LAPORAN KASUS KEPANITERAAN
SEORANG WANITA 32 TAHUN DENGAN FARINGITIS KRONIK EKSASERBASI AKUT
Diajukan untuk melengkapi tugas kepaniteraan Ilmu Kesehatan THT-KL Kedokteran Universitas Diponegoro
Penguji kasus
: dr. Rery Budiarti ,Sp THT-KL, Msi.Med
Pembimbing
: dr. Fitria Puspitarini
Dibacakan oleh
: Uun Uniati Melinda
Dibacakan tanggal : 13 Januari 2017
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN THT-KL FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS DIPONEGORO RSUP Dr. KARIADI SEMARANG 2017
HALAMAN PENGESAHAN
Melaporkan kasus seorang wanita 32 tahun dengan faringitis kronik eksaserbasi akut.
Penguji kasus
: dr. Rery Budiarti ,Sp THT-KL, Msi.Med
Pembimbing
: dr. Fitria Puspitarini
Dibacakan oleh
: Uun Uniati Melinda
Dibacakan tanggal
: 13 Januari 2017
Diajukan guna memenuhi tugas Kepaniteraan di Bagian Ilmu Kesehatan THT-KL Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro
Semarang, 13 Januari 2017 Mengetahui
Penguji kasus,
Pembimbing,
dr. Rery Budiarti, Sp.THT-KL, MSi.Med
ii
dr. Fitria Puspitarini
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ................................................................................................ i HALAMAN PENGESAHAN ................................................................................ iii DAFTAR ISI .......................................................................................................... iii DAFTAR TABEL ................................................................................................ ivv DAFTAR GAMBAR...............................................................................................v BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 1 BAB II LAPORAN KASUS ................................................................................... 2 BAB III PEMBAHASAN ..................................................................................... 10 3.1 Anatomi Faring ............................................................................................... 10 3.2.1. Pembagian Faring........................................................................................ 10 3.2.2. Ruang Faringeal .......................................................................................... 12 3.2 Faringitis ......................................................................................................... 12 3.2.1 Patofisiologi Faringitis ................................................................................. 12 3.2.2 Klasifikasi Faringitis .................................................................................... 13 3.2.3 Diagnosis Faringitis ..................................................................................... 16 3.2.4 Tatalaksana Faringitis .................................................................................. 20 3.2.5 Prognosis Faringitis Kronik ......................................................................... 20 3.3 Diskusi Kasus .................................................................................................. 20 BAB IV PENUTUP .............................................................................................. 23 LAMPIRAN .......................................................................................................... 23 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 24
iii
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1 Kriteria Centor17.................................................................................... 17
iv
DAFTAR GAMBAR
Gambar 3.1 Potongan midsagital yang menunjukkan pembagian faring yang terdiri atas nasofaring, orofaring dan hipofaring9 ................................................. 11
v
1
BAB I PENDAHULUAN
Faringitis adalah peradangan dinding faring yang disebabkan oleh virus, bakteri, jamur, dan lain-lain. Insiden terjadinya faringitis akibat virus adalah 40 60% sedangkan yang disebabkan oleh bakteri sebesar 5 - 40%.1, 2Pada orang dewasa, kasus faringitis sebagian besar disebabkan oleh virus yakni 30-60%. Penyebab tersering pada orang dewasa disebabkan oleh rhinovirus. Hal ini berbanding terbalik pada kasus faringitis yang dialami oleh anak-anak. Pada anak, penyebab tersering disebabkan oleh infeksi bakteri streptokokus beta hemolitikus grup A dengan jumlah kasus sekitar 30-40%.2 Pada tahun 2004 di Indonesia dilaporkan bahwa kasus faringitis akut masuk dalam 10 besar kasus penyakit yang dirawat jalan dengan presentase jumlah penderita 1,5 % atau sebanyak 214.781 orang.3 Kunjungan rawat jalan per tahun bagi faringitis akut adalah sekitar 12 juta di Amerika Serikat.4Adenovirus merupakan virus penyebab faringitis akut yang paling sering, sedangkan S. pyogenes ( b-hemolytic group A Streptococcus) merupakan bakteri penyebab faringitis akut yang paling umum.5 Sedangkan, pada faringitis kronik, faktor predisposisi meliputi rhinitis kronik, sinusitis, iritasi kronik oleh rokok, minum alkohol, inhalasi uap yang merangsang mukosa faring dan debu.1 Berdasarkan patologinya, faringitis kronik dibagi menjadi faringitis kronik hipertrofi/granuler dan faringitis kronik atrofi/sika.2, 6 Gambaran klinis faringitis kronik pada umumnya terdapat rasa tidak nyaman di tenggorok. Pada tipe atrofi seperti ada rasa kering di tenggorok, sedangkan pada tipe hipertrofi terasa selalu ada lendir di tenggorok.2, 6 Oleh karena kasus faringitis merupakan kasus yang sering dirawat jalan di Indonesia. Standar kompetensi dokter umum untuk kasus faringitis adalah 4A. Paparan di atas mendorong penulis untuk membahas kasus faringitis dari penegakan diagnosa sampai penatalaksanaannya.
2
BAB II LAPORAN KASUS
2.1 IDENTITAS PENDERITA
Nama inisial
: Ny. M
Umur
: 32 tahun
Tempat, tanggal lahir
: Leuwiliang, 27 Oktober 1985
Jenis kelamin
: Perempuan
Agama
: Islam
Warga negara
: Indonesia
Suku
: Sunda
Alamat
: Jasinga
Pekerjaan
: Ibu Rumah Tangga
Pendidikan tertinggi
: SMA
No. RM Irja
:
Masalah Aktif
Masalah Tidak Aktif
1. Nyeri telan 7 2. Sulit telan 7 3. Malaise 7 4. Rasa mengganjal di tenggorokan 7 5. Rasa lendir di tenggorokan 7 6. Batuk berdahak 7 7. Granulasi mukosa orofaring 7 8. Faringitis kronis eksaserbasi akut
2.2 ANAMNESIS (Autoanamnesis pada tanggal 02 April 2019 pada pukul 11.00 WIB) Keluhan utama : Nyeri telan
3
Perjalanan penyakit sekarang : Sekitar 2 tahun yang lalu pasien pertama kali merasakan nyeri telan. Suara serak (-), sesak (-), sulit telan (+), rasa seperti ada yang mengganjal di tenggorokan (+), rasa lendir di tenggorokan (+). Lalu membaik sekitar seminggu. Keluhan ini dirasakan hilang timbul > 3 kali pertahun. Satu bulan yang lalu pasien merasakan kembali nyeri telan. Rasa seperti ada yang mengganjal di tenggorokan (+), rasa lendir di tenggorokan (+). Pasien mengonsumsi obat flu dan antibiotik yang dibeli sendiri di apotik. Lalu gejala mereda setelah 5 hari. Saat ini pasien kembali mengeluh nyeri telan sejak 3 hari yang lalu. Nyeri telan dirasakan terus-menerus dan menetap. Nyeri telan mengganggu makan pasien. Lesu (+), demam (-), pilek (-), sesak (-), suara serak (-), sulit telan (+), rasa seperti ada yang mengganjal di tenggorokan (+), rasa lendir di tenggorokan (+), batuk berdahak (+) bening kental, minimal. Pasien sudah mengonsumsi obat flu dan vitamin, namun tidak terdapat perbaikan gejala sehingga pasien berobat ke Poli Umum RSUD Leuwiliang.
Riwayat penyakit lain/sebelumnya : Riwayat terpapar asap rokok didalam rumah (+), ayah pasien sejak pasien kecil Riwayat gastritis (+) Riwayat rinosinusitis disangkal Riwayat alergi disangkal Riwayat DM disangkal Riwayat makanan yang pedas, sangat panas, atau sangat dingin (-)
Riwayat penyakit keluarga : Riwayat alergi disangkal Riwayat keluarga dengan sakit seperti ini disangkal Keadaan sosial ekonomi : Pasien merupakan Ibu Rumah Tangga, Pasien tinggal bersama Ayah, Suami dan kedua anaknya yang belum mandiri. Biaya pengobatan menggunakan biaya pribadi.
4
Kesan: sosial ekonomi cukup.
2.3 PEMERIKSAAN 2.3.1 PEMERIKSAAN FISIK (Pemeriksaan fisik dilakukan pada tanggal 02 Maret 2019 pada pukul 11.00 WIB) 2.3.1.1 Status Generalis Keadaan umum
: Baik
Kesadaran
: Compos mentis
Tanda vital
: TD
: 120/80
Suhu : Afebris
Nadi : 88 x/menit
RR
: 22 x/menit
Pemeriksaan fisik Kepala
: Mesosefal Thoraks
Gambar:
: tidak diperiksa
Paru
: tidak diperiksa
Abdomen
: tidak diperiksa
Ekstremitas
: tidak diperiksa
2.3.1.2 Status Lokalis 1. Telinga
: Jantung
5
Bagian Telinga
Telinga kanan
Telinga kiri
Hiperemis (-), edema (-), jejas
Hiperemis (-), edema (-), jejas
(-), nyeri tekan (-),
(-), nyeri tekan (-),
nyeri ketok (-)
nyeri ketok (-)
Hiperemis (-), edema (-),
Hiperemis (-), edema (-),
Mastoid
Preaurikula
fistula (-), abses (-), nyeri tekan fistula (-), abses (-), nyeri tekan
Aurikula
Retroaurikula
tragus (-)
tragus (-)
Normotia, low set ear (-),
Normotia, low set ear (-),
deformitas (-), hiperemis (-),
deformitas (-), hiperemis (-),
edema (-), nyeri tarik (-)
edema (-), nyeri tarik (-)
Hiperemis (-), edema (-),
Hiperemis (-), edema (-),
fistula (-), abses (-), nyeri tekan fistula (-), abses (-), nyeri tekan
Mastoid
(-)
(-)
Nyeri tekan (-), nyeri ketok (-)
Nyeri tekan (-), nyeri ketok (-)
Edema (-), hiperemis (-),
Edema (-), hiperemis (-),
furunkel (-), discaj (-)
furunkel (-), discaj (-)
Putih mengkilat, reflek cahaya
Putih mengkilat, reflek cahaya
(+) arah jam 5, retraksi (-),
(+) arah jam 7, retraksi (-),
perforasi(-)
perforasi(-)
CAE / MAE
Membran timpani
2. Hidung a. Pemeriksaan luar - Hidung Inspeksi
: Bentuk (N), simetris, deformitas (-), massa (-),
6
alergic shinner (-), alergic crease (-), discharge (-) serous.
-
Palpasi
: Os nasal : krepitasi (-/-), nyeri tekan (-/-)
Sinus
: Nyeri tekan (-), nyeri ketok (-)
3. Tenggorok Gambar :
3.a. Faring 3.a.1. Orofaring
Keterangan Dinding Faring Hiperemis (+), Granulasi (+), Post nasal drip (-) Posterior Palatum
Bombans (-), hiperemis (-)
Arkus Faring
Simetris, uvula ditengah, hiperemis (-)
Mukosa
Hiperemis (-), edema (-)
Tonsil
Ukuran T1, hiperemis (-),
Ukuran T1, hiperemis (-),
7
permukaan licin dan rata,
permukaan licin dan rata,
kripte melebar (-), detritus
kripte melebar (-), detritus
(-), membran (-)
(-), membran (-)
Peritonsil
Hiperemis (-), edema (-), abses (-)
3.a.2. Nasofaring
: tidak dilakukan
3.a.3. Laringofaring
: tidak dilakukan
3.b.
: tidak dilakukan
Laring
3.b.1. Supraglotis
: tidak dilakukan
3.b.2. Glotis
: tidak dilakukan
3.a.3. Subglotis
: tidak dilakukan
4. Kepala dan Leher - Kepala
: mesosefal
- Wajah
: simetris, deformitas (-)
- Leher anterior
: pembesaran nnll (-/-), pembesaran tiroid (-)
- Leher lateral
: pembesaran nnll (-/-)
5. Gigi dan Mulut - Gigi geligi
: karies (-), gigi goyang (-)
- Lidah
: deviasi (-), fasikulasi (-), tremor (-)
- Palatum
: simetris, bombans (-)
- Pipi
: simetris
2.3.2 PEMERIKSAAN LABORATORIUM/PENUNJANG/KHUSUS 1.
Pemeriksaan Patologi Klinik : Tidak dilakukan
2.
Tes Pendengaran : Tidak dilakukan
3.
Tes Keseimbangan dan Vestibuler: Tidak dilakukan
8
4.
Pemeriksaan Radiologik: Tidak dilakukan
5.
Pemeriksaan Endoskopi: Tidak dilakukan
6.
Tes Alergi: Tidak dilakukan
7.
Pemeriksaan Mikrobiologik: Tidak dilakukan
8.
Fungsi N. Fasialis: Tidak dilakukan
2.4 RINGKASAN Seorang wanita 32 tahun mengeluh nyeri telan hilang timbul sejak 3 tahun yang lalu. Rasa mengganjal di tenggorokan (+), rasa lendir di tenggorokan (+), sering berdehem (+). Keluhan ini dirasakan hilang timbul, >3 kali pertahun. Saat ini pasien mengeluh nyeri telan sejak 3 hari yang lalu. Nyeri telan dirasakan terus-menerus dan menetap. Nyeri telan mengganggu makan pasien sehingga pasien merasakan sulit menelan. Rasa seperti ada yang mengganjal di tenggorokan (+), rasa lendir di tenggorokan (+), batuk berdahak(+) mukoid, lesu (+), pilek (-). Pasien sudah mengonsumsi obat flu dan vitamin, namun tidak terdapat perbaikan gejala sehingga pasien berobat ke Poli umum RSUD Leuwiliang. Riwayat paparan lama asap rokok (+) Pada pemeriksaan fisik didapatkan pada dinding faring posterior tampak hiperemis (+) dan terdapat granulasi (+).
2.5 DIAGNOSIS KERJA: Faringitis kronik eksaserbasi akut non spesifik
2.6 DIAGNOSIS BANDING: Faringitis kronik eksaserbasi akut non spesifik Faringitis kronik eksaserbasi akut spesifik
2.7 RENCANA PENGELOLAAN Pemeriksaan Diagnostik -
9
Terapi Paracetamol 500 mg / 8 jam Betadine gargle 2x sehari Terapi diberikan selama 5 hari, kemudian kontrol
Pemantauan Keadaan umum pasien, respon terapi dan ketaatan terapi pasien.
Penyuluhan Menjelaskan kepada pasien bahwa pasien terdiagnosis faringitis kronik hipertrofi eksaserbasi akut yang kemungkinan disebabkan oleh virus. Faringitis kronik hipertrofi dapat disebabkan oleh paparan terhadap asap rokok jangka panjang. Menjelaskan mengenai pentingnya gaya hidup sehat dengan mengurangi makanan berminyak, gorengan dan mengonsumsi air hangat untuk meringankan gejala. Prognosis faringitis hipertrofi baik apabila faktor pencetus dapat dihilangkan,, dalam kasus ini adalah paparan terhadap asap rokok. Menjelaskan bahwa pengobatan yang diberikan bersifat simptomatis.
Prognosis Quo ad sanam
: dubia ad bonam
Quo ad vitam
: ad bonam
Quo ad fungsionam: ad bonam
10
BAB III PEMBAHASAN
3.1Anatomi Faring Faring adalah suatu kantong fibromuskuler yang bentuknya seperti corong, yang besar di bagian atas dan sempit di bagian bawah serta terletak pada bagian anterior kolum vertebra.7 Kantong ini mulai dari dasar tengkorak terus menyambung ke esophagus setinggi vertebra servikal ke-6. Ke atas, faring berhubungan dengan rongga hidung melalui koana, ke depan berhubungan dengan rongga mulut melalui ismus orofaring, sedangkan dengan laring di bawah berhubungan melalui aditus laring dan ke bawah berhubungan dengan esophagus. Panjang dinding posterior faring pada orang dewasa kurang lebih 14 cm; bagian ini merupakan bagian dinding faring yang terpanjang. Dinding faring dibentuk oleh (dari dalam keluar) selaput lendir, fasia faringobasiler, pembungkus otot dan sebagian fasia bukofaringeal.8 3.2.1. Pembagian Faring Faring terbagi atas nasofaring, orofaring dan laringofaring (hipofaring).7 Unsur-unsur faring meliputi mukosa, palut lendir (mukosa blanket) dan otot.8 Faring terdiri atas : 2. Nasofaring Batas nasofaring di bagian atas adalah dasar tengkorak, di bagian bawah adalah palatum mole, ke depan adalah rongga hidung sedangkan ke belakang adalah vertebra servikal. Nasofaring yang relatif kecil, mengandung serta berhubungan erat dengan beberapa struktur penting, seperti adenoid, jaringan limfoid pada dinding lateral faring dengan resesus faring yang disebut fosa Rosenmuller, kantong Rathke, yang merupakan invaginasi struktur embrional hipofisis serebri, torus tubarius, suatu refleksi mukosa faring di atas penonjolan kartilago tuba Eustachius, koana, foramen jugulare, yang dilalui oleh n. glosofaring, n. vagus dan n.asesorius spinal saraf cranial dan v.jugularis interna, bagian petrosus os temporalis dan foramen laserum dan muara tuba Eustachius.7, 8
11
3.
Orofaring Orofaring disebut juga mesofaring dengan batas atasnya adalah palatum
mole, batas bawah adalah tepi atas epiglottis, ke depan adalah rongga mulut, sedangkan ke belakang adalah vertebra sevikal. Struktur yang terdapat di rongga orofaring adalah dinding posterior faring, tonsil palatine, fosa tonsil serta arkus faring anterior dan posterior, uvula, tonsil lingual dan foramen sekum.8
4.
Laringofaring (Hipofaring) Batas laringofaring di sebelah superior adalah tepi atas epiglotis, batas
anterior ialah laring, batas inferior ialah esofagus, serta batas posterior ialah vertebra servikal. Struktur pertama yang tampak di bawah lidah ialah valekula. Bagian ini merupakan dua cengkungan yang dibentuk oleh ligamentum glosoepiglotika medial dan ligamentum glosoepiglotika lateral pada tiap sisi. Valekula disebut juga “kantong pil” (pill pockets) sebab pada beberapa orang, kadang – kadang bila menelan pil akan tersangkut di situ. Di bawah valekula terdapat epiglotis. Pada bayi epiglotis ini berbentuk omega dan pada perkembangannya akan lebih melebar, meskipun kadang – kadang bentuk infantile (bentuk omega) ini tetap sampai dewasa. Dalam perkembangannya, epiglotis ini dapat menjadi demikian lebar dan tipisnya. Epiglotis berfungsi juga untuk melindungi glotis ketika menelan minuman atau bolus makanan, pada saat bolus tersebut menuju ke sinus piriformis dan ke esophagus.8
Gambar 3.1 Potongan midsagital yang menunjukkan pembagian faring yang terdiri atas nasofaring, orofaring dan hipofaring9
12
3.2.2. Ruang Faringeal Ada dua ruang yang berhubungan dengan faring yang secara klinis mempunyai arti penting, yaitu ruang retrofaring dan ruang parafaring. Ruang retrofaring ( Retropharyngeal space) Dinding anterior ruang retrofaring adalah dinding belakang faring yang terdiri dari mukosa faring, fasia faringobasilaris dan otot – otot faring. Ruang ini berisi jaringan ikat jarang dan fasia prevertebralis. Ruang ini mulai dari dasar tengkorak di bagian atas sampai batas paling bawah dari fasia servikalis. Serat – serat jaringan ikat di garis tengah mengikatnya pada vertebra.Di sebelah lateral ruang ini berbatasan dengan fosa faringomaksila.8 Ruang parafaring (Pharyngomaxillary Fossa) Ruang parafraing berbentuk kerucut dengan dasarnya yang terletak pada dasar tengkorak dekat foramen jugularis dan puncaknya pada kornu mayus os hioid. Ruang ini dibatasi di bagian dalam oleh m. konstriktor faring superior, batas luarnya adalah ramus asenden mandibula yang melekat dengan m. pterigoid interna dan bagian posterior kelenjar parotis. Fosa ini dibagi menjadi dua bagian yang tidak sama besarnya oleh os stiloid dengan otot yang melekat padanya. Bagian anterior (presteloid) adalah bagian yang lebih luas dan dapat mengalami proses supuratif sebagai akibat tonsil yang meradang, beberapa bentuk mastoiditis atau petrositis, atau dari karies dentis. Bagian yang lebih sempit di bagian posterior (post stiloid) berisi a.karotis interna, v. jugularis interna, n. vagus yang dibungkus dalam suatu sarung yang disebut selubung karotis (carotid sheath). Bagian ini dipisahkan dari ruang retrofaring oleh sesuatu lapisan fasia yang tipis.8
3.2 Faringitis Faringitis merupakan peradangan dinding faring yang dapat disebabkan oleh virus (40-60%), bakteri (5-40%), alergi, trauma, toksin dan lain-lain.1 3.2.1 Patofisiologi Faringitis Faringitis merupakan inflamasi faring yang dapat menyebabkan sakit tenggorok. Faktor etiologi berpindah melalui kontak interpersonal, kebanyakan
13
melalui droplet, sekresi nasal, atau saliva. Gejala dapat terlihat setelah masa inkubasi sekitar 1-5 hari.10 Virus dapat menginvasi langsung sel epitel. Infeksi rhinovirus akan menyebabkan produksi bradykinin dan lysylbradikin. Mediator tersebut diketahui dapat mengindksi akhiran saraf nyeri yang menyebabkan gejala nyeri pada pasien dengan faringitis.10 Etiologi
paling
seringdari
faringitis
bakterialis,
Streptococcus
β
hemoliticus grup A atau biasa dikenal sebagai Streptococcus pyogenes. Bakteri ini memiliki protein M yang mencegah fagositosis dan asam hialuronat yang dapat meningkatkan kemampuannya menginvasi jaringan. Ekstoksin dan dua hemolysin (streptolysin S dan Streptolysin O) merupakan faktor virulensi lain dari bakteri ini. Infeksi bakteri ini dapat menimbulkan komplikasi demam rematik dan gromerulonefritis. 10
3.2.2 Klasifikasi Faringitis 3.2.2.1 Faringitis Akut 1. Faringitis viral Virus dapat menyebabkan inflamasi lokal melalui invasi mukosa faring. Pada umumnya faringitis virus memberikan gejala yang ringan. Faringitis viral dapat disebabkan oleh rinovirus, influenza, coxsachievirus, cytomegalovirus, adenovirus, Epstein Barr Virus (EBV).1 2. Faringitis Bakterialis Faringitis disebabkan oleh bakteri pada 5-40% kasus. Pada faringitis bakterialis penting untuk membedakan etiologi menjadi Streptococcus β hemolyticus grup A atau non- Streptococcus β hemolyticus grup A. Hal ini terkait dengan pengontrolan komplikasi berupa demam reumatik dan komplikasi supuratif serta komplikasi tambahan setelah seperti gromerulonefritis, scarlet fever, dan syok toksik. Selain itu, pembedaan jenis penting untuk menentukan terapi antibiotik. 11 Faringitis kronis bakterialis yang disebabkan oleh Streptococcus β hemolyticus grup A terjadi pada 15-36% kasus pada populasi pediatri dan 15% orang dewasa. Faringitis Streptococcus β hemolyticus grup A sebagian besar
14
sembuh sendiri dalam waktu 3-5 hari. Kolonisasi bakteri Streptococcus β hemolyticus grup A dapat terjadi namun tidak terlihat sering menjadi infeksi yang rekuren atau menjadi faktor transmisi secara kontak.11 Faringitis bakterialis non-Streptococcus β hemolyticus grup A dapat disebabkan
oleh
Neisseiria
gonorrhoeae,
Corynebacterium
diptheriae,
Arcanobacterium haemolyticum, Chlamydia pneumonia Haemophilus influenzae type B (HIB), spesies streptokokus lain, dan Mycoplasma pneumoniae. Faringitis kronik yang disebabkan oleh Mycoplasma pneumoniae khususnya dijumpai pada sakit sistemik. Sekitar 25% faringitis non-streptococcus disebabkan oleh Mycoplasma pneumoniae.11 3.
Faringitis Fungal Faringitis fungal dapat disebabkan oleh candida yang tumbuh di rongga mulut
dan faring.1 4.
Faringitis Gonorea Faringitis gonorea hanya dijumpai pada pasien yang melakukan kontak
orogenital.1
3.2.2.2 Faringitis Kronik Definisi pasti faringitis kronis belum pasti. Faringitis kronik didefinisikan sebagai peradangan persisten pada faring selama setidaknya satu tahun, lebih dari enam jam perhari, selama lebih dari dua minggu dalam sebulan, selama lebih dari tiga bulan pertahun.12 Kebanyakan klinisi mendefinisikan faringitis kronik sebagai infeksi faring lebih dari tiga episode dalam satu tahun.11 Faringitis kronik dapat dicetuskan oleh berbagai macam faktor sebagai berikut. Infeksi persisten jaringan sekitar. Pada rinitis dan sinusitis kronik, discaj purulen turun ke faring secara konstan yang menjadi sumber infeksi konstan. Hal ini menyebabkan hipertrofi lateral laringeal band. Tonsilitis kronik dan sepsis gigi berperan pada faringitis kronik dan nyeri tenggorok berulang. 1, 13, 14
Bernafas melalui mulut. Nafas melalui mulut membuat faring terpajan udara yang belum disaring, dilembabkan, dan disesuaikan dengan suhu tubuh. Hal
15
ini menyebabkan faring lebih rentan terhadap infeksi. Nafas melalui mulut dapat disebabkan oleh: (i) obstruksi nasal, yaitu polip nasi, rhinitis alergika atau rinitis vasomotor, hipertrofi turbinate, deviasi septum nasi; (ii) Obstruksi nasofaring, yaitu adenoid dan tumor; (iii) protrusi gigi yang mencegah aposisi bibir; (iv) kebiasaan tanpa penyebab organik. 1, 13, 14 Iritan
kronik.
Merokok
berlebihan,
paparan
terhadap
asap
rokok,
mengonsumsi alkohol, mengunyah tembakau, dan makanan yang sangat pedas.
1, 13-15
Faringitis kronik juga berhubungan dengan riwayat konsumsi
minuman dingin.16 Polusi lingkungan. Lingkungan berasap atau berdebu atau gas industri iritan dapat berperan terhadap terjadinya faringitis kronik.
1, 13-15
Asap rokok akan
mengiritasi epitel orofaring dan menyebabkan kerusakan serta mengganggu mucosal clearance dan respon imun. Nikotin berikatan dengan
reseptor
asetilkolin nikotinik dan menimbulkan rasa nyeri yang disebabkan oleh asap rokok. Asap rokok juga dapat mengubah flora normal orofaring dan menjadi faktor predisposisi infeksi.15 Cara berbicara yang salah. Hal ini jarang disadari namun merupakan salah satu penyebab faringitis kronik yang penting. penggunaan suara yang berlebihan dapat dijumpai pada beberapa profesi atau pada neurosis faring membuat pasien mau tidak mau membersihkan faring secara konstan, berteriak atau mengendus dan hal tersebut dapat menginduksi faringitis kronik teruutama faringitis kronik hipertrofi.13
Persentase kasus faringitis akut yang berkembang menjadi faringitis kronik atau rekuren diperkirakan sebesar 1-2%. Terdapat dua bentuk faringitis kronik yaitu faringitis kronik hipertrofi dan fringitis kronik atrofi.1, 14 1. Faringitis Kronik Hipertrofi Pada faringitis kronik hipertrofi terjadi perubahan mukosa dinding posterior faring. Tampak kelenjar limfe di bawah mukosa faring dan lateral band hiperplasia. Pada pemeriksaan tampak dinding posterior faring tidak rata bergranular.1
16
2. Faringitis Kronik Atrofi Faringitis kronik atrofi merupakan bentuk faringitis kronik yang sering dijumpai bersamaan dengan rinitis atrofi. Pada rinitis atrofi udara tidak diatur suhu dan kelembabannya sehingga menimbulkan rangsangan serta infeksi faring.1, 13
Mukosa dan kelenjar limfe faring tampak atrofi. Terbentuk krusta yang dapat
menjadi fokus infeksi.13
3.2.2.3 Faringitis Spesifik 1. Faringitis Luetika Treponema pallidum dapat menimbulkan infeksi di daerah laring faring seperti juga penyakit luas di organ lain. gambaran kliniknya tergantung pada stadium penyakit primer, sekunder, atau tersier.1 2. Faringitis Tuberkulosis Faringitis tuberkulosis merupakan proses sekunder dari tuberkulosis paru. Pada infeksi kuman tahan asam jenis bovinum dapat timbul tuberkulosis faring primer. Cara infeksi eksogen yaitu dengan kontak dengan sputum yang mengandung kuman atau inhalasi kuman melalui udara. Bila infeksi timbul secara hematogen maka lesi terjadi pada kedua tonsil dan sering terkena pada dinding posterior faring, arkus faring anterior, dinding lateral hipofaring, palatum mole dan palatum durum.1
3.2.3 Diagnosis Faringitis 1. Anamnesis Faringitis akut dapat terjadi pada berbagai derajat gejala. Infeksi yang ringan bermanifestasi sebagai rasa tidak nyaman di tenggorok, malaise dan demam ringan. Faring kongesti namun tidak terdapat limfadenopati.
Infeksi
moderat dan parah dapat dijumpai nyeri tenggorok, disfagia, nyeri kepala, malaise, dan demam tinggi. Sulit untuk membedakan faringitis bakterial dan viral berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan klinis.1
17
a. Faringitis viral Rhinovirus diawali dengan gejala rhinitis dan beberapa hari kemudian timbul faringitis. Gejala lain demam, dan sulit menelan. Pada adenovirus dapat menimbulkan konjunctivitis pada anak-anak.1 b. Faringitis bakterial Gejala yang timbul akibat faringitis Streptococcus β hemolyticus grup A adalah nyeri kepala yang hebat, muntah, kadang-kadang disertai demam dengan suhu yang tinggi.1 Untuk membedakan faringitis Streptococcus βhemolyticus grup A dan non- Streptococcus β hemolyticus grup A dapat digunakan kriteria Centor pada tabel 3.1. Tabel 3.1 Kriteria Centor17 Kriteria
Skor
Demam> 38oC
1
Tidak batuk dan sindroma kataral
1
Eksudat tonsil
1
Pembesaran dan nyeri nodililimfatici servikal
1
Skoring: 0–1
: infeksi Streptococcus β hemolyticus grup A kecil kemungkinannya (2%), terapi antibiotik dan tes bakteriologis tidak dilakukan
2–3
: kemungkinan faringitis Streptococcus β hemolyticus grup A moderat, dilakukan tes bakteriologis (rapid test atau kultur) dan terapi antibiotik berdasarkan hasilnya.
4
: kemungkinan infeksi Streptococcus β hemolyticus grup Atinggi (52%), dilakukan tes bakteriologis (rapid test atau kultur) dan terapi antibiotik berdasarkan hasilnya. Dapat diberikan antibiotik empiris meski hasil tes bakteriologik belum keluar pada kasus yang berat.
c. Faringitis fungal Gejala biasanya terdapat keluhan nyeri tenggorok dan nyeri menelan.1
18
d. Faringitis kronik Anamnesis yang dilakukan pada pasien dapat mengarahkan kepada diagnosis faringitis kronik.14 Anamnesis bertujuan untuk mencari gejala yang dirasakan oleh pasien dan faktor-faktor risiko yang terdapat pada pasien. Gejala faringitis kronik bervariasi pada tiap individu. Manifestasi klinis yang utama adalah tenggorok terasa kering, sering membersihkan tenggorok, dan drainase mucus yang viscous. Beberapa pasien mengeluhkan batuk kering dan sensasi benda asing di tenggorok.14 Umumnya gejala faringitis kronik adalah sebagai berikut.13 Rasa tidak nyaman pada tenggorok atau nyeri tenggorok. Keluhan ini terutama dirasakan pada pagi hari. Rasa seperti terdapat benda asing di tenggorok. Pasien memiliki keinginan yang konstan untuk membersihkan tenggoroknya dari sensasi benda asing tersebut. Kelelahan suara. Pasien tidak dapat berbicara lama dan membutuhkan usaha untuk berbicara disebabkan adanya rasa sakit. Suara dapat berkurang kualitasnya dan serak. Batuk. Tenggorok iritabel dan terdapat kecenderungan untuk batuk. Membuka mulut berlebihan dapat menimbulkan mual dan muntah. Pada pasien faringitis kronik hipertrofi pasien mengeluh mula-mula tenggorok kering gatal kemudian batuk berdahak. Pasien dengan faringitis kronik atrofi mengeluh tenggorok kering dan tebal serta mulut berbau.1
2. Pemeriksaan Fisik a. Faringitis viral Pada pemeriksaan tampak laring dan tonsil hiperemis. Virus influenza, coxsachie, dan citomegalivirus tidak menimbulkan eksuat. Coxsachievirus dapat menimbulkan lesi vericular di orofaring dan maculopapular rash. .EBV juga menyebabkan eksudat yang banyak pada faring, pebesaran kelenjar limfa di seluruh tubuh, dan hepatomegali.1
19
b. Faringitis bakterial Faringitis bakterial, pada pemeriksaan tampak tonsil membesar, faring dan tonsil hiperemis dan terdapat eksudat dipermukaannya. Beberapa hari kemudian timbul bercak petechiae pada palatum dan faring. Kadang ditemukan kelenjar limfa leher anterior membesar, kenyal dan nyeri pada penekanan.1 c. Faringitis fungal Faringitis fungal, pada pemeriksaan tampak plak putih di orofaring dan pangkal lidah, sedangkan mukosa faring lainnya hiperemis.1 d.
Faringitis kronik Pada pemeriksaan fisik faringitis kronik hipertrofi akan ditemukan tanda
sebagai berikut.13 Dinding faring akan tampak tebal dan edematous dengan kongesti mukosa dan pembuluh darah yang berdilatasi. Pada dinding posterior faring akan tampak nodul-nodul merah (yang membuatnya disebut faringitis granular). Nodul tersebut merupakan folikel limfonodi subepitel yang mengalami hipertrofi. Hipertrofi lateral pharyngeal band. Uvula dapat tampak memanjang dan edem. Faringitis kronik atrofi akan memberikan tanda berikut dalam pemeriksaan fisik. Mukosa faring dapat tampak halus, licin dan bersinar pada beberapa kasus.14 Mukosa faring dapat tertutup lendir kental yang apabila diangkat akan tampak mukosa kering di bawahnya.1, 13
3. Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan penunjang disesuaikan dengan jenis faringitis. Apabila dicurigai adanya infeksi Streptococcus β hemolyticus grup A perlu dilakukan Rapd
test
atau
swab
tenggorok.
Pada
faringitis
kronik
pemeriksaan
penunjangdiperlukan untuk mengeksklusi faktor obstruksi nasal yang mungkin penyebabkan faringitis kronik. Endoskopi dilakukan untuk mengevaluasi struktur anatomi hidung. Deviasi septum nasi, meatus media, hiperplasia turbinate perlu dievaluasi menggunakan endoskopi.14
20
3.2.4 Tatalaksana Faringitis Terapi simptomatis faringitis akut meliputi intake cairan yang cukup, NSAID, analgesik/antipiretik, gargle. 17 Anti virus metisoprinol (isoprenosine) diberikan pada infeksi virus dengan dosis 60−100 mg/kgBB dibagi dalam 4−6 kali pemberian/hari pada orang dewasa dan pada anak kurang dari lima tahun diberikan 50 mg/kgBB dibagi dalam 4−6 kali pemberian/hari. 1 Antibiotik diberikan terutama apabila diduga penyebab faringitis bakteri adalah Streptococcus β hemolyticus grup A. Antibiotik yang dipakai adalah golongan penisilin. Penisilin G Benzatin 50.000 U/kgBB IM tunggal atau amoksisilin 500mg/kgBB 3 kali/hari selama 10 hari atau eritromisin 4x500 mg/ hari.Pada faringitis fungal diberikan nystatin 100.000−400.000 2 kali/hari. 1 Pada terapi faringitis kronik, penyebab faringitis kronik perlu dihilangkan. Penyakit penyebab seperti rinitis atrofi (pada faringitis atrofi), rinitis dan sinusitis kronik harus diobati.1, 13, 14 Apabila terdapat deviasi septum maka dapat dilakukan operasi untuk memperbaiki keluhan pasien.14Pengobatan simptomatis dapat diberikan obat kumur1,
13, 14
dan tablet hisap1. Pada faringitis kronik hipertrofi
dapat diberikan ekspektoran bila diperlukan. Kebersihan mulut dijaga.1 Pada faringitis kronis hipertrofi kauterisasi granula limfoid dianjurkam. Tenggorok dianastesi lokal dan granula disentuh dengan larutan perak nitrat 1025%. Pada penggunaan diatermi atau elektrokauter mungkin dibutuhkan anastesi general.1, 13
3.2.5 Prognosis Faringitis Kronik Prognosis faringitis kronis pada umumnya baik. Perlu penatalaksanaan penyakit dasar maupun faktor risiko dalam terapi faringitis kronis.13
3.3 Diskusi Kasus Seorang perempuan berusia 32 tahun datang dengan keluhan nyeri telan yang terus menerus sejak 3 hari yang lalu. Nyeri telan sudah dirasakan berulang kali hilang timbul sejak 3 tahun yang lalu. Nyeri telan dirasakan lebih dari 3 kali pertahun. Berdasarkan literatur nyeri tenggorok merupakan salah satu keluhan
21
pasien faringitis kronik. Selain itu pasien merasakan sulit telan. telan, adanya lendir di tenggorok dan rasa mengganjal di tenggorok. Hal tersebut membuat pasien ingin berusaha membersihkan tenggoroknya. Pasien juga batuk berdahak. Hal tersebut sesuai dengan gejala faringitis kronik hipertrofi. Pada pemeriksaan fisik didapatkan pada dinding posterior mukosa orofaring hiperemis dan granuler. Hal ini sesuai dengan tanda faringitis kronik. Mukosa faring granuler merupakan hasil dari hipertrofi jaringan limfonodi di submukosa orofaring sebagai respon terhadap inflamasi kronik. Gejala yang sudah dirasakan lebih dari 3 kali pertahun dan hasil pemeriksaan fisik yang menunjukkan granulasi mukosa orofaring mengarahkan diagnosis kepada faringitis kronik hipertrofi. Pada pengelolaan faringitis kronik perlu dicari faktor predisposisi. Pada anamnesis dan pemeriksaan fisik tidak didapatkan gejala dan tanda rinosinositis kronik dan rinitis alergika. Pasien maupun keluarga pasien tidak memiliki riwayat alergi. Pada pemeriksaan fisik tidak didapatkan obstruksi nasal yang dapat mendorong pasien untuk bernafas melalui hidung. Tidak didapatkan kelainan gigigeligi pasien maupun pembesaran tonsil. Pasien memiliki riwayat paparan asap rokok di dalam rumah dari salah satu anggota keluarga. Asap rokok diketahui dapat menjadi faktor predisposisi faringitis kronik. Asap rokok akan mengiritasi epitel orofaring dan menyebabkan kerusakan serta mengganggu mucosal clearance dan respon imun. Nikotin berikatan dengan
reseptor asetilkolin
nikotinik dan menimbulkan rasa nyeri yang disebabkan oleh asap rokok. Asap rokok juga dapat mengubah flora normal orofaring dan menjadi faktor predisposisi infeksi. Pada kasus ini pasien pasien menunjukkan gejala eksaserbasi akut berupa nyeri telan. Pasien tidak merasa demam maupun mengalami suhu badan >38.0oC, batuk, tidak mengalami limfadenitis servikal, pembengkakan atau didapatkan eksudat tonsil sehingga skor Centor yang didapatkan adalah 1. Kemungkinan pasien mengalami faringitis karena bakteri streptokokus sangat kecil. Berdasarkan guideline, pasien tidak memerlukan pemeriksaan swab tenggorok maupun terapi antibiotik.
22
Berdasarkan uraian di atas, pasien diberi terapi berupa betadine gargle/ 8 jam sebagai salah satu sarana menjaga kebersihan mulut dan paracetamol 500 mg/8 jam. Pasien juga diedukasi untuk minum air putih yang cukup dan menghindari paparan asap rokok.
23
BAB IV PENUTUP
Faringitis adalah peradangan dinding faring yang disebabkan oleh virus, bakteri, jamur, dan lain-lain. Kebanyakan klinisi mendefinisikan faringitis kronik sebagai infeksi faring lebih dari tiga episode dalam satu tahun. Faringitis kronis dapat didiagnosis melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik. Pada kasus faringitis kronik pencarian faktor risiko dan penyakit penting dilakukan dalam penatalaksanaan pasien.
24
DAFTAR PUSTAKA
1.
Rusmarjono, Soepardi EA. Fringitis, Tonsilitis, dan Hipertrofi Adenoid, 7 ed. In: Soepardi EA, Iskandar N, Bashirudin J, Restuti RD, editors. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Kepala Tenggorok dan Kepala Leher. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2012.
2.
Paul W. Cummings Otolaryngology, 6 ed. Philadelphia, 2010.
3.
RI DK. Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2004, 2006.
4.
Struble K. Bacterial Pharyngitis, 2013.
5.
Vincent MT, Celestin N, Hussain AN. Pharyngitis. Am Fam Physician 2004;69:1465-1470.
6.
Clement R. Chronic Pharyngitis, 2004.
7.
Joshi AS. Pharynx Anatomy, 2011.
8.
Hermani RB. 6 ed. In: Efiaty A.S. NI, Jenny B. dan Ratna D.R., editor. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2007:212-215; 217-218.
9.
Rudolf Probst GG, Heinrich Iro. Basic Otorhinolaryngology: A Step-by-step Learning Guide: Thieme, 2005.
10. Mitz ML. Disorder of the Respiratory Tract: Common Challenge in Primary Care. Totowa, 2006. 11. Murray RC, Chennupati SK. Chronic Streptococcal and non-Streptococcal Pharyngitis. Infectious Disorder-Drug Target 2012;12:281-285.
25
12. Ferrara L, Naviglio D, Caruso AA. Approach under the Form of Semiqualitative Cytological Evaluation for Chronic Pharyngitis. European Scientific Journal 2013;3. 13. Acute and Chronic Pharyngitis, 4 ed. In: Dhingra P, editor. Disease of Ear, Nose, and Throat. India: ELsevier:236-238. 14. Diseases of the Oropharynx. In: Probst R, Grevers G, Iro H, editors. Basic Otorhinolaryngology:
A Step-By-Step Learning Guide. New York:
Thieme:112-119. 15. Renner B, Mueller CA, Shephard A. Environmental and non-infectious factors in the aetiology of pharyngitis (sore throat). Inflamm Res 2012;61:1041-1052. 16. Anggraini SM, Kartikawati H. Hubungan Faringitis Kronik dengan Riwayat Konsumsi Makanan Minuman Ektrem Secara Suhu dan Rasa. Fakultas Kedokteran Undip 2011. 17. Andrašević AT, Baudoin T, Vukelić D, et al. ISKRA guidelines on sore throat: diagnostic and therapeutic approach – Croatian national guidelines.
26