Case Sle Enim.docx

  • Uploaded by: Nur Ilmi Sofiah
  • 0
  • 0
  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Case Sle Enim.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 10,591
  • Pages: 66
Laporan Kasus

Wanita 25 tahun G3P2A0 hamil 11 minggu dengan SLE + Anemia sedang e.c. Thalassemia α + demam dengue

Oleh: Catherine Ienawi, S.Ked

04054821820033

Elfandari Taradipa, S.Ked

04054821820098

Ezra Hans Soputra, S.Ked

04054821820094

Mutia Mustika Sari, S.Ked

04054821820097

Nur Ilmi Sofiah, S.Ked

04054821820039

Siti Hanifahfuri Silverrikova, S.Ked

04054821820096

Pembimbing: dr. H. Iqbal Hamas, Sp.OG(K) dr. Ismail, Sp.OG dr. Bertha Octarina, Sp.OG

BAGIAN/DEPARTEMEN OBSTETRI DAN GINEKOLOGI RSUD Dr. H. M. RABAIN MUARA ENIM FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA 2019

HALAMAN PENGESAHAN Laporan Kasus

Wanita 25 tahun G3P2A0 hamil 11 minggu dengan SLE + Anemia sedang e.c. Thalassemia α + demam dengue

Oleh:

Catherine Ienawi, S.Ked

04054821820033

Elfandari Taradipa, S.Ked

04054821820098

Ezra Hans Soputra, S.Ked

04054821820094

Mutia Mustika Sari, S.Ked

04054821820097

Nur Ilmi Sofiah, S.Ked

04054821820039

Siti Hanifahfuri Silverrikova, S.Ked

04054821820096

Telah diterima dan disetujui sebagai salah satu syarat dalam mengikuti Kepaniteraan Klinik di Bagian/Departemen Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya RSUD Dr. H. M. Rabain Muara Enim Periode 11 Maret - 5 April 2019.

Muara Enim, Maret 2019

dr. H. Iqbal Hamas, Sp.OG(K)

ii

HALAMAN PENGESAHAN Laporan Kasus

Wanita 25 tahun G3P2A0 hamil 11 minggu dengan SLE + Anemia sedang e.c. Thalassemia α + demam dengue

Oleh:

Catherine Ienawi, S.Ked

04054821820033

Elfandari Taradipa, S.Ked

04054821820098

Ezra Hans Soputra, S.Ked

04054821820094

Mutia Mustika Sari, S.Ked

04054821820097

Nur Ilmi Sofiah, S.Ked

04054821820039

Siti Hanifahfuri Silverrikova, S.Ked

04054821820096

Telah diterima dan disetujui sebagai salah satu syarat dalam mengikuti Kepaniteraan Klinik di Bagian/Departemen Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya RSUD Dr. H. M. Rabain Muara Enim Periode 11 Maret - 5 April 2019.

Muara Enim, Maret 2019

dr. Ismail, Sp.OG

HALAMAN PENGESAHAN Laporan Kasus

Wanita 25 tahun G3P2A0 hamil 11 minggu dengan SLE + Anemia sedang e.c. Thalassemia α + demam dengue

Oleh:

Catherine Ienawi, S.Ked

04054821820033

Elfandari Taradipa, S.Ked

04054821820098

Ezra Hans Soputra, S.Ked

04054821820094

Mutia Mustika Sari, S.Ked

04054821820097

Nur Ilmi Sofiah, S.Ked

04054821820039

Siti Hanifahfuri Silverrikova, S.Ked

04054821820096

Telah diterima dan disetujui sebagai salah satu syarat dalam mengikuti Kepaniteraan Klinik di Bagian/Departemen Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya RSUD Dr. H. M. Rabain Muara Enim Periode 11 Maret - 5 April 2019.

Muara Enim, Maret 2019

dr. Bertha Octarina, Sp.OG

iv

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah S.W.T. karena berkat rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan laporan kasus mengenai “Wanita 25 tahun G3P2A0 hamil 11 minggu dengan SLE + Anemia sedang e.c. Thalassemia α + demam dengue”. Laporan kasus ini merupakan salah satu syarat kepaniteraan klinik di Bagian/Departemen Obstetri dan Ginekologi RSUD Dr. H. M. Rabain Muara Enim/Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya. Penulis mengucapkan terima kasih kepadadr. H. Iqbal Hamas, Sp.OG(K), dr. Ismail, Sp.OG, dan dr. Bertha Octarina, Sp.OG selaku pembimbing yang telah memberikan masukan dan pengayaan selama penulisan dan penyusunan laporan kasus ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada dr. Idries Tirtahusada, dr. Raden Gilang Nala Suwastra, dan dr. Asep Nurul Huda selaku pengampu kepaniteraan klinik di Departemen Obstetri dan Ginekologi RSUD Dr. H. M. Rabain Muara Enim. Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan laporan kasus ini. Oleh karena itu, kritik dan saran dari berbagai pihak sangat penulis harapkan. Semoga laporan ini dapat memberi manfaat bagi pembaca.

Muara Enim, Maret 2019

Penulis

v

DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL............................................................................................... i HALAMAN PENGESAHAN ................................................................................ ii KATA PENGANTAR ........................................................................................... iii DAFTAR ISI .......................................................................................................... iv BAB I

PENDAHULUAN ................................................................................ 1

BAB II

STATUS PASIEN ................................................................................. 2

BAB III TINJAUAN PUSTAKA ....................................................................... 11 BAB IV ANALISIS KASUS .............................................................................. 44 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 48

vi

BAB I PENDAHULUAN Lupus eritematosus sistemik (systemic lupus erythematosus/SLE) merupakan penyakit inflamasi autoimun kronis dengan etiologi yang belum diketahui serta manifestasi klinis, perjalanan penyakit dan prognosis yang sangat beragam. Penyakit ini terutama menyerang wanita usia reproduksi antara 15-40 tahun dengan angka kematian yang cukup tinggi. Faktor genetik, imunologik dan hormonal serta lingkungan diduga berperan dalam patofisiologi LES.1-3 Perubahan hormonal dan fisiologis dapat terjadi selama kehamilan dan mempengaruhi aktivitas lupus. Masih belum dapat dipastikan apakah kehamilan dapat mencetuskan LES, eksaserbasi LES pada kehamilan tergantung dari lamanya masa remisi LES keterlibatan organ organ vital seperti ginjal. Penderita LES yang telah mengalami remisi lebih dari 6 bulan sebelum hamil mempunyai risiko 25% eksaserbasi pada saat hamil dan 90% luaran kehamilannya baik. Tetapi sebaliknya bila masa remisi LES sebelum hamil kurang dari 6 bulan maka risiko eksaserbasi LES pada saat hamil menjadi 50-60% dengan luaran kehamilan yang buruk. Apabila kehamilan terjadi pada saat LES sedang aktif maka risiko kematian janin 50-75% dengan angka kematian ibu menjadi 10%. Umur kehamilan juga mempengaruhi kejadian eksaserbasi ini, pada trimester III kejadian eksaserbasi 50% , sedangkan pada trimester I dan II kejadian eksaserbasi sekitar 15%, sedangkan pada post partum 20%.3,5

BAB II 1

STATUS PASIEN

I.

IDENTIFIKASI a. Nama

: Ny. SM

b. Umur

: 21 tahun

c. Tanggal lahir

: 3 Juni 1997

d. Alamat

: Muara Enim

e. Suku, Bangsa

: Sumatera, Indonesia

f. Agama

: Islam

g. Status/Pendidikan : S1

II.

h. Pekerjaan

: Karyawati

i. No. RM /MRS

: 11.00.46

ANAMNESIS (Tanggal 16 Maret 2019 pukul 22.03 WIB): Autoanamnesis Keluhan Utama Keluar darah berwarna merah kehitaman dari kemaluan dan pasien mengaku sedang hamil.

Riwayat Perjalanan Penyakit + 1 jam SMRS pasien datang dengan keluhan keluar darah berwarna merah kehitaman. Pasien juga mengeluh keram pada perut yang telah dirasakan + sejak 1 minggu SMRS dimana keram dirasakan semakin memberat pada hari ini. Perut tegang (+), nyeri (+), keluar air-air (-).

Riwayat Penyakit Dahulu: -

Pada tanggal 12 Maret 2019 pasien melakukan USG dan dikatakan usia kehamilan 27 minggu dan dikatakan hasil USG tersebut baik, dimana di hari tersebut pasien sudah mengeluhkan hal yang sama dengan hari pasien masuk RS.

2

-

Riwayat trauma (-)

-

Riwayat demam (-)

-

Riwayat keputihan (-)

-

Riwayat alergi (-)

-

Riwayat sakit gigi (-)

-

Riwayat darah tinggi sebelum hamil (-)

-

Riwayat darah tinggi kehamilan sebelumnya (-)

-

Riwayat darah tinggi pada kehamilan ini (-)

-

Riwayat kencing manis (-)

-

Riwayat asma (-)

-

Riwayat penyakit jantung (-)

Riwayat Dalam Keluarga Riwayat darah tinggi, kencing manis dalam keluarga (-). Riwayat Pengobatan Riwayat minumobat-obatan disangkal Riwayat operasi disangkal

Riwayat Perkawinan Sudah menikah pada tahun 2018, 1 kali,lamanya masih kurang dari 1 tahun.

Riwayat Ginekologi Menarcheusia12 tahun, siklus haid 28 hari, teratur, lamanya 5-7 hari. HPHT pasien: 3/9/2018.

Riwayat Obstetri Status Persalinan: G1P0A0 1.

Hamil ini.

Riwayat Kontrasepsi 3

Pasien tidak pernah menggunakan kontrasepsi apapun.

Riwayat Sosial Ekonomi Status Sosial Ekonomi: Sedang

III. PEMERIKSAAN FISIK(16 Maret 2019 ) PEMERIKSAAN FISIK UMUM Keadaan Umum : Tampak sakit sedang Kesadaran

: Compos mentis

BB

: 64 kg

TB

: 159 cm

Tekanan Darah

: 120/70 mmHg

Nadi

: 77x/menit, isi/kualitas cukup, reguler

Respirasi

: 20x/menit, reguler

Suhu

: 36,7oC

PEMERIKSAANKHUSUS Mata

: Konjungtiva anemis (-/-), sclera ikterik (-/), edema palpebra (-/-), pupil isokor 3mm, refleks cahaya (+/+)

Hidung

: Sekret (-), perdarahan(-)

Telinga

:Liang telinga lapang

Mulut

: Mukosa mulut dan bibir pucat (-), perdarahan di gusi (-), sianosis(-), mukosa mulut dan bibir kering (-),fisura

Lidah Faring/Tonsil

(-),cheilitis (-)

: Atropi papil(-), lidah kotor (-) : Dinding faring posterior hiperemis (-),tonsil T1- T1, tonsil tidak hiperemis, detritus (-)

Kulit

: CRT <2s

Leher

: JVP 5-2 mmH2O, pembesaran KGB(-)

4

Thorax Inspeksi

: Simetris, retraksi intercostal, subkostal, suprasternal (-)

Palpasi

: Stem fremitus kanan=kiri

Paru Perkusi

: Sonor pada kedua lapangan paru Auskultasi

Auskultasi

:

Vesikuler

(+/+),

ronkhi(-),

wheezing(-) Jantung Inspeksi

:Iktus cordis tidak terlihat

Palpasi

:Iktus cordis tidak teraba, tidak adathrill

Perkusi

: Jantung dalam batas normal

Auskultasi

: BJI-II normal, murmur(-),gallop

(-) Abdomen Inspeksi

: Cembung, Lihat pemeriksaan obstetrik

Ekstremitas Atas

: Akral dingin (-/-), pucat (-/-), koilonikia (-/-)

Bawah

: Akral dingin (-/-), pucat (-/-), edemapretibial (-/-)

PEMERIKSAAN OBSTETRIK Pemeriksaan Luar Tinggi fundus uteri 22 cm, memanjang, punggung kiri, HIS (-), DJJ:160 kali/menit.

IV. PEMERIKSAAN TAMBAHAN PEMERIKSAAN LABORATORIUM (17-03-2019)

5

Pemeriksaan

Hasil

Nilai Normal

HGB

12,3 mg/dl

11,4-15,0 mg/dl

RBC

4,63 juta/m3

4,0-5,7 juta/m3

WBC

11,44 x 103/m3

4,73-10,89 x 103/m3

HCT

36,5%

35-45 %

MCV

78,8 fL

82-92 fL

MCH

26,46 pg

27-31 pg

MCHC

33,7 g/dL

150-450 g/dL

265.000/m3

189-436 x 103/m3

Basofil

0,1

0-1%

Eosinofil

0,1

1-6%

Netrofil

76,8

50-70%

Limfosit

16,0

20-40%

Monosit

7,0

2-8%

PT

13,5 sec

11-15 sec

Kontrol PT

13,8 sec

INR

1,00 sec

<5 sec

APTT

20,5 sec

26,0-37,0 sec

Kontrol APTT

32,5 sec

Hematologi

Trombosit Diff. Count

Hemostasis

6

PEMERIKSAAN USG (16 Maret 2019) Pada pemeriksaan USG didapatkan: Janin tunggal hidup intrauterine Biometri janin: 

Biparental Diameter (BPD)

: 7,16 cm



Head Circumference (HC)

: 25,67 cm



Abdominal Circumference (AC)

: 23,88 cm



Femur Length (FL)

: 4,70 cm



Estimation Fetal Weight (EFW)

: 1060 gr



Cairan ketuban cukup

Tampak kelainan janin pada kepala tak tampak falx serebri anterior, masih terdapat cortex serebri, kemungkinan suatu holoprosensefali semilobar. Kesan : Hamil 27 minggu janin tunggal hidup presentasi kepala dengan Solusio plasenta + holoprocencephaly semilobar

7

V.

DIAGNOSIS KERJA G1P0A0

hamil 27 minggu + HAP ec solutio plasenta + 50% +

holoprocencephaly semilobar JTH intrauterine

VI. PROGNOSIS Prognosis Ibu : dubia ad bonam Prognosis Janin: dubia ad malam

VII. T A T A L A K S A NA 1.

Edukasi pasien dan keluarga

2.

Observasi tandavital ibu, his, denyut jantungjanin

3.

IVFD D5% + Hyosine 1 amp gtt xx/menit

4.

Inj. Dexamethasone 3 x 1 amp

5.

Inj. As. Traneksamat 3 x 500 mg

6.

Inj. Nifedipine 4 x 1 tab

7.

Cek DR, DK, CT, BT

8.

Rencana USG

9.

Pro SC

VIII. LAPORAN OPERASI Diagnosis pre-operative: G1P0A0

hamil 27 minggu + HAP ec solutio plasenta +50% +

holoprosencephaly semilobar JTH intrauterine Diagnosis post-operaive: P1A0 post histerotomy a/i solutio plasenta +50% + holoprosencephaly semilobar Jenis operasi: histerotomy Posisi operasi:supinasi Jenis pembiusan: general anestesi Tanggal operasi: 18 Maret 2019

8

Jam operasi mulai: 11.20 WIB Jam operasi selesai: 12.20 WIB Lama operasi: 1 jam 1. Pukul 11.20 WIB operasi dimulai 2. Pastikan dalam posisi supinasi dalam general anestesi 3. Dilakukan tindakan aseptik antiseptik pada lapangan operasi dan sekitarnya 4. Dilakukan insisi fannenstiel dan diperdalam secara tajam dengan menembus dinding abdomen hingga peritoneum 5. Tampak uterus sebesar kehamilan preterm (27 minggu), diputuskan untuk melakukan histerotomy 6. Bayi dilahirkan dengan meluksir kepala 7. Pukul 11. 25 WIB lahir neonatus hidup perempuan BB 930 gram, PB 39 cm, A/S 4/5, SGA 8. Pukul 11.30 WIB plasenta lahir lengkap, berat 300 gram, diameter 15 cm x 15 cm , PTP 39 cm 9. Dilakukan pembersihan cavum uteri SBR dijahit secara jelujur Feston dengan PGA 1 10. Perdarahan dirawat sebagaimana mestinya 11. Dinding abdomen dijahit lapis demi lapis 12. Pukul 12.20 WIB operasi selesai.

Perdarahan: + 200 cc,

komplikasi: -

IX. INSTRUKSI PASCA PERSALINAN o Observasi tanda vital dan perdarahan o Kateter menetap 2 x 24 jam o IVFD RL + 1 amp tramadol +1 amp ketorolac gtt xx/menit o Ceftriaxone 2 x 1 gr IV o Metronidazole 3 x 500 mg IV o Asam traneksamat 3 x 500 mg IV o Furamine 2 x 1 gr IV 9

o Suprafenid 2 x 1 supp per rectal

X. FOLLOW UP 16/3/2019

S/ Keluar darah hitam dari kemaluan (+)

P/

08.30 WIB

O/

- Observasi TVI, his

Sens: CM

T:36,7°C

TD : 135/80 mmHg

RR: 18x/m

N: 82x/m

- Drip oxytocin 1 amp dalam D5 gtt xx/mnt - Ij. Asam traneksamat 3x500 mg

A/ G1P0A0 hamil 27 minggu belum

- Ij. Dexametason 3x1

inpartu dengan HAP e.c susp solution

- Nifedipin 4x1 tab

plasenta + 50% + susp holoprocencephaly semilobar 17/3/2019

S/ Keluar darah hitam dari kemaluan (+)

P/

O/

- Observasi TVI, his

Sens: CM

T:36,5°C

TD : 120/80 mmHg

RR: 18x/m

N: 84x/m

- Drip oxytocin 1 amp dalam D5 gtt xx/mnt - Ij. Asam traneksamat 3x500 mg

A/ G1P0A0 hamil 27 minggu belum

- Ij. Dexametason 3x1

inpartu dengan HAP e.c susp solution

- Nifedipin 4x1 tab

plasenta + 50% + susp holoprocencephaly semilobar 18/3/2019

S/ Keluar darah hitam dari kemaluan (+)

P/

O/

- Observasi TVI, his

Sens: CM

T:36,7°C

TD : 130/80 mmHg

RR: 14x/m

N: 85x/m

- Drip oxytocin 1 amp dalam D5 gtt xx/mnt - Ij. Asam traneksamat 3x500 mg

A/ G1P0A0 hamil 27 minggu belum inpartu - Ij. Dexametason 3x1 dengan HAP e.c susp solution plasenta + - Nifedipin 4x1 tab 50% + susp holoprocencephaly semilobar 19/3/2019

S/ Habis operasi melahirkan (+)

P/

10

O/

- IVFD RL drip tramadol

Sens: CM

T:36,7°C

+

TD : 110/70 mmHg

RR: 18x/m

XX/menit

N: 82x/m

ketorolac

gtt

- Ij. Ceftriaxon 2x1 gr - Ij. Kalnex 3x1

A/ P1A0 post histerektomi a/i solution - Ij. Metronidazol 3x500 plasenta + 50% + holoprocencephaly - Furamin 2x1 semilobar

- Suprafenid

2x1

per

rectal 20/3/2018

S/ Habis operasi melahirkan (+)

P/

O/

- IVFD RL drip tramadol

Sens: CM

T:36,5°C

+

TD : 115/80 mmHg

RR: 18x/m

XX/menit

N: 80x/m

ketorolac

gtt

- Ij. Ceftriaxon 2x1 gr - Ij. Kalnex 3x1

A/ P1A0 post histerektomi a/i solution - Ij. Metronidazol 3x500 plasenta + 50% + holoprocencephaly - Furamin 2x1 semilobar

- Suprafenid

2x1

per

rectal

11

BAB III TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Lupus Eritematosus Sistemik Lupus eritematosus sistemik (systemic lupus erythematosus/SLE) merupakan penyakit inflamasi autoimun kronis dengan etiologi yang belum diketahui serta manifestasi klinis, perjalanan penyakit dan prognosis yang sangat beragam. Penyakit ini terutama menyerang wanita usia reproduksi antara 15-40 tahun dengan angka kematian yang cukup tinggi. Faktor genetik, imunologik dan hormonal serta lingkungan diduga berperan dalam patofisiologi LES.1-3 Insiden tahunan LES di Amerika Serikat sebesar 5,1 per 100.000 penduduk, dengan rasio jender wanita dan laki-laki antara 9-14:1. Penyakit lebih sering ditemukan pada orang Asia, dari berbagai laporan kejadian LES tertinggi didapatkan di negara Cina dan Asia Tenggara. Belum terdapat data epidemiologi LES yang mencakup semua wilayah Indonesia. Data tahun 2002 di RSUP Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta, didapatkan 1,4% kasus LES dari total kunjungan pasien di poliklinik Reumatologi Penyakit Dalam, sementara di RS Hasan Sadikin Bandung terdapat 291 pasien LES atau 10,5% dari total pasien yang berobat ke poliklinik reumatologi selama tahun 2010. RS Dr. Soetomo Surabaya melaporkan 166 penderita dalam 1 tahun (Mei 2003 - April 2004).2,3 Manifestasi klinis LES sangat luas, meliputi keterlibatan kulit dan mukosa, sendi, darah, jantung, paru, ginjal, susunan saraf pusat (SSP) dan sistem imun. Dilaporkan bahwa pada 1000 pasien LES di Eropa yang diikuti selama 10 tahun, manifestasi klinis terbanyak berturut-turut adalah artritis sebesar 48,1%, ruam malar 31,1%, nefropati 27,9%, fotosensitiviti 22,9%, keterlibatan neurologik 19,4% dan demam 16,6% sedangkan manifestasi klinis yang jarang dijumpai adalah miositis 4,3%, ruam diskoid 7,8 %, anemia hemolitik 4,8%, dan lesi subkutaneus akut 6,7%.2,3

12

Tabel 1. Manifestasi klinis LES Dikutip dari Cunningham1 Sistem Organ Sistemik

Persentase (%)

Manifestasi Klinis Mudah lelah, lemah, demam, penurunan berat

95

badan Muskuloskeletal

Athralgia, mialgia, poliarthritis, miopati

95

Hematologik

Anemia, hemolisis, leukopenia, trombositopenia,

85

splenomegali Kutaneus

Ruam

malar,

ruam

discoid,

ruam

kulit,

80

photosensitif Neurologik

Sindrom otak organik, psikosis, serangan kejang

60

Kardiopulmoner

Pleuritis, perikarditis, miokarditis, endokarditis,

60

pneumonitis, hipertensi pulmonal Renal

Proteinuria, sindrom nefrotik, gagal ginjal

30-50

Gastrointestinal

Nausea, diare, enzim hati abnormal

40

Vaskuler

Trombosis: arteri (5%) dan vena (10%)

15

Okuler

Konjungtivitis

15

Penyebab timbulnya LES belum diketahui, namun ada beberapa faktor yang diduga sebagai faktor pencetus, yaitu:4 1. Genetik Bukti keterlibatan faktor genetik ini didapatkan berdasarkan peningkatan kejadian lupus eritematosus sistemik pada orang Asia dan kulit hitam. Terdapat pula bukti bahwa bila salah seorang keluarga menderita LES maka kemungkinan keturunannya mendapatkan lupus eritematosus sistemik sebesar 3-10 %. Pada kembar identik, risiko LES meningkat menjadi 25% pada saudara kembar dari pasien yang menyandang LES. 2. Lingkungan

13

Beberapa faktor lingkungan diduga berperan kuat mencetuskan lupus, diantaranya adalah: infeksi, zat kimia, racun, rokok dan sinar matahari. a. Infeksi Beberapa infeksi diduga menyebabkan lupus, salah satu penyebab terkuat adalah EBV (Epstein-Barr Virus), virus penyebab demam kelenjar (mononucleosis). Sebagian besar pasien LES tercatat pernah terinfeksi virus ini dalam riwayat penyakitnya. b. Zat kimia dan racun Beberapa penelitian membuktikan bahwa paparan terhadap zat kimia dan racun termasuk pekerjaan yang berhubungan silika. c. Merokok Akhir-akhir ini, merokok telah terbukti berhubungan dengan munculnya lupus. d. Sinar matahari Radiasi sinar ultra violet yang didapatkan dari sinar matahari menyebabkan eksaserbasi penyakit ini. 3. Hormonal Hormon estrogen meningkatkan terjadinya eksaserbasi lupus eritematosus sistemik. American Rheumatism Association (ARA) mengumumkan kriteria untuk diagnosis LES yang mengandung 14 item. Namun karena sensitivitasnya sangat bervariasi (57,2-98%), maka dilakukan revisi ulang pada tahun 1982, 1997 dan 2012 (tabel 2).1,5

Tabel 2. Kriteria ARA untuk LES No

Kriteria

Definisi

14

1

Ruam malar

Erithema malar

2

Ruam diskoid

Lesi ini berupa bercak eritematosa yang meninggi dengan sisik keratin penyumbatan folikel

3

Fotosensitifitas

Lesi

kulit

akibat

yang melekat

reaksi

disertai

abnormal terhadap

paparan cahaya matahari 4

Ulkus mulut

Ulcerasi di mulut atau nasofaring, biasanya tidak nyeri

5

Arthritis

Arthritis non erosive yang mengenai 2 sendi perifer ditandai oleh nyeri, bengkak atau efusi.

6

Serositis

Pleuritis atau perikarditis

7

Renal

Proteinuria yang selalu >0,5 g/hari atau >3+, atau ditemukan silinder sel

8

Neurologi

Kejang atau psikosis tanpa sebab yang jelas

9

Hematologi

Anemia hemolitik atau leukopenia atau limfopenia atau trombositopenia

10

Imunologi

Anti ds-DNA atau anti Sm antibodi, atauvpositif palsu VDRL, titer abnormal IgG atau IgM ACA atau LA.

11

Antibodi antinuclear

Titer abnormal ANA.

(ANA) positif Dikutip dari Cunningham1 Bila dijumpai 4 atau lebih kriteria, diagnosis LES memiliki sensitifitas 95% dan spesifisitas 75%. Sedangkan bila hanya 3 kriteria dan salah satunya ANA positif, maka sangat mungkin LES dan diagnosis bergantung pada pengamatan klinis. Bila hasil tes ANA negatif, maka kemungkinan bukan LES. Apabila hanya tes ANA positif dan manifestasi klinis lain tidak ada, maka belum tentu LES, dan observasi jangka panjang diperlukan.1,5

15

Seringkali terjadi kebingungan dalam proses pengelolaan LES, terutama menyangkut obat yang akan diberikan, berapa dosis, lama pemberian dan pemantauan efek samping obat yang diberikan pada pasien. Salah satu upaya yang dilakukan untuk memperkecil berbagai kemungkinan kesalahan adalah dengan ditetapkannya gambaran tingkat keparahan LES. Penyakit LES dapat dikategorikan ringan atau berat sampai mengancam nyawa:2 1. Kriteria LES ringan a. Secara klinis tenang b. Tidak terdapat tanda atau gejala yang mengancam nyawa c. Fungsi organ normal atau stabil, yaitu: ginjal, paru, jantung, gastrointestinal, susunan saraf pusat, sendi, hematologi dan kulit. 2. Kriteria LES dengan tingkat keparahan sedang a. Nefritis ringan sampai sedang ( Lupus nefritis kelas I dan II) b. Trombositopenia (trombosit 20-50x100.000/mm3) c. Serositis mayor 3. Kriteria LES berat atau mengancam nyawa a. Jantung: endokarditis Libman-Sacks, vaskulitis arteri koronaria, miokarditis, tamponade jantung, hipertensi maligna. b. Paru-paru: hipertensi pulmonal, perdarahan paru, pneumonitis, emboli paru, infark paru, ibrosis interstisial, shrinking lung. c. d. e. f.

Gastrointestinal: pankreatitis, vaskulitis mesenterika. Ginjal: nefritis proliferatif dan atau membranous. Kulit: vaskulitis berat, ruam difus disertai ulkus atau melepuh (blister). Neurologi: kejang, acute confusional state, koma, stroke, mielopati transversa, mononeuritis, polineuritis, neuritis optik, psikosis, sindroma demielinasi.

g. Hematologi:

anemia

hemolitik,

neutropenia

(leukosit

<1.000/mm3),

trombositopenia < 20.000/mm3 , purpura trombotik trombositopenia, trombosis vena atau arteri.

16

Perubahan hormonal dan fisiologis dapat terjadi selama kehamilan dan mempengaruhi aktivitas lupus. Masih belum dapat dipastikan apakah kehamilan dapat mencetuskan LES, eksaserbasi LES pada kehamilan tergantung dari lamanya masa remisi LES keterlibatan organ organ vital seperti ginjal. Penderita LES yang telah mengalami remisi lebih dari 6 bulan sebelum hamil mempunyai risiko 25% eksaserbasi pada saat hamil dan 90% luaran kehamilannya baik. Tetapi sebaliknya bila masa remisi LES sebelum hamil kurang dari 6 bulan maka risiko eksaserbasi LES pada saat hamil menjadi 50-60% dengan luaran kehamilan yang buruk. Apabila kehamilan terjadi pada saat LES sedang aktif maka risiko kematian janin 50-75% dengan angka kematian ibu menjadi 10%. Umur kehamilan juga mempengaruhi kejadian eksaserbasi ini, pada trimester III kejadian eksaserbasi 50% , sedangkan pada trimester I dan II kejadian eksaserbasi sekitar 15%, sedangkan pada post partum 20%.3,5 Lupus Activity Index in Pregnancy merupakan salah satu alat bantu untuk mengenali gejala dan tanda aktivitas lupus selama kehamilan. Aktivitas lupus saat kehamilan dapat berupa flare yang sangat parah. Terjadi peningkatan risiko aktivitas lupus selama kehamilan sebesar 2-3 kali, dibandingkan pasien wanita yang tidak hamil, dimana sebagian besar mengalami flare ringan, 1/3 kasus mengalami flare sedang hingga berat. Sebagian besar aktivitas lupus selama kehamilan dapat melibatkan kulit, persendian, dan gejala konstitusional, Hal tersebut juga nampak pada kehamilan biasa, sehingga seringkali tidak terdiagnosis sebagai aktivitas lupus.5

17

Gambar 1. Fase Imunologi Hamil Normal dan Hamil dengan LES Dikutip dari de Jesus6

Gambar 2. Fase aktivitas LES Dikutip dari Bertsias7

18

Penilaian aktivitas penyakit LES (lupus flare) dapat menggunakan kriteria MEX SLEDAI, yang meliputi:5 a. Gangguan neurologi (bobot 8) • CVA (Cerebrovascular accident): sindrom baru,eksklusi arteriosklerosis. • Kejang: onset baru, eksklusi metabolik, infeksi, atau pemakaian obat. • Sindrom

otak

organik: eksklusi penyebab metabolik, infeksi

atau penggunaan obat. • Mononeuritis • Myelitis: eksklusi penyebab lainnya. b. Gangguan ginjal (bobot 6) • Cast, heme granular atau sel darah merah. • Hematuria: >5/lpb, eksklusi penyebab lainnya (batu atau infeksi) • Proteinuria: onset baru > 0,5 g/l pada random spesimen. • Peningkatan kreatinin (>5 mg/dl) c. Vaskulitis (bobot 4): ulserasi, ganggren, nodul pada jari yang lunak, infark periungual, splinter haemorrhages. d. Hemolisis (bobot 3): Hb<12,0 g/dl

dan

koreksi

retikulosit

>3%,

trombositopenia < 100.000 bukan disebabkan oleh obat. e. Miositis (bobot 3) f. Artritis (bobot 2) g. Gangguan mukokutaneous (bobot 2): • Ruam malar: onset baru atau malar eritema yang menonjol • Mucous ulcers • Abnormal alopenia h. Serositis (bobot 2): pleuritis, pericarditis, peritonitis i. Demam (bobot 1) j. Lekopenia (bobot 1): sel darah putih < 4000/mm3, bukan akibat obat, limfopeni (limfosit < 1200 mm3, bukan akibat obat)

19

Masukkan bobot MEX SLEDAI bila terdapat gambaran deskripsi pada saat pemeriksaan atau dalam 10 hari terakhir. Interpretasinya:5 - ≥ 12

: flare berat,

- 9-11

: flare moderate,

- 4-8

: flare ringan,

- <4

: bukan flare.

Tata laksana dari flare selama kekambuhan didasarkan pada derajat keparahan dan keterlibatan organ. Pilihan terapi selama kehamilan bersifat terbatas pada keamanan obat, Penggunaan steroid dosis rendah dapat digunakan, tapi tidak menutup kemungkinan penggunaaan steroid dosis tinggi dalam jangka waktu pendek dapat digunakan untuk mengatasi flare, pada flare berat dapat digunakan metilprednisolon 500-1000 mg perhari selama 3 hari.8 Tabel 3. Manifestasi, Faktor Risiko dan Manajemen LES dalam Kehamilan

Dikutip dari de Jesus6

20

Penggunaan NSAID dapat digunakan untuk flare dengan gejala ringan pada trimester pertama dan kedua kehamilan. Namun pemberian NSAID juga harus dievaluasi dengan selama kehamilan terhadap kemungkinan terjadinya malformasi kongenital. Penggunaan Hidroksiklorokuinolon harus diteruskan selama kehamilan, selain itu penggunaan imunosupresan yang dapat digunakan untuk terapi flare adalah Azatioprin

dan

penghambat

kalsineurin.

Opsi

terapi

lain

yang

dapat

dipertimbangkan pada flare yaitu dengan pemberian IVIG dan plasmaferesis, namun penggunaannya harus melihat adanya risiko trombosis dan overload cairan.8

Tabel 4. Luaran Kehamilan dengan Lupus Flare

Dikutip dari Lima9

Walaupun demikian terjadinya eksaserbasi LES selama kehamilan, menyebabkan meningkatnya morbiditas dan mortalitas ibu, terutama pada masa peripartum. Pada suatu penelitian retrospektif, telah dibuktikan bahwa eksaserbasi LES dalam kehamilan 3 kali lebih besar pada 20 minggu kehamilan dan 8 kali lebih besar pada 8 minggu post partum. Beberapa ahli menganggap bahwa kehamilan mempresipitasi

21

timbulnya LES, di mana kematian yang terkait dengan penyakit tersebut secara bermakna lebih tinggi, saat ini 5-years survival diestimasi sekitar 96%. Hal ini merupakan alasan sebagian ahli bahwa penderita LES tidak diperbolehkan untuk hamil. Penelitian baru-baru ini telah menunjukkan bahwa wanita dengan LES akan mengalami eksaserbasi selama kehamilan dan masa post partum.5,10 Beberapa komplikasi kehamilan yang bisa terjadi pada kehamilan dengan LES yaitu, kematian janin meningkat 2-3 kali dibandingkan wanita hamil normal, bila didapatkan hipertensi dan kelainan ginjal maka mortalitas janin menjadi 50%. Kelahiran prematur juga bisa terjadi sekitar 30-50% kehamilan dengan LES yang sebagian besar akibat preeklamsia atau gawat janin.3,11 Infark plasenta yang terjadi pada penderita LES dapat meningkatkan risiko terjadinya Pertumbuhan Janin Terhambat sekitar 25% demikian juga risiko terjadinya preeklamsia- eklamsia meningkat sekitar 25-30%. Pada penderita LES yang disertai lupus nepritis kejadian preeklamsia menjadi 2 kali lipat. Membedakan preeklamsia dengan lupus nepritis sulit karena keduanya mengalami hipertensi, protenuria, edema dan perburukan fungsi ginjal.3,11 Tabel 6. Kehamilan Normal, Kehamilan dengan Preeklampsi dan Lupus Nefritis

Dikutip dari Khamashta11

22

Komplikasi pada janin berupa sindroma Lupus Eritematosus Neonatal (LEN) merupakan suatu sindroma yang jarang terjadi pada neonatus dan dapat terjadi pada bayi-bayi yang pada serum ibunya mengandung auto-antibodi terhadap extraxtable nuclear antigens (ENA), ditandai adanya lupus dermatitis, kelainan hematologik dan sistemik, dan congenital heart block. Congenital heart block ini sebagai akibat dari adanya miokarditis dan fibrosis di antara nodus atrioventrikuler dan bundle his. Kejadian ini berhubungan dengan adanya antibodi SS-A atau SS-B. Antibodi akan melewati plasenta dan bereaksi dengan kulit dan otot jantung janin. Antibodi ini bersifat sementara pada serum bayi dan tidak dapat dideteksi 6- 9 bulan kemudian.1

Penatalaksanaan ibu hamil dengan LES Penatalaksanaan lupus pada wanita secara ideal dimulai sebelum terjadinya kehamilan. Konseling prekonsepsi dibutuhkan dalam mengestimasti risiko pasien dan meninjau kembali pengobatan lupus. Peninjauan terhadap pengobatan diperlukan untuk mencegah efek teratogenik, penghentian obat-obat tertentu dan memulai pengobatan baru untuk melindungi ibu dan janin dari efek samping pengobatan tersebut.5 Ada dua hal yang perlu diperhatikan pada penatalaksanaan LES dengan kehamilan yaitu:5 a. Kehamilan dapat mempengaruhi perjalanan penyakit LES b. Plasenta dan fetus dapat menjadi target dari autoantibodi maternal sehingga dapat berakhir dengan kegagalan kehamilan dan terjadinya lupus eritematosus sistemik.

23

Gambar 4. Algoritma Penatalaksanaan LES Dikutip dari Kasjmir2

24

Gambar 5. Diagram Alur Perencanaan Kehamilan Pada Wanita Dengan LES Dikutip dari Bernolian14

Idealnya kehamilan harus ditunda hingga LES telah memasuki fase inaktif paling tidak selama 6 bulan agar tercapai luaran kehamilan yang baik. Alur perencanaan kehamilan pada wanita dengan LES adalah sebagai berikut:14 1. Konseling Prakehamilan Idealnya wanita dengan LES yang ingin hamil harus terlebih dahulu menjalani konseling pra kehamilan. Pada saat itu harus dijelaskan masalah obstetri yang akan timbul jika wanita tersebut hamil, termasuk resiko kematian janin, persalinan preterm, preeklampsi dan gangguan pertumbuhan janin. Perhatian khusus juga diberikan terhadap kemungkinan timbulnya sindroma antifosfolipid dan sindroma lupus eritematosus neonatal (LEN). Penderita yang hendak hamil harus berada

25

dalam fase remisi dan tidak sedang menggunakan obat-obatan sitotoksik dan OAINS sebelum terjadi konsepsi, juga harus dinilai apakah penderita menderita anemia, trombositopenia, penyakit ginjal dan antibodi antifosfolipid.11,15,16 2. Evaluasi Pre Konsepsi Evaluasi prekonsepsi merupakan aspek vital dalam perencaan kehamilan pada wanita dengan LES. Lee, dkk. Dalam publikasinya mengenai manajemen kehamilan dengan LES menyatakan bahwa setiap wanita dengan LES yang berencana untuk hamil harus melewati evaluasi yang dilakukan oleh ahli Reumatologi, dimana yang harus dievaluasi berdasarkan check list yang terdiri dari:11,14,16

Tabel 7. Check list Prakehamilan pada Pasien LES          Dikutip dari Lee15

Usia Adanya kehamilan sebelumnya Komplikasi pada kehamilan sebelumnya Keterlibatan organ akibat LES Derajat kerusakan akibat LES yang ireversibel Aktivitas kekambuhan LES yang baru saja terjadi Adanya antibodi aPL yang positif Anti-Ro dan/atau anti La antibodi yang positif Riwayat pengobatan termasuk obat-obatan yang dilarang

Faktor risiko maternal dan fetal harus dievaluasi sebelum terjadinya konsepsi untuk mencapai rencana asuhan antenatal yang optimal. Kondisi klinis tertentu seperti : insufisiensi ginjal tahap lanjut, gangguan fungsi paru restriktif, gangguan jantung, hipertensi pulmonal atau adanya riwayat preeklampsia berat atau sindroma HELLP tentunya akan meningkatkan risiko maternal serta beberapa kondisi

26

terntentu yang dikontraindikasikan untuk hamilan pada wanita dengan LES. Pada kasus dengan adanya kekambuhan LES dalam waktu 6 bulan, stroke hingga lupus nefritis yang akut penundaan kehamilan sangat disarankan.14,17 Kontraindikasi kehamilan pada wanita dengan LES adalah sebagai berikut:2,14,17 1. Lupus nefritis aktif dalam kurun waktu ± 6 bulan 2. Stroke dalam kurun waktu ± 6 bulan 3. Riwayat preeklampsia berat atau sindroma HELLP 4. Hipertensi pulmonal (tekanan darah sistolik arteri pulmonal >50 mmHg atau adanya gejala klinis) 5. Penyakit paru restriktif (kapasitas vital paru <1) 6. Gagal ginjal kronik (kadar kreatinin >2.8 mg/dl) 7. Gagal jantung

Pemeriksaan profil autoantibodi juga harus dilakukan pada saat evaluasi prakonsepsi. Pemeriksaan ini meliputi pemeriksaan aPL (antibodi antikardiolipin dan antikoagulan lupus), anti-Ro dan anti La antibodi. Aktivitas LES dan fungsi organ juga harus menjadi fokus perhatian tidak hanya membantu dalam membuat keputusan tetapi juga mengevaluasi risiko kehamilan nantinya. Pemeriksaan fungsi tiroid harus dilakukan untuk menentukan kemungkinan adanya penyakit tiroid yang akan memberikan pengaruh buruk pada luaran kehamilan. Selain itu terapi obatobatan harus dikaji ulang dan bila perlu ditambah sebelum terjadi konsepsi guna mengontrol kekambuhan LES.14 3. Manajemen Pengawasan antenatal Ketika tes kehamilan dinyatakan positif, harus telah dilakukan tatalaksana terhadap kehamilan, aktivitas penyakit LES dan organ yang terlibat. Kunjungan ante natal dilakukan: tiap 4 minggu sampai usia kehamilan 20 minggu, tiap 2 minggu hingga kehamilan 28 minggu, dan tiap minggu hingga persalinan.16-18

27

Tabel 8. Manajemen Pengawasan Antenatal pada Wanita Hamil dengan LES Jenis Pemeriksaan Frekuensi Penilaian klinis Nefrologi

disarankan

 Pemeriksaan dilakukan

tiap

bulan,

oleh

ahli

Reumatologi

pemeriksaan

lebih

dan

sering

direkomendasikan bila terjadi flare  Pemeriksaan oleh ahli Fetomaternal direkomendasikan setiap bulan hingga usia kehamilan 20 minggu, lalu tiap 2 minggu hingga usia kehamilan mencapai 28 minggu dan setiap minggu hingga usia kehamilan 37 minggu

Pemeriksaan laboratorium: Dilakukan setiap bulan meliputi pemeriksaan darah lengkap, asam urat, ureum, kreatinin, elektrolit, tes fungsi hati, urinalisis, sedimen urin termasuk protein, rasio kreatinin, level komplemen dan antibodi dsDNA. Pemeriksaan USG Usia kehamilan 7-13 minggu untuk menentukan usia kehamilan  Mulai usia kehamilan 16 minggu dilakukan setiap bulan untuk menentukan adanya

kelainan

kongenital

dan

evaluasi

pertumbuhan

janin

namun

direkomendasikan lebih sering bila dicurigai adanya PJT atau adanya preeklampsia Publikasi yang dilakukan Stanhope, dkk. Pada tahun 2012, lebih jauh membahas mengenai rekomendasi pemeriksaan laboratorium dari pasien LES

dengan

kehamilan seperti yang terlihat pada tabel 9.14

28

Tabel 9. Rekomendasi Pemeriksaan Laboratorium pada Kehamilan dengan LES Waktu Konseling prekonsepsi dan/atau kunjungan perdana antenatal

Jenis Pemeriksaan Keterangan - Urinalisis untuk melihat adanya proteinuria - Darah lengkap, kreatinin serum, - Antibodi antifosfolipid , antibodi anti SSA/Ro dan anti-SSB/La - Antibodi Antidouble- stranded DNA, tes fungsi hati dan komplemen

Setiap bulan proteinuria serum

Urinalisis, dan kreatinin

- Nilai rasio protein/ kreatinin, untuk hasil yang optimal digunakan protein 24 jam - Bila positif, lakukan penilaian mingguan dari denyut jantung janin mulai dari usia kehamilan 16-24 minggu dan dilanjutkan tiap minggu hingga usia kehamilan 32 minggu Bila dijumpai hasil abnormal makan lakukan pemeriksaan serologis untuk lupus dan komplemen, pertimbangkan u ntuk melakukan biopsi ginjal sebelum usia kehamilan 32 minggu

29

Setiap trimester

Darah lengkap, antibodi anti-

double-stranded DNA, komplemen dan tes fungsi hati (pada pasien yang mendapatkan terapi azathioprine) Dikutip dari Bernolian17

4. Terapi Medikamentosa Pada Hamil dengan LES Modalitas utama dalam pengobatan LES adalah penggunaan kortikosteroid, obat antiinflamasi non steroid (OAINS), aspirin, antimalaria dan imunosupresan. Akan tetapi untuk penggobatan LES dalam kehamilan terdapat kecenderungan untuk tidak memberikan penggobatan secara polifarmaka dan pemberian obat harus dimulai pada dosis serendah mungkin yang masih bermanfaat untuk penekanan aktivitas LES.3 Isu lain yang menjadi perhatian yaitu mengenai pemilihan obat-obatan yang bertujuan untuk mengobati si ibu namun tidak membahayakan janin pada saat yang bersamaan. 2,14 Tabel 10. Obat-obatan Pada Kehamilan dan Menyusui

30

Dikutip Dari Kasjmir2

Panel satuan tugas merekomendasikan beberapa pendekatan terkait tata laksana LES dan Lupus nefritis pada wanita hamil (level evidence C) seperti terlihat pada Gambar 6.

Riwayat Lupus nefritis Tidak ada bukti kekambuhan penyakit

Lupus nefritis klinis Riwayat Lupus nefritis kekambuhan penyakit derajat ringan

Tidak ada tatalaksana LES

Hidroksiklorokuin 200-400 mg/hari

Glukokortikoid (prednison pada dosis yang dapat menekan kekambuhan) – hindari fluorinated Glukokortikoid (Dexamteason, bethametason) +

Bila ingin mengurangi pemakaian glukokortikoid Gambar 6. Rekomendasi Tata Laksana Kehamilan dengan LES dan LN atau

Dikutip dari Bernolian14

kontrol lupus nefritis dapat ditambahkan azatioprine (mak. 2mg/kgBB/hari)

Pada pasien dengan riwayat lupus nefritis tapi tidak disertai dengan bukti adanya aktivitas kekambuhan renal maupun sistemik maka tidak ada pengobatan yang direkomendasikan. Pasien dengan kekambuhan sistemik derajat ringan direkomendasikan diberikan Hidroksiklorokuin dengan dosis 200-400 mg/hari untuk mengurangi kekambuhan LES selama kehamilan. Bila nefritis terjadi secara aktif atau ditemukan adanya kekambuhan substansial ekstrarenal maka dapat diberikan terapi glukokortikoid pada dosis yang dapat menekan kekambuhan dan bila perlu dapat ditambahkan regimen Azatriopin dengan dosis maksimal 2 mg/kgBB/hari, walaupun Azatriopin termasuk ke dalam obat kategori D dalam kehamilan, obat ini tetap dapat dipakai karena efek risiko abnormalitas janin yang rendah.14 Mikofenolat mofetil, siklofosfamid dan metotreksat harus dihindari pemberiannya selama kehamilan karena bersifat teratogenik. Pada pasien dengan

31

nefritis akut, pertimbangkan untuk melakukan persalinan setelah usia kehamilan di atas 28 minggu atau saat fetus dianggap viabel.14 5. Manajemen Intrapartum Pengambilan keputusan terkait waktu dan cara persalinan harus diberikan kepada SpOG yang telah berpengalaman dalam menangani persalinan pada pasien dengan adanya gangguan ginjal. Persalinan sebaiknya dilakukan di fasilitas kesehatan tersier dimana tersedia ahli neonatologi dan ruang intensif neonatus, terutama bila pasien harus melahirkan dengan usia gestasi kurang dari 37 minggu. Wanita hamil dengan lupus yang diterapi dengan steroid sistemik dalam 2 tahun sebelum kehamilan sebaiknya mendapatkan steroid stress coverage selama persalinan. Seksio sesaria hanya dilakukan atas indikasi obstetrik. Pada pasien yang mendapatkan terapi imunosupresif dan akan menyusui, sebaiknya dipertimbangkan mengenai keamanan terapi imumosupresif terhadap neonatus. 5,14

6. Manajemen Postpartum Pengawasan ketat selama 4 minggu postpartum sangat diperlukan terutama pada pasien dengan riwayat kekambuhan LES sebelumnya. Terapi kortikosteroid dapat diturunkan dosis secara perlahan (tappering off) pada pasien LES tanpa riwayat kekambuhan. Masa nifas merupakan periode yang berisiko tinggi terjadinya trombosis, bila selama hamil diberikan terapi antikoagulan, maka diperpanjang hingga 4-6 minggu postpartum.14 Penatalaksaan kehamilan dengan LES pada pasien ini sesuai dengan prosedur yaitu pemantauan kehamilan dengan pemeriksaan USG dan rawat bersama dengan Departemen Penyakit Dalam. Pada konsultasi tanggal 20 September 2016 dengan Departemen Penyakit Dalam pasien didiagnosa dengan SLE on terapi, dengan penatalaksanaan metilprednisolon 16mg-8mg-0, asam folat 2x400mcg, Aspilet 1x80mg dan CaCO3 3x500mg. Pasien tetap dijadwalkan untuk kunjungan antenatal tiap minggu hingga waktu persalinannya.

32

Pilihan kontrasepsi pada pasien dengan LES Penggunaan kontrasepsi pada pasien LES ditujukan untuk menghindari kehamilan yang tidak diinginkan. Beberapa kondisi memerlukan kontrasepsi yang efektif: fase awal penyakit, LES yang agresif, keterlibatan organ atau kerusakan organ yang berat, dan penggunaaan obat-obatan yang bersifat embriotoksik dan sitotoksik. Metode kontrasepsi yang dapat digunakan pada pasien LES yaitu: metode barrier, intrauterine device (IUD) dan hormonal.2,14,17 1. Metode barrier Metode barrier merupakan kontrasepsi yang murah, efektif untuk mencegah kehamilan dan adanya penyakit menular seksual. Namun kegagalan dalam penggunaan metode ini cukup tinggi yaitu sebesar 17% terutama penggunaan kondom dan diafragma. 2. Intrauterine device (IUD) Angka kegagalan penggunaan metode IUD cukup rendah yaitu sebesar 2%, komplikasinya dapat berupa perdarahan pervaginam yang ireguler setelah pemasangan, risiko ekspulsi dan risiko infeksi setelah pemasangan IUD yang mengarah ke penyakit radang panggul. 3. Metode hormonal Metode kontrasepsi hormonal yang dapat digunakan pada pasien LES meliputi obat kontrasepsi oral (kombinasi-progestin only), dan implant. Penggunaan kontrasepsi oral yang mengandung estrogen tidak disarankan karena dapat mengakibatkan terjadinya flare. Fokus dari penggunaan kontrasepsi progesteron yaitu efek terhadap tulang, namun efek penurunan densitas mineral tulang bersifat reversibel setelah penghentian terapi. Rekomendasi penggunaan kontrasepsi oral yang mengandung estrogen pada pasien LES dapat dilihat pada tabel dibawah.

Tabel 11. Rekomendasi Kontrasepsi Oral Wanita Hamil dengan LES Penggunaan kontrasepsi oral digunakan bila : 33

    

Keadaan LES yang inaktif atau LES/ LES moderat yang aktif Tidak ada riwayat trombosis vena atau arteri Tidak ada riwayat hipertensi Antikoagulan lupus negatif Antibodi antiosfolipid titer rendah (+) intermiten atau bila didapatkan keuntungan untuk menurunkan risiko trombosis  Tidak perokok  Tidak obesitas Bila memungkinkan, pertimbangkan :  

Pil KB kombinasi dengan estrogen dosis rendah Pil progestin only atau IUD Dikutip dari Bernolian14

Pada ibu ini diperbolehkan hamil lagi setelah 6 bulan sejak melahirkan asalkan gejala penyakit SLE-nya tidak mengalami ekserbasi selama 6 bulan ini. Kontrasepsi yang bisa ditawarkan untuk ibu ini adalah metode barier ( kondom,diagframa ) atau minipill.

KESIMPULAN 1. Setiap wanita yang hamil dengan SLE harus ditatalaksanai sedini mungkin dan melakukan kerjasama dengan Departemen Penyakit Dalam Subdivisi Imunologi. Dilakukan pengawasan baik secara klinis maupun laboratorium untuk mengetahui adanya peningkatan aktifitas atau eksaserbasi penyakit LES. Perlu dilakukan pemeriksaan USG secara serial. 2. Kontrasepsi pilihan pada ibu bila masih menginginkan kehamilan adalah kontrasepsi barrier atau hormonal.

REFERENSI Cunningham FG, Leveno KJ, Bloom SL. William’s Obstetrics. 24th ed. New York: McGraw-Hill Medical Publishing Division, 2014 2. Kasjmir YI, Handono K, Wijaya LK, Hamijoyo L, Albar Z, Kalim H dkk. Diagnosis dan Pengelolaan Lupus Eritematosus Sistemik. Perhimpunan Reumatologi Indonesia, 2011 3. Kusuma AANJ. Lupus Eritematosus Sistemik Pada Kehamilan. Denpasar. J Peny Dalam, 2007; 8(2): 170-5 1.

34

4. 5. 6.

7. 8.

9.

10.

11. 12. 13. 14. 15. 16. 17.

18.

Lisnevskaia L, Murphy G, Isenberg D. Systemic Lupus Erytematosus. Lancet, 2014; 384:1878-88 Duarsa IS. Kehamilan dengan Lupus Eritematosus Sistemik. FK Universitas Udayana/ RSUP Sanglah Denpasar. 2014. De Jesus GR, Mendoza-Pinto C, De Jesus NR, Dos Santos FC, Klumb EM, Carrasco MG, Levy RA. Understanding and managing pregnancy in patients with lupus. Hindawi Publishing Corporation. Autoimmune Diseases, 2015; 943490: 1-18 Bertsias G, Cervera R, Boumpas DT. Systemic Lupus Erythematosus: Pathogenesis and Clinical Features. EULAR. 2012: 476-505 Magid MS, Kaplan C, Sammaritano LR, Peterson M, Druzin ML, Lockshin MD. Placental pathology in systemic lupus erythematosus: A prospective study. Am J Obstet Gynecol. New York. 1998; 179 (1): 226-34 Lima F, Buchanan NMM, Khamashta MA, Kerslake S, Hughes GRV. Obstetric Outcome in Systemic Lupus Erythematosus. Seminars in Arthritis and Rheumatism, 1995; 25(3):184-92 Reynolds JA, Bruce IN. Overview of the management of systemic lupus erythematosus. Reports on the Rheumatic Diseases. Derbyshire. 2013; 7(2):111. Khamashta MA. Systemic lupus erythematosus and pregnancy. Best Practice & Research Clinical Rheumatology. 2006; 20(4):685-94. Ferri FF. Anemia, Autoimmune Hemolytic. Ferri’s Clinical Advisor. 2017: 72-74e2. Zanella A, Barcellini W. Treatment of autoimmune hemolyticanemias. Haematologica. 2014; 99(10): 1547-54. Bernolian N. Tatalaksana Systemic Lupus Erytemathosus dalam Kehamilan. Palembang. 2015. Lee YH, Lee HS. Management of Pregnancy in Women with Systemic Lupus Erythematosus. Korea. 2011; 18(2): 74-8. Lateef A, Petri M. Managing lupus patients during pregnancy. Best Practice & Research Clinical Rheumatology. Singapore. 2013; 27:435-47 Al-Osaimi H, Yelamanchili S. Management of Pregnant Lupus. Jeddah. 2012; Available from: http://www.intechopen.com/books/systemic-lupuserythematosus/management-of-pregnant-lupus Bertsias G, Ioannidis JPA, Boletis J, Bombardieri S, Cervera R, Dostal C, et al. EULAR recommendations for the management of systemic lupus erythematosus. Report of a Task Force of the EULAR Standing Committee for International Clinical Studies Including Therapeutics . Ann Rheum Dis 2008;67:195-205

35

3.2 Holoprosencephaly 3.2.1 Definisi Holoprosencephaly adalah suatu kelainan yang disebabkan oleh gagalnya proses pemisahan prosencephalon (forebrain masa embrio) menjadi 2 buah lobus hemisfer otak. Hasil dari gagalnya pemisahan ini berupa otak yang hanya memiliki 1 buah lobus hemisfer, dan kelainan struktur tulang tengkorak dan wajah yang parah.1 1. Tahapan perkembangan otak Dalam perkembangan otak, ada periode yang dikenal sebagai periode pacu tumbuh otak ( brain growth spurt ), yaitu saat dimana otak berkembang sangat cepat. Pada manusia, periode pacu tumbuh otak pertama dimulai ketika usia kehamilan ibu memasuki trimester ketiga. Pada trimester pertama dan kedua kehamilan terjadi pembentukan sebagian besar neuron dan sebagian besar terjadi pembentukan struktur susunan saraf pusat. Sehingga jika terjadi gangguan pada masa ini akan menyebabkan kelainan struktural yang berat. Sedangkan, jika terjadi gangguan pada trimester ketiga kehamilan dan periode selanjutnya menyebabkan kerusakan bersifat mikrostruktural dan fungsional. Masa tersebut merupakan masa pematangan sistem saraf pusat. Periode pacu tumbuh otak kedua terjadi setelah kelahiran hingga usia dua tahun. Multiplikasi sel terjadi pada masa janin. Sedangkan sejak lahir hingga usia dua tahun adalah saat neuron (sel saraf) di korteks otak membentuk sinaps (hubungan antara sel saraf) yang sangat banyak. Di masa multiplikasi dan pembentukan sinaps ini, otak harus mendapat prioritas utama dalam hal pemenuhan zat-zat gizi sebagai bahan-bahan pembentukannya. Pembentukan susunan saraf pusat dimulai dari terbentuknya tabung saraf yang terbentuk dari penebalan bagian dorsal ektoderm yang membentuk lempeng neural. Lempeng neural akan membentuk lekukan yang kedua ujungnya akan saling

36

bertemu dan membentuk tabung neural atau neural tube. Penutupan tabung neural dimulai pada akhir minggu ketiga dan berlangsung ke arah rostral dan kaudal, dan menjelang akhir minggu keempat penutupan tabung neural telah sempurna. Faktor genetik, imunologik dan defisiensi folat ikut berperan dalam terjadinya defek tabung neural

Gambar 1. Lini masa perkembangan otak Awal perkembangan prosensefalon terjadi pada bulan kedua dan ketiga kehamilan, tidak lama setelah tabung neural anterior menutup, terbentuk tiga bagian utama yaitu Prosensefalon (fore brain), mesensefalon (midbrain), dan Rombensefalon (hindbrain). Kelainan yang terjadi pada Prosensefalon biasanya disertai dismorfik wajah karena mesoderm berinterkasi dengan ektoderm pada bagian rostral yang membentuk wajah dan prosensefalon. Kemudian Prosensefalon akan membelah memisahkan telensefalon dan diensefalon. Telensefalon lalu membelah pada bidang sagital, membentuk kedua hemisfer serebri, ventrikel lateralis, dan ganglia basalis. Dari bagian prosensefalon akan terbantuk vesikel optik dan bulbus olfaktorius. Sedangkan, diensefalon membentuk struktur-struktur midline korpus kalosum, thalamus, hipotalamus, epitalamus dan kiasma optik.

37

Gambar 2. Proses perkembangan otak dimulai dari pembentukan tabung neural

3.2.2 Etiologi Faktor-faktor Lingkungan Penyebab teratogen paling sering pada manusia yang telah diketahui menyebabkan HPE adalah diabetes mellitus pada ibu. Janin pada ibu dengan DM mempunyai resiko 1% untuk menderita HPE (200 kali lebih berisiko dari janin dengan ibu normal). Penyebab lainnya adalah konsumsi alcohol, dan acam retinoat telah terbukti berhubungan dengan HPE pada hewan, walau pada manusia belum terbukti. Obat-obat penurun kolesterol (i.e. statins) baru-baru ini juga dihubungkan dengan HPE, walau hubungan kausal antara penggunaan statin saat prenatal dengan HPE belum terbukti. Pada hewan betina percobaan dengan hipokolesterolemia telah terbukti menyebabkan HPE. Kelainan Gen Kira-kira 25-50% individu dengan HPE mempunyai kromosom yang abnormal. Abnormalitas kromosom yang ada tidak spesifik dan dapat berupa numerical atau structural. Kelainan kromosom numerical yang terjadi pada HPE adalah trisomy 13, trisomy 18, and triploidy. Pada individu dengan trisomy 13, arrhinencephaly terlihat pada 70% individu, sedangkan pada trisomy 18 kelainan yang lebih umum terjadi adalah defek pada corpus callosum. Semua kromosom

38

dilaporkan berkaitan dengan kelainan structural yang menyebabkan HPE, tetapi yang paling sering adalah delesi atau duplikasi dari koromosom 13, 18, 7, dan 21.5 Gen-gen yang diduga berkaitan dengan HPE.6

% of Individuals with HPE and Mutations in This Gene Gene

Chromosomal Locus Positive Family History

Simplex Cases

SHH

7q36

30%-40%

<5%

ZIC2

13q32

5%

2%

SIX3

2p21

1.3%

Rare

TGIF1

18p11.3

1.3%

Rare

GLI2

2q14

Unknown

Unknown

PTCH1

9q22.3

Unknown

Unknown

DISP1

1q42

Rare

Rare

FGF8

10q24

Rare

Rare

39

% of Individuals with HPE and Mutations in This Gene Gene

Chromosomal Locus Positive Family History

Simplex Cases

FOXH1

8q24.3

Rare

Rare

NODAL

10q22.1

Rare

Rare

TDGF1 (CRIPTO)

3p23-p21

Rare

Rare

GAS1

9q21.33

Rare

Rare

DLL1

6q27

Rare

Rare

CDON

11q24.2

Rare

Rare

3.2.3 Epidemiologi HPE merupakan bentuk kelainan pada forebrain manusia yang paling umum terjadi, dengan prevalensi 1:250 embrio dan diperkirakan 1:10.000 diantara bayi lahir hidup. Di Amerika Serikat, prevalensi HPE dilaporkan lebih tinggi pada ras Latin, African-American dan Pakistan.6

3.2.4 Patofisiologi 40

Interaksi dari berbagai faktor genetic dan lingkungan dianggap bertanggung jawab dalam pathogenesis holoprosencephaly. Kelainan pada metabolisme sterol juga diduga merupakan penyebab dari kelainan sonic hedgehog signaling pathway yang berperan dalam terjadinya HPE.7

3.2.5 Manifestasi Klinik Holoprosencephaly (HPE) memiliki beberapa tipe yang dibagi berdasarkan tingkat keparah kelainan yang terjadi. 1. Alobar HPE, tipe HPE yang paling parah, dimana hanya ada 1 “monoventricel”, dan tidak ada celah di hemisfer otak. Gambar 1. Alobar HPE.6

Hasil MRI dari alobar HPE, terlihat pembesaran garis tengah dari monoventricle (holoventricle, read arrow) yang bergabung dengan lobus frontalis dan garis tengah substantia grisea (thalamus dan basal ganglia, blue arrow) Tampilan wajah yang muncul pada alobar HPE khas berupa single eye-like structure (cyclopia) dan overriding nose-like structure (proboscis).6

41

2. Semilobar HPE, dimana di kiri dan kanan dari lobus frontal dan parietal berdifusi dan fisura interhemisfer hanya tampak pada bagian posterior. Gambar 2. Semilobar HPE.6

Hasil MRI semilobar HPE, perhatikan lobus frontalis yang bergabung, tetapi sudah ada septum yang memisahkan antarhemisfer di bagian posterior. Pada tampilan wajah, tampak microcephaly, jarak mata yang berdekatan dan hidung yang terdepresi dengan cleft lip.6

42

3. Lobar HPE, dimana sebagian besar di kanan dan kiri hemisfer serebral dan ventrikel lateral sudah terpisah, tetapi lobus frontalis kiri dan kanan terdifusi (tidak terpisah).

Gambar 3. Lobar HPE.6 Hasil MRI pada lobar HPE, tipe yang paling ringan pada HPE tipe major. Hemisfer cerebral sudah terpisah (panah biru). Namun, corpus callosum belum terbentuk secara normal. Tampilan wajah tampak seperti anak normal, tampak pada gambar anak dengan lobar HPE karena mutasi gen ZIC 2. Namun, masih tampak jidat yang kurang lapang, telinga yang besar, philtrum yang panjang dan hidung yang sedikit terdepresi.6

43

4. Middle interhemispheric fusion variant (MIHV), dimana lobus frontalis bagian posterios da lobus parietal gagal berpisah, belahan basal ganglia dengan thalamus tidak jelas, dan tidak ada badan dari corpus callosum. Gambar 4. MIHV.6

Hasil MRI pada tipe MIHV yang merupakan variant dari HPE dimana lobus frontalis dengan occipital sudah terpisah.Terdapat fissure sylvian yang vertical dan abnormal menembus garis tengah dari vertex otak (panah merah). Tampilan wajah biasanya normal.6

3.2.6 Anamnesis Pada tahap pertama anamnesis kita harus menanyakan identitas pasien secara jelas, yaitu sebagai berikut: nama, jenis kelamin, tempat / tanggal lahir, status perkawinan, pekerjaan, alamat, pendidikan, dan agama. Pada tahap berikutnya, kita menanyakan keluhan utama, keluhan penyerta, riwayat penyakit dahulu, riwayat penyakit sekarang, riwayat penyakit keluarga dan sosial.2 Selanjutnya, hal-hal yang perlu ditanyakan dalam anamnesis adalah : -

Menanyakan apakah ada yang bisa dibantu dan keluhan-keluhan pasien

-

Berapa usia ibu saat mengandung?

-

Menanyakan identitas suami (umur, pekerjaan, dan lain-lain)

44

-

Menanyakan riwayat pernikahan (berapa lama menikah, berapa kali menikah)

-

Menanyakan apakah sebelumnya pernah hamil

-

Menanyakan apakah ada riwayat keguguran

-

Menanyakan bagaimana keadaan anak sebelumnya

-

Menanyakan apakah ada kesulitan pada kehamilan sebelumnya

-

Menanyakan apakah ada riwayat dari pihak keluarga istri dan suami yang terkena penyakit genetik seperti sindrom Down, sindrom Patau atau yang lainnya

-

Menanyakan apakah ibu tersebut pernah menderita penyakit infeksi sebelum atau terkena paparan radiasi sebelumnya.

-

Menanyakan bagaimana asupan nutrisi ibu selama masa kehamilan maupun sebelum kehamilan

Beberapa manifestasi klinik yang sering terlihat pada anak dengan HPE: 1. Perkembangan terhambat 2. Kejang 3. Hydrocephalus 4. Neural tube defects 5. Disfungsi hipotalamus dan batang otak 6. Disfungsi hipofisis 7. Postur pendek dan gagal tumbuh 8. Kesulitan menyusui 9. Gangguan GI 10. Pneumoni aspirasi 11. Pola tidur tidak beraturan.8

3.2.7 Pemeriksaan Fisik

45

Pasien

dengan

Holoprosencephaly

sequence

memiliki

temuan

kraniofasial, seperti mikrosefali, celah bibir dan langit-langit bilateral, hipoplasia hidung, agenesis alae nasi, jarak kedua mata yang dekat (hypotelorism), short neck dengan low hairline, auricular kiri dan kanan yang abnormal, dan kedua tangan yang clenched hands. 1. PF neurologi Pada pasien HPE yang memiliki gangguan pada system saraf pusat, terjadi

gangguan

perkembangan

(developmental

delay).

Tingkat

keparahan keterlambatan perkembangan pada pasien tergantung dari derajat HPE yang diderita. Gangguan kejang sering terjadi, dan kadang sulit untuk dikontrol. 2. PF kepala, mata, telinga, hidung, dan leher Pada pemeriksaan kepala, secara inspeksi, sering ditemukan mikrosefali, walaupun terkadang hidrosefalus dapat terjadi yang mengakibatkan bentuk kepala menjadi makrosefali. Pada pemeriksaan mata, dapat terlihat hipotelorism (kedua jarak mata dekat) dan pada tipe yang alobar holoprosencephaly dapat muncul kelainan cyclopia. Pada pemeriksaan telinga, dapat ditemukan bentuk telinga yang abnormal, dan biasanya simetris antara kiri dengan kanan. Pada pemeriksaan hidung, sering didapatkan hypoplasia hidung, dan agenesis alae nasi. Sedangkan, pada pemeriksaan leher, bentuk short neck dengan low hairline umum didapatkan.1

3.2.8 Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan

penunjang

yang

digunakan

untuk

mendiagnosis

Holoprosencephaly adalah CT scan atau MRI otak, yang dapat langsung membedakan tipe HPE yang diderita dan kelainan-kelainan system saraf pusat lainnya. Tetapi, pemeriksaan yang lebih dianjurkan adalah MRI cranial, yang dilakukan dengan sedasi yang adekuat. 46

HPE lebih sering terdiagnosis saat periode bayi baru lahir dengan ditemukan wajah yang abnormal dan/atau kelainan neurologis. HPE juga sering ditemukan pertama kali saat pemeriksaan ultrasound prenatal. Bayi dengan wajah yang normal atau kelainan abnormal yang ringan pada wajah dan anomaly otak yang ringan mungkin tidak terdiagnosis sampai bayi berumur 1 tahun. Saat bayi berusia 1 tahun, kelainan-kelainan seperti perkembangan yang terlambat dan/atau gagal tumbuh baru terlihat.2

Tes Prenatal Kehamilan resiko tinggi Molecular genetic testing, tes ini dilakukan jika ada salah satu dari keluarga yang memiliki penyakit yang disebabkan oleh mutasi gen. Tes ini dilakukan mengggunakan DNA yang diekstrak dari sel fetus yang diperoleh dari amniocentesis yang biasa dilakukan pada minggu ke 15-18 kehamilan atau chorionic villus sampling (CVS) pada minggu 10-12 kehamilan. Fetal ultrasound examination, pada keluarga dengan riwayat HPE, bisa didiagnosis dengan prenatal ultrasound examination pada minggu ke 16 kehamilan. Tetapi pada HPE dengan derajat ringan atau lobar HPE kadang tidak terdeteksi. Lobar HPE bisa didiagnosis menggunakan sonography, tetapi masih sulit dilakukan. Kehamilan resiko rendah Biasa ditemukan secara tidak sengaja melalui tes ultrasound pada masa prenatal. Detailed USG biasa dilakukan untuk memastikan adanya kelainan structural atau kelainan yang lain. Jika ditemukan kelainan, dilakukan tes pada cairan amnion berupa: 1. Tes Fetal karyotype 2. Chromosomal Microarray Analysis (CMA) dilakukan jika hasil karyotype normal, lalu untuk mendeteksi mikrodelesi pada 4 gen yang sering bermutasi sehingga menyebabkan HPE (SHH, ZIC2, SIX3, TGIF1).3 47

3.2.9 Working Diagnosis Holoprosencephaly adalah suatu kelainan yang disebabkan oleh gagalnya proses pemisahan prosencephalon (forebrain masa embrio) menjadi 2 buah lobus hemisfer otak. Hasil dari gagalnya pemisahan ini berupa otak yang hanya memiliki 1 buah lobus hemisfer, dan kelainan struktur tulang tengkorak dan wajah yang parah. Pada sebagian besar kasus holoprosencephaly, malformasi yang terjadi sangat berat sehingga bayi meninggal sebelum dilahirkan. Pada kasus yang tidak terlalu berat, bayi dapat lahir dengan perkembangan otak yang normal atau mendekati normal dan deformitas wajah yang mengenai mata, hidung, dan bibir bagian atas. Terdapat 3 klasifikasi dari holorposencephaly. Alobar, dimana otak tidak terbelah sama sekali, yang biasanya berkaitan dengan deformitas wajah yang berat. Semilobar, dimana hemisfer otak sudah sebagian terbagi menjadi 2, menyebabkan kelainan yang intermediate. Lobar, dimana hemisfer otak sudah terbagi jelas, dan merupakan bentuk yang paling ringan. Pada beberapa kasus, otak bayi dengan lobar HPE mungkin mendekati normal. Kelainan wajah yang paling ringan adalah median cleft lip (premaxillary agenesis). Sedangkan, yang paling berat adalah cyclopia, suatu kelainan berupa sebuah mata di tempat yang normalnya adalah tempat pangkal hidung, dan tidak tampak hidung, atau ada proboscis (hidung abnormal) di atas mata. Anomali wajah yang dapat muncul namun tidak sering adalah ethmocephaly, dimana ada proboscis yang memisahkan 2 mata yang berdekatan. Cebocephaly, kelainan wajah yang lainnya, dengan bentuk hidung yang kecil dan datar, 1 buah lobang hidung yang terletak di bawah mata yang tidak tumbuh sempurna.1 3.2.9 Differential Diagnosis Trisomi Sindrom Patau (Trisomi 13)

48

Sindrom patau atau trisomi 13 dapat terjadi pada sekitar 1 dari 20.000 kelahiran. Kesintasan median untuk bayi adalah sekitar 3 hari, dan 90 persen meninggal dalam bulan pertama. Beberapa pengidap trisomy 13 yang bertahan hidup mengalami retardasi mental berat. Serupa dengan trisomi 18, hampir semua system organ dapat terkena. Kelainan yang sering dijumpai antara lain adalah cacat jantung pada 8090% penderita dan holoprosensefalus pada 70% penderita. Kelainan umum lainnya adalah mikrosefalus, mikroftalmia, sumbing wajah, kelaianan telinga, omfalokel, kelainan ginjal, dan cacat tulang. Adanya aplasia kutis (defek local kulit kepala yang tampak cekung( dan polidaktili merupakan isyarat kuat adanya trisomy 13 atau delesi 4p yang biasanya letal.4 Sindrom Edwards (Trisomi 18) Sindrom Edwards juga dikenal sebagai trisomi 18 dan terjadi pada 1 dari 8000 neonatus. Separuh meninggal pada minggu pertama kehidupan, 45 persen lainnya meninggal sebelum usia setahun, dan mereka yang bertahan melebihi 12 bulan mengalami retardasi berat. Hampir semua sistem organ dapat terkena oleh trisomi 18. Tampilan wajah yang khas seperti oksiput menonjol, malformasi telinga, fisura palpebra yang pendek, dan mulut yang kecil. Tangan penderita clenched, dengan . Hampir 95% memiliki defek pada jantung, umumnya berupa defek septum ventrikel dan atrium atau patent ductus arteriosus. Anomali lainnya adalah ginjal yang berbentuk seperti tapal kuda, aplasia tulang radius, hemivertebrata, hernia inguinalis serta umbilikalis, diastasis, dan imperforate anus. Umumnya memenderita keterbelakangan mental, hipotonia, kegagalan bertumbuh dengan subur dan sehat dengan berat badan lahir rendah. Terdapat juga cacat fleksi jari-jari tangan, ibu jari kaki yang pendek dan dalam keadaan dorsifleksi, dengan kaki mendatar seperti kursi goyang atau ekuinovarus.4 Dalam laporan National Center on Birth Defect and Developmental Disabilities mengatakan bahwa rata-rata penderita bertahan hidup untuk 14 hari.

49

Sekitar 10% bertahan hidup hingga 1 tahun, dan jarang ada laporan yang mengatakan ada pasien yang bertahan hidup lebih dari 10 tahun. Sindrom Down (Trisomi 21) Sindrom Down disebut juga trisomi 21, terjadi pada 1 dari 800 hingga 1000 neonatus. Malformasi mayor mencakup cacat jantung (30 hingga 40 persen) dan atresia saluran cerna. Penderita juga berisiko besar mengalami leukemia anak dan penyakit tiroid. Tingkat kecerdasan (intelligence quotient, IQ) berkisar dari 25 hingga 50, dan hanya sedikit yang lebih besar dan rentang tersebut. Sebagian besar anak yang terkena memiliki keterampilan sosial rata-rata 3 hingga 4 tahun melebihi usia mentalnya. Anak yang terkena mengalami hipotonia mencolok serta memiliki lidah menonjol, kepala kecil, jembatan hidung datar, lipatan epikantus, kulit longgar di tengkuk, garis palmar tunggaL, dan jari kelima melengkung ke dalam (klinodaktili) akibat hipoplasia falang tengah. Hampir 95 persen kasus sindrom Down terjadi akibat nondisjunction kromosom 21 ibu, dengan risiko kekambuhan pada wanita tersebut adalah 1 persen sampai risiko terkait usianya melebihi angka ini; kemudian risiko terkaitusia mendominasi. Wanita yang mengidap sindrom Down subur, dan sekitar sepertiga dari anak mereka akan mengidap sindrom Down. Pria dengan sindrom Down hampir selalu steril.4

50

3.2.10 Tatalaksana Medikamentosa Terapi untuk HPE berdasarkan malformasi otak yang terjadi dan kelainan yang terjadi. Sebagian besar membutuhkan multidisciplinary team approach untuk merawat bayi dengan HPE. 

Pemberian hormone replacement therapy untuk disfungsi hipofisis



Obat antiepileptic untuk mengurangi dan mencegah kejang.

Nonmedikamentosa 

Pemasangan NGT untuk bayi yang susah menyusui



Surgical repair untuk bayi dengan cleft lip.



Ventriculo-peritoneal shunt untuk bayi HPE dengan hydrocephalus

Aspek terbesar dari penanganan ini adalah dengan dukungan dan konseling dari orang tua.8 Konseling Genetik Konseling genetik adalah porses dimana pasien atau keluarga yang beresiko kelainan tertentu yang mungkin herediter menerima saran dan konsekuensi dari kelainan tersebut, probabilitas-probabilitas perkembangan penyakit dan bagaimana kelainan tersebut diteruskan dalam keluarga dan bagaimana prevensinya. Kelainan kongenital dijumpai sekitar 2-3% intrauteri sedangkan saat persalinan sekitar 1-1,5%. Akibat kelainan kongenital multiple dapat bervariasi dari abortus sampai lahir mati. Ditengah masyarakat Indonesia terdapat upaya sederhana untuk melakukan konseling genetika dengan melakukan evaluasi melalui bibit, bobot dan bebet. Artinya, asal usul keturunannya, lingkungan keluarga, dan pekerjaan yang dimiliki. Semua nya dituntut sebelum perkawinan dengan tujuan agar tercapai generasi yang tangguh secara psikologis dan fisik.

51

Konseling genetika sebagian besar dilakukan dengan anamnesis, diantaranya: 1. Riwayat keluarga, apakah ada keturunan dengan kelainan kongenital atau kelainan jiwa. 2. Apakah pernah menerima tambahan hormone estrogen atau estradiol, ketika masih dalam kandungan atau setelah lahir. 3. Bagaimana riwayat kehamilan, persalinan yang pernah dialaminya. 4. Bagaimana keadaan social ekonomi keluarga saat ini. 5. Apakah sudah siap psikologis dan social ekonomi untuk hamil saat ini.. Indikasi khusus untuk melakukan konseling dan pemeriksaan genetika adalah umur 35 tahun dan terdapat keturunan dengan kelainan kongenital atau kelainan jiwa. Hasil pemeriksaan akan menentukan apakah wanita tertentu dapat hamil atau menunda sehingga kondisi sudah dapat diatasi. Kelainan kongenital dan kejiwaan yang bersifat keturunan sebagian besar oleh karena kelainan kromosom abnormal, gen tunggal sesuai hukum Mendel atau terdapat kelainan kromosom multiple. Konseling genetik pada individu dengan HPE diindikasikan jika ada di dalam keluarga ada yang menderita kelainan kromosom atau kelainan keturunan, dan berbagai macam kelainan lainnya yang memiliki hubungan dengan HPE, karena HPE dapat diturunkan secara autosomal dominan. Jika individu dengan HPE tanpa etiologi yang jelas, kemungkinan resiko terulang kembali rendah pada anggota keluarga, Kelainan kongenital masih harus dipikirkan dapat disebabkan oleh kekurangan vitamin dan komponen esensial tertentu diantaranya: kekurangan asam folat, dapat menimbulkan gangguan pertumbuhan system saraf pusat.2 Komplikasi Paling sering ditemukan, orang dengan disfungsi holoprosencephaly dan hipofisis akan berkembang menjadi diabetes insipidus, suatu kondisi yang mengganggu keseimbangan antara asupan cairan dan ekskresi urin. Disfungsi di bagian lain dari otak dapat menyebabkan kejang, kesulitan makan, dan masalah mengatur suhu 52

tubuh, denyut jantung, dan pernapasan. Indera penciuman dapat berkurang (Hiposmia) atau sama sekali tidak ada (anosmia) jika bagian otak yang memproses bau hilang.9 Prognosis Tingkat kelangsungan hidup bayi dengan holoprosencephaly bervariasi, tergantung jenis holoprosencephaly yang diderita, tetapi secara umum, kematian berkorelasi

positif dengan tingkat keparahan malformasi otak dengan

perluasannya. Anak dengan holoprosencephaly alobar, dengan anomali wajah yang parah seperti cyclopia dan proboscis jarang bertahan pada periode postnatal, sementara malformasi wajah yang kurang berat dapat bertahan selama berbulanbulan atau, dalam sebagian kecil kasus, lebih dari satu tahun [36]. Dibandingkan dengan anak-anak dengan holoprosencephaly alobar , anak-anak dengan jenis holoprosencephaly selain alobar mungkin lebih banyak bertahan hidup sampai dewasa. Penyebab kematian tersering adalah infeksi pernapasan, dehidrasi sekunder karena diabetes insipidus yang tidak terkontrol, kejang, dan sequel batang otak yang mengakibatkan tidak terkontrolnya pernapasan dan denyut jantung. Kerusakan motorik yang berat terdapat pada tipe alobar dan semilobar, yang kurang terlihat pada tipe lobar dan MIHV; pasien dengan MIHV mungkin dapat berjalan dengan bantuan, dapat mengontrol anggota badan mereka, dan bahkan mengucapkan kata-kata atau kalimat.10 Kesimpulan Holoprosencephaly adalah suatu kelainan yang disebabkan oleh gagalnya proses pemisahan prosencephalon (forebrain masa embrio) menjadi 2 buah lobus hemisfer otak. Hasil dari gagalnya pemisahan ini berupa otak yang hanya memiliki 1 buah lobus hemisfer, dan kelainan struktur tulang tengkorak dan wajah yang parah. Pada sebagian besar kasus holoprosencephaly, malformasi yang terjadi sangat berat sehingga bayi meninggal sebelum dilahirkan. Terdapat 3 tipe mayor dari HPE yaitu alobar, semilobar, lobar, dan MIHV yang merupakan tipe varian 53

dari HPE. Tingkat kelangsungan hidup bayi dengan holoprosencephaly bervariasi, tergantung jenis holoprosencephaly yang diderita, tetapi secara umum, kematian berkorelasi positif dengan tingkat keparahan malformasi otak dengan perluasannya.

54

BAB IV ANALISIS KASUS Dari anamnesis diketahui + 1 jam SMRS pasien datang dengan keluhan keluar darah berwarna merah kehitaman. Pasien juga mengeluh keram pada perut yang telah dirasakan + sejak 1 minggu SMRS dimana keram dirasakan semakin memberat. Perut tegang (+), nyeri (+), keluar air-air (-). Berdasarkan anamnesis pasien mengeluh keluar darah berwarna hitam dari kemaluan dan mengaku hamil kurang lebih 7 bulan. Penyebab perdarahan pada ibu hamil dengan usia kehamilan lanjut dapat disebabkan oleh plasenta previa, vasa previa maupun solutio plasenta. Pada plasenta previa perdarahan terjadi akibat plasneta yang berimplantasi pada segmen bawah Rahim sehingga menutupi seluruh atau sebagian Ostium uteri internum, akibat membesarnya uterus selama kehamilan terjadi perluasan SBR kea rah proksimal sehingga plasenta ikut berpindah. Plasenta previa terjadi akibat vaskularisasi desidua yang tidak memadai akibat proses radang atau atrofi, paritas tinggi, usia lanjut dan cacat Rahim (bekas SC/bedah), akibat plasenta besar pada kehamilan ganda. Pada pasien tidak didapatkan faktor risiko yang dapat menyebabkan plasenta previa. Selain itu pada plasenta previa darah yang keluar berwarna merah segar dan tanpa rasa nyeri (painless), dan pada plasenta previa totalis umumnya perdarahan terjadi lebih awal, karena letaknya yang dekat dengan ostium uteri maka tidak akan mebentuk hematom. Pada pasien diketahui bahwa terjadi perdarahan yang keluar dari kemaluan berwarna hitam disertai dengan nyeri dan menegangnya abdomen. Dari keluhan pasien didapatkan bahwa kemungkinan pasien mengalami solutio plasenta yaitu terlepasnya sebagian atau selururh permukaan plasenta maternal dari tempat implantasinya yang normal pada lapisan desidua endometrium sebelum waktunya. Etiologi solusio plasenta antara lain pre-eklampsia, hipertensi kronik, KPD, korioamnionitis, riwayat pernah solusio plasenta dan merokok. Dari gambaran klinik yaitu terjadi perdarahan berwarna merah tua sampai kehitaman diikuti 55

dengan nyeri perut dan uterus yang menegang terus-menerus mirip His partus prematurus. Pada pasien tidak ditemukan adanya riwayat darah tinggi sebelum kehamilan, dan riwayat darah tinggi dan tidak ada riwayat pernah solusio plasenta sebelumnya, sehingga etiologi solusio plasenta akibat hipertensi kronik dan pre-eklampsia dapat disingkirkan, selain itu juga tidak ditemukan adanya riwayat trauma maupun riwayat merokok. Pada pemeriksaan fisik didapatkan bahwa tanda-tanda vital pasien masih dalam batas normal, hal ini menunjukkan bahwa pasien tidak mengalami solusio plasenta berat dimana biasanya ibu hamil jatuh dalam keadaan syok. Pada pemeriksaan obstetric didapatkan bahwa Tinggi fundus uteri 22 cm, memanjang, punggung kiri, HIS (-), DJJ: 160 kali/menit. DJJ 160x/m menunjukkan bahwa DJJ berada di border line, yang dapat menunjukkan adanya gawat janin, sehingga memerlukan perhatian lebih ketat. Pada pasien disarankan untuk melakukan pemeriksaan darah rutin, dan faal hemostasis. Pada pemeriksaan darah rutin didapatkan Hb, eritrosit dan trombosit pasien dalam batas normal masing-masing Hb: 12,3 gr/dl, Eritrosit 4,63 juta/m3 , dan Trombosit: 265.000/m3. Selain itu pada pemeriksaan faal hemostasis didapatkan tidak ada kelainan, Hal ini menunjukkan tidak adanya gangguan darah pada pasien seperti anemia atau gangguan pembekuan darah, karena pada solusio plaseeta dapat terjadi hipofibrinogenemia yang dapat menyebabkan gangguan pembekuan darah (consumptive coagulopathy) ditandai dengan memanjangnya waktu pembekuan melebihi 6 menit, hal ini dapat menyebabkan kematian janin. Pada pemeriksaan penunjang disarankan untuk dilakukan USG untuk membedakan solusio plasenta dengan plasneta previa. Pada pemeriksaan USG didapatkan

adanya

gambaran

solusio

plasenta

+50%

dan

gambaran

holoprocencephaly semilobar. Solusio plasenta +50% merupakan solusio plasenta sedang yang dapat menyebabkan gawat ibu (syok hipovolemik, gagal ginjal dan consumptive coagulopathy) dan gawat janin (ditandai dengan DJJ yang ireguler dan deselerasi lambat pada pemeriksaan Kardiotokografi) yang merupakan indikasi

56

untuk dilakukan terminasi kehamilan. Pada pasien didapatkan adanya gambaran holoprocencephaly semilobar pada janin, dimana holoprosencephaly adalah suatu kelainan yang disebabkan oleh gagalnya proses pemisahan prosencephalon (forebrain masa embrio) menjadi 2 buah lobus hemisfer otak. Hasil dari gagalnya pemisahan ini berupa otak yang hanya memiliki 1 buah lobus hemisfer, dan kelainan struktur tulang tengkorak dan wajah yang parah. Etiologi dapat disebabkan oleh faktor lingkungan serta adanya kelainan genetic pada janin. Pada kasus, didapatkan janin mengalami Semilobar HPE, dimana di kiri dan kanan dari lobus frontal dan parietal berdifusi dan fisura interhemisfer hanya tampak pada bagian posterior. Pada jenis HPE ini lobus frontalis yang bergabung, tetapi sudah ada septum yang memisahkan antarhemisfer di bagian posterior. Pada tampilan wajah, tampak microcephaly, jarak mata yang berdekatan dan hidung yang terdepresi dengan cleft lip. Pada pasien HPE yang memiliki gangguan pada system saraf pusat, terjadi gangguan perkembangan (developmental delay). Tingkat keparahan keterlambatan perkembangan pada pasien tergantung dari derajat HPE yang diderita. Pemeriksaan penunjang yang digunakan untuk mendiagnosis Holoprosencephaly adalah CT scan atau MRI otak, yang dapat langsung membedakan tipe HPE yang diderita dan kelainan-kelainan system saraf pusat lainnya. Tetapi, pemeriksaan yang lebih dianjurkan adalah MRI cranial, yang dilakukan dengan sedasi yang adekuat. HPE lebih sering terdiagnosis saat periode bayi baru lahir dengan ditemukan wajah yang abnormal dan/atau kelainan neurologis. Adapun tatalaksana pada kasus antara lain : 10. Edukasi pasien dan keluarga 11. Observasi tanda vital ibu, his, denyut jantung janin 12. IVFD D5% + Hyosine 1 amp gtt xx/menit 13. Inj. Dexamethasone 3 x 1 amp 14. Inj. As. Traneksamat 3 x 500 mg 15. Inj. Nifedipine 4 x 1 tab 16. Cek DR, DK, CT, BT 57

17. Rencana USG 18. Pro SC

Untuk tatalaksana pada neonatus adalah kolaborasi dengan TS anak untuk tatalaksana lebih lanjut. Pada umumnya berdasarkan literature tatalaksana pada kasus HPE dibagi menjadi tatalaksana medikamentosa dan Non-medikamentosa, yaitu: Medikamentosa Terapi untuk HPE berdasarkan malformasi otak yang terjadi dan kelainan yang terjadi. Sebagian besar membutuhkan multidisciplinary team approach untuk merawat bayi dengan HPE. 

Pemberian hormone replacement therapy untuk disfungsi hipofisis



Obat antiepileptic untuk mengurangi dan mencegah kejang.

Nonmedikamentosa 

Pemasangan NGT untuk bayi yang susah menyusui



Surgical repair untuk bayi dengan cleft lip.



Ventriculo-peritoneal shunt untuk bayi HPE dengan hydrocephalus

58

DAFTAR PUSTAKA 1. Dubourg C, Bendavid C, Pasquier L, Henry C, Odent S, David V. Holoprosencephaly.Orphanet J Rare Dis. 2017;2:8. 2. Solomon BD, Pineda-Alvarez DE, Balog JZ, Hadley D, Gropman AL, Nandagopal R, Han JC, Hahn JS, Blain D, Brooks B, Muenke M. Compound heterozygosity for mutations in PAX6 in a patient with complex brain anomaly, neonatal diabetes mellitus, and microophthalmia. Am J Med Genet A. 2015;149A:2543–6. 3. Pineda-Alvarez DE, Dubourg C, David V, Roessler E, Muenke M. Current recommendations for the molecular evaluation of newly diagnosed holoprosencephaly

patients. Am

J

Med

Genet

C

Semin

Med

Genet. 2016;154C:93–101. 4. Leveno KJ, Cunningham FG, Gant NF, dkk. Obstetri williams. Edisi 21. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2014. 5. Prawirohardjo, Sarwono. 2008. Perdarahan Pada Kehamilan Lanjut dan Persalinan; Bagian Ketiga: Patologi Kehamilan, Persalinan, Nifas, dan Bayi Baru Lahir (Masalah Ibu); Dalam: Ilmu Kebidanan, edisi ke-4. Jakarta: Penerbit P.T. Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. h. 492-513. 6. Johnson

CY,

Rasmussen

SA.

Non-genetic

risk

factors

for

holoprosencephaly. Am J Med Genet C Semin Med Genet. 2017;154C:73– 85 7. Pagon RA, Adam MP, Ardinger HH, et al. GeneReviews: Holoproensephaly overview. University of Washington. Seattle: 2018. 8. Cooper MK, Wassif CA, Krakowiak PA, Taipale J, Gong R, Kelley RI. A defective response to Hedgehog signaling in disorders of cholesterol biosynthesis. Nat Genet. 2014 Apr. 33(4):508-13. 9. Levey EB, Stashinko E, Clegg NJ, Delgado MR. Management of children with

holoprosencephaly. Am

J

Med

Genet

C

Semin

Med

Genet. 2016;154C:183–90.

59

10. Verma IC. Burden of genetic disorders in India. Indian J Pediatr. 2015;67:893-8. 11. Barr Jr. M, Cohen Jr. MM. Holoprosencephaly survival and performance. Am J Med Genet. 2015;89:116-20.

60

Related Documents

Case Sle Enim.docx
June 2020 10
Case Sle Pdl.docx
July 2020 2
Sle
November 2019 25
Sle
June 2020 13
Sle Fix.docx
June 2020 20
Mpprc: Sle
November 2019 22

More Documents from "api-3722051"