R IB A, M AY SI R D AN I KHT I K AR Konsepsi dan Pelarangannya dalam Sistem Ekonomi Islam
P a p e r Makalah Ini Dibuat Untuk Melengkapi Tugas Mata Kuliah Dasar-dasar Ekonomi Islam Semester Genap Pada Program Studi Muamalah Perbankan Syariah
Di Sus Kenny Muhammad Saumi R
un Oleh Lisyani Dadi Sutisna izqiyanto
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
BAB SATU PROLOGUE Sesunguhnya nilai apa saja yang ditawarkan sistem ekonomi Islam sehingga mampu membedakannya dari sistem ekonomi konvensional, yang kini sedang dimainkan oleh oleh sebagian besar negara-negara di dunia? Belakangan ini, pertanyaan ini dan sejenisnya terus mengemuka dan mewacana ke seluruh pemerhati ekonomi, tatkala kondisi ekonomi global semakin tidak menentu. Ekonomi Jepang sedang dalam kondisi stagnan, ekonomi amerika sedang bergelut dengan kenaikan suku bunga The Fed, yang berefek pada macetnya arus kas dan kredit, ekonomi eropa juga cenderung menurun tatkala kondisi politik regional bergejolak setelah adanya penolakan unifikasi eropa pasca referendum perancis. Saat seperti itulah, sistem ekonomi Islam –disebut SEI, mengalami perkembangan yang menggembirakan. Salah satu indikasinya adalah pesatnya perkembangan perbankan Islam. Arus kas lancar, tidak ada kredit macet, dan hijrahnya modal-modal petrodolar dari perbankan konvensional menuju perbankan Islam pasca black september. Yang mengejutkan tentu saja singapura, negeri dengan tingkat kesejahteraan tertinggi ini belakangan berkoar ingin menjadi pusat perbankan dan permodalan syariah di asia timur selain menjadi pusat perjudian asia. Kembali pada pertanyaan di atas. Nilai apa saja yang ditawarkan oleh SEI, sehingga mampu membedakan dengan SEK, bahkan diklaim mempunyai beberapa keunggulan dibanding SEK. Sesungguhnya selain memiliki perbedaan dengan SEK, SEI memiliki persamaan dengan SEK. Kedua sistem ini, sama-sama berparadigma rational economic man, yang secara rasional mengerti akan kebutuhan manusia dalam hal ekonomi. Sama-sama berpandangan positivisme, bahwa apa yang dilakukan oleh manusia pada dasarnya untuk kemakmuran dan kesejahteraan manusia itu sendiri. Letak perbedaannya adalah SEI selain mendasarkan sistemnya pada revelation alias wahyu Tuhan, SEI juga memiliki etika, prinsip dan batasan-batasan yang memungkinkan manusia berjalan dalam koridor yang benar. Berbeda dengan SEK yang berdasarkan Rationalism. Murni pikiran manusia, tidak ada campur tangan Tuhan apalagi timbal balik, ini terjadi karena dimungkinkan adanya trauma psikis mereka pada abad pertengahan. Berkenaan dengan hal itu, dalam paper ini kami akan mencoba mengupas batasanbatasan ekonomi dalam Islam. Diantara batasan-batasan itu antara lain larangan adanya riba, maysir dan ikhtikar. Hal itu akan dibahas dalam paper ini selama 60 menit kedepan. Tentunya dengan pembahasan yang berbeda dengan pembahasan fiqh muammalat. SEI sangat menonjo dalam hal ini dan mampu membedakannya dengan SE lainnya. Islam sangat molto perfecto.
1
BAB DUA APOLOGUE RIBA KONSEPSI RIBA Riba ( ) secara bahasa bermakna: ziyadah ( - tambahan). Dalam pengertian lain, secara linguistik riba juga berarti tumbuh dan membesar . Sedangkan menurut istilah teknis, riba berarti pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara bathil. Secara juristikal, riba mengandung dua pengertian 1. Tambahan uang yang diberikan ataupun diambil dimana pertukaran uang tersebut dengan uang yang sama, misal dollar for dollar excange. 2. Tambahan nilai uang pada satu sisi yang sedang malkukan kontrak tatkla komoditas yang diperdagangkan secara barter itu pada jenis yang sama. Ada beberapa pendapat dalam menjelaskan riba, namun secara umum terdapat benang merah yang menegaskan bahwa riba adalah pengambilan tambahan, baik dalam transaksi jual-beli maupun pinjam-meminjam secara bathil atau bertentangan dengan prinsip muamalat dalam Islam. Mengenai hal ini Allah mengingatkan dalam firman-Nya:
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan harta sesamamu dengan jalan bathil." (Q.S. An Nisa: 29)
"Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa-sisa (dari berbagai jenis) riba jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah, bahwa Allah dan rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak pula dianiaya." (Q.S. Al Baqarah: 278-279) Riba bukan hanya merupakan persoalan masyarakat Islam, tetapi berbagai kalangan di luar Islam pun memandang serius persoalan ini. Karenanya, kajian terhadap masalah riba dapat dirunut mundur hingga lebih dari 2.000 tahun silam. Masalah riba telah menjadi bahan bahasan kalangan Yahudi, Yunani, demikian juga Romawi. Kalangan Kristen dari masa ke masa juga mempunyai pandangan tersendiri mengenai riba. Di kalangan yahudi, sudah jelas adanya konsepsi riba, Orang-orang Yahudi dilarang mempraktekkan pengambilan bunga. Pelarangan ini banyak terdapat dalam kitab suci mereka, baik dalam Old Testament (Perjanjian Lama) maupun undangundang Talmud. 2
Kitab Exodus (Keluaran ) pasal 22 ayat 25 menyatakan: "Jika engkau meminjamkan uang kapada salah seorang ummatku, orang yang miskin di antaramu, maka janganlah engkau berlaku sebagai penagih hutang terhadap dia, janganlah engkau bebankan bunga terhadapnya." Dalam Agama Kristen terdapat pula konsepsi riba seperti yang tertera dalam Kitab Perjanjian Baru walaupun tidak menyebutkan permasalahan ini secara jelas. Namun, sebagian kalangan Kristiani menganggap bahwa ayat yang terdapat dalam Lukas 6:34-5 sebagai ayat yang mengecam praktek pengambilan bunga. Ayat tersebut menyatakan : "Dan jikalau kamu meminjamkan sesuatu kepada orang, karena kamu berharap akan menerima sesuatu daripadanya, apakah jasamu? Orang-orang berdosa pun meminjamkan kepada orang berdosa, supaya mereka menerima kembali sama banyak. Tetapi, kasihilah musuhmu dan berbuatlah baik kepada mereka dan pinjamkan dengan tidak mengharapkan balasan, maka upahmu akan besar dan kamu akan menjadi anak-anak Tuhan Yang Mahatinggi, sebab Ia baik terhadap orang-orang yang tidak tahu berterimakasih dan terhadap orang-orang jahat."
LARANGAN RIBA DALAM AL QUR’AN Larangan riba yang terdapat dalam Al Qur’an tidak ditu-runkan sekaligus, melainkan diturunkan dalam empat tahap. Tahap pertama, menolak anggapan bahwa pinjaman riba yang pada zhahirnya seolah-olah menolong mereka yang memerlukan sebagai suatu perbuatan mendekati atau taqarrub kepada Allah .
"Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia. Maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipatgandakan (pahalanya)." (Q.S. Ar Rum: 39). Tahap kedua, riba digambarkan sebagai suatu yang buruk. Allah mengancam memberi balasan yang keras kepada orang Yahudi yang memakan riba.
"Maka disebabkan kezhaliman orang-orang Yahudi, Kami haramkan atas mereka yang (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah, dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya, dan karena mereka memakan harta orang dengan jalan yang bathil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih." (Q.S. An Nisa: 160-161) Tahap ketiga, riba diharamkan dengan dikaitkan kepada suatu tambahan yang 3
berlipat ganda. Para ahli tafsir berpendapat, bahwa pengambilan bunga dengan tingkat yang cukup tinggi merupakan fenomena yang banyak dipraktekkan pada masa tersebut. Allah berfirman :
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat-ganda dan bertaqwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan." (Q.S. Ali Imran: 130). Tahap terakhir, Allah dengan jelas dan tegas mengharam-kan apa pun jenis tambahan yang diambil dari pinjaman. Ini adalah ayat terakhir yang diturunkan menyangkut riba.
"Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa-sisa (dari berbagai jenis) riba jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah, bahwa Allah dan rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak pula dianiaya." (Q.S. Al Baqarah: 278-279)
DAMPAK NEGATIF RIBA BAGI PRIBADI DAN MASYARAKAT 1. Dampak Ekonomi Di antara dampak ekonomi riba adalah dampak inflatoir yang diakibatkan oleh bunga sebagai biaya uang. Hal tersebut disebabkan karena salah satu elemen dari penentuan harga adalah suku bunga. Semakin tinggi suku bunga, semakin tinggi juga harga yang akan ditetapkan pada suatu barang. Dampak lainnya adalah bahwa hutang, dengan rendahnya tingkat penerimaan peminjam dan tingginya biaya bunga, akan menjadikan peminjam tidak pernah keluar dari ketergantungan, terlebih lagi bila bunga atas hutang tersebut dibungakan. Contoh paling nyata adalah hutang negara-negara berkembang kepada negara-negara maju. Meskipun disebut pinjaman lunak, artinya dengan suku bunga rendah, pada akhirnya negara-negara peng-hutang harus berhutang lagi untuk membayar bunga dan pokoknya. Sehingga, terjadilah hutang yang terus-menerus. Ini yang menjelaskan proses terjadinya kemiskinan struktural yang menimpa lebih dari separuh masyarakat dunia. 1. Sosial Kemasyarakatan Riba merupakan pendapatan yang didapat secara tidak adil. Para pengambil riba menggunakan uangnya untuk memerintah-kan orang lain agar berusaha dan mengembalikan misalnya, dua puluh lima persen lebih tinggi dari jumlah yang dipinjam-kannya. Persoalannya, siapa yang bisa menjamin bahwa usaha yang dijalankan oleh orang itu nantinya mendapatkan keuntungan lebih dari dua puluh lima 4
persen? Semua orang, apalagi yang beragama, tahu bahwa siapapun tidak bisa memastikan apa yang terjadi besok atau lusa. Dan siapapun tahu bahwa berusaha memiliki dua kemungkinan, berhasil atau gagal. Dengan menetapkan riba, berarti orang sudah memastikan bahwa usaha yang yang dikelola pasti untung.
MAYSIR KONSEPSI MAYSIR Maysir atau Qimar secara harfiah bermakna judi (istilah kerennya spekulasi). Secara teknis adalah setiap permainan yang di dalamnya disyaratkan adanya sesuatu (berupa materi) yang diambil dari pihak yang kalah untuk pihak yang menang Agar bisa dikategorikan judi maka harus ada 3 unsur untuk dipenuhi: 1. Adanya taruhan harta/materi yang berasal dari kedua pihak yang berjudi 2. Adanya suatu permainan yang digunakan untuk menentukan pemenang dan yang kalah 3. Pihak yang menang mengambil harta (sebagian/seluruhnya) yang menjadi taruhan, sedangkan pihak yang kalah kehilangan hartanya Jika 3 syarat diatas terpenuhi maka termasuk kategori judi dan Islam mengharamkannya. Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi (almaysir), (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan (Al-Maidah 90) Di atas disebutkan bahwa istilah lain dari judi adalah spekulasi. Hal ini biasa terjadi dalam bursa saham. Setiap menitnya selalu saja terjadi transaksi spekulasi yang sangat merugikan si penerbit saham. Setiap perusahaan yang memiliki right issue selalu di datangi para spekulan. Ketika harga saham suatu badan usaha sedang jatuh maka spekulan buru-buru membelinya sedangkan ketika harga naik para spekulan menjualnya kembali atau melepas ke pasar saham. Hal ini sering membuat indeks harga saham gabungan menurun dan mempeburuk perekonomian bangsa.
IKHTIKAR KONSEPSI IKHTIKAR Ikhtikar secara harfiah bermakna menyembunyikan. Sedangkan menurut istilah merupakan salah satu bentuk perdagangan yang menimbun barang saat harga murah untuk kemudian dijual saat paceklik dengan harga yang sangat tinggi. Contoh ketika adanya rencana kenaikan harga bahan bakat minyak, maka para kulakan maupun supplier terkadang membeli dengan juml;ah yang sangat besar saat hatga masih rendah dan menimbunnya. Mengatakan persediaan kosong kepada para pemvbeli padahal gudangnya penuh dengan simpanan minyak. Hal itu dimaksudkan untuk memperolah keuntungan yang berlipat-lipat. Perdagangan jenis ini sering dilakukan pedagang-pedagang madinah semasa rasulullah saw. dan beliau melarangnya. Ma’mar meriwayatkan bahwa rasulullah bersabda Barang siapa menyembunyikan gandum dan atau barang sembako maka ia 5
termasuk orang dzalim. Di suatu waktu rasulullah pernah menggambarkan keadaan jiwa seorang yang melakukan ikhtikar/penimbunan. Dia termasuk orang yang berkelakuan buruk yang merasa sedih saat harga rendah dan senang dengan harga yang tinggi-tinggi. Khilafah kedua, umar bin khatab, mengumumkan bahwa menyembunyikan keadaan barang-barang itu tidak sah dan haram serta melarang dengan keras para pedagang yang berbuat seperti itu pada masa kekhalifahannya. Imam malik meriwayatkan, khalifah berpesan bahwa tidak boleh seorangpun yang boleh menyembunyikan barang seperti itu. Menurut riwayat ibn majah, umar pernah berkata Orang yang membawa hasil panen ke dalam kota, akan dilimpahkan kekayaan yang banyak dan orang yang menyembuyikannya akan dikutuk. Jika ada seseorang yang menyembunyikan hasil panen sementara manusia memerlukannya maka pemerintah berhak menjual hasil panennya dengan paksa.
6
BAB TIGA EPILOGUE Jelaslah sudah pengertian mengenai riba, maysir dan ikhtikar. Jadi bisa dikatakan bahwa semua bentuk dan transaksi yang menyerupai perjuadian, lottery, riba, penipuan, pengelabuan atau kebohongan semuanya dilarang dalam agama Islam. Ternyata semua bentuk perjanjian-perjanjian komersial yang mengarah pada perjuadian dan mengandung unsur riba yang menimbulkan perselisihan dalam masyarakat semuanya tidak dibernarkan dalam Islam. Islam sangat menganjurkan kejujuran dalam menimbang. Bersikap baik dalam jual beli dan memberi krlonggaran dalam masalah pembayaran. Jika terdapat kerusakan dalam barang-barang yang dibeli maka harus di perlihatkan. Islam sangat menjunjung tinggi orang-orang yang bertaqwa dan beramal sholeh.
7
REFERENCE Chapra, M. Umer. The Future Of Economic, an islamic perspective. SEBI : Jakarta 2001 Saefuddin, AM. Nilai-nilai sistem ekonomi Islam. Media Dakwah: Jakarta 1984 Antonio, M. Syafei. Riba dalam perspektif agama dan sejarah. Tazkia Online: Jakarta 2000 Majalah as-Sunnah edisi 02/VII/1424/2003 (dengan menyadur) Syarah Riyadhus Shalihin jilid 2, Syaikh Muhammad al-Utsaimin.
8