.: saumi™studioworks® :. PENDAHULUAN
Hari esok kerap terasa samar, mungkin karena itu ia begitu mendebarkan… pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani yang mengatakan situasi sekarang mirip dengan situasi menjelang krisis (1997) ada capital inflow (arus modal masuk) dan banyak Negara mengalami apresiasi terhadap mata uangnya termasuk Thailand dan India, segera saja diinterpretasikan bahwa Indonesia akan mengalami krisis ekonomi yang kedua, benarkah akan terjadi krisis ekonomi kedua? Karuan saja, jika seluruh pemerhati ekonomi kalang kabut dengan pernyataan mengejutkan dari pemerintah dalam hal ini Menteri Keuangan. Krisis Ekonomi yang menggulingkan tatanan ekonomi orde baru seakan masih lekat dalam mimpi setiap rakyat Indonesia, belum satu dekade berlalu, krisis itu seakan ingin kembali menghampiri. Jikalau kedepannya benar-benar terjadi, maka fondasi dan strategi ekonomi kita memang harus dikaji ulang. Sudah sesuaikah sistem ekonomi kita? Atau hanya perlu “ditambal”? pertanyaan-pertanyaan semacam itu memang perlu diajukan kalaupun mimpi buruk itu tidak jadi kenyataan. Sebagai antitesis dari sebuah proses dialektika, pertanyaanpertanyaan ini seakan menjadi injeksi atas kegagalan-kegagalan sistem ekonomi kita yang tak kunjung memberikan kesejahteraan bagi rakyat banyak. Untunglah jikalau kemudian, beberapa pakar menyebutkan krisis ekonomi tidak akan menghampiri Indonesia kembali, alasannya bermacam-macam tapi yang pasti ada jaminan bahwa Indonesia tidak akan terombangambing oleh badai krisis ekonomi. Bahkan Mantan Direktur The Federal Reserve paling fenomenal Alan Greenspan dalam telekonferensi yang dikutip bloomberg mengatakan Asia tidak akan dihantam badai krisis menurutnya
“Dibandingkan dengan periode 1997-1998, Asia telah memiliki cadangan devisa dalam jumlah yang lebih besar. Asia juga dinilai telah mengambil sejumlah langkah untuk mengumpulkan cadangan devisa yang besar dengan total cadangan devisa Asia mencapai US$2,7 triliun,” Paper ini berfokus pada analisis mengenai, faktor-faktor yang menyebabkan Indonesia dihadang krisis kembali serta bagaimana memposisikan ekonomi syariah ditengah ancaman-ancaman itu. Analisis deskriptif ini juga akan menjelaskan secara rinci kenapa Indonesia saat ini tengah menjadi surga investasi, apa yang menyebabkan modal-modal asing menghampiri Indonesia sembari menjelaskan dalam tataran global. GLOBALISASI SEBAGAI CARA PANDANG Sekarang kita lupakan sejenak ingar bingar ekonomi nasional kita yang pada saat risalah ini ditulis sedang ribut masalah CPO (crude palm oil). Sebelum membicarakan lebih lanjut, mari kita perbincangkan globalisasi dalam bahasa yang lebih sederhana, yang mana merupakan cara pandang kita ketika membahas masalah ini. Ambil contoh di suatu pagi, seorang petani buah di pelosok Cirebon tiba-tiba mendapati harga-harga merangkak naik setibanya ia di pasar. Petani yang memiliki akses terbatas itu belum tentu tahu akan kondisi Indonesia saat ini, apalagi kondisi mutakhir dunia. Baginya hidup adalah ibarat memikirkan nasib esok hari sekedar untuk mengisi perut. Adalah hal yang sangat mengejutkan jikalau kemudian saat ia bangun pagi, mendadak menyadari harga-harga menjadi mahal. Bagi petani tadi, naiknya harga-harga tentu menjadi masalah. Si Petani mungkin berpikir “ada apa ini, saya tidak melakukan kesalahan, kenapa harga-harga pada naik, padahal barang-barang tersedia melimpah di pasar”. Di sisi lain ada pemilik modal yang tinggal di sebuah Penthouse mewah di kawasan Manhattan New York City, pada saat itu hanya dengan menggunakan “mouse” dan “klik” bisa sedemikian mudah ia memindahkan modal
M. Chatib Basri, Capital Inflow dan Krisis Jilid Dua. Media Indonesia edisi 14 Mei 2007 Alan Greenspan via Teleconference by Merrill Linch & Co notes at Bloomberg Magazine
Capital Inflow, Pasar Global Dan Sektor Riil: Reposisi Ekonomi Syariah Di Tengah Ancaman Krisis
.: saumi™studioworks® :. nya dari satu perusahaan ke peusahaan lain, dari satu Negara ke Negara lain dan seterusnya. Dua orang ini mungkin tidak sadar bahwa mereka berdua sebenarnya memiliki hubungan, terhubungkan oleh jaringan globalisasi. Orang di sebuah panthouse mungkin tidak menyadari bahwa tindakannya menyebabkan ketidakberdayaan bagi orang di pelosok Cirebon, sebaliknya si petani Cirebon tidak menyadari bahwa harga-harga melambung tinggi dikarenakan kerjaan orang si Manhattan. Jadi apa yang bisa dideskripsikan dari cerita ini. Orang-orang yang saya contohkan diatas mungkin merepresentasikan wajah-wajah yang terhubungkan dalam dunia integral bernama pasar modal global. Mereka memang seperti tidak terhubung dalam satu transaksi. Tapi suka atau tidak suka, mereka telah terhubung satu sama lain. Berangkat dari sini patut untuk diketahui bahwa secara tidak langsung kita terhubung dengan masyarakat internasional, kita saling tergantung dengan individu maupun Negara-negara lain, inilah yang menjadi cara pandang kita, yakni kita dalam era globalisasi. Ditandai dengan integrasi diberbagai bidang. Cerita yang lebih nyata dapat ditemukan dalam risalah Thomas L Friedman, dalam karya termasyhurnya “Understanding Globalization: The Lexus And The Olive Tree”. Dia menceritakan pengalamannya pada saat mengikuti pertemuan bank dunia dan IMF di Hong Kong pada bulan September 1997. Pada saat itu, Perdana Menteri Malaysia Mahatthir Muhammad dengan pedas mengatakan bahwa krisis yang terjadi di Asia adalah akibat “ulah orang-orang dungu yang melakukan perdagangan mata uang” Secara langsung Mahatthir menyerang “adidaya dan pelaku financial semisal George Soros yang memaksa Asia membuka pasar modal domestic kepada para spekulan global dan memanipulasi mata uang mereka guna menghancurkan Asia sebagai pesaing” tak sampai disitu, lebih sempit lagi Mahathir menuduh “pasar modal global adalah ibarat hutan belantara binatang buas dan brutal yang dikendalikan secara tidak langsung oleh komunitas yahudi” Tidak bermaksud menyerang suatu komunitas agama tertentu, tapi dari umpatan mantan penguasa Malaysia itu, dapat ditarik kesimpulan bahwa, apa yang terjadi di Malaysia adalah sama dengan yang terjadi di kebanyakan Negara Asia pada tahun 1997, pertumbuhan ekonomi yang fantastis sampai diatas 7 persen tiba-tiba harus ambruk di tengah ketidakberdayaan masing-masing Negara bermain diatas papan catur global. Rakyat Malaysia tidak sanggup bermain dengan masyarakat global dan akibatnya adalah kehancuran. Globalisasi bukan pilihan tetapi kenyataan yang harus diterima oleh seluruh masyarakat dunia. Globalisasi adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan meningkatnya ketergantungan orang dan negara di dunia terhadap satu sama lain. Thomas L Friedman jelas tidak sedang memprovokasi apabila mengatakan dalam konferensi lima tahunan itu bahwa pasar modal itu satu yakni mengglobal, tidak dalam satu Negara tidak dalam satu kawasan tapi satu dunia. Itu adalah fakta yang sebenarnya sedang terjadi dan kita alami bersama. CAPITAL INFLOW DAN PASAR MODAL GLOBAL Dengan demikian sangatlah wajar jikalau saat ini, banyak aliran dana asing masuk ke Indonesia. Itu adalah peristiwa biasa yang terjadi dalam era global, merupakan permainan dari para electronic herd dan golden strain jacket . Wajar jikalau dalam tiap harinya atau detiknya, banyak perdagangan dijalankan lewat dunia maya. Secara tiba-tiba banyak modal asing masuk dan memberikan uang segar baik bagi negara maupun pelaku industri. Jangan heran jikalau banyak orang terhenyak dengan angka fantastis yang dikemukakan oleh Anggito Abimanyu, Direktur Badan Kebijakan Fiskal saat membeberkan besarnya dana asing yang masuk Indonesia yakni sekitar Rp 127, 6 Triliun, Porsinya Rp. 77 Triliun masuk SUN (Surat Utang Negara), 45 Triliun masuk SBI dan 5,6 Triliun masuk Pasar Modal. Yang patut untuk dipertanyakan selanjutnya adalah kenapa dana-dana itu mampir ke Indonesia? Mengingat kondisi Indonesia belum pulih benar setelah dihantam badai krisis 1997. ternyata itu tidak terlepas dari kondisi likuiditas global. Terdapat beberapa faktor yang dapat ditengarai menjadi penyebab bullish-nya sektor finansial di
Thomas L Friedman. Understanding Globalization; Lexus and Olive Tree. ITB Press Istilah yang dipakai Thomas L Friedman untuk menggambarkan para pemain saham global dan aturan-aturan emas dalam proses golbalisasi. Anggito Abimanyu dalam Morning Coffee di Bank Indonesia, Dilaporkan oleh Stasiun Berita Antara
Capital Inflow, Pasar Global Dan Sektor Riil: Reposisi Ekonomi Syariah Di Tengah Ancaman Krisis
.: saumi™studioworks® :. Indonesia saat ini. Pertama, kondisi Makroekonomi Indonesia yang membaik. Indikator makroekonomi hingga kuartal I/2007 menunjukkan laju pertumbuhan ekonomi (Produk Domestik Bruto/PDB) berada di kisaran 5,7-5,9 persen dengan didorong oleh laju semua komponennya. Sementara itu, posisi cadangan devisa kuartal I 2007 mencapai 47,2 miliar dolar AS . Membaiknya makroekonomi dan makin berkurangnya risiko di Indonesia inilah yang telah menjadi daya tarik tersendiri sehingga terjadi aliran dana masuk yang cukup tinggi. Kedua, situasi makroekonomi ini juga ditambah dengan adanya beberapa sentimen positif yang berasal dari pemerintah. Menneg BUMN Sofjan Djalil menyatakan akan mendorong BUMN-BUMN melakukan IPO. Bahkan, Sofjan Djalil kini telah memutuskan penjamin emisi IPO Jasa Marga dan penawaran kedua Bank Negara Indonesia (BNI). Senada dengan Meneg BUMN, Menko Perekonomian Boediono menyatakan pemerintah akan memperbanyak IPO BUMN untuk mengalihkan investasi dana jangka pendek di SBI dan surat utang lainnya. Di luar rencana IPO sejumlah BUMN, sentimen positif juga muncul oleh rencana pemerintah yang akan menerbitkan surat perbendarahaan negara/SPN (Treasury Bills/T-Bills) pada 29 Mei 2007 dengan target indikatif Rp 2 triliun. Tak ketinggalan, dalam rangka menggerakan pasar obligasi domestik, Bank Indonesia (BI) juga mengeluarkan insentif berupa memberikan potongan terhadap aktiva tertimbang menurut risiko (ATMR) perbankan sebesar 20 persen ketika bank menempatkan dananya pada obligasi korporasi yang memiliki rating AAA. BI menyatakan bahwa insentif ini bertujuan untuk mengurangi penempatan dana perbankan di SBI yang pada akhirnya mampu mendongkrak fungsi intermediasi perbankan . Ketiga, situasi di dalam negeri ini ditambah pula kini para pelaku industri keuangan global juga sedang mencari “mangsa” akibat kurang kondusifnya perekonomian Amerika Serikat (AS). Secara de facto, dolar AS memang harus melemah karena AS mengalami defisit ganda, yakni neraca pembayaran dan fiskal. Berdasarkan data dari The Economist, dalam 12 bulan terakhir AS mengalami defisit neraca perdagangan sebesar 825,2 miliar dolar AS (per Februari 2007), defisit neraca pembayaran 856,7 miliar dolar AS (kuartal IV 2006), dan deficit fiskal tahun 2007 diperkirakan mencapai 1,7 persen dari PDB . Berbagai situasi positif di dalam negeri dan situasi yang kurang bagus di luar negeri ini telah memberikan sejumlah ekspektasi yang tinggi di kalangan investor, baik lokal maupun asing. Terlebih lagi, meski BI telah beberapa kali menurunkan tingkat suku bunga SBI, tingkat suku bunga di dalam negeri ini masih lebih menarik dibandingkan suku bunga di pasar keuangan internasional pada umumnya. Fakta-fakta diatas bisa jadi menggiurkan, tapi bisa jadi mengecoh karena peredaran uang itu licin dan bisa saja kabur ketika kondisi eksternal membaik dan kondisi internal belum siap menahan dana itu. Ketika hal itu terjadi implikasinya adalah krisis moneter seperti yang tengarai oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati 14 Mei Lalu. Penggambaran Krisis Asia digambarkan dengan baik oleh Paul Kruggman dalam masterpiece-nya yang berjudul “The Return Of Great Depression” dalam buku ini, Paul menggambarkan kronologi krisis yang menerjang asia medio 1997. Secara Umum krisis mulai dirasakan tepat pada 2 Juli 1997 saat Thailand resmi mendevaluasi mata uangnya terhadap dolar AS. Hal ini terus berlanjut seiring keluarnya modal asing (capital outflow). Paul yang juga Professor di Stanford University mengemukakan kronologi krisis Asia ternyata memiliki efek domino terhadap beberapa negara di asia pasifik. Efek domino, yakni menularkan penyakit yang sama dengan beberapa negara, dari Korea Selatan sampai Indonesia. Khusus untuk di indonesia, devaluasi nilai rupiah terhadap dolar terjadi tepat pada 21 juli 1997, turun 7 % dari 2000 per dolar AS menjadi 4000 per dolar AS dan terus meluncur sampai pada medio juli 1998 menjadi 17000 per dolar. Dana asing lari (capital outflow) di dalam negeri terjadi rush besar-besaran hingga menyebabkan bank-bank menjadi tidak likuid dan akhirnya ditutup satu persatu. Inilah gambaran betapa mengerikannya krisis moneter yang terjadi sepuluh tahun silam. Berangkat dari penggambaran Krugman, masuknya dana-dana asing (capital inflow) yang bersifat sementara (sering disebut hot money) bisa jadi suatu pertanda bahwa hot money itu sangat berbahaya, terutama jikalau
Sunarsip, Chief Economist, The Indonesia Economic Intelligence (IEI) The Economist, 22 Mei 2007 Paul Krugman, The Return of The Great Depression. 1999. Norton Books
Capital Inflow, Pasar Global Dan Sektor Riil: Reposisi Ekonomi Syariah Di Tengah Ancaman Krisis
.: saumi™studioworks® :. pembangunan ekonomi suatu negara didanai utang luar negeri dan cadangan devisa menipis. Konsep pembanguan era orde baru adalah pay as you go, yakni pembangunan di berbagai bidang namun didanai oleh dana-dana asing itu, pembangunan ini pada mulanya sangat fantastis karena berhasil menembus pertumbuhan ekonomi sampai dengan 7% pertahun, namun demikian pembangunan ini bersifat menggelembung (bubble economic). akibatnya tatkala kondisi eksternal membaik, dan devisa habis dikerat para koruptor, balon gelembung itu pecah, utang menumpuk dan modal asing lari dan terjadi rush besar-besaran. AKAR KRISIS : ISLAMIC VIEWS Sebelum membahas bagaimana mengatasi krisis, alangkah lebih baik jika kita sejenak berlayar melintasi samudra, mencermati peristiwa yang tengah terjadi di negeri Paman Sam. Pada bulan oktober beberapa tahun yang lalu, di kota Chicago diadakan Annual Conference Association of Moslem Scientist. Berkumpullah ilmuan-ilmuan muslim terkemuka dari beberapa negara. Dalam konferensi itu mengemukalah masalah krisis yang mendera Asia pada tahun 1997. Yang dikemukakan beragam, mulai dari penyebab sampai solusi untuk krisis itu sendiri, saya mengemukakan pendapat yang paling banyak di setujui oleh banyak kalangan. Pendapat itu mengemukakan bahwa akar dari krisis adalah perkembangan sektor finansial yang berjalan sendiri tanpa terkait dengan sektor riil . Dengan demikian, nilai suatu mata uang dapat berfluktuasi secara liar. Solusi yang ditawarkan dalam pendapat itu adalah menjuhkan sektor finansial dari praktek pembungaan uang dan dari transaksi-transaksi yang mengandung gambling sampai spekulasi, serta menyalurkan modal kedalam sektor riil. Menarik untuk dicermati karena pandangan ini seakan berlawanan arus dengan pendapat mainstream yang mengatakan penyebab krisis Asia adalah mulai dari kekurangan devisa sampai dengan menyalahkan globalisasi seperti yang diutarakan Perdana Menteri Mahathir Muhammad. Namun sesungguhnya sangat mudah untuk dimengerti jika sejatinya permasalahan krisis adalah adanya transaksi maya seperti yang dilakukan oleh orang orang Manhattan. Memutarkan uang bukan dengan menyalurkan ke sektor riil tapi lebih kepada menjual-belikkan uang itu, ketika mendapat untung dana-dana itu diambil kembali beserta keuntungan plus bunga yang diperoleh. Inilah sesungguhnya akar dari krisis ekonomi yang mendera Indonesia satu dekade silam. Sesungguhnya Islam tidak melarang perdagangan global bahkan mungkin menganjurkan demi tercapainya kesejahteraan umat manusia, sembari tidak lupa bagi yang memiliki kelebihan modal untuk menyalurkannya ke sektor riil, instrumennya bisa bermacam-macam, sangat di kenal dalam Islam instrumen zakat untuk pemenuhan basic need sampai instrumen wakaf tunai untuk pemberdayaan UMKM. Bisa juga disalurkan lewat sektor perbankan, melalui akad-akad mudharabah, murabahah dan qardul hasan serta wadiah, akan sangat potensial sekali dana-dana itu untuk pengembangan usaha sektor riil yang bisa lebih tahan banting dibanding pasar modal yang sangat tergantung dengan reaksi pasar global. Hal ini diamini oleh Anggota Badan Kebijakan Fiskal Anggito Abimanyu, dalam kesempatan yang sama beliau mengatakan bahwa cara yang paling tepat untuk membuat dana-dana betah di Indonesia ada dua cara namun cara yang paling ampuh adalah dengan menyalurkannya ke dalam sektor riil. Jawaban Anggito bisa menimbulkan pertanyaan serupa, bagaimana menyalurkan ke sektor riil (yang berkaitan dengan pengembangan uaha UMKM) sedangkan tingkat bunganya saja sangat tinggi, mana mau ada yang memakai uang itu? Penjelasan ini memberi kita pelajaran berharga bahwa transaksi jual beli uang demi mendapatkan keuntungan ganda baik hasil dari jual beli maupun bunga sangat di larang dalam Agama Islam. Imam AlGhazali dalam kitab termasyhurnya yang berjudul Ihya Ulumuddin mengemukakan bahwa uang bukan barang dagangan, uang tidak bernilai, tapi merefleksikan nilai harga suatu barang. Uang diciptakan untuk memperlancar proses pertukaran, bukan untuk mendapatkan uang itu kembali . Parahnya dalam sistem pasar modal kita, praktek riba sangat populer bahkan
Dikutip dari Adiwarman Karim, Ekonomi Islam suatu kajian kontemporer. 2001 Gema Insani Press
Capital Inflow, Pasar Global Dan Sektor Riil: Reposisi Ekonomi Syariah Di Tengah Ancaman Krisis
.: saumi™studioworks® :. kenaikan BI Rate selalu ditunggu-tunggu demi mendapatkan keutungan berlipat dalam seketika. RESOLUSI SYARIAH DI TENGAH ANCAMAN KRISIS Tak perlu berbicara panjang lebar dan menjelaskan kata-kata yang tidak dimengerti untuk meangakhiri tulisan ini. Sudah dijelaskan bahwa solusi yang tepat dalam mengatasi ancaman krisis adalah dengan mengarahkan capital inflow kedalam sektor riil. Lalu bagiamana cara menarik investor tetap menahan dana-dananya di Indonesia, banyak yang berpendapat bahwa menaikkan suku bunga BI akan tetap menahan dana-dana itu, akan tetapi itu akan mengebiri para pengusaha baik besar maupun kecil yang akan mendapat pembiayaan dari dana-dana itu. Pengembaliannya akan susah karena suku bunganya sangat tinggi. Dalam kondisi demikian, pemerintah dihadapkan pada dua prioritas yang sama-sama tidak kalah pentingnya. Pertama, membangun image di mata investor, tetapi ini tidak fair, karena lebih memprioritaskan kepentingan para kapitalis yang mencari keuntungan dan mengabaikan sektor riil. Kedua, menata dan membangun fundamental sektor riil melalui deregulasi beberapa kebijakan contohnya menghapuskan variabel bunga dalam pembiayaan modal kerja, sehingga sektor riil mendapat akses pembiayaan yang lebih murah dan mudah. Dengan demikian, memungkinkan mereka lebih ekspansi, sehingga bisa menciptakan lapangan kerja baru. Dari dua prioritas itu, memang memiliki konsekwensi jika memilih salah satunya, yakni harus ada yang dikorbankan, sehingga kembali ke regulator sebagai penentu kebijakan. Memilih prioritas pertama yang lebih mementingkan desain eksterior perekonomian yang semu dan rapuh atau memperbaiki desain interior perekonomian terlebih dahulu yang bisa mengurangi angka pengangguran dan kemiskinan, sehingga kelak memperoleh pengakuan dari para pemodal asing bahwa sesungguhnya ada potensi perekonomian di Indonesia yang sangat besar dan menguntungkan. Yang tepat dan tidak mengorbankan salah satunya adalah pemerintah dan Bank Indonesia (BI) memilih mensinergikan dua kebijakan yakni membangun image di mata investor global dan secara perlahan membenahi regulasi ke sektor riil. Caranya adalah dengan menghilangkan variable bunga dan menggantinya dengan sistem bagi hasil. Dengan yield 70-40 mungkin akan membuat para investor tertarik, walaupun tidak semua investor menginginkan hal tersebut. Ini memang ide gila tapi bukannya tidak mungkin untuk direalisasikan. Dengan demikian para investor akan menanamkan modal lebih lama di Indonesia dan para pengusaha mampu menyerap likuiditas tersebut tanpa dibayangi besaran bunga. Pertanyaannya, mampukah pemerintah menjalankan dua kebijakan sekaligus secara seimbang yakni para investor di sektor keuangan dan investor sektor riil, sehingga sejajar dan bertumbuh bersama. Kebijakan kompromi ini bisa jalan, asalkan yield (proporsi imbal hasil) investasi di sektor riil diturunkan secara perlahan, dan keuntungan di sektor riil lebih ditingkatkan, sehingga para kapitalis yang awalnya senang bermain aman di investasi portofolio beralih ke investasi di sektor padat karya seperti manufaktur dan infrastruktur. Artinya, kekhawatiran akan adanya capital outflow (dana keluar) bisa diredam, karena sebagian bisa dikonversi ke dalam bentuk foreign direct investment/penanaman modal asing langsung. Kuncinya, sangat sederhana, tetapi sangat sulit direalisasikan pemerintah yakni menciptakan iklim investasi yang kondusif melalui pemangkasan berbagai aturan dan birokrasi. Termasuk mengkonversi sistem bunga kedalam sistem bagi hasil.
Imam Alghazali. Ihya Ulumuddin. Dalam ekonomi islam suatu kajian kontemporer. Uang ibarat cermin. Adiwarman Karim.
Capital Inflow, Pasar Global Dan Sektor Riil: Reposisi Ekonomi Syariah Di Tengah Ancaman Krisis
.: saumi™studioworks® :. DAFTAR PUSTAKA Friedman, Thomas L. Understanding Globalization: Lexus and The Olive Tree. 2000. Washington: Mc Graw Hill Karim, Adiwarman. Ekonomi Islam: Suatu Kajian Kontemporer. 2001. Jakarta : Gema Insani Press Krugman, Paul. The Return Of The Great Depression. 1999. Stanford : Norton Books Stiglitz, Joseph. Globalisasi and Its Discontent. 2003. Jakarta. Yayasan Obor Indonesia ____________, The Roaring Nineties : Towards a New Paradigm in Monetary Economics. 2006. Cambridge: Cambridge University Press
Capital Inflow, Pasar Global Dan Sektor Riil: Reposisi Ekonomi Syariah Di Tengah Ancaman Krisis