Laporan Kasus
Hiperplasia Endometrium Kompleks Atipik
Dokter Pembimbing : dr. Johanes Benarto, Sp.OG
Disusun Oleh : Andreas Anindito Hermawan 11 2017 158
KEPANITERAAN KLINIK ILMU KANDUNGAN DAN KEBIDANAN FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA RUMAH SAKIT UMUM DAERAH CENGKARENG PERIODE 4 Februari – 13 April 2019
KEPANITERAAN KLINIK STATUS ILMU PENYAKIT KANDUNGAN FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA Hari / Tanggal Presentasi Kasus : 29 Maret 2019 SMF ILMU KANDUNGAN DAN KEBIDANAN RUMAH SAKIT : RSUD Cengkareng
Tanda Tangan Nama
: Andreas Anindito Hermawan
NIM
: 112017158 ………………………
Dokter Pembimbing
: dr. Johanes Benarto, Sp.OG ………………………
IDENTITAS PASIEN Nama
: Ny. S
Nama
: Tn. N
Umur
: 54 Tahun
Umur
: 52 tahun
Pendidikan
: SMA
Pendidikan
: SMA
Agama
: Islam
Agama
: Islam
Suku Bangsa : Jawa
Suku Bangsa : Jawa
Alamat
Alamat
: Jakarta Barat, DKI Jakarta
: Jakarta Barat, DKI Jakarta
ANAMNESIS Keluhan Utama Pasien datang dengan keluhan keluar flek-flek sejak 1 bulan yang lalu.
Riwayat Perjalanan Penyakit Pasien datang dengan membawa hasil patologi anatomi untuk konsultasi tindakan berikutnya. Pasien mengeluh keluar flek-flek sejak 1 tahun yang lalu. Flek yang keluar tidak banyak, tidak berbau, berwarna merah segar dan tanpa disertai jaringan. Keluar flek-flek tanpa disertai adanya nyeri. Pasien mengaku sudah tidak haid sejak 5 tahun yang lalu.
Riwayat Haid Pasien mengaku sudah tidak haid sejak 5 tahun yang lalu, tetapi keluar flek-flek sejak 1 tahun yang lalu. Flek yang keluar tidak berbau, berwarna merah segar dan tanpa disetai adanya jaringan Pasien lupa usia pertama kali haid. Sewaktu pasien masih mengalami haid, pasien mengaku siklus haidnya tidak teratur 3 sampai 14 hari. Pasien merasakan kesakitan setiap kali haid. Sakit bertambah parah pada haid berikutnya.
Riwayat Perkawinan Pasien sudah menikah sebanyak 1 kali. Dengan usia pernikahan sudah 10 tahun.
Riwayat Obstetri Pasien mengaku pernah hamil 1 kali, tetapi kehamilannya tidak berlangsung lama kurang lebih 5 minggu tetapi keluar darah disertai gumpalan-gumpalan secara tiba-tiba.
Riwayat Pemakaian KB Pasien tidak memakai pil KB maupun alat kontrasepsi lainnya.
Riwayat Penyakit Dahulu Pasien mengaku memiliki hipertensi dan diabetes melitus sejak 5 tahun yang lalu. Pasien mengaku sudah mengkonsumsi obat hipertensi maupun obat diabetes secara rutin dan sering kontrol rutin kedokter.
Riwayat Keluarga Hubungan
Umur
Jenis
Keadaan
Penyebab
(thn)
Kelamin
Kesehatan
Meninggal
Kakek (dari Ayah)
-
L
Meninggal
-
Kakek (dari Ibu)
-
L
Meninggal
-
Nenek (dari Ayah )
-
P
Meninggal
-
Nenek (dari Ibu)
-
P
Meninggal
-
Ayah
65
L
Meninggal
-
Ibu
60
P
Meninggal
-
Adakah kerabat yang menderita : Penyakit
Ya
Tidak
Hubungan
Alergi
-
√
-
Asma
-
√
-
Tuberkulosis
-
√
-
HIV
-
√
-
Hepatitis B
-
√
-
Hepatitis C
-
√
-
Hipertensi
√
-
Ayah
Cacat bawaan
-
√
-
Lain-lain
-
√
-
PEMERIKSAAN FISIK 1. Pemeriksaan Umum Keadaan umum
: Sakit ringan
Kesadaran
: Compos mentis
Suhu
: 36,7oC 4
Tekanan darah
: 130/90 mmHg
Nadi
: 90x/menit
Pernafasan
: 24x/menit
Tinggi badan
: 155 cm
Berat badan
: 68 kg
Kulit
: warna kuning langsat, tidak ada sianosis
Kelenjar limfe
: tidak ada pembesaran
Mata
: Konjungtiva normal Sklera putih
Mulut / gigi
: Tidak terdapat caries dentis
Leher
: Tidak terdapat pembengkakan
Dada
: Bentuk normal, simetris, tidak tampak adanya retraksi maupun pelebaran sela iga.
Jantung
: BJ I & BJ II Normal, regular, (-) murmur, (-) gallop
Paru-paru
: Pergerakan dada simetris. Perkusi: Sonor Auskultasi: Vesikuler pada seluruh lapang paru
Abdomen :
Inspeksi → abdomen tampak mengalami pembesaran, tidak ada tanda-tanda peradangan, bekas operasi (-).
Palpasi
→ massa (-), nyeri tekan (-)
Perkusi → timpani pada seluruh lapang abdomen Auskultasi → Bising usus normoperistaltik Sensibilitas
: Normal
Aspek Psikis
: Tampak tenang
5
2. Pemeriksaan Ginekologik Dengan Spekulum
: tidak dilakukan
Pemeriksaan VT
: tidak dilakukan
Pemeriksaan Penunjang USG
Tgl 6/11/18 USG: Terdapat massa berukuran 3,78cm x 2,83 cm x 2,57 cm di cavum uteri Patologi Anatomi Makroskopik Terima jaringan compang-camping volume 3 cc, putih kecoklatan, kenyal, semua cetak 1 kaset. Mikroskopik Sediaan kuretase terdiri atas keping-keping jaringan endometrium dilapisi epitel torak selapis. Jaringan stroma umumnya seluler dengan proliferasi kelenjar berbentuk tubulus kadang berkeluk tidak bersekresi. Setempat tampak kelenjar berkelompok lebih solid. Ditemukan pula adanya metaplasia skuamosa. Kesimpulan Histologik sesuai dengan hiperplasia kompleks atipik dengan metaplasia skuamosa.
6
Laboratorium Rutin Hematologi Hb
: 13,6 g/dL
Ht
: 41 %
Eritrosit : 4,81 juta/uL Leukosit : 11.500 /mm3 Trombosit : 550.000/mm3 MCV : 86 fl MCH : 28 pg MCHC : 33 % LED : 43 mm/Jam Hitung Jenis: Basofil
:0%
Eosinophil : 1 % Batang
:0%
Segmen
: 65 %
Limfosit
: 30 %
Monosit
:4%
Kimia Darah GDP : 134 mg/dl GD2PP : 112 mg/dl Urinalisa Lengkap Warna : Kuning Kejernihan : Agak Keruh Berat Jenis : 1.030 PH : 6.5 Glukosa : Negatif Bilirubin : Negatif Keton : Negatif 7
Darah/Hb : Negatif Protein : Negatif Urobilinogen : 0.2 Nitrit : Negatif Leukosit Esterase : ++ Sedimen Leukosit : 15-25 /LPB Eritrosit : 0-1 /LPB Epitel : + Bakteri : Negatif Lain-lain : Negatif
RINGKASAN Pasien datang dengan keluhan keluar flek-flek sejak 1 tahun yang lalu. Flek yang keluar tidak banyak, tidak berbau, berwarna merah segar dan tanpa disertai jaringan. Keluar flek-flek tanpa disertai adanya nyeri. Pasien mengaku sudah tidak haid sejak 5 tahun yang lalu, tetapi keluar flek sejak 1 tahun ini. 2 bulan yang lalu pasien datang ke dokter spesialis dan didiagnosa mioma uteri dan dilakukan kuret untuk melihat jaringan secara patologi anatomi. Dari hasil pemeriksaan fisik didapatkan: Abdomen :
Inspeksi → abdomen tampak mengalami pembesaran, tidak ada tanda-tanda peradangan, bekas operasi (-).
Palpasi
→ massa (-), nyeri tekan (-)
Perkusi → timpani pada seluruh lapang abdomen Auskultasi → Bising usus normoperistaltik Dengan Spekulum
: tidak dilakukan
Pemeriksaan VT
: tidak dilakukan
8
DIAGNOSIS KERJA -
Hiperplasia Endometrium Kompleks Atipik
Dasar Diagnosis Keluhan Pasien mengaku sudah tidak haid sejak 5 tahun yang lalu, tetapi keluar flek sejak 1 tahun ini. Pada pemeriksaan lab: USG: Terdapat massa berukuran 3,78cm x 2,83 cm x 2,57 cm di korpus uteri Patologi Anatomi Makroskopik Terima jaringan compang-camping volume 3 cc, putih kecoklatan, kenyal, semua cetak 1 kaset. Mikroskopik Sediaan kuretase terdiri atas keping-keping jaringan endometrium dilapisi epitel torak selapis. Jaringan stroma umumnya seluler dengan proliferasi kelenjar berbentuk tubulus kadang berkeluk tidak bersekresi. Setempat tampak kelenjar berkelompok lebih solid. Ditemukan pula adanya metaplasia skuamosa. Kesimpulan Histologik sesuai dengan hiperplasia kompleks atipik dengan metaplasia skuamosa. RENCANA PERMULAAN Rencana Diagnostik : Total Laparoskopik Histerektomi + Bilateral
Salpingo
Oophorectomy (TLH + BSO) Rencana Terapi
: Rawat Inap (Evaluasi), konsul jantung, paru, dan penyakit
dalam. Adalat 20mg 2x1, Cefotaxime 2 gr, Puasa Pro TLH + BSO
PROGNOSIS Dubia ad bonam
9
HIPERPLASIA ATIPIK (KARSINOMA ENDOMETRIUM STADIUM DINI)
Pendahuluan Kanker endometrium merupakan salah satu kanker ginekologi dengan angka kejadian tertinggi, terutama di negara-negara maju. Selama tahun 2005, diperkirakan di Amerika terdapat sekitar 40.880 kasus baru dengan sekitar 7.100 kematian terjadi karena kanker endometrium.1 Kanker endometrium paling sering terdiagnosis pada usia pasca menopause, dimana 75% kasus terjadi pada wanita usia pasca menopause. Meskipun demikian sekitar 20% kasus terdiagnosis pada saat premenopause. Secara epidemiologi terdapat beberapa faktor risiko yang berkaitan dengan kanker endometrium yaitu hormon replacement theraphy, terapi Tamoxifen, obesitas, wanita pasca menopause, nulipara atau dengan paritas rendah, dan keadaan anovulasi. Hal-hal tersebut berkaitan dengan keadaan upopposed estrogen yang meningkatkan risiko terjadinya kanker endometrium. Faktor-faktor yang mempengaruhi pemaparan terhadap estrogen atau meningkatkan kadar progesteron, seperti penggunaann kontrasepsi oral dan merokok, merupakan faktor yang bersifat protektif. Kanker endometrium stadium awal memiliki prognosis yang cukup baik. Kanker endometrium terdiagnosis saat masih terlokalisir memiliki survival rate 5 tahunnya mencapai 96%, dan menurun sampai ke 44% pada stadium lanjut.1 Dengan pengetahuan yang baik tentang perdarahan pervaginam pasca menopause di dunia Barat, sebagian besar kasus ini, sekitar 77% terdiagnosis pada stadium dini. Teknik skrining yang dapat digunakan adalah skrining non-invasif, seperti USG dan teknik invasif seperti pemeriksaan D&C dan biopsi endometrium yang merupakan tehnik yang digunakan untuk mengevaluasi jaringan endometrium dan menjadi bakuan dalam menilai status endometrium. Biopsi endometrium mempunyai sensitifitas yang baik dengan negatif palsu yang rendah dan sebagian besar disebabkan
10
karena kesalahan dalam pengambilan. Namun demikian penentuan stadium karsinoma endometrium yang akurat adalah melalui prosedur pembedahan.1 Pembahasan selanjutnya mengenai skrining kanker endometrium. Skrining ini bertujuan untuk mengetahui lesi pra kanker pada wanita-wanita dengan faktor resiko terjadinya karsinoma endometrium.1 Permasalahan tentang hiperplasia endometrium telah mengalami perubahan dalam beberapa tahun terakhir, tidak hanya sebagai mengenai histologinya tetapi juga menyangkut manfaatnya. Tidak bahasan yang jelas dari suatu keadaan pendarahan uterus (dis)fungsional yang mungkin tanpa pengetahuan pathologic fisiologi. Sindrom klinis dengan lesi endometrial sering berkaitkan. Pendarahan fungsional mungkin menggambarkan sebagai pendarahan tanpa lesi di uterus, meskipun sering ditemukan kelainan yg berhubungan dengan kista folikel di ovarium.3 Definisi Hiperplasia endometrium mengacu pada proses di mana terjadi proliferasi kelenjar endometrium ukuran dan bentuk tidak teratur dengan meningkatnya kelenjar/stroma dibandingkan dengan proliferasi endometrium. Hal ini adalah sebuah morfologi lanjutan yang bermula dari yang kumpulan sederhana kelenjar glandular atipikal dengan gambaran dibedakan dari adenokarsinoma awal. Sebagian besar diduga sebagai hasil persisten dari stimulasi estrogenik berkepanjangan endometrium. Penyebab umum adalah siklus anovulatory suksesi. Hal ini juga dapat disebabkan oleh estrogen endogen yang diproduksi berlebihan dalam sindrom ovarium polikistik termasuk Leventhal Stein, sindrom fungsi tumor sel granulosa berlebihan dan dari fungsi kortikal ovarium (hiperplasia stroma korteks) atau diberikan estrogen eksogen.3
Histologi Uterus
11
Secara histologis, uterus terdiri dari 3 lapisan jaringan yaitu perimetrium, miometrium dan endometrium.4
Gambar 1. Penampang histologis uterus5 Perimetrium Perimetrium merupakan lapisan luar uterus atau serosa merupakan bagian dari perimetrium visceral yang tersusun atas epitel skuamus simpleks dan jaringan ikat areolar.4 Miometrium Lapisan tengah uterus atau miometrium terdiri dari 3 lapisan serat otot polos yang tebal didaerah fundus dan menipis didaerah serviks, dipisahkan oleh untaian tipis jaringan ikat interstitial dengan banyak pembuluh darah. Selama proses persalinan dan melahirkan, akan terjadi sebuah koordinasi kontraksi otot miometrium dalam merespon hormon oksitoksin yang berasal dari hipofisis posterior yang berfungsi membantu mengeluarkan janin dari uterus.4 Endometrium Lapisan dalam uterus atau endometrium merupakan lapisan yang kaya akan pembuluh darah memiliki 3 komponen, yaitu epitel kolumner simpleks bersilia dan bergoblet, kelenjar uterina yang merupakan invaginasi dari epitel luminal yang kemudian meluas hampir ke miometrium, dan stroma endometrium. Endometrium terbagi menjadi 2 lapisan yaitu, stratum fungsional dan stratum basal.4 Stratum fungsional merupakan lapisan melapisi rongga uterus dan luruh ketika 12
menstruasi. Sedangkan stratum basalis merupakan lapisan permanen yang fungsinya akan membentuk sebuah lapisan fungsional yang baru setelah mentruasi.4 Faktor resiko5 Hiperplasia endometrium seringkali terjadi pada sejumlah wanita yang memiliki resiko tinggi : 1. Usia lebih tua dari 35 tahun 2. Ras kulit putih 3. Belum pernah hamil 4. Usia yang lebih tua saat menopause 5. Usia dini saat menstruasi dimulai 6. Riwayat pribadi dari kondisi tertentu, seperti diabetes mellitus, sindrom ovarium polikistik, penyakit kandung empedu, atau penyakit tiroid 7. Obesitas 8. Merokok 9. Riwayat keluarga kanker ovarium, usus besar, atau rahim Patofisiologi Hormon yang ada di tubuh wanita estrogen dan progesteron mengatur perubahan endometrium, dimana estrogen merangsang pertumbuhannya dan progesteron mempertahankannya. Sekitar pertengahan siklus haid, terjadi ovulasi (lepasnya sel telur dari indung telur). Jika sel telur ini tidak dibuahi (oleh sperma), maka kadar hormon (progesteron) akan menurun, sehingga timbullah haid/menstruasi. Pada saat mendekati menopause, kadar hormon-hormon ini berkurang. Setelah menopause wanita tidak lagi haid, karena produksi hormon ini sangat sedikit sekali. Untuk mengurangi keluhan/gejala menopause sebagian wanita memakai hormon pengganti dari luar tubuh (terapi sulih hormon), bisa dalam bentuk kombinasi estrogen dan progesteron ataupun estrogen saja. Estrogen tanpa pendamping progesteron (unopposesd estrogen) akan menyebabkan penebalan endometrium. Pada beberapa 13
kasus sel-sel yang menebal ini menjadi tidak normal yang dinamakan Hiperplasis Atipik yang merupakan cikal bakal kanker rahim. Risiko terjadinya hiperplasia endometrium bisa tinggi pada wanita dengan faktor resiko di atas.6 Klasifikasi Suatu karsinoma endomentrium memiliki banyak klasifikasi berdasarkan klinis maupun histologi. Klasifikasi tersebut yaitu :7 Tabel 1. Stadium klinik karsinoma endometrium (FIGO 1971)7 Stadium
Keterangan
Stadium 0
Karsinoma insitu
Stadium I
Karsinoma terbatas pada korpus Stadium IA Panjang kavum uteri <8 cm Stadium IB Panjang kavum uteri > 8 cm
Stadium II
Karsinoma mengenai korpus dan servik
Stadium III
Karsinoma meluas keluar uterus tetapi belum keluar dari panggul kecil
Stadium IV
Karsinoma meluas keluar dari panggul kecil atau sudah mengenai mukosa kandung kemih atau rektum
Tabel 2. Stadium pembedahan karsinoma endometrium (FIGO 1988)7 Stadium
Keterangan
Stadium IA
Tumor terbatas pada endometrium
Stadium IB
Invasi kurang dari ½ bagian miometrium
Stadium IC
Invasi lebih dari ½ bagian miometrium
14
Stadium IIA
Tumor
hanya
menginvasi
kelenjar
endoserviks Sadium IIB
Tumor menginvasi stroma serviks
Stadium IIIA
Tumor menginvasi lapisan serosa dan atau ke adneksa dan atau ditemukannya sel ganas pada bilasan peritoneum
Stadium IIIB
Tumor menginvasi ke vagina
Stadium IIIC
Tumor bermetastasis pada kelenjar getah bening pelvik dan atau paraaorta
Stadium IVA
Tumor
menginvasi
mukosa
vesika
urinaria dan atau rektum Stadium IVB
Tumor dengan metastasis jauh
G1
Gambaran pertumbuhan nonskuamosa atau nonmorular padat 5% atau kurang
G2
Gambaran pertumbuhan nonskuamosa atau nonmorular padat 6%-50%
G3
Gambaran pertumbuhan nonskuamosa atau nonmorular padat lebih dari 50% Untuk penentuan terjadinya hiperplasia didasarkan pada tampilan histologi.
Klasifikasi secara saat ini, yang diperkenalkan oleh Kurman et al 1985, telah diterima oleh WHO dan ISGP. Klasifikasi ini mempertimbangkan dua kriteria (yaitu kompleksitas kelenjar dan atipikal dari inti sel) ada empat kategori diagnostik hiperplasia endometrium: hiperplasia sederhana (SH), hiperplasia kompleks (CH), hiperplasia atipikal sederhana (SAH) dan hiperplasia atipikal kompleks (CAH).7
Tabel 3. Klasifikasi berdasarkan histologi7
15
KLASIFIKASI
DESKRIPSI
Hiperplasia sederhana
ditandai
(Simple Hiperplasia)
endometrium, yang tidak teratur dan mungkin
oleh
proliferasi
jinak
dari
kelenjar
melebar, tetapi tidak berkerumun atau dengan sel atipik Hiperplasia kompleks
ditandai dengan tidak terlalu teraturnya endometrium
(Complex Hiperplasia)
dan pembuluh darah abnormal. Ini menunjukkan proliferasi kelenjar endometrium dengan garis pinggir tidak teratur, arsitektur kompleks, dan berkerumun namun tidak atipik.
Hiperplasia Atipik
Memvariasikan derajat inti sel atipik dan hilangnya polaritas. Ditemukan pada kedua lesi hiperplasia baik yang sederhana dan kompleks.
Simple hyperplasia Tampilan histologis hiperplasia sederhana (simple hyperplasia) adalah bahwa endometrium mengalami suatu peningkatan dalam volume dan kualitatif yang berbeda dari siklus endometrium normal. Kedua kelenjar dan stroma berpartisipasi dalam proses ini sehingga kelenjar tidak terlalu banyak. Kelenjar biasanya seragam bulat tapi mungkin akan menampilkan variasi dalam bentuk, dengan bentuk cyst melebar. Berupa lapisan epitel semu berlapis untuk sederhana, berisi gambar mitosis sesekali, dan menurut definisi, tidak memiliki inti sel atipik. Stroma ini juga aktif, seragam selular, terdapat mitosis aktif, dan berisi pembuluh darah kecil menyerupai spiral arteriola dilihat di endometrium sekretori terlambat atau yang terlihat di low-grade tumor stroma endometrium.4
16
Gambar 2. Kelenjar dalam berbagai ukuran, kadang melebar, kelenjar cystic dipisahkan oleh stroma yang banyak stroma. (Low power).4
Gambar 3. Kelenjar dibatasi oleh pseudostatified yang seragam dan oval nukleus. (High power).4
Complex Hyperplasia Kompleks hiperplasia dibedakan dari hiperplasia sederhana dengan tingkat yang lebih besar dari proliferasi kelenjar, berkerumun keluar menekan stroma dan sering mengambil alih dengan kelenjar yang nyata dalam ukuran dan bentuk bervariasi. Seperti di hiperplasia sederhana, inti sel atipik tidak ada. Stroma antara kelenjar yang berdekatan dapat berkurang hanya beberapa sel, tetapi menurut definisi, beberapa sel stroma normal adalah selalu diamati. Garis batas antara hiperplasia sederhana dan kompleks terkadang sulit untuk dibedakan. Diagnosis diferensial 17
dengan hiperplasia atipik tergantung pada ada tidaknya sitologi atipik, sebagaimana akan dibahas. Diagnosis diferensial dengan karsinoma tergantung pada keberadaan dari stroma antara hiperplasia kelenjar di kompleks atau atipik.4
Gambar 4. Kelenjar ini sangat berdekatan dengan sedikit stroma dan sangat tidak teratur dalam ukuran dan bentuk. (Low power).4
Gambar 5. Kelenjar dipisahkan oleh stroma endometrium sedikit satu sama lain. Inti yang seragam dan oval (High power).4
Atypical Hyperplasia Pada hiperplasia atipik memiliki anomali arsitektur baik untuk hiperplasia sederhana atau kompleks yang dihias dengan sitologi atipik. Gambaran utama adalah dispolaritas selular, susunan tidak teratur, dan anisositosis, disertai dengan pembulatan inti (dibandingkan dengan inti kolumnar seragam hiperplasia tanpa atipia), nukleomegali, hiperkromatisasi, penggumpalan kromatin, dan pembesaran
18
nukleolus. Banyak kasus juga ditandai dengan eosinofilia sitoplasma tetapi ini bukan merupakan prasyarat untuk menegakkan diagnosis. Temuan yang mungkin berguna adalah adanya puing-puing nekrotik inti sel eosinofilik dalam kelenjar atipikal dari proses hiperplastik.4
Gambar 6. Kelenjar ini sangat berdekatan dengan sedikit stroma dan sangat tidak teratur dalam ukuran dan bentuk (low power).4
Gambar 7. Kelenjar menunjukkan inti bulat bertingkat dengan nukleolus (High power)4
19
Klinis Kondisi ini paling sering terjadi pada wanita perimenopause yang kemudian hadir dengan pendarahan yang abnormal. Tampilan rongga endometrium mengandung hiperplastik jaringan adalah variabel. Dalam banyak kasus, endometrium menebal dan polypoid, dengan jaringan berlimpah diperoleh pada kuretase endometrium.6 Diagnosis Untuk mengetahui adanya hiperplasia maka dapat digunakan metode, yaitu :8
USG Terutama USG transvaginal, tebal endometrium di atas 5 mm pada usia perimenopause. Pemeriksaan USG dilakukan untuk memperkuat dugaan adanya keganasan endometrium dimana terlihat adanya lesi hiperekoik di dalam kavum uteri/endometrium yang inhomogen bertepi rata dan berbatas tegas dengan ukuran 6,69 x 4,76 x 5,67 cm. Pemeriksaan USG transvaginal diyakini banyak penelitian sebagai langkah awal pemeriksaan kanker endometrium, sebelum pemeriksaanpemeriksaan yang invasif seperti biopsi endometrial, meskipun tingkat keakuratannnya yang lebih rendah, dimana angka false reading dari strip endometrial cukup tinggi. Sebuah meta-analisis melaporkan tidak terdeteksinya kanker endometrium sebanyak 4% pada penggunaan USG transvaginal saat melakukan pemeriksaan pada kasus perdarahan postmenopause, dengan angka false reading sebesar 50%. USG transvaginal dengan atau tanpa warna, digunakan sebagai tehnik skrining. Terdapat hubungan yang sangat kuat dengan ketebalan endometrium dan kelainan pada endometrium. Ketebalan rata-rata terukur 3,4±1,2 mm pada wanita dengan endometrium atrofi, 9,7±2,5 mm pada wanita dengan hiperplasia, dan 18,2±6,2mm pada wanita dengan kanker endometrium. Pada studi yang melibatkan 1.168 wanita, pada 114 wanita yang menderita kanker endometrium dan 112 wanita yang menderita 5 mm. Metode non-invasi lainnya adalah sitologi endometrium namun akurasinya sangat rendah.8
20
Gambar 8. USG Vagina8
Biopsi Pengambilan sampel endometrium, selanjutnya di periksa dengan mikroskop (PA) Cara mendapatkan sampel : aspirasi sitologi dan biopsy hisap (suction biopsy) menggunakan suatu kanul khusus. Alat : novak, serrated novak, kovorkian, explora (mylex), pipelly (uniman), probet.8
Dilatasi dan Kuretase (D&C) Untuk metode invasif antara lain adalah dilatase dan kuretase (D&C). Leher rahim dilebarkan dengan dilatator kemudian hiperplasianya dikuret. Hasil kuret lalu di PA-kan.8
Gambar 9. Dilatasi dan Kuretase8
Hysteroscopy Memasukkan kamera (endoskopi) kedalam rahim lewat vagina. Dilakukan juga pengambilan sampel untuk di PA-kan.8 21
Gambar 10. Hysterescopy8 Penentuan stadium karsinoma endometrium yang akurat adalah melalui prosedur pembedahan, namun pada kasus ini pembedahan belum dilakukan meskipun telah direncanakan. Stadium klinik diperlukan untuk persiapan pembedahan8 Penatalaksanaan Pada sebagian besar kasus, terapi hiperplasia endometrium atipik dilakukan dengan
memberikan
hormon
progesteron.
Dengan
pemberian
progesteron,
endometrium dapat luruh dan mencegah pertumbuhan kembali. Kadang kadang disertai dengan perdarahan per vaginam. Besarnya dosis dan lamanya pemberian progesteron ditentukan secara individual. Setelah terapi\, dilakukan biopsi ulang untuk melihat efek terapi.7 Umumnya jenis progesteron yang diberikan adalah Medroxyprogetseron acetate (MPA) 5 – 10 mg per hari selama 10 hari setiap bulannya dan diberikana selama 3 bulan berturut turut.7 Pada pasien hiperplasia komplek harus dilakukan evaluasi dengan D & C fraksional dan terapi diberikan dengan progestin setiap hari selama 3 – 6 bulan. Pada pasien hiperplasia komplek dan atipik sebaiknya dilakukan histerektomi kecuali bila pasien masih menghendaki anak. Pada pasien dengan tumor penghasil estrogen harus dilakukan ekstirpasi.7 22
Pencegahan Hiperplasia Endometrium Harus diambil langkah untuk menurunkan resiko hiperplasia endometrium : Penggunaan etsrogen pada masa pasca menopause harus disertai dengan pemberian progestin untuk mencegah karsinoma endometrium.7 Bila menstruasi tidak terjadi setiap bulan maka harus diberikan terapi progesteron untuk mencegah pertumbuhan endometrium berlebihan. Terapi terbaik adalah memberikan kontrasepsi oral kombinasi.7 Rubah gaya hidup untuk menurunkan berat badan.7
Daftar Pustaka 1. Cotran dan Robbins. Dasar Patologis Penyakit. Edisi 7. Jakarta : EGC; 2016. h. 145-7.
23
2. Wachidah Q, Salim IA, Adityono. Hubungan hiperplasia endometrium dengan mioma uteri: studi kasus pada pasien ginekologi rsud prof. Dr. Margono Soekardjo, Purwokerto. Purwokerto: Mandala of Health; 2017. h. 5 (3). 3. Branson KH. Gangguan Reproduksi Wanita. Dalam: Price SA, Wilson LM. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Volume 2. Edisi 6. Jakarta: EGC; 2016. h. 1292-93 4. Chandrasoma, Parakrama dan Taylor, Clive. R. Patologi Anatomi. Edisi 2. Jakarta : EGC; 2016. h. 226-9. 5. Endometrial Hyperplasia. The American College of Obstetrician and Gynecologist. 2019.
https://www.acog.org/Patients/FAQs/Endometrial-
Hyperplasia?IsMobileSet=false 6. Prajitno RP. Endometriosis. Dalam: Ilmu kandungan. Jakarta: PT Bina Pustaka Sarwono Prawiroharjo; 2017. h. 314-6 7. Trimble CL, Michael, Leitao M, and for the Society of Gynecologic Oncology Clinical Practice Committe Management of Endometrial Precancers. 2019. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3800154/ 8. Suryawan ID, Sastrawinata U. Hubungan kerapatan reseptor hormone estrogen pada wanita perimenopause terhadap kejadian tipe hiperplasia endometrium. Bandung: Jurnal Kesehatan Masyarakat; 2016. h. 45-8.
24