Delapan Puluh Satu (81) tahun lalu, para pemuda tanah air mengumandangkan sebuah sumpah, sejarah telah member nama SUMPAH PEMUDA. Bisa dikatakan sumpah ini sebanding nilai baik magis ataupun historisnya dengan Sumpah Palapa yang diucapkan oleh Gajah Mada. Ada perbedaaan mencolok memang antara kedua sumpah tersebut. Hanya , disini penulis tidak akan menjelaskan perbedaan mencolok antara Sumpah Palapa Gajah Mada dengan Sumpah Pemuda para Pemuda Nusantara. Yang akan dielaborasi adalah karakteristik dan sifat-sifat pemuda saat itu, di tahun 1928, kemudian kita komparasikan dengan Karakteristik dan sifat-sifat Pemuda Nusantara saat ini. Pemuda di era awal abad ke-20 adalah mereka yang dilahirkan dari rahim masa Penjajahan. Ada tiga sifat atau mentalitas pemuda saat itu, pertama mereka para pemuda apriori, kondisinya pasrah dan mengikuti apa keinginan kaum colonial, mereka cenderung menjadi salah satu objek kolonialisme, dijadikan para pekerja kontrak, rodi, bahkan dibawa ke tempat-tempat yang jauh dari tanah kelahiran mereka. Kedua, adalah kelompok pemuda yang bersikap kompromi dengan kaum colonial dengan maksud ingin dijadikan partner akrab dalam pengelolaan sumber daya alam di Hindia Belanda waktu itu. Acap kali kelompok pemuda ini melacurkan diri demi sesuap nasi, menjadi pangreh praja, asal bapak senang, tanpa mengindahkan nilainilai nasionalisme dan patriotism. Daripada harus mengedepankan nilai-bilai tersebut mereka lebih senang dengan kondisi terjajah karena darinya ada semacam simbiosis yang saling menguntungkan. Mentalitas menjadi hamba bagi tuannya ini telah melahirkan sikap feodalis, mereka pun ingin dihargai, dihormati oleh orangorang sekitar seperti mereka menyembah induk semangnya- kaum colonial-. Ketiga, mereka adalah para pemuda dengan mentalitas merdeka. Mereka adalah kelompok minoritas di antara sekian banyak pemuda waktu itu. Namun, dalam diri mereka telah tercetak satu keinginan besar, ingin memerdekakan negeri ini dari tangan kaum colonial, ingin menjadi bangsa mandiri, mengedepankan nilai-nilai patriotism, persatuan, menghindari sifat cahauvinist-individualis. Kepentingan golonga mereka abaikan meskipun atas nama Agama, karena memang, persatuan dan kesatuan dari perbedaan lah yang harus didahulukan untuk memerdekakan negeri ini. Sumpah Pemuda pun dikumandangkan. Mari kita bercermin. Seperti apa mentalitas pemuda saat ini jika dibandingkan dengan mentalitas pemuda awal abad ke 20. Hampir sama, sebab bagaimana pun, sejarah hanya sebuah pengulangan dengan varian-varian yang lebih baru. Kenyataan hampir tidak bisa terbantahkan. Mentalitas pemuda saat ini pun bisa dikatakan terbagi menjadi tiga kelompok. Pengelompokkan ini hanya terbatas pada penilaian subjektif penulis terhadap pandangan saat ini. Di kelompok pertama, berkerumun, para pemuda apriori, masa bodoh dengan kondisi social yang terjadi di saat ini. Perubahan social mereka anggap hal biasa walaupun gelindingnya bisa jadi melindas mereka. Kelompok pemuda ini sama sekali tidak memiliki anggapan bahwa saat ini kehidupan masih dipengaruhi oleh nilai-nilai kolonialisme. Padahal bisa dikatakan, hampir semua lini kehidupan saat ini dipengaruhi begitu kental dengan nilai-nilai kolonilaisme ini. Mereka sering kali menjadi objek pemerasan tak terasa dari kelompok neo-kolonialis, menjadi sasaran empuk bagi pemasaran-pemasaran produk neo-imperialisme. Dan sama sekali tidak mereka rasakan. Kedua, mereka kelompok pemuda modern, namun bersikap kompromi terhadap kondisi saat ini, dengan bahasa ektreem mereka telah menjadi pembantu-pambantu yang menggoalkan cita-cita kaum neo imperialis . Kecendrungan bersikap koopratif ini bukan karena mereka ingin memperliohatkan bahwa bangsanya adalah bangsa tangguh,
kecuali karena ingin mengambil sesuatu demi kepertingan individu, keluarga, dan kelompoknya saja. Mereka lebih senang melihat dirinya berlimpah ruah dan mencicipi kue raksasa kehidupan tanpa merasa peduli dengan apa yang terjadi di sekitarnya. Kelompok pemuda ini, saat ini, berlomba-lomba ingin mendapatkan simpati dari pemerintah, dari kelompok pemegang uang, dan terus terang akses mereka begitu besar meskipun tidak ada kemerdekaan dalam mentalitas seperti ini. Kelompok ketiga, adalah barisan pemuda yang telah tercerahkan, meminjam istilah Ali Shariati mereka adalah minoritas kreatif. Akses mereka dalam kehidupan ini begitu samar karena kegiatan-kegiatan mereka sering kali bersebrangan dengan nilai-nilai kaum neo imperialis. Langkah yang ditempuh kadang menjadi sebuah ekstreemitas, bukannya kebaikan yang muncul melainkan satu penyesalan dari berbagai lapisan. Sepertinya mentalitas seperti ini hanya berlaku di era tahun 20an saja. Karena bentuk penjajahan kaum colonial waktu itu berupa penjajahan fisik. Mentalitas mana yang seharusnya dimiliki oleh pemuda-pemuda bangsa saat ini. Tiada lain adalah mentalitas merdeka, kompromi namun bersikap aposteriori, tidak mudah percaya saja terhadap keyakinan yang dipaksakan oleh beberapa kelompok. Sudah tidak ada perang fisik lagi di tahun ini, kecuali perang mentalitas, perang pemikiran. Pola piker pemuda harus terbentuk dari sikap bahwa pemuda pun memiliki akses baik di pemerintahan atau di kehidupan masyarakat. Pemuda harus menjadi pemuda, bukan kelompok kambing conge atau kerbau dicocok hidung, manggut kepada atasan. Tapi harus memberikan sebuah solusi perubahan, seperti inilih yang seharusnya dilakukan. Celaka, jika kita- para pemuda- telah diberi akses terutama dalam hal pemerintahan kemudian akses yang diberikan oleh pemerintah tersebut menjadi boomerang yang memandulkan kreatifitas pemuda. Di akhir tulisan ini penulis ingin bertanya- terutama kepada para pemuda, jika diberi pilihan, apakah anda memilih mendaftarkan diri menjadi CPNS atau berjuang di masyarakat sambil menelurkan ide-ide cerdas demi kemajuan masyarakat?