mulai bagaimana mencari kriteria calon calon pendamping 1

Abdur Rahman, Perkawinan Dalam Syariat Islam (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1996)hlm. 3

hidup, hingga bagaimana memperlakukannya kala resmi menjadi sang penyejuk hati. Islam menuntunnya, begitu pula islam mengajarkan bagaimana mewujudkan sebuah pesta pernikahan yang meriah, namun tetap mendapatkan berkah dan tidak melanggar tuntunan sunnah rasulullah saw, begitu pula dengan pernikahan yang sederhana namun tetap penuh dengan pesona. Melalui makalah yang singkat ini insyaallah kami akan membahas perkawinan menurut hukumislam.2 Pernikahan adalah sunnah karuniah yang apabila dilaksanakan akan mendapat pahala tetapi apabila tidak dilakukan tidak mendapatkan dosa tetapi dimakruhkan karena tidak mengikuti sunnah rosul. Arti dari pernikahan disini adalah bersatunya dua insan dengan jenis berbeda yaitu laki laki dan perempuan yang menjalin suatu ikatan dengan perjanjian atau akad. Suatu pernikahan mempunyai tujuan yaitu ingin membangun keluarga yang sakinah mawaddah warohma serta ingin mendapatkan keturunan yang solihah,keturunan inilah yang selalu didambakan oleh setiap orang yang sudah menikah karena keturunan merupakan generasi bagi orang tuanya.3 B. LARANGAN PERKAWINAN. Hukum perkawinan telah diatur sedemeikian rupa oleh shariah sehingga ia dapat membentuk suatu umat yang ideal, untuk mencapai tujuan akhir ini, AlQuran dan Al-Sunnah telah menjelaskan macam macam larangan dalam perkawinan yang dapat dibagi kedalam dua kategori 1. Larangan yang bersifat tetap dan 2. Larangan yang berlaku sementara. Larangan yang bersifat tetap (mahram ta’bid) adalah orang orang yang selamanya haram dikawini.larangan yang telah disepakati ada tiga, yaitu: a). Nasab (keturunan), dalam presefektif fikih, wanita wanita yang haram dinikahi untuk selamannya (ta’bid) karena pertalian nasab adalah; 2 3

Ibid., hlm. 4 Ibid., hlm. 5



Ibu kandung,perempuan yang ada hubungan darah dalam garis keturunan garis keatas, yaitu ibu, nenek( baik dari pihak ayah maupun ibu dan seterusnya keatas.



Anak perempuan kandung, wanita yang mempunyai hubungan darah dalam garis lurus kebawah, yakni anak perempuan,cucu perempuan baik dari anak laki laki maupun perempuan dan seterusnya kebawah.



Saudara perempuan, baik seayah seibu,seayah saja,atau seibu saja



Bibi, adalah saudara perempuan ayah atau ibu, baik saudara sekandung ayah atau ibu dan seterusnya keatas



Kemenakan ( keponakan) perempuan, yaitu anak perempuan saudara laki laki atau perempuan dan seterusnya

b). Radha’ah ( persusuan) menurut pandangan para ulama, bahwa larangan kawin karena hubungan sesusuan adalah sampainya air susu wanita kedalam perut anak yang belum mencapai usia dua tahun hijriyah dengan metode tertentu. Wanita atau laki laki yang mempunyai mahram dari jalur susu mempunyai keistimewahan dan kekebalan hukum sebagaimana mahram yang terbentuk dari jalur nasab. Yaitu antara laki laki dan wanita yang terkait dalam mahram rada’ tidak boleh saling menwaini. Hubugan sesusuan yang diharamkan adalah;  Ibu susuan (ibu rada’/murdi”ah/wanita yang menyusui), yaitu ibu yang menyusui, maksudnya seorang wanita yang pernah menyusui seorang anak, dipandang sebagai ibu bagi anak yang disusui itu sehingga haram melakukan perkawinan.  Nenek susuan, yaitu ibu dari yang pernah menyusui ibu dari suami yang menyusui itu,suami dari ibu yang menyususi itu dipandang seperti ayah bagi anak susuan sehingga haram melakukan melakukan perkawinan  Bibi susuan, yaitu saudara perempuan ibu susuan atau saudara perempuan suami dari ibu susuan dan seterusnya keatas  Kemenakan(keponakan) yaitu anak perempuan saudara ibu susuan  Saudara susuan perempuan yaitu saudara seayah kandung maupun seibu.

c). Wanita yang haram dinikahi karena hubungan masaharah atau perkawinan kerabat semenda, keharaman ini disebutkan dalam surat an-nisa ayat 23, jika diperinci tersebut;  Mertua perempuan ,nenek perempuan instri dan seterusnya keatas, baik dari garis ibu atau ayah  Anak tiri, dengan syarat kalau telah terjadi hubungan kelamin dengan ibu anak tersebut  Menantu, yakni istri anak, istri cucu dan seterusnya kebawah  Ibu tiri,yakni bekas istri ayah, untuk kali ini tidak disyaratkan harus adanya hubungan seksual antara ibu dengan ayah. Persoalan dalam hubungan musaharah adalah keharaman ini disebabkan karena semata mata akad (perkawinan) yang sah atau dapat juga dikarenakan perzinaan.4 Larang yang berlaku sementara untuk menikah adalah larangan yang dapat dibatalkan dengan adanya perubahan keadaan.larangan larangan itu adalah sebagai berikut: 1. Seseorang lelaki tak boleh menikahi dua orang perempuan bersaudara pada suatu ketika yang bersamaan. Larangan sementara disini berubah segera setelah istrinya meninggal. Lalu dia dapat mengawini saudara perempuan dan istrinya yang telah wafat itu. Larangan inipun berlaku atas seorang bibi terhadap keponakan perempuannya 2. Seorang lelaki tak boleh menikahi wanita yang telah bersuami. Namun halangan ini hilang setelah bubarnya perkawinan siwanita baik karena suaminya wafat ataupun cerai, setelah habis masa iddahnya. 3. Seorang

lelaki tak boeh menikahi wanita yang masih dalam masa

iddahnya dan larangan ini hilang setelah habis dan masa iddahnya. Hal

ini

berarti

bawha

seorang

lelaki

tak

boleh

menajukan

lamaran/melamar seorang wanita dalam masa iddahnya. Meskipun demikian, si lelaki dapat menyampaikan ucapan yang mengandung arti semacam itu, secara tak langsung kepada seorang wanita yang suaminya telah meninggal atau telah cerai 4

Mardani, Hukum Keluarga Islam di Indonesia (Jakarta: Kencana, 2016) hlm. 62

dan tak dapat rujuk kembali dengan ucapan seperti “ aku berharap dapat menemukan seorang wanita yang berakhlak mulia” Namun, bila siwanita yang masih dalam masa iddahnya dan diperbolehkan untuk rujuk kembali,maka si lelaki tak boleh menguucapkannya walaupun secara sindiran sekalipun,karena dia dianggap sebagai istri yang sah dari bekas suaminya.kalau sampai dilakukan juga, berarti orang tersebut menjadi alat yang merusak suatu keluarga yang masih ada harapan untuk rukun kembali.(abdur rahman, perkawinan dalam syariat islam).5 C. PENCEGAHAN PERKAWINAN Pencegahan terjadinya

adalah suatu usaha yang digunakan untuk menghindari

perkawinan

sebelum

perkawinan

itu

berlangsung.pencegahan

perkawinan dapat dilakukan ketika calon suami atau calon istri yang tidak melangsungkan pernikahan tidak memenuhi syarat syarat pernikahan yang berlaku.hal ini dimuat dalam pasal 13 UU No. 1974, yaitu “perkawinan dapat dicegah apabila ada pihak yang tidak memenuhi syarat syarat berlangsungkan perkawinan”. Adapun syarat syaratnya terbagi 2 macam antara lain :  Syarat materil: berkaitan dengan pencatatan perkawinan akta nikah, larangan perkawinan.diantaranya yaitu tentang larangan adanya atau dilakukannya suatu perkawinan.  Syarat Administrasi : syarat perkawinan yang melekat pada setiap rukun perkawinan (calon mempelai laki-laki dan wanita, saksi dan wali) dan pelaksanaan akad nikahnya.

Sedangkan yang boleh melakukan pencegahan berlangsungnya suatu perkawinan adalah : 1. Para keluarga dalam garis keturunan lurus keatas dan kebawah

5

Ibid., hlm 63-65

2. Saudara 3. Wali nikah 4. Wali pengampuh dari salah seorang seorang calon mempelai dan pihak pihak yang berkepentingan Adapun proses pencegahan adalah sebagai berikut : a. Pemberian kepada PPN ( Pegawai Pencatat Nikah ) setempat b. Mengajukan permohonan pencegahan ke pengadilan setempat c. PPN memberitahukan hal tersebut kepada calon mempelai Setelah ada ataupun tidak adanya pengajuan pencegahan maka pegawai pencatatan perkawinan tidak boleh melangsungkan atau membatu melangsungkan perkawinan apabila dia mengetahui adanya pelanggaran terhadap pasal 7 ayat (1), pasal 8, pasal 9, pasal 10 dan pasal 12 UUP. Dan juga pegawai pencatatan perkawinan berhak dan berkewajiban untuk menolak melangsungkan suatu perkawinan apabila benar-benar adanya pelanggaran terhadap UUP. Akibat hukum yang di dapat adalah setelah penangguhan pelaksanaan perkawinan

bahkan

menolak

untuk

selama-lamanya

suatu

perkawinan

dilangsungkan. Dan untuk pencabutan pencegahan perkawinan tersebut pemohon pencegah harus menarik kembali permohonannya dari pengadilan agama dan dengan putusan peradilan agama. Permohonan pencegahan perkawinan ini termasuk perkawinan termasuk perkara yang sederhana pembuktiannya maka untuk cepatnya, untuk proses cepatnya, proses peradilan dapat diperiksa dan di adili oleh hakim tunggal. Semua hal yang berkaitan tentang pencegahan perkawinan telah dijelaskan pada UUP NOMOR 1 tahun 1974 BAB III dari pasal 13 hingga pasal 21 dan di dalam Kompilasi Hukum Islam BAB X dari pasal 60 hinggah pasal 69.6

6

Abdul Fatah Idris & Abu Ahmadi, Fikih Islam Lengkap (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2004) hlm. 84

D. PEMBATALAN PERKAWINAN 1. Pengertian Pembatalan Perkawinan Pembatalan perkawinan adalah usaha untuk tidak dilanjutkannya hubungan perkawinan setelah sebelumnya perkawinan itu terjadi. Dalam memutus permohonan pembatalan perkawinan, pengadilan harus selalu memperhatikan ketentuan agama mempelai. Jika menurut agamanya perkawinan itu sah maka pengadilan tidak bisa membatalkan perkawinan. Pembatalan perkawinan adalah usaha untuk tidak dilanjutkannya hubungan perkawinan setelah sebelumnya perkawinan itu terjadi. Dalam memutus permohonan pembatalan perkawinan, pengadilan harus selalu memperhatikan ketentuan agama mempelai. Jika menurut agamanya perkawinan itu sah maka pengadilan tidak bisa membatalkan perkawinan. Dalam pasal 22 UU perkawinan disebutkan bahwa perkawinan dapat dibatalkan apabila para pihak tidak memenuhi syarat untuk melangsungkan perkawinan. Namun bila rukunnya yang tidak terpenuhi berarti pernikahannya yang tidak sah. Perkawinan dapat dibatalkan berdasarkan UU No. 1 tahun 1974 pasal 22, 24, 26 dan 27 serta berdasarkan KHI pasal 70 dan 71. Dalam hukum islam suatu pernikahan dianggap sah jika dalam suatu akad nikah tersebut sudah terpenuhi syarat serta rukunnya. Jika suatu perkawinan kurang salah satu syarat maupun rukunnya maka akad nikah tersebut dianggap tidak sah. Jika yang tidak terpenuhi hanya salah satu rukunnya, akad tersebut adalah batal. Adapun jika yang tidak terpenuhi adalah salah satu dri syaratnya maka akad nikah tersebut dianggap fasid. Nikah fasid adalah nikah yang tidak memenuhi dari salah satu dari syaratsyaratnya, sedangkan nikah bathil adalah apabila tidak memenuhi rukunnya. Hukum nikah fasid dan nikah bathil adalah sama yaitu tidak sah. Dalam UU NO 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 22 Menegaskan, “Perkawinan dapat

dibatalkan apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan”.7 2. Dasar Hukum Pembatalan Perkawinan Untuk menguraikan tentang dasar hukum pembatalan nikah, disini dikemukakan ayat al-Qur'an dan Hadits-hadits yang berkenaan dengan nikah yang dibatalkan tidak memenuhi syarat dan rukun nikah. Jika fasid nikah terjadi disebabkan

karena

melanggar

ketentuanketentuan

hukum

agama

dalam

perkawinan, misalnya larangan kawin sebagaimana yang dimaksud dalam AlQur’an Surat An-Nisa: 22-23. Surat An-Nisa: 22. .‫سا َء َس ِبي ًًْل‬ َ ‫ اِناهُ َكانَ فَا ِح‬, ‫ف‬ ِ ‫س‬ ِ َ‫َو ََل ت َ ْن ِك ُح ْوا َما نَ َك َح ا َ َبا ُؤ ُك ْم ِمن‬ َ ‫ َو‬,‫شةً او َم ْقتًا‬ َ ْ‫اءا اَِل َما قَد‬ َ ‫الن‬ َ َ‫سل‬ “Dan janganlah kamu kawinkan wanita-wanita yang telah dikawini ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau, sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh). Surat An-Nisa: 23. ْ ‫ُح ِر َم‬ ‫ض ْعنَ ُك ْم‬ ِ ‫ت َعلَ ْي ُك ْم ا ُ ام َهت ُ ُك ْم َو َبنَت ُك ْم َواَخ ََوت ُ ُك ْم َو َع امت ُ ُك ْم َو َخلَت ُ ُك ْم َوبَنَتُ اَْلَجِ َوبَنَتُ ْاَلُ ْخ‬ َ ‫ت َواُم َهتث ُك ُم الاتِ ْي اَ ْر‬ ‫ َفا ِْن لا ْم‬,‫سا ئِ ُك ُم الاتِ ْي دَخ َْلت ُ ْم بِ ِه ان‬ ‫َواَخ ََوت ُ ُك ْم ِمنَ ا‬ َ ‫الر‬ َ ِ‫سا إِ ُك ْم َو َربَا ئِبُ ُك ُم الاتِ ْي فِ ْي ُح ُج ْو ِر ُك ْم ِم ْن ن‬ َ ِ‫ضا َع ِة َوا ُ ام َهتُ ن‬ ْ‫ َو اَ ْن تَجْ َمعُ ْوا بَيْنَ ْاَلُ ْختَي ِْن ا اَِل َما قَد‬,‫ص ًَل بِ ُك ْم‬ ْ َ ‫ َو َح ًَلئِ ُل ا َ ْبنَا ِئ ُك ُمالاذيْنَ ِم ْن ا‬,‫ت َ ُك ْونُ ْوادَخ َْلت ُ ْم بِ ِه ان فَ ًَل ُجنَا َح َعلَ ْي ُك ْم‬ ‫ ِإ ان هللاَ كَا نَ َغفُ ْو ًرا َر ِح ْي ًما‬,‫ف‬ َ َ َ‫سل‬ “Diharamkan atas kamu (mengawini): ibu-ibumu, anak-anakmu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan, saudara-saudara yang perempuan. Anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki, anak-anak perempuan

dari

saudara-saudaramu

yang

perempuan,

ibu-ibumu

yang

menyusukan kamu, saudara perempuan sepersusuan, ibu-ibu isterimu (mertua), anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya, (dan diharamkan bagimu), isteri-isteri anak kandungmu (menantu), dan menghimpunkan (dalam perkawinan)

7

Abd. Shomad, Hukum Islam Penormaan Prinsip Syariah Dalam Hukum Indonesia (Jakarta: Kencana, 2010) hlm. 280

dan perempuan yang bersaudara, kecuali yang terjadi pada masa lampau, sesungguhnya Allah maha pengampun lagi maha penyayang.8 3. Jenis-Jenis Perkawinan Yang Dapat Dibatalkan Jenis-jenis perkawinan yang dapat dibatalkan, diatur dalam pasal 24s/d pasal 27 UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Pasal 24 Barang siapa karena perkawinan masih terikat dirinya dengan salah satu dari kedua belah pihak dan atas dasar masih adanya perkawinan dapat mengajukan pembatalan perkawinan yang baru, dengan tidak mengurangi ketentuan Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 Undang-undang ini. Pasal 25 Permohonan pembatalan perkawinan diajukan kepada Pengadilan dalam daerah hukum dimana perkawinan dilangsungkan atau ditempat tinggal kedua suami isteri, suami atau isteri. Pasal 26 1. Perkawinan yang dilangsungkan dimuka pegawai pencatat perkawinan yang tidak berwenang, wali-nikah yang tidak sah atau yang dilangsungkan tanpa dihadiri oleh 2 (dua) orang saksi dapat dimintakan pembatalannya oleh para keluarga dalam garis keturunan lurus keatas dari suami atau isteri, jaksa dan suami atau isteri. 2. Hak untuk membatalkan oleh suami atau isteri berdasarkan alasan dalam ayat (1) pasal ini gugur apabila mereka telah hidup bersama sebagai suami isteri dan dapat memperlihatkan akte perkawinan yang dibuat pegawai pencatat perkawinan yang tidak berwenang dan perkawinan harus diperbaharui supaya sah. Pasal 27 1. Seorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila perkawinan dilangsungkan dibawah ancaman yang melanggar hukum.

8

Ibid., hlm. 281

2. Seorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi salah sangka mengenai diri suami atau isteri. 3. Apabila ancaman telah berhenti, atau yang bersalah sangka itu menyadari keadaannya, dan dalam jangka waktu 6 (enam) bulan setelah itu masih tetap hidup sebagai suami isteri, dan tidak mempergunakan haknya untuk mengajukan permohonan pembatalan, maka haknya gugur.9 KHI dalam pasal 70 s/d 72 lebih perinci mengatur tentang jenis-jenis perkawinan yang dapat dibatalkan yaitu:

Didalam Pasal 70 KHI dinyatakan perkawinan batal (batal demi hukum) apabila: 1. Suami melakukan perkawinan, sedang ia tidak berhak melakukan akad nikah karena sudah mempunyai empat orang istri, sekalipun salah satu dari keempat istrinya itu dalam iddah talak raj’i; 2. Seseorang menikahi bekas istrinya yang telah dili’annya; 3. Seseorang menikahi bekas istrinya yang telah dijatuhi tiga kali talaq olehnya, kecuali bila bekas istrinya tersebut pernah menikah dengan pria lain yang kemudian bercerai lagi ba’da dukhul dari pria tersebut dan telah habis masa iddahnya; 4. Perkawinan dilakukan antara dua orang yang mempunyai hubungan darah, semenda dan sesusuan sampai derajat tertentu yang menghalangi perkawinan menurut pasal 8 undang-undang No. 1 Tahun 1974, yaitu; a. Berhubungan darah dalam garis lurus kebawah atau ke atas; b. Berhubungan darah dalam garis lurus keturunan menyamping yaitu antara saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya; c. Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu, dan ibu dan ayah tiri;

9

UU NO. 1 Tahun 1974

d. Berhubungan sesusuan, yaitu orang tua sesusuan, anak sesusuan dan bibi atau paman sesusuan;

Selanjutnya pada pasal 71 dijelaskan perkawinan yang dapat dibatalkan: Suatu perkawinan dapat dibatalakan apabila: 1. Seorang suami melakukan poligami tanpa izin pengadilan agama; 2. Perempuan yang dikawini ternyata kemudian diketahui masih menjalani istri pria yang mafqud; 3. Perempuan yang dikawini ternyata masih dalam masa iddah dari suami lain; 4. Perkawinan yang melanggar batas umur perkawinan, sebagaimana ditetapkan pasal 7 undang-undang No. 1 Tahun 1974; 5. Perkawinan dilangsungkan tanpa wali tau dilaksanakan oleh wali yang tidak berhak; 6. Perkawinan yang dilaksanakan dengan paksaan.

Pasal 72 1. Seorang suami atau istri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila perkawinan dilangsungkan di bawah ancaman yang melanggar hukum; 2. Seorang suami atau istri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi penipuan atau salah sangka sangka mengenai diri suami atau istri. 3. apabila ancaman telah berhenti, atau bersalah sangka itu menyadari keadaannya, dan dalam jangka waktu 6 bulan setelah itu masih tetap hidup sebagai suami istri dan tidak menggunakan haknya untuk mengajukan permohonan pembatalan maka haknya gugur. 4. puhak-pihak yang berhak membatalkan perkawanan 10 Pihak-pihak yang berhak membatalkan perkawinan diatur dalam pasal 23 UU No.1 Tahun 1974

10

Kompilasi Hukum Islam

Yang dapat mengajukan pembatalan perkawinan yaitu : a. Para keluarga dalam garis keturunan lurus keatas dari suami atau isteri. b. Suami atau istri. c. Pejabat yang berwenang hanya selama perkawinan belum diputuskan; d. Pejabat yang ditunjuk tersebut ayat (2) Pasal 16 Undang-undang ini dan setiap orang yang mempunyai kepentingan hukum secara langsung terhadap perkawinan tersebut, tetapi hanya setelah perkawinan itu putus. Adapun dalam khi diatur dalam pasal 73 Yang dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan adalah: a. para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah dari suami atau isteri; b. Suami atau isteri; c. Pejabat yang berwenang mengawasi pelaksanaan perkawinan menurut Undang-undang; d. para pihak yang berkepentingan yang mengetahui adanya cacat dalam rukun dan syarat perkawinan menurut hukum Islam dan Peraturan Perundangundangan sebagaimana tersebut dalam pasal 67.11

5. pembatalan perkawinan di pengadilan agama Permohonan pembatalan perkawinan dapat diajukan kepengadilan agama, sebagaiman diatur dalam pasal 74 KHI. Putusan pengadilan tidak berlaku surut (pasal 75). Pembatalan perkawinan tidak dapat memutuskan hubungan hukum anatara orang tua dan anak( pasal 76).

Pasal 74 a. Permohonan pembatalan perkawinan dapat diajukan kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggal suami atau isteri atau perkawinan dilangsungkan.

11

Mardani, Hukum Keluarga Islam di Indonesia (Jakarta: Kencana, 2016) hlm. 110

b. Batalnya suatu perkawinan dimulai setelah putusan pengadilan Agama mempunyai

kekuatan

hukum

yang

tetap

dan

berlaku

sejak

saat

berlangsungnya perkawinan. Pasal 75 Keputusan pembatalan perkawinan tidak berlaku surut terhadap: a. perkawinan yang batal karena salah satu suami atau isteri murtad; b. anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut; c. pihak ketiga sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan ber'itikad baik, sebelum keputusan pembatalan perkawinan kekuatan hukum yang tetap. Pasal 76 Batalnya suatu perkawinan tidak akan memutuskan hubungan hukum antara anak dengan orang tuanya. Begitupula dalam dalam pasal 28 UU No. 1 Tahun 1974 Pasal 28 a. Batalnya suatu perkawinan dimulai setelah keputusan Pengadilan mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan berlaku sejak saat berlangsungnya perkawinan. b. Keputusan tidak berlaku surut terhadap : 1. Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut; 2. Suami atau isteri yang bertindak dengan iktikad baik, kecuali terhadap harta bersama, bila pembatalan perkawinan didasarkan atas adanya perkawinan lain yang lebih dahulu; 3. Orang-orang ketiga lainnya tidak termasuk dalam a dan b sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan iktikad baik sebelum keputusan tentang pembatalan mempunyai kekuatan hukum tetap.12

12

Ibid., hlm. 111

BAB PENUTUP A.

KESIMPULAN Larangan perkawinan dalam hukum perkawinan Islam ada dua macam,

yaitu larangan selama-lamanya terinci dalam pasal 39 KHI dan larangan sementara pasal 40 sampai pasal 44 KHI. Supaya tidak terjadinya pelanggaran terhadap aturan di atas, maka perlu adanya pencegahan perkawinan, yang dilakukan oleh pihak suami atau istri apabila ada syarat-syarat yang tidak dicukupi sebelum terjadinya perkawinan, sehingga erkawinan tersebut tidak jadi dilaksanakan. Namun apabila telah terlaksananya perkawinan baru diketahui adanya larangan dalam perkawinan tersebut atau ada syarat-syarat yang tidak tercukupi, maka dilakukanlah pembatalan perkawinan, pembatalan ini bisa dilakukan oleh pihak suami atau istri atau pihak lain yang memiliki hak untuk hal tersebut yang dilaksanakan di pengadilan tempat mereka tinggal atau di tempat mereka melngsungkan perkawinan. B.

SARAN Demikianlah makalah rangkuman materi yang dapat kami sampaikan pada

kesempatan kali ini semoga di dalam penulisan ini dapat dimengerti kata-katanya sehingga tidak menimbulkan kesalahpahaman di masa yang akan datang.

DAFTAR PUSTAKA Mardani. 2016. Hukum Keluarga Islam di Indonesia Jakarta: Kencana. Shomad, Abd. 2010. Hukum Islam Penormaan Prinsip Syariah Dalam Hukum Indonesia . Jakarta: Kencana. Idris, Abdul Fatah & Ahmadi, Abu. 2004. Fikih Islam Lengkap . Jakarta: PT. Rineka Cipta. Rahman, Abdur. 1996. Perkawinan Dalam Syariat Islam. Jakarta: PT. Rineka Cipta.

Related Documents

Hpi Kelompok 5.docx
December 2019 14
Hpi
June 2020 8
Hpi
June 2020 8
Hpi Rcd
November 2019 28
Hpi Ke 2
August 2019 14

More Documents from ""