TEMA
: CERPEN PENDIDIKAN
NAMA
: REPITA FEBRIYANTI
NO. PESERTA : 13
IMPIAN BULAN MENGGAPAI BINTANG
Kampung cipatat dipagi hari tampak sepi. Hanya sesekali terlihat beberapa orang petani atau pedagang dengan keranjang yang hendak menjual dagangannya kepasar desa. Sementara aku, seorang gadis kecil harus berjalan sendirian dipagi ini pasti menjadi pertanyaan bagi mereka yang tidak mengenal siapa aku” mau berangkat sekolah, Neng Bulan…..” sapa salah seorang petani yang kebetulan berpapasan denganku. Ya….. bulan adalah namaku. Aku tinggal dikampung cipatat, sebuah kampong terpencil yang terletak dikaki gunung karang. Aku anak pertama dari empat bersaudara saat ini aku duduk dikelas VI Sekolah Dasar Negeri Kadubeureum 2 seperti siswa kelas VI lainnya, saat ini aku sedang disibukan dengan persiapan menghadapi ujian nasional. “Awas! Hati-hati nak bulan, “ kata pak mo. Tanpa aku sadari aku berjalan terlalu pinggir sebuah sungai beraliran deras yang oleh penduduk desa dinamakan sungai cigumulung “huuuft…hampir saja. Terima kasih, pak Mo,” kataku ketika tersadar dari lamunan. Rupanyan aku kurang hari-hati. Kalau sampai terjatuh bisa kotor bajuku, dan itu berarti aku harus berjalan kembali sejauh 4 kilometer kerumah dan aku tidak akan sempat lagi mengejar bel masuk sekolah. “Masya Allah nak…. Mau sekolah aja kok susah-susah jalan jauh-jauh. Nyebrang kali, lewat pematang sawah orang, nanti ujung-ujungnya ya harus ngurus dapur sama sawah “,kata ibuku. Sudah puluhan kali atau bahkan ratusan kali kudengar kata-kata ituh. Aku rasa ibuku khawatir setiap kali aku berangkat kesekolah. Hal ini wajar karena jarak sekolahku cukup jauh. Diperlukan waktu satu jam dengan jalan kaki menuju kesekolah. Karena tidak ada jalan raya penghubung antara kampungku dengan desa tempat sekolahku berada.
“Gimana Bulan, sudah dapat ijin dari orang tua?” Tanya bu Ida, guru wali kelasku.” Masih dipikirkan, bu” jawabku.” Ko aneh, anaknya diterima disekolah favorit masih harus dipikirpikir dulu”. Bu Ida merasa heran akan keluargaku. Aku terdiam memikirkan ucapan bu Ida. Aku jadi teringat dengan percakapan tiga hari yang lalu dengan bapak dan ibu dirumah. Memangnya harus yah nak”, kata bapak sambil meniup kopinya.” Dikira SD saja sudah cukup. Bisa baca sama nulis. Ya sudah kamu ini kan anak perempuan. Tiga adikmu itu lakilaki semua. Mereka harus sekolah yang tinggi supaya jadi orang pintar dan bisa menafkahi anak istrinya kelak”. Terang bapakku panjang lebar. Betul nak. SMP mu ituh nantikan jauh dari rumah, dari sini aja jaraknya sekitar ada 15 kilometer. Gak mungkin kamu harus jalan kaki sejauh itu”. Kata ibuku yang sedang menggendong adiku paling kecil. “Tapikan bisa kos bu, jawabku dengan pelan. Emang uangnya ada buat bayar kos mu, bapakku menyahut, buat makan sehari-hari aja susah apalagi harus buat bayar kos! Kata bapak dengan gusar. ya udah pak gak usah marahi anak kayak gitu. Ibu menenangkan bapak dengan sabra. “Begini yaa nak, meskipun nantinya sekolahmu itu dibiayai sama pemerintah, tapi masih butuh biaya buat beli seragam, kosmu belum nanti buat kamu makan sehari-hari. Bapak dan ibu tidak sanggup nak….” Kata ibuku sambil mengelus rambutku. Dirumah saja yaa, bantu bapak dan ibu pinta ibuku”. Kata-kata ibuku tadi meskipun halus tapi membuatku sangat kecewa “Apakah aku harus berhenti sampai disini? Apakah aku harus seperti anak-anak perempuan yang lain didesa ini yang setelah tamat SD harus tinggal ditengah karena jauhnya SMP dari kampungku? Lalu buat apa aku harus susah-susah belajar untuk menghadapi ujian? Nanti hasil nilai ujiannya tidak bisa digunakan untuk melanjutkan sekolah?” Pikirku saat itu.