Cerpen: Rost, Maukah Kau… Oleh: Kang Warsa Setelah sehari penuh, setelah menunaikan sholat ied, saya mengunjungi beberapa sanak keluarga, akhirnya saya kembali juga ke rumah. Hari telah sore, musim kemarau menerjang kampung kami sejak satu bulan terakhir. Selama Ramadhan bisa dikatakan hujan hanya turun satu kali saja, itu juga hamper tidak bisa dikatakan sebagai hujan, karena memang hanya gerimis sesaat. Orang-orang yang saya temui sering mengucapkan kata-kata senada, bisa dibilang kesal , karena harus berhadapan dengan panasnya udara selama sebulan ini. Musim panen, bisa dipastikan seminggu ke depan. Seperti sore ini, para petani telah meramaikan sawah. Bukan tanpa alas an, kecuali mereka melihat-lihat dengan binary harapan, hasil panen musim ini akan melimpah. Pokok-pokok padi berbulir sangat ranum. Kunig dedauan padi akan mengingatkan kau akan cerita yang biasa dibacakan atau diceritakan oleh ibu kalian menjelang tidur di masa kecil dulu. Sepanjang parit, pohon-pohon pisang berjajar rapat, dan ini sulit dicerna oleh akal sehat sekalipun, karena tanpa ditanam oleh orang pohon-pohon ini dengan sendirinya tumbuh subur di sana. Ada angin bertiup lembur membelai daun-daun pisang, hingga seolah melambai kea rah saya. Sejalan dengan openuturan keindahan alam di sore ini, matahari telah membentuk bulatan penuh di ufuk Barat serta suasana Ramadhan yang baru saja meninggalkan kita masih begitu terasa, sampai di telinga saya, di mulut saya, dan di dalam diri saya Ramadhan tahun ini masih membekas. Saya hanya berdecak kagum atas suasana seperti ini. Sampai segalanya membuka kembali tarian memori yang pernah saya alami beberapa bulan ke belakang. Tepatnya sebelas bulan lalu, di sebuah pantai di Daerah Kota P. Patut saya ceritakan dengan obrolan singkat penggalan kehidupan sebelas tahun lalu itu. Nopember Tahun 2008, Pantai akan mengingatkan kalian pada keMaha Besaran Sang Khalik. Debur Ombak menjilat pantai berpasir putih di Selatan Kota P. Sore hari telah melukiskan keindahan tak ternilai. Lempengan emas meramaikan laut lepas. Camar mulai menggila, menggelikan pendengaran dengan suara nyaringnya. Orang-orang masih bersikukuh pada pendiriannya, tidak akan meninggalkan pantai sebelum melihat matahari benar-benar tenggelam di ujung laut sebelah Barat. Cerita cinta bisa menjadi wakil dalam suasana pantai yang menantang seperti ini. Tentu saja tanpa harus dibalut oleh rangkaian kemesuman, karena konon, orangorang bisa menjadikan alas an jika di pantai orang dibolehkan bertelanjang atau minimal menggunakan bikini, padahal ada aturan dan etika manusiawi yang Cerpen Kang Warsa | Error! No text of specified style in document.
1
mengharuskan mereka menjaga martabat kemanusiaannya tanpa harus mengorbankan semua itu hanya demi alas an di pantai. Orang seperti saya bisa jadi hanya akan dikatakan manusia moralis yang sudah tidak akan dihargai di zaman ini. Nyatanya memang demikian, orang lebih cenderung beralasan demi nilai-nilai kemanusiaan untuk memuluskan keinginan mereka, padahal nilai-nilai lain yang terbilang cukup agunglah yang sebaiknya kita kedepankan. Untuk kea rah sana rasanya memang sukar. Rost, seorang wanita telah menambatkan cintanya kepada saya. Padahal, terus terang kami belum pernah berjumpa sekalipun. Kami saling mengenal satu sama lain tidak melalui apa-apa, kecuali melalui sebuah percakapan-percakapan dan dialog singkat saja di dalam telpon atau melalui SMS. Sukar menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi pada diri Rost dan saya. Saya mengakui, wanita seperti Rost hanya akan tercipta satu abad sekali karena melihat sisi-sisi kesetian dan kesederhanaannya dalam berkata. Rost mewakili wanita di zaman ini, wanita yang memang harus tangguh, bukan wanita gampangan penjual cinta imitasi meneriakkan kesombongan bahwa dirinya harus dihargai dimulyakan namun dengan cara-cara kurang berwibawa. Kalian tentu tahu, pinggul wanita diobral di televise-televisi, mereka para mucikari berseragam dan berkedok hiburan tidak mau mengakui kalau itu adalah satu penurunan moral, kepentingan mereka adalah rating sebuah pertunjukan. Dan bayaran atas segala yang dilakukan oleh para pengumbar pinggul adalah ketenaran, mereka bisa mencicipi kue kehidupan sekehendak mereka. Lupakah, wanita tetaplah wanita, mereka tidak akan pernah bisa berubah menjadi lelaki, kecuali mereka kaum wanita harus dimulyakan dengan cara meningkatkan kapasitas dan kualitas ilmunya serta harus berakhlak sholehah. Di pantai inilah kami berjumpa. Obrolan singkat, tanpa ada saling tatap, saling pegang tangan, hanya satu Tanya dan satu jawab. Saya bertanya kepada wanita mulia ini, “ Rost, maukan kau menjadi….?” Sambil menatap laut yang mulai menguning dia menjawab “ Ya..!” Begitulah kisahnya. Hinggal segalanya berakhir seolah kehidupan ini memang disulam dari benangbenang berwarna-warni, namun di dominasi oleh benang berlapis emas. Semua orang memang akan mengalami hal yang sama ketika hidup ini telah menemukan pasangan sejati. Sukabumi , Oktober 2009
Cerpen Kang Warsa | Error! No text of specified style in document.
2