Jurnal Reading Edited.docx

  • Uploaded by: username
  • 0
  • 0
  • April 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Jurnal Reading Edited.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 21,900
  • Pages: 91
JOURNAL READING Kontaminan Logam Toksik pada Lingkungan dan Resiko Penyakit Kardiovaskular: Tinjauan Sistematis dan Meta-analisis

Diajukan untuk melengkapi tugas kepaniteraan Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal Rumah Sakit Umum Pusat Dokter Kariadi

Dosen Pembimbing: Saebani, SKM, MKes Residen Pembimbing: dr. Lya

Disusun oleh: Ester Marcelia Anastasia Purba Brigitte Fani Florencia Novia Kartina Felisia Varian Wibowo Aldesy Yustika Indriani Andreas Anindito Hermawan Willis Puteri Nabella

FK UKRIDA FK UKRIDA FK UKRIDA FK UKRIDA FK UKRIDA FK UKRIDA FK UKRIDA FK UKRIDA

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU KEDOKTERAN FORENSIK DAN MEDIKOLEGAL RUMAH SAKIT UMUM PUSAT DR. KARIADI SEMARANG PERIODE 08 OKTOBER 2018 – 03 NOVEMBER 201

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Toksikologi merupakan suatu cabang ilmu yang membahas seputar efek merugikan berbagai efek samping yang merugikan dari berbagai agen kimiawi terhadap semua sistem makhluk hidup. Sedangkan toksikologi forensik adalah ilmu yang mempelajari tentang racun dan pengidentifikasian bahan racun yang diduga ada dalam organ atau jaringan tubuh dan cairan korban. Racun sendiri merupakan suatu zat yang apabila kontak atau masuk kedalam tubuh dalam jumlah tertentu (dosis toksik) merusak faal tubuh baik secara kimia maupun fisiologis sehingga menyebabkan sakit atau pun kematian. Untuk kepentingan di bidang forensik, racun dibagi berdasarkan sifat kimia, fisik serta pengaruhnya terhadap tubuh.1 Racun dapat masuk ke dalam tubuh melalui ingesti, inhalasi, injeksi, penyerapan melalui kulit dan pervaginan atau perektal. Intoksikasi merupakan suatu keadaan dimana fungsi tubuh menjadi tidak normal yang disebabkan oleh suatu jenis racun atau bahan toksis lain. Korban mati akibat keracunan umumnya dapat dibagi menjadi 2 golongan, yang sejak semula sudah dicurigai kematian akibat keracunan dan kasus yang sampai saat sebelum di otopsi dilakukan, belum ada kecurigaan terhadap kemungkinan keracunan. Sesuai dengan kepaniteraan yang sedang kami jalani, yaitu bagian Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal dalam jurnal ini akan dititikberatkan pada logam toksik pada lingkungan dan resiko penyakit kardiovaskular, gejala yang ditmbulkan hingga temuan forensik pada korban. 1.2 RUMUSAN MASALAH 1. Apa definisi toksikologi dalam forensik dan faktor yang mempengaruhi 2. Bagaimana toksikokinetik Arsen, Cadmium, Timbal, Tembaga, dan Merkuri 3. Bagaimana hubungan logam toksik tersebut terhadap resiko penyakit kardiovaskular

4. Bagaimana pemeriksaan forensik yang ditemukan pada korban hidup atau mati akibat keracunan Arsen, Cadmium, Timbal, Tembaga, dan Merkuri

1.3 TUJUAN PENULISAN 1.

Mengetahui definisi toksikologi dalam forensik dan faktor yang mempengaruhi

2.

Mengetahui toksikokinetik Arsen, Cadmium, Timbal, Tembaga, dan Merkuri

3.

Mengetahui hubungan logam toksik tersebut terhadap resiko penyakit kardiovaskular

4.

Mengetahui pemeriksaan forensik yang ditemukan pada korban hidup atau mati akibat keracunan Arsen, Cadmium, Timbal, Tembaga, dan Merkuri

1.4 MANFAAT PENULISAN 1. Bagi Dokter dan Tenaga Medis Agar mampu mengidentifikasi tanda-tanda pada korban akibat keracunan Arsen, Cadmium, Timbal, Tembaga, dan Merkuri 2. Bagi Institusi Pendidikan 

Sebagai materi tinjauan pustaka yang diharapkan dapat melengkapi database tinjauan ilmiah yang sudah ada



Sebagai bentuk kotribusi pemikiran kepada masyarakat, terutama terkait kasus-kasus bidang kedokteran forensik yang berkembang di masyarakat

3. Bagi Polisi dan Masyarakat Agar mampu mengenali tanda-tanda pada korban akibat keracunan Arsen, Cadmium, Timbal, Tembaga, dan Merkuri sehingga menjadi informasi tambahan bahaya Arsen, Cadmium, Timbal, Tembaga, dan Merkuri dalam mengurangi pemakaian atau konsumsi berlebihan.

BAB II JOURNAL Environmental toxic metal contaminants and risk of cardiovascular disease: systematic review and meta-analysis Rajiv Chowdhury,1 Anna Ramond,1 Linda M O’Keeffe,2,3 Sara Shahzad,1 Setor K Kunutsor,4,5,6 Taulant Muka,7 John Gregson,8 Peter Willeit,1,9 Samantha Warnakula,1 Hassan Khan,10 Susmita Chowdhury,1 Reeta Gobin,11 Oscar H Franco,7 Emanuele Di Angelantonio1,12,13 1. Department of Public Health and Primary Care, University of Cambridge, Strangeways Research Laboratory, Cambridge CB1 8RN, UK, 2. MRC Integrative Epidemiology Unit, University of Bristol, Bristol, UK, 3. Bristol Population Health Science Institute, Bristol Medical School, Bristol, UK, 4. National Institute for Health Research Bristol Biomedical Research Centre, Bristol, UK, 5. University Hospitals Bristol NHS Foundation Trust, Bristol, UK 6. Translational Health Sciences, Bristol Medical School, Musculoskeletal Research Unit, University of Bristol, Bristol, UK, 7. Institute of Social and Preventive Medicine, Bern, Switzerland 8. Department of Medical Statistics, London School of Hygiene and Tropical Medicine, London, UK, 9. Department of Neurology, Medical University of Innsbruck, Innsbruck, Austria,

10. Emory University, Atlanta, Georgia, USA, 11. University of Guyana, Georgetown, Guyana, 12. National Institute for Health Research Blood and Transplant Research Unit in Donor Health and Genomics, Department of Public Health and Primary Care, University of Cambridge, Cambridge, UK, 13. NHS Blood and Transplant, Cambridge, UK : Koresponden : Dr. : S Shahzad e-mail: [email protected] ABSTRACT OBJECTIVE To conduct a systematic review and meta-analysis of epidemiological studies investigating the association of arsenic, lead, cadmium, mercury, and copper with cardiovascular disease. DESIGN Systematic review and meta-analysis. DATA SOURCES PubMed, Embase, and Web of Science searched up to December 2017. REVIEW METHODS Studies reporting risk estimates for total cardiovascular disease, coronary heart disease, and stroke for levels of arsenic, lead, cadmium, mercury, or copper were included. Two investigators independently extracted information on study characteristics and outcomes in accordance with PRISMA and MOOSE guidelines. Relative risks were standardised to a common scale and pooled across studies for each marker using random effects meta- analyses. RESULT The review identified 37 unique studies comprising 348 259 non-overlapping participants, with 13 033 coronary heart disease, 4205 stroke, and 15 274 cardiovascular disease outcomes in

aggregate. Comparing top versus bottom thirds of baseline levels, pooled relative risks for arsenic and lead were 1.30 (95% confidence interval 1.04 to 1.63) and 1.43 (1.16 to 1.76) for cardiovascular disease, 1.23 (1.04 to 1.45) and 1.85 (1.27 to 2.69) for coronary heart disease, and 1.15 (0.92 to 1.43) and 1.63 (1.14 to 2.34) for stroke. Relative risks for cadmium and copper were 1.33 (1.09 to 1.64) and 1.81 (1.05 to 3.11) for cardiovascular disease, 1.29 (0.98 to 1.71) and 2.22 (1.31 to 3.74) for coronary heart disease, and 1.72 (1.29 to 2.28) and 1.29 (0.77 to 2.17) for stroke. Mercury had no distinctive association with cardiovascular outcomes. There was a linear dose- response relation for arsenic, lead, and cadmium with cardiovascular disease outcomes. CONCULSION Exposure to arsenic, lead, cadmium, and copper is associated with an increased risk of cardiovascular disease and coronary heart disease. Mercury is not associated with cardiovascular risk. These findings reinforce the importance of environmental toxic metals in cardiovascular risk, beyond the roles of conventional behavioural risk factors. INTRODUCION In recent decades, exposures to environmental toxic metals of hydrogeological origin (eg, arsenic, lead, cadmium, mercury, and copper) have become a global public health concern owing to their potential deleterious health effects in humans.1-5 For example, according to the World Health Organization and the International Agency for Research on Cancer, arsenic and cadmium are group I human carcinogens and arsenic is the world’s second leading water-borne cause of mortality.6

7

Metalloids such as arsenic often fall into the category of heavy metals due to

similarity in properties.8 Chronic exposure to high levels of arsenic, cadmium, and other toxic metals has also been associated with higher risk of cancers of the bladder, kidney, liver, lung, and skin.9 Emerging evidence suggests that these toxic metals may have adverse effects on these outcomes even at lower concentrations,5 which might be prevalent in many parts of the world. Additionally, there are increasing suggestions that exposure to arsenic and other (often cooccurring) toxic metals may be an independent risk factor for cardiovascular disease.10

11

However, despite their well established role as immunotoxicants and carcinogens, the associations between environmental toxic metals and risk of clinical cardiovascular disease

outcomes remain less well characterised. Although there are several individual reports published on the topic, they vary greatly in sufficient detail (eg, on associations with diverse cardiovascular outcomes) and in study design (eg, ecological versus individual- level associations). Interpretation of the earlier reviews is difficult, as they were mostly systematic reviews without quantitative synthesis of estimates,12 13 and focused typically on a single toxic metal,14-16 or combined estimates from ecological study designs (which are prone to suffer from substantial bias and confounding).17 Additionally, whether a detrimental association with cardiovascular disease exists in low or medium levels of exposure (ie, typical for many global regions) remains unclear. Therefore, given the global nature of the toxic metal contamination, accurate characterisation of the associations between these environmental contaminants and cardiovascular disease is essential to understand the aetiology of cardiovascular disease, and critically, to inform public health efforts to reduce toxic metal exposure. To help clarify the evidence, we aimed to summarise the available population based epidemiological studies in a comprehensive systematic review and meta-analysis to determine the associations of selected metal contaminants (measured at individual level) with the risk of first-ever cardiovascular outcomes (including cardiovascular disease, coronary heart disease, and stroke), and quantify any dose-response relation. For the current study, we focus primarily on five major toxic metals or metalloids, owing to their global public health relevance. We have included arsenic, lead, cadmium, and mercury, which have been included in the World Health Organization’s list of “Ten chemicals of major public health concern” and have mechanistic links to

potential

cardiovascular diseases.18 19 In addition, we have included copper as it

appears to promote atherosclerosis by enhancing the oxidation of LDL-cholesterol and may increase the risk of clinical cardiovascular disease outcomes.20-23 Methods Search strategy This study

conducted in accordance

with the PRISMA and MOOSE guidelines (see fig

1) and supplementary materials, table S1). We comprehensively searched the MEDLINE, Embase, and Web of Science electronic databases to identify studies published until 5 December 2017 (date of last search), which examined the association between arsenic, lead, cadmium, mercury, and copper with primary outcomes of interest. The primary outcomes were coronary

heart disease (defined as non-fatal myocardial infarction, angina, coronary revascularisation (ie, percutaneous transluminal coronary angioplasty or coronary artery bypass surgery, or coronary heart disease death), stroke (defined as fatal or nonfatal stroke), and composite cardiovascular disease

(comprised of coronary heart disease and stroke). The computer based searches

combined search terms related to the toxic metal exposures (eg, arsenic*, lead*, mercury*, etc) and outcomes of interest (eg, cardiovascular disease*, myocardial infarction*, stroke*, etc), without any language restriction. Further studies were sought by manually searching reference lists of the relevant articles. When relevant information was unavailable, efforts were made to contact corresponding authors. Details of the search strategy are presented in supplementary materials, appendix 1.

Fig 1 | PRISMA flow diagram of search strategy

Selection criteria We included studies if they met the following initial search criteria: were prospective cohort, case-control,

or

nested

case-control

in

design;

had

sampled

from

healthy(ie,

participantsorreferents,whereappropriate, were based on initially healthy participants) or general

populations (ie, populations with both healthy and prevalent cases of cardiovascular disease at baseline); assessed toxic metal exposure at individual level rather than aggregate level (eg, individual-level exposure to arsenic in drinking water); or reported risk estimates for cardiovascular disease, coronary heart disease, or stroke, for at least one toxic metal. We excluded studies for the following reasons: they only reported on mean levels and standard deviations of toxic metals in cases and non-cases; they only assessed exposure to toxic metals using a self reported dietary measure; or were cross-sectional or ecological in design. Two independent reviewers screened the search results to assess conformity with selection criteria, with disagreement resolved with a third reviewer. In cases of multiple publications from a single study, we used the most up to date information. Data extraction and quality assessment Data on the following characteristics were extracted independently by two investigators using standardised protocols: sample size; study design; sampling population; location (defined as Europe, North America, and the Asia-Pacific region); year of baseline survey; study design; age

range

of

participants at baseline; sex; mean levels of environmental contaminants at

baseline; sample type (serum, plasma, or adipose tissue), storage temperature, assay methods; duration of follow-up; numbers of disease outcomes of interest and reported effect estimates with each marker for each outcome; and degree of statistical adjustment used (defined as ‘+’ when relative risks were adjusted for age and sex only; ‘++’ when adjusted for established vascular risk factors (eg, age, sex, smoking status, lipids, hypertension, history of cardiometabolic disease); and ‘+++’ when adjusted other additional factors (eg, social status)). Adequate adjustments for these factors are essential to control for the potential confounding effect by these factors in influencing both levels of toxic metals and the risk of cardiovascular disease, resulting in a spurious association. Two independent reviewers used the Newcastle-Ottawa scale to assess the quality of the included studies.24 This scale uses a star system (with a maximum of nine stars) to assess the quality of a study in three domains: selection of participants; comparability of study groups; and the ascertainment of outcomes of interest. Studies that scored nine stars were considered to be of high quality, studies that scored seven or eight stars were considered to be of medium quality, and studies that scored less than seven stars were considered to be of low quality.

Data synthesis and analysis To enable a consistent approach to meta-analysis and interpretation of findings in this review, relative risk estimates for the association of toxic metals and cardiovascular disease, coronary heart disease, and stroke were transformed to consistently correspond to the comparison of the top versus bottom third of the distribution in each study, using methods previously described.25 Briefly, log risk estimates were transformed assuming a normal distribution, with the comparison between top and bottom thirds being equivalent to 2.18 times the og relative risk for a 1 standard deviation increase (or equivalently, as 2.18/2.54 times the log relative risk for a comparison of extreme quarters). Standard errors of the log relative risks were calculated using published confidence limits and were transformed in the same way. For example, the study by Kromhout et al reported a relative risk of cardiovascular disease of 1.06 (95% confidence interval 0.47 to 2.37) comparing the top versus bottom quartile of lead exposure, corresponding to a log relative risk of 0.058 and standard errors (log relative risk)

of 0.41.26 The conversion of risk

estimates to top versus bottom third exposure of lead in this study is performed as follows: log relative risk(top v bottom third)=(2.18/2.54)*0.058=0.05 and standard errors log relative risk =(2.18/2.54)*0.41=0.35.

We calculated summary relative risks by pooling the study-

specific estimates using a random- effects model that included between study heterogeneity (parallel analyses used fixed-effect models). We assessed the consistency of findings across individual studies by standard ᵡ2 tests and the I2 statistic.27 We assessed heterogeneity between observational cohorts by comparing results from studies grouped according to prespecified study level characteristics (such as study design, location, year of baseline survey, duration of followup, numbers of outcomes recorded, outcome definition, degree of statistical adjustment used, and sample type) using meta-regression. In particular, for studies investigating the association of arsenic with cardiovascular disease outcomes, the impact of the measurement source (biomarker v water) on risk estimates was assessed in subgroup analyses. We assessed evidence of publication bias across studies using funnel plots and Egger test for outcomes where at least three studies were available.28 We performed dose-response meta-analyses using generalised least-squares trend estimation (GLST) analysis as described by Greenland and Longnecker.29 We estimated study-specific slopes (linear trends) from the correlated natural logs of the relative risks across toxic metal

exposure categories. Only studies that reported the number of cases, non-cases, person years of follow-up, and the relative risks with the variance estimates for at least three quantitative exposure categories were included. The median or mean level of the toxic metal in the original scale was assigned to the corresponding relative risk for each exposure category. If data were not available, we estimated the median using the midpoint of each category. When the highest or lowest category was open, we assumed it to be of the same amplitude as the adjacent category. Potential nonlinear dose-response relations were examined by modelling levels of toxic metals using restricted cubic splines.30 A P value for nonlinearity was calculated by testing the null hypothesis that the coefficient of the second spline is equal to zero. All statistical tests were two sided and used a significance level of P<0.05. We performed all analyses using Stata version 12 (StataCorp, College Station, TX).

Patient involvement No patients were involved in setting the research question or the outcome measures, nor were they involved in developing plans for design or implementation of the study. No patients were asked to advise on interpretation or writing up of results. There are no plans to disseminate the results of the research to study participants or the relevant patient community. Results Study level characteristics A total of 37 unique studies reporting on 348 259 distinct patients were identified, including relevant available data on arsenic (12 studies), lead (11), cadmium (8), mercury (9), and copper (6) (see table 1, fig 1, and supplementary material, table S3). Overall, 12 of these studies were based in North America, 17 in Europe, and 8 in the Asia-Pacific region. Thirty three studies were prospective (26 cohorts and 7 nested case-control (ie, casecontrol study nested

in a cohort study) or case-cohort studies) and four studies were case-

control studies. Environmental contaminant measurement methods used in each study are detailed in supplementary materials, table S4. Primary sources of measurement for arsenic were individual-level drinking water (6 studies), urine (4), and toenails (2). Lead and copper levels in

blood were measured in all studies. Cadmium levels in urine were reported in three studies, in blood in four studies, and in toenails in one study. Exposure to mercury levels was measured in hair (2 studies), blood (4), or toenail (3) samples (supplementary material, table S4). Average baseline levels of contaminants in studies reporting baseline exposure ranged from 3.7 μg/L to 4.9 μg/L for arsenic in urine and 0.7 μg/L to 131.1 μg/L for arsenic in drinking water, whereas baseline levels of lead, cadmium, mercury, and copper in blood ranged from 2.6 μg/dL to 44.3 μg/dL, 0.44 μg/L to 1.3 μg/L, 0.004 μg/L to 3.5 μg/L, and 0.96 mg/L to 1.27 mg/L respectively. Table 2 and table 3 show that study quality assessed using the Newcastle-Ottawa scale varied. Most studies were of medium to high quality (score ≥7). Twelve studies (10 cohort, 2 casecontrol) were of low quality. associations between environmental contaminants and the risk of cardiovascular disease outcomes Thirty five studies were included in the meta-analysis of environmental contaminants and cardiovascular disease outcomes. Six studies (one reporting on arsenic, two on cadmium, three on mercury) which did not use an appropriate assessment of heavy metal exposure (ie, use of cadmium levels in toenails) or did not adjust for important confounders of heavy metal exposure (eg, smoking for cadmium or seafood intake for mercury) were excluded from the analysis (table 1). In total, 14 706, 12 033, and 3613 cases of cardiovascular disease, coronary heart disease, and stroke, respectively, across 35 contributing studies were included in the meta-analysis. The total follow-up duration ranged from five to 36 years in the prospective studies. Twenty three studies adjusted for conventional risk factors for cardiovascular disease including age, sex, and sociodemographic factors (ethnicity, education, income) as well as additional risk factors such as smoking status, blood pressure, lipids, and medical history. Thirteen studies adjusted for age, sex, and sociodemographic factors. Three studies adjusted for age and sex only. Figure 2 shows the summary plot for cardiovascular disease, coronary heart disease, and stroke comparing participants in the top third with those in the bottom third of various environmental contaminants. Figure 3, figure 4, and figure 5 show the forest plots for each separate outcome. Arsenic, lead, cadmium, and copper were significantly associated with the risk of coronary heart disease, with respective relative risks of 1.23 (95% confidence interval 1.04 to 1.45), 1.85 (1.27 to 2.69),

1.29 (0.98 to 1.71), and 2.22 (1.31 to 3.74). There was no association of mercury levels with coronary heart disease, relative risk of 0.99 (0.65 to 1.49). There was evidence of heterogeneity in coronary heart disease estimates across studies for most environmental contaminants (I2=78%, P<0.001 for arsenic; I2=66%, P=0.005 for lead; I2=52%, P=0.08 for cadmium; I2=85%, P<0.001 for mercury; and I2=67%, P=0.03 for copper;). Similar to the risk of coronary heart disease, arsenic, lead, cadmium, and copper levels were also associated with an increased risk of cardiovascular disease (respective relative risks of 1.30, 95% confidence interval 1.04 to 1.63; 1.43, 1.16 to 1.76; 1.33, 1.09 to 1.64; and 1.81, 1.05 to 3.11). There was no evidence of an association of mercury levels with the risk of cardiovascular disease (0.94, 0.66 to 1.36). However, there was significant of heterogeneity

evidence

in cardiovascular disease estimates across studies (I2 ranging from 68%,

P=0.001 for lead to 84%, P<0.001 for mercury). Lead and cadmium were also associated with a significantly increased risk of stroke (respective relative. risks of 1.63, 95% confidence interval 1.14 to 2.34 and 1.72, 1.29 to 2.28) with no evidence of heterogeneity across studies (I2=0%, P=0.76 and I2=10%, P=0.33). There was no evidence of an association of arsenic with risk of stroke, with little to no evidence of heterogeneity in stroke estimates across studies for either contaminant (I2=56%, P=0.08).

Fig 2 | Summary of the association of environmental contaminants with cardiovascular outcomes. Pooled risk estimates were calculated using random effects meta-analyses. the relative risk compares the risk for each outcome in individuals in the top third with those in the bottom third of baseline levels of the environmental contaminants (ie, extreme thirds). risk estimates from separate studies were typically adjusted for basic demographics (eg, age, sex, systolic blood pressure, smoking, history of diabetes, etc)

Dose-response meta-analyses The dose-response relations between levels of toxic metals and cardiovascular outcomes, based on available relevant data are shown in supplementary materials, figure S1. Only two studies reporting on exposure to arsenic in drinking water, three studies reporting on exposure to cadmium, and four studies reporting on exposure to lead, provided sufficient information to perform the dose-response analysis. In summary, for baseline arsenic levels in well water and risk of cardiovascular disease, there was evidence of a linear association across the full spectrum of arsenic levels (0 μg/L to 369.5 μg/L, P=0.31 for nonlinearity; see supplementary material, fig S1A). Similarly, there was evidence of a linear association between lead levels in blood and the risk of coronary heart disease (P=0.677 for nonlinearity; see supplementary material, fig S1B),

with a pooled relative risk for risk of coronary heart disease per 5 μg/dL increment in lead levels being 1.07 (95% confidence interval 1.04 to 1.10). By contrast, for the association between cadmium levels in urine and the risk of cardiovascular disease, an initial steep increase in risk (within urine cadmium levels of 0.11 μg/g to 1.41 μg/g) was followed by a weaker increase in risk beyond 1.41 μg/g. The relative risk of cardiovascular disease for each 0.75 μg/g increment of cadmium was 1.21 (95% confidence interval 1.09 to 1.33, P=0.656 for nonlinearity; see supplementary materials, fig S1C). There was a significant linear association between cadmium levels in urine and the risk of coronary heart disease (P=0.865 for nonlinearity; see supplementary materials, fig S1D).

Subgroup analyses and assessment of publication bias Little of the variation in risk estimates across contaminants was explained by any of the recorded study level characteristics (P>0.05 for most factors investigated; see supplementary materials, fig S2- S6). For example, there was no significant difference in relative risks for cardiovascular disease across the types of individual exposures (eg, blood v other measurement sources; P>0.05). Additionally, pooled relative risks were all generally similar regardless of the level of adjustment for possible confounding factors considered in the included studies, by geographical location, baseline health, or size of the studies. In analyses investigating the effect of arsenic

measurement source (urine and toenails v water) on risk estimates of cardiovascular disease, coronary heart disease, and stroke, risk estimates were comparable between studies with no evidence of significant heterogeneity between studies measuring arsenic in drinking water versus biomarkers (see supplementary materials, fig S7). Subgroup analyses comparing the risk of cardiovascular disease, coronary heart disease, and stroke in never-smokers compared to current and former smokers produced similar results for arsenic and cadmium exposure (see supplementary materials, fig S8 and S9). Funnel plots (see supplementary materials, fig S10S14) and tests for publication bias for other markers and outcomes were non-significant for most contaminants (P>0.05), however, there was evidence of publication bias for studies reporting on arsenic association with cardiovascular disease (P=0.01) and coronary heart disease (P<0.001) (see supplementary materials, table S5).75

Fig 3 | association between environmental contaminants and cardiovascular disease. Nr=not reported; +=minimally adjusted (typically adjusted for age and sex only); ++=adjusted for at least one non blood based cardiovascular risk factor (eg, systolic blood pressure, body mass index, history of diabetes, etc); +++=additionally adjusted for at least one blood based cardiovascular risk factor (eg, total cholesterol, c-reactive protein, etc)

Discussion Principal findings We have conducted a systematic review and meta-analysis, using non-overlapping data from approximately 350 000 participants from 37 studies, to help clarify available evidence on the associations of environmental toxic elements with the risk of cardiovascular disease. Overall, our results indicate that exposures to arsenic, lead, cadmium, and copper are each positively and importantly associated with cardiovascular disease and coronary heart disease, cardiovascular disease and stroke, or all cardiovascular outcomes. By contrast, mercury was not significantly associated with cardiovascular risk. Additionally, based on relevant available data, the shape of associations for levels of arsenic, lead, and cadmium with cardiovascular outcomes was approximately linear. comparison with other studies Findings observed in this review may have several potential explanations. We found a positive association of arsenic, an environmental toxic metal found in large quantities in rice and groundwater in many parts of the world, with the risk of coronary heart disease.76-77 Arsenic exposure has been reported to accelerate and exacerbate atherosclerosis in apolipoprotein Eknockout mice.78-79 Clinical and experimental studies of arsenic exposure have reported the production of reactive oxygen species in endothelial cells,80 up regulation of inflammatory signals,81 and higher blood pressure.82-84 These findings extend several previous epidemiological studies that reported striking associations with Blackfoot disease (a severe peripheral vascular disease) in people exposed to extremely high cumulative doses of arsenic.85-86 Although circulating levels of lead seem to be in decline in the developed world,87 owing principally to the concomitant decrease in the usage of leaded gasoline and leaded paint, lead exposure remains considerably high in many areas.5,88 The strong positive association found in our review between lead and the risk of cardiovascular disease, reinforces lead exposure as a major public health concern.89 Two key pathways by which lead has been implicated in the risk of cardiovascular disease are mediation through accelerated systolic blood pressure and damage to renal function.90 Previous studies have also suggested an association of lead with atherosclerosis as a result of lead-induced oxidative stress and inflammation after exposure.11 15 The present review also shows a positive association of copper with cardiovascular disease, as suggested in previous studies.91-92 While copper is an essential trace element, excess copper can

induce oxidative stress by generation of reactive oxygen species.11 Copper- mediated lipid peroxidation has been demonstrated in several in vivo and in vitro studies.21 Another possible mechanism for the potential deleterious effects of copper is through a copper-homocystein complex which have been suggested to induce endothelial dysfunction and vascular injury.93 For both arsenic and copper, albeit based on limited data, the potentially linear dose-response relation that we have observed indicates that even at lower average exposure levels (common in many global regions), these toxic metals may have a detrimental impact on vascular health. We also observed a positive association between levels of cadmium and cardiovascular disease, which was independent of several potential risk of cardiovascular disease factors (including smoking status). Cadmium’s adverse effects on the vascular system are thought to be mediated by oxidative stress, inflammation, and endothelial cell damage, which can result in atherosclerosis. This is important as cadmium is widely prevalent in groundwater and common plant- based foods (eg, rice and vegetables).94 Conversely, mercury, a potentially toxic trace metal that humans are exposed to primarily through fish consumption,95 was not significantly associated with the risk of cardiovascular disease in the current review. Although some individual studies have observed inverse relations between mercury levels and the risk of cardiovascular disease,62-66 there is currently no accepted biological explanation that supports such a link.66

Fig 4 | association between environmental contaminants and coronary heart disease. Nr=not reported; +=minimally adjusted (typically adjusted for age and sex only); ++=adjusted for at least one non blood based cardiovascular risk factor (eg, systolic blood pressure, body mass index, history of diabetes, etc); +++=additionally adjusted for at least one blood based cardiovascular risk factor (eg, total cholesterol, c-reactive protein, etc) Comparison with other studies Findings observed in this review may have several potential explanations. We found a positive association of arsenic, an environmental toxic metal found in

large quantities in rice and groundwater in many parts of the world, with the risk of coronary heart disease.76-77 Arsenic exposure has been reported to accelerate and exacerbate atherosclerosis in apolipoprotein E-knockout mice.78-79 Clinical and experimental studies of arsenic exposure have reported the production of reactive oxygen species in endothelial cells,80 up regulation of inflammatory signals,81 and higher blood pressure.82-84 These findings extend several previous epidemiological studies that reported striking associations with Blackfoot disease (a severe peripheral vascular disease) in people exposed to extremely high cumulative doses of arsenic.85-86 Although circulating levels of lead seem to be in decline in the developed world,87 owing principally to the concomitant decrease in the usage of leaded gasoline and leaded paint, lead exposure remains considerably high in many areas.5-88 The strong positive association found in our review between lead and the risk of cardiovascular disease, reinforces lead exposure as a major public health concern.89 Two key pathways by which lead has been implicated in the risk of cardiovascular disease are mediation through accelerated systolic blood pressure and damage to renal function.90 Previous studies have also suggested an association of lead with atherosclerosis as a result of lead-induced oxidative stress and inflammation after exposure.11-15 The present review also shows a positive association of copper with cardiovascular disease, as suggested in previous studies.91-92 While copper is an essential trace element, excess copper can induce oxidative stress by generation of reactive oxygen species.11 Coppermediated lipid peroxidation has been demonstrated in several in vivo and in vitro studies.21 Another possible mechanism for the potential deleterious effects of copper is through a copperhomocystein complex which have been suggested to induce endothelial dysfunction and vascular injury.93 For both arsenic and copper, albeit based on limited data, the potentially linear doseresponse relation that we have observed indicates that even at lower average exposure levels (common in many global regions), these toxic metals may have a detrimental impact on vascular health. We also observed a positive association between levels of cadmium and cardiovascular disease, which was independent of several potential risk of cardiovascular disease factors (including smoking status). Cadmium’s adverse effects on the vascular system are thought to be mediated by oxidative stress, inflammation, and endothelial cell damage, which can result in atherosclerosis. This is important as cadmium is widely prevalent in groundwater and common plantbased foods (eg, rice and vegetables).94 Conversely, mercury, a potentially toxic trace metal that humans are exposed to primarily through fish consumption,95 was not significantly

associated with the risk of cardiovascular disease in the current review. Although some individual studies have observed inverse relations between mercury levels and the risk of cardiovascular disease,62-66 there is currently no accepted biological explanation that supports such a link.66

Strengths and limitations of the study Strengths and limitations of the study Strengths and limitations of this work merit careful consideration. This is the first comprehensive metaanalysis of several key environmental toxic

metals in relation to the risk of cardiovascular disease. We have focused solely on individuallevel assessments of exposure to toxic metals, and performed our analyses based primarily on toxic metals measured directly using an objective biomarker or well established measures of individual level exposure such as arsenic in drinking water. However, it should be noted that the biological determinants, precision of measurements and ability to reflect long term exposure may differ across various biomarkers.96 Therefore, to ensure consistent long term exposure assessment, the use of repeated measurements over time that accounts for any potential individual variation in levels (ie, regression dilution)97 should be considered in future studies.55 Furthermore, most studies that measured arsenic and cadmium levels in urine were based on spot or first morning void samples, which might be limited by the fact that they reflect the hydration status of the individual at the time of collection, and therefore, may differ markedly in dilution owing to differences in urinary flow rate,98 and differences in stability and reproducibility of metals measured in them. Additionally, although over half the risk estimates for urinary arsenic and cadmium from all included studies were creatinine adjusted, some were unadjusted for any marker of urinary dilution. While this review is limited to published findings, the use of individual participant data, in future largescale primary studies, would allow a more detailed and specific assessment of the association between the considered environmental toxic metals and cardiovascular disease, including: assessing the role of routes of exposure (eg, environmental v occupational); a standardised adjustment for confounders (eg, smoking status); reduce heterogeneity resulting from meta-analysis of diverse study populations; and a more consistent characterisation of any potential dose-response relation. Such comprehensive assessments are currently underway.99-100 Equally, our review was solely based on observational data which might be affected by unmeasured confounders – making a causal inference difficult. In this regard, an earlier randomised trial, based on people with pre-existing cardiovascular disease, suggested that moderate reduction of cardiovascular events occured after intravenous chelation therapy (which facilitates urinary excretion of heavy metals)101 compared with placebo. However, further conclusive trials, especially those involving general populations, are needed. Additionally, the identification of polymorphisms influencing circulating levels of these toxic metals which can be used as proxies for circulating levels (such as polymorphisms near AS3MT, MT1A/B),102-104 may also allow future investigations of potential causal associations with disease using instrumental variable analysis (ie, mendelian randomisation analyses).105

Implications for clinicians and policy makers Our findings may have important policy and scientific implications. Firstly, these findings highlight the importance of environmental toxic metals in enhancing cardiovascular risk, beyond the roles of conventional behavioural risk factors (such as tobacco use and unhealthy diet). These results may have a key policy implication given that current global noncommunicable disease prevention strategies (eg, WHO 2018 Report)106 are focused primarily on tackling behavioural determinants. Recognising environmental factors (such as toxic metals) as additional priorities, therefore, will help gain wider sociopolitical support for setting up appropriate legislation, preventive strategies and standards, and investment to tackle these major global determinants of cardiovascular diseases. Secondly, the observed associations appeared approximately linear for arsenic, lead, and cadmium levels with cardiovascular disease outcomes, indicating the risk of adverse health consequences even at a relatively low exposure of these toxic metals. Nonetheless, these current findings warrant further detailed research to reliably quantify suboptimal levels to define individuals at risk and to trigger appropriate clinical action. Presently, in clinical practice, toxicity for these metals, if suspected, are established through a range of diagnostic investigations including blood and 24-hour urinary analyses and typically involving an inductively

coupled

plasma

mass

spectrometry

analytical

technique

for

elemental

determinations.107 Treatment options for heavy metal toxicity include various antidotes and chelating agents (which enhance the elimination of metals from the body) such as succimer (DMSA), unithiol (DMPS), sodium calcium edetate, and dimercaprol.108 However, since efficacy and response of these therapies vary greatly,109 primary prevention, by developing evidence based public health guidelines and innovative low cost, scalable interventions to reduce human exposure to these contaminants, should be prioritised. Conclusion Results of this metaanalysis indicate that exposure to arsenic, lead, cadmium, and copper is associated with an increased risk of cardiovascular disease and coronary heart disease. By contrast, mercury was not associated with cardiovascular risk. These findings reinforce the (often under-recognised) importance of environmental toxic metals in cardiovascular risk, beyond the roles of conventional behavioural risk factors. Further detailed work, however, to better characterise these associations and to assess causality, is needed.

JURNAL TERJEMAHAN Kontaminan logam toksik pada lingkungan dan resiko penyakit kardiovaskular: tinjauan sistematis Paparan << dampak buruk pada kesehatan vaskular dan meta-analisis

Abstrak Tujuan Melakukan penelitian secara tinjauan sistematis dan meta-analisis terhadap studi epidemiologi mengenai hubungan arsen, timbal, cadmium, merkuri dan tembaga terhadap penyakit kardiovaskuler. Desain Penelitian Tinjauan sistematis dan meta analisis Sumber data Pencarian data menggunakan Pubmed, Embase, dan Web of Science hingga Desember 2017 Tinjauan Sistematis Penelitian-penelitian melaporkan mengenai perkiraan resiko pada penyakit kardiovaskuler, penyakit jantung coroner, dan stroke yang dipengaruhi oleh kadar arsen, timbal, cadmium, merkuri atau tembaga. Penelitian ini menggunakan dua investigator yang melakukan ektraksi informasi mengenai karakteristik studi secara independent menggunakan pedoman PRISMA dan MOOSE. Risiko relatif disetarakan sesuai dengan skala umum, serta semua penelitian dikumpulkan, dengan setiap penanda (marker) menggunakan metanalisis efek acak (random effect meta analysis). Hasil Pada tinjauan ini didapatkan 37 penelitian dengan 348.259 partisipan yang terdiri dari 13.033 peserta yang mengalami penyakit jantung coroner, 4205 stroke, dan 15.274 peserta dengan penyakit kardiovaskuler. Bila dibandingkan kadar limbah ketiga tertinggi dengan ketiga terendah, resiko relatif pada kadar arsen dan timbal adalah 1.30 (interval kepercayaan 95% 1.04

hingga 1.63) dan 1.43 (1.16 hingga 1.76) untuk penyakit kardiovaskuler, 1.23 (1.04 hingga 1.45) dan 1.85 (1.27 hingga 2.69) untuk penyakit jantung coroner, dan 1.15 (0.92 hingga 1.43) dan 1.63 (1.14 hingga 2.34) untuk stroke. Resiko relatif untuk kadar kadmium dan tembaga adalah 1.33 (1.09 hingga 1.64) dan 1.81 (1.05 hingga 3.11) untuk penyakit kardiovaskular, 1.29 (0.98 hingga 1.71) dan 2.22 (1.31 hingga 3.74) untuk penyakit jantung coroner, dan 1.72 (1.29 hingga 2.28) dan 1.29 (0.77 hingga 2.17) untuk stroke. Untuk kadar merkuri tidak ada hubungan dengan terjadinya penyakit kardiovaskular. Terdapat hubungan yang linier antara dosis dengan respon pada arsen, timbal, dan cadmium dengan penyakit kardiovaskuler. Kesimpulan Paparan arsen, timbal, cadmium, dan tembaga berhubungan dengan peningkatan resiko penyakit kardiovaskular dan penyakit jantung coroner. Merkuri tidak ada hubungan dengan resiko penyakit kardiovaskular. Temuan-temuan ini mendukung adanya kaitan antara kadar logam toksik terhadap resiko penyakit kardiovaskular, selain faktor konvensional lainnya seperti kebiasaan, dan lain-lain

Pendahuluan Dalam dekade terakhir, paparan terhadap logam toksik pada lingkungan yang berasal dari hidrogeologikal (seperti arsen, timbal, cadmium, merkuri dan tembaga) menjadi perhatian kesehatan global karena efek yang merugikan pada kesehatan. Sebagai contoh, menurut WHO dan International Agency for Research on Cancer, arsen dan cadmium adalah karsinogen manusia kelompok I, selain itu arsen adalah penyebab kematian kedua dengan media air (waterborne) di dunia. Metaloid seperti arsen sering dikategorikan ke dalam logam berat yang memiliki sifat yang sama dengan yang lainnya. Paparan kronik terhadap kadar arsen, cadmium dan logam toksik lainnya yang tinggi juga berhubungan dengan resiko yang lebih tinggi terhadap kanker kandung kemih, ginjal, hati, paru dan kulit. Penelitian yang sedang berkembang, menjelaskan tentang logam-logam toksik ini bisa menyebabkan kejadian yang tidak diinginkan (adverse effects) dengan dosis rendah sekalipun. Selain itu, adanya peningkatan informasi bahwa paparan arsen dan logam toksik lainnya menjadi faktor resiko independent terhadap kejadian penyakit kardiovaskular. Meskipun banyak laporan

yang menyatakan bahwa limbah logam-logam tersebut berperan sebagai imunotoksik dan karsinogen, hubungan antara logam toksik pada lingkungan dan resiko penyakit kardiovaskular masih belum jelas. Walaupun banyak laporan secara individu mengenai topik ini, dengan banyak variasi dan cukup rinci (seperti, hubungan antara logam toksik tersebut terhadap beberapa penyakit kardiovaskuler) dan dengan berbagai jenis penelitian (contoh, perbandingan antara kadar dalam individu dengan kadar lingkungan). Sulitnya dalam menginterpretasi tinjauan sebelumnya karena tinjauan sistematis tersebut tidak ada estimasi sintesis secara kuantitatif (without quantitative synthesis of estimates) dan lebih berfokus pada logam toksik tunggal, atau gabungan yang diperkirakan dari desain penelitian ekologikal (dimana akan terjadi bias dan membingungkan). Oleh karena itu, paparan logam toksik yang ada di dunia, karakterisasi yang akurat dan hubungannya antara kontaminan lingkungan ini dengan penyakit kardiovaskular adalah hal-hal yang penting untuk memahami penyebab penyakit kardiovaskular, dan secara kritis, untuk menginformasikan kepada tenaga kesehatan umum untuk menurunkan kadar paparan logam toksik. Guna membuktikan kebenaran dari penelitian-penelitian yang sudah dilakukan maka kami melakukan penelitian dengan meta analisis dan tinjauan sistematis dengan merangkum semua penelitian epidemiologi mengenai pengaruhnya kontaminan logam tertentu (yang diukur secara individu) terhadap risiko pada jantung dan pembuluh darah (termasuk penyakit kardiovaskular, penyakit jantung coroner dan stroke), serta mengukur hubungan respon-dosis. Dalam penelitian ini, kami berfokus pada lima logam beracun utama atau metaloid, antara lain arsen, timbal, cadmium dan merkuri yang sudah dikelompokkan oleh WHO dalam “Sepuluh bahan kimia yang menjadi perhatian kesehatan public” dan memiliki potensi secara mekanis dalam mempengaruhi penyakit kardiovaskular. Sebagai tambahan, kami juga memasukkan tembaga dimana tembaga dapat menyebabkan aterosklerosis dengan mengoksidasi kolesterol meningkatkan risiko penyakit kardiovaskular.

Metode

LDL dan dapat

Strategi Pencarian Dalam pencarian, penelitian ini menggunakan pedoman PRISMA dan MOOSE (lihat gambar 1) dan material tambahan, tabel S1). Pencarian dilakukan secara menyeluruh di situs eletronik MEDLINE, Embase, dan Web of Science untuk mengidentifikasi penelitian yang dipublikasi hingga 5 Desember 2017 (tanggal pencarian terakhir), mengenai penelitian yang menguji hubungan antara arsen, timbal, cadmium, merkuri dan tembaga dengan antara lain penyakit jantung coroner (infark myokard yang non fatal, angina, revaskularisasi coroner (contoh, angioplasty perkutan atau bedah bypass arteri coroner, atau kematian akibat penyakit koroner), stroke (stroke fatal dan non fatal), dan penyakit kardiovaskular gabungan dengan penyakit stroke sebagai efek utamanya.Pencarian penelitian dengan komputer yang berjudul paparan logam toksik (contoh, arsen, timbal, merkuri dan lain-lain) dan pengaruhnya terhadap penyakit kardiovaskular, infark myocard, stroke dan lain-lain. Penelitian lebih lanjut dicari secara manual dengan mencari daftar referensi yang relevan dengan artikel. Apabila tidak bisa mendapatkan referensi yang dituju, maka dengan mengontak penulis, rincian mengenai strategi pencaian dicantumkan dengan material tambahan, pada appendix 1. Kriteria Seleksi Kriteria yang dapat dijadikan bahan penelitian adalah penelitian kohort prospektif, kasus-kontrol atau nested case-control; memiliki sampel sehat atau populasi umum; sudah memeriksa paparan logam toksik terutama pada individu dibandingkan secara agregat (contoh, kadar arsen individu pada air minum); atau laporan mengenai perkiraan resiko untuk penyakit kardiovaskular, penyakit jantung coroner, atau stroke, pada orang yang terpapar minimal satu logam toksik. Kriteria eksklusinya adalah antara lain: pelaporan hanya berupa kadar rata-rata dan standard deviasi baik pada yang sakit maupun yang tidak sakit (case and non case); hanya memeriksa paparan logam toksik berdasarkan makanan yang dijelaskan oleh pesertanya sendiri; atau dengan studi cross-sectional atau ekologikal. Dua peninjau akan menyaring hasil pencarian untuk menyesuaikan kriteria inklusi. Bila ada publikasi di berbagai tempat dari suatu penelitian, maka yang digunakan adalah informasi yang paling dini.

Hasil Data dan Uji Kualitas Hasil pencarian data dengan kriteria tertentu dengan 2 investigator dengan protokol yang sesuai standar: jumlah sampel; desain penelitian; populasi sampling; lokasi ( eropa, amerika utara dan regio asia pasifik); tahun survey; rentang usia peserta; jenis kelamin; kadar rata-rata limbah lingkungan; tipe sampel (serum, plasma, atau jaringan adiposa), suhu penyimpanan, metode assay; durasi penindaklanjutan; jumlah penyakit dan jumlah penyakit; dan tingkat penyesuaian statistic (‘+’ ketika resiko relative hanya berdasarkan usia dna jenis kelamin; ‘++’ bila disesuaikan dengan faktor resiko vascular (cotoh, usia, jenis kelamin, penggunaan rokok, kadar lemak, hipertensi, riwayat penyakit kardiovaskular); dan ‘+++’ bila disesuaikan dengan faktor tambahan lainnya (status sosial).

Gambar 1. Diagram PRISMA untuk strategi pencarian

Penyesuaian adekuat untuk faktor-faktor ini penting sebagai kontrol pada kemungkinan adanya efek yang membingungkan dari faktor-faktor ini dalam mempengaruhi kadar logam toksik dan resiko penyakit kardiovaskular, yang menyebabkan suatu asosiasi yang salah. Dua peninjau independent menggunakan skala Newcastle-Ottawa untuk menguji kualitas penelitian dengan tiga domain: pemilihan peserta; perbandingan kelompok penelitian; dan pemastian penyakit. Penelitian yang mendapat skor 9 bintang dinilai berkualitas tinggi, penelitian dengan skor tujuh

atau delapan bintang dinilai kualitas sedang, dan penelitian kurang dari tujuh bintang dinilai kualitas rendah. Sintesis dan analisis data Untuk menghasilkan intepretasi yang konsisten pada meta analisis ini, estimasi resiko relatif antara logam toksik dengan penyakit kardiovaskular, penyakit jantung koroner dan stroke ditransformasikan dengan membandingkan distribusi teratas dengan ketiga terbawah dalam setiap penelitian, dengan metode yang sudah dijelaskan sebelumnya. Secara singkat, estimasi log risk ditransformasikan sehingga dapat diasumsikan distribusi normal, dengan perbandingan antara nilai teratas dengan ketiga terbawah ekuivalen atau setara dengan 2.18 kali log relative risk untuk 1 standar deviasi (atau setara dengan 2.18/2.54 kali log relatif risk untuk perbandingan extreme quarters). Dalam menghitung standar eror dari log relative risks, digunakan angka kepercayaan sesuai dengan yang telah dipublikasikan dan ditransformasikan dengan cara yang sama. Sebagai contoh, penelitian oleh Kromhout et al melaporkan resiko relatif dari penyakit kardiovaskular 1.06 (dengan angka kepercayaan 95% antara 0.47 hingga 2.37) sesuai dengan nilai log relative risk 0.058 dan standar eror dari log relative risksnya adalah 0.41. Dalam melakukan konversi estimasi risiko antara nilai tertinggi dengan ketiga terbawah dari paparan timbal dalam penelitian ini adalah dengan cara sebagai berikut: Log relative risk (top vs bottom third) = (2.18/2.54)*0.058 = 0.05 dan standar eror dari log relative risk (top vs bottom third) = (2.18/2.54)*0.41 = 0.35. Kami mengkalkulasi total dari resiko relatif dengan mengumpulkan estimasi setiap penelitian dengan random effect model dan studi heterogenitas (Analisa parallel menggunakan model fixed-effect). Kami menguji konsistensi dari hasil pencarian berdasarkan hasil tes chi square dan statistic I2 standar. Kami menguji heterogenitas pada studi kohort observasional dengan membandingkan hasil penelitian sesuai dengan yang sudah dikelompokkan berdasarkan karakteristik studi (seperti desain penelitian, lokasi, tahun survey, durasi penindaklanjutan, jumlah hasil yang terekam, definisi hasil, tingkat penggunaan penyesuaian statistic, dan tipe sampel) dengan meta-regresi. Kami menguji bias yang disebabkan oleh publikasi dengan funnel plots dan egger test, pada minimal 3 penelitian yang sama. Pengujian respon-dosis secara meta-analisis dengan generalized least-squares trend estimation (GLST) analysis yang dideskripsikan oleh Greenland dan Longnecker.

Hasil Karakteristik Penelitian Sebanyak 37 penelitian melaporkan bahwa pada 348.259 pasien yang berbeda dilakukan identifikasi, termasuk data yang relevan mengenai arsenik (12 penelitian), timbal (11), kadmium (8), merkuri (9), dan tembaga (6) (lihat tabel 1, gambar 1, dan materi tambahan pada tabel S3). Secara keseluruhan, 12 dari penelitian ini dilakukan di Amerika Utara, 17 di Eropa, dan 8 di kawasan Asia-Pasifik. Tiga puluh tiga penelitian bersifat prospektif (26 kohort dan 7 nested casecontrol (yaitu, penelitian nested case-control dalam sebuah penelitian kohort) atau penelitian kasus-kohort) dan empat penelitian merupakan case-control. Metode pengukuran kontaminan lingkungan yang digunakan dalam setiap penelitian dijelaskan dalam materi tambahan pada tabel S4. Sumber utama pengukuran arsen berasal dari tingkat konsumsi air minum per individu (6 penelitian), urin (4), dan kuku ibu jari (2). Kadar timbal dan tembaga dalam darah diukur dalam semua penelitian. Kadar kadmium dalam urin dilaporkan pada tiga penelitian, dalam darah pada empat penelitian, dan dalam kuku kaki pada satu penelitian. Paparan terhadap merkuri diukur pada rambut (2 penelitian), darah (4), atau kuku (3) (materi tambahan, tabel S4). Kadar kontaminan rata-rata yang dilaporkan pada penelitian berkisar antara 3,7 mg / L sampai 4,9 mg / L untuk arsenik dalam urin dan 0,7 mg / L sampai 131,1 mg / L untuk arsenik dalam air minum, sedangkan kadar timbal, kadmium, merkuri, dan tembaga dalam darah berkisar antara 2,6 ug / dL sampai 44,3 mg / dL, 0,44 mg / L sampai 1,3 mg / L, 0,004 mg / L sampai 3,5 mg / L, dan 0,96 mg / L sampai 1,27 mg / L, masing-masing secara beurutan. Tabel 2 dan Tabel 3 menunjukkan bahwa kualitas yang dinilai dalam penelitian menggunakan skala Newcastle-Ottawa secara bervariasi. Pada umumnya hasil penelitian berkualitas sedang hingga tinggi (skor ≥7). Sedagkan dua belas penelitian lainnya (10 kohort, 2 kasus-kontrol) berkualitas rendah. Asosiasi Antara Kontaminan Lingkungan Dan Risiko Penyakit Kardiovaskular Meta-analisis ini melibatkan 35 penelitian mengenai kontaminan lingkungan dan penyakit kardiovaskular. Enam penelitian (satu pelaporan mengenai arsenik, dua mengenai kadmium, dan tiga mengenai merkuri) yang tidak menggunakan penilaian yang tepat untuk paparan logam berat (yaitu, penggunaan tingkat kadmium dalam kuku kaki) atau tidak menyesuaikan paparan logam

berat lainnya (misalnya, merokok untuk kadmium atau asupan makanan laut untuk merkuri) dikeluarkan dari analisis (tabel 1). Jumlah kasus pada 35 penelitian dalam meta analisis ini sebanyak 14.706 kasus penyakit kardiovaskular, 12.033 kasus penyakit jantung koroner, dan 3613 kasus stroke. Total durasi follow-up berkisar antara lima sampai 36 tahun. Dua puluh tiga penelitian menambahkan variable lain sepeti faktor risiko konvensional untuk penyakit kardiovaskular termasuk usia, jenis kelamin, dan faktor sosiodemografi (etnis, pendidikan, pendapatan) serta faktor risiko tambahan seperti status merokok, tekanan darah, lipid, dan riwayat medis. Tiga belas penelitian lainnya melakukan penilaian terkait usia, jenis kelamin, dan faktor sosiodemografi. Sementara pada tiga penelitian hanya menilai usia dan jenis kelamin saja. Gambar 2 menunjukkan ringkasan plot mengenai ketiga penyakit (penyakit kardiovaskular, penyakit jantung koroner, dan stroke) yang membandingkan antara responden ketiga teratas dengan responden ketiga terbawah yang terpapar kontaminan lingkungan. Gambar 3, gambar 4, dan gambar 5 menunjukan plot untuk setiap penyakitnya.

Gambar 2 | Ringkasan dari asosiasi kontaminan lingkungan dengan penyakit kardiovaskular. Pooled risk estimate dihitung dengan menggunakan efek acak metaanalisis. risiko relatif membandingkan risiko untuk setiap hasil pada individu di ketiga atas dengan orang-orang di ketiga bawah tingkat dasar dari kontaminan lingkungan (yaitu, pertiga ekstrim). estimasi risiko dari studi terpisah yang biasanya disesuaikan dengan demografi dasar (misalnya, usia, jenis kelamin, tekanan darah sistolik, merokok, riwayat diabetes, dll)

Arsenik, timbal, kadmium, dan tembaga memiliki hubungan yang signifikan dengan risiko penyakit jantung koroner, dengan risiko relatif masing-masing sebesar 1,23 (Interval Kepercayaan 95%,

1,04-1,45), 1,85(1,27-2,69), 1,29(0,98-1,71), dan 2,22(1,31-3,74) secara

berurutan. Sementara untuk merkuri tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan penyakit jantung koroner, dengan risiko relatif sebesar 0,99 (0,65-1,49). Ditemukan adanya heterogenitas pada perkiraan penyakit jantung koroner pada semua penelitian untuk sebagian besar kontaminan lingkungan (I

2 =

78%, P <0.001 untuk arsenik; I 2 = 66%, P = 0,005 untuk timbal; I 2 = 52%, P

=0,08 untuk kadmium; I

2 =

85%, P <0.001 untuk merkuri; dan I

2 =

67%, P = 0,03 untuk

tembaga;). Seperti pada risiko penyakit jantung koroner, kadar arsenik, timbal, kadmium, dan tembaga juga dikaitkan dengan peningkatan risiko penyakit kardiovaskular (risiko relatif masing-masing 1,30, Interval Kepercayaan 95%, 1,04-1,63; 1,43, 1,16-1,76; 1,33, 1,09-1,64; dan 1,81, 1,05-3,11). Tidak ada bukti yang menunjukan adanya asosiasi antara kadar merkuri dengan risiko penyakit kardiovaskular (0,94, 0,66-1,36). Namun, terdapat bukti yang signifikan untuk heterogenitas pada penyakit kardiovaskular di seluruh penelitian (I2 dengan rentang dari 68%, P = 0,001 sampai dengan 84%, P <0.001 untuk merkuri).

Tabel 1. Ringkasan dari Penelitian pada Kajian Sistemik

Timbal dan kadmium juga dikaitkan dengan peningkatan risiko yang signifikan terjadinya stroke (masing-masing risiko relative 1,63, 95% interval kepercayaan, 1,14-2,34 dan 1,72, 1,29-2,28) dan tidak adanya bukti heterogenitas pada penelitian (I 2 = 0%, P= 0,76 dan I2

=

10%, P = 0,33).

Tidak ada bukti yang menyatakan adanya hubungan yang signifikan antara arsenik dengan risiko stroke, dengan sedikit atau tidak adanya bukti mengenai heterogenitas dalam perkiraan stroke yang terpapar kontaminan (I 2 = 56%, P = 0,08). Respon-dosis meta-analisis

Hubungan respon-dosis antara kadar logam toksik dengan penyakit kardiovaskular, berdasarkan data yang relevan ditampilkan dalam materi tambahan, gambar S1. Hanya dua penelitian yang melaporkan mengenai paparan arsenik dalam air minum, tiga studi melaporkan paparan kadmium, dan empat studi melaporkan paparan timbal,

Tabel 2. Skala Newcastle-Ottawa untuk menilai kualitas studi kohort

yang memberikan informasi yang cukup untuk melakukan analisis respons-dosis. Singkatnya, untuk kadar arsenik dasar dalam air dan risiko penyakit kardiovaskular, ada bukti hubungan linear dengan spektrum kadar arsenik (0 ug/L - 369,5 ug/L, P = 0,31 untuk non-linear, lihat materi tambahan, gambar S1A). Demikian pula, terdapat hubungan linear antara kadar timbal dalam darah dan risiko penyakit jantung koroner (P = 0,677 untuk non-

linear, lihat materi tambahan, gambar S1B), dengan risiko relatif untuk risiko penyakit jantung koroner per 5 ug / dL peningkatan kadar timbal menjadi 1,07 (95% interval kepercayaan 1,04-1,10). Sebaliknya, untuk asosiasi antara kadar kadmium dalam urin dan risiko penyakit kardiovaskular, peningkatan pesat (dalam tingkat kadmium urine dari 0,11 ug / g menjadi 1,41 ug /g) yang diikuti dengan peningkatan yang kurang pesat dengan risiko melebihi ambang batas 1,41 ug / g. Risiko relatif penyakit kardiovaskular untuk setiap kenaikan cadmium sebesar 0,75 ug kenaikan / g kadmium adalah sebesar 1,21 (95% Interval Kepercayaan 1,09-1,33, P = 0,656 untuk non-linear, lihat materi tambahan, gambar S1C). Ada hubungan linier yang signifikan antara kadar kadmium dalam urin dan risiko penyakit jantung koroner (P = 0,865 untuk non-linear, lihat materi tambahan, gambar S1D). untuk hubungan antara tingkat kadmium dalam urin dan risiko penyakit kardiovaskular, meningkat tajam awal dalam risiko (dalam tingkat kadmium urine dari 0,11 ug / g menjadi 1,41 g / g) diikuti dengan peningkatan lemah risiko di luar 1,41 mg / g . Risiko relatif penyakit kardiovaskular untuk setiap 0,75 ug kenaikan / g kadmium adalah 1,21 (95% confidence interval 1,09-1,33, P = 0,656 untuk non-linear, lihat materi tambahan, gambar S1C). Ada hubungan linier yang signifikan antara kadar kadmium dalam urin dan risiko penyakit jantung koroner (P = 0,865 untuk non-linear, lihat materi tambahan, gambar S1D).

Analisis Subkelompok dan Penilaian Bias Publikasi Sedikit variasi dalam perkiraan risiko diantara kontaminan yang dijelaskan pada studi penelitian (P> 0,05 untuk faktor yang paling umum diselidiki, lihat materi tambahan, gambar S2- S6). Sebagai contoh, tidak ada perbedaan yang signifikan dalam risiko relatif untuk penyakit kardiovaskular dengan berbagai jenis eksposur terhadap individu (misalnya, pengukuran pada darah vs sumber lain; P> 0,05). Selain itu, risiko relatif secara umum terlepas dari tingkat penyesuaian terhadap faktor pembaur lainnya yang dinilai dalam penelitian yaitu antara lain, berdasarkan lokasi geografis, kesehatan dasar, atau besar dari penelitian. Dalam analisis yang menilai mengenai efek dari sumber pengukuran arsen (urin dan kuku v air) pada perkiraan risiko penyakit kardiovaskular, penyakit jantung koroner, dan stroke. Perkiraan risiko dibandingkan antara studi yang tidak memiliki bukti heterogenitas yang signifikan dengan studi yang mengukur arsenik dalam

air minum terhadap biomarker (lihat materi suplemetari, gambar S7). Analisis subkelompok membandingkan risiko penyakit kardiovaskular, penyakit jantung koroner, dan stroke pada responden yang tidak pernah-merokok dengan perokok maupun mantan

Tabel 3. Skala Newcastle-Ottawa untuk menilai kualitas studi case-control

perokok menghasilkan hasil yang sama terhadap paparan arsenik dan kadmium (lihat materi tambahan, gambar S8 dan S9). Funnel plots (lihat materi tambahan, gambar S10-S14) dan tes bias pada publikasi untuk hasil dan marker lainnya tidak signifikan untuk sebagian besar kontaminan (P> 0,05), namun, ada bukti bias pada publikasi pada penelitian mengenai hubungan arsenik dengan penyakit kardiovaskular (P = 0,01) dan penyakit jantung koroner (P <0.001) (lihat materi tambahan, tabel S5). 75

Temuan Umum Kami telah melakukan kajian sistematis dan meta-analisis, dengan menggunakan data yang berbeda dari sekitar 350 000 partisipan yang berasal dari 37 penelitian, untuk membantu memperjelas bukti bahwa adanya asosiasi antara elemen toksik lingkungan dengan risiko penyakit kardiovaskular. Secara keseluruhan, hasil kami menunjukkan

Gambar 3 | Hubungan antara kontaminan lingkungan dan penyakit kardiovaskular. Nr = tidak dilaporkan; + = Minimal disesuaikan (biasanya disesuaikan dengan usia dan jenis kelamin saja); ++ = disesuaikan dengan setidaknya satu faktor berdasarkan risiko kardiovaskular darah non (misalnya, tekanan darah sistolik, indeks massa tubuh, riwayat diabetes, dll); +++ = juga disesuaikan berdasarkan faktor risiko kardiovaskular setidaknya satu pemeriksaan darah (misalnya, kolesterol total, creactive protein, dll)

bahwa adanya eksposur arsenik, timbal, kadmium, dan tembaga masing-masing memiliki

hubungan yang signifikan dengan penyakit kardiovaskular dan penyakit jantung koroner, penyakit jantung dan stroke, atau semua penyakit kardiovaskular. Sebaliknya, merkuri tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan risiko kardiovaskular. Selain itu, berdasarkan data yang relevan yang tersedia, terdapat asosiasi antara kadar arsenik, timbal, dan kadmium dengan penyakit kardiovaskular berbentuk linier.

Gambar 4. Hubungan antara kontaminan lingkungan dan penyait jantung koroner.

Perbandingan dengan penelitian lain

Temuan yang diamati dalam tinjauan ini mungkin memiliki beberapa penjelasan potensial. Kami menemukan adanya hubungan positif antara arsenic (logam toksik lingkungan yang ditemukan dalam jumlah besar dalam beras dan air tanah di banyak bagian dunia) dengan risiko penyakit jantung koroner.76,77 Paparan arsenik telah dilaporkan untuk mempercepat dan memperburuk aterosklerosis pada tikus apolipoprotein E-knockout.78,79 Penelitian klinis dan eksperimental dari paparan arsenik telah melaporkan adanya produksi oksigen reaktif dalam sel endotel,80 meningkatkan regulasi sinyal inflamasi,81 dan meningkatkan tekanan darah.

82-84

Temuan ini

menjelaskan beberapa studi epidemiologi sebelumnya yang dilaporkan terdapat asosiasi mencolok dengan penyakit Blackfoot (penyakit vaskular perifer berat) pada orang terkena dosis kumulatif yang sangat tinggi dari arsenik. 85 86. Meskipun tingkat sirkulasi timbal tampaknya menurun pada negara maju,

87

karena terjadi

penurunan dalam penggunaan bensin bertimbal dan cat bertimbal, paparan timbal tetap cukup tinggi di banyak daerah.88 Terdapat hubungan positif yang kuat ditemukan dalam review kami antara timbal dan risiko penyakit kardiovaskular, memperkuat timbal sebagai masalah utama kesehatan masyarakat. 89 Dua jalur utama yang terlibat dalam terjadinya penyakit kardiovaskular adalah melalui percepatan peningkatan tekanan darah sistolik dan kerusakan fungsi ginjal.

90

Penelitian sebelumnya juga telah menunjukkan hubungan timbal dengan aterosklerosis sebagai akibat timbal-diinduksi stres oksidatif dan peradangan setelah terpapar. 11,15

Gambar 5. Hubungan antara kontaminan lingkungan dan stroke.

Jurnal ini juga menunjukkan hubungan positif tembaga dengan penyakit kardiovaskular, seperti yang dijelaskan dalam penelitian sebelumnya.

91 92

Tembaga merupakan elemen penting.

Kelebihan tembaga dapat menginduksi stres oksidatif oksigen reaktif.

11

Tembaga memediasi

peroksidasi lipid telah ditunjukkan dalam beberapa penelitian in vivo dan in vitro. 21 Mekanisme lain yang dapat merusak adalah melalui kompleks tembaga-homocystein yang telah menginduksi disfungsi endotel dan cedera vaskular.

93

Untuk kedua arsenik dan tembaga, meskipun

berdasarkan data yang terbatas, dosis dan respons hubungan berpotensi linier, kita telah mengamati menunjukkan bahwa pada tingkat paparan rata-rata lebih rendah (umum di banyak daerah global), logam toksik ini mungkin memiliki dampak merugikan pada kesehatan vaskuler.

Kami juga mengamati hubungan positif antara tingkat kadmium dan penyakit kardiovaskular yang independen, dari beberapa potensi risiko faktor penyakit kardiovaskuler (termasuk merokok). Efek samping kadmium pada sistem vaskular diduga dimediasi oleh stres oksidatif, inflamasi, dan kerusakan sel endotel, yang dapat mengakibatkan aterosklerosis. Hal ini penting karena kadmium secara luas lazim di tanah dan makanan. Ditanam umum berdasarkan (misalnya, beras dan sayuran). 94

Sebaliknya, merkuri, logam berpotensi toksik yang manusia terkena terutama melalui konsumsi ikan,

95

tidak bermakna dikaitkan dengan risiko penyakit kardiovaskular dalam review ini.

Meskipun beberapa penelitian individu mengamati hubungan terbalik antara tingkat merkuri dan risiko penyakit kardiovaskular,

62,66

saat ini belum ada penjelasan biologis yang diterima yang

mendukung seperti link.

Kelebihan dan keterbatasan penelitian Kelebihan dan keterbatasan pada penelitian ini memerlukan pertimbangan yang cermat. Penelitian ini merupakan metaanalisis pertama yang komprehensif dari beberapa logam toksik dalam kaitannya dengan risiko penyakit kardiovaskular. Kami telah berfokus hanya pada penilaian paparan logam toksik per individu, dan dilakukan analisis dengan mengukur logam toksik menggunakan biomarker objektif atau paparan individu terhadap arsenik dalam air minum. Namun, perlu dicatat bahwa faktor-faktor penentu biologis, presisi pengukuran dan kemampuan untuk mencerminkan paparan jangka panjang mungkin berbeda di berbagai biomarker.

96

Oleh karena itu, untuk memastikan penilaian paparan jangka panjang yang

konsisten, pengukuran berulang dari waktu ke waktu yang terhadap kadar logam toksik pada individu yang bervariasi (yaitu, regresi dilusi) masa depan.

55

97

harus dipertimbangkan dalam penelitian di

Selain itu, kebanyakan studi yang mengukur arsenik dan kadmium dalam urin

didasarkan pada urinasi pertama di pagi hari, yang mungkin dibatasi oleh status hidrasi individu pada saat pengumpulan, dan karena itu, mungkin berbeda di pengenceran karena perbedaan laju aliran urin,

98

dan perbedaan dalam stabilitas dan kemampuan untuk memproduksi logam yang

diukur. Sementara tinjauan ini terbatas pada temuan yang dipublikasikan, penggunaan data peserta individu, dalam penelitian primer skala besar di masa depan, akan memungkinkan penilaian yang lebih rinci dan spesifik dari asosiasi antara logam lingkungan toksik dan penyakit kardiovaskular, termasuk: menilai rute paparan (misalnya, lingkungan vs kerja); penyesuaian standar untuk perancu (misalnya Status merokok,); mengurangi heterogenitas yang dihasilkan dari meta-analisis dari populasi penelitian yang beragam; dan karakterisasi lebih konsisten dari setiap potensi dosis-respons penilaian saat ini sedang berlangsung.99,100 Sama halnya dengan review kami berdasarkan data observasional yang mungkin akan dipengaruhi oleh perancu lainnya yang tidak terukur sehingga membuat inferensi kausal yang sulit. Dalam hal ini, sebuah uji coba secara acak sebelumnya, yang berdasarkan pada orang dengan penyakit jantung yang

sudah ada sebelumnya, menyarankan bahwa penurunan kejadian kardiovaskular terjadi setelah terapi kelasi intravena (yang memfasilitasi ekskresi logam berat melalui urin)

101

dibandingkan

dengan plasebo. Namun, uji coba lanjut, terutama yang melibatkan populasi umum, diperlukan. Selain itu, perlu identifikasi polimorfisme yang mempengaruhi kadar logam toksik di sirkulasi yang dapat digunakan sebagai proxy untuk kadar sirkulasi (seperti polimorfisme AS3MT, MT1A/B), dengan penyakit menggunakan analisis variabel instrumental (yaitu, pengacakan Mendel analisis). 105

Implikasi untuk dokter dan pembuat kebijakan Temuan kami mungkin memiliki kebijakan penting dan implikasi ilmiah. Pertama, temuan ini menjelaskan peran logam toksik lingkungan dalam meningkatkan risiko kardiovaskular, di luar faktor risiko perilaku konvensional (seperti penggunaan tembakau dan diet yang tidak sehat). Hasil ini mungkin memiliki implikasi, mengingat bahwa saat ini strategi global untuk pencegahan penyakit tidak menular (misalnya, WHO 2018 Laporan)

106

difokuskan terutama

pada penanggulan faktor perilaku. Menyadari faktor lingkungan (seperti logam toksik) sebagai prioritas tambahan, oleh karena itu, diharapkan dukungan sosial politik yang lebih luas untuk menyiapkan undang-undang yang tepat, strategi dan standar pencegahan, dan investasi untuk mengatasi masalah global utama mengenai penyakit kardiovaskular.

Kedua, adanya hubungan linier untuk arsenik, timbal, dan kadmium tingkat dengan penyakit kardiovaskular, menunjukkan bahwa paparan logam toksik yang lebih rendah dapat memberikan dampak buruk pada kesehatan. Meskipun demikian, temuan saat ini menjamin penelitian lebih lanjut dan rinci untuk mengukur dan menentukan individu yang berisiko terhadap penyakit serta memicu tindakan klinis yang tepat. Saat ini, dalam praktek klinis, toksisitas logam ini, jika memang dicurigai, ditetapkan melalui berbagai investigasi diagnostik termasuk darah dan analisis urin 24 jam dan biasanya melibatkan teknik analisis plasma spektrometri massa digabungkan induktif untuk penentuan unsur.

107

Pilihan pengobatan untuk keracunan logam berat termasuk berbagai antidot dan agent

kelasi (yang meningkatkan eliminasi logam dari tubuh) seperti succimer (DMSA), unithiol (DMPS), natrium kalsium edetat, dan dimerkaprol. terapi ini sangat bervariasi,

109

108

Namun, karena kegunaan dan respon dari

pencegahan primer, dengan mengembangkan pedoman kesehatan

masyarakat berbasis bukti dan dengan biaya rendah, melakukan intervensi untuk mengurangi paparan kontaminan ini, harus diprioritaskan.

Kesimpulan Hasil meta-analisis menunjukkan bahwa paparan arsenik, timbal, kadmium, dan tembaga dikaitkan dengan peningkatan risiko penyakit kardiovaskular dan penyakit jantung koroner. Sebaliknya, merkuri tidak terkait dengan risiko kardiovaskular. Temuan ini memperkuat (sering kurang diakui) pentingnya logam toksik pada resiko penyakit kardiovaskular, di luar faktor risiko perilaku konvensional. Selanjutnya untuk hasil yang lebih terperinci, perlu dilakukan karakterisasi yang menilai hubungan dan kausalitas selanjutnya.

BAB III TINJAUAN PUSTAKA

Sistem Kardiovaskular Sistem kardiovaskuler terdiri atas dua bagian yaitu jantung dan pembuluh darah. Jantung adalah suatu organ vital dalam tubuh. Meskipun jantung bukan organ sasaran biasa, organ ini dapat dirusak oleh berbagai jenis zat kimia. Zat itu bekerja secara langsung pada otot jantung atau secara tak langsung melalui susunan saraf atau pembuluh darah (Frank, 1995).

1. Jantung Anatomi fisiologi jantung Jantung terletak dalam ruang mediastinum rongga dada, yaitu di antara paru. Secara fungsional, jantung terdiri atas dua pompa yang terpisah, yakni jantung kanan yang memompakan darah ke paru dan jantung kiri yang memompakan darah ke organ-organ perifer. Selanjutnya, setiap bagian jantung yang terpisah ini merupakan dua ruang pompa yang dapat berdenyut, yang terdiri atas satu atrium dan satu ventrikel (Anggraeni, 2009).

Efisiensi jantung sebagai pompa bergantung pada nutrisi dan oksigenasi otot jantung melalui sirkulasi koroner. Sirkulasi ini meliputi seluruh permukaan epikardium jantung, membawa nutrisi dan oksigen ke miokardium melalui cabang-cabang intramiokardial yang kecilkecil (Anggraeni,

2009). Berkaitan dengan oksigenasi dan nutrisi, maka berhubungan erat

dengan otot jantung. Jantung terdiri atas tiga tipe otot jantung yang utama yakni: otot atrium, otot ventrikel, dan serat otot khusus penghantar rangsangan dan pencetus rangsangan. Tipe atrium dan ventrikel berkontraksi dengan cara yang sama seperti otot rangka, hanya saja lamanya kontraksi otot-otot tersebut lebih lama (Anggraeni, 2009). Fungsi Jantung Pada saat berdenyut, setiap ruang jantung mengendur dan terisi darah (disebut diastol), selanjutnya jantung berkontraksi dan memompa darah keluar dari ruang jantung (disebut sistol). Kedua atrium mengendur dan berkontraksi secara bersamaan, dan kedua ventrikel juga mengendur dan berkontraksi secara bersamaan (Sanjoyo, 2005). Darah yang kehabisan oksigen dan mengandung banyak karbondioksida dari seluruh tubuh mengalir melalui 2 vena berbesar (vena kava) menuju ke dalam atrium kanan. Setelah atrium kanan terisi darah, dia akan mendorong darah ke dalam ventrikel kanan (Sanjoyo, 2005). Darah dari ventrikel kanan akan dipompa melalui katup pulmoner ke dalam arteri pulmonalis, menuju ke paru-paru.

Darah akan mengalir melalui pembuluh yang sangat kecil (kapiler) yang

mengelilingi kantong udara di paru-paru, menyerap oksigen dan melepaskan karbondioksida yang selanjutnya dihembuskan (Sanjoyo,2005). Darah yang kaya akan oksigen mengalir di

dalam vena pulmonalis menuju ke atrium kiri. Peredaran darah diantara bagian kanan jantung, paru-paru dan atrium kiri disebut sirkulasi pulmoner(Sanjoyo, 2005). Darah dalam atrium kiri akan didorong ke dalam ventrikel kiri, yang selanjutnya akan memompa darah yang kaya akan oksigen ini melewati katup aorta masuk ke dalam aorta (arteri terbesar dalam tubuh). Darah kaya oksigen ini disediakan untuk seluruh tubuh, kecuali paru-paru (Sanjoyo, 2005). Pembuluh darah Pembuluh darah adalah bagian dari sistem sirkulasi dan berfungsi mengalirkan darah ke seluruh tubuh. Jenis-jenis yang paling penting, arteri dan vena, juga disebut demikian karena mereka membawa darah keluar atau masuk ke jantung. Kerja pembuluh darah membantu jantung tuk mengedarkan sel darah merah atau eritrosit ke seluruh tubuh dan mengedarkan sari makanan, oksigen dan membawa keluar karbon dioksida. Fungsi pembuluh darah arteri adalah mengedarkan darah dari jantung ke seluruh tubuh, sedangkan fungsi pembuluh darah vena adalah mengalirkan darah dari seluruh tubuh ke jantung (Wikipedia, 2010). Pembuluh darah terdiri atas arteri dan vena. Arteri berhubunan lengsung dengan vena pada bagian kapiler dan venula yang dihubungkan oleh bagian endotheliumnya. Arteri dan vena terletak bersebelahan. Dinding arteri lebih tebal dari pada dinding vena. Dinding arteri dan vena mempunyai tiga lapisan bagian dalam yang terdiri dari endothelium, lapisan tengah yang terdiri atas otot polos dengan serat elastis dan lapisan paling luar yang terdiri atas jaringan ikat ditambah dengan serat elastis. Cabang terkecil dari arteri dan vena disebut kapiler. Pembuluh kapiler memilki diameter yang sangat kecil dan hanya memilki satu lapisan tunggal endothelium dan sebuah membran basal (Wikipedia, 2010). B. Mekanisme Patofisiologi Pada keracunan akut, kerusakan jantung dapat terjadi dengan dua cara: 1. Kerja langsung pada otot jantung atau system hantaran jantung (misal: efek hidrokarbon halogen pada jantung) 2.

Akibat hipoksia jaringan (karbon monoksida, hidrogen disulfida, hidrogen sianida).

Walaupun efek serupa dapat timbul pada paparan kadar rendah jangka panjang, keprihatinan

utama adalah perkembangan aterosklerosis yang meningkat, diikuti perubahan-perubahan iskemik pada organ-organ vital (otak, jantung). Patofisiologi perubahan vascular yang diinduksi getaran belum jelas sama sekali. Diduga terdapat efek merusak langsung pada dinding vascular ataupun mekanisme reflex vasospatik yang tercetus melalui reseptor saraf (WHO, 1993).

C. Efek bahan toksik terhadap jantung 1. Penyakit jantung koroner Morbiditas dan mortalitas akibat penyakit jantung iskhemik yang tinggi telah dipastikan pada para pekerja yang terpapar karbon disulfida pada industry bubur rayon. Di samping penyakit jantung iskhemik, berbagai sindrom kardiovaskuler akibat keracunan karbon disulfida kronik antara lain, tekanan darah tinggi, gangguan mikrosirkulasi retina, dan gangguan fungsi system saraf pusat akibat efek toksik langsung maupun efek vaskuler. Karena karbon disulfida tidak menyebabkan gejala kardiovaskuler yang patognomonik, konfirmasi etiologi penyakit kardiovaskular biasanya tidak dimugkinkan secara individual, dan kemungkinan bahwa temuan-temuan tersebut berhubungan dengan kerja harus didasarkan pada riwayat paparan serta manifestasi keracunan karbon disulfida yang beragam (WHO, 1993). Adanya karboksihemoglobin dalam darah (pada paparan terhadap karbon monoksida atau metilen, yag metabolitnya adalah karbon monoksida) atau methemoglobin (pada paparan terhadap derivat amino dan aterosklerosis koroner yang sebelumnya sudah ada, dapat timbul tanda-tanda akut iskemia miokardium (angina pectoris, infark miokard). Demikan pula

disfungsi

organ-organ

lain

yang

terkena

aterosklerosis

(missal

kelainan

serebrovaskular, klaudikasio intrmiten pada tungkai) (WHO, 1993). Bahan toksik lainnya adalah metilin klorida, debu fibrigonik, nitrat dan arsen (Djojodibroto, 1999). 6. Kor pulmonale kronik Bentuk kronik kor pulmonale (dengan atau tanpa gagal jantung) ditandai dengan hipertrofi dan dilatasi ventrikel kanan karena meningkatnya tekanan dalam sirkulasi pulmonal. Hal ini disebabkan oleh ganggan vascular paru-paru dalam perjalanan reaksi fibrotic terhadap debu seperti silika, asbes, batubara, dan bahan-bahan organic. Selain itu juga dapat

disebabkan hipoventilasi pada penderita bronchitis kronik atau emfisema dengan atau tanpa kelainan paru akibat kerja lainnya (biasanya muncul lambat dalam perjalanan penyakitnya) (WHO, 1993).

D. Efek Toksik Pada Pembuluh Darah 1. Meningkatnya Permeabilitas Kapiler Timbal, merkuri, dan beberapa toksikan lain merusak endotel sel kapiler dalam otak. Efek ini akan mengakibatkan edema otak dan kerusakan sawar darah otak, Inhalasi gas yang mengiritasi dan dapat menginduksi edema paru-paru (Frank, 1995). 2. Vasokonstriksi Konsumsi alkaloid ergot (jamur pencemar dalam makanan tertentu) dapat menyebabkan gangrene akibat vasokonstriksi. Sindroma klinis yang dikenal sebagai “penyakit kaki hitam – Blackfoot disease” bersifat endemis pada daerah tertentu di Amerika Selatan dan Taiwan. Penyakit ini diduga disebabkan oleh vasokonstratiksi setelah mengkonsumsi air minum yang kadar air seninya tinggi (Frank, 1995). Beberapa pekerja pabrik yang terpajan nitrogliserin pada tiap hari kerja dilaporkan mengalami kematian mendadak karena serangan jantung pada akhir pekan. Tampaknya pajanan yang berlanjut terhadap vasodilator koroner telah membuat para pekerja terbiasa terhadap tingkat aliran koroner yang rendah, dan berhentinya pajanan ini secara mendadak menimbulkan iskemia jantung (Frank, 1995). 3. Perubahan degenerasi Aterosklerosis

merupakan

suatu

penyakit

degenerasi

kompleks

yang

terutama

mempengaruhi pembuluh darah besar, misalnya arteri koroner dan carotid. Menyempitnya arteri ini dapat mengakibatkan serangan jantung dan stroke. Meski etiologi aterosklerosis bersifat komplek, toksikan tertentu diketahui dapat memperburuk keadaan patologik ini. Karbon monoksida dapat meningkatkan permeabilitas kapiler di sekitar arteri ini dan menyebabkan proses degeerasi. Demikian juga CS2 yang termasuk endothelium arteri ini (Frank, 1995).

4. Fibrosis Kadmium dan Timbal dapat mempengaruhi pembuluh darah dalam ginjal dan menyebabkan fibrosis ginjal. Gangguan pada pasokan darah dapat mengganggu “fungsi nonekskretori” ginjal, dan secara tidak langsung menyebabkan hipertensi (Frank, 1995). 5. Reaksi Hipersensitivitas Garam emas, penisilin, sulfonamide dan beberapa toksikan lain dapat menginduksi vaskulitis atau memperburuk poliarteritis yang telah ada. Keadaan itu biasanya mempengaruhi pembuluh kecil dan berhubungan dengan infiltrasi eosinofil dan sel berinti satu yang menunjukan keterlibatan system imun (Frank, 1995). Toksikologi Definisi Toksikologi Toksikologi adalah ilmu yang menelaah tentang kerja dan efek berbahaya zat kimia (racun) terhadap mekanisme biologi. Sehingga oksikologi forensic ini merupakan cakupan terapan ilmu alam dalam analisi racun sebagai bukti dalam tindak kriminal. Klasifikasi Racun Racun adalah suatu zat yang apabila kontak atau masuk kedalam tubuh dalam jumlah tertentu (dosis toksik) merusak faal tubuh baik secara kimia maupun fisiologis sehingga menyebabkan sakit atau pun kematian. Sifat racun dari suatu senyawa ditentukan oleh: dosis, konsentrasi racun di reseptor, sifat fisika kimia toksikan tersebut, kondisi bioorganisme atau sistem bioorganisme, paparan terhadap organisme dan bentuk efek yang ditimbulkan.3 Untuk kepentingan di bidang forensik, racun dibagi berdasarkan sifat kimia, fisik serta pengaruhnya terhadap tubuh manusia, yaitu:3 1. Racun Anorganik a.

Racun Korosif

b.

Racun Metalik dan non- metalik

2. Racun Organik a. Racun Volatil

b. Racun non Volatil dan non alkaloid 3. Racun Gas 4. Racun lain–lain a.

Racun makanan

b.

Racun binatang

c.

Racun tumbuh–tumbuhan

1. Arsen Definisi Arsen Arsen merupakan logam berat dengan valensi 3 atau 5, dan berwarna metal (steel-grey). Arsenik merupakan logam berat dengan nomor atom 33, berat atom 74.91. Senyawa arsen didalam alam berada dalam 3 bentuk: Arsen trichlorida (AsCl3) berupa cairan berminyak, Arsen trioksida (As2O3, arsen putih) berupa kristal putih dan berupa gas arsine (AsH3). Lewisite, yang sering disebut sebagai gas perang, merupakan salah satu turunan gas arsine. Pada umumnya arsen tidak berbau, tetapi beberapa senyawanya dapat mengeluarkan bau bawang putih. Racun arsen pada umumnya mudah larut dalam air, khususnya dalam air panas.1,2,3 Arsen merupakan unsur dari komponen obat sejak dahulu kala. Senyawa arsen trioksida misalnya pernah digunakan sebagai tonikum, yaitu dengan dosis 3 x 1-2 mg. Dalam jangka panjang, penggunaan tonikum ini ternyata telah menyebabkan timbulnya gejala intoksikasi arsen kronis. Arsen juga pernah digunakan sebagai obat untuk berbagai infeksi parasit, seperti protozoa, cacing, amoeba, spirocheta dan tripanosoma, tetapi kemudian tidak lagi digunakan karena ditemukannya obat lain yang lebih aman.3,4 Jenis-jenis Arsen4,5 Bermacam-macam bentuk senyawa kimia dari arsen ini yaitu sebagai berikut : 1.

Arsen triokasida (As2O3), ialah bentuk garam inorganic dan bentuk trivial dari asam

arsenat (H4AsO4) berwarna putih dan padat seperti gula. 2.

Arsen pentaoksida (As2O5)

3.

Arsenat (misalnya : PbHAsO4), ialah bentuk garam dari asam arsenat, merupakan senyawa

arsen yang banyak dijumpai di alam dan bersifat kurang toksik. 4.

Arsen organic, arsen berikatan kovalen dengan rantai karbon alifatik atau struktur

cincin,dimana arsen terikat dalam bentuk trivalent ataupun pentavalen.Bentuk senyawa arsen ini kurang toksin dibandingkan denagn bentuk senyawa arsen inorganic trivalent. Bentuk senyawa arsen yang paling beracun ialah gas arsin (AsH3),yang terbentuk bila asam bereaksi dengan arsenat yang mengandung logam lain. Selain dapat ditemukan di udara, air maupun makanan, arsen juga dapat ditemukan di industri seperti industri pestisida, proses pengecoran logam maupun pusat tenaga geotermal. Elemen yang mengandung arsen dalam jumlah sedikit atau komponen arsen organik (biasanya ditemukan pada produk laut seperti ikan laut) biasanya tidak beracun(tidak toksik). Arsen dapat dalam bentuk in organik bervalensi tiga dan bervalensi lima. Bentuk in organik arsen bervalensi tiga adalah arsenik trioksid, sodium arsenik, dan arsenik triklorida., sedangkan bentuk in organik arsen bervalensi lima adalah arsenik pentosida, asam arsenik, dan arsenat (Pb arsenat, Ca arsenat). Arsen bervalensi tiga (trioksid) merupakan bahan kimia yang cukup potensial untuk menimbulkan terjadinya keracunan akut. Sumber Pencemaran Oleh Arsen4,5,7 Keberadaan arsen di alam (meliputi keberadaan di batuan (tanah) dan sedimen, udara, air dan biota), produksi arsen di dalam industri, penggunaan dan sumber pencemaran arsen di lingkungan.

A. Keberadaan Arsen di Alam a. Batuan (Tanah) dan Sedimen Di batuan atau tanah, arsen (As) terdistribusi sebagai mineral. Kadar As tertinggi dalam bentuk arsenida dari amalgam tembaga, timah hitam, perak dan bentuk sulfida dari emas. Mineral lain yang mengandung arsen adalah arsenopyrite (FeAsS), realgar (As4S4) dan orpiment (As2S3). Secara kasar kandungan arsen di bumi antara 1,5-2 mglkg (NAS, 1977). Bentuk oksida arsen banyak ditemukan pada deposit/sedimen dan akan stabil bila berada di lingkungan. Tanah yang

tidak terkontaminasi arsen ditemukan mengandung kadar As antara 0,240 mg/kg, sedang yang terkontaminasi mengandung kadar As rata-rata lebih dari 550 mg/kg. b. Udara Zat padat di udara (total suspended particulate = TSP) mengandung senyawa arsen dalam bentuk anorganik dan organic menunjukkan bahwa hanya 35% arsen anorganik terlarut dalam air hujan. Di lokasi tercemar, kadar As di udara ambien kurang dari satu gram per meter kubik. c. Air Beberapa tempat di bumi mengandung arsen yang cukup tinggi sehingga dapat merembes ke air tanah. Kebanyakan wilayah dengan kandungan arsen tertinggi adalah daerah aluvial yang merupakan endapan lumpur sungai dan tanah dengan kaya bahan organik. Arsenik dalam air tanah bersifat alami dan dilepaskan dari sedimen ke dalam air tanah karena tidak adanya oksigen pada lapisan di bawah permukaan tanah. Arsen terlarut dalam air dalam bentuk organik dan anorganik. Jenis arsen bentuk organik adalah methylarsenic acid dan methylarsenic acid, sedang anorganik dalam bentuk arsenit dan arsenat. Arsen dapat ditemukan pada air permukaan, air sungai, air danau, air sumur dalam, air mengalir, serta pada air di lokasi di mana terdapat aktivitas panas bumi (geothermal). d. Biota Penyerapan ion arsenat dalam tanah oleh komponen besi dan aluminium, sebagian besar merupakan kebalikan dari penyerapan arsen pada tanaman. Kandungan arsen dalam tanaman yang tumbuh pada tanah yang tidak tercemari pestisida bervariasi antara 0,01-5 mg/kg berat kering. Tanaman yang tumbuh pada tanah yang terkontaminasi arsen selayaknya mengandung kadar arsen tinggi, khususnya di bagian akar Beberapa rerumputan yang mengandung kadar arsen tinggi merupakan petunjuk/indicator kandungan arsen dalam tanah. Selain itu, ganggang laut dan rumput laut juga umumnya mengandung sejumlah kecil arsen. B. Produksi dalam Industri Berdasarkan data yang digunakan dari Biro Pertambangan Amerika Serikat, dapat diperkirakan bahwa total produksi senyawa arsen di dunia mulai tahun 1975 sekitar 600.000 ton. Negara-negara produsen utama adalah: China, Peru, Swedia, USA dan USSR. Negara-negara

tersebut mampu mencukupi sampai 90% produk dunia. Arsen trivalen adalah basis utama industri kimia arsen dan merupakan produk samping dalam pelelehan bijih tembaga dan timah hitam. C. Penggunaan Senyawa Arsen Arsen banyak digunakan dalam berbagai bidang, yaitu salah satunya dalam bidang pertanian. Di dalam pertanian, senyawa timah arsenat, tembaga acetoarsenit, natrium arsenit, kalsium arsenat dan senyawa arsen organik digunakan sebagai pestisida. Sebagian tembakau yang tumbuh di Amerika Serikat, perlu diberi pestisida yang mengandung arsen untuk mengendalikan serangga yang menjadi hama tanaman tersebut selama masa pertumbuhannya. Tembakau ini akan digunakan sebagai bahan baku pembuatan rokok. Toksisitas Arsenik5,6 Toksisitas senyawa arsenic sangat bervariasi. Bentuk organik tampaknya memiliki toksisitas yang lebih rendah daripada bentuk arsenik anorganik.. Penelitian telah menunjukkan bahwa arsenites (trivalen bentuk) memiliki toksisitas akut yang lebih tinggi daripada arsenates (pentavalent bentuk). Minimal dosis akut arsenik yang mematikan pada orang dewasa diperkirakan 70-200 mg atau 1 mg/kg/hari. Sebagian besar melaporkan keracunan arsenik tidak disebabkan oleh unsur arsenik, tapi oleh salah satu senyawa arsen, terutama arsenik trioksida, yang sekitar 500 kali lebih beracun daripada arsenikum murni.

Mekanisme Terjadinya Toksisitas4,8 Mekanisme masuknya Arsen dalam tubuh manusia umumnya melalui oral, dari makanan/minuman. Arsen yang tertelan secara cepat akan diserap lambung dan usus halus kemudian masuk ke peredaran darah. Arsen adalah racun yang bekerja dalam sel secara umum. Hal tersebut terjadi apabila arsen terikat dengan gugus sulfhidril ( -SH), terutama yang berada dalam enzim. Salah satu system enzim tersebut ialah kompleks piruvat dehidrogenase yang berfungsi untuk oksidasi dekarboksilasi piruvat menjadi Co-A dan CO2

sebelum masuk dalam siklus TOA

(tricarbocyclic acid). Dimana enzim tersebut terdiri dari beberapa enzim dan kofaktor. Reaksi

tersebut melibatkan transasetilasi yang mengikat koenzim A (CoA-SH) untuk membentuk asetil CoA dan dihidrolipoil-enzim, yang mengandung dua gugus sulfhidril. Kelompok sulfhidril sangat berperan mengikat arsen trivial yang membentuk kelat-kelat dari dihidrofil-arsenat dapat menghambat reoksidasi dari kelompok akibatnya bila arsen terikat dengan system enzim, akan terjadi akumulasi asam piruvat dalam darah.

Gambar 1. Mekanisme masuknya arsen dalam tubuh Arsenat juga memisahkan oksigen dan fosfolirasi pada fase kedua dari glikolosis dengan jalan berkompetisi dengan fosfat dalama reaksi gliseraldehid dehidrogenase. Dengan adanya pengikatan arsenat reaksi gliseraldehid-3-fosfat, akibatnya tidak terjadi proses enzimatik hidrolisis menjadi 3-fosfogliserat dan tidak memproduksi ATP. Selama Arsen bergabung dengan gugus –SH, maupun gugus –SH yang terdapat dalam enzim, maka akan banyak ikatan As dalam hati yang terikat sebagai enzim metabolic. Karena adanya protein yang juga mengandung gugus –SH terikat dengan As, maka hal inilah yang meneyebbkan As juga ditemukan dalam rambut, kuku dan tulang. Karena eratnya As bergabung dengan gugus –SH, maka arsen masih dapat terdeteksi dalam rambut dan tulang beberapa tahun kemudian.

Patofisiologi Arsen Bentuk arsenik anorganik lebih beracun daripada bentuk organik. Bentuk trivalen lebih beracun dan bereaksi dengan gugus tiol, sedangkan bentuk pentavalen kurang beracun. Hampir semua organ mengalami efek toksik dari arsen. Bentuk trivalent dari arsen anorganik menghambat

piruvat dehydrogenase dengan berikatan ke gugus sulfhidril (-SH) dari dihidrolipoamida. Akibatnya, konversi piruvat menjadi asetil koenzim A (CoA) menurun, aktivitas siklus asam sitrat menurun, dan produksi ATP seluler menurun. Arsenik trivalen menghambat banyak enzim seluler lainnya akibat adanya ikatan terhadap gugus SH. Arsenik trivalen juga menghambat penyerapan glukosa seluler, glukoneogenesis, oksidasi asam lemak, dan produksi dari asetil CoA; serta produksi glutathione (mencegah kerusakan oksidatif sel). Efek arsenik anorganik pentavalen terjadi sebagian karena transformasi ke arsenik trivalen; hasil toksisitas sebagaimana diuraikan di atas. Lebih penting lagi, arsenik pentavalent menyerupai fosfat anorganik dan pengganti fosfat dalam jalur respirasi glikolitik dan seluler. Akibatnya, ikatan fosfat berenergi tinggi tidak dibuat, dan uncoupling fosforilasi oksidatif terjadi. Sebagai contoh, di hadapan arsenik pentavalent, adenosine difosfat (ADP) membentuk ADP-arsenate sebagai ganti ATP; obligasi fosfat berenergi tinggi ATP hilang.

Arsen telah terbukti menghasilkan stres oksidatif. Dalam sebuah penelitian terhadap anak-anak yang terekspos oleh arsen di lingkungan, arsen dapat mengganggu produksi anion superoksida monosit dan menghambat produksi nitrit oksida.[8] Arsenik trioksida telah terbukti menyebabkan perpanjangan dari durasi potensial aksi jantung pada berbagai tingkat repolarisasi yang menghasilkan penundaan konduksi dan peningkatan triangulasi. Ketidakseimbangan elektrolit tampaknya meningkatkan toksisitas.

[9]

Arsen dapat meninaktivasi sintesis nitrit oksida endotel,

yang mengarah kepada penurunan produksi dan bioavailabilitas nitrit oksida. Paparan arsenik kronis juga berhubungan dengan induksi dan percepatan aterosklerosis, peningkatan agregasi trombosit dan berkurangnya fibrinolisis.[10] Paparan jangka panjang terhadap arsen rendah hingga sedang dikaitkan dengan peningkatan insidensi dan mortalitas penyakit kardiovaskular. [11]

Arsenik terdaftar sebagai zat karsinogenik yang diduga berdasarkan peningkatan prevalensi

kanker paru-paru dan kulit yang diamati pada populasi manusia dengan beberapa eksposur (terutama melalui industri inhalasi). Gejala Toksisitas Arsen1,9,10,11 Dosis toksik

Sebelum membahas mengenai dosis toksik arsen, perlu diketahui terlebih dahulu mengenai kadar normal arsen dalam tubuh kita, karena dalam keadaan normal sekalipun tubuh kita sering terpapar dengan zat yang mengandung arsen dan secara rutin tanpa sadar kita juga mengkonsumsinya setiap hari, misalnya dari makanan dan minuman yang kita konsumsi seharihari. Kadar normal arsen dalam serum adalah kurang dari 5 µg /L. Sedangkan dalam urin 24 jam kurang dari 50 µg /L. (2,8) a)

Intoksikasi akut

Acute minimal lethal dose untuk arsenik trioksida pada orang dewasa adalah 70 – 200 mg atau 1 mg/kg/hari. Dosis arsenik inorganik kurang dari 1 mg/kg dapat menyebabkan penyakit yang serius pada anak-anak. Sedangkan untuk gas arsen dapat menyebabkan kematian pada kadar 150 – 250 ppm. Pajanan antara 25 – 50 ppm selama 30 menit atau 100 ppm selama kurang dari 30 menit dapat menyebabkan hemolisis dan kematian. Toksisitas akut arsen biasanya memperlihatkan gejala alopesia, gangguan saraf tepi yang ditandai dengan kelumpuhan anggota gerak bagian bawah, daya reflek yang menurun, sakit perut, gejala tersebut disebabkan oleh adanya vasodilatasi (pelebaran pembuluh darah) yang akan mengakibatkan terbentuknya vesikel (lepuh) pada lapisan submukosa lambung dan usus. Gangguan tersebut mengakibatkan rasa mual, muntah, diare (kadang bercampur darah) dan sakit perut yang sangat. Bau napas seperti bawang putih, diare profus menyebabkan banyak cairan tubuh keluar sehingga menyebabkan gejala hipontesi. Terjadinya diare profus menyebabakan banyak larutan protein terbuang keluar tubuh, sehingga mengakibatkan usus tidak berfungsi normal (enteropati). Arsen juga dapat menyebabkan terjadinya aritmia jantung (perubahan dari gelombang ST-T, adanya prolong QT interval), ventrikel fibrilasi, ventrikel takikardi, penurunan permeabilitas pembuluh darah, vasodilatasi, dan kolaps sirkulasi akut. b)

Intoksikasi kronik

Keracunan Kronis Ini jauh lebih berbahaya di alam. Gejala awal biasanya terjadi pada 2-8 minggu. Keracunan kronis dapat terjadi di antara orang-orang yang terlibat dalam peleburan dan pemurnian logam dan di Sublimasi arsenik putih dalam pembuatan insektisida untuk bulu domba, pestisida, cat, pewarna, kosmetik, obat-obatan, dll. Itu perlu diingat bahwa keracunan kronis dapat terjadi

setelah keracunan akut, terutama ketika pemulihan telah terjadi dari yang besar dosis arsenik. Gejala-gejala mungkin termasuk yang berikut: 

Gejala GIT biasanya berhubungan dengan penurunan berat badan, malaise, kehilangan nafsu makan, air liur, nyeri kolik, sembelit atau kadang-kadang diare dan muntah lendir berwarna seperti empedu. Lidah biasanya dilapisi dengan lapisan tipis putih keperakan. Edema edema dari kelopak mata bawah dan pergelangan kaki dapat dilihat.



Gejala-gejala kulit biasanya dimulai dengan eritematosa yang persisten flush mengarah ke kulit hiperkeratosis dan deskuamasi. Pigmentasi tidak sempurna ('rain drops on dusty roads'). Hiperkeratosis paling menonjol di bagian distal tubuh. Dengan ciri khas deskuamasi difus telapak tangan dan telapak kaki. Mees lines (garis putih melintang dari kuku jari, secara teknis disebut leukonychia striata) mungkin juga dapat terlihat.



Anemia dan leukopaenia sering terlihat. Trombositopenia juga sering terlihat. Anemia yang muncul adalah anemia normocytic dan normochromic dan sebagian disebabkan oleh hemolisis.



Neuropati perifer: Sensory dan motor polyneuritis (Gejala sensoris biasanya mendominasi) dengan manifestasi klinik yang timbul adalah mati rasa dan kesemutan di tangan dan kaki 'stocking glove' dan kelemahan distal adalah gejala yang penting. Keterlibatan otot pernafasan juga bisa terjadi

Diagnosis Ketika dicurigai terjadinya keracunan arsenik akut, foto X-ray dari abdomen dapat menunjukan adanya arsenic yang tertelan dengan menunjukan adanya gambaran radioopak pada hasil foto Xray abdomen. Kadar arsenik serum bisa melebihi 7 μg / dl. Namun arsenik adalah senyawa yang cepat dibersihkan dari darah, sehingga arsenik urin harus segera diukur dalam 24-jam. Spesimen yang dikumpulkan adalah 48 jam dengan pantang dari konsumsi makanan laut. Tingkat normal total urin ekskresi arsenik kurang dari 50 μg / dl, ekskresi 100 μg atau lebih banyak per hari adalah indikasi keracunan. Urine menjadi positif dalam 6 jam keracunan dan dapat terus positif selama sekitar beberapa minggu. Arsenik dapat dideteksi pada rambut dan kuku untuk waktu yang lama setelah terpapar. (Dulu sebelumnya berpikir bahwa butuh satu atau dua minggu untuk arsenik tertelan untuk muncul di jaringan keratinisasi seperti rambut dan kuku, tetapi teknik analitik yang lebih sensitif telah menunjukkan logam itu dapat muncul di sana dalam beberapa

jam. Munculnya logam di jaringan-jaringan ini, mungkin, adalah karena ekskresinya yang cepat menjadi keringat dan sekresi sebasea dan menyebar ke rambut dan kuku melalui difusi permukaan.)

Temuan otopsi 1,12 Pada kematian akibat keracunan akut, pemeriksaan luar mayat memberi kesan telah terjadinya dehidrasi hebat pada tubuh. Pada pemeriksaan dalam akan dijumpai adanya mukosa lambung dan esophagus yang mengalami inflamasi, erosi, kongesti, dan bercak-bercak perdarahan. Membran mukosa mempunyai lekukan dan diantara lekukan tersebut (rugae) bisa ditemukan lendir yang kental dan mengikat partikel racun. Isi lambung berwarna gelap. Pada korban yang meninggal dalam satu atau dua hari setelah pajanan, kelainan tersebut dapat meluas ke seluruh usus halus, bahkan kadang-kadang disertai juga oleh adanya pseudomembran diatasnya. Jika korban meninggal lebih lama lagi dari itu, maka akan dijumpai adanya deposit lemak pada jaringan hati, jantung dan ginjal. Selain itu pada otopsi dapat juga ditemukan adanya perdarahan subserosa terutama pada jantung, jaringan longgar mesenterium dan daerah retroperitoneal.Subendokardium

ventrikel

kiri

merupakan

tempat

predileksi

untuk

suatu perdarahan yang jelas dan kecil berupa flame like hemorrhage atau efusi perdarahan yang luas.3,8,9 Pada kematian akibat keracunan kronis, pemeriksaan luar dapat dijumpai terjadinya kelainan pigmentasi pada kulit, garis putih pada kuku, serta tubuh korban yang kahektis. Pada pemeriksaan dalam akan menunjukkan kelainan pada saluran pencernaan yang ringan. Lambung normal atau dapat juga menunjukan gastritis kronis dengan disertai penebalan mukosa dan lapisan serosa. Usus halus berdilatasi dengan mukosa yang menebal dan gambaran keseluruhannya edema kongestif yang non-spesifik yang umum ditemukan pada penyakit enteritis. Jarang terjadi ulserasi pada mukosa, isi dari usus sendiri dapat berlebihan atau berupa cairan dengan gambaran seperrti air cucian beras. Kelainan histologi degeneratif juga dapat ditemukan pada hati dan ginjal. Ditemukan adanya petechiae pada jantung, paru, hepar, dan otak.9,10 Apabila korban menelan arsen dalam bentuk padat, secara makroskopik kadang-kadang dapat dijumpai adanya kristal putih melekat pada mukosa lambung dan esofagus. Jika korban

baru diotopsi setelah mayat membusuk, maka kristal putih arsen trioksida akan berubah warna menjadi kuning. Sementara itu mukosa gaster warnanya juga berubah dari merah padam menjadi hijau keunguan sampai hijau kecoklatan.9 Pada jaringan otak, arsen menyebabkan destruksi hemoragik dan perivaskuler (dikenal sebagai Wernicke-like encepphalopathy, arsenical encephalopathy, hemorrhagic arsenical encephalitis, atau cerebral purpura), yang terjadi akibat kerusakan endotel yang berat. Secara mikroskopik pada kelainan ini ditemukan adanya trombosis arteriol dan kapiler serta nekrosis simetris pada daerah pons, korpus kalosum, klaustrum dan thalamus.9 Gambar 2. Destruksi hemoragik pada otak

Gambar 3. Mee’s lines

Gambar 4. Petechiae hemorrhage pada intoksikasi arsen akut 2. Timbal Pengertian timbal (Pb) Timbal atau dikenal sebagai logam Pb dalam susunan unsur merupakan logam berat yang terdapat secara alami di dalam kerak bumi dan tersebar ke alam dalam jumlah kecil melalui proses alami termasuk letusan gunung berapi dan proses geokimia. Pb merupakan logam lunak yang berwarna kebiru-biruan atau abu-abu keperakan dengan titik leleh pada 327,5 ºC dan titik didih 1.740 ºC pada tekanan atmosfer.

Sumber dan kegunaan timbal (Pb ) Timbal secara alamiah terdapat dalam jumlah kecil pada batu-batuan, penguapan lava, tanah dan tumbuhan. Timbal komersial dihasilkan melalui penambangan, peleburan, pengilangan dan pengolahan ulang sekunder (Joko S,1995). Sumber-sumber lain yang menyebabkan timbal terdapat dalam udara ada bermacam-macam. Di antara sumber alternatif ini yang tergolong besar adalah pembakaran batu bara, asap dari pabrik-pabrik yang mengolah senyawa timbal alkil, timbal oksida, peleburan biji timbal dan transfer bahan bakar kendaraan bermotor, karena senyawa timbal alkil yang terdapat dalam bahan bakar tersebut dengan sangat mudah menguap. Kadar timbal dari sumber alamiah sangat rendah dibandingkan dengan timbal yang berasal dari pembuangan gas kendaraan bermotor. Timbal tidak pernah ditemukan dalam bentuk murninya, selalu bergabung dengan logam lain.Timbal terdapat dalam 2 bentuk yaitu bentuk inorganik dan organik. Dalam bentuk inorganik timbal dipakai dalam industri baterai (digunakan persenyawaan Pb-Bi) untuk kabel telepon digunakan persenyawaan timbal yang mengandung 1% stibium (Sb) untuk kabel listrik digunakan persenyawan timbal dengan As, Sn dan Bi: percetakan, gelas, polivinil, plastik dan mainan anak-anak. Disamping itu bentuk-bentuk lain dari persenyawaan timbal juga banyak digunakan dalam konstruksi pabrik-pabrik kimia, kontainer dan alat-alat lainnya. Persenyawaan timbal dengan atom N (nitrogen) digunakan sebagai detonator (bahan peledak). Selain itu timbal juga digunakan untuk industri cat (PbCrO4), pengkilap keramik (Pb-Silikat), insektisida (Pb arsenat), pembangkit tenaga listrik ( Pb-telurium). Penggunaan persenya-waan timbal ini karena kemampuannya yang sangat tinggi untuk tidak mengalami korosi. Dalam bentuk organik timbal dipakai dalam industri perminyakan. Alkil timbal (TEL/timbal tetraetil dan TML/timbal tetrametil) digunakan sebagai campuran bahan bakar bensin. Fungsinya selain meningkatkan daya pelumasan, meningkatkan efisiensi pembakaran juga sebagai bahan aditif anti ketuk (anti-knock) pada bahan bakar yaitu untuk mengurangi hentakan akibat kerja mesin sehingga dapat menurunkan kebisingan suara ketika terjadi pembakaran pada mesin-mesin kendaraan bermotor. Sumber inilah yang saat ini paling banyak memberi kontribusi kadar timbal dalam udara.Bahan aditif yang biasa dimasukkan ke dalam bahan bakar kendaraan bermotor pada umumnya terdiri dari 62% timbal tetra etil, dan

bahan scavenger yaitu 18% etilendikhlorida (C2H4C12), 18% etilendibromida (C2H4Br2)

dan

sekitar 2% campuran tambahan dari bahan-bahan yang lain. Senyawa scavenger dapat mengikat residu timbal yang dihasilkan setelah pembakaran, sehingga di dalam gas buangan terdapat senyawa timbal dengan halogen. Jumlah senyawa timbal yang jauh lebih besar dibandingkan dengan senyawa-senyawa lain dan tidak terbakar musnahnya timbal dalam peristiwa pembakaran pada mesin menyebabkan jumlah timbal yang dibuang ke udara melalui asap buangan kendaraan menjadi sangat tinggi. Manusia menyerap timbal melalui udara, debu, air dan makanan. Salah satu penyebab kehadiran timbal adalah pencemaran udara. Yaitu akibat kegiatan transportasi darat yang menghasilkan bahan pencemar seperti gas CO2, NOx, hidrokarbon, SO2,dan tetraethyl lead, yang merupakan bahan logam timah hitam (timbal) yang ditambahkan ke dalam bahan bakar berkualitas rendah untuk menurunkan nilai oktan. Penggolongan Sumber Timbal (Pb) 1. Sumber dari alam Kadar Pb yang secara alami dapat ditemukan dalam bebatuan sekitar 13 mg/kg. Khusus Pb yang tercampur dengan batu fosfat dan terdapat didalam batu pasir (sand stone) kadarnya lebih besar yaitu 100 mg/kg. Pb yang terdapat di tanah berkadar sekitar 5 – 25 mg/kg dan di air bawah tanah (ground water) berkisar antara 1- 60 μg/liter. Secara alami Pb juga ditemukan di air permukaan. Kadar Pb pada air telaga dan air sungai adalah sebesar 1 -10 μg/liter. Dalam air laut kadar Pb lebih rendah dari dalam air tawar. Laut bermuda yang dikatakan terbebas dari pencemaran mengandung Pb sekitar 0,07 μg/liter. Sumber dari Industri Industri yang perpotensi sebagai sumber pencemaran Pb adalah semua industri yang memakai Pb sebagai bahan baku maupun bahan penolong, misalnya : 

Industri pengecoran maupun pemurnian.

Industri ini menghasilkan timbal konsentrat (primary lead), maupun secondary lead yang berasal dari potongan logam (scrap). 

Industri batery. Industri ini banyak menggunakan logam Pb terutama lead antimony alloy dan lead oxides sebagai bahan dasarnya.



Industri bahan bakar. Pb berupa tetra ethyl lead dan tetra methyl lead banyak dipakai sebagai anti knock pada bahan bakar, sehingga baik industri maupun bahan bakar yang dihasilkan merupakan sumber pencemaran Pb.



Industri kabel. Industri kabel memerlukan Pb untuk melapisi kabel. Saat ini pemakaian Pb di industri kabel mulai berkurang, walaupun masih digunakan campuran logam Cd, Fe, Cr, Au dan arsenik yang juga membahayakan untuk kehidupan makluk hidup.



Industri kimia, yang menggunakan bahan pewarna. Pada industri ini seringkali dipakai Pb karena toksisitasnya relatif lebih rendah jika dibandingkan dengan logam pigmen yang lain. Sebagai pewarna merah pada cat biasanya dipakai red lead, sedangkan untuk warna kuning dipakai lead chromate. Sumber dari Transportasi Senyawa Pb-organik seperti Pb-tetraetil dan Pb-tetrametil banyak digunakan sebagai zat aditif pada bahan bakar bensin untuk meningkatkan angka oktan secara ekonomi dan merupakan bagian terbesar dari seluruh emisi Pb ke atmosfer. Pb-tetraetil dan Pb-tetrametil berbentuk larutan dengan titik didih masing-masing 110 ºC dan 200 ºC. Karena daya penguapan kedua senyawa tersebut lebih rendah dibandingkan dengan unsur-unsur lain dalam bensin, maka penguapan bensin akan cenderung memekatkan kadar Pb-tetraetil dan Pb-tetrametil. Kedua

senyawa ini akan terdekomposisi pada titik didihnya dengan adanya sinar matahari dan senyawa kimia lain di udara seperti senyawa halogen asam atau oksidator. Kandungan Senyawa Timbal dalam Gas Buangan Kendaraan Bermotor Senyawa Pb (%)

0 jam

18 jam

PbBrCl

32,0

12,0

PbBrCl2PbO

31,4

1,6

PbCl2

10,7

8,3

Pb(OH)Cl

7,7

7,2

PbBr2

5,5

0,5

PbCL22PbO

5,2

5,6

Pb(OH)Br

2,2

0,1

PbOx

2,2

21,2

PbCO3

1,2

13,8

PbBr22PbO

1,1

0,1

PbCO32PbO

1,0

29,6

Kandungan PbBrCL dan PbBrCL2PbO merupakan kandungan senyawa timbal yang utama. Ke dua senyawa tersebut telah dihasilkan pada saat pembakaran pada mesin kendaraan dimulai, yaitu saat waktu 0 jam. Selanjutnya jumlah dari ke dua senyawa tersebut akan berkurang setelah waktu pembakaran berjalan 18 jam dimana jumlah buangan atas ke dua senyawa tersebut menjadi berkurang jauh (50% untuk PbBrCl) dan menjadi sangat sedikit untuk

PbBrCl2PbO. Sedangkan kandungan oksida-oksida timbal (PbOx ) dan PbCO32PbO mengalami peningkatan yang sangat tinggi dan menggantikan posisi dua kandungan pertama setelah masa pembakaran sampai 18 jam. Emisi Pb masuk ke dalam lapisan atmosfer bumi dan dapat berbentuk gas dan partikel. Emisi Pb yang masuk dalam bentuk gas terutama berkaitan sekali berasal dari buangan gas kendaraan bermotor. Emisi tersebut merupakan hasil samping pembakaran yang terjadi dalam mesin-mesin kendaraan, yang berasal dari senyawa tetrametil-Pb dan tetril-Pb yang selalu ditambahkan dalam bahan bakar kendaraan bermotor yang berfungsi sebagai antiknock pada mesin-mesin kendaraan. Musnahnya timbal (Pb) dalam peristiwa pembakaran pada mesin yang menyebabkan jumlah Pb yang dibuang ke udara melalui asap buangan kendaraan menjadi sangat tinggi. Berdasarkan estimasi skitar 80–90% Pb di udara ambien berasal dari pembakaran bensin tidak sama antara satu tempat dengan tempat lain karena tergantung pada kepadatan kendaraan bermotor dan efisiensi upaya untuk mereduksi kandungan Pb pada bensin. Hasil pembakaran dari bahan tambahan (aditive) Pb pada bahan bakar kendaraan bermotor menghasilkan emisi Pb organik. Logam berat Pb yang bercampur dengan bahan bakar tersebut akan bercampur dengan oli dan melalui proses di dalam mesin maka logam berat Pb akan keluar dari knalpot bersama dengan gas buang lainnya. Timbal di udara terutama berasal dari penggunaan bahan bakar bertimbal yang dalam pembakarannya melepaskan timbal oksida berbentuk debu/partikulat yang dapat terhirup oleh manusia. Mobil berbahan bakar yang mengandung timbal melepaskan 95 persen timbal yang mencemari udara di negara berkembang. Sumber dari Perairan Timbal (Pb) dan persenyawaannya dapat berada di dalam badan perairan secara alamiah dan sebagai dampak dari aktivitas manusia. Pb yang masuk ke dalam perairan sebagai dampak aktivitas kehidupan manusia diantaranya adalah air buangan dari pertambangan bijih timah hitam, buangan sisa industri baterai dan bahan bakar angkutan air. Secara alamiah, Pb dapat masuk ke badan perairan melalui pengkristalan Pb di udara dengan bantuan air hujan. Selain itu, proses korosifikasi dari batuan mineral akibat hempasan gelombang dan angin, juga merupakan

salah satu jalur sumber Pb yang akan masuk dalam badan perairan. Pb yang masuk ke badan perairan sebagai dampak dari aktiviatas kehidupan manusia. Senyawa Pb yang ada dalam badan perairan dapat ditemukan dalam bentuk ion-ion divalen atau ion-ion tetravalen (Pb2+, Pb4+). Badan perairan yang telah kemasukan senyawa atau ion-ion Pb, sehingga jumlah Pb yang ada dalam badan perairan melebihi kosentrasi yang semestinya, dapat mengakibatkan kematian bagi biota perairan. Kosentrasi logam toksik salah satunya Pb dalam lingkungan perairan secara alamiah biasanya sangat kecil sekali. Kosentrasi logam Pb secara alamiah dalam air laut 0,03 µg/L dan air sungai 3 µg/L. Standar kosentrasi logam Pb dalam air yang direkomendasikan yaitu 0,10 mg/L. Timbal dapat berasal dari kontaminasi pipa, solder dan kran air. Kandungan timbal dalam air sebesar 15mg/l dianggap konsentrasi yang aman untuk dikonsumsi. Sumber dari Makanan Dalam makanan, timbal berasal dari kontaminasi kaleng makanan dan minuman dan solder yang bertimbal. Kandungan timbal yang tinggi ditemukan dalam sayuran terutama sayuran hijau. Sumber dari Kosmetik Produk kosmetik yang mengandung Pb salah satunya yaitu terdapat pada lipstik. Hal ini diperkuat dengan adanya penelitian Malkan bersama timnya yang menginginkan agar FDA menetapkan batas kandungan timbal dalam lipstik dan mempelajari apakah ada bahayanya jika produk yang mengandung timbal tersebut digunakan pada bibir manusia, khususnya anak-anak dan wanita hamil. Malkan juga mengatakan bahwa lima dari sembilan merek lipstik dengan kandungan timbal tertinggi diproduksi oleh produsen kosmetik terbesar di dunia. Lipstik keluaran L’Oreal dengan tema ‘Color Sensational’ Pink Petal adalah paling tinggi kandungan timbalnya, yaitu sebanyak 7,19 ppm. Sebagai perbandingan, produk anak-anak yang dijual di Amerika Serikat dilarang memiliki kandungan timbal lebih dari 100 ppm. Berikut merupakan ciri-ciri dari timbal ialah : 1. Merupakan logam yang lunak, sehingga dapat dipotong dengan menggunakan pisau atau tangan dan dapat dibentuk dengan mudah.

2. bersifat anorganik dan umumnya dalam bentuk garam anorganik yang umumnya kurang larut dalam air 3. Tahan terhadap korosi atau karat, sehingga logam timbal sering digunakan sebagai coating 4. Titik lebur rendah, hanya 327,5 derajat C 5. Merupakan penghantar listrik yang tidak baik. 6. Mempunyai kerapatan yang lebih besar dibandingkan dengan logam-logam biasa, kecuali emas dan mercuri 7. tidak mengalami degradasi (penguraian) dan tidak dapat dihancurkan 8. tidak mengalami penguapan namun dapat ditemukan di udara sebagai partikel Dampak timbal terhadap kesehatan Efek Pb terhadap kesehatan terutama terhadap sistem haemotopoetic (sistem pembentukan darah), adalah menghambat sintesis hemoglobin dan memperpendek umur sel darah merah sehingga akan menyebabkan anemia. Pb juga menyebabkan gangguan metabolisme Fe dan sintesis globin dalam sel darah merah dan menghambat aktivitas berbagai enzim yang diperlukan untuk sintesis heme. Anak yang terpapar Pb akan mengalami degradasi kecerdasan alias idiot. Pada orang dewasa Pb mengurangi kesuburan, bahkan menyebabkan kemandulan atau keguguran pada wanita hamil, kalaupun tidak keguguran, sel otak tidak bisa berkembang. Dampak Pb pada ibu hamil selain berpengaruh pada ibu juga pada embrio/ janin yang dikandungnya. Selain penyakit yang diderita ibu sangat menentukan kualitas janin dan bayi yang akan dilahirkan juga bahan kimia atau obatobatan, misalnya keracunan Pb organik dapat meningkatkan angka keguguran, kelahiran mati atau kelahiran premature. Timbal (Plumbum) beracun baik dalam bentuk logam maupun garamnya. Garamnya yang beracun adalah : timbal karbonat ( timbal putih ); timbal tetraoksida ( timbal merah ); timbal monoksida; timbal sulfida; timbal asetat ( merupakan penyebab keracunan yang paling sering terjadi ). Ada beberapa bentuk keracunan timbal, yaitu keracunan akut, subakut dan kronis.

Nilai

ambang

toksisitas

timbal (

total limit values atau TLV )

adalah 0,2 miligram/m3. Berikut tipe keracunan timbal yang terjadi ialah:

Keracunan akut Keracunan timbal akut jarang terjadi. Keracunan timbal akut secara tidak sengaja yang pernah terjadi adalah karena timbal asetat. Gejala keracunan akut mulai timbul 30 menit setelah meminum racun. Berat ringannya gejala yang timbul tergantung pada dosisnya. Keracunan biasanya terjadi karena masuknya senyawa timbal yang larut dalam asam atau inhalasi uap timbal. Efek adstringen menimbulkan rasa haus dan rasa logam disertai rasa terbakar pada mulut. Gejala lain yang sering muncul ialah mual, muntah dengan muntahan yang berwarna putih seperti susu karena Pb Chlorida dan rasa sakit perut yang hebat. Lidah berlapis dan nafas mengeluarkan bau yang menyengat. Pada gusi terdapat garis biru yang merupakan hasil dekomposisi protein karena bereaksi dengan gas Hidrogn Sulfida. Tinja penderita berwarna hitam karena mengandung Pb Sulfida, dapat disertai diare atau konstipasi. Sistem syaraf pusat juga dipengaruhi, dapat ditemukan gejala ringan berupa kebas dan vertigo. Gejala yang berat mencakup

paralisis

beberapa

kelompok

otot

sehingga

menyebabkan

pergelangan tangan terkulai ( wrist drop ) dan pergelangan kaki terkulai (foot drop). Keracunan subakut Keracunan sub akut terjadi bila seseorang berulang kali terpapar racun dalam dosis kecil, misalnya timbal asetat yang menyebabkan gejala-gejala pada sistem syaraf yang lebih menonjol, seperti rasa kebas, kaku otot, vertigo dan paralisis flaksid pada tungkai. Keadaan ini kemudian akan diikuti dengan kejang-kejang dan koma. Gejala umum meliputi penampilan yang

gelisah,

lemas

dan

depresi.

Penderita

sering

mengalami

gangguan

sistem

pencernaan, pengeluaran urin sangat sedikit, berwarna merah. Dosis fatal : 20 – 30 gram. Periode fatal : 1-3 hari. Keracunan kronis Keracunan timbal dalam bentuk kronis lebih sering terjadi dibandingkan keracunan akut. Keracunan timbal kronis lebih sering dialami para pekerja yang terpapar timbal dalam bentuk garam pada berbagai industri, karena itu keracunan ini dianggap sebagai penyakit industri. seperti penyusun huruf pada percetakan, pengatur komposisi media cetak, pembuat huruf mesin cetak, pabrik cat yang menggunakan timbal, petugas pemasang pipa gas. Bahaya

dan resiko pekerjaan itu ditandai dengan TLV 0,15 mikrogram/m3, atau 0,007 mikrogram/m3 bila sebagai aerosol. Keracunan kronis juga dapat terjadi pada orang yang minum air yang dialirkan melalui pipa timbal, juga pada orang yang mempunyai kebiasaan menyimpan Ghee (sejenis makanan di India) dalam bungkusan timbal. Keracunan kronis dapat mempengaruhi system syaraf dan ginjal, sehingga menyebabkan anemia dan kolik, mempengaruhi fertilitas, menghambat pertumbuhan janin atau memberikan efek kumulatif yang dapat muncul kemudian. Patofisiologi timbal Mekanisme utama keracunan timbal adalah diakibatkan karena peningkatan pembentukan Reactive Oxygen Species (ROS) dan gangguan pembentukan antioksidan. Timbal menyebabkan pembentukan ROS seperti hidroperoksida, hidrogen peroksida, dan singlet oxygen. Kadar ROS distabilkan oleh glutathione di dalam tubuh. 90% glutathione pada sel dalam bentuk tereduksi dan 10% dalam bentuk oksidatif, dan biasanya bertindak sebagai mekanisme pertahanan antioksidan. Glutathione menstabilkan ROS, dan setelah dikonversi (pengoksidasi) menjadi glutathione disulfide, glutathione disulfide direduksi kembali menjadi GSH oleh glutathione reduktase. Timbal mengiaktivasi glutathione dengan berikatan pada gugus sulfhidril GSH, yang menyebabkan produksi GSH menjadi tidak efisien, sehingga meningkatkan stres oksidatif. Timbal juga mengganggu aktivitas enzim antioksidan lain termasuk superoksida dismutase dan katalase. Peningkatan stres oksidatif menyebabkan kerusakan membran sel karena peroksidasi lipid. Stress oksidatif juga berperan pada pathogenesis beberapa penyakit akut dan kronis lainnya, seperti hipertensi dan penyakit kardiovaskular. Timbal memblok aktivitas 5aminolevulinic acid (ALA) dehydratase dan menyebabkan oksidasi hemoglobin, yang bersama dengan peroksidasi lipid dapat menyebabkan hemolisis sel darah merah. Timbal memasuki ruang intravascular dengan mengikat ke sel darah merah secara cepat. Timbal memiliki waktu paruh sekitar 30 hari di dalam darah, dari mana ia berdifusi ke jaringan lunak, termasuk ginjal, otak, hati, dan sumsum tulang. Timbal kemudian berdifusi ke tulang dan disimpan di sana untuk jangka waktu yang sesuai dengan waktu paruh beberapa dekade. Peningkatan pergantian tulang pada kehamilan, menopause, laktasi, atau imobilisasi dapat meningkatkan kadar timbal dalam darah. Perkiraan kadar timbal dalam darah lebih berguna untuk mendiagnosis keracunan timbal akut, sedangkan tingkat paparan timbal masa lalu dapat

diperkirakan dengan menentukan beban tubuh timbal berdasarkan hasil dari edetat (EDTA) kalsium disodium (CaNa2 EDTA) mobilisasi timbal uji. Timbal terutama diekskresikan dalam urin dan empedu, tetapi tingkat eliminasi bervariasi, tergantung pada jaringan yang menyerap timbal. Ginjal mengeluarkan timah melalui filtrasi glomerular dan sekresi tubular. Timbal memiliki transport dua arah melintasi epitel tubular. Pembersihan timbal berkisar dari 1 hingga 3 mL / menit dan relatif independen dari fungsi ginjal. Pemeriksaan Kedokteran Forensik Pada keracunan akut yang meninggal, ditemukan tanda-tanda dehidrasi, lambung mengerut, hiperemi, isi lambung berwarna putih, usus spastis, dan feses berwarna hitam. Jika keracunan kronik maka didapatkan tubuh sangat kurus, pucat, terdapat garis Pb, ikterik, gastritis kronik, dan pada usus ditemukan bercak-bercak hitam. 3. Kadmium Kadmium adalah unsur yang banyak tersebar secara alami dalam bentuk mineral dan digunakan secara komersial dalam bentuk bijih kadmium, yang dinamakan greenockite, yang biasanya ditemukan bersama bijih zink. Produksi komersial bijih kadmium bergantung pada tambang zink. Secara komersial kadmium tersedia dalam bentuk oksida, klorida atau sulfida. Logam kadmium (Cd2+) dimurnikan dari bentuk bijih menjadi logam berat yang berwarna putih keperakan dengan sedikit kebiruan cemerlang dan berbentuk padat pada suhu ruangan. Secara komersial kadmium tersedia dengan kemurnian 99% sampai 99,999% dalam bentuk bubuk, alumunium foil, batang atau lempeng logam, dan kristal. Beberapa garam kadmium bersifat larut dalam air seperti cadmium klorida, kadmium sulfat dan kadmium nitrat. Garam-garam lain yang sulit larut dalam air dapat menjadi mudah larut air bila diinteraksikan dengan asam, cahaya atau oksigen. Kadmium terbentuk secara alami dari proses yang lambat dari erosi dan abrasi bebatuan dan tanah Emisi alami kadmium ke lingkungan dapat berasal dari letusan gunung berapi, kebakaran hutan, pembentukan aerosol garam laut dan fenomena alami lainnya. Konsentrasi kadmium yang cukup tinggi dapat terjadi akibat adanya aktifitas manusia. Sumber dari aktifitas manusia tersebut antara lain adalah adanya penggunaan pupuk fosfat, pembakaran bahan bakar fosil, produksi besi, baja, dan logam non besi, produksi semen dan pembakaran sampah. Sumber

pencemaran kadmium lainnya di udara adalah dari pembakaran bahan bakar fosil seperti batu bara atau minyak dan pembakaran limbah padat seperti plastik dan baterai nikelkadmium (dapat terdeposit menjadi limbah padat). Kadmium juga mencemari udara dari proses produksi besi dan baja. Kadmium secara umum digunakan untuk penyepuhan logam, memproduksi pigmen, baterai nikel-kadmium, stabilisator plastik dan sebagai absorben neutron pada fasilitas reaktor nuklir. Kadmium (Cd) adalah salah satu logam berat yang keberadaanya patut mendapat perhatian khusus karena secara luas terdapat di lingkungan baik sebagai pencemar atau sebagai komponen dalam rokok yang dikonsumsi oleh masyarakat luas. Karakteristik Kadmium 1. Sifat-sifat a. Sifat Fisik  Logam berwarna putih keperakan  Mengkilat  Lunak/mudah ditempa dan ditarik  Titik lebur rendah

b. Sifat Kimia  Cd tidak larut dalam basa  Larut dalam H2SO4 encer dan HCl encer Cd + H2SO4 → CdSO4 + H2  Cd tidak menunjukkan sifat amfoter  Bereaksi dengan halogen dan nonlogam seperti S, Se, P  Cd adalah logam yang cukup aktif  Dalam udara terbuka, jika dipanaskan akan membentuk asap coklat CdO  Memiliki ketahanan korosi yang tinggi  CdI2 larut dalam alkohol 2. Kesenyawaan Cd3 a. Oksida Cd

Senyawa biner, oksida CdO dibentuk dengan pembakaran logamnya di udara atau dengan pirolisis karbonat atau nitratnya. Asam oksida dapat diperoleh dengan pembakaran alkil, asap kadmium oksida luar biasa beracun. Kadmium oksida warnanya beragam mulai dari kuning kehijauan sampai coklat mendekati hitam bergantung pada proses pemanasannya. Warna-warna ini adalah hasil dari keragaman jenis kerusakan kisinya. Oksida menyublim pada suhu yang sangat tinggi. b. Hidroksida Jika larutan garam Cd di tambah NaOH terbentuk Cd(OH)2. Cd2+ + 2NaOH → Cd(OH)2 ↓(putih) + 2Na+ Hidroksida Cd mudah larut dalam amonia kuat berlebih membentuk kompleksamin [Cd(NH3)4]2+. Cd(OH)2(s) + 4NH3(aq) → [Cd(NH3)4]2+(aq) + 2OH-(aq) c. Sulfida Senyawa sulfida diperoleh dari interaksi langsung/pengendapan oleh H2S dari larutan aqua, larutan asam untuk CdS. Cd + H2S → CdS +H2 d. Halida Larutan Cd halida mengandung semua spesies Cd2+, CdX+, CdX2+, dan CdX3– dalam kesetimbangan. e. Garam Okso dan Ion Aquo Garam dari okso seperti nitrat, sulfat, sulfit, perklorat, dan asetat larut dalam air. Ion aquo bersifat asam dan larutan garamnya terhidrolisis bagi larutan Cd Yang lebih pekat, spesies yang utama adalah Cd2OH3 + 2Cd2+(aq) + H2O(l) → Cd2OH3+(aq) + H+. Dengan adanya anion pengompleks, misalnya halide, senyawa seperti Cd(OH)Clatau CdNO3+ dapat diperoleh. f. Iodida Garam Cd dapat larut dalam KI. Jika larutan KI pekat ditambahkan pada larutan garam amoniakal terbentuk Cd(NH3)¬4I4 yang berbentuk endapan putih. CdI2 larut dalam alkohol dan digunakan dalam fotografi.

Patofisiologi pajanan kadmium terhadap sistem kardiovaskular Peningkatan insiden PJK akibat pajanan Cd diduga akibat aktivitas logam tersebut dalam memicu terjadinya disfungsi endotel. Disfungsi endotel dapat menyebabkan sel endotel tersebut mengalami kehilangan integritas, sehingga ikatan antar endotel menjadi longgar. Hal ini selanjutnya menyebabkan lepasnya endotel ke dalam pembuluh darah. Endotel yang terlepas ke dalam aliran darah tersebut disebut dengan Circulating Endothelial Cell (CEC). CEC merupakan penanda dari kerusakan atau disfungsi endotel dan kerusakan pembuluh darah. Hal ini didasarkan oleh beberapa penelitian terdahulu yang menyebutkan bahwa pada pasien-pasien yang mengalami penyakit jantung dan pembuluh darah, seperti infark miokard akut, unstable angina, dan gagal jantung kongestif mengalami peningkatan kadar CEC secara bermakna dibandingkan orang sehat. Patomekasime Cd dalam menyebabkan kerusakan endotel diduga melalui beberapa mekanisme, antara lain yaitu pajanan Cd yang dapat memicu pembentukan senyawa oksigen reaktif (SOR) dan penurunan aktivitas antioksidan, sehingga mengakibatkan terjadinya stres oksidatif pada pembuluh darah. Pajanan Cd juga dapat meningkatkan insiden PJK melalui aktivitasnya dalam mengganggu proses metabolisme kolesterol dan lipoprotein. Pajanan Cd diketahui dapat meningkatkan kadar kolesterol sehingga memicu terjadinya disfungsi endotel. Peningkatan kadar kolesterol tersebut diduga dapat mengganggu aktivitas beberapa enzim yang berperan dalam proses metabolisme kolesterol dan liporprotein, seperti lipoprotein lipase dan 3-hidroksi3- metilglutaril-koenzim A reduktase (HMG-CoA reduktase). Peningkatan kadar kolesterol ini diduga melalui beberapa mekanisme, antara lain pajanan Cd yang dapat meningkatkan aktivitas 3- hidroksi-3-metilglutaril-koenzim A reduktase (HMG-CoA reduktase) yang berfungsi mengkatalisis perubahan HMG-CoA menjadi asam mevalonat, yang merupakan prekursor awal kolesterol. Peningkatan aktivitas ini disebabkan oleh produksi sitokin proinflamasi seperti Tumor Necrosis Factor Alpha (TNF-α) dan interleukin1β (IL-1β) yang dapat meningkatkan ekpresi gen HMG-CoA reduktase. Selain itu, produksi sitokin tersebut diketahui juga dapat menghambat ekspresi dari 7α-hidroksilase yang berfungsi pada proses katabolisme kolesterol. Kedua hal tersebut dapat meningkatkan kadar kolesterol di dalam darah. Selain itu pajanan Cd dapat juga menurunkan aktivitas lesitin kolesterol asil transferase (LCAT). LCAT merupakan enzim yang berfungsi dalam proses esterifikasi dan transesterifikasi beberapa fraksi lipoprotein

seperti High Density Lipoprotein (HDL), Very Low Density Lipoprotein (VLDL), dan Low Density Lipoprotein (LDL) yang berada pada sirkulasi darah. Penurunan aktivitas LCAT diketahui dapat meningkatkan kadar kolesterol di dalam darah. Pajanan Cd juga diketahui dapat menurunkan aktivitas enzim lipoprotein lipase (LPO). Enzim ini berfungsi pada proses katabolisme trigliserid dan asam lemak bebas dari kilomikron dan VLDL. Hal ini juga dapat meningkatkan kadar kolesterol dan trigliserid di dalam darah. Efek Cadmium terhadap jantung Kadmium berpotensi menggantikan dan berinteraksi dengan homeostasis dari beberapa logam penting, seperti seng, besi dan kalsium. Telah dilaporkan bahwa kadmium dapat memiliki efek kardiotoksik, yang mungkin menjelaskan hubungan antara kadmium dan Heart Failure. Paparan kronis terhadap kadmium menyebabkan perubahan degeneratif pada sel miokard pada tikus, dan efek depresan jantung setelah paparan kadmium dosis rendah telah dilaporkan pada tikus. Kadmium dapat mempengaruhi struktur jaringan dan integritas otot jantung oleh stres oksidatif dan peningkatan oksigen reaktif. Cadmium juga mempengaruhi sistem konduksi jantung dengan mengganggu proses fisiologis dan biokimia yang diperantarai kalsium. Cadmium juga berefek pada kejadian penyakit jantung coroner. Efek Kadmium terhadap jantung menyebabkan Hipertrofi ventrikular adalah membesarnya ukuran ventrikel jantung. Perubahan ini sangat baik untuk kesehatan jika merupakan respon atas latihan aerobik, akan tetapi hipertropi ventrikular juga dapat muncul akibat penyakit seperti tekanan darah tinggi. Tes Biologis untuk Mengukur Kadar Kadmium 1. Kadmium dalam darah Kadar kadmium dalam darah umumnnya menandakan pemajanan yang tidak lama terjadi. American Conference of Governmental Industrial Hygienists (ACGIH) menyarankan sebaiknya dilakukan pemantauan pemeriksaan darah pada masa awal pemajanan dan saat tingkat pemajanan berubah. Pada pekerja yang tidak terpajan, kadar kadmium darah pada dasarnya akan menurun. Saat penurunan kadar kadmium darah mencapai kondisi stabil, dapat dianggap sebagai beban tubuh terhadap pemajanan sebelumnya. Kadar kadmium normal dalam darah pada non perokok

umumnya kurang dari 1 ug/l sedangkan pada perokok berkisar dari 1.4-4.2 ug/l atau lebih. 2. Kadmium dalam urin Konsentrasi normal kadmium dalam urin adalah 0.1-1 ug/g kreatinin. Hingga saat ini, kadar 10 ug Cd/g kreatinin dianggap sebagai ambang batas terhadap efek ginjal. ACGIH menyarankan Biological Exposure Index (BEI) yang baru, yaitu 5 ug/g kreatinin sebagai kadar kadmium dalam urin. 3. Penanda dini ginjal Salah satu protein, yaitu beta2-microglobulin (BMG) telah lama digunakan sebagai indikator kerusakan tubulus proksimal ginjal yang berhubungan dengan kadmium. Kadar BMG dianggap meningkat pada 300 ug/g kreatinin, meskipun kadar rendah seperti 200 atau setinggi 500 ug/g kreatinin uga dianngap abnormal. Akhir-akhir ini, sejumlah penanda efek kadmium telah banyak direkomendasikan. Beberapa dari penada tersebut tampaknya lebih sensitif terhadap efek awal kadmium daripada BMG di urin, antara lain: retinol-binding protein (RBP) dalam urin, albumin dalam urin, Nacetyl-D-glucosaminidase (NAG) dalam urin, metallothionein (MT) dalam urin, urinary transferring, dan most tubular antigens. 4. Pemeriksaan langsung pada hati dan ginjal Analisis aktivasi neutron merupakan metode baru yang dapat mengukur langsung beban kadmium dalam hati dan ginjal. Teknik ini melibatkan penggunaan ultrasonic scan pada organ yang diperiksa, diikuti iradiasi dengan sinar neutron untuk mengukur beban organ dengan pengukuran sinar gamma yang khusus untuk kadmium. Dosis radiasinya lebih rendah daripada sinar-X konvensional.

4.Tembaga (Cu) Tembaga adalah logam merah-muda yang lunak, dapat ditempa, liat. Tembaga dapat melebur pada 1038 . Karena potensial electrode standarnya positif (+0,34 V untuk pasangan Cu/Cu2+), tembaga tidak larut daalm asam klorida dan asam sulfat encer, meskipun dengan adanya oksigen masih dapat terlarut sedikit. Dalam table periodik unsur – unsur kimia, tembaga menempati posisi dengan nomor atom (NA)29 dan mempunyai bobot atau berat atom (BA)

63,546. Unsur tembaga di alam, dapat ditemukan dalam bentuk logam bebas, akan tetapi lebih banyak ditemukan dalam bentuk persenyawaan atau sebagai senyawa padat dalam bentuk mineral. Selain itu, tembaga (Cu) juga terdapat dalam makanan. Sumber utama tembaga adalah tiram, kerang, kacang-kacangan, sereal, dan coklat. Air juga mengandung tembaga dan jumlahnya bergantung pada jenis pipa yang digunakan sebagai sumber air. Kegunaan tembaga (Cu) 1) Penting dalam pembentukan Hb dan eritrosit. 2) Tembaga adalah komponen dari berbagai enzim yang diperlukan untuk menghasilkan energy, anti oksidasi, dan sintesa hormone adrenalin serta untuk pembentukan jaringan ikat. 3) Membantu absorbsi unsur Fe. 4) Memelihara fungsi sistem syaraf. 5) Sintesis substansi hormon.

Garam tembaga bekerja pada tubuh dengan mempresipitasi protein. Garam – garam berikut ini penting dari segi mediko-legal : 1. Copper Sulphate:

biasa disebut Nila thotha atau vitriol biru dengan Rumus kimia

CuSO4. Copper Sulphate adalah bubuk kristal biru yang larut dalam air yang memiliki rasa styptic,

dapat diberikan sebagai anti muntah dalam dosis rendah tetapi dapat

menimbulkan iritasi ketika diberikan dalam dosis besar 2. Cooper Carbonara : garam diperoleh ketika karbonat natrium ditambahkan kelarutan tembaga sulfat 3. Copper Subacetate : garam ini sering digunakan dalam dunia kedokteran

Bentuk – Bentuk Keracunan Cu Bentuk tembaga yang paling beracun adalah debu-debu Cu yang dapat mengakibatkan kematian pada dosis 3,5 mg/kg. Garam-garam khlorida dan sulfat dalam bentuk terhidrasi yang sebelumnya diduga mempunyai daya racun paling tinggi, ternyata memiliki daya racun yang lebih rendah dari debu – debu Cu. Pada manusia, efek keracunan utama yang ditimbulkan akibat

terpapar oleh debu atau uap logam Cu adalah terjadinya gangguan pada jalur pernapasan sebelah atas. Efek keracunan yang ditimbulkan akibat terpapar oleh debu atau uap Cu tersebut adalah terjadinya kerusakan atropik pada selaput lendir yang berhubungan dengan hidung. Kerusakan itu, merupakan akibat dari gabungan sifat iritatif yang dimiliki oleh debu atau uap Cu. Sesuai dengan sifatnya sebagai logam berat beracun, Cu dapat mengakibatkan keracunan akut dan kronis. Terjadinya keracunan akut dan kronis ini ditentukan oleh besar dosis yang masuk dan kemampuan organisme untuk menetralisir dosis tersebut. 1. Keracunan akut Pada keracunan akut Gejala mulai timbul dalam waktu 15-30 menit setelah konsumsi. Gejala yang timbul meliputi muntah hebat, mual, haus, rasa logam di mulut, dan rasa nyeri seperti terbakar.. Materi yang dimuntahkan berwarna biru atau hijau dan dapat dibedakan dari empedu dengan penambahan amonium hidroksida ketika warnanya berubah menjadi biru tua. Mungkin terdapat diare. Oliguria, hematuria, albuminuria, dan uremia dapat terlihat. Penyakit kuning sering

terjadi. Penyebab kematian biasanya

karena shock. Dosis fatal tembaga sulfat adalah 15 gram pada dosis ini dapat menyebabkan kematin dan periode fatal pada rentang waktu 1 – 3 hari. Penampilan post-mortem Kulit mungkin kuning karena ikterus. Buih hijau dapat dilihat di mulut atau lubang hidung. Mukosa saluran gastrointestinal tersumbat, bengkak dan mungkin menunjukkan ulserasi. Isi perut berwarna hijau atau biru. Hati akan membesar dan mungkin menunjukkan nekrosis.Keracunan kronis 2. Keracunan kronis Pada manusia, keracunan Cu secara kronis dapat dilihat dengan timbulnya penyakit Wilson dan Kinsky.gejala dari penyakit Wilson ini adalah terjadi hepatic cirrhosis, kerusakan pada otak, dan demyelinas, serta terjadinya penurunan kerja ginjal dan pengendapan Cu dalam kornea mata. Penyakit Kinsky dapat diketahui dengan terbentuknya rambut yang kaku dan berwarna kemerahan pada penderita. Sementara pada hewan seperti kerang, bila didalam tubuhnya telah terakumulasi dalam jumlah tinggi, maka bagian otot tubuhnya akan memperlihatkan warna kehijauan. Hal ini dapat menjadi petunjuk apakah kerang tersebut masih bisa dikonsumsi manusia atau tidak.

Patofisiologi tembaga dalam jantung Tembaga atau Cu adalah katalisator yang kuat dalam proses oksidasi LDL, Cu akan memodifikasi proses oksidasi dari LDL terhadap bentuk bentuk arterogenik. Sampel dari lesi aterosklerotik mengandung Cu dan Fe bentuk yang dapat mengkatalisasi pembentukan radikal bebas (Smith et al., 1992). Sedangkan hubungan Cu ion dalam inisiasi oksidasi LDL secara in vivo masih harus dipelajari lebih lanjut, adalah mungkin bahwa dalam tidak adanya agen chelating, Cu2+ terikat pada residu histidin apolipoprotein B-100 pada LDL molekul dapat direduksi untuk membentuk Cu+. Lipid peroksidasi terjadi ketika Cu+ mengurangi preformed hidroperoksida lipid ke radikal alkoxyl. Dalam tidak adanya hidroperoksida lipid, pro-oksidasi dapat dimulai oleh radikal hidroksil yang dihasilkandari pengurangan oksigen oleh Cu+ (Burkitt, 2001). Ion Cu bebas bukan satu-satunya bentuk Cu bertanggung jawab atas oksidasi LDL. Ceruloplasmin, yang mengandung tujuh atom Cu per molekul, dapat berfungsi sebagai sumber Cu gratis (Harris, 1992) dan terlibat dalam oksidasi LDL (Witting et al., 1995; Iwatsuki et al., 1995; Lynch dan Frei, 1995; Mukhopadhyay dan Fox, 1998). Peroxynitrite, yang produk reaksi oksida nitrat dan superoksida, adalah seorang radikal sitotoksik ampuh yang mampu menyerang protein dan lipid. Selain terlibat dalam oksidasi LDL secara langsung, peroxynitrite mungkin menghancurkan protein pembawa seruloplasmin dan lepaskan ion Cu. Oksida nitrit endothelium berfungsi dalam endotelium vaskular dengan mencegah adhesi platelet dan vasospasme yang tidak tepat (Vanhoutte, 1993). Diperkirakan juga tinggi density lipoprotein (HDL) mungkin lebih rentan untuk oksidasi yang diinduksi Cu daripada LDL, karena pada konsentrasi Cu rendah, HDL lebih sensitive untuk oksidasi karena peningkatan tokoferolmediated peroksidasi. Pada konsentrasi Cu tinggi, HDL memiliki konsentrasi ikatan yang lebih tinggi Cu lipoprotein lipid meningkatkan kemampuannya mengoksidasi (Raveh et al., 2000). Di sisi lain, defisiensi Cu dapat meningkat kerentanan seluler terhadap kerusakan oksidatif. Panci dan Loo (2000), misalnya, telah menunjukkan bahwa Cudeficient T limfosit Jurkat mempertahankan lebih besar kerusakan DNA oksidatif daripada sel kontrol saat ditantang dengan H2O2, tetapi Cu penipisan tidak mempengaruhi proliferasi sel, mengubah viabilitas sel, atau mempromosikan kerusakan DNA oksidatif di sel Jurkat. Juga, suplemen Cu, tetapi tidak Zn atau Fe, mencegah Kerusakan DNA yang diinduksi H2O2 yang disebabkan oleh 2,3,2-tetraamine, chelatator afinitas tinggi Cu. Ini data menunjukkan bahwa Cu kekurangan kompromi pertahanan antioksidan sel melalui

kemampuan menurun untuk menghasilkan SOD, sehingga meningkatkan mereka kerentanan terhadap kerusakan DNA oksidatif. Efek 1.

Kekurangan tembaga

Kekurangan tembaga jarang terjadi pada orang sehat. Paling sering terjadi pada bayi-bayi prematur atau bayi-bayi yang sedang dalam masa penyembuhan dari malnutrisi yang berat. Orang-orang yang menerima makanan secara intravena (parental) dalam waktu lama juga memiliki resiko menderita kekurangan tembaga.

Gejala orang yang kekurangan tembaga, diantaranya adalah : a.Terjadi pendarahan berupa titik kecil di kulit dan aneurisma arterial. b. Penurunan jumlah sel darah merah (anemia) dan sel darah putih ( leukopenia). c. Penurunan jumlah kalsium dalam tulang d. Kadar tembaga rendah dalam darah e. rambut yang sangat kusut. f. keterbelakangan mental. g. kegagalan sintesa enzim yang memerlukan tembaga. 2.

Kelebihan tembaga Tembaga yang tidak berkaitan dengan protein merupakan zat racun. Mengkonsumsi sejumlah kecil tembaga yang tidak berkaitan dengan protein dapat menyebabkan mual dan muntah. Gejala orang yang kelebihan tembaga ,diantaranya adalah : a. Mengalami kerusakan ginjal. b. Menghambat pembentukan air kemih. c. Menyebabkan anemia karena pecahnya sel-sel darah merah (hemolisis). d. Penyakit Wilson(yang ditandai dengan gejala sakit perut, sakit kepala, perubahan suara). e. Sirosis. f. Pengumpulan tembaga dalam kornea mata yang menyebabkan terjadinya cincin emas atau emas kehijauan.

g. Menyebabkan kerusakan otak berupa tremor, sakit kepala, sulit berbicara, hilangnya Koordinasi, psikosis.

5.Merkuri (Hg)

Merkuri (Hg/Hydrargyricum) adalah unsur yang mempunyai nomor atom (NA=80) serta mempunyai massa molekul relatif (MR=200,59). Bentuk fisik dan kimianya sangat menguntungkan karena merupakan satu-satunya logam yang berbentuk cair dalam temperatur kamar (25°C), titik bekunya paling rendah (-39°C), mempunyai kecenderungan menguap lebih besar, mudah bercampur dengan logam- logam lain menjadi logam campuran (Amalgam/Alloi), juga dapat mengalirkan arus listrik sebagai konduktor baik tegangan arus listrik tinggi maupun tegangan arus listrik rendah. Merkuri terbagi dalam tiga bentuk: logam/elemental (amalgam gigi merupakan bahan yang sering digunakan pada uap merkuri), anorganik (bentuk dari senyawa anorganik merupakan senyawa divalent yang beracun bagi jaringan tubuh manusia), dan organik (bentuk dari senyawa organik merupakan methyl dan ethyl merkuri yang dapat ditemukan di ikan, mamalia laut dan vaksin thimerosal). Bentuk anorganik terutama mengandung merkuri

sedangkan bentuk organik adalah alkil dan aril. Garam merkuri lebih beracun daripada garam yang mengandung merkuri.

Karakteristik Merkuri Sebagai unsur, merkuri (Hg) berbentuk cair keprakan pada suhu kamar. Merkuri membentuk berbagai persenyawaan baik anorganik (seperti oksida, klorida, dan nitrat) maupun organik (alkil dan aril). Merkuri dapat menjadi senyawa anorganik melalui oksidasi dan kembali menjadi unsur merkuri (Hg) melalui reduksi. Merkuri anorganik menjadi merkuri organik melalui kerja kuman anaerobik tertentu dan senyawa ini secara lambat berdegradasi menjadi merkuri anorganik. Merkuri mempunyai titik leleh –38,870C dan titik didih 357,00C. Uap merkuri tidak berbau dan tidak terlihat. Hal ini digunakan dalam pembuatan termometer, barometer, lampu uap merkuri dan dalam industri listrik. Ini juga digunakan dalam peralatan gastroenterologi. Absorbsi, metabolisme dan ekskresi Merkuri masuk ke dalam tubuh terutama melalui paru-paru dalam bentuk uap atau debu. Jalan utama absorbsi adalah melalui saluran pernafasan, sekitar 80 % diabsorbsi dan retensi. Kemungkinan kurang dari 0,01 % diabsorbsi melalui saluran pencernaan. Garam merkuri (Hg2+) larut dan golongan aril merkuri diabsorbsi melalui inhalasi dan dalam jumlah terbatas secara ingesti. Golongan alkil merkuri diabsorbsi melalui semua jalan yaitu inhalasi, ingesti atau kontak kulit. Golongan anorganik dan aril merkuri didistribusi pada banyak jaringan tubuh, terutama pada otak dan ginjal. Merkuri terikat pada sulfhidril dan dapat mempengaruhi sejumlah sistem enzim sel. Produksi metalotionein (protein berat molekul rendah kaya sulfhidril) meningkat setelah pajanan merkuri dan dapat mempengaruhi efek perlindungan terhadap ginjal. Alkil merkuri memiliki ikatan kuat dengan karbon-merkuri dan akumulasi pada sistem saraf pusat. Pada aliran darah, absorbsi terbesar alkil merkuri ditemukan dalam sel darah merah. Merkuri anorganik dan organik, keduanya dapat melewati sawar darah otak dan plasenta, disekresi dalam air susu. Seluruh merkuri dieliminasi secara perlahan dalam urin, air liur dan keringat. Waktu paruh pada manusia untuk bentuk elemental di dalam darah mencapai 1 sampai 3 hari, dan berada di seluruh tubuh dalam waktu 1 sampai 3 minggu. Anorganik memiliki waktu

paruh didalam darah 1 sampai 3 minggu, dan untuk organik memiliki waktu paruh didalam darah dan seluruh tubuh mencapai 50 hari. Merkuri juga berikatan dengan kelompok tiol dan dapat diukur pada rambut dan kuku. Ekskresi merkuri dapat berlanjut untuk beberapa bulan sesudah pajanan merkuri berhenti. Tanda dan Gejala Keracunan Merkuri Tanda dan Gejala akut Keracunan akut timbul dari inhalasi dalam konsentrasi tinggi uap merkuri atau debu. Pneumonitis interstitialis akut, bronkitis dan brokiolitis dapat timbul pada inhalasi uap merkuri secara akut. Jika konsentrasi uap merkuri cukup tinggi, pajanan menimbulkan dada rasa berat, nyeri dada, kesulitan bernafas, batuk. Pada ingesti menimbulkan gejala rasa logam, mual, nyeri abdomen, muntah, diare, nyeri kepala dan kadang-kadang albuminuria. Kematian dapat timbul kapan saja. Dalam tiga atau empat hari kelenjar liur membengkak, timbul gingivitis, gejalagejala gastroenteritis dan nefritis muncul. Garis gelap merkuri sulfida dapat terbentuk pada gusi meradang, gigi dapat lepas, dan ulkus terbentuk pada bibir dan pipi. Pada kasus sedang, pasien dapat mengalami perbaikan dalam satu sampai dua minggu. Pada kasus lebih berat akan berkembang gejala-gejala psikopatologi dan tremor otot, ini akan menjadi tipe kronik dan gejala kerusakan neurologi dapat menetap. Pada umumnya kasus akut pajanan terjadi pada konsentrasi 1,2 – 8,5 mg/m3. Toksisitas merkuri pada ginjal dapat timbul dengan tanda awal proteinuria dan oliguri sebagai gagal ginjal. Pajanan alkil merkuri onsetnya timbul secara perlahan tetapi progresif pada sisitem saraf, dengan gejala awal berupa rasa kebas pada ekstremitas dan bibir. Kehilangan kontrol koordinasi dengan tungkai, ataxia, tremor dan kehilangan pergerakan yang baik. Pengurangan lapangan pandang, kehilangan pendengaran sentral, kekakuan otot, spastik dan refleks tendon yang berlebihan dapat juga terjadi. Tanda dan Gejala Kronik Trias klasik pada keracunan kronik uap air raksa adalah eretisme, tremor, dan stomatitis. Gejala-gejala neurologis dan psikis adalah yang paling karakteristik. Erethisme merupakan gangguan mental yang berkembang pada pekerja di pabrik yang memproduksi cermin. Orang itu mungkin mudah tersinggung, depresi mental, kehilangan ingatan, dan, mungkin bingung secara

mental. Halusinasi dapat dilihat. Gejala dini nonspesifik (anoreksia, penurunan berat badan, sakit kepala) diikuti gangguan-gangguan yang lebih karakteristik; iritabilitas meningkat, gangguan tidur (sering terbangun, insomnia), mudah terangsang, kecemasan, depresi, gangguan daya ingat, dan kehilangan kepercayaan diri. Masalah-masalah yang sifatnya lebih serius seperti halusinasi, kehilangan daya ingat total, dan kemunduran intelektual, tidak terlihat kini. Tremor merkuri (Mercurial Tremor atau Hater Shake Tremor) adalah tipe campuran (tremor menetap dan intensional), pertama kali tampak sebagai tremor halus kelopak mata yang tertutup, bibir dan lidah serta jari-jari. Tulisan tangan menjadi kacau, tidak teratur dan sering tak terbaca. Tremor tersebut berlanjut ke lengan dan akhirnya seluruh tubuh. Keracunan berat sering berakibat kelainan bicara terutama mengenai pengucapan. Tandatanda neurologis lain termasuk kulit bersemu merah, perspirasi meningkat dan dermatografia. Gingivitis kronik sering terjadi dan dapat menyebabkan hilangnya geligi, kelenjar liur membengkak dan merkuri diekskresikan pada air liur. Walaupun tingkat akumulasi merkuri ginjal tinggi, kerusakan ginjal jarang terjadi. Deposit air raksa pada kapsul anterior lensa mata menimbulkan bayangan coklat kelabu atau kuning dari lensa, atau biasa disebut Mercuria Lentis. Keracunan akibat kerja dengan senyawa-senyawa aril merkuri (fenil) dan metoksietil organik sangat jarang. Efek-efeknya serupa dengan efek yang ditimbulkan oleh merkuri anorganik. Di samping itu, senyawa-senyawa ini dapat menyebabkan dermatitis toksik. Hal ini juga terlihat pada pasien yang menggunakan salep untuk waktu yang lama yang mengandung merkuri. Kadar darah di atas 100 mg per 100 ml darah merupakan indikasi keracunan. Fatal Period Merkuri memiliki fatal period mencapai 3 sampai 5 hari. Fatal Dose 1–4 gm adalah dosis fatal untuk merkuri klorida. Aplikasi lokal 7-10 gm oksida merkuri pada lesi terbuka berakibat fatal

Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan penunjang yang dapat digunakan adalah dengan mengukur tingkat merkuri darah dan saluran kemih. Pada saluran kemih dapat mencapai 100-300 mg/l. Pada pemeriksaan X-ray, merkuri dapat dilihat sebagai bulatan kecil, bulat, dan gambaran opak berdiameter kurang dari 3 mm. Selain itu dapat diperiksa pada kuku. Penemuan Post-mortem Merkuri bersifat korosif, dan dapat terlihat di saluran pencernaan jika diberikan dalam dosis besar, jika tidak, gejala yang muncul seperti keracunan, dan iritasi akan terlihat. Usus besar, sekum, kolon dan rektum dapat ditemukan meradang dan ulserasi, dan dapat menunjukkan gangren jika pasien telah hidup selama beberapa hari. Hati, limpa dan ginjal tersumbat. Perut dapat menunjukkan kongesti, nekrosis atau bahkan perforasi. Lesi postmortem di saluran pencernaan terlihat bahkan dalam kasus-kasus di mana sublimasi korosif telah diberikan oleh rute eksternal. Gambar Otopsi

Gambar . Mercuria Lentis

Gambar , Acrodynia

Gambar . Minimata disesase

Komponen Organik dari Merkuri Senyawa organik merkuri terdiri dari dua jenis: senyawa aril dan alkil merkuri. Senyawa aril merkuri terdegradasi menjadi merkuri anorganik dalam tubuh sementara senyawa alkil merkuri tetap sebagai senyawa organic

Fisiologi Dasar dari Keracunan Merkuri Merkuri menyebabkan disfungsi mitokondria dan stress oksidatif. Disfungsi mitokondria primer terjadi di daerah ubiquinone-sitokrom B dan dengan NADH dehidrogenase menyebabkan perpindahan ion Fe ++ dan ion Cu + di Pusat a3Cub sitokrom C (gambar 1). Hal ini menyebabkan depolarisasi dan auto-oksidasi pada membran dalam mitokondria dengan cara peroksidasi lipid dan disfungsi mitokondria berat. Dampak fisiologis yang dihasilkan yaitu peningkatan enzim hidrogen peroksida, berkurangnya glutathione mitokondria lebih dari 50%, peningkatan penanda peroksidasi lipid seperti TBARS, lebih dari 70%, oksidasi piridin seperti NAD(p)H, dan perubahan dari homeostatis kalsium. Disfungsi mitokondria berat ini meningkatkan stres oksidatif dan mengurangi pertahanan antioksidan, sehingga berdampak bagi kesehatan. Mercury (Hg) Disfungsi mitokondria primer terjadi didaerah Ubiquinonecytochrome B region dengan NADH dehydrogenase, menyebabkan perpindahan Fe2+ dan ion Cu= di Pusat A3Cub sitokrom C

Depolarisasi, Auto-oksidasi, dan peroksidase pada bagian dalam membran mitokondria

Pengubahan homeostatis pada Kalsium

H2O2

Berkurangny a glutathione mitokondria (>50%)

 TBARS, peroksidase lipid >70%

Meningkatkan stress oksidatif dan mengurangi pertahanan antioksidan

Gambar . Patofisiologi dasar dari toksisitas merkuri

Oksidasi piridin, NAD(p)H

Terdapat 3 penyebab utama peroksidasi lemak yang diinduksi oleh merkuri antara lain, reaksi Fenton, afinitas untuk kelompok sulfhidril, dan selenium mengalami defisiensi. Merkuri berfungsi sebagai katalis langsung dalam reaksi Fenton dan sebagai katalis tidak langsung dengan cara menstimulasi zat besi, dimana akan meningkatkan produksi radikal bebas seperti spesies oksigen radikal dan anion superoksida. Afinitas tinggi merkuri untuk kelompok sulfhidril (-SH), seperti glutathione, NAC, dan ALA, dengan kapasitas antioksidan plasma yang tinggi, mengurangi pertahanan antioksidan baik membran dan plasma. Pada akhirnya, pembentukan kompleks antara merkuri dengan selenium menyebabkan penurunan kadar availabilitas selenium itu sendiri. Sementara selenium itu sendiri berfungsi sebagai kofaktor untuk aktivitas enzim glutathione peroksidase dalam menghancurkan hydrogen peroksida serta racun-racun peroksida lainnya. Dengan demikian, kapasitas antioksidan plasma dan intraseluler berkurang. Efek Merkuri Terhadap Vaskular Berbagai macam efek racun merkuri yang telah dibuktikan secara in vitro dalam studi pada hewan dan manusia (Tabel 2 memberikan rincian dengan referensi, dan tabel 3 memberikan ringkasan). Studi menemukan bahwa merkuri: - Meningkatkan produksi radikal bebas - Menonaktifkan pertahanan antioksidan - Berikatan dengan molekul yang mengandung tiol - Berikatan dengan selenium, membentuk kompleks seleno-raksa yang mengurangi ketersediaan selenium untuk aktivitas GPx - Menonaktifkan glutathione, katalase, dan dismutase superoksida - Meningkatkan peroksidasi lipid - Meningkatkan oksidasi LDL (oxLDL) - Meningkatkan kompleks oxLDL plasma Trombosis memiliki potensi untuk meningkatan agregasi trombosit dan meningkatan faktor VIII, faktor platelet, dan trombin, melalui pengurangan protein c. Berkurangnya pembentukan sel endotel dan migrasi sel, menurunkan perbaikan endotel pembuluh darah, menurunkan oksida nitrat, dan menyebabkan disfungsi dari endotel. Apoptosis meningkat, sehingga terganggunya

fungsi monosit dan fagositosis, fungsi kekebalan berkurang, dan peradangan vaskular meningkat. Hal ini dapat meningkatan produksi dan pelepasan anion superoksida dari neutrofil dan monosit, depolarisasi membran mitokondria menyebabkan disfungsi mitokondria berat, dan terjadi gangguan integritas membran plasma lipid oleh translokasi fosfatidil serin (PS). Pada akhirnya, merkuri merangsang proliferasi sel otot polos pembuluh darah dan menonaktifkan paraoxonase, enzim antioksidan ekstraseluler yang terkait dengan risiko HDL, CHF, dan MI. Singkatnya, efek merkuri terhadap vaskular menyebabkan stres oksidatif, peradangan, trombosis, proliferasi dan migrasi VSM, disfungsi endotel, dislipidemia, disfungsi kekebalan tubuh, dan disfungsi mitokondria. Semua kelainan fungsional ini memiliki potensi untuk meningkatkan risiko hipertensi dan penyakit vaskular. Penyakit Jantung Koroner dan Infark Miokard Pada kelinci yang terpapar uap merkuri yang dihirup, kardiovaskular dan patologis jantung termasuk bradikardia, trombosis pada arteri kecil dan sedang, nekrosis fokal dengan penebalan endokardium dari daerah perivalvular, otot papilaris dan katup, dan proliferasi endotel dengan fokus inflamasi dan edema fokal , proliferasi endotel, peradangan, dan fibrosis aorta asenden. Dalam studi kasus kontrol di 9 negara dari 684 pria dengan MI pertama mereka, ada hubungan yang signifikan dari kandungan merkuri kuku, jaringan adiposa DHA, dan MI pertama. Ada kandungan merkuri kuku 15% lebih tinggi sebagaimana dinilai oleh analisis aktivasi neutron (NAA) pada pria dengan MI pertama mereka dibandingkan dengan kelompok kontrol (95% Cl; 5-25%). OR yang disesuaikan risiko untuk MI adalah 2,16 di kuintil tertinggi dibandingkan dengan terendah (P = 0,006, 95% Cl; 1,09-4,29). DHA adiposa berbanding lurus dengan kandungan kuku merkuri (P <0,001) dan kandungan DHA berkorelasi terbalik dengan MI dengan OR 0,59 pada kuintil tertinggi dibandingkan dengan terendah (P = 0,02, 95% Cl; 0,30-1,19). Studi penting ini menyimpulkan bahwa terdapat peningkatan monotonic positif pada risiko MI dengan kandungan kuku merkuri di atas 0,25 ug /g, yang bahkan lebih curam bila disesuaikan dengan kandungan jaringan adiposa DHA. Merkuri yang didapat dari ikan dapat mengurangi perlindungan terhadap kardiovaskular. Studi lain membenarkan hasil ini — kuartil DHA tertinggi dengan kuartil merkuri terendah dikaitkan dengan penurunan 67% pada PJK. Dalam studi kontrol kasus bersarang besar lain dari 33.733 profesional perawatan kesehatan laki-laki antara usia 40-75 tahun (Studi Tindak Lanjut Profesional Kesehatan), tidak

ada hubungan antara kandungan kuku merkuri yang dinilai oleh NAA dan PJK ditemukan. Namun, ada korelasi yang tidak signifikan dari kuku dan PJK. Selain itu, subjek dengan tingkat merkuri tertinggi dan tingkat selenium serum terendah mengalami peningkatan PJK yang signifikan. Penelitian lainnya telah menunjukkan hasil yang beragam. Satu studi tentang penambang merkuri tidak menunjukkan hubungan antara PJK dan tingkat merkuri. Namun, studi lain dari penambang merkuri Eropa menunjukkan hubungan yang signifikan antara paparan merkuri dan total kematian (meningkat 55%), hipertensi (meningkat 46%), PJK (meningkat 36%). Sebuah studi Finlandia menemukan hubungan yang signifikan antara merkuri rambut, merkuri urin 24 jam, dan kejadian kardiovaskular. Pada pasien dengan rambut merkuri dalam tertile tertinggi (lebih dari 2 g / g) dan meningkatkan merkuri urin 24 jam, PJK dan risiko MI meningkat 2 kali lipat (P = 0,005), kematian kardiovaskular meningkat 2,9 kali dan sirkulasi oxLDL dan kompleks imun untuk oxLDL meningkat secara signifikan. Studi Gothenburg menunjukkan tidak ada hubungan antara kadar merkuri serum dan jumlah tambalan amalgam dan PJK atau MI. Pengobatan Pengobatan keracunan akut melalui ingesti yaitu melakukan lavage lambung dengan larutan 5 – 10 % sodium formaldehid sulfoxylate, melepaskan 100 – 200 ml larutan dalam lambung. BAL (Dimercaprol) dengan dosis 5 mg/kgBB segera diberikan. Pada keracunan akut secara inhalasi juga diobati sesegera mungkin dengan BAL. Gawat pernafasan dan gagal ginjal harus diobati dengan tepat. Penicillamin juga efektif diberikan pada keracunan akut. Manifestasi gejala kronis toksik merkuri secara individu dapat diperbaiki dari keadaan lebih lanjut. Keputusan pemberian pengobatan dapat tergantung pada beratnya gejala dan saat munculnya toksisitas saraf atau ginjal. Gejala neurologi akibat keracunan alkil merkuri bersifat irreversibel, penekanan diutamakan perlunya pencegahan. Pencegahan Bila memungkinkan, merkuri hendaknya dikelola dalam sistem bersekat rapat dan higine yang ketat hendaknya ditekankan di tempat kerja. Lebih lanjut, penting pula dicegah :


a. terlepasnya merkuri dari kontainer
 b. penyebaran percikan merkuri di udara
 c. infiltrasi merkuri pada retakan dan celah-celah lantai atau meja kerja (ini menyebabkan penguapan yang berlangsung lama).
 Uap merkuri dan debu yang mengandung senyawa merkuri hendaknya ditekan dengan langkah-langkah pengendalian teknis. Pada keadaan darurat termasuk pajanan terhadap kadar merkuri yang tinggi, peralatan pelindung nafas hendaknya dipakai. Batas-batas pajanan unsur merkuri berbeda di berbagai negara antara 0,01 mg/m3 hingga 0,05 mg/m3. Batasan paparan berdasarkan kesehatan yang dianjurkan oleh suatu Kelompok Studi WHO adalah 25 μ g/g kreatinin dalam kemih. Pencegahan bila mungkin adalah substitusi merkuri dengan bahan lain yang kurang berbahaya. Satu contoh substitusi, pembuatan cermin yang dulu memakai amalgam timah putih diubah dengan menggunakan larutan amoniakal perak nitrat, dan ternyata cermin yang dihasilkan lebih baik. Pencegahan harus dijalankan di tambang-tambang tempat bijih merkuri diambil, yaitu dengan ventilasi, pengeboran basah, dan pemakaian masker yang dapat menahan uap merkuri. Di pabrik-pabrik yang membuat barometer dan termometer, lantai harus rata, licin, tidak boleh retak sehingga kalau terjadi penumpahan merkuri akan segera dapat dibersihkan. Ventilasi umum di pabrik- pabrik yang menggunakan merkuri tidaklah baik, karena ventilasi memperhebat terjadinya penguapan merkuri. Pemeriksaan kesehatan berkala, permasuk pemeriksaan gigi dan mulut sangat membantu dalam menentukan keracunan sedini mungkin.

Related Documents


More Documents from "blaze ricz"