Bell's Palsy 1.docx

  • Uploaded by: Nadykla Pattiasina
  • 0
  • 0
  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Bell's Palsy 1.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 3,658
  • Pages: 14
BELL’S PALSY

PENDAHULUAN Bell’s palsy merupakan suatu sindrom kelemahan wajah dengan tipe lower motor neuron yang disebabkan oleh keterlibatan saraf fasialis perifer yang bersifat unilateral di luar sistem saraf pusat, idiopatik, akut dan tidak disertai oleh gangguan pendengaran, kelainan neurologi lainnya atau kelainan lokal. Insidensi sindrom ini sekitar 23 kasus per 100 000 orang setiap tahun dan meningkat sesuai pertambahan umur. Insiden meningkat pada penderita diabetes dan wanita hamil. Sekitar 8-10% kasus berhubungan dengan riwayat keluarga pernah menderita penyakit ini. Berbagai teori mencoba menerangkan abnormalitas yang terjadi, salah satunya adalah keterlibatan virus Herpes Simplex tipe 1. Kontroversi dalam tata laksana masih diperdebatkan, walaupun hampir sebagian besar kasus (85%) sembuh sempurna dalam 1-2 bulan dan rekurensi terjadi pada 8% kasus. Dokter di pelayanan primer diharapkan dapat menegakkan diagnosis Bell’s palsy serta mengobati dengan tepat tanpa melupakan diagnosis banding yang mungkin didapatkan. Sir Charles Bell (1774-1842) dikutip dari Singhi dan Cawthorne adalah orang pertama yang meneliti tentang sindroma kelumpuhan saraf fasialis dan sekaligus meneliti tentang distribusi dan fungsi saraf fasialis. Oleh karena itu nama Bell diambil untuk diagnosis setiap kelumpuhan saraf fasialis perifer yang tidak diketahui penyebabnya. Anatomi Saraf fasialis atau saraf kranialis ketujuh mempunyai komponen motorik yang mempersarafi semua otot ekspresi wajah pada salah satu sisi, komponen sensorik kecil (nervus intermedius Wrisberg) yang menerima sensasi rasa dari 2/3 depan lidah, dan komponen otonom yang merupakan cabang sekretomotor yang mempersarafi glandula lakrimalis. Saraf fasialis keluar dari otak di sudut serebello-pontin memasuki meatus akustikus internus. Saraf selanjutnya berada di dalam kanalis fasialis memberikan cabang untuk ganglion pterygopalatina sedangkan cabang kecilnya ke muskulus stapedius dan bergabung dengan korda timpani. Pada bagian awal dari kanalis fasialis, segmen labirin merupakan bagian yang tersempit yang dilewati saraf fasialis; foramen meatal pada segmen ini hanya memiliki diameter sebesar 0,66 mm. Saraf fasialis (N.VII) mengandung sekitar 10.000 serabut saraf yang terdiri dari 7.000 serabut saraf motorik untuk otot-otot wajah dan 3.000 serabut saraf lainnya membentuk saraf intermedius (Nerve of Wrisberg) yang berisikan serabut sensorik untuk pengecapan 2/3 anterior lidah dan serabut parasimpatik untuk kelenjar parotis, submandibula, sublingual dan lakrimal. Saraf fasialis terdiri dari 7 segmen yaitu :

1. Segmen supranuklear 2. Segmen batang otak 3. Segmen meatal 4. Segmen labirin 5. Segmen timpani 6. Segmen mastoid 7. Segmen ekstra temporal

(sumber: Ropper, Allan H. Robert H Brown. 2005. Adams and Victor’s Principles of Neurology 8th edition. United States of America : The McGraw-Hill Companies ) Etiologi dan Patofisiologi Terdapat lima teori yang kemungkinan menyebabkan terjadinya Bell’s palsy, yaitu iskemik vaskular, virus, bakteri, herediter, dan imunologi. Teori virus lebih banyak dibahas sebagai etiologi penyakit ini. Teori iskemik vaskuler Teori ini sangat popular, dan banyak yang menerimanya sebagai penyebab dari bell’s palsy. Menurut teori ini terjadi gangguan regulasi sirkulasi darah ke N. VII. Terjadi vasokontriksi arteriole yang melayani N. VII sehingga terjadi iskemik, kemudian diikuti oleh dilatasi kapiler dan permeabilitas kapiler yang meningkat, dengan akibat terjadi transudasi. Cairan transudat yang keluar akan menekan dinding kapiler limfe sehingga menutup. Selanjutnya akan menyebabkan keluar cairan lagi dan akan lebih menekan kapiler dan vena dalam kanalis fasialis sehingga terjadi iskemik. Dengan demikian akan terjadi keadaan circulus vitiosus. Pada kasus-kasus berat, hal ini dapat menyebabkan saraf mengalami nekrosis dan kontinuitas yang terputus. 2.

Teori infeksi virus

Menurut teori ini bell’s palsy disebabkan oleh virus, dengan bukti secara tidak langsung adanya riwayat penyakit virus yang terjadi sebelum bell’s palsy. Juga dikatakan perjalanan klinis BP sangat menyerupai viral neuropathy pada saraf perifer lainnya. Walaupun etiologi dari Bell’s palsy tidak

diketahui, penyakit ini dipercaya disebabkan oleh infeksi virus yang melibatkan ganglion genikulatum. Adalah mungkin bahwa beberapa kasus bell’s palsy disebabkan oleh infeksi herpes simpleks yang laten. Teori virus ini didukung oleh Adour dkk. Dikatakan bahwa BP terjadi karena proses reaktivasi dari virus herpes. Sesudah suatu infeksi akut primer, virus herpes simpleks tipe I dalam jangka waktu cukup lama dapat berdiam di dalam ganglion sensoris. Reaktivasi ini dpat terjadi juka daya tahan tubuh menurun, sehingga terjadi neuritis/ neuropati dengan proses peradangan. Edema. Menurut Adour, lokasi nyeri dapat terjadi di sepanjang kanalis fasialis. Sebaliknya sebagian ahli berpendapat bahwa lokasi primer dari edema N. VII pada bell’s palsy adalah sekitar foramen stilomastoideum. Murakami et al. menggunakan teknik reaksi rantai polimerase untuk mengamplifikasi sekuens genom virus, dikenal sebagai HSV tipe 1 di dalam cairan endoneural sekeliling saraf ketujuh pada 11 sampel dari 14 kasus Bell’s palsy yang dilakukan dekompresi pembedahan pada kasus yang berat. Murakami et al. menginokulasi HSV dalam telinga dan lidah tikus yang menyebabkan paralisis pada wajah tikus tersebut. Antigen virus tersebut kemudian ditemukan pada saraf fasialis dan ganglion genikulatum. Dengan adanya temuan ini, istilah paralisis fasialis herpes simpleks atau herpetika dapat diadopsi. Gambaran patologi dan mikroskopis menunjukkan proses demielinisasi, edema, dan gangguan vaskular saraf. Walaupun penyebab virus dicurigai, ternyata beberapa studi prospektif untuk membuktikan peranan infeksi virus sebagai seriologi bell’s palsy adalah negative, berarti tidak dapat mendukung teori infeksi virus. 3.

Teori herediter Willbrand, 1974, mendapatkan 6% penderita bell’s palsy yang kausanya herediter yaitu

autosomal dominan. Ini mungkin karena kanalis falopii yang sempit pada keturunan atau keluarga tersebut sehingga menyebabkan predisposisi untuk terjadinya paresis fasialis. 4.

Teori imunologi Dikatakan bahwa BP terjadi akibat reaksi imunologi terhadap infeksi virus yang timbul

sebelumnya atau setelah pemberian imunisasi. Berdasarkan teori ini maka penderita bell’s palsy diberikan pengobatan kortikosteroid dengan tujuan untuk mengurangi inflamasi dan edema di dalam kanalis fasialis falopii dan juga sebagai immunosupressor . Patogenesis

Proses akhir yang dianggap bertanggung jawab atas gejala klinik bell’s palsy adalah proses edema yang menyebabkan kompresi N.VII. Pulec memandang BP sebagai suatu sindroma kompresi saraf fasialis atau sebagai suatu “entrapment syndrome”. Hingga kini belum ada persesuaian pendapat tentang pathogenesis Bell’s palsy, oleh George A. Gates, membagi patogenesis menjadi 3 tipe, yaitu: 1.

Tipe 1:

Pada tipe 1 mengalami paresis ringan dan sebagian besar mengalami kelumpuhan komplit. Paresis maupun paralisis ini dapat mengalami penyembuhan yang baik, blok konduksi saraf yang reversibel (neuropraksis) adalah akibat dari kompresi yang mendadak oleh karena edema di sekitar saraf dan disebabkan oleh adanya spasme pembuluh darah, namun teori ini belum dapat dibuktikan. Teori lain menjelaskan adanya kerusakan endotel kapiler oleh radang virus yang menyebabkan kebocoran sehingga cairan masuk ke dalam jaringan sekitarnya. Bila cairan ini terkumpul di dalam endoneurium maka konduksi saraf menjadi terhambat. 2.

Tipe 2:

Pada tipe ini ditandai dengan timbulnya sinkenesis dan gejala sisa lain yang mungkin akibat degenerasi saraf sinkenesis ini terjadi karena impuls dari satu akson dapat menyebar ke akson yang berdekatan dan berakibat kontraksi otot-otot lain. George A. Gates menjelaskan akan terjadi penjalaran listrik pada waktu terjadi “saltatory movement” kepada saraf yang berdekatan yang mengalami kerusakan myelin sehingga terjadi konduksi pada dua saraf dan kontraksi dua otot pada saat bersamaan. 3.

Tipe 3:

Pada tipe ini penyebabnya dimulai dengan degenerasi Wallerian yang terjadi akibat cedera akson dalam segmen labirint dari nervus fasialis, ini terjadi akibat kerusakan yang ditimbulkan oleh virus zooster dalam ganglion genikulatum dan berakibat sensori 2/3 anterior lidah terganggu. Selanjutnya dapat menyebar ke korda timpani, saraf akustik dan vestibuler dan menyebabkan hambatan pengantar akson kemudian terjadi paralisis dan degenerasi. Menurut Adour dkk, yang dikenal dengan konsep teori virusnya, menerangkan virus akan mempengaruhi saraf pada sel schwan lalu menyebabkan peradangan dan virus menyebabkan bertumpuknya lapisan protein dari sel saraf, melalui membran, merusak autoimun untuk sel membran saraf.

Patologi Menurut Dachlan (2001) patologi berarti ilmu tentang penyakit, menyangkut penyebab dan sifat penyakit tersebut. Patologi yang akan dibicarakan adalah mengenai pengaruh udara dingin yang menyebabkan bell’s palsy. Udara dingin menyebabkan lapisan endothelium dari pembuluh darah leher atau telinga rusak, sehingga terjadi proses transfusi dan mengakibatkan foramen stilomastoideus membengkak, nervus fasialis yang melewati daerah tersebut terjepit sehingga rangsangan yang dihantarkan terhambat yang menyebabkan otot-otot wajah mengalami kelemahan atau kelumpuhan. Manifestasi Klinis Manifestasi klinis motorik yang dijumpai pada pasien Bell’s palsy yaitu adanya kelemahan otot pada satu sisi wajah yang dapat dilihat saat pasien kesulitan melakukan gerakan volunter seperti (saat gerakan aktif maupun pasif) tidak dapat mengangkat alis dan menutup mata, sudut mulut tertarik ke sisi wajah yang sehat (mulut mencong), sulit mencucu atau bersiul, sulit mengembangkan cuping hidung, dan otot-otot yang terkena yaitu m. frontalis, m.orbicularis oculi, m. orbicularis oris, m. zigomaticus dan m. nasalis. Selain tanda-tanda motorik, terjadi gangguan pengecap rasa manis, asam dan asin pada 2/3 lidah bagian anterior, sebagian pasien mengalami mati rasa atau merasakan tebal di wajahnya. Tanda dan gejala klinis pada Bell’s Palsy menurut Chasid (1990) dan Djamil (2000) adalah: a)

Lesi di luar foramen stilomastoideus, muncul tanda dan gejala sebagai berikut : mulut tertarik ke

sisi mulut yang sehat, makanan terkumpul di antara gigi dan gusi, sensasi dalam pada wajah menghilang, tidak ada lipatan dahi dan apabila mata pada sisi lesi tidak tertutup atau tidak dilindungi maka air mata akan keluar terus menerus. b)

Lesi di canalis fasialis dan mengenai nervus korda timpani. Tanda dan gejala sama seperti

penjelasan di atas, ditambah dengan hilangnya ketajaman pengecapan lidah 2/3 bagian anterior dan salivasi di sisi lesi berkurang. Hilangnya daya pengecapan pada lidah menunjukkan terlibatnya nervus intermedius, sekaligus menunjukkan lesi di daerah antara pons dan titik dimana korda timpani bergabung dengan nervus facialis di canalis facialis. c)

Lesi yang tinggi dalam canalis fasialis dan mengenai muskulus stapedius. Tanda dan gejala

seperti penjelasan pada kedua poin di atas, ditambah dengan adanya hiperakusis (pendengaran yang sangat tajam).

d)

Lesi yang mengenai ganglion genikuli. Tanda dan gejala seperti penjelasan ketiga poin diatas

disertai dengan nyeri di belakang dan di dalam liang telinga dan di belakang telinga. e)

Lesi di meatus austikus internus. Tanda dan gejala sama seperti kerusakan pada ganglion

genikulatum, hanya saja disertai dengan timbulnya tuli sebagai akibat terlibatnya nervus vestibulocochlearis. f)

Lesi di tempat keluarnya nervus facialis dari pons. Tanda dan gejala sama seperti di atas disertai

tanda dan gejala terlibatnya nervus trigeminus, nervus abducens, nervus vestibulocochlearis, nervus accessories dan nervus hypoglossus.

Diagnosis Dalam mendiagnosis kelumpuhan saraf fasialis, harus dibedakan kelumpuhan sentral atau perifer. Kelumpuhan sentral terjadi hanya pada bagian bawah wajah saja, otot dahi masih dapat berkontraksi karena otot dahi dipersarafi oleh korteks sisi ipsi dan kontra lateral sedangkan kelumpuhan perifer terjadi pada satu sisi wajah. Untuk menegakan diagnosis Bell’ Palsy harus ditetapkan dulu adanya paralisis fasialis tipe perifer. Untuk membuat diagnosis diperlukan beberapa pemeriksaan. a.Pemeriksaan telinga dan audiometri, ini untuk menyingkirkan adanya infeksi telinga tengah dan kolestoma. b.Pemeriksaan neurologi dan nervi kraniales. Ini untuk mencari adanya Ca nasopharing atau tumor pada sudut serebelo pontin. c.Pemeriksaan radiologi pada os temporal dan mastoid untuk mencari adanya mastoiditis dan fraktur os temporal.

Inspeksi

Derajat kelumpuhan saraf fasialis dapat dinilai secara subjektif dengan menggunakan sistem House-Brackmann (HBS), metode Freyss atau Yanagihara grading system (Y-system). Disamping itu juga dapat dilakukan tes topografi untuk menentukan letak lesi saraf fasialis dengan tes Schirmer, reflek stapedius dan tes gustometri. HBS

Grade Normal, fungsi pada semua area simetris

I

Sedikit kelemahan pada inspeksi mata, bisa menutup mata dengan penuh II

Y-system 40 32-38

dengan sedikit usaha, sedikit asimetris pada senyuman dengan usaha maksimal, sedikit sinkinesis, tidak ada kontraktur atau spasme Kelemahan yang jelas namun tidak merubah penampakan wajah secara III

24-30

statis, tidak mampu mengangkat alis, penutupan mata yang penuh dan kuat, gerakan mulut yang tidak simetris pada usaha maksimal, selain itu terdapat sinkinesis, mass movement atau spasme (walaupun tidak terlihat saat statis/ menyebabkan disfigurasi) Kelemahan yang jelas dan menyebabkan disfigurasi, ketidakmampuan IV menggangkat alis, penutupan mata yang tidak penuh dan asimetri mulut dengan usaha maksimal, sinkinesis yang parah, mass movement, dan spasme

16-22

Hanya sedikit gerakan yang mampu dilakukan, penutupan mata yang V

8-14

tidak penuh, sedikit gerakan pada ujung mulut, sinkinesis, kontraktur, namun spasme umumnya tidak didapati. Tidak ada gerakan, tidak ada sinkinesis, kontraktur, maupun spasme

VI

0-6

(Sumber : http://www.springerimages.com/Images/MedicineAndPublicHealth/1-10.1007_s00405008-0646-4-3)

House-Brackmann Scale

(Sumber : http://www.utmb.edu/otoref/grnds/Bells-palsy-2012-10/facial-paral-2012-10.docx)

Pemeriksaan Fisik Paralisis fasialis mudah didiagnosis dengan pemeriksaan fisik yang lengkap untuk menyingkirkan kelainan sepanjang perjalanan saraf dan kemungkinan penyebab lain. Adapun pemeriksaan yang dilakukan adalah pemeriksaan gerakan dan ekspresi wajah. Pemeriksaan ini akan menemukan kelemahan pada seluruh wajah sisi yang terkena. Kemudian, pasien diminta menutup mata dan mata pasien pada sisi yang terkena memutar ke atas. Bila terdapat hiperakusis, saat stetoskop diletakkan pada telinga pasien maka suara akan terdengar lebih jelas pada sisi cabang muskulus stapedius yang paralisis. Tanda klinis yang membedakan Bell’s palsy dengan stroke atau kelainan yang bersifat sentral lainnya adalah tidak terdapatnya kelainan pemeriksaan saraf kranialis lain, motorik dan sensorik ekstremitas dalam batas normal, dan pasien tidak mampu mengangkat alis dan dahi pada sisi yang lumpuh. Diagnosis Banding

Diagnosis banding paralisis fasialis dapat dibagi menurut lokasi lesi sentral dan perifer. Kelainan sentral : 1. Stroke bila disertai kelemahan anggota gerak sisi yang sama dan ditemukan proses patologis di hemisfer serebri kontralateral. 2. Kelainan tumor apabila onset gradual dan disertai perubahan mental status atau riwayat kanker di bagian tubuh lainnya. 3. Sklerosis multipel bila disertai kelainan neurologis lain seperti hemiparesis atau neuritis optika 4. Trauma bila terdapat fraktur os temporalis pars petrosus, basis kranii, atau terdapat riwayat trauma sebelumnya. Kelainan perifer : 1. Otitis media supuratif dan mastoiditis apabila terjadi reaksi radang dalam kavum timpani dan foto mastoid menunjukkan suatu gambaran infeksi. 2. Herpes zoster otikus bila ditemukan adanya tuli perseptif, tampak vesikel yang terasa amat nyeri di pinna dan/atau pemeriksaan darah menunjukkan kenaikan titer antibodi virus varicellazoster. 3. Sindroma Guillain-Barre saat ditemukan adanya paresis bilateral dan akut. 4. Kelainan miastenia gravis jika terdapat tanda patognomonik berupa gangguan gerak mata kompleks dan kelemahan otot orbikularis okuli bilateral. 5. Tumor serebello-pontin (tersering) apabila disertai kelainan nervus kranialis V dan VIII. 6. Tumor kelenjar parotis bila ditemukan massa di wajah (angulus mandibula). 7. Sarcoidosis saat ditemukan tanda-tanda febris, perembesan kelenjar limfe hilus, uveitis, parotitis, eritema nodosa, dan kadang hiperkalsemia.

Pemeriksaan Penunjang Bell’s palsy merupakan diagnosis klinis sehingga pemeriksaan penunjang perlu dilakukan untuk menyingkirkan etiologi sekunder dari paralisis saraf kranialis. Pemeriksaan radiologis dengan CT-scan atau radiografi polos dapat dilakukan untuk menyingkirkan fraktur, metastasis tulang, dan keterlibatan sistem saraf pusat (SSP). Pemeriksaan MRI dilakukan pada pasien yang dicurigai neoplasma di tulang temporal, otak, glandula parotis, atau untuk mengevaluasi sklerosis multipel. Selain itu, MRI dapat memvisualisasi perjalanan dan penyengatan kontras saraf fasialis. Pemeriksaan neurofisiologi pada Bells palsy sudah dikenal sejak tahun 1970 sebagai prediktor kesembuhan, bahkan dahulu sebagai acuan pada penentuan kandidat tindakan dekompresi intrakanikular.10,11 Grosheva et al melaporkan pemeriksaan elektromiografi (EMG) mempunyai nilai prognostik yang lebih baik dibandingkan elektroneurografi (ENG). Pemeriksaan serial EMG pada penelitian tersebut setelah hari

ke-15 mempunyai positive-predictivevalue (PPV) 100% dan negative-predictive-value (NPV) 96%. Spektrum abnormalitas yang didapatkan berupa penurunan amplitudo Compound Motor Action Potential (CMAP), pemanjangan latensi saraf fasialis, serta pada pemeriksaan blink reflex didapatkan pemanjangan gelombang R1 ipsilateral. 11 Pemeriksaan blink reflex ini sangat bermanfaat karena 96% kasus didapatkan abnormalitas hingga minggu kelima, meski demikian sensitivitas pemeriksaan ini rendah. Abnormalitas gelombang R2 hanya ditemukan pada 15,6% kasus.

Komplikasi Sekitar 5% pasien setelah menderita Bell’s palsy mengalami sekuele berat yang tidak dapat diterima. Beberapa komplikasi yang sering terjadi akibat Bell’s palsy : (1) Regenerasi motor inkomplit yaitu regenerasi suboptimal yang menyebabkan paresis seluruh atau beberapa muskulus fasialis. (2) Regenerasi sensorik inkomplit yang menyebabkan disgeusia (gangguan pengecapan), ageusia (hilang pengecapan), dan disestesia (gangguan sensasi atau sensasi yang tidak sama dengan stimuli normal). (3) Reinervasi yang salah dari saraf fasialis. Reinervasi yang salah dari saraf fasialis dapat menyebabkan : a. Sinkinesis yaitu gerakan involunter yang mengikuti gerakan volunter, contohnya timbul gerakan elevasi involunter dari sudut mata, kontraksi platysma, atau pengerutan dahi saat memejamkan mata. b. Crocodile tear phenomenon, yang timbul beberapa bulan setelah paresis akibat regenerasi yang salah dari serabut otonom, contohnya air mata pasien keluar pada saat mengkonsumsi makanan. c. Clonic facial spasm (hemifacial spasm), yaitu timbul kedutan secara tiba-tiba (shock-like) pada wajah yang dapat terjadi pada satu sisi wajah saja pada stadium awal, kemudian mengenai sisi lainnya (lesi bilateral tidak terjadi bersamaan).

Tatalaksana Algoritma Tatalaksana Bell’s Palsy (Brackmann 2010)

Terapi Non-farmakologis Kornea mata memiliki risiko mengering dan terpapar benda asing. Proteksinya dapat dilakukan dengan penggunaan air mata buatan (artificial tears), pelumas (saat tidur), kaca mata, plester mata, penjahitan kelopak mata atas, atau tarsorafi lateral (penjahitan bagian lateral kelopak mata atas dan bawah). Masase dari otot yang lemah dapat dikerjakan secara halus dengan mengangkat wajah ke atas dan membuat gerakan melingkar. Tidak terdapat bukti adanya efektivitas dekompresi melalui pembedahan saraf fasialis, namun tindakan ini kadang dilakukan pada kasus yang berat dalam 14 hari onset. Rehabilitasi fasial secara komprehensif yang dilakukan dalam empat bulan setelah onset terbukti memperbaiki fungsi pasien dengan paralisis fasialis. Namun, diketahui pula bahwa 95% pasien sembuh dengan pengobatan prednisone dan valasiklovir tanpa terapi fisik.13 Rehabilitasi fasial meliputi edukasi, pelatihan neuro-muskular, masase, meditasirelaksasi, dan program pelatihan di rumah. Terdapat empat kategori terapi yang dirancang sesuai dengan keparahan penyakit, yaitu kategori inisiasi, fasilitasi, kontrol gerakan, dan relaksasi. A. Kategori inisiasi ditujukan pada pasien dengan asimetri wajah sedang-berat saat istirahat dan tidak dapat memulai gerakan pada sisi yang lumpuh. Strategi yang digunakan berupa masase

superfisial disertai latihan gerak yang dibantu secara aktif sebanyak 10 kali yang dilakukan 12 set per hari dan menghindari gerakan wajah berlebih. B. Kategori fasilitasi ditujukan pada pasien dengan asimetri wajah ringan-sedang saat istirahat, mampu menginisiasi sedikit gerakan dan tidak terdapat sinkinesis. Strategi yang digunakan berupa mobilisasi jaringan lunak otot wajah yang lebih agresif dan reedukasi neuromuscular di depan kaca (feedback visual) dengan melakukan gerakan ekspresi wajah yang lambat, terkontrol, dan bertahap untuk membentuk gerakan wajah yang simetris. Latihan ini dilakukan sebanyak minimal 20-40 kali dengan 2-4 set per hari. C. Kategori kontrol gerakan yang ditujukan pada pasien dengan simetri wajah ringan-sedang saat istirahat, masih mampu menginisiasi sedikit gerakan, dan terdapat sinkinesis. Strategi yang digunakan berupa mobilisasi jaringan lunak dalam otot wajah dengan agresif, reedukasi neuromuskular di depan kaca seperti kategori fasilitasi, namun secara simultan mengontrol gerakan sinkinesis pada bagian wajah lainnya, dan disertai inisiasi strategi meditasi-relaksasi. D. Kategori relaksasi yang ditujukan pada pasien dengan kekencangan seluruh wajah yang parah karena sinkinesis dan hipertonisitas. Strategi yang digunakan berupa mobilisasi jaringan lunak dalam otot wajah dengan agresif, reedukasi neuromuskular di depan kaca, dan fokus pada strategi meditasi-relaksasi yaitu meditasi dengan gambar visual atau audio difokuskan untuk melepaskan ketegangan pada otot yang sinkinesis. Latihan ini cukup dilakukan 1-2 kali per hari. Bila setelah menjalani 16 minggu latihan otot tidak mengalami perbaikan, pasien dengan asimetri dan sinkinesis perlu dipertimbangkan untuk menjalani kemodenervasi untuk memperbaiki kualitas hidupnya, baik gerakan, fungsi sosial, dan ekspresi emosi wajah. Pada keadaan demikian perlu dikonsultasikan ke bagian kulit atau bedah plastik. Konsultasi ke bagian lain, seperti Telinga Hidung Tenggorok dan kardiologi perlu dipertimbangkan apabila terdapat kelainan pemeriksaan aufoskop atau pembengkakan glandula parotis dan hipertensi secara berurutan pada pasien.

Terapi Farmakologis Inflamasi dan edema saraf fasialis merupakan penyebab paling mungkin dalam patogenesis Bell’s palsy. Penggunaan steroid dapat mengurangi kemungkinan paralisis permanen dari pembengkakan pada saraf di kanalis fasialis yang sempit. Steroid, terutama prednisolon yang dimulai dalam 72 jam dari onset, harus dipertimbangkan untuk optimalisasi hasil pengobatan. Dosis pemberian prednison (maksimal 40-60 mg/hari) dan prednisolon (maksimal 70 mg) adalah 1 mg per kg per hari peroral selama enam hari diikuti empat hari tappering off.

Efek toksik dan hal yang perlu diperhatikan pada penggunaan steroid jangka panjang (lebih dari 2 minggu) berupa retensi cairan, hipertensi, diabetes, ulkus peptikum, osteoporosis, supresi kekebalan tubuh (rentan terhadap infeksi), dan Cushing syndrome. Ditemukannya genom virus di sekitar saraf ketujuh menyebabkan preparat antivirus digunakan dalam penanganan Bell’s palsy. Namun, beberapa percobaan kecil menunjukkan bahwa penggunaan asiklovir tunggal tidak lebih efektif dibandingkan kortikosteroid. Penelitian retrospektif Hato et al mengindikasikan bahwa hasil yang lebih baik didapatkan pada pasien yang diterapi dengan asiklovir/valasiklovir dan prednisolon dibandingkan yang hanya diterapi dengan prednisolon. Axelsson et al juga menemukan bahwa terapi dengan valasiklovir dan prednison memiliki hasil yang lebih baik. deAlmeida et al menemukan bahwa kombinasi antivirus dankortikosteroid berhubungan dengan penurunan risiko batas signifikan yang lebih besar dibandingkan kortikosteroid saja. Data-data ini mendukung kombinasi terapi antiviral dan steroid pada 48-72 jam pertama setelah onset. Namun, hasil analisis Cochrane 2009 pada 1987 pasien dan Quant et al22 dengan 1145 pasien menunjukkan tidak adanya keuntungan signifikan penggunaan antiviral dibandingkan plasebo dalam hal angka penyembuhan inkomplit dan tidak adanya keuntungan yang lebih baik dengan penggunaan kortikosteroid ditambah antivirus dibandingkan kortikosteroid saja. Studi lebih lanjut diperlukan untuk menentukan keuntungan penggunaan terapi kombinasi. Dosis pemberian asiklovir untuk usia >2 tahun adalah 80 mg per kg per hari melalui oral dibagi dalam empat kali pemberian selama 10 hari. Sementara untuk dewasa diberikan dengan dosis oral 2000-4000 mg per hari yang dibagi dalam lima kali pemberian selama 7-10 hari. Sedangkan dosis pemberian valasiklovir (kadar dalam darah 3-5 kali lebih tinggi) untuk dewasa adalah 1000-3000 mg per hari secara oral dibagi 2-3 kali selama lima hari. Efek samping jarang ditemukan pada penggunaan preparat antivirus, namun kadang dapat ditemukan keluhan berupa adalah mual, diare, dan sakit kepala.

Prognosis Perjalanan alamiah Bell’s palsy bervariasi dari perbaikan komplit dini sampai cedera saraf substansial dengan sekuele permanen. Sekitar 80-90% pasien dengan Bell’s palsy sembuh total dalam 6 bulan, bahkan pada 50-60% kasus membaik dalam 3 minggu.11 Sekitar 10% mengalami asimetri muskulus fasialis persisten, dan 5% mengalami sekuele yang berat, serta 8% kasus dapat rekuren. Faktor yang dapat mengarah ke prognosis buruk adalah palsi komplit (risiko sekuele berat), riwayat rekurensi, diabetes, adanya nyeri hebat post-aurikular, gangguan pengecapan, refleks stapedius, wanita

hamil dengan Bell’s palsy, bukti denervasi mulai setelah 10 hari (penyembuhan lambat), dan kasus dengan penyengatan kontras yang jelas. Faktor yang dapat mendukung ke prognosis baik adalah paralisis parsial inkomplit pada fase akut (penyembuhan total), pemberian kortikosteroid dini, penyembuhan awal dan/atau perbaikan fungsi pengecapan dalam minggu pertama. Kimura et al menggunakan blink reflex sebagai prediktor kesembuhan yang dilakukan dalam 14 hari onset, gelombang R1 yang kembali terlihat pada minggu kedua menandakan prognosis perbaikan klinis yang positif. Selain menggunakan pemeriksaan neurofisiologi untuk menentukan prognosis, House-Brackmann Facial Nerve Grading System dapat digunakan untuk mengukur keparahan dari suatu serangan dan menentukan prognosis pasien Bell’s palsy.

DAFTAR PUSTAKA Lowis, H., Maula, N.G. 2012. Bell’s Palsy, Diagnosis dan Tata Laksana di Pelayanan Primer. Artikel Pengembangan Pendidikan Keprofesian Berkelanjutan (P2KB). Universitas Pelita Harapan,Tangerang. Departemen Saraf Rumah Sakit Jakarta Medical Center. Jakarta. Mardjono M, Sidharta P. 1981. Neurologis Klinis Dasar. Jakarta: PT Dian Rakyat. Munilson, J., Yan Edward., Wahyu Triana. 2010. Diagnosis dan Penatalaksanaan Bell’s Palsy. Bagian Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher. Fakultas Kedokteran Universitas Andalas/RSUP. Dr.M.Djamil. Padang. Sunaryo, U. 2012. Bell’s Palsy. 25 September 2013. http://fkuwks2012c.files.wordpress.com/2013/06/pakar-bells-palsy.pdf

Related Documents

Bells Palsy
November 2019 20
Bells Palsy Slides 070214
December 2019 17
5.bells Palsy .doc
June 2020 17
Jingle Bells
June 2020 16

More Documents from ""