BAB III PELAYANAN KESEHATAN OLEH APOTEK RAKYAT ATAS INFORMASI PEREDARAN OBAT PALSU A.
Pelayanan Kesehatan Apoteker Pelayanan di bidang kesehatan merupakan salah satu bentuk pelayanan yang paling banyak dibutuhkan oleh masyarakat. Salah satu sarana pelayanan kesehatan yang mempunyai peran sangat penting lainnya dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat adalah rumah sakit/apotek.1 Pelayanan kesehatan adalah sub sistem pelayanan kesehatan yang tujuan utamanya adalah pelayanan preventif (pencegahan) dan promotif (peningkatan kesehatan) dengan sasaran masyarakat.2 Pelayanan kesehatan adalah setiap upaya yang diselenggarakan sendiri atau secara bersama-sama dalam suatu organisasi untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan, mencegah dan menyembuhkan penyakit serta memulihkan kesehatan perorangan, keluarga, kelompok dan ataupun masyarakat.3 Menurut Levey dan Loomba, pelayanan kesehatan adalah upaya yang diselenggarakan sendiri atau secara bersama-sama dalam suatu organisasi untuk
memelihara
dan
meningkatkan
kesehatan,
mencegah
dan
menyembuhkan penyakit serta memulihkan kesehatan perorangan, keluarga, kelompok atau masyarakat. Maka, pelayanan kesehatan adalah sub sistem pelayanan kesehatan yang tujuan utamanya adalah promotif (memelihara dan meningkatkan kesehatan), preventif (pencegahan), kuratif (penyembuhan) dan
1
Notoatmodjo S, Metodologi Penelitian Kesehatan, (Jakarta: Rineka Cipta, 2002), hlm. 6. Notoatmodjo S, Metodologi Penelitian Kesehatan, (Jakarta: Rineka Cipta, 2003), hlm. 11. 3 Depkes RI (2009) 2
rehabilitasi (pemulihan) kesehatan perorangan, keluarga, kelompok atau masyarakat dan lingkungan, yang dimaksud dari sub sistem disini adalah sub sistem dalam pelayanan kesehatan adalah input, proses, output, dampak atau umpan balik.4 Ruang lingkup dalam pelayanan farmasi harus dilaksanakan dalam kerangka sistem pelayanan kesehatan yang berorientasi pada pasien (dalam hal ini konsumen). Ruang lingkup pelayanan farmasi tersebut meliputi tanggung jawab farmasi dalam menjamin ketersediaan obat dan alat kesehatan, menjamin kualitas obat yang diberikan aman dan efektif dengan memperhatikan kebutuhan akan individu, menjamin pengguna obat atau alat kesehatan dapat menggunakan dengan cara yang paling baik, dan bersama dengan tenaga kesehatan lain bertanggung jawab dalam menghasilkan therapeutic outcomes yang optimal.5 Sistem pelayanan kesehatan dapat mencakup pelayanan apoteker, apoteker merupakan sub sistem dari pelayanan kesehatan, sub sistem pelayanan kesehatan tersebut memiliki tujuan masing-masing dengan tidak meninggalkan tujuan umum dari pelayanan kesehatan. Sebagai seorang tenaga profesional, seorang apoteker hendaknya berperan dalam membantu upaya pemerintah untuk menciptakan masyarakat Indonesia yang sehat dan mandiri.6
4
Maya Ruhtiani, Skripsi Perlindungan Hukum Pasien Sebagai Konsumen Jasa Dalam Pelayanan Kesehatan, (Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto, 2012), http://fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/, Bekasi, 27 Juli 2017, 23.54 WIB. 5 Hanky, Implementasi Pelayanan Kefarmasian, http://www/microsoft.com/isapi/redir.dll?prd=ie&ar=hotmail: Implementasi Pelayanan Kefarmasian, 25 Juli 2017, 01.31 WIB. 6 Wawancara dengan Bapak Yoyon, Kepala Petugas Apotek Rakyat Pasar Pramuka, Jakarta, 24 Juli 2017.
Peran aktif Apoteker ini didasari dengan pengetahuan yang dimiliki Apoteker antara lain tentang patofisiologi penyakit; diet yang harus dijalani; obat-obatan yang diperlukan atau harus dihindari oleh pasien atau konsumen. Dalam evolusi perkembangan pelayanan farmasi telah terjadi pergeseran orientasi pelayanan farmasi dari orientasi terhadap produk menjadi orientasi atas
kepentingan
pasien
atau
konsumen
yang
dilatarbelakangi
oleh
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang kesehatan serta menguatnya tuntutan terhadap jaminan keselamatan pasien/ konsumen. Orientasi terhadap kepentingan pasien/ konsumen tanpa mengesampingkan produk dikenal dengan konsep Pharmaceutical Care. Dengan banyak ditemukannya masalah yang berkaitan dengan obat dan penggunaannya, semakin meningkatnya keadaan sosiologi, ekonomi dan tingkat pendidikan masyarakat,
serta
adanya
tuntutan
dari
masyarakat
akan
pelayanan
kefarmasian yang bermutu terutama di rumah sakit maupun apotek. 7 Hubungan hukum yang terjadi antara pasien dengan apoteker (yang bukan merupakan hubungan personal) secara yuridis merupakan hubungan untuk melaksanakan pekerjaan, yaitu melakukan pembuatan, pengubahan bentuk, pencampuran dan peracikan obat dan bahan untuk pelayanan resep yang dibuat oleh dokter. Secarik resep dari dokter untuk pasien merupakan surat perintah kerja yang ditujukan pada apoteker.8 Keputusan penggunaan obat selalu mengandung pertimbangan antara manfaat dan resiko tujuan pengkajian farmakoterapi adalah mendapatkan luaran klinik yang dapat dipertanggungjawabkan untuk meningkatkan kualitas
7
Wawancara dengan Bapak Yoyon, Kepala Petugas Apotek Rakyat Pasar Pramuka, Jakarta, 24 Juli
8
Triana Ohoiwutun, Bunga Rampai Hukum Kedokteran, (Malang: Dioma, 2007), hlm. 89-90.
2017.
hidup pasien dengan resiko minimal. Untuk mencapai tujuan tersebut perlu adanya perubahan paradigma pelayanan kefarmasian yang menuju kearah pharmaceutical care. Fokus pelayanan kefarmasian bergeser dari kepedulian terhadap obat (drug oriented) menuju pelayanan optimal setiap individu pasien tentang
penggunaan
obat
(patient
oriented).
Untuk
mewujudkan
pharmaceutical care dengan resiko yang minimal pada pasien dan petugas kesehatan perlu penerapan manajemen resiko. Manajemen resiko adalah bagian yang mendasar dari tanggung jawab apoteker. Dalam upaya pengendalian resiko, praktek konvensional farmasi telah berhasil menurunkan biaya obat tapi belum menyelesaikan masalah sehubungan dengan penggunaan obat. Pesatnya perkembangan teknologi farmasi yang menghasilkan obat-obat baru juga membutuhkan perhatian akan kemungkinan terjadinya resiko pada pasien/ konsumen. 1.
Asas-asas Pelayanan Kesehatan Ditinjau dari kedudukan para pihak di dalam pelayanan kesehatan, dokter dalam kedudukannya selaku profesional di bidang medik yang harus berperan aktif dan pasien dalam kedudukannya sebagai penerima layanan kesehatan yang mempunyai penilaian terhadap penampilan dan mutu pelayanan kesehatan yang diterimanya. Hal ini disebabkan, dokter bukan hanya melaksanakan pekerjaan pertolongan semata-mata, tetapi juga
melayani atau memberi
melaksanakan pekerjaan profesi
yang terkait pada suatu kode etik kedokteran. Dengan demikian dalam kedudukan hukum para pihak di
dalam pelayanan kesehatan
menggambarkan suatu hubungan hukum dokter dan pasien, sehingga di
dalam pelayanan kesehatan pun berlaku beberapa asas hukum yang menjadi landasan yuridisnya. Menurut Veronica Komalawati yang mengatakan bahwa, asas-asas hukum yang berlaku dan mendasari pelayanan kesehatan dapat disimpulkan secara garis besar, sebagai berikut:9 a.
Asas Legalitas Asas ini pada dasarnya tersirat di dalam Pasal 23 ayat (1), (2) dan (3) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang menyatakan bahwa: (1) Tenaga
kesehatan
berwenang
untuk
menyelenggarakan
pelayanan kesehatan; (2) Kewenangan untuk menyelenggarakan pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan bidang keahlian yang dimiliki; (3) Dalam
menyelenggarakan
pelayanan
kesehatan
tenaga
kesehatan wajib memiliki izin dari pemerintah. b.
Asas Keseimbangan Penyelenggaraan pelayanan kesehatan harus diselenggarakan secara seimbang antara kepentingan individu dan
kepentingan
masyarakat, antara fisik dan mental, antara material dan spiritual. Di dalam
pelayanan
kesehatan
dapat
pula
diartikan
sebagai
keseimbangan antara tujuan dan sarana, antara sarana dan hasil, antara manfaat dan resiko yang ditimbulkan dari pelayanan
9
Veronica Komalawati, Peranan Informed Consent Dalam Transaksi Terepeutik Persetuajuan Dalam Hubungan Dokter dan Pasien Suatu Tinjauan Yuridis, (Bandung: PT.Citra Aditya Bhakti, 2002), hlm. 126-133.
kesehatan yang dilakukan. Dengan demikian berlakunya asas keseimbangan di dalam pelayanan kesehatan sangat berkaitan erat dengam masalah keadilan. Dalam hubungannya dengan pelayanan kesehatan, keadilan yang dimaksud sangat berhubungan dengan alokasi sumber daya dalam pelayanan kesehatan. c.
Asas Kejujuran Kejujuran merupakan salah satu asas yang penting untuk dapat menumbuhkan kepercayaan pasien kepada dokter dalam pelayanan kesehatan. Berlandaskan asas kejujuran ini dokter berkewajiban untuk memberikan pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan
pasien, yakni sesuai standar profesinya.
Penggunaan berbagai sarana yang tersedia pada institusi pelayanan kesehatan, hanya dilakukan sesuai dengan kebutuhan pasien yang bersangkutan. Berlakunya asas ini juga merupakan dasar bagi terlaksananya penyampaian informasi yang benar, baik dari pasien maupun
dokter
dalam
menyampaikan informasi
berkomunikasi.
Kejujuran
dalam
sudah barang tentu akan sangat
membantu dalam kesembuhan pasien. Kebenaran informasi ini sangat berhubungan dengan hak setiap manusia untuk mengetahui kebenaran. Ketentuan Pasal 2 Undang-undang Nomor 36 tahun 2009 tentang menyatakan bahwa: “Pembangunan kesehatan diselenggarakan dengan berasaskan perikemanusiaan,
keseimbangan,
manfaat,
perlindungan,
penghormatan terhadap hak dan kewajiban, keadilan, gender dan nondiskriminasi dan norma-norma agama”.
2.
Syarat-syarat Pelayanan Kesehatan Pelayanan kesehatan masyarakat, untuk dapat disebut sebagai suatu
pelayanan
yang
baik,
keduanya
harus
memiliki
berbagai
persyaratan pokok. Syarat pokok pelayanan kesehatan yaitu:10 a.
Tersedia dan berkesinambungan (available and continuous) Syarat pokok pertama pelayanan kesehatan adalah harus tersedia di masyarakat (available) serta bersifat berkesinambungan (continuous), artinya semua jenis pelayanan kesehatan yang dibutuhkan
masyarakat
tidak
sulit
untuk
ditemukan,
serta
keberadaannya dalam masyarakat pada setiap dibutuhkan. b.
Mudah dicapai (accessible) Pengertian ketercapaian adalah dari sudut lokasi. Pengaturan distribusi
sarana
kesehatan
menjadi
sangat
penting
untuk
mewujudkan pelayanan kesehatan yang baik. Pelayanan kesehatan dianggap tidak baik, apabila terlalu terkonsentrasi di daerah perkotaan perkotaan saja dan tidak ditemukan di pedesaan. c.
Mudah dijangkau (affordable) Pengertian keterjangkauan terutama dari sudut biaya. Biaya pelayanan kesehatan harus sesuai dengan kemampuan ekonomi masyarakat.
B.
Standar Mutu Pekerjaan dan Pelayanan Kefarmasian di Apotek Pelayanan dan pekerjaan kefarmasian di apotek tidaj jauh berbeda dengan pelayanan dan pekerjaan kefarmasian. Apotek merupakan tempat dilakukannya pekerjaan kefarmasian dan penyaluran sediaan farmasi serta
10
Azwar, Pengantar Administrasi Kesehatan, Edisi ketiga, (Jakarta: Binarupa Aksara, 1996), hlm 16.
perbekalan kesehatan lainnya kepada masyarakat luas, hanya apoteker yang berhak memimpin pengelolaan apotek, karena sebagaimana diketahui bahwa obat adalah sebuah produk yang fungsinya tidak secara langsung hanya membawa dampak positif saja, namun bisa membawa bencana jika salah menggunakannya. Dalam menjalankan profesinya, apoteker yang bekerja di apotek atau farmasi apotek diwajibkan mematuhi standar kompetensinya. Standar adalah spesifikasi teknis atau sesuatu yang dibakukan termasuk tata cara dan metode yang disusun berdasarkan consensus semua pihak yang terkait
dengan
memperhatikan
syarat-syarat
keselamatan,
keamanan,
kesehatan, lingkungan hidup, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, pengalaman, serta perkembangan masa kini dan masa yang akan datang untuk memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya.11 Standar mutu operasional dalam kerja apoteker terdapat dalam standar kompetensi apoteker/standar pelayanan yang di terbitkan oleh Departemen Kesehatan oleh Dirjen Kefarmasian dan Alat Kesehatan. Hal ini dijadikan pijakan bagi insan apoteker dalam bekerja, baik di Instalasi Farmasi Rumah Sakit (IFRS) maupun apotek, semua harus mempunyai standar dalam pelayanan
kefarmasian.
Standar
kompetensi
sifatnya
normatif
bahwa
seseorang itu bekerja dalam organisasi profesi kapasitasnya sebagai tenaga profesi harus mempunyai standar profesi yang minimal harus diketahui dan dijalankan oleh setiap profesi tersebut, termasuk dalam hal peracikan obat, dimana apoteker harus berada dalam keadaan bersih/steril, tidak berdebu, menggunakan masker dan ruangan tidak boleh lembab.12 Sedangkan, standar
11
Indra Bastian Suryono, Penyelesaian Sengketa Kesehatan, Salemba Medika, hlm. 182. Wawancara dengan Bapak Iqbal Muhammad, Ditjen Binafarmasi Kementerian Kesehatan DKI Jakarta, 25 Juli 2017. 12
mutu pelayanan kefarmasian yang terjadi di apotek rakyat ini merupakan mutu pelayanan kefarmasian yang dapat dipertanggungjawabkan, baik dari segi pemberian obat, menginformasikan jenis obat yang dibutuhkan konsumen dan menjelaskan dosis pemakaian dari obat keras, seperti obat untuk penyakit jantung. Konsumen diperbolehkan membeli obat keras dengan memakai resep resmi dari dokter/rumah sakit, dikarenakan pelaku usaha tidak ingin mengambil resiko apabila konsumen mengalami penyakit lain dan dapat menyebabkan kematian.13 Bagian terpenting dari suatu pelayanan kesehatan adalah tersedia dan dipatuhinya standar, karema pelayanan kesehatan yang bermutu adalah apabila pelayanan tersebut dilaksanakan sesuai dengan standar yang ada. Umumnya
petugas
banyak
menemui
variasi
pelaksanaan
pelayanan
kesehatan, dalam penjaminan mutu pelayanan kesehatan standar digunakan untuk menjadikan variasi suatu pelayanan kesehatan standar digunakan untuk menjadikan variasi yang ada seminimal mungkin.14 Standar kompetensi farmasi di apotek yang erat kaitannya dengan pelayanan kepada pasien atau konsumen, adalah:15 1.
Memberikan pelayanan obat kepada pasien atas permintaan dari dokter. Dalam melayani resep, farmasi memastikan ketepatan resep dari aspek kelengkapan resep, kesesuaian dosis, karakteristik pasien, interaksi antar obat dan hal-hal lainnya yang berhubungan. Selanjutnya melakukan penyiapan dan penyerahan obat yang disertai dengan pemberian
13
Wawancara dengan Bapak Yoyon, Kepala Petugas Apotek Rakyat Pasar Pramuka, Jakarta, 24 Juli
14
Bustami, Penjaminan Mutu Pelayanan Kesehatan dan Akseptabilitasnya, (Jakarta: Erlangga, 2011),
2017. hlm. 21. 15
Rahayu Widodo, Ketua Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia, Sleman, Yogyakarta, dan Perkumpulan Sehat Indonesia, http://www/isfionline.com: Kompetensi dan Pelayanan Kefarmasian di Apotek, 25 Juli 2017, 22.42 WIB.
informasi yang memadai dan dibutuhkan pasien agar penggunaan obat benar-benar tepat. Farmasi perlu melakukan evaluasi penggunaan obat yang diresepkan tersebut untuk memantau kemajuan terapi. 2.
Memberikan pelayanan kepada pasien atau masyarakat yang ingin melakukan pengobatan sendiri. Apoteker memberikan pertimbangan dan nasihat untuk menjamin keamanan dan efektivitas pengobatan mandiri yang dilakukan oleh masyarakat dilakukan dengan menggunakan jenis obat bebas.
3.
Memberikan pelayanan informasi obat, baik bagi pasien, tenaga kesehatan lain, masyarakat, maupun pihak-pihak lain yang membutuhkan guna peningkatan kesehatan. Informasi obat antara lain meliputi khasiat/indikasi, kontraindikasi, efek samping, dosis dan aturan pakai, interaksi
obat,
peringatan-peringatan
penggunaan
suatu
obat,
penyimpanan obat, serta harga obat. 4.
Memberikan konsultasi obat, hal ini kompleksitas permasalahan pasien dalam penggunaan obatnya yang perlu dikomunikasikan kepada farmasi. Farmasi harus mudah ditemui untuk membantu pasien menyelesaikan masalahnya tersebut.
5.
Melakukan monitoring efek samping obat, yaitu memantau baik secara langsung maupun tidak langsung terjadinya efek samping obat. Pasien juga berhak melaporkan terjadina efek samping obat kepada farmasi di apotek agar dilakukan upaya-upaya pencegahan, mengurangi atau menghilangkan efek samping tersebut.
6.
Melakukan evaluasi penggunaan obat untuk menjamin bahwa terapi obat sesuai dengan standar terapi, juga untuk mengontrol biaya obat. Sering
terjadi kesalahan dalam penggunaan obat karena ketidakpatuhan pasien yang disebabkan faktor kurangnya informasi, bosan menggunakan obat, ataupun karena faktor lainnya. Akibatnya proses terapi menjadi tidak optimal, boros, bahkan bisa gagal. Pasien berhak untuk melaporkan perkembangan pengobatannya kepada farmasi agar lebih terkontrol. Hak-hak pasien atau konsumen yang lain tetap berlaku terhadap pelayanan di apotek. Seperti hak mendapatkan persetujuan, misalnya resep akan diambil semua atau tidak, pasien meminta obat generik dan menerima atau menolak rekomendasi dari farmasi. Hak pasien atau konsumen kerahasiaan kedokteran, mewajibkan pihak apotek untuk merahasiakan penyakit dan sebagainya yang berkaitan dengan privasi pasien/konsumen. Sedangkan hak pendapat kedua (second opinion), memberikan kebebasan kepada pasien/konsumen untuk berkonsultasi dengan farmasi lainnya. Apabila seorang pasien/konsumen semakin menyadari akan haknya dan tenaga kesehatan mematuhi standar profesinya, maka proses pengobatan kepada pasien menjadi lebih optimal. Pemberdayaan masyarakat di bidang kesehatan perlu dilakukan untuk mendorong terciptanya pelayanan kesehatan yang berorientasi kepada masyarakat.16 C.
Pemenuhan Tanggung Jawab Apoteker Dalam Pelayanan Kesehatan Apoteker adalah sarjana farmasi yang telah lulus pendidikan profesi dan telah mengucapkan sumpah berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan berhak melakukan pekerjaan kefarmasian di Indonesia
16
Ibid.
sebagai apoteker.17 Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1027/MENKES/ SK/IX/2004 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek, menyatakan bahwa apoteker adalah sarjana farmasi yang telah lulus pendidikan profesi dan telah mengucapkan sumpah berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan berhak melakukan pekerjaan kefarmasian di Indonesia sebagai apoteker. Apoteker pengelola apotek (APA) adalah apoteker yang telah diberi surat izin apotek (SIA). Izin apotek berlaku seterusnya selama apoteker, pengelola apotek yang bersangkutan masih aktif melakukan kegiatan sebagai seorang apoteker. Apoteker pengelola apotek harus memenuhi persyaratan yang sudah ditentukan, seperti: 1.
Ijazah apoteker telah terdaftar di Departemen Kesehatan;
2.
Telah mengucapkan sumpah/janji sebagai apoteker;
3.
Memiliki Surat Izin Kerja dari Menteri Kesehatan (SIK);
4.
Sehat fisik dan mental untuk melaksanakan tugas sebagai apoteker;
5.
Tidak bekerja di perusahaan farmasi atau apotek lain. Ridwan Halim mendefinisikan tanggung jawab hukum sebagai sesuatu
akibat lebih lanjut dari pelaksaan peranan, baik peranan itu merupakan hak dan kewajiban ataupun kekuasaan. Secara umum tanggung jawab hukum diartikan sebagai kewajiban untuk melakukan sesuatu atau berprilaku menurut cara tertentu tidak menyimpang dari pertaturan yang telah ada.18 Tanggung jawab hukum dalam hukum perdata berupa tanggung jawab seseorang terhadap perbuatan yang melawan hukum. Perbuatan
17 18
hlm. 4.
melawan
Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1027/Menkes/SK/IX/2004 Khairunnisa, Kedudukan, Peran dan Tanggung Jawab Hukum Direksi, (Medan: Pasca Sarjana, 2008),
hukum memiliki ruang lingkup yang lebih luas dibandingkan dengan perbuatan pidana. Ketentuan perundang-undangan dari perbuatan melawan hukum bertujuan untuk melindungi dan memberikan ganti rugi kepada pihak yang dirugikan.19 Pasal 1365 KUHPerdata, maka yang dimaksud dengan perbuatan melanggar hukum adalah perbuatan yang melawan hukum yang dilakukan oleh seseorang yang karena salahnya telah menimbulkan kerugian bagi orang lain. Dalam ilmu hukum dikenal dengan 3 katagori dari perbuatan melawan hukum, yaitu sebagai berikut:20 a.
Perbuatan melawan hukum karena kesengajaan
b.
Perbuatan melawan hukum tanpa kesalahan (tanpa unsur kesengajaan maupun kelalaian)
c.
Perbuatan melawan hukum karena kelalaian Tanggung
jawab
apotek
rakyat
pada
hakikatnya
hanya
dapat
bertanggung jawab masing-masing individu. Pihak pelaku usaha dan konsumen yang memikul akibat dari perbuatannya, oleh karenanya tanggung jawab pribadi atau tanggung jawab sendiri sebenarnya “mubajir”. Suatu masyarakat yang tidak mengakui bahwa setiap individu mempunyai nilainya sendiri yang berhak diikutinya tidak mampu menghargai martabat individu tersebut dan tidak mampu mengenali hakikat kebebasan.21 Maka, tanggung jawab pihak pelaku usaha dalam kesalahan pelayanan kefarmasian adalah kesalahan dari konsumen itu sendiri, karena pihak apotek rakyat hanya 19
Komariah, SH, Msi, Edisi Revisi Hukum Perdata, (Malang: Universitas Muhammadiyah Malang, 2001), hlm. 12. 20 Djojodirdjo, M.A. Moegni, Perbuatan Melawan Hukum: Tanggung Gugat (Aansprakelijkheid) Untuk Kerugian, Yang Disebabkan Karena Perbuatan Melawan Hukum, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1979), hlm. 53. 21 Widiyono, Wewenang Dan Tanggung Jawab, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2004), hlm. 27.
mempunyai sarana penjualan dan tidak bisa bertanggung jawab, sedangkan yang dapat disalahkan adalah pihak apotekernya itu sendiri, pelaku usaha tidak bisa menerima resiko apabila pihak konsumen mengalami dampak negatif seperti tidak sesuainya dosis obat yang dibelinya. Pelaku usaha berdalih bahwa kesalahan atau kekeliruan dalam dosis obat itu sendiri dilakukan oleh konsumen, sebelum konsumen mengkonsumsi obat yang dibelinya, apoteker sudah memberi tahukan takaran dosis obat yang sesuai dengan penyakit yang diderita oleh konsumen,22 dalam hal ini pelaku usaha juga tergolong dengan tanggung jawab dengan unsur kesalahan yang terdapat dalam Pasal 1365 KUHPerdata, yaitu: “Tiap-tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.” Dalam pasal 1367 KUHPerdata, menyatakan bahwa: “Seorang tidak saja bertanggungjawab untuk kerugian yang disebabkan perbuatannya sendiri, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan perbuatan orang-orang yang menjadi tanggungannya atau disebabkan oleh barang-barang yang berada di bawah pengawasannya”.
George Bernard Shaw mengatakan, persaingan yang merupakan unsur pembentuk setiap masyarakat bebas baru mungkin terjadi jika ada tanggung jawab individu. Seorang manusia baru akan dapat menerapkan seluruh pengetahuan dan energinya dalam bentuk tindakan yang efektif dan berguna jika ia sendiri harus menanggung akibat dari perbuatannya, baik itu berupa 22
2017.
Wawancara dengan Bapak Yoyon, Kepala Petugas Apotek Rakyat Pasar Pramuka, Jakarta, 24 Juli
keuntungan maupun kerugian. Maka, di sinilah kegagalan ekonomi terpimpin dan masyarakat sosialis, secara resmi memang semua bertanggung jawab untuk segala sesuatunya, tapi faktanya tak seorangpun bertanggung jawab.23 Selain dari tanggung jawab perbuatan melawan hukum, KUHPerdata melahirkan tanggung jawab hukum perdata berdasarkan wanprestasti. Diawali dengan adanya perjanjian yang melahirkan hak dan kewajiban. Apabila dalam hubungan hukum berdasarkan perjanjian tersebut, pihak yang melanggar kewajiban (apotek rakyat) tidak melaksanakan atau melanggar kewajiban yang dibebankan (wanprestasi)
kepadanya, dan
maka
atas
pertanggungjawaban hukum
dasar
pelaku itu
usaha
pelaku
dapat usaha
dinyatakan dapat
lalai
dimintakan
berdasarkan wanprestasi. Sementara tanggung
jawab hukum perdata berdasarkan perbuatan melawan hukum didasarkan adanya hubungan hukum, hak dan kewajiban yang bersumber pada hukum.24 Dalam melaksanakan hak dan kewajiban, apoteker harus memenuhi dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab. Jika apoteker bersalah tidak memenuhi kewajiban itu, menjadi alasan baginya untuk dituntut secara hukum untuk mengganti segala kerugian yang timbul sehubungan dengan tidak dipenuhinya kewajiban itu, artinya apoteker harus bertanggung jawab secara hukum atas kesalahan atau kelalaiannya dalam menjalankan kewajibannya. Kode etik Apoteker Indonesia merupakan suatu ikatan moral bagi apoteker. Dalam kode etik diatur perihal kewajiban-kewajiban apoteker, baik terhadap masyarakat, teman sejawat dan tenaga kesehatan lainnya. 25
23
Widiyono, loc. cit. Ibid, hlm. 55. 25 Kode Etik Apoteker Indonesia, Jakarta: Kongres Nasional XVII Ikatan Sarjana Farmasi. 24
Dalam
pengelolaan
apotek,
apoteker
senantiasa
harus
memiliki
kemampuan menyediakan dan memberikan pelayanan yang baik, mengambil keputusan yang tepat, kemampuan berkomunikasi antar profesi, menempatkan diri sebagai pimpinan, kemampuan mengelola sumber daya manusia secara efektif, selalu sabar sepanjang karier dan membantu memberi pendidikan dan memberi peluang untuk meningkatkan pengetahuan. Hak dan kewajiban dapat timbul dari adanya suatu perjanjian yang dibuat para pihak ataupun yang telah ditentukan oleh undang-undang. Suatu perjanjian yang dibuat oleh para pihak, akan menimbulkan suatu perikatan, yang mana perikatan merupakan isi dari suatu perjanjian. Maka, perikatan yang telah dilaksanakan para pihak dalam suatu perjanjian, memberikan tuntutan pemenuhan hak dan kewajiban terhadap pelaksanaan isi dari perjanjian.26 Adapun hak-hak apoteker sebagai pelaku usaha pelayanan kefarmasian diatur dalam Pasal 6 UUPK, yaitu: 1.
Mendapatkan perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik;
2.
Melakukan pembelaan diri yang sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen;
3.
Rehabilitasi nama baik apabila tidak terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan. Tanggung jawab tugas apoteker di apotek dalam penulisan ini, adalah: a.
26
Tanggung jawab atas obat dengan resep;
Yusuf Sofie, Pelaku Usaha Konsumen dan Tindak Korporasi, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2002).
Apoteker mampu menjelaskan tentang obat kepada pasien, sebab apoteker mengetahui: 1) Bagaimana obat tersebut digunakan 2) Reaksi samping obat yang mungkin ada 3) Stabilitas obat dalam bermacam-macam kondisi 4) Cara dan rute pemakaian obat. b.
Tanggung
jawab
apoteker
untuk
memberi
informasi
pada
masyarakat dalam memakai obat bebas terbatas (OTC) Apoteker
mempunyai
tanggung
jawab
penuh
dalam
menghadapi kasus self medication atau mengobati sendiri dan pemakaian obat tanpa resep. Apoteker menentukan apakah self medication dari penderita itu dapat diberi obatnya atau perlu pergi konsultasi ke dokter atau tidak. Pengobatan dengan non resep jelas akan makin bertambah. Pelayanan resep, sebaiknya ada motto seperti “setiap resep yang masuk, keluarnya harus obat” artinta yaitu apabila ada pasien atau konsumen membawa resep dokter ke apotek, diusahakan agar pasien itu membeli obatnya di apotek tersebut. Sebagai seorang pengelola, apoteker bertugas mencari tambahan
langganan
baru,
membina
langganan
lama,
meningkatkan pelayanan dengan pembinaan karyawati, turut membantu mencairkan piutang-piutang lama, mencari sumber pembelian yang lebih murah dengan jangka waktu yang lebih lama. Pasal 44 UUPK , yaitu dengan adanya pengakuan pemerintah terhadap lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat
yang mempunyai kegiatan yang meliputi, penyebaran informasi dalam rangka meningkatkan kesadaran atas hak dan kewajiban dan kehati-hatian konsumen dalam mengkonsumsi barang dan jasa, memberikan nasihat kepada konsumen yang memerlukannya, bekerjasana dengan instansi terkait dalam upaya mewujudkan perlindungan
konsumen,
membantu
konsumen
dalam
memperjuangkan haknya dan termasuk menerima keluhan atau pengaduan konsumen. Pelaku memberikan
usaha
tidak
informasi
boleh
yang
memasarkan
jelas.
barang
Perlindungan
tanpa
konsumen
diwujudkan dengan diaturnya perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha, hal ini dilakukan untuk memberikan perlindungan terhadap kesehatan, kenyamanan, keamanan baik bagi diri konsumen maupun harta bendaranya agar sesuai harga yang dibayarnya terhadap suatu produk dengan mutu produk itu sendiri. Pengawasan dan teknis dalam perdagangan yang mengikat negara yang menandatanganinya, untuk menjamin bahwa agar bila suatu pemerintah atau instansi lain menentukan aturan teknis atau standar teknis untuk keperluan keselamatan umum, kesehatan, perlindungan terhadap konsumen dan pengujian serta sertifikasi yang dikeluarkan tidak menimbulkan rintangan yang tidak diperlukan terhadap perdagangan internasional.27
27
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, op. cit., hlm. 66.
D.
Contoh Kasus Awal mula berdirinya apotek rakyat ini pada tahun 2006, apotek rakyat ini mulanya belum mempunyai izin pendirian yang resmi dari Kementerian Kesehatan dan Badan Pengawasan Obat dan Makanan (untuk selanjutnya disebut BPOM), dengan seiring berkembangnya penjualan obat di pasar pramuka wilayah Jakarta Timur, maka instansi pemerintah seperti Kemenkes, BPOM, Bea Cukai, Polri bekerjasama untuk meresmikan izin pendirian apotek tersebut dengan suatu persyaratan seperti pihak BPOM diperbolehkan masuk ke apotek rakyat untuk inspeksi agar tidak terjadi suatu pelanggaran dari pelaku usaha yang memanfaatkan pemalsuan obat.28 Kesehatan merupakan salah satu unsur kesejahteraan umum yang harus diwujudkan. Pembangunan di bidang kesehatan mempunyai visi, yaitu Indonesia Sehat, untuk menjamin visi itu dapat terwujud, maka tersedianya pelayanan kesehatan yang bermutu. Untuk itu diperlukan perubahan dalam sistem pelayanan kesehatan termasuk di dalamnya pelayanan kefarmasian. 29 Pasal 1 angka (1) Permenkes 284 Tahun 2007 tentang pengertian dari apotek rakyat adalah: “Apotek Rakyat adalah sarana kesehatan tempat dilaksanakannya pelayanan
kefarmasian
dimana
dilakukan
penyerahan
obat
dan
perbekalan kesehatan, dan tidak melakukan peracikan.” Pasal 5 Permenkes 284 Tahun 2007 menjelaskan bahwa: “1. Apotek rakyat dalam pelayanan kefarmasian harus mengutamakan obat generik.
28 29
Wawancara dengan Ibu Sofi, Petugas Penyidik Obat dan Makanan, Jakarta, 02 Agustus 2017. Wawancara dengan Ibu Sofi, Petugas Penyidik Obat dan Makanan, Jakarta, 02 Agustus 2017.
2. Apotek Rakyat dilarang menyediakan Narkotika dan Psikotropika, meracik obat dan menyerahkan obat dalam jumlah besar.”
Sedangkan Pasal 6 Permenkes 284 Tahun 2007 menyatakan bahwa: “1. Setiap Apotek Rakyat harus memiliki 1 (satu) orang Apoteker sebagai penanggung jawab, dan dapat dibantu oleh Asisten Apoteker. 2. Apoteker dan Asisten Apoteker dalam melaksanakan tugasnya harus sesuai dengan standar profesi masing-masing.”
Pasal 1 ayat (11) Ketentuan umum Undang-undang Kesehatan tentang Kesehatan, menyatakan bahwa: “Upaya Kesehatan adalah setiap kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan yang dilakukan secara terpadi, terintegrasi dan berkesinambungan untuk memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat dalam bentuk pencegahan penyakit,
peningkatan
kesehatan,
pengobatan
penyakit
dan
pemulihan
kesehatanoleh pemerintah dan/atau masyarakat”.
Upaya kesehatan adalah setiap kegiatan untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan,bertujuan untuk mewujudkan derajat kesehatan yang optimal
bagi
masyarakat.
Upaya
kesehatan
diselenggarakan
dengan
pendekatan pemeliharaan, peningkatan kesehatan (promotif), pencegahan penyakit (preventif), penyembuhan penyakit (kuratif) dan pemulihan kesehatan (rehabilitatif),
yang
dilaksanakan
secara
menyeluruh,
terpadu
dan
berkeseimbangan. Pelayanan kefarmasian dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 53 Tahun 2016 adalah untuk menjamin perlindungan kepada masyarakat serta untuk
meningkatkan
kualitas
pelayanan
kefarmasian,
perlu
penataan
penyelenggaraan fasilitas pelayanan kefarmasian. Pasal 1 angka 1 Permenkes
Nomor 284 Tahun 2007 tentang Apotek Rakyat, menjelaskan
tentang
pengertian dari Apotek Rakyat adalah: “Sarana kesehatan tempat dilaksanakannya pelayanan kefarmasian dimana dilakukan penyerahan obat dan pembelakan kesehatan dan tidak melakukan peracikan.” Pasal tersebut sudah jelas bahwa konsumen bisa membeli dan mengkonsumi obat dengan mudah dan bebas, apotek rakyat ini cukup membantu bagi konsumen yang mempunyai penghasilan ekonomi kelas menengah kebawah. Apotek rakyat hanya boleh membeli obat tanpa melakukan peracikan di tempat, tidak hanya itu apotek rakyat pun dilarang keras mengedarkan/menjualkan obat jenis psikotropika dan narkotiba.30 Tuntutan pasien atau konsumen dan masyarakat akan mutu pelayanan farmasi, mengharuskan adanya perubahan pelayanan dari paradigma lama (drug oriented) ke paradigma baru (patient oriented) dengan filosofi Pharmaceutical Care (pelayanan kefarmasian). Praktik pelayanan kefarmasian merupakan kegiatan yang terpadu dengan tujuan untuk mengidentifikasi, mencegah dan menyelesaikan masalah obat dan masalah yang berhubungan dengan kesehatan, karena kesalahan dalam pelayanan kesehatan menyangkut dengan hak asasi manusia.31 Era globalisasi saat ini sebagian apoteker di Indonesia belum melakukan kegiatan pelayanan farmasi seperti yang diharapkan, mengingat beberapa kendala antara lain kemampuan tenaga farmasi, terbatasnya pengetahuan pihak-pihak terkait tentang pelayanan farmasi apoteker.
30 31
Wawancara dengan Ibu Sofi, Petugas Penyidik Obat dan Makanan, Jakarta, 02 Agustus 2017. Wawancara dengan Ibu Sofi, Petugas Penyidik Obat dan Makanan, Jakarta, 02 Agustus 2017.
Pelayanan apotek masih berorientasi pada produk, belum berorientasi pada pasien. Menurut standar pelayanan farmasi komunitas, semua informasi tersebut seharusnya diberikan oleh apotek dan merupakan hak konsumen. Informasi yang lengkap dan jelas akan mengurangi resiko terjadinya kesalahan penggunaan obat (medicati on error). Medications error adalah kejadian yang merugikan pasien akibat pemakaian
obat
selama
dalam
penanganan
tenaga
kesehatan
yang
sebetulnya dapat dicegah. Kesalahan obat itu bisa terjadi karena terdapat kesalahan pada penulisan resep disebabkan tulisan dokter yang kurang jelas. Konstribusi dari pabrik obat untuk melakukan kesalahan pada saat pengadaan barang, obat dengan kemasannya yang mirip atau bahkan sama. Kesalahan sebenarnya bisa terjadi pada diri pasien itu sendiri, misalnya pasien tidak mematuhi aturan cara penggunaan obat yang benar. Ada kesalahan yang tidak bisa dijadikan kesalahan manakala daya tahan tubuh pasien menolak mengonsumsi obat-obatan tertentu, hal ini tidak dapat menyalahkan siapasiapa meskipun apoteker atau dokter telah menanyakan dan mengetahui efek samping obat, karena ada beberapa obat tertentu yang cocok dan tidak cocok untuk dikonsumsi.32 Contoh kasus penulisan ini di tanggal 7 September 2016 permasalahan apotek rakyat di wilayah pasar pramuka telah marak di beritakan, karena beredarnya obat palsu dipasaran. Banyaknya toko yang memasarkan berbagai jenis obat di pasar pramuka dengan mutu penjualan harga yang lebih murah dibandingkan dengan harga yang dipasarkan oleh pihak rumah sakit. Kurang lebih sekitar 4000 kios toko dengan 120 pelaku usaha, obat yang berada di 32
46.
Soerjono Soekanto, Aspek Hukum Apotik dan Apoteker, (Bandung: CV Mandar Maju, 1990), hlm. 45-
pasar tersebut memunculkan informasi pemberitaan di media massa, bahwasannya apotek rakyat ini menjual berbagai jenis obat bebas, obat keras, obat psikotropika dan narkoba, obat wajib apotek (DOWA), obat palsu/ilegal dan bahkan apotek rakyat ini menjualkan obat kadaluarsa di pasaran.33 Pihak pelaku usaha tidak mengetahui, apabila di dalam kardus kemasan obat-obat tersebut salah satunya adalah obat yang sudah habis masa produksinya. Apotek rakyat ini sama hal nya seperti apotek generik yang berada di daerah Kranji, Bekasi. Keduanya sama-sama menjualkan obat dengan harga murah dan konsumen membeli obat tanpa resep dokter. Obat generik adalah obat yang penamaannya didasarkan pada kandungan zat aktif tertentu dalam suatu obat dan tidak menggunakan merek dagang.34 Persaingan usaha sering terjadi pada era globalisasi saat ini, berbagai macam apotek bermunculan sehingga membuat konsumen dapat dengan mudah membeli dan mengkonsumsi obat yang dibutuhkan dengan mudah dan gampang. Jangka tempuh apotek rakyat di pasar pramuka ini cukup terjangkau, konsumen yang hanya untuk mengkonsumsi obat-obatan bebas untuk persediaan saja, lain hal berbeda dengan pelaku usaha atau produsen yang membeli berbagai jenis obat untuk diperjualkan kembali di toko masingmasing.35 Pihak BPOM, Kemenkes dan Polri menemukan salah satu kios toko bernama Apotek Rakyat Fauzi Rahma 84, dalam sidak kepolisian dan gabungan dengan instansi terkait berhasil menemukan obat kadaluarsa pada toko tersebut. Dengan munculnya salah satu toko obat yang menjual obat 33
Wawancara dengan Bapak Yoyon, Kepala Petugas Apotek Rakyat Pasar Pramuka, Jakarta, 24 Juli
34
Wawancara dengan Ibu Sofi, Petugas Penyidik Obat dan Makanan, Jakarta, 02 Agustus 2017. Wawancara dengan Ibu Sofi, Petugas Penyidik Obat dan Makanan, Jakarta, 02 Agustus 2017.
2017. 35
palsu/ilegal, membuat pemerintah mengeluarkan Permenkes Nomor 53 Tahun 2016 tentang Pencabutan, karena adanya penyalahgunaan peraturan tersebut yang mengakibatkan apotek rakyat akan ditutup, karena telah melanggar izin yang sudah diberikan.36 Izin yang dibuat merupakan penjualan obat resmi yang beredar dipasaran, sehingga konsumen tidak perlu takut untuk membelinya. Dalam praktiknya pelaku usaha tidak berlaku jujur dalam penjualan obat kepada masyarakat. Contoh kesalahan yang dilakukan oleh pihak apoteker seperti ketika salah satu apotek di Pasar Pramuka ini salah membaca resep disebabkan tulisan dokter yang kurang jelas. Seperti norvasc, obat ini merupakan obat penurun tekanan darah tinggi, namun apoteker memberikan navane yaitu obat untuk gangguan psikis. Apoteker belum memenuhi hak pasien atau konsumen, karena belum memberikan informasi yang jelas dan benar mengenai obat yang diberikan atau diresepkan oleh dokter dari cara pemakaian, penyimpanan, efek samping dan hal-hal lain yang berkaitan dengan penggunaan obat yang dikonsumsi sehingga memberikan efek yang fatal atau butuk karena pasien tidak mendapatkan kenyamanan dan keselamatan dalam penggunaan obat (produk).37 Perlu diingat, setiap obat hendaknya diperhatikan aturan pakai, tanggal kadaluarsa, serta diperiksa sekali lagi nama yang tercantum pada label apotek. Jangan segan untuk menanyakan hal-hal yang belum jelas kepada petugas apotek. Kesalahan bisa dari pihak apotek, apoteker, dokter penulis resep dan pasien/konsumen sendiri yang kurang mengerti atau tidak cermat membaca
36
Wawancara dengan Bapak Yoyon, Kepala Petugas Apotek Rakyat Pasar Pramuka, Jakarta, 24 Juli
37
Wawancara dengan Bapak Yoyon, Kepala Petugas Apotek Rakyat Pasar Pramuka, Jakarta, 24 Juli
2017. 2017.
aturan pakai atau dokter yang memberikan resep tanpa mengindahkan efek samping obat.38 Penggunaan obat harus secara tepat dengan memperhatikan petunjuk kemasan obat atau dokter agar tidak menimbulkan efek samping yang dapat membahayakan fisik, mental dan jiwa dari pengguna obat yang dikonsumsinya. Apoteker menganggap bahwa dalam resep dokter terdapat kekeliruan, maka apoteker harus memberitahukan kepada dokter penulis resep. Apabila dokter penulis resep tersebut tetap pada pendiriannya, maka segala akibatnya menjadi tanggung jawab dokter yang bersangkutan. Dalam hal ini, apabila dokter penulis resep tidak dapat dihubungi, maka penyerahan obat dapat ditunda.39 Apoteker yang melakukan kesalahan, maka apoteker langsung bergerak cepat, ada upaya preventif dengan segera mendatangi pasien yang bersangkutan agar tidak terjadi kesalahan yang dapat berakibat fatal. Dengan demikian, kesalahan tidak akan terjadi karena apoteker bekerja cukup tanggap dalam hal pelayanan obat terhadap pasien.40 Konsumen yang tidak sanggup membeli obat dikarenakan harga obat yang mahal dapat membeli obat yang dibutuhkan dengan harga lebih murah. Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian mengatakan bahwa apoteker boleh mengganti resep obat pasien tanpa persetujuan dokter, melainkan hanya persetujuan pasien saja. Hal ini merupakan dalam rangka pemberdayaan masyarakat sebagai pasien, apabila
38
Hartono Hdw dan Karyn L. Feiden, “Awas Obat Bisa Menyembuhkan, Bisa Pula Mencelakakan”, http://www.depkes.go.id., 26 Juli 2017, 22.57 WIB. 39 Wawancara dengan Ibu Alfah Ratnawati, Instalasi Farmasi dan Kesehatan Mabes Polri, Jakarta, 22 Juli 2017. 40 Wawancara dengan Ibu Alfah Ratnawati, Instalasi Farmasi dan Kesehatan Mabes Polri, Jakarta, 22 Juli 2017.
pasiennya
sudah
setuju,
maka
obat
bisa
diganti,
tidak
perlu
mempermasalahkan merek obat, sebab bukan merek yang menyembuhkan penyakit pasien melainkan obatnya. Apoteker berkewajiban menjelaskan kepada pasien/konsumen sebagai informasi obat, menjelaskan dengan melihat situasi dan kondisi bila pasien tidak sanggup membeli obat yang tertulis dalam resep, maka ada obat generiknya dengan harga yang lebih murah dan kandungan yang sama dengan obat resep dokter. Apoteker bisa meyakinkan bahwa pasien setuju dengan obat generik atau obat alternatif lainnya yang murah dan cocok bagi diri pasien, maka apoteker langsung menyetujuinya lalu diberikan obatnya. Tidak akan ada masalah apabila ada tuntutan dikemudian hari dan apoteker sebagai pihak yang dipersalahkan. Artinya apoteker sudah mendukung tujuan daripada pasien agar perlindungan pasien ini benar-benar dipenuhi bukan hanya harganya saja yang murag, secara keilmuan, subtansi bahwa dosis, kandungan obat, khasiat, manfaat obat tersebut tidak ada perubahan sama sekali dan aman untuk dikonsumsi pasien.41 Pekerjaan
kefarmasian
mutlak
kewenangan
apoteker,
tidak
bisa
digantikan atau dipindahtangankan ke profesi tenaga kesehatan lainnya. Hal ini dilakukan karena hanya apoteker yang mempunyai kemampuan dalam bidang kefarmasian secara keseluruhan. Selain itu demi terciptanya keefektifan dalam proses pengobatan lebih baik memaksa apoteker untuk menjalankan kewajibannya daripada membiarkan konsumen menanggung beban akibat menyepelehkan aturan. Proses pelayanan kesehatan menguraikan interaksi antara penderita (pasien) dan tenaga kesehatan dalam situasi media. Masing-masing tenaga 41
2017.
Wawancara dengan Bapak Yoyon, Kepala Petugas Apotek Rakyat Pasar Pramuka, Jakarta, 24 Juli
kesehatan mempunyai tanggung jawabnya dalam setiap tindakan yang dilakukannya. Begitu pula dengan apoteker, apoteker adalah salah satu tenaga kesehatan profesional yang merupakan bagian dari sistem rujukan profesional. Apoteker dalam pelayanan kesehatan bertugas dan bertanggungjawab memelihara sumber informasi obat yang paling mutakhir dan menggunakannya secara efektif. Selain menyediakan informasi obat tertentu, apoteker wajib mampu mengadakan evaluasi objektif terhadap pustaka obat dan memberi pendapat yang benar tentang hal-hal yang berkaitan dengan obat. Apoteker bertanggungjawan dalam pemberian informasi yang cukup bagi staf (tenaga farmasi lainnya) tentang obat yang digunakan, berbagai bentuk sediaan dan cara mengkonsumsinya. Penyediaan obat secara fisik oleh apoteker adalah sebagian kecil dari tanggung jawab secara menyeluruh. Tanggung jawab menyeluruh apoteker dalam pelayanan farmasi adalah kepedulian farmasi, yaitu pengadaan pelayanan langsung berkaitan dengan obat dan bertanggung jawab untuk maksud pencapaian hasil pasti yang meningkatkan mutu kehidupan penderita (pasien). Tanggung jawab profesional apoteker dalam pengendalian penggunaan obat, apoteker memainkan peranan yang sah dalam setiap tahap dalam proses penggunaan obat untuk pasien, termasuk dalam peran mendeteksi dan mencegah masalah yang berkaitan dengan obat, antara lain penulisan resep yang irasional, rute pemberian yang tidak tepat, duplikasi obat, kontraindikasi, dosis yang tidak tepat dan berlebihan yang disebabkan kegagalan mengakomodasi perubahan dalam metabolisme dan eksresi obat,
reaksi obat yang merugikan, interaksi obat, kepatuhan penderita (pasien) yang buruk dan kesalahan pemberian obat yang lain.