18543_9217_case Hpe Enim.docx

  • Uploaded by: Nur Ilmi Sofiah
  • 0
  • 0
  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View 18543_9217_case Hpe Enim.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 9,204
  • Pages: 58
Laporan Kasus

HOLOPROSENCEPHALY

Oleh: Catherine Ienawi, S.Ked

04054821820033

Elfandari Taradipa, S.Ked

04054821820098

Ezra Hans Soputra, S.Ked

04054821820094

Mutia Mustika Sari, S.Ked

04054821820097

Nur Ilmi Sofiah, S.Ked

04054821820039

Siti Hanifahfuri Silverrikova, S.Ked

04054821820096

Pembimbing: dr. H. Iqbal Hamas, Sp.OG(K) dr. Ismail, Sp.OG dr. Bertha Octarina, Sp.OG

BAGIAN/DEPARTEMEN OBSTETRI DAN GINEKOLOGI RSUD Dr. H. M. RABAIN MUARA ENIM FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA 2019

HALAMAN PENGESAHAN Laporan Kasus

Holoprosencephaly

Oleh:

Catherine Ienawi, S.Ked

04054821820033

Elfandari Taradipa, S.Ked

04054821820098

Ezra Hans Soputra, S.Ked

04054821820094

Mutia Mustika Sari, S.Ked

04054821820097

Nur Ilmi Sofiah, S.Ked

04054821820039

Siti Hanifahfuri Silverrikova, S.Ked

04054821820096

Telah diterima dan disetujui sebagai salah satu syarat dalam mengikuti Kepaniteraan Klinik di Bagian/Departemen Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya RSUD Dr. H. M. Rabain Muara Enim Periode 11 Maret - 5 April 2019.

Muara Enim, Maret 2019

dr. H. Iqbal Hamas, Sp.OG(K)

ii

HALAMAN PENGESAHAN Laporan Kasus

Holoprosencephaly

Oleh:

Catherine Ienawi, S.Ked

04054821820033

Elfandari Taradipa, S.Ked

04054821820098

Ezra Hans Soputra, S.Ked

04054821820094

Mutia Mustika Sari, S.Ked

04054821820097

Nur Ilmi Sofiah, S.Ked

04054821820039

Siti Hanifahfuri Silverrikova, S.Ked

04054821820096

Telah diterima dan disetujui sebagai salah satu syarat dalam mengikuti Kepaniteraan Klinik di Bagian/Departemen Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya RSUD Dr. H. M. Rabain Muara Enim Periode 11 Maret - 5 April 2019.

Muara Enim, Maret 2019

dr. Ismail, Sp.OG

HALAMAN PENGESAHAN Laporan Kasus

Holoprosencephaly

Oleh:

Catherine Ienawi, S.Ked

04054821820033

Elfandari Taradipa, S.Ked

04054821820098

Ezra Hans Soputra, S.Ked

04054821820094

Mutia Mustika Sari, S.Ked

04054821820097

Nur Ilmi Sofiah, S.Ked

04054821820039

Siti Hanifahfuri Silverrikova, S.Ked

04054821820096

Telah diterima dan disetujui sebagai salah satu syarat dalam mengikuti Kepaniteraan Klinik di Bagian/Departemen Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya RSUD Dr. H. M. Rabain Muara Enim Periode 11 Maret - 5 April 2019.

Muara Enim, Maret 2019

dr. Bertha Octarina, Sp.OG

iv

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah S.W.T. karena berkat rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan laporan kasus mengenai “Holoprosencephaly”. Laporan kasus ini merupakan salah satu syarat kepaniteraan klinik di Bagian/Departemen Obstetri dan Ginekologi RSUD Dr. H. M. Rabain Muara Enim/Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya. Penulis mengucapkan terima kasih kepadadr. H. Iqbal Hamas, Sp.OG(K), dr. Ismail, Sp.OG, dan dr. Bertha Octarina, Sp.OG selaku pembimbing yang telah memberikan masukan dan pengayaan selama penulisan dan penyusunan laporan kasus ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada dr. Idries Tirtahusada, dr. Raden Gilang Nala Suwastra, dan dr. Asep Nurul Huda selaku pengampu kepaniteraan klinik di Departemen Obstetri dan Ginekologi RSUD Dr. H. M. Rabain Muara Enim. Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan laporan kasus ini. Oleh karena itu, kritik dan saran dari berbagai pihak sangat penulis harapkan. Semoga laporan ini dapat memberi manfaat bagi pembaca.

Muara Enim, Maret 2019

Penulis

v

DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL............................................................................................... i HALAMAN PENGESAHAN ................................................................................ ii KATA PENGANTAR ........................................................................................... iii DAFTAR ISI .......................................................................................................... iv BAB I

PENDAHULUAN ................................................................................ 1

BAB II

STATUS PASIEN ................................................................................. 2

BAB III TINJAUAN PUSTAKA ....................................................................... 11 BAB IV ANALISIS KASUS .............................................................................. 44 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 48

vi

BAB I PENDAHULUAN Holoprosencephaly adalah suatu kelainan yang disebabkan oleh gagalnya proses pemisahan prosencephalon (forebrain masa embrio) menjadi 2 buah lobus hemisfer otak. Hasil dari gagalnya pemisahan ini berupa otak yang hanya memiliki 1 buah lobus hemisfer, dan kelainan struktur tulang tengkorak dan wajah yang parah. Pada sebagian besar kasus holoprosencephaly, malformasi yang terjadi sangat berat sehingga bayi meninggal sebelum dilahirkan. Pada kasus yang tidak terlalu berat, bayi dapat lahir dengan perkembangan otak yang normal atau mendekati normal dan deformitas wajah yang mengenai mata, hidung, dan bibir bagian atas.1 Holoprosencephaly terjadi pada 1 dari 8000 kelahiran hidup dan merupakan kelainan structural pada perkembangan forebrain yang paling umum terjadi, dan memberikan hasil berupa dysmorfism wajah, kecacatan neurologik dan berbagai kelainan klinik tambahan yang lain.

1

BAB II STATUS PASIEN

I.

IDENTIFIKASI a. Nama

: Ny. SM

b. Umur

: 21 tahun

c. Tanggal lahir

: 3 Juni 1997

d. Alamat

: Muara Enim

e. Suku, Bangsa

: Sumatera, Indonesia

f. Agama

: Islam

g. Status/Pendidikan : S1

II.

h. Pekerjaan

: Karyawati

i. No. RM /MRS

: 11.00.46

ANAMNESIS (Tanggal 16 Maret 2019 pukul 22.03 WIB): Autoanamnesis Keluhan Utama Keluar darah berwarna merah kehitaman dari kemaluan dan pasien mengaku sedang hamil.

Riwayat Perjalanan Penyakit + 1 jam SMRS pasien datang dengan keluhan keluar darah berwarna merah kehitaman. Pasien juga mengeluh keram pada perut yang telah dirasakan + sejak 1 minggu SMRS dimana keram dirasakan semakin memberat pada hari ini. Perut tegang (+), nyeri (+), keluar air-air (-).

Riwayat Penyakit Dahulu: -

Pada tanggal 12 Maret 2019 pasien melakukan USG dan dikatakan usia kehamilan 27 minggu dan dikatakan hasil USG tersebut baik, dimana di

2

hari tersebut pasien sudah mengeluhkan hal yang sama dengan hari pasien masuk RS. -

Riwayat trauma (-)

-

Riwayat demam (-)

-

Riwayat keputihan (-)

-

Riwayat alergi (-)

-

Riwayat sakit gigi (-)

-

Riwayat darah tinggi sebelum hamil (-)

-

Riwayat darah tinggi kehamilan sebelumnya (-)

-

Riwayat darah tinggi pada kehamilan ini (-)

-

Riwayat kencing manis (-)

-

Riwayat asma (-)

-

Riwayat penyakit jantung (-)

Riwayat Dalam Keluarga Riwayat darah tinggi, kencing manis dalam keluarga (-). Riwayat Pengobatan Riwayat minumobat-obatan disangkal Riwayat operasi disangkal

Riwayat Perkawinan Sudah menikah pada tahun 2018, 1 kali,lamanya masih kurang dari 1 tahun.

Riwayat Ginekologi Menarcheusia12 tahun, siklus haid 28 hari, teratur, lamanya 5-7 hari. HPHT pasien: 3/9/2018.

Riwayat Obstetri Status Persalinan: G1P0A0 1.

Hamil ini. 3

Riwayat Kontrasepsi Pasien tidak pernah menggunakan kontrasepsi apapun.

Riwayat Sosial Ekonomi Status Sosial Ekonomi: Sedang

III. PEMERIKSAAN FISIK(16 Maret 2019 ) PEMERIKSAAN FISIK UMUM Keadaan Umum : Tampak sakit sedang Kesadaran

: Compos mentis

BB

: 64 kg

TB

: 159 cm

Tekanan Darah

: 120/70 mmHg

Nadi

: 77x/menit, isi/kualitas cukup, reguler

Respirasi

: 20x/menit, reguler

Suhu

: 36,7oC

PEMERIKSAANKHUSUS Mata

: Konjungtiva anemis (-/-), sclera ikterik (-/), edema palpebra (-/-), pupil isokor 3mm, refleks cahaya (+/+)

Hidung

: Sekret (-), perdarahan(-)

Telinga

:Liang telinga lapang

Mulut

: Mukosa mulut dan bibir pucat (-), perdarahan di gusi (-), sianosis(-), mukosa mulut dan bibir kering (-),fisura

Lidah Faring/Tonsil

(-),cheilitis (-)

: Atropi papil(-), lidah kotor (-) : Dinding faring posterior hiperemis (-),tonsil T1- T1, tonsil tidak hiperemis, detritus (-)

Kulit

: CRT <2s 4

: JVP 5-2 mmH2O, pembesaran KGB(-)

Leher Thorax Inspeksi

: Simetris, retraksi intercostal, subkostal, suprasternal (-)

Palpasi

: Stem fremitus kanan=kiri

Paru Perkusi

: Sonor pada kedua lapangan paru Auskultasi

Auskultasi

:

Vesikuler

(+/+),

ronkhi(-),

wheezing(-) Jantung Inspeksi

:Iktus cordis tidak terlihat

Palpasi

:Iktus cordis tidak teraba, tidak adathrill

Perkusi

: Jantung dalam batas normal

Auskultasi

: BJI-II normal, murmur(-),gallop

(-) Abdomen Inspeksi

: Cembung, Lihat pemeriksaan obstetrik

Ekstremitas Atas

: Akral dingin (-/-), pucat (-/-), koilonikia (-/-)

Bawah

: Akral dingin (-/-), pucat (-/-), edemapretibial (-/-)

PEMERIKSAAN OBSTETRIK Pemeriksaan Luar Tinggi fundus uteri 22 cm, memanjang, punggung kiri, HIS (-), DJJ:160 kali/menit.

IV. PEMERIKSAAN TAMBAHAN 5

PEMERIKSAAN LABORATORIUM (17-03-2019)

Pemeriksaan

Hasil

Nilai Normal

HGB

12,3 mg/dl

11,4-15,0 mg/dl

RBC

4,63 juta/m3

4,0-5,7 juta/m3

WBC

11,44 x 103/m3

4,73-10,89 x 103/m3

HCT

36,5%

35-45 %

MCV

78,8 fL

82-92 fL

MCH

26,46 pg

27-31 pg

MCHC

33,7 g/dL

150-450 g/dL

265.000/m3

189-436 x 103/m3

Basofil

0,1

0-1%

Eosinofil

0,1

1-6%

Netrofil

76,8

50-70%

Limfosit

16,0

20-40%

Monosit

7,0

2-8%

PT

13,5 sec

11-15 sec

Kontrol PT

13,8 sec

INR

1,00 sec

<5 sec

APTT

20,5 sec

26,0-37,0 sec

Kontrol APTT

32,5 sec

Hematologi

Trombosit Diff. Count

Hemostasis

6

PEMERIKSAAN USG (16 Maret 2019) Pada pemeriksaan USG didapatkan: Janin tunggal hidup intrauterine Biometri janin: 

Biparental Diameter (BPD)

: 7,16 cm



Head Circumference (HC)

: 25,67 cm



Abdominal Circumference (AC)

: 23,88 cm



Femur Length (FL)

: 4,70 cm



Estimation Fetal Weight (EFW)

: 1060 gr



Cairan ketuban cukup

Tampak kelainan janin pada kepala tak tampak falx serebri anterior, masih terdapat cortex serebri, kemungkinan suatu holoprosensefali semilobar. Kesan : Hamil 27 minggu janin tunggal hidup presentasi kepala dengan Solusio plasenta + holoprocencephaly semilobar

7

V. DIAGNOSIS KERJA G1P0A0

hamil 27 minggu + HAP ec solutio plasenta + 50% +

holoprocencephaly semilobar JTH intrauterine

VI. PROGNOSIS Prognosis Ibu : dubia ad bonam Prognosis Janin: dubia ad malam

VII. T A T A L A K S A NA 1.

Edukasi pasien dan keluarga

2.

Observasi tandavital ibu, his, denyut jantungjanin

3.

IVFD D5% + Hyosine 1 amp gtt xx/menit

4.

Inj. Dexamethasone 3 x 1 amp

5.

Inj. As. Traneksamat 3 x 500 mg

6.

Inj. Nifedipine 4 x 1 tab

7.

Cek DR, DK, CT, BT

8.

Rencana USG

9.

Pro SC

VIII. LAPORAN OPERASI Diagnosis pre-operative: G1P0A0

hamil 27 minggu + HAP ec solutio plasenta +50% +

holoprosencephaly semilobar JTH intrauterine Diagnosis post-operaive: P1A0 post histerotomy a/i solutio plasenta +50% + holoprosencephaly semilobar Jenis operasi: histerotomy Posisi operasi:supinasi Jenis pembiusan: general anestesi Tanggal operasi: 18 Maret 2019

8

Jam operasi mulai: 11.20 WIB Jam operasi selesai: 12.20 WIB Lama operasi: 1 jam 1. Pukul 11.20 WIB operasi dimulai 2. Pastikan dalam posisi supinasi dalam general anestesi 3. Dilakukan tindakan aseptik antiseptik pada lapangan operasi dan sekitarnya 4. Dilakukan insisi fannenstiel dan diperdalam secara tajam dengan menembus dinding abdomen hingga peritoneum 5. Tampak uterus sebesar kehamilan preterm (27 minggu), diputuskan untuk melakukan histerotomy 6. Bayi dilahirkan dengan meluksir kepala 7. Pukul 11. 25 WIB lahir neonatus hidup perempuan BB 930 gram, PB 39 cm, A/S 4/5, SGA 8. Pukul 11.30 WIB plasenta lahir lengkap, berat 300 gram, diameter 15 cm x 15 cm , PTP 39 cm 9. Dilakukan pembersihan cavum uteri SBR dijahit secara jelujur Feston dengan PGA 1 10. Perdarahan dirawat sebagaimana mestinya 11. Dinding abdomen dijahit lapis demi lapis 12. Pukul 12.20 WIB operasi selesai.

Perdarahan: + 200 cc,

komplikasi: -

IX. INSTRUKSI PASCA PERSALINAN o Observasi tanda vital dan perdarahan o Kateter menetap 2 x 24 jam o IVFD RL + 1 amp tramadol +1 amp ketorolac gtt xx/menit o Ceftriaxone 2 x 1 gr IV o Metronidazole 3 x 500 mg IV o Asam traneksamat 3 x 500 mg IV o Furamine 2 x 1 gr IV 9

o Suprafenid 2 x 1 supp per rectal

X. FOLLOW UP 16/3/2019

S/ Keluar darah hitam dari kemaluan (+)

P/

08.30 WIB

O/

- Observasi TVI, his

Sens: CM

T:36,7°C

TD : 135/80 mmHg

RR: 18x/m

N: 82x/m

- Drip oxytocin 1 amp dalam D5 gtt xx/mnt - Ij. Asam traneksamat 3x500 mg

A/ G1P0A0 hamil 27 minggu belum

- Ij. Dexametason 3x1

inpartu dengan HAP e.c susp solution

- Nifedipin 4x1 tab

plasenta + 50% + susp holoprocencephaly semilobar 17/3/2019

S/ Keluar darah hitam dari kemaluan (+)

P/

O/

- Observasi TVI, his

Sens: CM

T:36,5°C

TD : 120/80 mmHg

RR: 18x/m

N: 84x/m

- Drip oxytocin 1 amp dalam D5 gtt xx/mnt - Ij. Asam traneksamat 3x500 mg

A/ G1P0A0 hamil 27 minggu belum

- Ij. Dexametason 3x1

inpartu dengan HAP e.c susp solution

- Nifedipin 4x1 tab

plasenta + 50% + susp holoprocencephaly semilobar 18/3/2019

S/ Keluar darah hitam dari kemaluan (+)

P/

O/

- Observasi TVI, his

Sens: CM

T:36,7°C

TD : 130/80 mmHg

RR: 14x/m

N: 85x/m

- Drip oxytocin 1 amp dalam D5 gtt xx/mnt - Ij. Asam traneksamat 3x500 mg

A/ G1P0A0 hamil 27 minggu belum inpartu - Ij. Dexametason 3x1 dengan HAP e.c susp solution plasenta + - Nifedipin 4x1 tab 50% + susp holoprocencephaly semilobar 19/3/2019

S/ Habis operasi melahirkan (+)

P/

10

O/

- IVFD RL drip tramadol

Sens: CM

T:36,7°C

+

TD : 110/70 mmHg

RR: 18x/m

XX/menit

N: 82x/m

ketorolac

gtt

- Ij. Ceftriaxon 2x1 gr - Ij. Kalnex 3x1

A/ P1A0 post histerektomi a/i solution - Ij. Metronidazol 3x500 plasenta + 50% + holoprocencephaly - Furamin 2x1 semilobar

- Suprafenid

2x1

per

rectal 20/3/2018

S/ Habis operasi melahirkan (+)

P/

O/

- IVFD RL drip tramadol

Sens: CM

T:36,5°C

+

TD : 115/80 mmHg

RR: 18x/m

XX/menit

N: 80x/m

ketorolac

gtt

- Ij. Ceftriaxon 2x1 gr - Ij. Kalnex 3x1

A/ P1A0 post histerektomi a/i solution - Ij. Metronidazol 3x500 plasenta + 50% + holoprocencephaly - Furamin 2x1 semilobar

- Suprafenid

2x1

per

rectal

11

BAB III TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Solusio Plasenta 3.1.1 Definisi Terlepasnya sebagian atau seluruh permukaan maternal plasenta dari tempat implantasinya yang normal pada sebelum waktunya yakni antara minggu 20 dan lahirnya anak. Plasenta secara normal terlepas setelah bayi lahir. Nama lain yang sering dipergunakan, yaitu abruptio placentae, ablatio placentae, accidental haemorrhage, premature separation of the normally implanted placenta.

Gambar 3.1 Solusio Plasenta

12

3.1.2 Klasifikasi

Plasenta dapat terlepas hanya pada pinggirnya saja (ruptura sinus marginalis), dapat pula terlepas lebih luas (solusio plasenta parsialis), atau bisa seluruh permukaan maternal plasenta terlepas (solusio plasenta totalis). Perdarahan yang terjadi akan merembes antara plasenta dan miometrium untuk seterusnya menyelinap di bawah selaput ketuban dan akhirnya memperoleh jalan ke kanalis servikalis dan keluar melalui vagina, menyebabkan perdarahan eksternal (revealed hemorrhage) (Gambar 2.2).

Gambar 3.2 Solusio Plasenta Dengan Perdarahan Eksternal

Yang lebih jarang, jika bagian plasenta sekitar perdarahan masih melekat pada dinding rahim, darah tidak keluar dari uterus, tetapi tertahan di antara plasenta yang terlepas dan

uterus sehingga menyebabkan perdarahan tersembunyi

13

(concealed hemorrhage) yang dapat terjadi parsial (Gambar 3.3) atau total (Gambar 3.4).

Gambar 3.3 Solusio Plasenta Parsial Disertai Perdarahan Tersembunyi

Solusio plasenta dengan perdarahan tertutup terjadi jika: 1. Bagian plasenta sekitar perdarahan masih melekat pada dinding rahim 2. Selaput ketuban masih melekat pada dinding rahim 3. Perdarahan masuk ke dalam kantong ketuban setelah selaput ketuban pecah 4. Bagian terbawah janin, umumnya kepala, menempel ketat pada segmen bawah rahim. Perdarahan yang tersembunyi biasanya menimbulkan bahaya yang lebih besar bagi ibu, tidak saja karena kemungkinan koagulopati konsumptif tetapi juga karena jumlah darah yang keluar sulit diperkirakan.

14

Gambar 3.4 Solusio Plasenta Total Disertai Perdarahan Tersembunyi

Secara klinis solusio plasenta dibagi ke dalam berat ringannya gambaran klinik sesuai dengan luasnya permukaan plasneta yang terlepas, yaitu solusio plasenta ringan, sedang, dan berat2. a. Solusio plasenta ringan Luas plasenta yang terlepas tidak sampai 25% atau ada yang menyebutkan kurang dari 1/6 bagian. Jumlah darah yang keluar biasanya kurang dari 250 ml. Gejala-gejala sukar dibedakan dari plasenta previa kecuali warna darah yang kehitamam. Komplikasi terhadap ibu dan janin belum ada. b. Solusio Plasenta Sedang Luas plasenta yang terlepas telah melebihi 25%, namun belum mencapai separuhnya (50%). Jumlah darah yang keluar lebih banyak dari 250 ml tetapi belum mencapai 1000 ml. Gejala-gejala dan tanda-tanda sudah jelas seperti nyeri pada perut yang terus-menerus, denyut janin menjadi cepat, hipotensi, dan takikardi.

c. Solusio Plasenta Berat

15

Luas plasenta yang terlepas sudah melebihi 50%, dan jumlah darah yang keluar melebihi 1000 ml. Gejala dan tanda klinik jelas, keadaan umum disertai syok, dan hampir semua janinnya telah meninggal. Komplikasi koagulopati dan gagal ginjal yang ditandai pada oligouri biasanya telah ada.

3.1.3 Prevalensi

Insidensi solusio plasenta bervariasi di seluruh dunia. Kejadiannya bervariasi dari 1 di antara 75 sampai 830 persalinan. Frekuensi solusio plasenta di Amerika Serikat dan di seluruh dunia mendekati 1%. Solusio plasenta merupakan salah satu penyebab perdarahan antepartum yang memberikan kontribusi terhadap kematian maternal dan perinatal di Indonesia. Saat ini kematian maternal akibat solusio plasenta mendekati 6%. Solusio plasenta merupakan penyebab 20-35% kematian perinatal. Pada tahun 1988 kematian maternal di Indonesia diperkirakan 450 per 100.000 kelahiran hidup. Angka tersebut tertinggi di ASEAN (5-142 per 100.000) dan 50100 kali lebih tinggi dari angka kematian maternal di negara maju. Di negara berkembang, penyebab kematian yang disebabkan oleh komplikasi kehamilan, persalinan, nifas adalah perdarahan, infeksi, pre-eklamsi/eklamsi. Selain itu kematian maternal juga dipengaruhi oleh pelayanan kesehatan, sosioekonomi, usia ibu hamil, dan paritas.

2.1.4 Etiologi

Sebab primer dari solusio plasenta tidak diketahui , tetapi terdapat beberapa keadaan patologik yang terlihat lebih sering bersama dengan atau menyertai solusio plasenta dan dianggap sebagai faktor risiko (Tabel 2.1), seperti hipertensi, riwayat trauma, kebiasaan merokok, usia ibu, dan paritas yang tinggi.

16

Faktor Risiko

Hubungan dengan risiko

Meningkatnya usia dan paritas

1.3–1.5

Preeklampsia

2.1–4.0

Hipertensi kronik

1.8–3.0

Ketuban pecah dini

2.4–4.9

Kehamilan ganda

2.1

Hidroamnion

2.0

Wanita perokok

1.4–1.9

Trombofilia

3–7

Penggunaan kokain

NA

Riwayat solusio plasenta

10–25

Mioma dibelakang plasenta

8 dari 14

Trauma abdomen dalam kehamilan Jarang Tabel 3.1 Faktor Risiko Solusio Plasenta

Seperti diperlihatkan di Grafik 3.1, insidensinya meningkat seiring dengan usia ibu. Meski Prtichard dkk. (1991) juga memperlihatkan bahwa insiden lebih tinggi pada wanita dengan paritas tinggi, Toohey dkk. (1995) tidak mendapatkan hal ini pada wanita yang memiliki 5 anak atau lebih.

17

Grafik 3.1 Insidensi Solusio Plasenta dan Plasenta Previa

2.1.5 Patofisiologi Solusio plasenta merupakan hasil akhir dari suatu proses yang bermula dari suatu keadaan yang mampu memisahkan vili-vili korialis plasenta dari tempat implantasinya pada desidua basalis sehingga terjadi perdarahan. Oleh karena itu patofisiologinya bergantung pada etiologi. Pada trauma abdomen etiologinya jelas karena robeknya pembuluh darah desidua. Dalam banyak kejadian perdarahan berasal dari kematian sel (apoptosis) yang disebabkan oleh iskemia dan hipoksia. Semua penyakit ibu yang dapat menyebabkan pembentukan trombosis dalam pembuluh darah desidua atau dalam vaskular vili dapat berujung kepada iskemia dan hipoksia setempat yang menyebabkan kematian sejumlah sel dan mengakibatkan perdarahan sebagai hasil akhir. Perdarahan tersebut menyebabkan desidua basalis terlepas kecuali selapisan tipis yang tetap melekat pada miometrium. Dengan demikian, pada tingkat permulaan sekali dari proses terdiri atas pembentukan hematom yang bisa menyebabkan pelepasan yang lebih luas, kompresi dan kerusakan pada bagian plasenta yang berdekatan. Pada awalnya mungkin belum ada gejala kecuali terdapat hematom pada bagian belakang plasenta yang baru lahir. Dalam beberapa kejadian pembentukan hematom retroplasenta disebabkan oleh putusnya arteria spiralis 18

dalam desidua. Hematoma retroplasenta mempengaruhi penyampaian nutrisi dan oksigen dari sirkulasi maternal/plasenta ke sirkulasi janin. Hematoma yang terbentuk dengan cepat meluas dan melepaskan plasenta lebih luas/banyak sampai ke pinggirnya sehingga darah yang keluar merembes antara selaput ketuban dan miometrium dan selanjutnya keluar melalui serviks ke vagina (revealed hemorrhage). Perdarahan tidak bisa berhenti karena uterus yang lagi mengandung tidak mampu berkontraksi untuk menjepit pembuluh arteria spiralis yang terputus. Walaupun jarang terdapat perdarahan tinggal terperangkap di dalam uterus (concealed hemorrhage). Nikotin dan kokain keduanya dapat menyebabkan vasokonstriksi yang bisa menyebabkan iskemia dan pada plasenta sering dijumpai bermacam lesi seperti infark, oksidatif stres, apoptosis, dan nekrosis, yang kesemuanya ini berpotensi merusak hubungan uterus dengan plasenta yang berujung kepada solusio plasenta. Dilaporkan merokok berperan pada 15% sampai 25% dari insidensi solusio plasenta. Merokok satu bungkus perhari menaikkan insiden menjadi 40%.

2.1.6 Gejala Klinik

Gejala dan tanda klinis yang klasik dari solusio plasenta adalah terjadinya perdarahan yang berwarna tua keluar melalui vagina (80% kasus), nyeri perut dan uterus tegang terus-menerus mirip his partus prematurus. Kurang lebih 30% penderita solusio plasenta ringan tidak atau sedikit yang menunjukkan gejala. Pada keadaaan yang sangat ringan tidak ada gejala kecuali hematom yang berukuran beberapa sentimeter terdapat pada permukaan maternal plasenta. Rasa nyeri pada perut masih ringan dan darah yang keluar masih sedikit, sehingga belum keluar dari vagina. Nyeri yang belum terasa menyulitkan membedakannya dengan plasenta previa kecuali darah yang keluar berwarna merah segar pada plasenta previa. Tanda vital ibu dan janin masih baik. Pada inspeksi dan auskultasi tidak dijumpai kelainan kecuali pada palpasi sedikit terasa nyeri lokal pada tempat terbentuknya hematom. Kadar fibrinogen darah dalam batas normal yaitu 350 mg%. Walaupun belum memerlukan intervensi segera keadaan ringan ini 19

perlu dimonitor terus sebagai upaya mendeteksi keadaan bertambah berat. Pemeriksaan ultrasonografi berguna untuk menyingkirkan plasenta previa dan mungkin bisa mendeteksi luasnya solusio terutama pada solusio plasenta sedang atau berat. Gejala dan tanda pada solusio plasenta sedang seperti rasa nyeri pada perut yang terus-menerus, denyut jantung janin biasanya telah menunjukkan gawat janin, perdarahan yang keluar tampak lebih banyak, takikardia, hipotensi, kulit dingin, oliguria mulai ada, kadar fibrinogen berkurang antara 150-250 mg/100 ml, dan mungkin kelainan pembekuan darah dan gangguan fungsi ginjal sudah mulai ada. Rasa nyeri bersifat menetap, tidak hilang timbul seperti pada his yang normal. Perdarahan pervaginam jelas dan berwarna kehitaman. Pada pemantauan keadaan janin dengan kardiotokografi bisa jadi telah ada deselerasi lambat. Perlu dilakukan tes gangguan pembekuan darah. Pada solusio plasenta berat perut sangat nyeri dan tegang serta keras seperti papan (defence musculare) disertai perdarahan berwarna hitam. Oleh karena itu, palpasi bagian-bagian janin tidak mungkin dilakukan. Fundus uteri lebih tinggi daripada yang seharusnya karena telah terjadi penumpukan darah di dalam uterus pada kategori concealed hemorrhage. Jika dalam masa observasi tinggi fundus bertambah lagi berarti perdarahan baru masih berlangsung. Pada inspeksi rahim terlihat membulat dan kulit di atasnya kencang. Pada auskultasi denyut jantung janin tidak terdengar lagi akibat gangguan anatomik dan fungsi plasenta. Keadaan umum menjadi buruk disertai syok. Adakalanya keadaan umum ibu jauh lebih buruk dibandingkan perdarahan yang tidak seberapa keluar dari vagina. Kadar fibrinogen darah rendah yaitu kurang dari 150 mg% dan telah ada tromobositopenia.

2.1.7 Diagnosis Klinik Dalam banyak hal diagnosis bisa ditegakkan berdasarkan gejala dan tanda klinik yaitu perdarahan melalui vagina, nyeri pada uterus, dan pada solusio plasenta yang berat terdapat kelainan denyut jantung janin pada pemeriksaan dengan KTG. Namun kadang pasien datang dengan gejala perdarahan tidak banyak dengan perut 20

tegangan tetapi janin telah meninggal. Diagnosis pasti hanya bisa ditegakkan dengan melihat adanya perdarahan retroplasenta setelah partus (Gambar 3.6).

Gambar 3.5 Perdarahan Retroplasenta

Ditekankan bahwa tanda dan gejala pada solusio plasenta dapat sangat bervariasi. Sebagai contoh, pedarahan eksternal dapat deras, namun plasenta yang terlepas tidak terlalu luas sehingga belum membahayakan janin secara langsung. Walaupun jarang, mungkin tidak terjadi perdarahan eksternal tetapi plasenta terlepas total dan sebagai akibatnya janin meninggal. Hurd dkk. (1983) dalam sebuah penelitian prospektif yang relatif kecil

tentang solusio plasenta,

mengidentifikasi frekuensi berbagai gejala dan tanda yang berhubungan (Tabel 3.2). Perdarahan dan nyeri abdomen adalah temuan tersering. Temuan lain yang didapatkan adalah perdarahan serius, nyeri punggung, nyeri tekan uterus, kontraksi uterus yang sering. Pada penelitian-penelitian lama, USG jarang mengkonfirmasi diagnosis solusio plasenta. Sebagai contoh, Sholl (1987) memastikan diagnosis secara sonografis hanya pada 25% wanita. Hal yang sama dikemukakan oleh Glantz dan Purnell (2002), yang mengkalkulasi hanya 24% dari 149 wanita yang melakukan USG

21

dapat menyingkirkan kemungkinan adanya solusio plasenta. Yang penting, temuan negatif pada pemeriksaan USG tidak menyingkirkan solusio plasenta.

Gejala dan Tanda

Frekuensi (%)

Perdarahan pervaginam

78

Uterus tegang atau nyeri pinggang

66

Gawat janin

60

Partus prematurus

22

Kontraksi yang terus menerus tinggi

17

Hipertonus

17

Kematian janin

15

Tabel 3.2 Gejala dan Tanda yang Terdapat pada 59 Wanita Solusio Plasenta

3.1.8 Diagnosis Banding Pada kasus solusio plasenta yang parah, diagnosis biasanya jelas. Bentuk-bentuk solusio yang lebih ringan dan lebih sering terjadi sulit diketahui dengan pasti dan diagnosis sering ditegakkan berdasarkan eksklusi. Karena itu, pada kehamilan variabel dengan penyulit perdarahan pervaginam, perlu menyingkirkan plasenta previa dan penyebab lain perdarahan dengan pemeriksaan klinis dan evaluasi USG. Telah lama diajarkan, mungkin dengan beberapa pembenaran, bahwa perdarahan uterus yang nyeri adalah solusio plasenta sementara perdarahan uterus yang tidak nyeri mengindikasikan plasenta previa. Sayangnya, diagnosis banding tidak sesederhana itu. Persalinan yang menyertai plasenta previa dapat menimbulkan nyeri yang mengisyaratkan solusio plasenta. Perbedaan solusio plasenta dengan plasenta previa dapat dilihat pada tabel 3.2 berikut.

22

Kriteria Perdarahan

Solusio Plasenta

Plasenta Previa

Merah tua s/d coklat hitam

Merah segar, Berulang ,

Terus menerus

Tidak nyeri

Disertai nyeri Uterus

Syok/Anemia

Tegang, Bagian janin tak

Tak tegang

teraba, Nyeri tekan

Tak nyeri tekan

Jarang Lebih sering Tidak sesuai dengan

Sesuai dengan jumlah darah yang keluar

jumlah darah yang keluar Fetus

40% fetus sudah mati Tidak disertai kelainan

Biasanya fetus hidup Disertai kelainan letak

letak

Pemeriksaan dalam Teraba plasenta atau perabaan fornik ada Ketuban menonjol walaupun tidak his

bantalan antara bagian janin dengan jari pemeriksaan

Tabel 3.3 Perbedaan Solusio Placenta dan Placenta Previa

3.1.9 Komplikasi

Komplikasi solusio plasenta berasal dari perdarahan retroplasenta yang terus berlangsung sehingga menimbulkan berbagai akibat pada ibu seperti anemia, syok hipovolemik, insufisiensi fungsi plasenta, gangguan pembekuan darah, gagal ginjal.

23

Sindroma Sheehan terdapat pada beberapa penderita yang terhindar dari kematian setelah menderita syok yang berlangsung lama yang menyebabkan iskemia dan nekrosis adenohipofisis sebagai akibat solusio plasenta. Kematian janin, kelahiran prematur dan kematian perinatal merupakan komplikasi yang paling sering terjadi pada solusio plasenta. Solusio plasenta berulang dilaporkan juga bisa terjadi pada 25% perempuan yang pernah menderita solusio plasenta sebelumnya. Solusio plasenta kronik dilaporkan juga sering terjadi di mana proses pembentukan hematom retroplasenta berhenti tanpa dijelang oleh persalinan.

Komplikasi koagulopati dijelaskan sebagai berikut. Hematoma

retroplasenta yang terbentuk mengakibatkan pelepasan retroplasenta berhenti ke dalam peredaran darah. Tromboplastin bekerja mempercepat perombakan protrombin menjadi trombin. Trombin yang terbentuk dipakai untuk mengubah fibrinogen menjadi fibrin untuk membentuk lebih banyak bekuan utama pada solusio plasenta berat. Melalui mekanisme ini apabila pelepasan tromboplastin cukup banyak dapat menyebabkan terjadi pembekuan darah intravaskular yang luas (disseminated intravascular coagulation) yang semakin menguras persediaan fibrinogen dan faktor-faktor pembekuan lain. Curah jantung yang menurun dan kekakuan pembuluh darah ginjal akibat tekanan intrauterina yang meninggi menyebabkan perfusi ginjal sangat menurun dan menyebabkan anoksia. Keadaan umum yang terjadi adalah nekrosis tubulustubulus ginjal secara akut menyebabkan kegagalan fungsi ginjal. Mungkin terjadi ekstravasasi luas darah ke dalam otot uterus dan di bawah lapisan serosa uterus yang disebut sebagai apopleksio uteroplasental ini, yang pertama kalinya dilaporkan oleh Couvelaire pada awal tahun 1900-an, sekarang sering disebut sebagai uterus couvelaire. Pada keadaan ini perdarahan retroplasenta menyebabkan darah menerobos melalui sela-sela serabut miometrium dan bahkan bisa sampai ke bawah perimetrium dan ke dalam jaringan pengikat ligamentum latum, ke dalam ovarium bahkan bisa mengalir sampai ke rongga pernitonei. Perdarahan miometrium ini jarang sampai mengganggu kontraksi uterus sehingga terjadi perdarahan postpartum berat dan bukan merupakan indikasi untuk histerektomi. 24

3.1.10 Penanganan

Terapi solusio plasenta akan berbeda-beda tergantung pada usia kehamilan serta status ibu dan janin. Pada janin yang hidup dan matur, dan apabila persalinan pervaginam tidak terjadi dalam waktu dekat, sebagian besar akan memilih seksio sesaria darurat.

1. Solusio Plasenta Ringan Solusio plasenta ringan jarang ditemukan di RS. Pada umumnya didiagnosis secara kebetulan pada pemeriksaaan USG oleh karena tidak memberikan gejala klinik yang khas. Apabila kehamilannya kurang dari 36 minggu dan perdarahan kemudian berhenti, perut tidak menjadi nyeri, dna uterus tidak tegang, maka penderita harus diobservasi dengan ketat. Apabila perdarahan berlangsung terus dan gejala solusio plasenta bertambah jelas atau dengan pemeriksaan USG daerah solusio plasenta bertambah luas maka dilakukan terminasi kehamilan

2. Solusio Plasenta Sedang dan Berat Pada solusio plasenta sedang sampai berat dilakukan perbaikan keadaan umum terlebih dahulu dengan resusitasi cairan dan transfusi darah. Bila janin masih hidup biasanya dalam keadaan gawat janin, dilakukan seksio sesarea, kecuali bila pembukaan telah lengkap. Pada keadaan ini dilakukan amniotomi, drip oksitosin, dan bayi dilahirkan dengan ekstraksi forcep. Apabila janin telah mati dilakukan persalinan pervaginam dengan cara melakukan amniotomi, drip oksitosin. Bila bayi belum lahir dalam waktu 6 jam, dilakukan tindakan seksio sesarea.

3. Tokolitik Hurd dkk. (1983) mendapatkan bahwa solusio berlangsung dalam waktu yang lama dan membahayakan apabila diberikan tokolitik. Towers dkk. (1999) memberikan magnesium sulfat, terbutalin, atau keduanya kepada 95 di antara 131 wanita dengan solusio plasenta yang didiagnosis sebelum minggu ke-36. Angka 25

kematian perinatal sebesar 5% dan tidak berbeda dari kelompok yang tidak diterapi. Namun, penggunaan tokolitik pada penatalaksanaan solusio plasenta masih kontroversial.

4. Seksio Sesarea Pelahiran secara cepat janin yang hidup tetapi mengalami gawat janin hampir selalu berarti seksio sesarea. Kayani dkk. (2003) meneliti hubungan antara cepatnya persalinan dan prognosis janinnya pada 33 wanita hamil dengan gejala klinis berupa solusio plasenta dan bradikardi janin. 22 bayi secara neurologis dapat selamat, 15 bayi dilahirkan dalam waktu 20 menit setelah keputusan akan dilakukan operasi. 11 bayi meninggal atau berkembang menjadi Cerebral Palsy, 8 bayi dilahirkan di bawah 20 menit setelah pertimbangan waktu, sehingga cepatnya respons adalah faktor yang penting bagi prognosis bayi ke depannya6. Seksio sesarea pada saat ini besar kemungkinan dapat membahayakan ibu karena mengalami hipovolemia berat dan koagulopati konsumtif yang parah.

5. Persalinan Pervaginam Apabila terlepasnya plasenta sedemikian parah sehingga menyebabkan janin meninggal, lebih dianjurkan persalinan pervaginam kecuali apabila perdarahannya sedemikian deras sehingga tidak dapat diatasi bahkan dengan penggantian darah secara agresif, atau terdapat penyulit obstetri yang menghambat persalinan pervaginam. Defek koagulasi berat kemungkinan besar dapat menimbulkan kesulitan pada seksio sesarea. Insisi abdomen dan uterus rentan terhadap perdarahan hebat apabila koagulasi terganggu. Dengan demikian, pada persalinan pervaginam, stimulasi miometrium secara farmakologis atau dengan massage uterus akan menyebabkan pembuluh-pembuluh darah berkontraksi sehingga perdarahan serius dapat dihindari walaupun defek koagulasinya masih ada. Lebih lanjut, perdarahan yang sudah terjadi akan dikeluarkan melalui vagina.

6. Amniotomi

26

Pemecahan selaput ketuban sedini mungkin telah lama dianggap penting dalam penatalaksanaan solusio plasenta. Alasan dilakukannya amniotomi ini adalah bahwa keluarnnya cairan amnion dapat mengurangi perdarahan dari tempat implantasi dan mengurangi masuknya tromboplastin dan mungkin faktor-faktor pembekuan aktif dari bekuan retroplasenta ke dalam sirkulasi ibu. Namun, tidak ada bukti keduanya tercapai dengan amniotomi. Apabila janin sudah cukup matur, pemecahan selaput ketuban dengan mempercepat persalinan. Apabila janin imatur, ketuban yang utuh mungkin lebih efisien untuk mendorong pembukaan serviks daripada tekanan yang ditimbulkan bagian tubuh janin yang berukuran kecil dan kurang menekan serviks.

7. Oksitosin Walaupun pada sebagian besar kasus solusio plasenta berat terjadi hipertonisitas yang mencirikan kerja miometrium, apabila tidak terjadi kontraksi uterus yang ritmik, pasien diberi oksitosin dengan dosis standar. Stimulasi uterus untuk menimbulkan persalinan pervaginam memberikan manfaat yang lebih besar daripada risiko yang didapat. Pemakaian oksitosin pernah dipertanyakan berdasarkan anggapan bahwa tindakan ini dapat meningkatkan masuknya tromboplastin ke dalam sirkulasi ibu sehingga memacu atau memperparah kaogulopati konsumtif atau sindroma emboli cairan amnion.

3.1.11 Prognosis Solusio plasenta mempunyai prognosis yang buruk baik bagi ibu hamil dan lebih buruk lagi bagi janin jika dibandingkan dengan plasenta previa. Solusio plasenta ringan masih mempunyai prognosis yang baik bagi ibu dan janin karena tidak ada kematian dan morbiditasnya rendah. Solusio plasenta sedang mempunyai prognosis yang lebih buruk terutama terhadap janinnya karena mortalitas dan morbiditas perinatal yang tinggi. Solusio plasenta berat mempunyai prognosis yang paling buruk baik terhadap ibu terlebih terhadap janinnya.

3.2 Holoprosencephaly 27

3.2.1 Definisi Holoprosencephaly adalah suatu kelainan yang disebabkan oleh gagalnya proses pemisahan prosencephalon (forebrain masa embrio) menjadi 2 buah lobus hemisfer otak. Hasil dari gagalnya pemisahan ini berupa otak yang hanya memiliki 1 buah lobus hemisfer, dan kelainan struktur tulang tengkorak dan wajah yang parah.1 1. Tahapan perkembangan otak Dalam perkembangan otak, ada periode yang dikenal sebagai periode pacu tumbuh otak ( brain growth spurt ), yaitu saat dimana otak berkembang sangat cepat. Pada manusia, periode pacu tumbuh otak pertama dimulai ketika usia kehamilan ibu memasuki trimester ketiga. Pada trimester pertama dan kedua kehamilan terjadi pembentukan sebagian besar neuron dan sebagian besar terjadi pembentukan struktur susunan saraf pusat. Sehingga jika terjadi gangguan pada masa ini akan menyebabkan kelainan struktural yang berat. Sedangkan, jika terjadi gangguan pada trimester ketiga kehamilan dan periode selanjutnya menyebabkan kerusakan bersifat mikrostruktural dan fungsional. Masa tersebut merupakan masa pematangan sistem saraf pusat. Periode pacu tumbuh otak kedua terjadi setelah kelahiran hingga usia dua tahun. Multiplikasi sel terjadi pada masa janin. Sedangkan sejak lahir hingga usia dua tahun adalah saat neuron (sel saraf) di korteks otak membentuk sinaps (hubungan antara sel saraf) yang sangat banyak. Di masa multiplikasi dan pembentukan sinaps ini, otak harus mendapat prioritas utama dalam hal pemenuhan zat-zat gizi sebagai bahan-bahan pembentukannya. Pembentukan susunan saraf pusat dimulai dari terbentuknya tabung saraf yang terbentuk dari penebalan bagian dorsal ektoderm yang membentuk lempeng neural. Lempeng neural akan membentuk lekukan yang kedua ujungnya akan saling bertemu dan membentuk tabung neural atau neural tube. Penutupan tabung neural dimulai pada akhir minggu ketiga dan berlangsung ke arah rostral dan kaudal, dan 28

menjelang akhir minggu keempat penutupan tabung neural telah sempurna. Faktor genetik, imunologik dan defisiensi folat ikut berperan dalam terjadinya defek tabung neural

Gambar 1. Lini masa perkembangan otak Awal perkembangan prosensefalon terjadi pada bulan kedua dan ketiga kehamilan, tidak lama setelah tabung neural anterior menutup, terbentuk tiga bagian utama yaitu Prosensefalon (fore brain), mesensefalon (midbrain), dan Rombensefalon (hindbrain). Kelainan yang terjadi pada Prosensefalon biasanya disertai dismorfik wajah karena mesoderm berinterkasi dengan ektoderm pada bagian rostral yang membentuk wajah dan prosensefalon. Kemudian Prosensefalon akan membelah memisahkan telensefalon dan diensefalon. Telensefalon lalu membelah pada bidang sagital, membentuk kedua hemisfer serebri, ventrikel lateralis, dan ganglia basalis. Dari bagian prosensefalon akan terbantuk vesikel optik dan bulbus olfaktorius. Sedangkan, diensefalon membentuk struktur-struktur midline korpus kalosum, thalamus, hipotalamus, epitalamus dan kiasma optik.

29

Gambar 2. Proses perkembangan otak dimulai dari pembentukan tabung neural

3.2.2 Etiologi Faktor-faktor Lingkungan Penyebab teratogen paling sering pada manusia yang telah diketahui menyebabkan HPE adalah diabetes mellitus pada ibu. Janin pada ibu dengan DM mempunyai resiko 1% untuk menderita HPE (200 kali lebih berisiko dari janin dengan ibu normal). Penyebab lainnya adalah konsumsi alcohol, dan acam retinoat telah terbukti berhubungan dengan HPE pada hewan, walau pada manusia belum terbukti. Obat-obat penurun kolesterol (i.e. statins) baru-baru ini juga dihubungkan dengan HPE, walau hubungan kausal antara penggunaan statin saat prenatal dengan HPE belum terbukti. Pada hewan betina percobaan dengan hipokolesterolemia telah terbukti menyebabkan HPE. Kelainan Gen Kira-kira 25-50% individu dengan HPE mempunyai kromosom yang abnormal. Abnormalitas kromosom yang ada tidak spesifik dan dapat berupa numerical atau structural. Kelainan kromosom numerical yang terjadi pada HPE adalah trisomy 13, trisomy 18, and triploidy. Pada individu dengan trisomy 13, arrhinencephaly terlihat pada 70% individu, sedangkan pada trisomy 18 kelainan yang lebih umum terjadi adalah defek pada corpus callosum. Semua kromosom dilaporkan berkaitan dengan kelainan structural yang menyebabkan HPE, tetapi yang paling sering adalah delesi atau duplikasi dari koromosom 13, 18, 7, dan 21.5

30

Gen-gen yang diduga berkaitan dengan HPE.6

% of Individuals with HPE and Mutations in This Gene Gene

Chromosomal Locus Positive Family History

Simplex Cases

SHH

7q36

30%-40%

<5%

ZIC2

13q32

5%

2%

SIX3

2p21

1.3%

Rare

TGIF1

18p11.3

1.3%

Rare

GLI2

2q14

Unknown

Unknown

PTCH1

9q22.3

Unknown

Unknown

DISP1

1q42

Rare

Rare

FGF8

10q24

Rare

Rare

FOXH1

8q24.3

Rare

Rare

31

% of Individuals with HPE and Mutations in This Gene Gene

Chromosomal Locus Positive Family History

Simplex Cases

NODAL

10q22.1

Rare

Rare

TDGF1 (CRIPTO)

3p23-p21

Rare

Rare

GAS1

9q21.33

Rare

Rare

DLL1

6q27

Rare

Rare

CDON

11q24.2

Rare

Rare

3.2.3 Epidemiologi HPE merupakan bentuk kelainan pada forebrain manusia yang paling umum terjadi, dengan prevalensi 1:250 embrio dan diperkirakan 1:10.000 diantara bayi lahir hidup. Di Amerika Serikat, prevalensi HPE dilaporkan lebih tinggi pada ras Latin, African-American dan Pakistan.6

3.2.4 Patofisiologi Interaksi dari berbagai faktor genetic dan lingkungan dianggap bertanggung jawab dalam pathogenesis holoprosencephaly. Kelainan pada metabolisme sterol 32

juga diduga merupakan penyebab dari kelainan sonic hedgehog signaling pathway yang berperan dalam terjadinya HPE.7

3.2.5 Manifestasi Klinik Holoprosencephaly (HPE) memiliki beberapa tipe yang dibagi berdasarkan tingkat keparah kelainan yang terjadi. 1. Alobar HPE, tipe HPE yang paling parah, dimana hanya ada 1 “monoventricel”, dan tidak ada celah di hemisfer otak. Gambar 1. Alobar HPE.6

Hasil MRI dari alobar HPE, terlihat pembesaran garis tengah dari monoventricle (holoventricle, read arrow) yang bergabung dengan lobus frontalis dan garis tengah substantia grisea (thalamus dan basal ganglia, blue arrow) Tampilan wajah yang muncul pada alobar HPE khas berupa single eye-like structure (cyclopia) dan overriding nose-like structure (proboscis).6

33

2. Semilobar HPE, dimana di kiri dan kanan dari lobus frontal dan parietal berdifusi dan fisura interhemisfer hanya tampak pada bagian posterior. Gambar 2. Semilobar HPE.6

Hasil MRI semilobar HPE, perhatikan lobus frontalis yang bergabung, tetapi sudah ada septum yang memisahkan antarhemisfer di bagian posterior. Pada tampilan wajah, tampak microcephaly, jarak mata yang berdekatan dan hidung yang terdepresi dengan cleft lip.6

34

3. Lobar HPE, dimana sebagian besar di kanan dan kiri hemisfer serebral dan ventrikel lateral sudah terpisah, tetapi lobus frontalis kiri dan kanan terdifusi (tidak terpisah).

Gambar 3. Lobar HPE.6 Hasil MRI pada lobar HPE, tipe yang paling ringan pada HPE tipe major. Hemisfer cerebral sudah terpisah (panah biru). Namun, corpus callosum belum terbentuk secara normal. Tampilan wajah tampak seperti anak normal, tampak pada gambar anak dengan lobar HPE karena mutasi gen ZIC 2. Namun, masih tampak jidat yang kurang lapang, telinga yang besar, philtrum yang panjang dan hidung yang sedikit terdepresi.6

35

4. Middle interhemispheric fusion variant (MIHV), dimana lobus frontalis bagian posterios da lobus parietal gagal berpisah, belahan basal ganglia dengan thalamus tidak jelas, dan tidak ada badan dari corpus callosum. Gambar 4. MIHV.6

Hasil MRI pada tipe MIHV yang merupakan variant dari HPE dimana lobus frontalis dengan occipital sudah terpisah.Terdapat fissure sylvian yang vertical dan abnormal menembus garis tengah dari vertex otak (panah merah). Tampilan wajah biasanya normal.6

3.2.6 Anamnesis Pada tahap pertama anamnesis kita harus menanyakan identitas pasien secara jelas, yaitu sebagai berikut: nama, jenis kelamin, tempat / tanggal lahir, status perkawinan, pekerjaan, alamat, pendidikan, dan agama. Pada tahap berikutnya, kita menanyakan keluhan utama, keluhan penyerta, riwayat penyakit dahulu, riwayat penyakit sekarang, riwayat penyakit keluarga dan sosial.2 Selanjutnya, hal-hal yang perlu ditanyakan dalam anamnesis adalah : -

Menanyakan apakah ada yang bisa dibantu dan keluhan-keluhan pasien

-

Berapa usia ibu saat mengandung?

-

Menanyakan identitas suami (umur, pekerjaan, dan lain-lain)

36

-

Menanyakan riwayat pernikahan (berapa lama menikah, berapa kali menikah)

-

Menanyakan apakah sebelumnya pernah hamil

-

Menanyakan apakah ada riwayat keguguran

-

Menanyakan bagaimana keadaan anak sebelumnya

-

Menanyakan apakah ada kesulitan pada kehamilan sebelumnya

-

Menanyakan apakah ada riwayat dari pihak keluarga istri dan suami yang terkena penyakit genetik seperti sindrom Down, sindrom Patau atau yang lainnya

-

Menanyakan apakah ibu tersebut pernah menderita penyakit infeksi sebelum atau terkena paparan radiasi sebelumnya.

-

Menanyakan bagaimana asupan nutrisi ibu selama masa kehamilan maupun sebelum kehamilan

Beberapa manifestasi klinik yang sering terlihat pada anak dengan HPE: 1. Perkembangan terhambat 2. Kejang 3. Hydrocephalus 4. Neural tube defects 5. Disfungsi hipotalamus dan batang otak 6. Disfungsi hipofisis 7. Postur pendek dan gagal tumbuh 8. Kesulitan menyusui 9. Gangguan GI 10. Pneumoni aspirasi 11. Pola tidur tidak beraturan.8

3.2.7 Pemeriksaan Fisik

37

Pasien

dengan

Holoprosencephaly

sequence

memiliki

temuan

kraniofasial, seperti mikrosefali, celah bibir dan langit-langit bilateral, hipoplasia hidung, agenesis alae nasi, jarak kedua mata yang dekat (hypotelorism), short neck dengan low hairline, auricular kiri dan kanan yang abnormal, dan kedua tangan yang clenched hands. 1. PF neurologi Pada pasien HPE yang memiliki gangguan pada system saraf pusat, terjadi

gangguan

perkembangan

(developmental

delay).

Tingkat

keparahan keterlambatan perkembangan pada pasien tergantung dari derajat HPE yang diderita. Gangguan kejang sering terjadi, dan kadang sulit untuk dikontrol. 2. PF kepala, mata, telinga, hidung, dan leher Pada pemeriksaan kepala, secara inspeksi, sering ditemukan mikrosefali, walaupun terkadang hidrosefalus dapat terjadi yang mengakibatkan bentuk kepala menjadi makrosefali. Pada pemeriksaan mata, dapat terlihat hipotelorism (kedua jarak mata dekat) dan pada tipe yang alobar holoprosencephaly dapat muncul kelainan cyclopia. Pada pemeriksaan telinga, dapat ditemukan bentuk telinga yang abnormal, dan biasanya simetris antara kiri dengan kanan. Pada pemeriksaan hidung, sering didapatkan hypoplasia hidung, dan agenesis alae nasi. Sedangkan, pada pemeriksaan leher, bentuk short neck dengan low hairline umum didapatkan.1

3.2.8 Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan

penunjang

yang

digunakan

untuk

mendiagnosis

Holoprosencephaly adalah CT scan atau MRI otak, yang dapat langsung membedakan tipe HPE yang diderita dan kelainan-kelainan system saraf pusat lainnya. Tetapi, pemeriksaan yang lebih dianjurkan adalah MRI cranial, yang dilakukan dengan sedasi yang adekuat. 38

HPE lebih sering terdiagnosis saat periode bayi baru lahir dengan ditemukan wajah yang abnormal dan/atau kelainan neurologis. HPE juga sering ditemukan pertama kali saat pemeriksaan ultrasound prenatal. Bayi dengan wajah yang normal atau kelainan abnormal yang ringan pada wajah dan anomaly otak yang ringan mungkin tidak terdiagnosis sampai bayi berumur 1 tahun. Saat bayi berusia 1 tahun, kelainan-kelainan seperti perkembangan yang terlambat dan/atau gagal tumbuh baru terlihat.2

Tes Prenatal Kehamilan resiko tinggi Molecular genetic testing, tes ini dilakukan jika ada salah satu dari keluarga yang memiliki penyakit yang disebabkan oleh mutasi gen. Tes ini dilakukan mengggunakan DNA yang diekstrak dari sel fetus yang diperoleh dari amniocentesis yang biasa dilakukan pada minggu ke 15-18 kehamilan atau chorionic villus sampling (CVS) pada minggu 10-12 kehamilan. Fetal ultrasound examination, pada keluarga dengan riwayat HPE, bisa didiagnosis dengan prenatal ultrasound examination pada minggu ke 16 kehamilan. Tetapi pada HPE dengan derajat ringan atau lobar HPE kadang tidak terdeteksi. Lobar HPE bisa didiagnosis menggunakan sonography, tetapi masih sulit dilakukan. Kehamilan resiko rendah Biasa ditemukan secara tidak sengaja melalui tes ultrasound pada masa prenatal. Detailed USG biasa dilakukan untuk memastikan adanya kelainan structural atau kelainan yang lain. Jika ditemukan kelainan, dilakukan tes pada cairan amnion berupa: 1. Tes Fetal karyotype 2. Chromosomal Microarray Analysis (CMA) dilakukan jika hasil karyotype normal, lalu untuk mendeteksi mikrodelesi pada 4 gen yang sering bermutasi sehingga menyebabkan HPE (SHH, ZIC2, SIX3, TGIF1).3 39

3.2.9 Working Diagnosis Holoprosencephaly adalah suatu kelainan yang disebabkan oleh gagalnya proses pemisahan prosencephalon (forebrain masa embrio) menjadi 2 buah lobus hemisfer otak. Hasil dari gagalnya pemisahan ini berupa otak yang hanya memiliki 1 buah lobus hemisfer, dan kelainan struktur tulang tengkorak dan wajah yang parah. Pada sebagian besar kasus holoprosencephaly, malformasi yang terjadi sangat berat sehingga bayi meninggal sebelum dilahirkan. Pada kasus yang tidak terlalu berat, bayi dapat lahir dengan perkembangan otak yang normal atau mendekati normal dan deformitas wajah yang mengenai mata, hidung, dan bibir bagian atas. Terdapat 3 klasifikasi dari holorposencephaly. Alobar, dimana otak tidak terbelah sama sekali, yang biasanya berkaitan dengan deformitas wajah yang berat. Semilobar, dimana hemisfer otak sudah sebagian terbagi menjadi 2, menyebabkan kelainan yang intermediate. Lobar, dimana hemisfer otak sudah terbagi jelas, dan merupakan bentuk yang paling ringan. Pada beberapa kasus, otak bayi dengan lobar HPE mungkin mendekati normal. Kelainan wajah yang paling ringan adalah median cleft lip (premaxillary agenesis). Sedangkan, yang paling berat adalah cyclopia, suatu kelainan berupa sebuah mata di tempat yang normalnya adalah tempat pangkal hidung, dan tidak tampak hidung, atau ada proboscis (hidung abnormal) di atas mata. Anomali wajah yang dapat muncul namun tidak sering adalah ethmocephaly, dimana ada proboscis yang memisahkan 2 mata yang berdekatan. Cebocephaly, kelainan wajah yang lainnya, dengan bentuk hidung yang kecil dan datar, 1 buah lobang hidung yang terletak di bawah mata yang tidak tumbuh sempurna.1 3.2.9 Differential Diagnosis Trisomi Sindrom Patau (Trisomi 13)

40

Sindrom patau atau trisomi 13 dapat terjadi pada sekitar 1 dari 20.000 kelahiran. Kesintasan median untuk bayi adalah sekitar 3 hari, dan 90 persen meninggal dalam bulan pertama. Beberapa pengidap trisomy 13 yang bertahan hidup mengalami retardasi mental berat. Serupa dengan trisomi 18, hampir semua system organ dapat terkena. Kelainan yang sering dijumpai antara lain adalah cacat jantung pada 8090% penderita dan holoprosensefalus pada 70% penderita. Kelainan umum lainnya adalah mikrosefalus, mikroftalmia, sumbing wajah, kelaianan telinga, omfalokel, kelainan ginjal, dan cacat tulang. Adanya aplasia kutis (defek local kulit kepala yang tampak cekung( dan polidaktili merupakan isyarat kuat adanya trisomy 13 atau delesi 4p yang biasanya letal.4 Sindrom Edwards (Trisomi 18) Sindrom Edwards juga dikenal sebagai trisomi 18 dan terjadi pada 1 dari 8000 neonatus. Separuh meninggal pada minggu pertama kehidupan, 45 persen lainnya meninggal sebelum usia setahun, dan mereka yang bertahan melebihi 12 bulan mengalami retardasi berat. Hampir semua sistem organ dapat terkena oleh trisomi 18. Tampilan wajah yang khas seperti oksiput menonjol, malformasi telinga, fisura palpebra yang pendek, dan mulut yang kecil. Tangan penderita clenched, dengan . Hampir 95% memiliki defek pada jantung, umumnya berupa defek septum ventrikel dan atrium atau patent ductus arteriosus. Anomali lainnya adalah ginjal yang berbentuk seperti tapal kuda, aplasia tulang radius, hemivertebrata, hernia inguinalis serta umbilikalis, diastasis, dan imperforate anus. Umumnya memenderita keterbelakangan mental, hipotonia, kegagalan bertumbuh dengan subur dan sehat dengan berat badan lahir rendah. Terdapat juga cacat fleksi jari-jari tangan, ibu jari kaki yang pendek dan dalam keadaan dorsifleksi, dengan kaki mendatar seperti kursi goyang atau ekuinovarus.4 Dalam laporan National Center on Birth Defect and Developmental Disabilities mengatakan bahwa rata-rata penderita bertahan hidup untuk 14 hari.

41

Sekitar 10% bertahan hidup hingga 1 tahun, dan jarang ada laporan yang mengatakan ada pasien yang bertahan hidup lebih dari 10 tahun. Sindrom Down (Trisomi 21) Sindrom Down disebut juga trisomi 21, terjadi pada 1 dari 800 hingga 1000 neonatus. Malformasi mayor mencakup cacat jantung (30 hingga 40 persen) dan atresia saluran cerna. Penderita juga berisiko besar mengalami leukemia anak dan penyakit tiroid. Tingkat kecerdasan (intelligence quotient, IQ) berkisar dari 25 hingga 50, dan hanya sedikit yang lebih besar dan rentang tersebut. Sebagian besar anak yang terkena memiliki keterampilan sosial rata-rata 3 hingga 4 tahun melebihi usia mentalnya. Anak yang terkena mengalami hipotonia mencolok serta memiliki lidah menonjol, kepala kecil, jembatan hidung datar, lipatan epikantus, kulit longgar di tengkuk, garis palmar tunggaL, dan jari kelima melengkung ke dalam (klinodaktili) akibat hipoplasia falang tengah. Hampir 95 persen kasus sindrom Down terjadi akibat nondisjunction kromosom 21 ibu, dengan risiko kekambuhan pada wanita tersebut adalah 1 persen sampai risiko terkait usianya melebihi angka ini; kemudian risiko terkaitusia mendominasi. Wanita yang mengidap sindrom Down subur, dan sekitar sepertiga dari anak mereka akan mengidap sindrom Down. Pria dengan sindrom Down hampir selalu steril.4

42

3.2.10 Tatalaksana Medikamentosa Terapi untuk HPE berdasarkan malformasi otak yang terjadi dan kelainan yang terjadi. Sebagian besar membutuhkan multidisciplinary team approach untuk merawat bayi dengan HPE. 

Pemberian hormone replacement therapy untuk disfungsi hipofisis



Obat antiepileptic untuk mengurangi dan mencegah kejang.

Nonmedikamentosa 

Pemasangan NGT untuk bayi yang susah menyusui



Surgical repair untuk bayi dengan cleft lip.



Ventriculo-peritoneal shunt untuk bayi HPE dengan hydrocephalus

Aspek terbesar dari penanganan ini adalah dengan dukungan dan konseling dari orang tua.8 Konseling Genetik Konseling genetik adalah porses dimana pasien atau keluarga yang beresiko kelainan tertentu yang mungkin herediter menerima saran dan konsekuensi dari kelainan tersebut, probabilitas-probabilitas perkembangan penyakit dan bagaimana kelainan tersebut diteruskan dalam keluarga dan bagaimana prevensinya. Kelainan kongenital dijumpai sekitar 2-3% intrauteri sedangkan saat persalinan sekitar 1-1,5%. Akibat kelainan kongenital multiple dapat bervariasi dari abortus sampai lahir mati. Ditengah masyarakat Indonesia terdapat upaya sederhana untuk melakukan konseling genetika dengan melakukan evaluasi melalui bibit, bobot dan bebet. Artinya, asal usul keturunannya, lingkungan keluarga, dan pekerjaan yang dimiliki. Semua nya dituntut sebelum perkawinan dengan tujuan agar tercapai generasi yang tangguh secara psikologis dan fisik.

43

Konseling genetika sebagian besar dilakukan dengan anamnesis, diantaranya: 1. Riwayat keluarga, apakah ada keturunan dengan kelainan kongenital atau kelainan jiwa. 2. Apakah pernah menerima tambahan hormone estrogen atau estradiol, ketika masih dalam kandungan atau setelah lahir. 3. Bagaimana riwayat kehamilan, persalinan yang pernah dialaminya. 4. Bagaimana keadaan social ekonomi keluarga saat ini. 5. Apakah sudah siap psikologis dan social ekonomi untuk hamil saat ini.. Indikasi khusus untuk melakukan konseling dan pemeriksaan genetika adalah umur 35 tahun dan terdapat keturunan dengan kelainan kongenital atau kelainan jiwa. Hasil pemeriksaan akan menentukan apakah wanita tertentu dapat hamil atau menunda sehingga kondisi sudah dapat diatasi. Kelainan kongenital dan kejiwaan yang bersifat keturunan sebagian besar oleh karena kelainan kromosom abnormal, gen tunggal sesuai hukum Mendel atau terdapat kelainan kromosom multiple. Konseling genetik pada individu dengan HPE diindikasikan jika ada di dalam keluarga ada yang menderita kelainan kromosom atau kelainan keturunan, dan berbagai macam kelainan lainnya yang memiliki hubungan dengan HPE, karena HPE dapat diturunkan secara autosomal dominan. Jika individu dengan HPE tanpa etiologi yang jelas, kemungkinan resiko terulang kembali rendah pada anggota keluarga, Kelainan kongenital masih harus dipikirkan dapat disebabkan oleh kekurangan vitamin dan komponen esensial tertentu diantaranya: kekurangan asam folat, dapat menimbulkan gangguan pertumbuhan system saraf pusat.2 Komplikasi Paling sering ditemukan, orang dengan disfungsi holoprosencephaly dan hipofisis akan berkembang menjadi diabetes insipidus, suatu kondisi yang mengganggu keseimbangan antara asupan cairan dan ekskresi urin. Disfungsi di bagian lain dari otak dapat menyebabkan kejang, kesulitan makan, dan masalah mengatur suhu 44

tubuh, denyut jantung, dan pernapasan. Indera penciuman dapat berkurang (Hiposmia) atau sama sekali tidak ada (anosmia) jika bagian otak yang memproses bau hilang.9 Prognosis Tingkat kelangsungan hidup bayi dengan holoprosencephaly bervariasi, tergantung jenis holoprosencephaly yang diderita, tetapi secara umum, kematian berkorelasi

positif dengan tingkat keparahan malformasi otak dengan

perluasannya. Anak dengan holoprosencephaly alobar, dengan anomali wajah yang parah seperti cyclopia dan proboscis jarang bertahan pada periode postnatal, sementara malformasi wajah yang kurang berat dapat bertahan selama berbulanbulan atau, dalam sebagian kecil kasus, lebih dari satu tahun [36]. Dibandingkan dengan anak-anak dengan holoprosencephaly alobar , anak-anak dengan jenis holoprosencephaly selain alobar mungkin lebih banyak bertahan hidup sampai dewasa. Penyebab kematian tersering adalah infeksi pernapasan, dehidrasi sekunder karena diabetes insipidus yang tidak terkontrol, kejang, dan sequel batang otak yang mengakibatkan tidak terkontrolnya pernapasan dan denyut jantung. Kerusakan motorik yang berat terdapat pada tipe alobar dan semilobar, yang kurang terlihat pada tipe lobar dan MIHV; pasien dengan MIHV mungkin dapat berjalan dengan bantuan, dapat mengontrol anggota badan mereka, dan bahkan mengucapkan kata-kata atau kalimat.10 Kesimpulan Holoprosencephaly adalah suatu kelainan yang disebabkan oleh gagalnya proses pemisahan prosencephalon (forebrain masa embrio) menjadi 2 buah lobus hemisfer otak. Hasil dari gagalnya pemisahan ini berupa otak yang hanya memiliki 1 buah lobus hemisfer, dan kelainan struktur tulang tengkorak dan wajah yang parah. Pada sebagian besar kasus holoprosencephaly, malformasi yang terjadi sangat berat sehingga bayi meninggal sebelum dilahirkan. Terdapat 3 tipe mayor dari HPE yaitu alobar, semilobar, lobar, dan MIHV yang merupakan tipe varian 45

dari HPE. Tingkat kelangsungan hidup bayi dengan holoprosencephaly bervariasi, tergantung jenis holoprosencephaly yang diderita, tetapi secara umum, kematian berkorelasi positif dengan tingkat keparahan malformasi otak dengan perluasannya.

46

BAB IV ANALISIS KASUS Dari anamnesis diketahui + 1 jam SMRS pasien datang dengan keluhan keluar darah berwarna merah kehitaman. Pasien juga mengeluh keram pada perut yang telah dirasakan + sejak 1 minggu SMRS dimana keram dirasakan semakin memberat. Perut tegang (+), nyeri (+), keluar air-air (-). Berdasarkan anamnesis pasien mengeluh keluar darah berwarna hitam dari kemaluan dan mengaku hamil kurang lebih 7 bulan. Penyebab perdarahan pada ibu hamil dengan usia kehamilan lanjut dapat disebabkan oleh plasenta previa, vasa previa maupun solutio plasenta. Pada plasenta previa perdarahan terjadi akibat plasneta yang berimplantasi pada segmen bawah Rahim sehingga menutupi seluruh atau sebagian Ostium uteri internum, akibat membesarnya uterus selama kehamilan terjadi perluasan SBR kea rah proksimal sehingga plasenta ikut berpindah. Plasenta previa terjadi akibat vaskularisasi desidua yang tidak memadai akibat proses radang atau atrofi, paritas tinggi, usia lanjut dan cacat Rahim (bekas SC/bedah), akibat plasenta besar pada kehamilan ganda. Pada pasien tidak didapatkan faktor risiko yang dapat menyebabkan plasenta previa. Selain itu pada plasenta previa darah yang keluar berwarna merah segar dan tanpa rasa nyeri (painless), dan pada plasenta previa totalis umumnya perdarahan terjadi lebih awal, karena letaknya yang dekat dengan ostium uteri maka tidak akan mebentuk hematom. Pada pasien diketahui bahwa terjadi perdarahan yang keluar dari kemaluan berwarna hitam disertai dengan nyeri dan menegangnya abdomen. Dari keluhan pasien didapatkan bahwa kemungkinan pasien mengalami solutio plasenta yaitu terlepasnya sebagian atau selururh permukaan plasenta maternal dari tempat implantasinya yang normal pada lapisan desidua endometrium sebelum waktunya. Etiologi solusio plasenta antara lain pre-eklampsia, hipertensi kronik, KPD, korioamnionitis, riwayat pernah solusio plasenta dan merokok. Dari gambaran klinik yaitu terjadi perdarahan berwarna merah tua sampai kehitaman diikuti 47

dengan nyeri perut dan uterus yang menegang terus-menerus mirip His partus prematurus. Pada pasien tidak ditemukan adanya riwayat darah tinggi sebelum kehamilan, dan riwayat darah tinggi dan tidak ada riwayat pernah solusio plasenta sebelumnya, sehingga etiologi solusio plasenta akibat hipertensi kronik dan pre-eklampsia dapat disingkirkan, selain itu juga tidak ditemukan adanya riwayat trauma maupun riwayat merokok. Pada pemeriksaan fisik didapatkan bahwa tanda-tanda vital pasien masih dalam batas normal, hal ini menunjukkan bahwa pasien tidak mengalami solusio plasenta berat dimana biasanya ibu hamil jatuh dalam keadaan syok. Pada pemeriksaan obstetric didapatkan bahwa Tinggi fundus uteri 22 cm, memanjang, punggung kiri, HIS (-), DJJ: 160 kali/menit. DJJ 160x/m menunjukkan bahwa DJJ berada di border line, yang dapat menunjukkan adanya gawat janin, sehingga memerlukan perhatian lebih ketat. Pada pasien disarankan untuk melakukan pemeriksaan darah rutin, dan faal hemostasis. Pada pemeriksaan darah rutin didapatkan Hb, eritrosit dan trombosit pasien dalam batas normal masing-masing Hb: 12,3 gr/dl, Eritrosit 4,63 juta/m3 , dan Trombosit: 265.000/m3. Selain itu pada pemeriksaan faal hemostasis didapatkan tidak ada kelainan, Hal ini menunjukkan tidak adanya gangguan darah pada pasien seperti anemia atau gangguan pembekuan darah, karena pada solusio plaseeta dapat terjadi hipofibrinogenemia yang dapat menyebabkan gangguan pembekuan darah (consumptive coagulopathy) ditandai dengan memanjangnya waktu pembekuan melebihi 6 menit, hal ini dapat menyebabkan kematian janin. Pada pemeriksaan penunjang disarankan untuk dilakukan USG untuk membedakan solusio plasenta dengan plasneta previa. Pada pemeriksaan USG didapatkan

adanya

gambaran

solusio

plasenta

+50%

dan

gambaran

holoprocencephaly semilobar. Solusio plasenta +50% merupakan solusio plasenta sedang yang dapat menyebabkan gawat ibu (syok hipovolemik, gagal ginjal dan consumptive coagulopathy) dan gawat janin (ditandai dengan DJJ yang ireguler dan deselerasi lambat pada pemeriksaan Kardiotokografi) yang merupakan indikasi

48

untuk dilakukan terminasi kehamilan. Pada pasien didapatkan adanya gambaran holoprocencephaly semilobar pada janin, dimana holoprosencephaly adalah suatu kelainan yang disebabkan oleh gagalnya proses pemisahan prosencephalon (forebrain masa embrio) menjadi 2 buah lobus hemisfer otak. Hasil dari gagalnya pemisahan ini berupa otak yang hanya memiliki 1 buah lobus hemisfer, dan kelainan struktur tulang tengkorak dan wajah yang parah. Etiologi dapat disebabkan oleh faktor lingkungan serta adanya kelainan genetic pada janin. Pada kasus, didapatkan janin mengalami Semilobar HPE, dimana di kiri dan kanan dari lobus frontal dan parietal berdifusi dan fisura interhemisfer hanya tampak pada bagian posterior. Pada jenis HPE ini lobus frontalis yang bergabung, tetapi sudah ada septum yang memisahkan antarhemisfer di bagian posterior. Pada tampilan wajah, tampak microcephaly, jarak mata yang berdekatan dan hidung yang terdepresi dengan cleft lip. Pada pasien HPE yang memiliki gangguan pada system saraf pusat, terjadi gangguan perkembangan (developmental delay). Tingkat keparahan keterlambatan perkembangan pada pasien tergantung dari derajat HPE yang diderita. Pemeriksaan penunjang yang digunakan untuk mendiagnosis Holoprosencephaly adalah CT scan atau MRI otak, yang dapat langsung membedakan tipe HPE yang diderita dan kelainan-kelainan system saraf pusat lainnya. Tetapi, pemeriksaan yang lebih dianjurkan adalah MRI cranial, yang dilakukan dengan sedasi yang adekuat. HPE lebih sering terdiagnosis saat periode bayi baru lahir dengan ditemukan wajah yang abnormal dan/atau kelainan neurologis. Adapun tatalaksana pada kasus antara lain : 10. Edukasi pasien dan keluarga 11. Observasi tanda vital ibu, his, denyut jantung janin 12. IVFD D5% + Hyosine 1 amp gtt xx/menit 13. Inj. Dexamethasone 3 x 1 amp 14. Inj. As. Traneksamat 3 x 500 mg 15. Inj. Nifedipine 4 x 1 tab 16. Cek DR, DK, CT, BT 49

17. Rencana USG 18. Pro SC

Untuk tatalaksana pada neonatus adalah kolaborasi dengan TS anak untuk tatalaksana lebih lanjut. Pada umumnya berdasarkan literature tatalaksana pada kasus HPE dibagi menjadi tatalaksana medikamentosa dan Non-medikamentosa, yaitu: Medikamentosa Terapi untuk HPE berdasarkan malformasi otak yang terjadi dan kelainan yang terjadi. Sebagian besar membutuhkan multidisciplinary team approach untuk merawat bayi dengan HPE. 

Pemberian hormone replacement therapy untuk disfungsi hipofisis



Obat antiepileptic untuk mengurangi dan mencegah kejang.

Nonmedikamentosa 

Pemasangan NGT untuk bayi yang susah menyusui



Surgical repair untuk bayi dengan cleft lip.



Ventriculo-peritoneal shunt untuk bayi HPE dengan hydrocephalus

50

DAFTAR PUSTAKA 1. Dubourg C, Bendavid C, Pasquier L, Henry C, Odent S, David V. Holoprosencephaly.Orphanet J Rare Dis. 2017;2:8. 2. Solomon BD, Pineda-Alvarez DE, Balog JZ, Hadley D, Gropman AL, Nandagopal R, Han JC, Hahn JS, Blain D, Brooks B, Muenke M. Compound heterozygosity for mutations in PAX6 in a patient with complex brain anomaly, neonatal diabetes mellitus, and microophthalmia. Am J Med Genet A. 2015;149A:2543–6. 3. Pineda-Alvarez DE, Dubourg C, David V, Roessler E, Muenke M. Current recommendations for the molecular evaluation of newly diagnosed holoprosencephaly

patients. Am

J

Med

Genet

C

Semin

Med

Genet. 2016;154C:93–101. 4. Leveno KJ, Cunningham FG, Gant NF, dkk. Obstetri williams. Edisi 21. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2014. 5. Prawirohardjo, Sarwono. 2008. Perdarahan Pada Kehamilan Lanjut dan Persalinan; Bagian Ketiga: Patologi Kehamilan, Persalinan, Nifas, dan Bayi Baru Lahir (Masalah Ibu); Dalam: Ilmu Kebidanan, edisi ke-4. Jakarta: Penerbit P.T. Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. h. 492-513. 6. Johnson

CY,

Rasmussen

SA.

Non-genetic

risk

factors

for

holoprosencephaly. Am J Med Genet C Semin Med Genet. 2017;154C:73– 85 7. Pagon RA, Adam MP, Ardinger HH, et al. GeneReviews: Holoproensephaly overview. University of Washington. Seattle: 2018. 8. Cooper MK, Wassif CA, Krakowiak PA, Taipale J, Gong R, Kelley RI. A defective response to Hedgehog signaling in disorders of cholesterol biosynthesis. Nat Genet. 2014 Apr. 33(4):508-13. 9. Levey EB, Stashinko E, Clegg NJ, Delgado MR. Management of children with

holoprosencephaly. Am

J

Med

Genet

C

Semin

Med

Genet. 2016;154C:183–90.

51

10. Verma IC. Burden of genetic disorders in India. Indian J Pediatr. 2015;67:893-8. 11. Barr Jr. M, Cohen Jr. MM. Holoprosencephaly survival and performance. Am J Med Genet. 2015;89:116-20.

52

Related Documents

Lettreinfo Hpe
April 2020 10
Hpe Arguments
December 2019 22
Quiz Hpe Procedures
April 2020 6
Quiz Hpe Competency
April 2020 2
Hpe-aruba Proposal V3.pdf
December 2019 8

More Documents from ""