Dhf Dan Nefrotik Syndrom.doc

  • Uploaded by: Esah
  • 0
  • 0
  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Dhf Dan Nefrotik Syndrom.doc as PDF for free.

More details

  • Words: 7,962
  • Pages: 43
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Asuhan keperawatan adalah suatu proses atau rangkaian kegiatan pada praktik keperawatan yang diberikan kepada pasien dalam berbagai tatanan pelayanan kesehatan dengan proses keperawatan yang berpedoman pada standar asuhan keperawatan dengan lingkup wewenang, serta tanggung jawab keperawatan. Pasien yang mengalami gangguan kesehatan pasti akan terganggu kehidupannya (Tarwoto, 2006). Kebutuhan dasar manusia yaitu merupakan kebutuhan yang harus terpenuhi bagi manusia dimana kebutuhan itu meliputi kebutuhan oksigenasi, kebutuhan nutrisi, kebutuhan cairan dan elektrolit, kebutuhan eliminasi, personal hygiene, aktivitas, istirahat, tidur, keselamatan, keamanan dan kebutuhan psikososial terutama pada kebutuhan dasar manusia yang harus terus diperhatikan yaitu aktivitas. Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi perubahan kemampuan gerak aktivitas manusia seperti usia, kecelakaan (insiden), penyakit yang menyertai yang dapat menyebabkan gangguan intoleransi aktivitas. Anak merupakan aset masa depan yang akan melanjutkan pembangunan di suatu negara. Masa perkembangan tercepat dalam kehidupan anak terjadi pada masa balita. Masa balita merupakan masa yang paling rentan terhadap serangan penyakit. Terjadinya gangguan kesehatan pada masa tersebut, dapat berakibat negatif bagi pertumbuhan anak itu seumur hidupnya (Soetjiningsih, 1995). Seiring dengan meningkatnya tingkat kesejahteraan masyarakat di Indonesia, pola penyakit saat ini telah mengalami transisi epidemiologi yang ditandai dengan beralihnya penyebab kematian yang semula didominasi oleh penyakit menular bergeser ke penyakit yang tidak menular (non communicable disease). Oleh karena itu, kami akan membahas mengenai asuhan keperawatan pada anak Neprotik Sindrom dan DHF. B. Rumusan Masalah

1

1. Apa pengertian dari neprotik sindrom dan DHF? 2. Bagaimana etiologi dari neprotik sindrom dan DHF? 3. Bagaimana patofisiologi dari neprotik sindrom dan DHF? 4. Apasaja tanda dan gejala dari neprotik sindrom dan DHF? 5. Bagaimana penatalaksanaan medis pada neprotik sindrom dan DHF? 6. Bagaimana upaya pencegahan dari neprotik sindrom dan DHF? 7. Bagaimana asuhan keperawatan pada neprotik sindrom dan DHF? C. Tujuan 1.

Untuk mengetahui pengertian dari neprotik sindrom dan DHF?

2.

Untuk mengetahui bagaimana etiologi dari neprotik sindrom dan DHF?

3.

Untuk mengetahui bagaimana patofisiologi dari neprotik sindrom dan DHF?

4.

Untuk mengetahui apasaja tanda dan gejala dari neprotik sindrom dan DHF?

5.

Untuk mengetahui bagaimana penatalaksanaan medis dari difteri, tonsilitis, dan pneumonia?

6.

Untuk mengetahui bagaimana upaya pencegahan dari neprotik sindrom dan DHF?

7.

Untuk mengetahui bagaimana asuhan keperawatan dari neprotik sindrom dan DHF?

2

BAB II ISI A. NEPROTIK SINDROM 1.

Pengertian Sindrom Nefrotik adalah Status klinis yang ditandai dengan peningkatan permeabilitas membran glomerulus terhadap protein, yang mengakibatkan kehilangan protein urinaris yang massif (Donna L. Wong, 2004). Sindrom Nefrotik merupakan kumpulan gejala yang disebabkan oleh injuri glomerular yang terjadi pada anak dengan karakteristik; proteinuria, hipoproteinuria, hipoalbuminemia, hiperlipidemia, dan edema (Suriadi dan Rita Yuliani, 2001). Sindrom nefrotik (SN) merupakan sekumpulan gejala yang terdiri dari proteinuria massif (lebih dari 50 mg/kgBB/24 jam), hipoalbuminemia (kurang dari 2,5 gram/100 ml)

yang

disertai

atau

tidak

disertai

dengan

edema

dan

hiperkolesterolemia (Rauf, 2002). Berdasarkan pengertian diatas maka penulis dapat mengambil kesimpulan bahwa Sindrom Nefrotik pada anak merupakan kumpulan gejala yang terjadi pada anak dengan karakteristik proteinuria massif hipoalbuminemia, hiperlipidemia yang disertai atau tidak disertai edema dan hiperkolestrolemia. 2. Etiologi Spesies Penyebab sindroma nefrotik ini belum diketahui, namun akhir-akhir ini dianggap sebagai penyakit autoimun, yaitu reaksi antigenantibodi. Dimana 80% anak dengansindroma nefrotik yang dilakukan biopsi ginjal menunjukkan hanya sedikit keabnormalannya, sementara sisanya 20 % biopsi ginjal menunjukkan keabnormalan seperti glomerulonefritis (Novak & Broom, 1999). Patogenesis mungkin karena gangguan metabolisme, biokimia dan fisiokimia yang menyebabkan permeabilitasmembran glomerulus meningkat terhadap protein (Whalley

3

and Wong, 1998). Sedangkan menurut Behrman (2001), kebanyakan (90%) anak yang menderitanefrosis mempunyai beberapa bentuk sindroma nefrotik idiopatik, penyakit lesiminimal ditemukan pada sekitar 85%. Sindroma nefrotik sebagian besar diperantarai oleh beberapa bentuk glomerulonefritis (infeksi pada glomerulus). 3. Patofisiologi Kelainan yang terjadi pada sindroma nefrotik yang paling utama adalah proteinuriasedangkan yang lain dianggap sebagai manifestasi sekunder. Kelainan ini disebabkan oleh karena kenaikan permeabilitas dinding kapiler glomerulus yang sebabnya belum diketahui yang terkait dengan hilangnya muatan negatif gliko protein dalam dinding kapiler. Pada sindroma nefrotik keluarnya protein terdiri atas campuran albumin dan protein yang sebelumnya terjadi filtrasi protein di dalam tubulus terlalu banyak akibat dari kebocoran glomerulus dan akhirnya dieskresikan dalam urin. Pada sindroma nefrotik protein hilang lebih dari 2 gram per-hari yang terutama terdiri dari albumin yang mengakibatkan hipoalbuminemia, pada umumnya edem muncul bila kadar albumin serum turun di bawah 2,5 gram/dl. Hipoalbumin menyebabkan penurunan tekanan osmotik plasma yang memungkinkan transudasicairan dari ekstravaskuler ke ruang interstisial. Penurunan volume ekstravaskuler menurunkan tekanan perfusi ginjal, mengaktifkan system renin angiotensin aldosteron yang merangsang reabsorbsi atrium di tubulus distal. Penurunan volume intravaskuler juga merangsang pelepasan hormon antidiuretic yang mempertinggi reabsorbsi air dalam duktus kolektivus. Karena tekanan osmotic plasma berkurang, natrium dan air yang telah diabsorbsi masuk ke ruang interstisial, memperberat edema. Adanya faktor-faktor lain yang juga memainkan peran pada pembentukan edema dapat ditunjukkan melalui observasi bahwa beberapa penderita sindroma nefrotik mempunyai volume intravaskuler yang normal/meningkat dan kadar renin serta aldosteron plasma normal/ meningkat dan kadar renin

4

serta aldosteron plasma normal atau menurun Penjelasan secara hipotesis meliputi defek intrarenal dalam ekskresi natrium dan air atau adanya agen dalam sirkulasi yang menaikkan permeabilitas dinding kapiler di seluruh tubuh serta dalam ginjal. Pada status nefrosis hampir semua kadar lemak (kolesterol, trigliserida)

dan

lipoprotein

serum

meningkat.

Hipoproteinemia

merangsang sintesis protein menyeluruh dalam hati, termasuk lipoprotein dan katabolisme lemak menurun, karena penurunan kadar lipoprotein lipase plasma. Sistem enzim utama yang mengambil lemak dari plasma. Apakah lipoprotein plasma keluar melalui urin belum jelas (Behrman, 2000). Sindrom nefrotik dapat terjadi disetiap penyakit renal intrinsic atau sistemik yang mempengaruhi glomerulus. Meskipun secara umum penyakit ini dianggap menyerang anak-anak, namun sindrom nefrotik juga terjadipada

orang

dewasa

termasuk

lansia.

Penyebab

mencakup

glomerulonefrotis kronik, diabetes mellitus disertai glomerulosklerosis intrakapiler, amilodosis ginjal, penyakit lupus eritematosus sistemik dan trombosis vena renal 4. Tanda dan Gejala Manifestasi utama sindrom nefrotik adalah edema. Edema biasanya bervariasi dari bentuk ringan sampai berat (anasarka). Edema biasanya lunak dan cekung bila ditekan (pitting), dan umumnya ditemukan disekitar mata (periorbital) yang tampak pada pagi hari, dan berlanjut ke abdomen terjadi penumpukan cairan pada rongga pleura yang menyebabkan efusi pleura, daerah genitalia dan ekstermitas bawah yaitu pitting (penumpukan cairan) pada kaki bagian atas, penumpukan cairan pada rongga peritoneal yang menyebabkan asites. 1) Penurunan jumlah urin : urine gelap, berbusa, volume urin berkurang, warna agak keruh dan berbusa, selama beberapa minggu mungkin terdapat hemturia dan oliguri terjadi karena penurunan volume cairan vaskuler

yang

menstimulli

sistem

renin-angio-tensin,

yang

mengakibatkan disekresinya hormon anti diuretik (ADH)

5

2) Pucat 3) Hematuri 4) Anoreksia dan diare disebabkan karena edema mukosa usus. 5) Sakit kepala, malaise, nyeri abdomen, berat badan meningkat dan keletihan umumnya terjadi. 6) Gagal tumbuh dan pelisutan otot (jangka panjang) 7) Proteinuria > 3,5 gr/hr pada dewasa atau 0,05 g/kg BB/hr pada anakanak 8) Hipoalbuminemia < 30 gr/l 9) Hiperlipidemia, umumnya ditemukan hiperkolesterolemia 10) Hiperkoagulabilitas, yang akan meningkatkan risiko trombosis vena dan arteri 11) Kenaikan berat badan secara progresif dalam beberapa hari/minggu. klien mudah lelah atau lethargie tapi tidak kelihatan sakit payah. 12) Hipertensi (jarang terjadi) karena penurunan voulume intravaskuler yang mengakibatkan menurunnya tekanan perfusi renal yang mengaktifkan sistem renin angiotensin yang akan meningkatkan konstriksi pembuluh darah. 13) Pembengkakan jaringan akibat penimbunan garam dan air 5. Penatalaksanaan Medis Pengobatan sindroma nefrotik hanya bersifat simptomatik, untuk mengurangi atau menghilangkan proteinuria dan memperbaiki keadaan hipoalbuminemia, mencegah dan mengatasi komplikasinya, 1)

Proteinuria ACE inhibitor diindikasikan untuk menurunkan tekanan darah

sistemik dan glomerular serta proteinuria. Obat ini mungkin memicu hiperkalemia pada pasien dengan insufisiensi ginjal moderat sampai berat. Restriksi protein tidak lagi direkomendasikan karena tidak memberikan progres yang baik. 2)

Edema

6

Diuretik hanya diberikan pada edema yang nyata, dan tidak dapatdiberikan pada Sindrom Nefrotik yang disertai dengan diare,muntah atau hipovolemia, karena pemberian diuretik dapat memperburuk gejala tersebut. Pada edema sedang atau edema persisten, dapat diberikan furosemid dengan dosis 1-3 mg/kg per hari. Pemberian

spironolakton

dapat

ditambahkan

bila

pemberian

furosemid telah lebih dari 1 minggu lamanya, dengan dosis 1-2 mg/kg per hari. Bila edema menetap dengan pemberian diuretik, dapat diberikan kombinasi diuretik dengan infus albumin. Pemberian infus albumin diikuti dengan pemberian furosemid 1-2 mg/kg intravena. Albumin biasanya diberikan selang sehari untuk menjamin pergeseran cairan ke dalam vaskuler dan untuk mencegah kelebihan cairan (overload). Penderita yang mendapat infus albumin harus dimonitor terhadap gangguan napas dan gagal jantung. c)

Dietetik Jenis diet yang direkomendasikan adalah diet seimbang dengan

protein dan kalori yang adekuat. Kebutuhan protein anak ialah 1,5 – 2 g/kg, namun anak-anak dengan proteinuria persisten yang seringkali mudah mengalami malnutrisi diberikan protein 2 – 2,25 g/kg per hari. Maksimum 30% kalori berasal dari lemak. Karbohidrat diberikan dalam bentuk kompleks seperti zat tepung dan maltodekstrin. d)

Infeksi Penderita Sindrom Nefrotik sangat rentan terhadap infeksi, yang

paling sering adalah selulitis dan peritonitis. Hal ini disebabkan karena pengeluaran imunoglobulin G, protein faktor B dan D di urin, disfungsi sel T, dan kondisi hipoproteinemia itu sendiri. Pemakaian imunosupresif menambah risiko terjadinya infeksi. Pemeriksaan fisik untuk mendeteksi adanya infeksi perlu dilakukan. Selulitis umumnya disebabkan oleh kuman stafilokokus, sedang sepsis pada SN sering disebabkan oleh kuman Gram negatif. Peritonitis primer umumnya disebabkan oleh kuman Gram-negatif dan Streptococcus pneumoniae

7

sehingga perlu diterapi dengan penisilin parenteral dikombinasikan dengan sefalosporin generasi ke-tiga, seperti sefotaksim atau seftriakson selama 10-14 hari. e)

Hipertensi Hipertensi pada Sindrom Nefrotik dapat ditemukan sejak awal

pada 10-15% kasus, atau terjadi sebagai akibat efek samping steroid. Pengobatan hipertensi pada Sindrom Nefrotik dengan golongan inhibitor enzim angiotensin konvertase, calcium channel blockers, atau beta adrenergic blockers. f)

Hipovolemia Komplikasi hipovolemia dapat terjadi sebagai akibat pemakaian

diuretik yang tidak terkontrol, terutama pada kasus yang disertai dengan sepsis, diare, dan muntah. Gejala dan tanda hipovolemia ialah hipotensi, takikardia, akral dingin dan perfusi buruk, peningkatan kadar urea dan asam urat dalam plasma. Pada beberapa anak memberi keluhan nyeri abdomen. Hipovalemia diterapi dengan pemberian cairan fisiologis dan plasma sebanyak 15-20 ml/kg dengan cepat, atau albumin 1 g/kg berat badan. g)

Tromboemboli Risiko untuk mengalami tromboemboli disebabkan oleh karena

keadaan hiperkoagulabilitas. Selain disebabkan oleh penurunan volume intravaskular, keadaan hiperkoagulabilitas ini dikarenakan juga oleh peningkatan faktor pembekuan darah antara lain factor V, VII, VIII, X serta fibrinogen, dan dikarenakan oleh penurunan konsentrasi antitrombin III yang keluar melalui urin. Risiko terjadinya tromboemboli akan meningkat pada kadar albumin plasma < 2 g/dL, kadar fibrinogen > 6 g/dL, atau kadar antitrombin III < 70%. Pada SN dengan risiko tinggi, pencegahan komplikasi tromboemboli dapat dilakukan dengan pemberian asetosal dosis rendah dan dipiridamol. Heparin hanya diberikan bila telah terhadi tromboemboli, dengan

8

dosis 50 U/kg intravena dan dilanjutkan dengan 100 U/kg tiap 4 jam secara intravena. h)

Hiperlipidemia Hiperlipidemia pada Sindrom Nefrotik meliputi peningkatan

kolesterol, trigliserida, fosfolipid dan asam lemak. Kolesterol hampir selalu ditemukan meningkat, namun kadar trigliserida, fosfolipid tidak selalu meningkat. Peningkatan kadar kolesterol berbanding terbalik dengan kadar albumin serum dan derajat proteinuria. Keadaan hiperlipidemia ini disebabkan oleh karena penurunan tekanan onkotik plasma sebagai akibat dari proteinuria merangsang hepar untuk melakukan sintesis lipid dan lipoprotein, di samping itu katabolisme lipid pada Sindrom Nefrotik juga menurun. Pengaruh hiperlipidemia terhadap morbiditas dan mortalitas akibat kelainan kardiovaskuler pada anak penderita Sindrom Nefrotik masih belum jelas. Sedangkan manfaat pemberian obat-obat penurun lipid seperti kolesteramin, derivate asam fibrat atau inhibitor HMG-CoA reduktase (statin) masih diperdebatkan

6. Upaya Pencegahan Pada umumnya perawatan dan pencegahan pada nefrotik sindrom adalah untuk mengurangi gejala dan mencegah pemburukan fungsi ginjal yaitu sebagai berikut : 1) Pengaturan minum : Hal ini dilakukan untuk pengobatan penyakit dasar dan pengobatan cairan dan elektrolit, yaitu pemberian cairan intravena sampai diuresis cukup maksimal. 2) Pengendalian hipertensi : Tekanan darah harus dikendalikan dengan obat-obatan golongan tertentu, tekanan darah data diturunkan tanpa diturunkan fungsi ginjal, misalnya dengan betabloker, methyldopa, vasodilator, juga mengatur pemasukan garam.

9

3) Pengendalian darah : Peningkatan kalium darah dapat mengakibatkan kemaitan mendadak, ini dapat dihindari dengan hati-hati dalam pemberian obat-obatan dan diit buah-buahan, hiperkalemia dapat diagnosis dengan pemeriksaan EEG dan EKG, bila hiperkalemia sudah terjadi maka dilakukan pengurangan intake kalium, pemberian natrium bicarbonate secara intra vena, pemberian cairan parental (glukosa), dan pemberian insulin. 4) Penanggulangan anemia : Anemia merupakan keadaan yang sulit ditanggulangi pada gagal ginjal kronis, usaha pertama dengan mengatasi faktor defisiensi, untuk anemia normakrom trikositik dapat diberikan supplemen zat besi oral, tranfusi darah hanya diberikan pada keadaan mendesak misalnya insufisiensi karena anemia dan payah jantung. 5) Penanggulangan Asidosis : Pada umumnya asidosis baru timbul pada tahap lanjut dari nefrotik sindrom. Sebelum memberikan pengobatan khusus, faktor lain yang harus diatasi dulu misalnya rehidrasi. Pemberian asam melalui makanan dan obat-obatan harus dihindari. Pengobatan natrium bikarbonat dapat diberikan melalui peroral dan parenteral, pada permulaan diberi 100 mg natrium bicarbonate, diberikan melalui intravena secara perlahan-lahan. Tetapi lain dengan dilakukan dengan cara hemodialisis dan dialysis peritoneal. 6) Pengobatan dan pencegahan infeksi : Ginjal yang sedemikian rupa lebih mudah mengalami infeksi, hal ini dapat memperburuk faal ginjal. Obat-obatan antimikroba diberikan bila ada bakteriuriadengan memperhatikan efek nefrotoksik, tindakan katetrisasi harus sedapat mungkin dihindari karena dapat mempermudah terjadinya infeksi. 7) Pengaturan diit dan makanan : Gejala ureum dapat hilang bila protein dapat dibatasi dengan syarat kebutuhan energi dapat terpenuhi dengan baik, protein yang diberikan sebaiknya mengandung asam amino yang esensial, diet yang hanya mengandung 20 gram protein

10

yang dapat menurunkan nitrogendarah, kalori diberikan sekitar 30 kal/kgBB dapat dikurangi apabila didapati obesitas B. DENGUE HEMORAGIC FEVER 1. Pengertian Dengue Haemorrhagic Fever (DHF) atau Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus dengue, yang biasanya ditemukan di daerah tropis. Infeksi virus dengue menyebabkan kematian dan kesakitan yang tinggi di seluruh dunia. Asia menempati urutan pertama dalam jumlah penderita demam berdarah di tiap tahunnya. Sementara itu terhitung sejak tahun 1968 hingga tahun 2009, World Health Organization (WHO) mencatat Negara Indonesia sebagai Negara dengan kasus demam berdarah dengue tertinggi di Asia Tenggara. Penanganan kasus DHF/BDB yang yang terlambat akan menyebabkan Dengue Syok Sindrom (DSS) yang menyebabkan kematian. Hal tersebut disebabkan karena penderita mengalami defisit volume cairan akibat darimeningkatnya permeabilitas kapiler pembuluh darah sehingga penderita mengalami syok hipovolemik dan akhirnya meninggal (Ngastiyah, 2010). 2. Etiologi Penyebab Dengue Hemmorhagic Fever (DHF) dinamakan virus dengue tipe 1, tipe 2, tipe 3,tipe 4. Vektor dari DHF adalah Aedes aegypti, aedes albopictus, aedes aobae, aedes cooki, aedes hakanssoni, aedes polynesis, aedes pseudoscutellaris, aedes rotumae (Sumarmo, 2005). Virus dengue termasuk Flavivirus secara serologi terdapat 4 tipe yaitu tipe1, tipe 2, tipe 3, tipe 4. Dikenal 3 macam arbovirus Chikungunyam Onyong-nyong dari genus Togavirus dan West Nile Fever dari genus Flavivirus, yang mengakibatkan gejala demam dan ruam yang mirip DB (Widagdo, 2011).

11

3. Patofisiologi Virus Dengue masuk ke dalam tubuh manusia melalui gigitan nyamuk terjadi viremia, yang ditandai dengan demam mendadak tanpa penyebab yang jelas disertai gejala lain seperti sakit kepala, mual, muntah, nyeri otot, pegal di seluruh tubuh, nafsu makan berkurang dan sakit perut, bintik-bintik merah pada kulit. Selain itu kelainan dapat terjadi pada sistem retikulo endotel atau seperti pembesaran kelenjar-kelenjar getah bening, hati dan limpa. Pelepasan zat anafilaktoksin, histamin dan serotonin serta aktivitas dari sistem kalikrein menyebabkan peningkatan permeabilitas dinding kapiler/vaskuler sehingga cairan

dari

intravaskuler

keluar

ke

ekstravaskuler

atau

terjadinya

perembesaran plasma akibatnya terjadi pengurangan volume plasma yang terjadi

hipovolemia,

penurunan

tekanan

darah,

hemokonsentrasi,

hipoproteinemia, efusi dan renjatan. Selain itu sistem reikulo endotel bisa terganggu sehingga menyebabkan reaksi antigen anti body yang akhirnya bisa menyebabkan Anaphylaxia. Akibat lain dari virus dengue dalam peredaran darah akan menyebabkan depresi sumsum tulang sehingga akan terjadi trombositopenia yang berlanjut akan menyebabkan perdarahan karena gangguan trombosit dan kelainan koagulasi dan akhirnya sampai pada perdarahan kelenjar adrenalin. Plasma merembas sejak permulaan demam dan mencapai puncaknya saat renjatan. Pada pasien dengan renjatan berat, volume plasma dapat berkurang sampai 30% atau lebih. Bila renjatan hipovolemik yang terjadi akibat kehilangan plasma yang tidak dengan segera diatasi maka akan terjadi anoksia jaringan, 14

12

asidosis metabolik dan kematian. Terjadinya renjatan ini biasanya pada hari ke-3 dan ke-7. Reaksi lainnya yaitu terjadi perdarahan yang diakibatkan adanya gangguan pada hemostasis yang mencakup perubahan vaskuler, trombositopenia (trombosit < 100.000/mm3), menurunnya fungsi trombosit dan menurunnya faktor koagulasi (protrombin, faktor V, IX, X dan fibrinogen). Pembekuan yang meluas pada intravaskuler (DIC) juga bisa terjadi saat renjatan. Perdarahan yang terjadi seperti petekie, ekimosis, purpura, epistaksis, perdarahan gusi, sampai perdarahan hebat pada traktus gastrointestinal (Rampengan, 1997). 4. Tanda dan Gejala Kasus DHF di tandai oleh manifestasi klinis, yaitu : demam tinggi dan mendadak yang dapat mencapa 40 C atau lebih dan terkadang di sertai dengan kejang demam, sakit kepala, anoreksia, muntah-muntah (vomiting), epigastric, discomfort, nyeri perut kana atas atau seluruh bagian perut; dan perdarahan, terutama perdarahan kulit,walaupun hanya berupa uji tuorniquet poistif. Selain itu, perdarahan kulit dapat terwujud memar atau dapat juga dapat berupa perdarahan spontan mulai dari ptechiae (muncul pada hari-hari pertama demam dan berlangsung selama 3-6 hari) pada extremitas, tubuh, dan muka, sampai epistaksis dan perdarahan gusi. Sementara perdarahan gastrointestinal masif lebih jarang terjadi dan biasanya hanya terjadi pada kasus dengan syok yang berkepanjangan atau setelah syok yang tidak dapat teratasi. Perdarahan lain seperti perdarahan sub konjungtiva terkadang juga di temukan. Pada masa konvalisen sering kali di temukan eritema pada telapak tangan dan kaki dan hepatomegali. Hepatomegali pada umumnya dapat diraba pada permulaan penyakit dan pembesaran hati ini tidak sejajar dengan beratanya penyakit. Nyeri tekan seringkali di temukan tanpa ikterus maupun kegagalan peredaran darah (circulatory failure) (Nursalam, 2005). Tanda dan gejala yang timbul bervariasi berdasarkan derajat DHF, dengan masa inkubasi antara 13-15 hari menurut WHO (1975) sebagai berikut

13

1)

Demam tinggi mendadak dan terus menerus 2-7 hari

2) Manifestasi perdarahan, paling tidak terdapat uji tourniquet positif, seperti

perdarahan

pada

kulit

(petekie,

ekimosis.

Epistaksis,

Hematemesis, Hematuri, dan melena) 3)

Pembesaran hati (sudah dapat diraba sejak permulaan sakit)

4) Syok yang ditandai dengan nadi lemah, cepat disertai tekanan darah menurun (tekanan sistolik menjadi 80 mmHg atau kurang dan diastolik 20 mmHg atau kurang) disertai kulit yang teraba dingin dan lembab terutama pada ujung hidung, jari dan kaki, penderita gelisah timbul sianosis disekitar mulut. Selain timbul demam, perdarahan yang merupakan ciri khas DHF gambaran klinis lain yang tidak khas dan biasa dijumpai pada penderita DHF adalah: 1) Keluhan pada saluran pernafasan seperti batuk, pilek, sakit waktu menelan. 2) Keluhan pada saluran pencernaan: mual, muntah, anoreksia, diare, konstipasi 3) Keluhan sistem tubuh yang lain: nyeri atau sakit kepala, nyeri pada otot, tulang dan sendi, nyeri otot abdomen, nyeri ulu hati, pegal-pegal pada saluran tubuh dll. 4) Temuan-temuan laboratorium yang mendukung adalah thrombocytopenia (kurang atau sama dengan 100.000 mm3) dan hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit lebih atau sama dengan 20 %)

14

5. Penatalaksanaan Medis Pada dasarnya pengoobatan pasien DHF bersifat simtomatis dan suportif 1) DHF tanpa renjatan Demam tinggi, anoreksia dan sering muntah menyebabkan pasien dehidrasi dan haus. Pada pasien ini perlu diberi banyak minum, yaitu 1,5 sampai 2 liter dalam 24 jam. Dapat diberikan teh manis, sirup, susu, dan bila mau lebih baik oralit. Cara memberikan minum sedikit demi sedikit dan orang tua yang menunggu dilibatkan dalam kegiatan ini. Jika anak tidak mau minum sesuai ang dianjurkan tidak dibenarkan pemasangan sonde karena merangsang resiko terjadi perdarahan. Keadaan hiperpireksia diatasi dengan obat anti piretik dan kompres dingin. Jika terjadi kejang diberi luminal atau anti konfulsan lainnya. Luminal diberikan dengan dosis : anak umur kurang 1 tahun 50 mg IM, anak lebih 1 tahun 75 mg. Jika 15 menit kejang belum berhenti lminal diberikan lagi dengan dosis 3 mg/kg BB. Anak diatas 1 tahun diveri 50 mg, dan dibawah 1 tahun 30 mg, dengan memperhatikan adanya depresi fungsi vital. Infus diberikan pada pasien DHF tanpa renjatan apabila : a) Pasien terus-menerus muntah, tidak dapat diberikan minum sehingga mengancam terjadinya dehidrasi. b) Hematokrit yang cenderung meningkat. Hematokrit mencerminkan kebocoran plasma dan biasanya mendahului mnculnya secara klinik perubahan fungsi vital (hipotensi, penurunan tekanan nadi), sedangkan turunya nilai trombosit biasanya mendahului naiknya hematokrit. Oleh karena itu, pada pasien yang diduga menderita DHF harus diperiksa Hb, Ht dan trombosit setiap hari mlai hari ke-3 sakit sampai demam telah turun 1-2 hari. Nilai hematokrit itlah yang menentukan apabila pasien perlu dipasang infus atau tidak.

15

2) DHF disertai renjatan (DSS) Pasien yang mengalami renjatan (syok) harus segera sipasang infus sebagai penganti cairan yang hilang akibat kebocoran plasma. Caiaran yang diberikan bisanya Ringer Laktat. Jika pemberian cairan tidak ada respon diberikan plasma atau plasma ekspander, banyaknya 20-30 ml/kgBB. Pada pasien dengan renjatan berat diberikan infs harus diguyur dengan cara membuka klem infus. Apabila renjatan telah teratasi, nadi sudah jelas teraba, amplitudo nadi besar, tekanan sistolik 80 mmHg /lebih, kecepatan tetesan dikurangi 10 l/kgBB/jam. Mengingat kebocoran plasma 24-48 jam, maka pemberian infus dipertahankan sampai 1-2 hari lagi walaupn tanda-tanda vital telah baik. Pada pasien renjtan berat atau renjaan berulang perlu dipasang CVP (Central Venous Pressure) untuk mengukur tekanan vena sentral melal Masalah pasien yang perlu diperhatikan ialah bahaya kegagalan sirkulasi darah, resiko terjadi pendarahan, gangguan suhu tubuh, akibat infeksi virus dengue, gangguan rasa aman dan nyaman, kurangnya pengetahuan orang tua mengenai penyakit a) Kegagalan sirkulasi darah Dengan adanya kebocoran plasma dari pembuluh darah ke dalam jaringan ekstrovaskular, yang puncaknya terjadi pada saat renjatan akan terlihat pada tubuh pasien menjadi sembab (edema) dan darah menjadi kental. Pengawasan tanda vital (nadi, TD, suhu dan pernafasan) perlu dilakukan secara kontinyu, bila perlu setiap jam. Pemeriksaan Ht, Hb dan trombosit sesuai permintaan dokter setiap 4 jam. Perhatikan apakah pasien ada kencing / tidak. Bila dijumpai kelainan dan sebagainya segera hubungi dokter.

16

b) Resiko terjadi pendarahan Adanya thrombocytopenia, menurunnya fungsi trombosit dan menurunnya faktor koagulasi merupakan faktor penyebab terjadinya pendarahan utama pada traktus gastrointestinal. Pendarahan grasto intestinal didahului oleh adanya rasa sakit perut yang hebat (Febie, 1966) atau daerah retrosternal (Lim, dkk.1966). Bila pasien muntah bercampur darah atau semua darah perlu diukur. Karena melihat seberapa banyak darah yang keluar perlu tindakan secepatnya. Makan dan minum pasien perlu dihentikan. Bila pasien sebelumnya tidak dipasang infuse segera dipasang. Formulir permintaan darah disediakan. Perawatan selanjutnya seperti pasien yang menderita syok. Bila terjadi pendarahan (melena, hematesis) harus dicatat banyaknya / warnanya serta waktu terjadinya pendarahan. Pasien yang mengalami pendarahan gastro intestinal biasanya dipasang NGT untuk membantu mengeluarkan darah dari lambung. c) Gangguan suhu tubuh Gangguan suhu tubuh biasanya terjadi pada permulaan sakit atau hari ke-2-ke-7 dan tidak jarang terjadi hyperpyrexia yang dapat menyebabkan pasien kejang. Peningkatan suhu tubuh akibat infeksi virus dengue maka pengobatannya dengan pemberian antipiretika dan anti konvulsan. Untuk membantu penurunan suhu dan mencegah agar tidak meningkat dapat diberikan kompres dingin, yang perlu diperhatikan, bila terjadi penurunan suhu yang mendadak disertai berkeringat banyak sehingga tubuh teraba dingin dan lembab, nadi lembut halus waspada karena gejala renjatan. Kontrol TD dan nadi harus lebih sering dan dicatat secara baik dan memberitahu dokter. d) Gangguan rasa aman dan nyaman Gangguan rasa aman dan nyaman dirasakan pasien karena penyakitnya dan akibat tindakan selama dirawat. Hanya pada pasien DHF menderita lebih karena pemeriksaan darah Ht, trombosit, Hb secara

17

periodic (stp 4 jam) dan mudah terjadi hematom, serta ukurannya mencari vena jika sudah stadium II. Untuk megurangi penderitaan diusahakan bekerja dengan tenang yakinkan dahulu vena baru ditusukan jarumnya. Jika terjadi hematum segera oleskan trombophub gel / kompres dengan alkohol. Bila pasien datang sudah kolaps sebaiknya dipasang venaseksi agar tidak terjadi coba-coba mencari vena dan meninggalkan bekas hematom di beberapa tempat. jika sudah musim banyak pasien DHF sebaiknya selalu tersedia set venaseksi yang telah seteril. 6. Upaya Pencegahan Pencegahan dilakukan dengan menghindari gigitan nyamuk di sepanjang siang hari (pagi sampai sore) karena nyamuk aedes aktif di siang hari (bukan malam hari). Hal tersebut dapat dilaksanakan dengan berbagai cara yaitu : a) menghindari berada di lokasi-lokasi yang banyak nyamuknya di siang hari, terutama di daerah yang ada penderita DBD nya. Bila memang sangat perlu untuk berada di tempat tersebut kenakan pakaian yang lebih tertutup, celana panjang dan kemeja lengan panjang misalnya. b) gunakan cairan/krim anti nyamuk (mosquito repellant) yang banyak dijual di toko-toko, pada bagian badan yang tidak tertutup pakaian.Awasi lingkungan di dalam rumah dan di halaman rumah. c) Buang atau timbun benda-benda tak berguna yang menampung air, atau simpan sedemikian rupa sehingga tidak menampung air. d) Taburkan serbuk abate (yang dapat dibeli di apotik) pada bak mandi dan tempat penampung air lainnya, juga pada parit/ selokan di dalam dan di sekitar rumah, terutama bila selokan itu airnya tidak/ kurang mengalir. Kolam / akuarium jangan dibiarkan kosong tanpa ikan, isilah dengan ikan pemakan jentik nyamuk. e) Semprotlah bagian-bagian rumah dan halaman yang merupakan tempat berkeliarannya nyamuk, dengan obat semprot nyamuk (yang banyak dijual di toko-toko)

18

f)

Bila ada salah seorang penghuni yang positif atau diduga menderita DBD, segera semprotlah seluruh bagian rumah dan halaman dengan obat semprot nyamuk di pagi, siang dan sore hari, sekalipun penderita tersebut sudah dirawat di rumah sakit. Hubungi puskesmas setempat untuk meminta fogging di rumah-rumah di lingkungan setempat.

g) Pencegahan secara massal di lingkungan setempat dengan bekerja sama dengan RT/RW/Kelurahan dengan puskesmas setempat dilakukan dengan Pembersihan Sarang Nyamuk (PSN), Fogging, atau memutuskan mata rantai pembiakan Aedes aegypti dengan Abatisasi.

C. Asuhan Keperawatan 1. Asuhan Keperawatan Neprotik Sindrom a.

Pengkajian 1) Biodata a) Umur lebih banyak pada anak-anak terutama pada usia prasekolah (3-6 th). Ini dikarenakan adanya gangguan pada sistem imunitas tubuh dan kelainan genetik sejak lahir b) Suku bangsa

Dapat terjadi diseluruh dunia terutama di negara-negara miskin c)

Tempat tinggal Biasanya terjadi pada penduduk di tempat-tempat pemukiman yang rapat-rapat, higine dan sanitasi jelek dan fasilitas kesehatan yang kurang.

2) Keluhan Utama Badan bengkak, muka sembab dan napsu makan menuru 3) Riwayat Kesehatan Sekarang Badan bengkak, muka sembab, muntah, napsu makan menurun, konstipasi, diare, urine menurun.

19

1)

Riwayat Kesehatan Dahulu Edema masa neonatus, malaria, riwayat GNA dan GNK, terpapar bahan kimia

2)

Riwayat Penyakit Keluarga Karena kelainan gen autosom resesif. Kelainan ini tidak dapat ditangani dengan terapi biasa dan bayi biasanya mati pada tahun pertama atau dua tahun setelah kelahiran

3)

Pola Fungsi Kesehatan a) Pola nutrisi dan metabolisme: anoreksia, mual, muntah. b) Pola eliminasi: diare, oliguria. c) Pola aktivitas dan latihan: mudah lelah, malaise d) Pola istirahat tidur: susah tidur e) Pola mekanisme koping : cemas, maladaptif f) Pola persepsi diri dan konsep diri : putus asa, rendah diri

4)

Pemeriksaan Diagnostik a) Laboratorium

 Urine Volume biasanya kurang dari 400 ml/24 jam (fase oliguria). Warna urine kotor, sediment kecoklatan menunjukkan adanya darah, hemoglobin, mioglobin, porfirin. Berat jenis kurang dari 1,020 menunjukkan penyakit ginjal. Contoh glomerulonefritis, pielonefritis dengan kehilangan kemampuan untuk meningkatkan, menetap pada 1,010 menunjukkan kerusakan ginjal berat. pH lebih besar dari 7 ditemukan pada infeksi saluran kencing, nekrosis tubular ginjal dan gagal ginjal kronis (GGK). Protein urin meningkat (nilai normal negatif)  Darah Hemoglobin menurun karena adanya anemia. Hematokrit menurun. Natrium biasanya meningkat, tetapi dapat bervariasi. Kalium meningkat sehubungan dengan retensi seiring dengan perpindahan seluler (asidosis) atau pengeluaran jaringan (hemolisis

20

sel darah merah). Klorida, fsfat dan magnesium meningkat. Albumin. Kimia serum : protein total dan albumin menurun, kreatinin meningkat atau normal, trigliserida meningkat dan gangguan gambaran lipid. Penurunan pada kadar serum dapat menunjukkan kehilangan protein dan albumin melalui urin, perpindahan cairan, penurunan pemasukan dan penurunan sintesis karena kekurangan asam amino essensial. Kolesterol serum meningkat (umur 5-14 tahun : kurang dari atau sama dengan 220 mg/dl). Pemeriksaan urin dan darah untuk memastikan proteinuria, proteinemia, hipoalbuminemia, dan hiperlipidemia.Biosi ginjal dilakukan untuk memperkuat diagnosa. b) Biopsi

dengan

pemeriksaaan

memasukkan

histology

jaringan

jarum

kedalam

ginjal

untuk

ginjal

:

menegakkan

diagnosis. c) Pemeriksaan

penanda Auto-immune

(ANA, ASOT,

C3,

cryoglobulins, serum electrophoresis). 5)

Pemeriksaan fisik a)

Status kesehatan umum  Keadaan umum: klien lemah dan terlihat sakit berat  Kesadaran: biasanya compos mentis  TTV: sering tidak didapatkan adanya perubahan.

b)

Pemeriksaan sitem tubuh 

B1 (Breathing) Biasanya tidak didapatkan adanya hgangguan pola nafas dan

jalan nafas walau secara frekuensi mengalami peningkatan terutama pada fase akut. Pada fase lanjut sering didapatkan adanya gangguan pola nafas dan jalan nafas yang merupakan respons terhadap edema pulmoner dan efusi pleura. 

B2 (Blood) Sering ditemukan penurunan curah jantung respons

21

sekunder dari peningkatan beban volume . 

B3 (Brain) Didapatkan edema terutama periorbital, sklera tidak ikterik.

Status neurologis mengalami perubahan sesuai dengan tingkat parahnya azotemia pada sistem saraf pusat. 

B4 (Bladder) Perubahan warna urine output seperti warna urine berwarna

kola 

B5 (Bowel) Didapatkan adanya mual dan muntah, anoreksia sehingga

didapatkan

penurunan

intake

nutrisi

dari

kebutuhan.

Didapatkan asites pada abdomen. 

B6 (Bone) Didapatkan adanya kelemahan fisik secara umum, efek

sekunder dari edema tungkai dari keletihan fisik secara umum. b. Diagnosa Keperawatan a) Kelebihan volume cairan berhubungan dengan kehilangan protein sekunder terhadap peningkatan permiabilitas glomerulus. b) Ketidakseimbangan nutrisi kuruang dari kebutuhan berhubungan dengan malnutrisi sekunder terhadap kehilangan protein dan penurunan napsu makan. c) Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan imunitas tubuh yang menurun. d) Ansietas berhubungan dengan lingkungan perawatan yang asing (dampak hospitalisasi). e) Intoleransi aktifitas berhubungan dengan kelelahan. f)

Gangguan body image berhubungan dengan perubahan penampilan

g) kerusakan integritas kulit berhubungan dengan edema, penurunan pertahanan tubuh. h) Ketidakefektifan pola pernafasan berhubungan dengan gangguan

22

fungsi pernafasan c.

Perencanaan Kelebihan

a)

volume

cairan

berhubungan

dengan kehilangan protein sekunder terhadap peningkatan permiabilitas glomerulus. 1) Tujuan : pasien tidak menunjukkan bukti-bukti akumulasi cairan (pasien mendapatkan volume cairan yang tepat) 2) Kriteria hasil: 

Penurunan edema, ascites



Kadar protein darah meningkat



Output urine adekuat 600 – 700 ml/hari



Tekanan darah dan nadi dalam batas normal.

3) Intervensi 1. Kaji masukan yang relatif terhadap keluaran secara akurat. Rasional : perlu untuk menentukan fungsi ginjal, kebutuhan penggantian cairan dan penurunan resiko kelebihan cairan 2. Timbang berat badan setiap hari (ataui lebih sering jika diindikasikan). Rasional : Mengkaji retensi cairan 3. Kaji perubahan edema : ukur lingkar abdomen pada umbilicus serta pantau edema sekitar mata. Rasional : Untuk mengkaji ascites dan karena merupakan sisi umum edema. 4. Atur masukan cairan dengan cermat. Rasional : Agar tidak mendapatkan lebih dari jumlah yang dibutuhkan 5. Pantau infus intra vena Rasional : Untuk mempertahankan masukan yang diresepkan 6. Kolaborasi : Berikan kortikosteroid sesuai ketentuan. Rasional : Untuk menurunkan ekskresi proteinuria 7. Berikan diuretik bila diinstruksikan.

23

8. Rasional : Untuk memberikan penghilangan sementara dari edema b. Ketidakseimbangan nutrisi kuruang dari kebutuhan berhubungan dengan malnutrisi sekunder terhadap kehilangan protein dan penurunan napsu makan. 1)

Tujuan : Dalam waktu 2x24 jam kebutuhan nutrisi akan terpenuhi

2) Kriteria hasil  Napsu makan baik  Tidak terjadi hipoprtoeinemia  Porsi makan yang dihidangkan dihabiskan  Edema dan ascites tidak ada. 3) Intervensi 1. Catat intake dan output makanan secara akurat Rasional : Monitoring asupan nutrisi bagi tubuh 2. Kaji adanya anoreksia, hipoproteinemia, diare. Rasional : Gangguan nuirisi dapat terjadi secara perlahan. Diare sebagai reaksi edema intestinalMencegah status nutrisi menjadi lebih buruk. 3. Pastikan anak mendapat makanan dengan diet yang cukup. Rasional : membantu pemenuhan nutrisi anak dan meningkatkan daya tahan tubuh anak 4. Beri diet yang bergizi Rasional : asupan natrium dapat memperberat edema usus yang menyebabkan hilangnya nafsu makan anak 5. Batasi natrium selama edema dan trerapi kortikosteroid Rasional : agar anak lebih mungkin untuk makan 6. Beri lingkungan yang menyenangkan, bersih, dan rileks pada saat makan Rasional : untuk merangsang nafsu makan anak 7. Beri makanan dalam porsi sedikit pada awalnya dan Beri

24

makanan dengan cara yang menarik Rasional : untuk mendorong agar anak mau makan 8. Beri makanan spesial dan disukai anak Rasional : untuk menrangsang nafsu makan anak c) Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan imunitas tubuh

yang menurun. 1) Tujuan : Tidak terjadi infeksi 2) Kriteria hasil :  Tanda-tanda infeksi tidak ada  Tanda vital dalam batas normal  Ada

perubahan

perilaku

keluarga

dalam

melakukan

perawatan. 3) Intervensi : 1. Lindungi anak dari orang-orang yang terkena infeksi melalui

pembatasan pengunjung. Rasional : Meminimalkan masuknya organisme, mencegah terjadinya infeksi nosokomial. 2. Tempatkan anak di ruangan non infeksi.

Rasional : Mencegah terjadinya infeksi nosokomial. 3. Cuci tangan sebelum dan sesudah tindakan.

Rasional : Membatasi masuknya bakteri ke dalam tubuh. Deteksi dini adanya infeksi dapat mencegah sepsis. 4. Lakukan tindakan invasif secara aseptik

Rasional : Untuk meminimalkan pajanan pada organisme infektif 5. Gunakan teknik mencuci tangan yang baik

Rasional : Untuk memutus mata rantai penyebaran infeksi 6. Jaga agar anak tetap hangat dan kering

Rasional : Karena kerentanan terhadap infeksi pernafasan 7. Pantau suhu.

Indikasi awal adanya tanda infeksi

25

8. Ajari orang tua tentang tanda dan gejala infeksi

Rasional : Memberi pengetahuan dasar tentang tanda dan gejala infeksi d) Ansietas berhungan dengan lingkungan perawatan yang

asing ( dampak hospitalisasi ) 1) Tujuan : Kecemasan menurun atau hilang 2) Kriteria hasil :  Kooperatif pada tindakan keperawatan  Komunikatif pada perawat  Secara verbal mengatakan tidak takur 3) Intervensi : 1. Validasi perasaan takut atau cemas. Rasional : Perasaan adalah nyata dan membantu pasien untuk tebuka sehingga dapat menghadapinya 2. Pertahankan kontak dengan klien. Rasional : Memantapkan hubungan, meningkatan ekspresi perasaan 3. Upayakan ada keluarga yang menunggu Rasional : Dukungan yang terus menerus mengurangi ketakutan atau kecemasan yang dihadapi. 4. Anjurkan orang tua untuk membawakan mainan atau foto keluarga Rasional : Meminimalkan dampak hospitalisasi terpisah dari anggota keluarga. e) Intoleransi aktifitas berhubungan dengan kelelahan. 1. Tujuan : Mampu melakukan aktivitas sesuai kemampuan 2. Kriteria hasil : Terjadi peningkatan mobilitas. 3. Intervensi : 1.

Kaji kemampuan klien melakukan aktivitas Rasional : sebagai pengkajian awal aktivitas klien.

2.

Tingkatkan tirah baring / duduk

26

Rasional : meningkatkan istirahat dan ketenangan klien, posisi telentang meningkatkan filtrasi ginjal dan menurunkan produksi ADH sehingga meningkatkan diuresis. 3.

Ubah posisi dengan sering

Rasional : pembentukan edema, nutrisi melambat, gangguan pemasukan nutrisi dan imobilisasi lama merupakan stressor yang mempengaruhi intregitas kulit. 4.

Berikan dorongan untuk beraktivitas bertahap

Rasional : melatih kekuatan otot sedikit demi sedikit. 5.

Ajarkan teknik penghematan energi contoh duduk, tidak berdiri.

Rasional : menurunkan kelelahan. 6.

Berikan perawatan diri sesuai kebutuhan klien.

Rasional : memenuhi kebutuhan perawatan diri klien selama intoleransi aktivitas. f) Gangguan body image berhubungan dengan perubahan penampilan 1) Tujuan : Tidak terjadia gangguan body image 2)

Kriteria hasil : 

menyatakan penerimaan situasi diri,



memasukkan perubahan konsep diri tanpa harga diri negatif



Anak mau mengungkapkan perasaannya.



Anak tertarik dan mampu bermain

3)

Intervensi : 1.

Kaji pengetahuan pasien terhadap adanya potensi kecacatan yangberhubungan dengan pembedahan dan perubahan.

Rasional : memberikan informasi untuk memformulasikan perencanaan. 2.

Pantau kemampuan pasien untuk melihat perubahan bentuk dirinya.

Rasional :

ketidakmampuan untuk melihat bagian tubuhnya

27

yang terkena mungkin mengindikasikan kesulitan dalam koping 3.

Dorong pasien untuk mendiskusikan perasaan mengenai perubahan penampilan

Rasional : memberikan jalan untuk mengekpresikan dirinya. 4. Diskusikan pilihan untuk rekontruksikan dan cara-cara untuk membuat penampilan yang kurang menjadi menarik. Rasional : meningkatkan control diri sendiri atas kehilangan. g) Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan edema, penurunan pertahanan tubuh 1) Tujuan : Kulit anak tidak menunjukkan adanya kerusakan integritas : kemerahan atau iritasi, kerusakan integritas kulit tidak terjadi 2) Kriteria Hasil :  Menunjukkan perilaku untuk mencegah kerusakan kulit.  Turgor kulit bagus  Edema tidak ada. 3) Intervensi : 1. Berikan perawatan kulit Rasional : memberikan kenyamanan pada anak dan mencegah kerusakan kulit 2.

Hindari pakaian ketat

Rasional : dapat mengakibatkan area yang tertonjol tertekan 3. Bersihkan dan bedaki permukaan kulit beberapa kali sehari Rasional : untuk mencegah terjadinya iritasi pada kulit karena gesekan dengan alat tenun 4. Topang organ edema, seperti skrotum Rasional : untuk menghilangkan tekanan 5. Ubah posisi dengan sering ; pertahankan kesejajaran tubuh dengan baik Rasional : karena anak dengan edema massif selalu letargis, mudah lelah dan diam saja

28

6. Gunakan penghilang tekanan atau matras atau tempat tidur penurun tekanan sesuai kebutuhan Rasional : untuk mencegah terjadinya ulkus h) Ketidakefektifan pola pernapasan berhubungan dengan gangguan system pernapasan b) Tujuan : pasien menunjukkan fungsi pernafasan normal c) Kriteria Hasil :

 anak beristirahat dan tidur dengan tenang 

Pernafasan tidak sulit

 anak pernafasan tetap dalam batas normal d) Intervensi :

1. Posisikan untuk efisiensi ventilasi yang maksimum Rasional : Posisi membantumemaksimalkan ekspansi paru dan menurunkan upaya pernafasan 2. Atur aktifitas untuk memungkinkan penggunaan energy yang minimal, istirahat, dan tidur Rasional : Menurunkan konsumsi/ kebutuhan selama periode penurunan pernafasan dapat menurunkan beratnya gejala. 3. Hindari pakaian yang ketat Rasional : Pakaian yang terlalu ketat dapat menyebabkan kurang efisiennya ventilasi 4. Berikan oksigen tambahan yang sesuai Rasional : untuk memperbaiki hipoksemia yang dapat terjadi sekunder terhadap penurunan ventilasi d. Tindakan Disesuaikan dengan intervensi (perencanaan) e.

Evaluasi Pada tahap akhir proses keperawatan adalah mengevaluasi respon pasien terhadap perawatan yang diberikan untuk memastikan bahwa hasil yang diharapkan telah dicapai, Pada tahap evaluasi mengacu pada tujuan yang telah ditetapkan

29

yaitu : pasien tidak menunjukkan bukti-bukti akumulasi cairan (pasien mendapatkan volume cairan yang tepat), dalam waktu 2x24 jam kebutuhan nutrisi akan terpenuhi, tidak terjadi infeksi, kecemasan menurun atau hilang, mampu melakukan aktivitas sesuai kemampuan, tidak terjadinya gangguan body image kulit, anak tidak menunjukkan adanya kerusakan dan pasien menunjukkan fungsi pernafasan normal

.

30

2. Asuhan Keperawatan DHF 1.

Pengkajian a.

Keluhan utama Alasan atau keluhan yang menonjol pada pasien DHF datang ke

rumah sakit adalah panas tinggi dan pasien lemah. b.

Riwayat penyakit sekarang Didapatkan adanya keluhan panas mendadak dengan disertai

menggigil dan saat demam kesadaran kompos mentis. Panas turun terjadi antara hari ke-3 dan ke-7, dan anak semakin lemah. Kadangkadang disertai keluhan batuk pilek, nyeri telan, mual, muntah, anoreksia, diare atau konstipasi, sakit kepala, nyeri otot dan persendian, nyeri ulu hati dan pergerakan bola mata terasa pegal, serta adanya manifestasi perdarahan pada kulit, gusi (grade III, IV), melena atau hematemasis. c.

Riwayat kesehatan lalu 1) Riwayat kelahiran 2) Riwayat imunisasi 3) penyakit yang pernah diderita ( faringitis berulang, ISPA, otitis media ) 4) Riwayat hospitalisasi

d. Pengkajian umum usia, tingkat kesadaran, antopometri, tanda – tanda vital dll e.

Nutrisi frekuensi, jenis, pantangan, nafsu makan berkurang, dan nafsu makan menurun.

f.

Aktifitas / istirahat anak sering mengalami kurang tidur karena mengalami sakit

atau nyeri otot dan persendian sehingga kualitas dan kuantitas tidur maupun istirahatnya kurang. g.

Keamanan / kenyamanan

31

kecemasan anak terhadap hospitalisasi

h. Pemeriksaan fisik Meliputi inspeksi, auskultasi, palpasi, perkusi dari ujung rambut sampai ujung kaki. Berdasarkan tingkatan grade DHF, keadaan fisik anak adalah : a. Kesadaran : Apatis b. Vital sign : TD : 110/70 mmHg00 c. Kepala : Bentuk mesochepal d. Mata : simetris, konjungtiva anemis, sclera tidak ikterik, mata anemis e. Telinga : simetris, bersih tidak ada serumen, tidak ada gangguan pendengaran f. Hidung : ada perdarahan hidung / epsitaksis g. Mulut : mukosa mulut kering, bibir kering, dehidrasi, ada perdarahan pada rongga mulut, terjadi perdarahan gusi. h. Leher : tidak ada pembesaran kelenjar tyroid, kekakuan leher tidak ada, nyeri telan i. Dada Inspeksi : simetris, ada penggunaan otot bantu pernafasan Auskultasi : tidak ada bunyi tambahan Perkusi : Sonor Palpasi : taktil fremitus normal j. Abdomen : Inspeksi : bentuk cembung, pembesaran hati (hepatomegali) Auskultasi : bising usus 8x/menit Perkusi : tympani Palpasi : turgor kulit elastis, nyeri tekan bagian atas

32

k. Ekstrimitas : sianosis, ptekie, echimosis, akral dingin, nyeri otot, sendi tulang l. Genetalia : bersih tidak ada kelainan di buktikan tidak terpasang kateter i. Pemeriksaan Diagnostik Pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk menentukan adanya infeksi dengue adalah : a. Uji rumple leed / tourniquet positif b. Darah, akan ditemukan adanya trombositopenia, hemokonsentrasi, masa perdarahan memanjang, hiponatremia, hipoproteinemia. c. Air seni, mungkin ditemukan albuminuria ringan d. Serologi Dikenal beberapa jenis serologi yang biasa dipakai untuk menentukan adanya infeksi virus dengue antara lain : uji IgG Elisa dan uji IgM Elisa e. Isolasi virus Identifik

asi virus dengan melakukan fluorescence anti body

technique test secara langsung / tidak langsung menggunakan conjugate (pengaturan atau penggabungan) f. Identifikasi virus Identifikasi virus dengan melakukan fluorescence anti body tehnique test secara langsung atau tidak langsung dengan menggunakan conjugate g. Radiology Pada fhoto thorax selalu didapatkan efusi pleura terutama disebelah hemi thorax kanan

33

2.

Diagnosa keperawatan 1.

Defisit volume cairan berhubungan dengan berpindahnya cairan

intraseluler ke ekstraseluler (kebocoran plasma dari endotel) Ditandai dengan: a. Hipotensi b. Takikardi c. Pengisian kapiler lambat d. Berkeringat e. Urin pekat atau menurun 2.

Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan penumpukan cairan di

rongga paru (effusi pleura) Ditandai dengan: a. Perubahan kedalaman dan kecepatan pernafasan b. Takipnea c. Sianosis

d. Peningkatan kegelisahan, ketakutan dan laju metabolik 3. Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan suplai oksigen dalam jaringan menurun Ditandai dengan : a. Penurunan nadi perifer, pengisian kapiler lambat atau menurun b. Perubahan warna kulit c. Edema jaringan ekstremitas dingin 4.

Hipertermi berhubungan viremia

Ditandai dengan: a. Peningkatan suhu tubuh yang lebih besar dari jangkauan normal b. Kulit kemerahan, hangat waktu disentuh c. Peningkatan tingkat pernafasan d. Takikardi 5.

Gangguan rasa nyaman nyeri berhubunggan dengan proses

patologis (viremia) Ditandai dengan: a. Keluhan nyeri

34

b. Perilaku yang bersifat hati-hati atau melindungi c. Wajah menunjukkan nyeri d. Gelisah 6.

Intake nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan

mual, muntah, anoreksia Ditandai dengan: a. Konjungtiva dan membran mukosa pucat b. Menolak untuk makan c. Penurunan berat badan d. Turgor kulit buruk 7.

Resik perdarahan berhubungan dengan penurunan kadar trombosit

dalam darah Di tandai dengan: a. Akral dingin b. Tekanan darah menurun c. Nadi lemah d. Kesadaran menurun

3.

Perencanaan a.

Defisit volume cairan berhubungan dengan berpindahnya cairan dari intraseluller ke ekstraseluller ( kebocoran plasma dari endotel)

1.

Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan defisit volume cairan dapat terpenuhi

2.

Kriteria Hasil :  Menyatakan pemahaman faktor penyebab dan perilaku yang, perlu untuk memperbaiki defisit cairan  Menunjukkan perubahan keseimbangan cairan, dibuktikan oleh haluaran urine adekuat, tanda-tanda vital stabil, membran mukosa lembab, turgor kulit baik.  Volume cairan cukup, input cukup, output tidak berlebih.

35

3.

Intervensi : 1) Kaji keadaan umum pasien (lemah pucat, tachicardi) serta tanda-tanda vital. Rasional : Menetapkan data dasar pasien, untuk mengetahui dengan cepat penyimpangan dari keadaan normalnya 2) Observasi tanda-tanda syok Rasional : Agar dapat segera dilakukan t.indaka.n untuk menangani syok yang dialami pasien. 3) Berikan cairan intravaskuler sesuai program dokter. Rasional : Pemberian cairan IV sangat penting bagi pasien yang mengalami defisit volume cairan dengan keadaan umum yang buruk karena cairan langsung masuk kedalam pembuluh darah. 4) Anjurkan pasien untuk banyak minum Rasional : Asupan cairan sangat diperlukan untuk menambah volume cairan tubuh. 5) Kaji tanda dan gejala dehidrasi atau hipovolemik (riwayat muntah diare, kehausan turgor jelek). Rasional : Untuk mengetahui penyebab devisit volume cairan, jika haluaran urine < 25 ml/jam, maka pasien mengalami syok 6) Kaji perubahan haluaran urine dan monitor asupan haluaran Rasional : Untuk mengetahui keseimbangan cairan dan tingkatan dehidrasi.

b.

Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan penumpukan cairan di paru

1.

Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan pola nafasmenjadi efektif atau normal

2.

Kriteria Hasil : Menunjukkan pola nafas efektif dan paru jelas dan bersih.

3.

Intervensi : 1) Kaji frekuensi kedalaman pernafasan dan ekspansi dada. Rasional : Kecepatan biasanya meningkat, dispnea dan terjadi peningkatan kerja nafas.

36

2) Auskultasi bunyi nafas dan catat adanya bunyi nafas ronchi Rasional : Ronchi menyertai obstruksi jalan nafas atau kegagalan pernafasan. 3)

Tinggikan kepala dan bantu mengubah posisi.

Rasional : Duduk tinggi memungkinkan pengembangan paru dan memudahkan pernafasan diafragma, pengubahan posisi meningkatkan pengisian udara segmen paru. 4)

Bantu pasien mengatasi takut atau ansietas.

Rasional : Perasaan takut dan ansietas berat berhubungan dengan ketidakmampuan bernafas atau terjadinya hipoksemia 5)

Berikan oksigen tambahan

Rasional : Memaksimalkan bernafas dan menurunkan kerja nafas. c.

Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan suplai oksigen menurun 1.

Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan suplai oksigen ke jaringan adekuat.

2.

Kriteria Hasil : Menunjukkan peningkatan perfusi secara individual misalnya tidak ada sianosis dan kulit hangat

3.

Intervensi : 1) Auskultasi frekuensi dan irama jantung cacat adanya bunyi jantung ekstra. Rasional

:

Tachicardia

sebagai

akibat

hipoksemia

kompensasi upaya peningkatan aliran darah dan perfusi jaringan, gangguan irama berhubungan dengan hipoksemia, ketidakseimbangan

elektrolit.

Adanya

bunyi

jantung

tambahan terlihat sebagai peningkatan kerja jantung. 2) Observasi perubahan status metal Rasional : Gelisah bingung disorientasi dapat menunjukkan gangguan aliran darah serta hipoksia.

37

3) Observasi warna dan suhu kulit atau membrane mukosa. Rasional : Kulit pucat atau sianosis, kuku membran bibir atau lidah dingin menunjukkan vasokonstriksi prifer (syok) atau gangguan aliran darah perifer. 4) Ukur haluaran urine dan catat berat jeuis urine Rasional : Syok lanjut atau penurunan curah jantung menimbulkan penurunan perfusi ginjal dimanifestasi oleh penurunan haluaran urine dengan berat jenis normal atau meningkat 5) Berikan cairan intra vena atau peroral sesuai indikasi. Rasional

:

Peningkatan

cairan

diperlukan

untuk

menurunkan hiperviskositas darah (Potensial pembentukan trombosit) atau mendukung volume sirlukasi atau perfusi jaringan d. Hipertermi berhubungan dengan terjadinya veremia 1)

Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan temperature suhu dalam batas normal (36°-37° C).

2)

Karakter hasil :  Klien tidak menunjukkan kenaikan srihu tubuh.  Suhu tubuh dalam batas normal (36°-37° C)

3)

Intervensi : 1) Kaji saat timbulnya demam

Rasional : Untuk mengidentifikasi pola demam pasien 2) Observasi tanda-tanda vital

Rasional : Tanda-tanda vital merupakan acuan untuk mengetahui keadaan umum pasien. 3) Tingkatkan intake cairan.

Rasional

:

Peningkatan

suhu

tubuh

mengakibatkan

penguapan tubuh meningkat sehingga perlu diimbangi asupan cairan

38

4) Catat asupan dan keluaran

Rasional : untuk mengetahui ketidakseimbangancairan tubuh 5)

Berikan terapi cairan intravena dan obat-obatan sesuai

program dokter Rasional : pemberian cairan sangat penting bagi pasien dengan suhu tinggi. e.

Gangguan rasa aman nyeri berhubungan dengan proses patologis 1.

Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan nyer berkurang/hilang

Kriteria Hasil :

2.

 Rasa nyaman pasien terpenuhi  Nyeri berkurang atau hilang

Intervensi :

3.

1) Kaji tingkat nyeri yang dialami pasien dengan skala nyeri (0 - 10), tetapkan tipe nyeri yang dialami pasien, respon pasien terhadap nyeri. Rasional : Untuk mengetahui berat nyeri yang dialami pasien 2) Kaji faktor-faktor yang mempengaruhi reaksi pasien terhadap nyeri. Rasional : Dengan mengetahui faktor-faktor tersebut maka perawat dapat melakukan intervensi yang sesuai dengan masalah klien. 3) Berikan posisi yang nyata dan, usahakan situasi ruang yang terang. Rasional : Untuk mengurangi rasa nyeri . 4) Berikan suasana gembira bagi pasien, alihkan perhatian pasien dari rasa nyeri.

39

Rasional : Dengan melakukan aktivitas lain, pasien dapat sedikit melupakan perhatiannya terhadap nyeri yang dialami. 5) Berikan kesempatan pada pasien untuk berkomunikasi dengan teman-teman atau orang terdekat. Rasional : Tetap berhubungan dengan orang-orang terdekat atau

teman

membuat

pasien

bahagia

dan

dapat

mengalihkan, perhatiannya terhadap nyeri. 6) Berikan obat analgetik (Kolaborasi dengan dokter) Rasional : Obat analgetik dapat menekan atau mengurangi nyeri pasien. f.

Intake nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan muntah, anoreksia 1. Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan kebutuhan nutrisi pasien terpenuhi. 2. Kriteria Hasil : Pasien mampu menghabiskan makanan sesuai dengan porsi yang dibutuhkan atau diberikan . 3. Intervensi : 1) Kaji keluhan mual dan muntah yang dialami oleh pasien Rasional : Untuk menetapkan cara mengatasinya. 2) Berikan makanan dalam porsi kecil dan frekuensi sering. Rasional : Untuk menghindari mual dan muntah 3) Jelaskan manfaat nutrisi bagi pasien terutama saat pasien sakit. Rasional : Meningkatkan Pengetahuan pasien tentang nutrisi sehingga motivasi pasien untuk makan meningkat. 4) Berikan makanan yang mudah ditelan seperti bubur dan dihidangkan saat masih hangat. Rasional : membantu mengurangi kelelahan pasien dan meningkatkan asupan makanan.

40

5) Catat jumlah dan porsi makanan yang dihabiskan Rasional : untuk mengetahui pemenuhan nutrisi pasien. 6) Ukur berat badan pasien setiap hari. Rasional : untuk mengetahui status gizi pasien 4.

Tindakan Disesuaikan dengan intervensi (perencanaan)

5.

Evaluasi Pada tahap akhir proses keperawatan adalah mengevaluasi respon pasien terhadap perawatan yang diberikan untuk memastikan bahwa hasil yang diharapkan telah dicapai, Pada tahap evaluasi mengacu pada tujuan yang telah ditetapkan yaitu : defisit volume cairan dapat terpenuhi , pola nafasmenjadi efektif atau normal, suplai oksigen ke jaringan adekuat., temperature suhu dalam batas normal (36°-37° C), nyeri berkurang/hilang dan kebutuhan

nutrisi pasien terpenuhi.

41

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan Nefrotik sindrom dan dengue hemoragic fever merpakan penyakit yang sering menyerang anak dan menyebabkan angka kematian dan kesakitan anak tinggi. Pada umumnya perawatan dan pencegahan pada nefrotik sindrom adalah untuk mengurangi gejala dan mencegah pemburukan fungsi ginjal yaitu Pengaturan minum, Pengendalian hipertensi, Pengendalian darah, Penanggulangan anemia, Penanggulangan Asidosis, Pengobatan dan pencegahan infeksi, Pengaturan diit dan makanan. Dengue Haemorrhagic Fever (DHF) atau Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus dengue, yang biasanya ditemukan di daerah tropis. Infeksi virus dengue menyebabkan kematian dan kesakitan yang tinggi di seluruh dunia. Pencegahan dilakukan dengan menghindari gigitan nyamuk di sepanjang siang hari (pagi sampai sore) karena nyamuk aedes aktif di siang hari (bukan malam hari).

42

DAFTAR PUSTAKA Judith M. Wilkinson. & Nancy R. Ahern,(2012), Diagnosa Keperawatan Nanda NIC NOC, Jakarta, EGC Behrman, R.E. MD, dkk. 2000. Nelson Ilmu Kesehatan Anak Volume 3 Edisi 15.Jakarta: EGC Price A & Wilson L. 2005. Pathofisiology Clinical Concept of Disease Process (Patofisiologi konsep klinis proses-proses penyakit). Jakarta: EGC. http://eprints.ums.ac.id/16724/2/BAB_I.pdf (Diakses tanggal 14 Desember 2016) http://digilib.unimus.ac.id/download.php?id=7836 (Diakses tanggal 14 Desember 2016) http://eprints.ums.ac.id/22235/13/NASKAH_PUBLIKASI.pdf(Diakses tanggal 14 Desember 2016) http://lib.ui.ac.id/file?file=digital/20351523-PR-Apriliani%20S.pdf(Diakses tanggal 14 Desember 2016)

43

Related Documents

Dhf Implementasi Dhf-1.docx
December 2019 39
Sindrom Nefrotik
October 2019 47
Dhf New
October 2019 47

More Documents from "novavaa"