Bab I Skripsi Pendahuluan.docx

  • Uploaded by: Alfah Ratna Wati
  • 0
  • 0
  • November 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Bab I Skripsi Pendahuluan.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 4,602
  • Pages: 29
BAB I PENDAHULUAN

A.

Latar Belakang Kesehatan merupakan unsur vital dan salah satu elemen konstitutif dari kehidupan seseorang. Kesehatan sebagai hak asasi telah menjadi mendasar dan menjadi kewajiban Negara dalam upaya pemenuhannya. Salah satu strategi dalam meningkatkan derajat kesehatan adalah mengupayakan pelayanan yang berkualitas kepada setiap masyarakat. Sumber tenaga kesehatan dan sarana pelayanan kesehatan paling penting berperan dalam peningkatan kualitas. Untuk mengoptimalisasikan derajat kesehatan masyarakat tersebut, pembangunan kesehatan diimplementasikan dalam bentuk pelayanan kesehatan, termasuk didalamnya pelayanan kefarmasian. Obat merupakan salah satu komponen yang tak tergantikan serta sangat menunjang dalam rangka upaya pembangunan dan pelayanan kesehatan yang baik. Obat dan perbekalan kesehatan adalah kebutuhan dasar manusia yang berfungsi sosial, sehingga tidak boleh diperlakukan sebagai komoditas ekonomi semata, dan tidak

dipromosikan

secara

berlebihan

sehingga

mengakibatkan menyesatkan untuk pihak konsumen.

1

dapat

2

Manusia merupakan bagian dari masyarakat yang hidup berdampingan satu dengan yang lainnya. Untuk itu seringkali terjadi hubungan antara manusia yang satu dengan yang lainnya. Seiring dengan berkembangnya zaman, dikenallah istilah konsumen dan pelaku usaha yang merupakan hasil interaksi manusia yang terus berkembang. Sejak semula, hingga saat ini, kedudukan konsumen tetap berada pada pihak yang sangat lemah dan membutuhkan suatu perlindungan terhadap kepentingannya. Hubungan antara konsumen

dengan

pelaku

usaha

yang

terus

berkembang

membutuhkan sebuah aturan yang memberikan kepastian terhadap tanggungjawab, hak dan kewajiban dari masing-masing pihak. Konsumen menjadi objek aktivitas bisnis dari pelaku usaha melalui kiat iklan, promosi, cara penjualan, penerapan perjanjianperjanjian standar yang dapat merugikan konsumen, dalam hal yang ekstrim konsumen dijadikan sasaran penipuan pelaku usaha.1 Hal ini disebabkan karena kurangnya pendidikan konsumen dan rendahnya kesadaran hak dan kewajibannya.2 Kedudukan konsumen pada umumnya masih lemah dalam bidang ekonomi, pendidikan, dan daya tawar, karena itu dibutuhkannya adanya Undang-undang yang

1

Susanti Adi Nugroho, Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen Ditinjau dari Hukum Acara Serta Kendala Implementasinya, cet. 1, (Jakarta: Kencana, 2008), hlm. 1. 2 N.H.T. Siahaan, Hukum Konsumen: Perlindungan Konsumen dan Tanggung Jawab Produk, (Jakarta: Panta Rei, 2005), hlm. 14.

3

melindungi kepentingan-kepentingan konsumen yang selama ini terabaikan.3 Mengingat hubungan antara pembeli dengan pihak apotek tersebut mengandung resiko yang dapat menyebabkan kerugian salah satu pihak, maka perlu ada persetujuan diantara kedua belah pihak. Persetujuan antara pembeli obat dengan pihak apotek adalah dalam hal jumlah, jenis dan macam obat yang akan dibeli. Perjanjian antara pihak apotek dengan pembeli/konsumen dalam transaksi penjualan obat-obatan daftar X tersebut termasuk dalam perjanjian timbal balik yaitu perjanjian jual beli. Perjanjian uang dilakukan dalam transaksi penjualan obat-obatan daftar X tersebut telah memenuhi syarat sahnya suatu perjanjian seperti ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata, menyatakan bahwa: 1.

Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya;

2.

Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;

3.

Suatu pokok persoalan tertentu;

4.

Suatu sebab yang tidak dilarang. Dengan adanya perjanjian yang telah dilakukan antara pembeli/

konsumen dengan pihak apotek dalam penjualan obat daftar X, maka timbulnya kelalaian (negligence) dapat dikategorikan dalam perbuatan wanprestasi. Bentuk wanprestasi yang dilakukan oleh 3

Abdul Halim Barkatulah, Hukum Perlindungan Konsumen: Kajian Teoritis dan Perkembangan Pemikiran, (Bandung: Nusa Media, 2008), hlm. 19.

4

apotek dalam penjualan obat tersebut adalah bahwa prestasi yang diberikan oleh apotek tidak sebagaimana mestinya (keliru) yang menyebabkan timbulnya kerugian pada pihak lain yaitu pembeli/ konsumen.4 Sebagai akibat dari adanya wanprestasi yang dilakukan oleh pihak apotek, maka harus ada suatu bentuk pertanggungjawaban atas kelalaian atau kesalahan yang dilakukan. Pertanggungjawaban atas kelalaian yang dimaksud adalah kelalaian yang dapat disebabkan karena adanya tindakan wanprestasi atau adanya suatu perbuatan melawan hukum (Onrechmatige Daad).5 Sehubungan dengan hal tersebut, maka masyarakat Indonesia harus

mendapatkan

perlindungan

terhadap

keselamatan

dan

keamanan yang secara nyata dalam berbagai bidang kehidupan, terlebih lagi dalam era perdagangan bebas sebagai fenomena globalisasi ekonomi sehingga membutuhkan upaya yang signifikan dari pemerintah dalam hal kerjasama dengan negara lain dengan sikap antisipatif terhadap kemungkinan yang akan terjadi dalam usaha kerjasama tersebut untuk menanggulangi peredaran obat palsu.

4

Sulastomo, Beberapa Masalah Pelayanan Kesehatan, (Jakarta: Lembaga Studi Ilmu-Ilmu Kemasyarakatan, 1988), hlm. 172. 5 Suharnoko, Hukum Perjanjian: Teori dan Analisa Kasus, (Jakarta: Prenada Media, 2004), hlm. 116.

5

Pembangunan dan perkembangan perekonomian umumnya dan khususnya di bidang perindustrian dan perdagangan nasional telah menghasilkan berbagai variasi barang dan/atau jasa yang dapat dikonsumsi. Globalisasi dan perdagangan bebas yang didukung oleh kemajuan teknologi telekomunikasi dan informasi telah memperluas ruang gerak arus transaksi barang dan/atau jasa yang ditawarkan bervariasi baik produksi luar negeri maupun produksi dalam negeri. Dalam kondisi dan fenomena seperti ini dapat mengakibatkan kedudukan pelaku usaha dan konsumen menjadi tidak seimbang dan konsumen berada pada posisi yang lemah. Konsumen menjadi objek aktivitas bisnis untuk meraih keuntungan yang sebesar-besarnya oleh pelaku usaha melalui promosi, cara penjualan serta penerapan perjanjian standar yang merugikan konsumen. Faktor utama yang menjadi kelemahan para konsumen adalah tingkat kesadaran konsumen

akan

haknya

masih

rendah.

Undang-Undang

Perlindungan Konsumen dimaksudkan menjadi landasan hukum yang kuat bagi pemerintah dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat untuk melakukan pemberdayaan konsumen melalui pembinaan dan pendidikan konsumen. Konsumen obat-obatan adalah masyarakat konsumen di Indonesia yang mengkonsumsi produk kesehatan dalam bentuk obat-obatan dalam bentuk apapun sesuai dengan jenis penyakit

6

yang beredar di Indonesia.6 Ketika seseorang sakit, maka secara naluriah, konsumen atau masyarakat akan berusaha untuk mencari obat untuk menyembuhkan penyakitnya tersebut. Tetapi apa yang terjadi apabila orang tersebut tidak mempunyai pengalaman yang cukup mengenai obat yang akan dikonsumsi, maka konsumen tidak mengetahui efek negatif atau efek samping yang akan dialaminya akibat ketidaktahuan atas obat tersebut. Obat-obat yang beredar luas di pasaran ini tidak mempunyai informasi

yang

jelas

bagi

konsumen

pemakaianya.

Banyak

konsumen yang tidak tahu bagaimana cara pemakaian yang sebenarnya, kontra indikasi yang ada pada obat tersebut, ataupun akibat yang ditimbulkan dari obat tersebut. Pada beberapa obat yang beredar luas di pasaran, informasi mengenai obat hanya diberikan terbatas. Misalnya setiap strip obat membutuhkan sedikitnya informasi yang jelas mengenai obat tersebut di setiap tablet pada strip tersebut, tetapi pada kenyataannya pelaku usaha, dalam hal ini perusahaan farmasi yang memproduksi obat tersebut, hanya melampirkan informasi tersebut pada satu kertas kecil untuk berpuluh-puluh strip obat yang ada. Dalam kenyataanya sebagian konsumen tidak pernah membeli satu bungkus obat yang berisi

6

Hendro Sasmito, Perlindungan Hukum Terhadap Pasien sebagai Konsumen Jasa Pelayanan Kesehatan, Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada, 2003

7

berpuluh-puluh strip tersebut karena setidaknya konsumen hanya akan membeli satu strip.7 Apotek merupakan salah satu sarana pelayanan kesehatan dalam membantu mewujudkan tercapainya derajat kesehatan yang optimal bagi masyarakat. Informasi mengenai nama generik suatu obat yang diperlukan oleh konsumen supaya konsumen dapat mencari alternatif obat bermerek yang tidak dapat dibeli karena harganya

yang

cukup

mahal.

Ketika

seorang

konsumen

membutuhkan obat merek X, maka konsumen tidak mampu membeli obat

tersebut

Kesehatan

karena

melalui

mahalnya Peraturan

obat

tersebut.

Menteri

Kementerian

Kesehatan

sudah

mengakomodir masalah tersebut dengan menerbitkan suatu regulasi bagi setiap produsen obat untuk mencantumkan nama generik dari setiap obat yang diproduksi. Hal ini bertujuan agar masyarakat yang tidak mampu membeli obat merek tersebut dapat mencari obat generiknya yang lebih murah harganya. Apabila nama generik suatu obat merek dicantumkan, maka konsumen akan lebih mudah dalam mencarinya. Standar pelayanan kefarmasian di apotek bertujuan sebagai pedoman praktik dalam menjalankan profesi, untuk melindungi masyarakat dari pelayanan yang tidak profesional dan melindungi

7

Rizki Prasa, Apotek Rakyat dan Apotek Waralaba, http://journal.unika.ac.id/index.php/shk/article/download/693/531, Bandung, 28 Maret 2017.

8

profesi

dalam

menjalankan

praktik

kefarmasian.8

Pelayanan

kesehatan terutama mengenai obat merupakan komponen yang penting karena diperlukan dalam sebagian besar upaya kesehatan. Dewasa ini meningkatnya kesadaran dan pengetahuan masyarakat tentang kesehatan juga mendorong masyarakat menuntut pelayanan kesehatan termasuk pelayanan obat yang semakin berkualitas dan profesional.9 Praktiknya, ketentuan ini tidak dilaksanakan oleh para pelaku produsen obat. Apabila konsumen membeli suatu obat tertentu, nama generik obat di bawah nama merek obat tersebut sesuai regulasi tentang pelebelan nama generik obat. Hal ini terlihat sepele tetapi merupakan bentuk ketidakpedulian produsen dan pemerintah sebagai pengawas terhadap perlindungan konsumen, khususnya hak konsumen atas informasi obat. Jika suatu apotek tidak menggunakan standar pelayanan farmasi dalam menjalankan apotek, maka tidak akan tercapai derajat kesehatan yang optimal bagi

masyarakat,

karena

pelayanan

farmasi

adalah

bentuk

pelayanan dan tanggung jawab langsung profesi apoteker dalam pekerjaan kefarmasian untuk meningkatkan kualitas hidup pasien/ masyarakat. Terjadinya penjualan obat palsu dan banyak masyarakat di Indonesia 8

mengkonsumsi

obat

tersebut,

maka

diperlukan

Cecep Triwibowo, Etika dan Hukum Kesehatan, (Yogyakarta: Nuha Medika, 2014), hlm.

16. 9

Purwanto Hardjosaputra, Daftar Obat Indonesia, cet. Kedua, (Jakarta: PT.Mulia Purna Jaya, 2008), hlm. 5

9

perlindungan hukum terhadap konsumen sebagai pihak yang mengkonsumsi obat palsu. Praktik pemalsuan bisa terjadi pada merek dan produk obat paten maupun obat generik

dengan

berbagai macam kriteria pemalsuan, tanpa zat aktif, kadar zat aktif berkurang, zat aktifnya berlainan, zat aktifnya sama dengan kemasan dipalsukan, sama dengan obat asli (tiruan), kualitas yang sangat berbeda. Selain itu, terdapat ciri-ciri pengenalan obat palsu yang dapat dilihat dari fisik obat. Pemasaran obat yang dilakukan oleh perusahaan farmasi sebelum dipasarkan kepada apotek, maka sebaiknya para perusahaan farmasi melakukan sistem detailing, perusahaan

farmasi

melalui

jaringan

distributor

melakukan

pendekatan tatap muka dengan dokter yang berpraktik di rumah sakit/apotek atau praktik pribadi. Kegiatan detailing ini mempunyai berbagai nuansa, termasuk adanya komukasi untuk mendapatkan situasi yang saling menguntungkan antara dokter dan perusahaan farmasi dan dalam komunikasi inilah terbuka kemungkinan terjadinya kolusi dokter dan perusahaan farmasi. Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan menjelaskan adanya hubungan dengan pangan walaupun obat tidak termasuk dalam pangan, namun obat tersebut mengandung senyawa kimia yang berhubungan dengan nabati atau pangan. Obat adalah zat yang dimaksudkan untuk dipakai dalam diagnosis, mengurangi rasa sakit, mengobati atau mencegah

10

penyakit pada manusia, hewan dan tumbuhan.10 Obat merupakan suatu bahan atau campuran bahan untuk dipergunakan dalam menentukan diagnosis, mencegah, mengurangi, menghilangkan, menyembuhkan penyakit atau gejala penyakit, luka atau kelainan badaniah atau rohaniah pada manusia atau hewan termasuk untuk memperelok tubuh atau bagian tubuh manusia.11 Berdasarkan Undang-Undang

Nomor

36

Tahun

2009

tentang

Kesehatan

menyatakan bahwa: “Bahan atau paduan bahan, termasuk produk biologi yang digunakan untuk mempengaruhi atau menyelidiki sistem fisiologi atau keadaan patologi dalam rangka penetapan diagnosis, pencegahan, penyembuhan, pemulihan, peningkatan kesehatan dan kontrasepsi untuk manusia.”

Apotek rakyat dibentuk untuk memperluas akses obat murah dan terjamin kepada masyarakat. Dalam upaya usaha untuk memajukan kesejahteraan umum yang berarti mewujudkan suatu tingkat kehidupan secara optimal, yang memenuhi kebutuhan manusia termasuk kesehatan, konsumen harus mengetahui apotek rakyat dan peranan apoteker di dalam apotek rakyat. Berdasarkan latar belakang permasalahan yang diuraikan di atas, peneliti tertarik untuk mengadakan penelitian mengenai perlindungan hukum atas beredarnya obat-obatan palsu yang terjadi di era globalisasi dalam lingkungan kehidupan masyarakat pada 10 11

H.C. Ansel., Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi, Jakarta: 1989, hlm. 9. Syamsuni, Farmasetika Dasar dan Hitungan Farmasi, (Jakarta: Buku Kedokteran, 2006)

11

Apotek Rakyat, yang dicantumkan dalam karya tulis yang berjudul “TANGGUNG JAWAB PELAKU USAHA APOTEK RAKYAT TERHADAP PENJUALAN OBAT PALSU DIKAITKAN DENGAN PERLINDUNGAN

HAK

KONSUMEN

ATAS

PELAYANAN

KESEHATAN BERDASARKAN UU NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN DAN PERATURAN MENTERI

KESEHATAN

NOMOR

284/MENKES/III/2007

TENTANG APOTEK RAKYAT”. Sepanjang pengetahuan peneliti belum ada tulisan tugas akhir mengenai Tanggung Jawab Pelaku Usaha Apotek Rakyat Terhadap Penjualan

Obat

Palsu

Dikaitkan

Dengan

Perlindungan

Hak

Konsumen Atas Pelayanan Kesehatan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen Dan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 284/Menkes/III/2007

Tentang

Apotek Rakyat, tetapi peneliti menemukan dua tugas akhir yang membahas tanggung jawab pelaku usaha apoteker terhadap pasien atas

kesalahan

pelayanan

obat

di

Perpustakaan

Mochtar

Kusumaatmadja yang ditulis oleh Elisa Putri Pulungan dengan judul Tanggung Jawab Hukum Apoteker Terhadap Pasien Selaku Konsumen Akibat Kelalaian Pemberian Obat Ditinjau Dari UndangUndang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan Dan UndangUndang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen dan Muawanah dengan judul Tanggung Jawab Perdata Apoteker

12

Terhadap Pasien Selaku Konsumen Akibat Kesalahan Pemberian Obat Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan Dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. Namun yang membedakan tugas akhir penulis dengan Elisa Putri Pulungan dan Muawanah adalah penulis dalam tugas akhir ini lebih menekankan tanggung jawab pelaku usaha apotek rakyat atas informasi obat palsu dan perlindungan hak pasien atas pelayanan kesehatan. B.

Identifikasi Masalah 1.

Bagaimanakah perlindungan bagi pasien atau konsumen terhadap pelayanan kesehatan yang diberikan oleh Apotek Rakyat

terkait

informasi

penjualan

obat

palsu

ditinjau

berdasarkan Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan? 2.

Bagaimanakah tanggungjawab pelaku usaha apotek rakyat terhadap penjualan obat palsu ditinjau berdasarkan UndangUndang

Nomor

8

Tahun

1999

tentang

Perlindungan

Konsumen? C.

Tujuan Penelitian Penelitian ini dimaksudkan untuk memiliki beberapa tujuan yakni: 1.

Untuk menentukan pelayanan kesehatan yang diberikan oleh apotek rakyat sebagai sarana tempat pelayanan kefarmasian

13

penyerahan obat dan perbekalan kesehatan, untuk melindungi dari penggunaan obat palsu dan obat kadaluwarsa sehingga mencegah penyalahgunaan obat di pasaran. 2.

Untuk menentukan tanggungjawab pelaku usaha apotek rakyat atas informasi penjualan obat palsu di pasaran berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

D.

Kegunaan Penelitian 1.

Manfaat Teoritis Hasil penelitian ini diharapkan dapat dipergunakan sebagai sumbangan pemikiran dalam ilmu pengetahuan di bidang hukum, khususnya mengenai peredaran obat-obatan palsu di era globalisasi saat ini dalam masyarakat terkait dengan hukum kesehatan dan hukum perlindungan konsumen.

2.

Manfaat Praktis Kegunaan praktis, yaitu diharapkan hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi berbagai pihak, khususnya masyarakat yang menjadi konsumen obat, agar lebih teliti membeli obat-obatan untuk dikonsumsi maupun masyarakat yang menjadi produsen obat-obatan

khususnya

agar

berpikir

lagi

membuat dan/atau mengedarkan obat palsu.

apabila

ingin

14

E.

Kerangka Pemikiran Kesehatan merupakan hal yang utama dalam kelangsungan hidup setiap individu, tanpa kesehatan mustahil seseorang tersebut dapat melangsungkan kehidupanya. Hal ini sangat berkaitan erat dengan ketahanan sebuah bangsa, bangsa yang besar dan kuat harus terlebih dahulu menciptakan rakyat yang sehat. Ketentuan Pasal 33 ayat (3) Undang-undang Dasar 1945 menyatakan bahwa: “Negara

bertanggung

jawab

atas

penyediaan

fasilitas

pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak”. Menurut pernyataan dari Organisasi Kesehatan Sedunia (WHO), obat palsu yang beredar di pasaran mulai dari obat hipertensi, diabetes, antibiotik, hingga obat sakit kepala.12 Kerugian akibat obat palsu di Indonesia berupa keadaan fisik, mental dan kesejahteraan sosial secara lengkap dan bukan hanya sekedar tidak mengidap penyakit atau kelemahan.13 Menurut penulis, seharusnya pihak pemerintah meningkatkan pengawasan terhadap peredaran sediaan farmasi dengan pemberian efek jera bagi pelanggar yang melakukan, sehingga tidak mengorbankan keprofesian apoteker melalui pembentukan Apotek Rakyat dalam upaya menghadapi masalah tersebut. Jika ditinjau dari hukum kesehatan terdapat 12

Rizki Prasa, Apotek Rakyat dan Apotek Waralaba, http://prastzadubidudam.blogspot.com, Bandung , 15 April 2017, pukul 20.00. 13 Githa Putri, Apotek Rakyat dan Apotek Waralaba, www.belajarpsikologi.com/pengertian-kesehatan, Bandung, 15 April 2017, pukul 20.00.

15

definisi tersendiri mengenai hukum kesehatan menurut H. J.J. Leenen menyatakan sebagai berikut: “Hukum kesehatan meliputi semua ketentuan hukum yang langsung berhubungan dengan pemeliharaan kesehatan dan penerapan hukum perdata, hukum pidana dan hukum administratif. Berlaku juga pedoman internasional, hukum kebiasaan dan jurisprudensi yang berkaitan dengan pemeliharaan kesehatan hukum otonom, ilmu dan litelatur menjadi sumber hukum kesehatan”.14

Salah satu subsistem dalam Sistem Kesehatan Nasional (SKN) adalah Subsistem Obat dan Perbekalan Kesehatan (SOPK), merupakan tatanan yang menghimpun berbagai upaya menjamin ketersediaan,

pemerataan

serta

mutu

obat

dan

perbekalan

kesehatan secara terpadu dan saling mendukung dalam rangka tercapainya derajat kesehatan yang setinggi-tingginya. Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor: 284/MENKES/SK/III/2007 tentang Apotek Rakyat, Pasal 1 angka 1 menjelaskan

tentang

pengertian dari Apotek Rakyat adalah: “Sarana

kesehatan

kefarmasian

dimana

tempat

dilaksanakannya

dilakukan

penyerahan

pelayanan obat

dan

pembelakan kesehatan dan tidak melakukan peracikan.” Apotek rakyat diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 284 Tahun 2007, hal ini menyebabkan apotek bukan lagi sebagai tempat dimana masyarakat dapat memperoleh 14

Fred Amein, Kapita Selekta Hukum Kedokteran, Grafika Jaya, Jakarta 1991.

16

obat

apapun

yang

dibutuhkannya.

Seorang

apoteker

bertanggungjawab terhadap tempat sarana apotek, karena apotek rakyat dapat merupakan satu atau gabungan pedagang eceran obat. Apoteker tidak bisa optimal karena dalam waktu bersamaan tidak mungkin apoteker memberikan pelayanan pada tempat yang berbeda. Fungsi pelayanan apotek sebagai sarana informasi obat kepada

masyarakat

tidak

tercapai

dan

fungsi

pengawasan

sebagaimana misi dari apotek rakyat yaitu melindungi masyarakat dari penggunaan obat palsu, obat kadaluwarsa, obat yang tidak jelas asal-usulnya, mencegah penyalahgunaan obat dan menertibkan peredaran obat di sentra perdagangan atau di pasaran akan sulit untuk dicapai.15 Hal ini dilatarbelakangi beredarnya obat-obatan palsu di pasaran yang dilakukan oleh pelaku usaha dalam hal ini apotek saat ini sangat mengkhawatirkan, karena pemalsuan obat-obatan yang dilakukan oleh pelaku pemalsuan dapat mengakibatkan konsumen tidak kunjung sembuh melainkan menimbulkan penyakit baru bahkan terkadang berakibat kematian. Berdasarkan peraturan Menteri Kesehatan tentang Apotek Rakyat Pasal 2 tentang Pengaturan Apotek Rakyat bertujuan untuk:

15

Anonim, Pemerintah Resmikan Program Apotek Rakyat, Harian Umum Kompas, Jakarta, 04 April 2007.

17

(1)

Untuk memberikan pedoman bagi toko obat yang ingin meningkatkan pelayanan dan status usahanya menjadi Apotek Rakyat.

(2)

Pedoman bagi perorangan atau usaha kecil yang ingin mendirikan Apotek Rakyat.

(3)

Melindungi masyarakat untuk dapat memperoleh pelayanan kefarmasian yang baik dan benar. Pasal 1 angka 1 Undang-undang Perlindungan Konsumen

menyatakan bahwa: “Perlindungan Konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada Konsumen.” Undang-undang tersebut menjelaskan bahwa “segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum”, merupakan sebagai benteng untuk meniadakan tindakan sewenang-wenang yang merugikan

pelaku

usaha

hanya

demi

untuk

kepentingan

perlindungan konsumen, begitu pula sebaliknya menjamin kepastian hukum bagi konsumen,16 baik melalui berbagai promosi, penjualan dan penerapan perjanjian. Akibat dari kecenderungan pelaku usaha untuk berbuat curang menjadikan kedudukan pelaku usaha dan

16

Ahamadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004), hlm. 1.

18

konsumen menjadi tidak seimbang dan menempatkan konsumen dalam posisi yang lemah. Asas keadilan dalam Pasal 4 sampai 7 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen mengatur mengenai hak dan kewajiban konsumen serta pelaku usaha. Faktor utama dalam hal ini merupakan penyebab lemahnya kedudukan konsumen karena rendahnya tingkat kesadaran konsumen mengenai hakhaknya, sedangkan faktor lainnya adalah karena kurangnya pengetahuan konsumen mengenai proses produksi dan posisi tawar menawar konsumen yang lebih lemah secara ekonomi. Kerugian yang dialami konsumen terjadi karena perbuatan curang yang dilakukan oleh pelaku usaha, namun disisi lain juga dapat terjadi kesalahan karena konsumennya itu sendiri karena ketidaktahuan konsumen mengenai suatu produk. Hukum yang berlaku untuk melindungi konsumen dari perbuatan curang pelaku usaha harus memberikan pendidikan kepada konsumen mengenai pentingnya keamanan dan keselamatan dalam menggunakan suatu produk.17 Pasal 1 ayat (3) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945) menyebutkan bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum. Pasal tersebut merupakan landasan konstitusional bahwa Indonesia adalah negara

17

Janus Sidabalok, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2006), hlm. 3.

19

yang berdasarkan atas hukum (rechtsstaat), tidak berdasarkan kekuasaan belaka (machsstaat). Negara yang berdasarkan atas hukum mengandung pengertian bahwa negara, pemerintah, lembaga negara dan seluruh warga negara Indonesia, dalam melaksanakan tindakan

apapun

harus

dilandasi

oleh

hukum

atau

dapat

dipertanggungjawabkan di muka umum. Pengertian Negara hukum menurut UUD 1945 adalah negara hukum dalam arti luas, yaitu Negara hukum dalam arti materiil. Negara bukan saja melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tanah tumpah darah Indonesia, melainkan juga harus memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadikan sosial.18 Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia.19 Pembentukan

apotek

rakyat

melalui

Peraturan

Menteri

Kesehatan Nomor 284 Tahun 2007 dilatarbelakangi oleh maraknya peredaran obat-obat palsu dan ilegal, obat kadaluwarsa, obat keras yang dijual tanpa resep dokter di daerah Pasar Pramuka, Jakarta

18

Yulies Tiena Masriani, Pengantar Hukum Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2004, hlm. 38. Yudistira, Hukum Kesehatan, www.yayasanhak.minihub.org/direito/txt/2003/22/10direito.html, Bandung, 27 April 2017, pukul 19.30. 19

20

Timur.20 Pihak pemerintah meningkatkan pengawasan terhadap peredaran sediaan farmasi dengan pemberian efek jera bagi pelanggar yang melakukan, sehingga tidak mengorbankan apoteker melalui pembentukan Apotek Rakyat dalam upaya menghadapi masalah tersebut. Sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian yang memberikan perlindungan kepada pasien dan masyarakat dalam memperoleh dan menetapkan sediaan farmasi dan jasa kefarmasian, mempertahankan dan meningkatkan mutu penyelenggaraan pekerja kefarmasian serta untuk memberikan kepastian hukum bagi pasien, masyarakat dan tenaga kefarmasian. Pasal 1 butir (a) Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1332/MENKES/SK/X/2002 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 922/MENKES/PER/X/1993

tentang

Ketentuan

dan

Tata

Cara

Pemberian Izin Apotek. Kebijakan pemerintah di dalam pengelolaan apotek sebagaimana tertuang dalam Peraturan Menteri Kesehatan menyatakan bahwa Apotek adalah suatu tempat tertentu, tempat dilakukan pekerjaan kefarmasian dan penyaluran sediaan farmasi, perbekalan kesehatan lainnya kepada masyarakat. 20

Yustina Sri Hartini, Apotek Ulasan Beserta Naskah Peraturan Perundang-undangan Terkait Apotek Termasuk Naskah dan Ulasan Permenkes Tentang Apotek Rakyat, Edisi Revisi, cet. 3, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta: 2010, hlm. 91-92.

21

Pengelolaan apotek dilakukan oleh Apoteker Pengelolaan Apotek dengan berbagai persyaratan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Namun di dalam Pasal 8 butir (b) Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1332/MENKES/SK/ X/2002 menjelaskan mengenai Apoteker dapat menggunakan sarana pihak lain dengan mengadakan perjanjian kerjasama antara Apoteker dan Pemilik Sarana. Persyaratan sebagai pemilik sarana apabila yang bersangkutan tidak pernah terlibat dalam pelanggaran peraturan perundang-undangan di bidang obat. Kegiatan ekonomi tidak luput dari pengaturan pemerintah di bidang hukum. Untuk mencapai tujuan hukum pada bidang ekonomi, menurut para pakar hukum antara lain dapat dilakukan pada: 1.

Pengembangan norma hukum bagi setiap individu melalui kebebasan berkontrak dan fungsi sosial dari kepemilikan atas sarana pruduksi.

2.

Undang-undang anti monopoli sebagai sarana hukum untuk membatasi konsentrasi kekuatan ekonomi dan;

3.

Pengaturan

yang

bersifat

mengawasi

dan

perencanaan

ekonomi yang baik. Menurut Lawrence M. Friedman berkenaan dengan fungsi hukum khususnya fungsi rekayasa sosial adalah melakukan usaha untuk menggerakkan rakyat, agar bertingkah laku sesuai dengan

22

cara-cara

baru

untuk

mencapai

suatu

keadaan

masyarakat

sebagaimana dicita-citakan. Untuk mewujudkan tujuan tersebut diperlukan kesadaran hukum masyarakat, di dalamnya terkandung nilai-nilai,

pandangan-pandangan

serta

sikap-sikap

yang

mempengaruhi bekerjanya hukum.21 Pasal 28 H ayat (1) Undang-undang Dasar 1945 menyatakan bahwa: “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.” Undang-undang Dasar 1945 sebagai Grand Theory (teori besar), yang dijadikan kerangka pemikiran penelitian hukum. Middle Range Theory (teori tengah) peneliti menggunakan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 284 Tahun 2007 tentang Apotik Rakyat. Asas hukum menurut E. Uttrecht adalah menjamin kepastian hukum, karena hukum adalah tugas dari hukum, asas kepastian hukum ini adalah apabila hukum di dalamnya tidak terdapat keterangan-keterangan

yang

bertentangan

dan

tidak

dapat

ditafsirkan secara berlainan. Setiap subjek hukum akan memperoleh akibat hukum yang dikehendaki dalam suatu peristiwa hukum

21

Esmi Warassih Pujirahayu, Hukum Dalam Perspektif Sosial, Penyunting Satjipto Rahardjo, Alumni, Bandung, 1981, hlm. 124

23

tertentu dan terhindar dari tindakan sewenang-wenang. Dengan tercapainya kepastian hukum, subjek hukum akan memperoleh akibat hukum yang dikehendaki dalam satu peristiwa hukum tertentu dari tindakan sewenang-wenang. Suatu kepastian hukum akan memberikan perlindungan hukum kepada subjek hukum. Asas hukum menurut Fuller bahwa, “Tidak boleh ada peraturan yang saling bertentangan dan harus ada kesesuaian antara peraturan

dan

pendapatnya

pelaksanaan

peraturan

sehari-hari.”

perundang-undangan

Sesuai

dengan

yang

berlaku

berhubungan dengan kepastian hukum.22 Dalam hal ini, apotek rakyat dengan pekerja kefarmasian adalah ketentuan mengenai apotek tidak memberikan kepastian hukum bagi apoteker atas pekerjaan kefarmasiaan. Salah satu fungsi dari hukum tertulis yaitu peraturan perundang-undangan adalah menjamin ketertiban dalam masyarakat. Ketertiban dalam masyarakat akan tercapai, jika dalam suatu peraturan perundang-undangan mencerminkan dan sesuai dengan hakekat dari kepastian hukum. Sehingga hukum tersebut tidak dapat memberikan perlindungan, keadilan dan ketertiban bagi para pihak yang berkepentingan. Menurut Fuller asas yang dipenuhi oleh hukum (principles of legality) adalah:

22

Fuller dalam Titik Triwulan Tutik, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Prestasi Pustaka, 2006), hlm. 89.

24

1.

Suatu sistem hukum harus mengandung peraturan-peraturan, yang dimaksud disini adalah bahwa ia tidak boleh mengandung sekedar keputusan yang bersifat ad hoc;

2.

Peraturan yang telah dibuat itu harus diumumkan;

3.

Tidak boleh ada peraturan yang berlaku surut, oleh karena itu apabila yang demikian itu tidak ditolak, maka peraturan itu tidak bisa

dipakai

untuk

menjadi

pedoman

tingkah

laku,

membolehkan pengaturan yang berlaku surut berarti merusak integritas peraturan yang ditujukan untuk berlaku bagi waktu yang akan datang; 4.

Peraturan harus disusun dalam rumusan yang bisa dimengerti;

5.

Suatu

sistem

tidak boleh mengandung

peraturan

yang

bertentangan satu sama lain; 6.

Peraturan tidak boleh mengandung tuntutan yang melebihi apa yang dapat dilakukan;

7.

Tidak boleh ada kebiasaan untuk sering mengubah peraturan, sehingga menyebabkan orang akan kehilangan orientasi; dan

8.

Harus ada kecocokan antara peraturan yang diundangkan dengan pelaksanaan sehari-hari.23

F.

Metode Penelitian Penelitian hukum adalah suatu proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum 23

Ibid, hlm. 90.

25

guna menjawab isu hukum yang dihadapi.24 Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah, yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan mempelajari satu atau

beberapa

menganalisanya.25

gejala

hukum

tertentu

dengan

jalan

Dalam penelitian ini, beberapa metode dan

sistematika digunakan demi mencapai kesempurnaan penelitian. Adapun metode-metode yang digunakan peneliti dalam skripsi ini antara lain: 1.

Metode Pendekatan Metode pendekatan yang dipakai dalam penelitian ini adalah metode pendekatan yuridis normatif, yaitu menelusuri, mengkaji dan meneliti data sekunder yang berkaitan dengan materi penelitian ini berupa bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier.26

2.

Spesifikasi Penelitian Spesifikasi penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini bersifat deskriptif analisis yaitu prosedur pemecahan masalah yang diselidiki dengan menggambarkan, melukiskan

24

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana, 2007, hlm. 35. Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: 1984, hlm. 43. 26 Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Jakarta : Ghalia Indonesia, 1990, hlm. 12. 25

26

keadaan subyek, obyek penelitian saat sekarang berdasarkan fakta-fakta yang tampak sebagaimana adanya.27 3.

Tahap Penelitian (Library Research) a.

Penelitian Kepustakaan Penelitian yang dilakukan peneliti merupakan penelitian kepustakaan yaitu mengumpulkan data sekunder yang terdiri dari: 1)

Bahan Hukum primer, yaitu bahan hukum yang memiliki

otoritas

(autoritatif).28

Bahan hukum

tersebut terdiri dari: a)

Undang-undang Dasar 1945;

b)

Kitab Undang-undang Hukum Perdata;

c)

Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia;

d)

Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

e)

Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan;

f)

Peraturan

Menteri

Kesehatan

Nomor

284/MENKES/III/2007 tentang Apotek Rakyat; g)

Keputusan Indonesia

27

Menteri Nomor

Kesehatan

Republik

1332/MENKES/SK/X/2002

Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997, hlm. 134. 28 Zainudin Ali, Metode Penelitian Hukum, Jakarta : Sinar Grafika, 2009, hlm. 47.

27

tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Kesehatan

Republik

Indonesia

Nomor

922/MENKES/PER/X/1993 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pemberian Izin Apotek. 2)

Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan-bahan yang menunjung dan memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer. Bahan hukum sekunder dapat berupa dokumen-dokumen resmi meliputi buku-buku teks, jurnal-jurnal hukum, hasil karya ilmiah dan pendapat para pakar.29

3)

Bahan

Hukum

Tersier,

yaitu

bahan

yang

memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti kamus dan ensiklopedia.30 b.

Studi Lapangan Penelitian dilakukan dengan cara wawancara dengan narasumber dari pihak BPOM, Apotek Rakyat dan Kementerian Kesehatan untuk mencari keterangan dari pihak pemerintah yang memiliki kompetensi dalam hal perlindungan konsumen terhadap konsumen atau pasien.

4.

29 30

Teknik Pengumpulan Data

Peter Mahmud Marzuki,Op.Cit., hlm. 141 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Op.Cit., hlm. 13

28

Penelitian yang dilakukan peneliti meliputi pengumpulan data yang antara lain sebagai berikut: a.

Studi Kepustakaan Penulis melakukan pengumpulan data melalui studi dokumen, yaitu suatu cara untuk mendapatkan data secara

langsung yaitu

bersifat teoritis. Cara

yang

digunakan untuk mendapatkan data yang dibutuhkan dengan membaca, mempelajari buku-buku, literatur serta peraturan-peraturan terkait. b.

Wawancara Teknik wawancara akan digunakan untuk pengumpulan data primer. Wawancara akan dilakukan dengan proses tanya jawab untuk memperoleh data-data yang dapat menunjang data sekunder dari narasumber yang dianggap paham mengenai pokok bahasan.

5.

Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di beberapa tempat yang berlokasi di Bandung dan DKI Jakarta, yaitu: a.

Badan Pengawasan Obat dan Makanan yang beralamat di Jl. Pasteur No. 25, Pasir Kaliki, Cicendo, Kota Bandung, Jawa Barat 40171 dan Jl. Percetakan Negara No. 23, RT. 23/RW.7, Johar Baru, Cempaka Putih, Jakarta Pusat, DKI Jakarta 10520.

29

b.

Apotek Rakyat Nusantara beralamat di Pasar Pramuka, Jalan

Matraman

Raya,

RT.12/RW.1,

Palmeriam,

Matraman, Jakarta Timur, DKI Jakarta 13140. c.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia beralamat di Jl. H.R. Rasuna Said Blok X.5 Kav. 4-9, Blok A, 2ndFloor, Kuningan, Jakarta 12950.

6.

Metode Analisis Data Analisa data dilakukan dengan metode analisis normatif kualitatif. Adapun yang dimaksud dengan normatif yaitu data diperoleh dari penelitian yang bertitik tolak dari peraturanperaturan hukum yang ada sehingga merupakan norma hukum positif. Sedangkan yang dimaksud dengan kualitatif yaitu data yang diperoleh kemudian dianalisa secara kualitatif sehingga tidak mempergunakan rumusan ataupun angka-angka hingga kemudian ditarik suatu kesimpulan dari keseluruhan.

Related Documents

Skripsi Dedi Bab I
June 2020 31
Bab I Skripsi
December 2019 40
Skripsi-bab I
May 2020 26
Skripsi Anca Bab I
May 2020 22
Skripsi Bab I
October 2019 19
Skripsi Bab I-v
April 2020 21

More Documents from ""

Bab Iii,1.docx
November 2019 13
Cv.pdf
August 2019 50
Sop Komite Medis.docx
May 2020 29
Cv.pdf
August 2019 40