BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Menyusui merupakan cara alami dalam memberikan nutrisi yang dibutuhkan bayi baru lahir untuk pertumbuhan dan perkembangan yang sehat. Bayi baru lahir harus mendapatkan ASI saja selama 6 bulan pertama kehidupannya agar tercapai pertumbuhan, perkembangan dan kesehatan bayi baru lahir yang optimal. Jika aktifitas menyusui bayi dihitung dalam skala yang universal, sekitar 820.000 kehidupan bayi akan dapat diselamatkan setiap tahunnya. Kenyataannya, hanya 40% dari bayi yang berusia kurang dari 6 bulan yang mendapatkan ASI eksklusif (WHO, 2017). Pemberian makanan lain kepada bayi sebelum adanya produksi ASI merupakan hambatan utama dalam memberikan ASI eksklusif untuk bayi. Memberikan ASI secara optimal kepada bayi hingga usia kurang dari 2 tahun memiliki dampak yang signifikan terhadap harapan hidup anak, dimana dapat mencegah lebih dari 800.000 kematian anak dibawah usia 5 tahun (13 % dari total kematian) di negara negara berkembang, Sebuah studi menyebutkan sebesar 30.6% ibu memberikan makanan tambahan untuk bayi baru lahir mereka. Makanan tambahan yang paling sering diberikan adalah Susu formula (41.7%), Susu Sapi (26.6 %) dan air manis/gula (12.4 %) (Bililign et al, 2016). Kementerian Kesehatan pada tahun 2013 menyebutkan menyusui sejak dini mempunyai dampak yang positif bagi ibu maupun bayinya. Bagi bayi,
1
menyusui mempunyai peran penting untuk menunjang pertumbuhan, kesehatan, dan kelangsungan hidup bayi karena ASI kaya dengan zat gizi dan antibodi. Sedangkan bagi ibu, menyusui dapat mengurangi morbiditas dan mortalitas karena proses menyusui akan merangsang kontraksi uterus sehingga mengurangi perdarahan pasca melahirkan (postpartum) (Riskesdas, 2013). Persentase proses mulai menyusu pada anak umur 0-23 bulan di Indonesia menurut data Riskesdas tahun 2013 terdapat hanya sebesar 3,7% yang mulai menyusu dalam 1-6 jam pertama dan sebesar 13,0% dalam 7-23 jam. Sedangkan di provinsi Aceh terdapat hanya sebesar 27,7% yang mulai menyusu dalam 1-6 jam, sementara sebesar 2,9% mulai menyusu dalam 7-23 jam dan sebesar 15,7% dalam 24-47 jam. Data tersebut menunjukkan masih rendahnya persentase proses mulai menyusu pada anak yang dapat disebabkan oleh berbagai faktor diantaranya status gizi ibu pada saat hamil dan belum diproduksinya ASI pada masa awal post partum (Riskesdas, 2013). Data Profil Kesehatan Aceh pada tahun 2016 menyebutkan persentase pemberian ASI eksklusif pada bayi 0-6 bulan di Aceh sebesar 50%, menurun bila dibandingkan dengan tahun 2015 yang sebesar 53%. Proporsi bayi baru lahir yang mendapatkan Inisiasi Menyusu Dini (IMD) menurut Laporan Survey Pemantauan Status Gizi Provinsi Aceh 2017 terdapat sebesar 36.2% bayi baru lahir tidak mendapatkan IMD (Dinkes Aceh, 2016). Pemberian makanan selain ASI pada bayi baru lahir berhubungan dengan peningkatan angka kesakitan dan kematian bayi, serta dapat menyebabkan bayi baru lahir rentan terserang infeksi. ASI yang pertama kali
2
keluar pada 3 hari pertama periode postpartum mengandung immunoglobulin dan komponen-komponen biologis lainnya dapat meningkatkan imunitas alami bayi melawan banyak bakteri dan virus (Bililign et al, 2016). Peningkatan beban terhadap penyakit tidak menular diduga erat kaitannya dengan komposisi cytokines dalam ASI. Mediator imunitas dalam ASI memainkan peranan penting dalam mematangkan pencernaan dan merangsang aktivasi sistem imun bayi baru lahir (Munblit et al, 2018). Lebih lanjut, peralatan makan dan makanan yang terkontaminasi yang digunakan untuk memberikan makanan tambahan dapat menyebabkan infeksi pada bayi baru lahir khususnya gangguan pada kematangan usus bayi. Selain itu ikatan ibu dan bayi dapat terputus, dimana terjadi penurunan kontak sentuhan kulit ke kulit antara ibu dan bayi (Bililign et al, 2016). Beberapa alasan yang menyebabkan ibu post partum tidak memberikan ASI dengan segera disebabkan karena takut bayi kedinginan, lelah, ASI tidak segera keluar atau jumlah ASI yang tidak memadai, serta persepsi bahwa ASI yang pertama kali keluar berbahaya bagi bayi (Papona, Laoh & Palandeng, 2013). Bagi ibu muda yang baru pertama kali melahirkan, seringkali masih bingung
tentang
cara
menyusui,
waktu
pemberian
dan
bagaimana
meningkatkan kelancaran produksi ASI, sedangkan sebenarnya menyusui adalah proses yang sangat menyenangkan. Adanya ibu primipara yang tidak dapat memberikan ASI dapat disebabkan karena ASI belum keluar atau tidak lancar (Khosidah, 2018).
3
ASI yang terlambat keluar dapat disebabkan oleh persalinan yang sedikit banyak telah membuat ibu menjadi stres. Proses mendorong yang sangat lama, atau operasi Caesar yang cukup berat menimbulkan kemungkinan ASI baru dapat diproduksi pada hari kelima setelah persalinan. (Ratna, 2014). Rangsangan menghisap dari bayi meningkatkan pelepasan hormon oksitosin yang dapat menurunkan kadar hormon stress yakni ACTH dan kortisol didalam plasma darah (Maud, 2018) Kemampuan ibu memproduksi ASI tergantung pada produksi hormon oksitosin. Kadar hormon oksitosin yang tinggi memaksimalkan jumlah ASI yang diproduksi. Pelepasan hormon oksitosin dipengaruhi oleh reflek neuroendokrin yang dirangsang oleh adanya aktifitas menyusui. Reflek ini mengurangi efek dari Dopamin yang menyebabkan dilepaskannya hormon prolaktin yang merupakan hormon yang memprodusi ASI (Anggorowati dkk, 2016). Pijat oksitosin dan kompres hangat payudara merupakan salah satu teknik yang sedang trend dan sangat mudah untuk dilakukan oleh semua orang. Pijat oksitosin merupakan sebuah tindakan yang dapat dilakukan yang
merupakan
tindakan
untuk
merangsang
reflek oksitosin dalam
meningkatkan hormon oksitosin. Sedangkan kompres hangat
merupakan
suatu teknik yang dapat membuat pembuluh-pembuluh ditempat kompres akan melebar karena berhubungan dengan proses vasodilatasi pembuluh darah
sehingga
membuat
ASI bisa di produksi dengan lancar (Utami,
2017).
4
Penelitian Anggorowati, dkk (2016) yang meneliti efek stimulasi acupoint dengan Digital Massager of Oxytocin (DMO) terhadap produksi ASI pada
ibu
bekerja
menunjukkan
peningkatan
produksi
ASI
yang
mengindikasikan bahwa pijat dapat merangsang hormon oksitosin untuk meningkatkan produksi ASI melalui rangsangan hormon prolaktin. Studi oleh Kiftia (2014) tentang pengaruh terapi pijat oksitosin terhadap produksi asi pada ibu post partum juga menyebutkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan terhadap produksi ASI pada ibu yang diberikan tindakan pijat oksitosin. Hal ini dapat diasumsikan bahwa perlu adanya rangsangan untuk dapat meningkatkan jumlah ASI dan juga perlu dilakukan stimulasi reflek oksitosin agar produksi ASI dapat ditingkatkan. Studi oleh Mas’adah (2015), tentang teknik meningkatkan dan memperlancar produksi ASI pada ibu post sectio caesaria membuktikan bahwa kompres hangat merupakan salah satu teknik meningkatkan produksi ASI. Kompres hangat pada payudara akan memberikan sinyal reseptor yang peka terhadap panas di hipotalamus ketika di stimulasi. Kompres hangat pada payudara dapat meningkatkan aliran ASI dari kelenjar-kelenjar penghasil ASI. Penelitian lain yang dilakukan oleh Produksi ASI merupakan suatu interaksi yang sangat komplek antara rangsangan mekanik seperti menyusui, saraf dan bermacam-macam hormon yang berpengaruh terhadap pengeluaran oksitosin (Maryunani, 2015). Namun tidak semua ibu melakukan pengeluaran ASI yang dimana akan berdampak negatif pada bayi diantaranya adalah bayi mengalami
5
resiko obesitas, resiko penyakit dan infeksi pada bayi seperti
ISPA,
penurunan IQ dan resiko malnutrisi (Ikatan Dokter Anak Indonesia [IDAI], 2016) Mengingat dampak penurunan produksi ASI pada bayi maka perlu upaya meningkatkan kelancaran produksi ASI diantaranya adalah perawatan yang dilakukan terhadap payudara, kompres hangat, senam payudara, pemijatan payudara, dan pijat okitosin (Setyowati dkk, 2015). Pijat oksitosin dan kompres hangat payudara di RSUD Langsa masih jarang dilakukan bagi ibu postpartum khususnya primipara yang mengalami ketidaklancaran ASI. Untuk perlakuan pijat oksitosin dan kompres hangat payudara dapat dilakukan di RSUD Langsa sebagai salah satu tindakan dalam asuhan kebidanan. Berdasarkan latar belakang tersebut, maka penting untuk dilakukan penelitian tentang “Perbedaan Efektifitas Pijat Oksitosin dan Kompres Hangat Terhadap Kelancaran Produksi ASI Pada Ibu Post Partum Primipara Di RSUD Langsa”.
B. Rumusan Masalah Persentase proses mulai menyusu pada anak umur 0-23 bulan pada 1-6 jam pertama di Aceh hanya sebesar 27,7% yang mulai menyusu dalam 1-6 jam, sementara 2,9% mulai menyusu dalam 7-23 jam dan sebesar 15,7% dalam 24-47 jam. Data tersebut menunjukkan masih rendahnya persentase proses mulai menyusu pada anak. Ibu primipara sering tidak dapat memberikan ASI disebabkan karena ASI belum keluar atau tidak lancar. Kemampuan ibu memproduksi ASI tergantung pada produksi hormon
6
oksitosin. Pijat oksitosin merupakan sebuah tindakan untuk meningkatkan pelepasan hormon oksitosin yang dapat menstimulus hormon prolaktin untuk memproduksi ASI. Kompres hangat mempengaruhi vasodilatasi pembuluh darah sehingga menyebabkan ASI bisa di produksi dengan lancar. Pijat oksitosin dan kompres hangat payudara di RSUD Langsa masih jarang dilakukan bagi ibu postpartum khususnya primipara yang mengalami ketidaklancaran ASI. Berdasarkan uraian diatas, penting untuk dilakukan peneltian tentang Perbedaan Efektifitas Pijat Oksitosin dan Kompres Hangat Terhadap Kelancaran Produksi ASI Pada Ibu Post Partum Primipara di RSUD Langsa.
C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Menganalisis perbedaan efektifitas pijat oksitosin dan kompres hangat terhadap kelancaran produksi asi pada ibu post partum primipara di RSUD Langsa. 2. Tujuan Khsusus a. Mendeskripsikan karakteristik reponden yaitu usia, pekerjaan, tingkat pendidikan dan jenis persalinan. b. Mengidentifikasi produksi ASI Ibu postpartum hari pertama atau sebelum dilakukan pijat oksitosin. c. Mengidentifikasi produksi ASI Ibu postpartum hari pertama atau sebelum dilakukan kompres hangat.
7
d. Mengidentifikasi produksi ASI Ibu postpartum hari ketiga atau setelah dilakukan pijat oksitosin. e. Mengidentifikasi produksi ASI Ibu postpartum hari ketiga atau setelah dilakukan kompres hangat. f. Menganalisis perbedaan produksi ASI Ibu sebelum dan setelah dilakukan pijat oksitosin. g. Menganalisis perbedaan produksi ASI Ibu sebelum dan setelah dilakukan kompres hangat. h. Menganalisis perbedaan efektifitas pijat oksitosin dan kompres hangat terhadap produksi ASI.
D. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini dapat memberikan manfaat dalam asuhan kebidanan, yaitu: 1. Bagi Bidan Sebagai masukan dalam pengelolaan pasien yang memerlukan kelancaran dan peningkatan produksi ASI terutama ibu primipara. 2. Bagi Rumah Sakit Diharapkan dapat menjadi panduan (SOP) tentang pijat oksitosin dan kompres hangat payudara dalam meningkatkan produksi ASI pada ibu postpartum. 3. Bagi Peneliti Selanjutnya Hasil penelitian ini diharapkan menjadi data dasar dan referensi dalam penelitian selanjutnya tentang Perbedaan efektifitas pijat oksitosin dan kompres hangat payudara terhadap kelancaran produksi ASI. 8