Artikel Ilmiah Bu Mintarsih.docx

  • Uploaded by: Kusuma Arya
  • 0
  • 0
  • April 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Artikel Ilmiah Bu Mintarsih.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 5,028
  • Pages: 13
VOL.4 NO.1 JUNI 2017

*ISSN: 2503-0388(PERAWAT)

PENGARUH PEMBERIAN ELEMEN PENGHANGAT INTRAVENA TERHADAP SUHU TUBUH PASIEN PASCA OPERASI SECTIO CAESAREA DI RS PANTI WILASA CITARUM SEMARANG Mintarsih* Yunani** Indah Wulaningsih** Program Studi S1 Keperawatan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Karya Husada Semarang

ABSTRAK Latar Belakang : suhu tubuh turun terjadi selama anestesi dan operasi karena lingkungan operasi yang dingin , rongga perut yang terbuka dan pengaruh obat-obatan anestesi yang berefek pada system termoregulasi. Intervensi untuk rewarming salah satunya adalah dengan pemanasan internal aktif dengan menggunakan elemen penghangat cairan intravena (Blood/infusion warmer). Konsep utama alat ini adalah penggunaan perbedaan sinyal sinyal suhu yaitu suhu tubuh pasien dan kantong darah/cairan. Tujuan penelitian : Mengetahui pengaruh pemberian elemen penghangat cairan intravena (Blood/infusion warmer) terhadap suhu tubuh pasien pasca operasi Sectio Caesarea di RS Panti Wilasa Citarum Semarang. Metode penelitian : Penelitian ini menggunakan penelitian analitis kuantitatif dengan desain penelitian Quasi eksperimen (eksperimen semu). Rancangan penelitian ini adalah Static Group Comparison. Populasi adalah seluruh pasien pasca operasi Sectio Caesarea di RS Panti Wilasa Citarum Semarang, sampel berjumlah 30 kasus yang dibagi menjadi 2 kelompok, 15 pasien kelompok intervensi dan 15 pasien kelompok kontrol .Teknik pengambilan sampel dengan purposive sampling. Analisa data menggunakan analisis univariat dan bivariat. Hasil Penelitian : Ada Perbedaan suhu tubuh pasien pasca operasi SC sebelum dan sesudah pemberian elemen penghangat cairan intravena (blood/infusion warmer) pada kelompok intervensi p value sebesar 0,001 < 0,05 Kata kunci : penghangat cairan intravena dan suhu tubuh to find out the effect of intravenous fluid warmer (blood/ infusion warmer) element administration on post caesarian section patients’ body temperature at Panti Wilasa Citarum Hospital Semarang Abstract Background of Study : during anesthesia and surgery, patients’ body temperature decreases due to cold operating environment, open abdominal cavity and the effect of anesthetic drugs that affect the thermoregulation system. One of intervention for re-warming body temperature is by active internal warming using intravenous fluid warmer element (Blood / infusion warmer). The main concept of this tool is the use of signals temperature differences i.e. the difference between patient's body temperature and blood/ fluid bag. Objective of the Study : to find out the effect of intravenous fluid warmer (blood/ infusion warmer) element administration on post caesarian section patients’ body temperature at Panti Wilasa Citarum Hospital Semarang. Research Methodology : This research uses quantitative analytical research with Quasi experimental research design (quasi experiment). The design of this study is Static Group Comparison. The population was all postoperative patients of caesarean section at RS. Panti Wilasa Citarum Semarang. There are 30 cases as the sample which is divided into 2 groups, intervention group and control group that consisting 15 patients per group. Sampling technique uses purposive sampling and data analysis uses univariate and bivariate analysis. Research findings : It shows that there is a difference between post-operative cesarean section patient’s body temperature wihtout administration and post-operative cesarean section patient’s body temperature with the administration of intravenous fluid warmer (blood/ infusion warmer) element in the intervention group p value

0,001 < 0,05 Keywords: intravenous fluid warmers and body temperature

Jurnal SMART *Kebidanan/*Keperawatan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKes) Karya Husada Semarang www.stikesyahoedsmg.ac.id/ojs/index.php/sjkp(perawat)

1

VOL.4 NO.1 JUNI 2017

*ISSN: 2503-0388(PERAWAT)

Pendahuluan Sectio caesarea (SC) adalah suatu persalinan buatan dimana janin dilahirkan melalui suatu insisi pada dinding perut dan dinding rahim dengan syarat rahim dalam keadaan utuh serta berat janin diatas 500 gram (Himendra, A., 2007). SC merupakan tindakan pilihan utama bagi tenaga medis untuk menyelamatkan ibu dan janin yang dilaksanakan atas dasar indikasi medis tertentu, yaitu gawat janin, disproporsi cepalopelvic, persalinan tidak maju, plasenta previa, prolapsus tali pusar, mal presentase janin(Guyton A.C. and J.E. Hall 2007), panggul sempit dan preeklampsia.( Depkes RI.2012) Menurut World Health Organization (WHO), standar rata-rata dilakukannya tindakan SC di sebuah Negara adalah sekitar 5-15% per 1000 kelahiran di dunia. Rumah Sakit pemerintah kira–kira11% sedangkan Rumah Sakit swasta bisa lebih dari 30%(5). Peningkatan persalinan dengan SC di seluruh Negara selama tahun 2007 –2008 yaitu 110.000 per kelahiran di seluruh Asia.( Cunningham, F G,dkk., 2005) Hasil data dari Riskesdas (Riset Kesehatan Dasar)(7), angka ibu melahirkan dengan SC periode lima tahun terakhir di Indonesia sebesar 15,3% dengan rentang tertinggi 27,2% di DKI Jakarta dan terendah 5,5 % di Sulawesi Tenggara. Berdasarkan data Riskesdas pada tingkat persalinan SC sebesar 15,3 % sampel dari 20.591 ibu yang melahirkan dalam kurun waktu 5 tahun terakhir yang diwawancarai di 33 provinsi. Di Jawa tengah tercatat dari 17.665 angka kelahiran terdapat 35.7% - 55.3% ibu melahirkan dengan proses SC. Angka kejadian persalinan SC di Provinsi Jawa Tengah sebesar 15,7% dengan kejadian SC di Kota Semarang kejadian persalinan SC sebesar 18,6%.(Kliegman, (2007), Suhu tubuh turun terjadi selama anestesi dan operasi karena lingkungan operasi yang dingin, rongga perut yang terbuka dan pengaruh obat-obatan anestesi yang berefek pada sistem termoregulasi (Muttaqin., 2009). Penelitian di Canada dari tahun 1998 sampai tahun 2006 sebanyak 2.489 pasien yang menjalani laparotomi, 1.252 (50%) pasien membutuhkan perawatan ICU dan sebanyak sebanyak 189 (15%) pasien mengalami penurunan suhu tubuh paska operasi (Inaba K, et.al, (2009). Penelitian yang dilakukan oleh Gutierrez dan Baptista (Gutierrez dan Baptista (2006)) di Hospital deClínicas "Dr. Manuel Quintela" Montevideo, Uruguay, Hasil penelitian menunjukan dari 313 orang yang menjalani operasi, 67% pasien mengalami penurunan suhu tubuh, 20% dengan suhu dibawah 35oC, dan 24% tetap mengalami penurunan suhu tubuh di ruang pulih sadar. Penelitian di Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung mendapatkan hasil dari 60 pasien lansia yang menjalani operasi, 50 pasien (83,33%) mengalami penurunan suhu tubuh.(Rohani, 2010). Pengaturan suhu tubuh hampir seluruhnya dilakukan oleh mekanisme umpan balik saraf, dan hampir semua mekanisme ini bekerja melalui pusat pengaturan suhu yang terletak pada hipotalamus. Mekanisme umpan balik ini akan bekerja membutuhkan detektor suhu untuk menentukan bila suhu tubuh terlalu panas atau dingin. Panas akan terus menerus dihasilkan dalam tubuh sebagai hasil sampingan metabolisme, dan panas tubuh juga secara terus menerus dibuang kelingkungan sekitar. Suhu tubuh dipengaruhi oleh usia, aktivitas fisik (olah raga), kadar hormon, irama sirkandian, stress dan lingkungan (Minarsih (2009) Tetapi bila keduanya diluar keseimbangan, panas tubuh dan suhu tubuh jelas akan meningkat atau Bila kecepatan pembentukan panas tepat sama dengan seperti kehilangan, orang dikatakan berada dalam keadaan keseimbangan panas menurun. Ada 3 cara kehilangan panas dari tubuh yaitu radiasi, konduksi dan evaporasi. Fenomena konveksi udara juga memegang peranan penting dalam kehilangan panas oleh konduksi dan evaporasi.( Minarsih (2009) Penurunan suhu tubuh adalah suatu kondisi dimana mekanisme tubuh untuk pengaturan suhu kesulitan mengatasi tekanan suhu dingin. Penurunan suhu tubuh juga dapat didefinisikan sebagai suhu bagian dalam tubuh di bawah 36 °C. Tubuh manusia mampu Jurnal SMART *Kebidanan/*Keperawatan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKes) Karya Husada Semarang www.stikesyahoedsmg.ac.id/ojs/index.php/sjkp(perawat)

2

VOL.4 NO.1 JUNI 2017

*ISSN: 2503-0388(PERAWAT)

mengatur suhu pada zona termonetral, yaitu antara 36,5-37,5 °C. Di luar suhu tersebut, respon tubuh untuk mengatur suhu akan aktif menyeimbangkan produksi panas dan kehilangan panas dalam tubuh.( Buggy, D.J. ; Crossley, A.W.A., 2010) Penurunan suhu tubuh mempengaruhi beberapa sistem organ. Penurunan suhu tubuh pada awalnya menyebabkan kenaikan laju metabolisme, pada sistem kardiovaskuler terjadi takikardia, resistensi pembuluh darah perifer untuk menghasilkan menggigil maksimal. Penurunan suhu tubuh juga menyebabkan penurunan denyut jantung sehingga kontraktilitas ventrikel menurun dan menyebabkan penurunan tekanan darah. Resiko terjadi fibrilasi ventrikel meningkat pada suhu di bawah 28 °C. Sistem respirasi pada awalnya mengalami takipneu, apabila berlanjut bisa terjadi bradipneu dan retensi karbondioksida, kulit menjadi sianotik. Metabolisme otak menurun 6-7% per 1 °C penurunan suhu, yang mengakibatkan tingkat penurunan kesadaran, tidak responsive terhadap nyeri, pada penurunan suhu tubuh berat seseorang memperlihatkan tanda klinis seperti kematian.( Cunningham, F Gary. et all. 2010) Elemen penghangat intravena adalah perangkat yang ditujukan untuk menghangatkan darah sebelum terapi transfusi. Konsep utama alat ini adalah penggunaan perbedaan sinyal suhu yaitu antara suhu tubuh pasien dan kantong darah. Blood/infusion warmer adalah perangkat yang bekerja dengan memanaskan darah/cairan infus sampai sama dengan suhu tubuh dengan mendeteksi perbedaan suhu antara keduanya.( Sukowati et al, 2010) Hasil penelitian pendahuluan yang dilakukan di Sakit Panti Wilasa Citarum Semarang pada bulan Juli 2017, berdasarkan data rekam medik didapatkan angka rata-rata kasus sectio caesarea per bulan di Sakit Panti Wilasa Citarum Semarang sebanyak 152 kasus, dimana 90% dilakukan dengan anastesi regional (SAB) dan sisanya dengan anastesi general. Dari 20 pasien tersebut, sebanyak 12 pasien (60%) mengalami kejadian menggigil pasca operasi. Dari data tersebut menunjukkan bahwa masih tingginya angka kejadian penurunan suhu tubuh pasca operasi SC di Instalasi Bedah Sentral Rumah Sakit Panti Wilasa Citarum Semarang. Berdasarkan latar belakang tersebut diatas, maka peneliti merasa tertarik untuk melakukan penelitian tentang pengaruh pemberian elemen penghangat intravena (Blood/infusion warmer) terhadap suhu tubuh pasien pasca operasi SC di RS Pantiwilasa Citarum Semarang. Tinjauan teori

Kelahiran janin melalui insisi di dinding abdomen (laparotomi) dan dinding uterus (histerotomi). Tindakan operasi SC dilakukan untuk mencegah kematian janin maupun ibu yang dikarenakan bahaya atau komplikasi yang akan terjadi apabila ibu melahirkan secara pervaginam.(18) Anestesi spinal adalah injeksi obat anestesi lokal ke dalam ruang intratekal yang menghasilkan analgesia. Pemberian obat lokal anestesi ke dalam ruang intratekal atau ruang subaraknoid di regio lumbal antara vertebra L2-3, L3-4, L4-5 untuk menghasilkan onset anestesi yang cepat dengan derajat keberhasilan yang tinggi. Walaupun teknik ini sederhana, dengan adanya pengetahuan anatomi, efek fisiologi dari anestesi spinal dan faktor-faktor yang mempengaruhi distribusi anestesi lokal diruang intratekal serta komplikasi anestesi spinal akan mengoptimalkan keberhasilan terjadinya blok anestesi spinal. (27) Menggigil merupakan suatu mekanisme tubuh yang terjadi untuk meningkatkan pembentukan panas. Ketika tubuh terlalu dingin, sistem pengaturan temperatur tubuh mengadakan prosedur untuk meningkatkan suhu tubuh yaitu dengan cara : (30) 1) Vasokonstriksi kulit di seluruh tubuh yang merupakan rangsangan pusat simpatis hipotalamus posterior. Jurnal SMART *Kebidanan/*Keperawatan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKes) Karya Husada Semarang www.stikesyahoedsmg.ac.id/ojs/index.php/sjkp(perawat)

3

VOL.4 NO.1 JUNI 2017

*ISSN: 2503-0388(PERAWAT)

2) Piloereksi yaitu berdirinya rambut pada akarnya. Hal ini tidak terlalu penting pada manusia. 3) Peningkatan pembentukan panas oleh sistem metabolisme dengan cara menggigil, rangsangan simpatis pembetukan panas dan sekresi tiroksin. Suhu tubuh adalah perbedaan antara jumlah panas yang dihasilkan tubuh dengan jumlah panas yang hilang ke lingkungan luar. Mekanisme kontrol suhu pada manusia menjaga suhu inti (suhu jaringan dalam) tetap konstan pada kondisi lingkungan dan aktifitas fisik yang ekstrim, namun suhu permukaan berubah sesuai aliran darah kekulit dan jumlah panas yang hilang kelingkungan luar. Suhu normal pada manusia berkisar dari 3638 oC (96,6 sampai 100,7oF). Pada rentang ini jaringan dan sel tubuh akan berfungsi secara optimal. Nilai suhu tubuh juga ditentukan oleh lokasi pengukuran, pengukuran suhu bertujuan memperoleh nilai suhu jaringan dalam tubuh. Lokasi pengukuran untuk suhu inti yaitu rectum,membrane timpani,arteri temporalis, arteri pulmonalis, esophagus dan kandung kemih. Lokasi pengukuran suhu permukaan yaitu kulit, oral dan aksila.(15) Elemen Penghangat Intravena Terapi Intravena (IV) adalah menempatkan cairan steril melalui jarum, langsung ke vena pasien. Biasanya cairan steril mengandung elektrolit (natrium, kalsium, kalium), nutrient (biasanya glukosa), vitamin atau obat. Terapi intravena adalah pemberian sejumlah cairan ke dalam tubuh, melalui sebuah jarum, ke dalam pembuluh vena (pembuluh balik) untuk menggantikan kehilangan cairan atau zat-zat makanan dari tubuh.(17) Terapi intravena (IV) digunakan untuk memberikan cairan ketika pasien tidak dapat menelan, tidak sadar, dehidrasi atau syok, untuk memberikan garam yang dirperlukan untuk mempertahankan keseimbangan elektrolit, atau glukosa yang diperlukan untuk metabolisme dan memberikan medikasi.(16) Memberikan atau menggantikan cairan tubuh yang mengandung air, elektrolit,vitamin, protein, lemak, dan kalori, yang tidak dapat dipertahankan secara adekuat melalui oral, memperbaiki keseimbangan asam-basa, memperbaiki volume komponen-komponen darah, memberikan jalan masuk untuk pemberian obat-obatan kedalam tubuh, memonitor tekanan vena sentral (CVP), memberikan nutrisi pada saat sistem pencernaan mengalami gangguan.(16) Metode Penelitian

Jenis penelitian ini menggunakan penelitian analitis kuantitatif adalah suatu metode penelitian dengan tujuan utama untuk mengetahui pengaruh pemberian elemen penghangat intravena (Blood / infusion warmer) terhadap suhu tubuh pasien pasca operasi SC di RS Pantiwilasa Citarum Semarang atau deskriptif tentang suatu keadaan secara objektif.(37) Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah desain penelitian Quasi Eksperimen (eksperimen semu ) yang menggunakan dua variable yaitu variable terikat dan variable bebas. Rancangan penelitian ini adalah Static Group Comparison yaitu untuk mengetahui Pengaruh pemberian elemen penghangat cairan intravena (Blood/infusion warmer) terhadap suhu tubuh pasien pasca operasi SC di RS Pantiwilasa Citarum Semarang, kemudian dibandingkan dengan kelompok subjek yang tidak mendapat perlakuan ( 37 ) Populasi yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah seluruh pasien pasca SC yang menjalani operasi SC di RS Pantiwilasa Citarum pada bulan Juli 2017 Teknik pengambilan sampel pada penelitian ini adalah dengan menggunakan tehnik purposive sample. Purposive sample adalah pengambilan sampel didasarkan pada suatu pertimbangan tertentu yang dibuat oleh peneliti sendiri, berdasarkan ciri dan sifat yang sudah diketahui sebelumnya.

Jurnal SMART *Kebidanan/*Keperawatan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKes) Karya Husada Semarang www.stikesyahoedsmg.ac.id/ojs/index.php/sjkp(perawat)

4

VOL.4 NO.1 JUNI 2017

*ISSN: 2503-0388(PERAWAT)

HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian 1. Analisa Univariat a. Intervensi Tabel 4.1. Rerata suhu tubuh pasien pasca operasi SC sebelum dan sesudah pemberian elemen penghangat cairan intravena (Blood/infusion warmer) pada kelompok intervensi Suhu tubuh Sebelum Sesudah

n 15 15

Mean 35.5 36.5

Std.deviation 0.806 0.418

Min 34.5 35.6

Max 36.7 37

Berdasardasarkan tabel 4.1 di atas maka dapat diketahui bahwa pasien pasca operasi SC di RS Pantiwilasa Citarum Semarang sebelum pemberian elemen penghangat cairan intravena mempunyai rata-rata suhu tubuh 35,5 standard deviation 0.806 dan suhu tubuh terendah 34.50 tertinggi 36.7, sedangkan setelah dilakukan pemberian elemen penghangat cairan intravena suhu tubuh rata-rata 36,5, sandard deviation 0,418 dan suhu tubuh terendah 35.5 tertinggi 37 b. Kontrol Tabel 4.2. Rerata suhu tubuh pasien pasca operasi SC sebelum dan sesudah pemberian selimut pada kelompok control Suhu tubuh Sebelum Sesudah

n 15 15

Mean 35.4 35.3

Std.deviation 0.500 0.548

Min 34.8 34.4

Max 36.5 36

Berdasarkan tabel 4.2 di atas maka dapat diketahui bahwa pasien pasca operasi SC di RS Pantiwilasa Citarum Semarang sebelum pemberian selimut mempunyai rata-rata suhu tubuh 35,4 standard deviation 0.500 dan suhu tubuh terendah 34.8 tertinggi 36.5 sedangkan setelah dilakukan pemberian selimut suhu tubuh rata-rata 36 standard deviation 0,548 dan suhu tubuh terendah 34.4 tertinggi 36 2. Analisa bivariat a. Perbedaan suhu tubuh pasien pasca operasi SC sebelum dan sesudah pemberian elemen penghangat cairan intravena (blood/infusion warmer) pada kelompok intervensi. Sebelum dilakukan analisa bivariat terlebih dahulu dilakukan uji normalitas untuk menentukan alat ukur yang akan digunakan dalam analisa bivariat. Hasil uji normalitas sebelum dan sesudah pemberian cairan intravena didapatkan nilai p value 0,031 dan 0,016 < 0,05 sehingga disimpulkan data berdistribusi tidak normal sehingga menggunakan uji korelasi Wilcoxon dengan hasil sebagai berikut : Tabel 4.3 Perbedaan suhu tubuh pasien pasca operasi sebelum dan sesudah pemberian elemen penghangat cairan intravena Kelompok Suhu tubuh pasien sebelum Suhu tubuh pasien sesudah

Mean Rank 0.00 7.50

p_value 0,001

Berdasarkan analisa bivariat dengan menggunakan uji korelasi Wilcoxon maka didapatkan hasil Z Score sebesar -3.301 dengan p value sebesar 0,001 < 0,05 Jurnal SMART *Kebidanan/*Keperawatan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKes) Karya Husada Semarang www.stikesyahoedsmg.ac.id/ojs/index.php/sjkp(perawat)

5

VOL.4 NO.1 JUNI 2017

*ISSN: 2503-0388(PERAWAT)

sehingga Ho ditolak atau Ha diterima, ada perbedaan suhu tubuh pasien pasca operasi SC sebelum dan sesudah pemberian elemen penghangat cairan intravena (blood/infusion warmer) pada kelompok intervensi b. Perbedaan suhu tubuh pasien pasca operasi SC sebelum dan sesudah pemberian selimut pada kelompok kontrol Sebelum dilakukan analisa bivariat terlebih dahulu dilakukan uji normalitas untuk menentukan alat ukur yang akan digunakan dalam analisa bivariat. Hasil uji normalitas sebelum dan sesudah pemberian selimut pada kelompok kontrol didapatkan nilai p value 0,535 dan 0,165 < 0,05 sehingga dapat disimpulkan data berdistribusi normal sehingga menggunakan uji korelasi pairet t test dengan hasil sebagai berikut : Tabel 4.4 Perbedaan suhu tubuh pasien sebelum dan sesudah pemberian selimut Suhu tubuh pasien sebelum Suhu tubuh pasien sesudah

Mean range 1.586

p_value 0,135

Berdasarkan analisa bivariat dengan menggunakan uji korelasi pairet test maka didapatkan hasil mean range sebesar 1.586 dengan p value sebesar 0,135 < 0,05 maka Ha ditolak atau Ho diterima, tidak ada perbedaan suhu tubuh pasien pasca operasi SC sebelum dan sesudah pemberian selimut pada kelompok kontrol. 3. Perbedaan Sebelum dilakukan analisa bivariat terlebih dahulu dilakukan uji normalitas untuk menentukan alat ukur yang akan digunakan dalam analisa bivariat. Hasil uji normalitas perbedaan suhu tubuh pemberian elemen penghangat cairan intravena dan selimut didapatkan nilai p value 0,113< 0,05, sehingga dapat disimpulkan data berdistribusi normal sehingga menggunakan uji korelasi Independent Samples Test dengan hasil sebagai berikut : Tabel 4.5 Tabel Uji Korelasi Independent Samples Test Variabel t p_value perbedaan suhu tubuh pemberian elemen 6.156 0,000 penghangat cairan intravena dan selimut Berdasarkan analisa bivariat dengan menggunakan uji korelasi Independent Sample Test maka didapatkan hasil perbedaan suhu tubuh pemberian elemen penghangat cairan intravena dan selimut dengan p value sebesar 0,000< 0,05 maka dapat disimpulkan bahwa pemberian elemen penghangat cairan intravena kelompok intervensi lebih efektif dibandingkan dengan pemakaian selimut saja pada kelompok kontrol.

Jurnal SMART *Kebidanan/*Keperawatan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKes) Karya Husada Semarang www.stikesyahoedsmg.ac.id/ojs/index.php/sjkp(perawat)

6

VOL.4 NO.1 JUNI 2017

*ISSN: 2503-0388(PERAWAT)

B. Pembahasan 1. Analisa univariat Analisa univariat adalah analisis yang dilakukan untuk menganalisis tiap variabel dari hasil penelitian . Hasil dari penelitian ini adalah suhu tubuh pasien pasca operasi SC sebelum diberikan elemen penghangat cairan intravena pada kelompok perlakuan, suhu tubuh sesudah pemberian elemen penghangat cairan intravena pada kelompok kontrol, dan suhu tubuh pasien pasca SC sesudah diberikan elemen penghangat cairan intavena pada kelompok perlakuan dan suhu tubuh sesudah diberikan selimut saja pada kelompok kontrol. Bertujuan untuk mendeskrepsikan variabel suhu tubuh dalam bentuk tendensi sentral meliputi mean, median, modus dan standard deviasi sebelum dan sesudah pemberian elemen penghangat cairan intravena a. Suhu Tubuh Pasien Pasca Operasi SC Pada Kelompok Intervensi Berdasardasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa pasien pasca operasi SC di RS Pantiwilasa Citarum Semarang sebelum pemberian elemen penghangat cairan intravena mempunyai rata-rata suhu tubuh dan suhu tubuh terendah 34.50 tertinggi 36.7 sedangkan setelah dilakukan pemberian elemen penghangat cairan intravena suhu tubuh rata-rata 36,5, dan suhu tubuh terendah 35.5 tertinggi 37 Pasien yang menjalani operasi yang dilakukan pembiusan dengan tekhnik spinal anesthesia sering mengalami penurunan suhu tubuh setelah obat anestesi masuk ke dalam peredaran darah sampai terjadi menggigil. Sampai saat ini, mekanisme menggigil masih belum diketahui secara pasti. Menggigil pasca anestesi diduga disebabkan oleh empat hal yaitu(30) : 1). Hipotermi dan penurunan suhu inti selama anestesi yang disebabkan oleh karena kehilangan panas yang bermakna selama tindakan pembedahan dan suhu ruang operasi yang rendah. 2).Panas yang hilang dapat melalui permukaan kulit dan melalui ventilasi 3). Faktor-faktor yang berhubungan dengan pelepasan pirogen, tipe atau jenis pembedahan, kerusakan jaringan yang terjadi dan absorbsi dari produk- produk tersebut. 4).Efek langsung dari obat anestesi pada pusat pengaturan suhu di hipotalamus, yaitu menurunkan produksi panas. penyebab lain terjadinya menggigil pada tindakan anestesi spinal terjadi blok pada sistem simpatis sehingga terjadi vasodilatasi yang mengakibatkan perpindahan panas dari kompartemen sentral ke perifer, hal ini menyebabkan hipotermi 16. Diduga ada tiga penyebab terjadinya hipotermi pada anestesi spinal yaitu redistribusi panas internal dari kompartemen sentral ke perifer, hilangnya termoregulasi vasokontriksi dibawah ketinggihan blok serta berubahnya nilai ambang vasokontriksi dan nilai ambang menggigil17 Pengobatan pasien yang mengalami penurunan suhu tubuh harus mencakup ekspansi volume, dukungan cardiopulmonary dan rewarming (pemanasan). Beberapa intervensi untuk rewarming adalah dengan pemanasan aktif maupun pasif. Pemanasan pasif melibatkan isolasi efektif pasien, memungkinkan panas spontan metabolism pasien untuk mengembalikan suhu tubuh. Untuk pemanasan aktif ada dua macam yaitu pemanasan internal aktif dan pemanasan ekternal aktif .Untuk pemanasan internal aktif menggunakan elemen penghangat cairan intravena (Blood/infusion warmer).(16) Hal ini membuktikan mengapa pasien pasca operasi SC yang mengalami penurunan suhu tubuh akan meningkat setelah diberikan intervensi pemasangan elemen penghangat cairan intravena (Blood/infusion warmer) . b. Suhu tubuh pasien pasca operasi SC pada kelompok Kontrol

Jurnal SMART *Kebidanan/*Keperawatan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKes) Karya Husada Semarang www.stikesyahoedsmg.ac.id/ojs/index.php/sjkp(perawat)

7

VOL.4 NO.1 JUNI 2017

*ISSN: 2503-0388(PERAWAT)

Berdasardasarkan hasil penelitian maka dapat diketahui bahwa pasien pasca operasi SC di RS Pantiwilasa Citarum Semarang sebelum pemberian selimut mempunyai rata-rata suhu tubuh 35,4 dan suhu tubuh terendah 34.80 tertinggi 36.5 sedangkan setelah dilakukan pemberian selimut suhu tubuh rata-rata 36 dan suhu tubuh terendah 34.4 teringgi 36 Sebelum diberikan selimut, pasien pasca operasi SC yang dilakukan pembiusan dengan teknik spinal mengalami penurunan suhu tubuh karena efek langsung dari obat spinal anestesi yang telah dijelaskan di atas . Setelah diberikan selimut selama setengah jam hasil pengukuran suhu tubuhnya rata-rata hanya 34,5ºC Ini terjadi karena pemakaian selimut tidak terjadi penghantaran panas dari selimut ke dalam tubuh. Produksi panas hanya terjadi didalam tubuh, selimut hanya mencegah terjadinya pelepasan panas yang telah diproduksi oleh tubuh dan mencegah tubuh terpapar suhu dingin kembali(15) Hal ini sesuai dengan pernyataan dari Cuming and Janel (2007), dia menjelaskan ada tiga alasan mengapa selimut kurang maksimal dalam penanganan pasien pasca operasi SC yaitu : (1) Selimut hanya membungkus atau melindungi pasien dari kehilangan panas yang lebih parah ; (2) Proses penghangatan hanya mengandalkan produksi panas dari dalam tubuh saja, selimut hanya membantu mencegah keluarnya panas yang telah di produksi di dalam tubuh ; (3) Tidak terjadi perpindahan panas dari selimut tebal ke dalam tubuh pasien. 2. Analisa bivariat Analisa bivariat adalah analisis yang dilakukan untuk menganalisis hubungan dua variabel. Yaitu menganalisis pengaruh pemberian elemen penghangat cairan intravena terhadap suhu tubuh pasien pasca operasi SC pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol a. Perbedaan suhu tubuh pasien pasca operasi SC sebelum dan sesudah pemberian elemen penghangat cairan intravena (blood/infusion warmer) pada kelompok intervensi Ada perbedaan suhu tubuh pasien pasca operasi SC sebelum dan sesudah pemberia nelemen penghangat cairan intravena (blood/infusion warmer) pada kelompok intervensi. Pada pasien pasca operasi yang dilakukan pemasangan elemen penghangat caitran intravena cairan yang masuk akan selalu dalam keadaan hangat. sehingga dapat meminimalkan kejadian menggigil(15) Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Virgianti Nur Faidah, 2014 tentang Pengaruh pemberian cairan infus dengan NaCl hangat terhadap kejadian menggigil pada pasien operasi SC di kamar operasi Rumah Sakit Aisyiyah Bojonegoro. Hasil penelitian menunjukkan Suhu tubuh pasien yang diberi cairan infus suhu ruangan saat pasca operasi sebagian besar 66,66% mengalami hipotermi dan menggigil derajat 1-4, dan menggigil terbanyak pada derajat 3, 2) Suhu tubuh responden yang diberi cairan infus hangat saat pasca operasi sebagian besar 95,24% suhunya normal dan tidak mengalami menggigil, 3) Pemberian cairan infus hangat efektif menurunkan kejadian menggigil pada pasien pasca operasi SC dengan teknik spinal anestesi di Kamar Operasi RS Aisyiyah Bojonegoro, hasilnya Z= -4,219 dan p = 0,000 ( = 0,05). b. Perbedaan suhu tubuh pasien pasca operasi SC sebelum dan sesudah pemberian selimut pada kelompok kontrol Tidak ada perbedaan suhu tubuh pasien pasca operasi SC sebelum dan sesudah pemberian selimut pada kelompok kontrol. Pada pasien pasca operasi Jurnal SMART *Kebidanan/*Keperawatan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKes) Karya Husada Semarang www.stikesyahoedsmg.ac.id/ojs/index.php/sjkp(perawat)

8

VOL.4 NO.1 JUNI 2017

*ISSN: 2503-0388(PERAWAT)

yang hanya diberikan selimut saja tanpa intervensi penghangatan, maka cairan intravena yang masuk pada tubuh pasien mempunyai suhu pada kisaran suhu kamar, yaitu sekitar 25ºC atau bahkan kurang jika suhu ruangan diatur dingin, misalnya pada ruangan yang menggunakan AC. Cairan intravena yang dingin tersebut akan masuk ke dalam sirkulasi darah dan mempengaruhi suhu inti tubuh (core temperature).(15) Hal ini sesuai dengan pernyataan dari Cuming and Janel (2007), dia menjelaskan ada tiga alasan mengapa selimut kurang maksimal dalam penanganan pasien pasca operasi SC yaitu : (1) Selimut hanya membungkus atau melindungi pasien dari kehilangan panas yang lebih parah ; (2) Proses penghangatan hanya mengandalkan produksi panas dari dalam tubuh saja, selimut hanya membantu mencegah keluarnya panas yang telah di produksi di dalam tubuh ; (3) Tidak terjadi perpindahan panas dari selimut tebal ke dalam tubuh pasien. c. Perbedaan suhu tubuh kelompok intervensi elemen penghangat cairan intravena dan kelompok kontrol pemberian selimut saja Perbedaan suhu tubuh kelompok intervensi elemen penghangat cairan intravena dan kelompok kontrol pemberian selimut . Pemberian elemen penghangat cairan intravena kelompok intervensi lebih efektif dibandingkan dengan pemakaian selimut pada kelompok kontrol. Perbedaan ini disebabkan karena pada pemakaian selimut tidak terjadi penghantaran panas dari selimut ke dalam tubuh. Produksi panas hanya terjadi didalam tubuh, selimut hanya mencegah terjadinya pelepasan panas yang telah diproduksi oleh tubuh dan mencegah tubuh terpapar suhu dingin kembali seperti yang sudah dijelaskan di atas. Sedangkan pada kelompok intervensi yang diberikan elemen penghangat cairan intravena cairan infuse yang masuk ke dalam peredaran darah akan selalu hangat. Infusion/Blood Warmer adalah perangkat yang ditujukan untuk menghangatkan darah/cairan sebelum terapi transfus/cairan. Konsep utama alat ini adalah penggunaan perbedaan sinyal suhu untuk pemanasan darah yang dingin yaitu perbedaan temperature tubuh pasien dan dari kantong darah. Perbedaan temperature ini akan memberikan sinyal sebagai masukan untuk rangkaian pemanas yang akan memberikan panas. Suhu tubuh normal manusia adalah 37oC.(15) Pemberian infus hangat ini mudah dilaksanakan, murah dan tidak menimbulkan efek samping yang berbahaya atau aman. Setelah dilakukan observasi pada saat pasca operasi sebagian besar responden suhunya normal dan tidak menggigil.Sehingga pemberian elemen penghangat cairan intavena lebih efektif pada kelompok intervensi dibandingkan dengan pemberian selimut saja pada kelompok kontrol

Jurnal SMART *Kebidanan/*Keperawatan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKes) Karya Husada Semarang www.stikesyahoedsmg.ac.id/ojs/index.php/sjkp(perawat)

9

VOL.4 NO.1 JUNI 2017

*ISSN: 2503-0388(PERAWAT)

KESIMPULAN A. Kesimpulan 1. Pasien pasca operasi SC di RS Pantiwilasa Citarum Semarang sebelum pemberian elemen penghangat cairan intravena mempunyai rata-rata suhu tubuh dan suhu tubuh terendah 34.5 tertinggi 36.7 sedangkan setelah dilakukan pemberian elemen penghangat cairan intravena suhu tubuh rata-rata 36,5 dan suhu tubuh terendah 35.5 tertinggi 37 2. Pasien pasca operasi SC di RS Pantiwilasa Citarum Semarang sebelum pemberian selimut mempunyai rata-rata suhu tubuh 35,4 dan suhu tubuh terendah 34.8 tertinggi 36.5 sedangkan setelah dilakukan pemberian selimut suhu tubuh rata-rata 36,0 dan suhu tubuh terendah 34.40 tertinggi 36 3. Ada Perbedaan suhu tubuh pasien pasca operasi SC sebelum dan sesudah pemberian elemen penghangat cairan intravena (blood/infusion warmer) pada kelompok intervensi 4. Tidaka ada perbedaan suhu tubuh pasien pasca operasi SC sebelum dan sesudah pemberian selimut pada kelompok kontrol. 5. Pemberian elemen penghangat intravena kelompok intervensi lebih efektif dibandingkan dengan pemakaian selimut pada kelompok kontrol.. B. Saran a. Bagi RS Panti wilasa Citarum Semarang Penggunaan elemen penghangat cairan intravena hendaknya selalu digunakan untuk semua pasien pasca operasi yang mendapatkan pembiusan dengan teknik spinal terutama untuk pembedahan abdomen bersamaan dengan metode penghangat dari luar seperti selimut atau cara lain, untuk meminimalisir suhu tubuh pasien pasca operasi b. Bagi peneliti Penelitian ini dapat dikembangkan misalnya dengan membandingkan elemen penghangat cairan intravena (Blood/infusion warmer) dengan warm balanket (selimut penghangat) dalam meminimalisir gejala hipotermi pada pasien pasca operasi dengan teknik pembiusan spinal dan pembedahan abdomen. c. Keperawatan Medikal Bedah Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi dasar dalam pengembangan ilmu dan keterampilan keperawatan, khususnya dalam pemenuhan kebutuhan rasa nyaman pada pasien pasca operasi SC d. Bagi Institusi Pendidikan Penelitian ini diharapkan dapat menigkatkan wawasan keilmuan peserta didik dalam mengaplikasikan hasil yang didapatkan dari hasil penelitian terutama pada Keperawatan maternitas dan Keperawatan Medical Bedah DAFTAR PUSTAKA 1. Wiknjosastro. 2010. Buku panduan Praktis Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal, Edisi 1. Cet. 12. Jakarta : Bina Pustaka. 2. Himendra, A., 2007. Perbandingan Efektivitas antara Tramadol 1 mg/kg dan Meperidin 0,5 mg/kg Intravena untuk Pencegahan Menggigil Pascabedah Transurethral Resection of the Prostate (TURP) dengan Anestesi Epidural. Anest.& Crit.Care. 25 (2): 139-48.

Jurnal SMART *Kebidanan/*Keperawatan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKes) Karya Husada Semarang www.stikesyahoedsmg.ac.id/ojs/index.php/sjkp(perawat)

10

VOL.4 NO.1 JUNI 2017

*ISSN: 2503-0388(PERAWAT)

3. Guyton A.C. and J.E. Hall 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 9. Jakarta: EGC 4. Depkes RI.2012. Profil Kesehatan Republik Indonesia Tahun 2012. 5. Cunningham, F G,dkk., 2005. Obstetri Williams Volume I. Jakarta : EGC 6. Yulaikhah, Lily. 2008. Kehamilan. Jakarta : EGC 7. Kliegman, (2007). Comparasion of Ondansentron and Meperidine For Prevention of Shivering In Patients Undergoing Spinal Anesthesia, Regional Anesthesia and Pain Medicine. Cand. J. Anaest. 31: 40-45. 8. Potter Perry (2009). Fundamental of Nursing, Buku 1, Edisi : 7, Salemba Medika : Jakarta 9. Muttaqin., 2009. Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem Kardiovaskular dan hematologi. Salemba Medika, Jakarta 10. Inaba K, et.al, (2009). Psikologi untuk Keperawatan. Cetakan I. Editor Monica Ester. Jakarta : EGC 2004. 11. Gutierrez dan Baptista (2006) Thermoregulatory Threshold during Epidural and Spinal Anesthesia. Anesth. 81: 282-8. 12. Setio H.dr. dan Rohani. (2010). Panduan Praktik Keperawatan Nosokomial. Pt. Inta Sejati, Klaten, Indonesia. 13. Minarsih (2009). Terapi Intravena pada Pasien di rumah sakit. Yogyakarta: Nuha Medika. 14. Buggy, D.J. ; Crossley, A.W.A., 2010. Thermoregulation, Mild Perioperative Hypothermia and Pos 15. Cunningham, F Gary. et all. 2010. Obstetri Williams 23rded. USA : The McGraw-Hill Companies, Inc. 16. Joy, (2014). Tramadol revisited. Br. J. Anaesth. 82:493-5. 17. (Sukowati et al, 2010). Demam Berdarah Dengue. Buletin Jendela Epidemiologi. Agustus 2010;Volume 2. 18. Wiknjosastro, Hanifa. 2009. Ilmu Kebidanan . Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo 19. Jauhar. M & Bararah. T. (2013). Asuhan keperawatan : Panduan Lengkap Menjadi Perawat Profesional. Jakarta : Prestasi Pustaka. 20. (Hanel,2013). Nursing Research: Principles and Methods.(5th ed.). Philadelphia: J. B. Lippincott Company. 21. WHO (2012) Angka Kematian Bayi. Amerika: WHO

Jurnal SMART *Kebidanan/*Keperawatan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKes) Karya Husada Semarang www.stikesyahoedsmg.ac.id/ojs/index.php/sjkp(perawat)

11

VOL.4 NO.1 JUNI 2017

*ISSN: 2503-0388(PERAWAT)

22. Orun (2010). Principles and Practice of Phychiatric Nursing (6th ed.). Missouri: Mosby Inc. 23. Thompson, D.E. (1995). Maternity and Pediatric Nursing (5th ed.). America: W.B. Powder Company 24. Christine, M. (2010). Hubungan Dukungan Keluarga dengan Respon Cemas Anak Usia Sekolah terhadap Pemasangan Intravena di Rumah Sakit Advent Medan. Skripsi. Tidak dipublikasikan. USU, Medan 25. Dougherty; Bravery, K; Gabriel, J; Kayley, J; Scales, K; & Inwood, S. Standards for Infusion Therapy. The RCN IV Therapy Forum 2010. 26. Potter & Perry, (2010). Ketrampilan Dan Prosedur Dasar Intravena. Jakarta: Kedokteran

Buku

27. Abdo, 2008). Ilmu Kedokteran Jiwa Darurat.Jakarta: Widya Medika. 28. Setiadi. (2007). Konsep Yogyakarta: Graha Ilmu.

dan

Penulisan

Riset

Keperawatan

(Edisi

Pertama).

29. Grant, (2015). Hal-hal yang berkaitan dengan kejadian Flebitis di Ruang Rawat Inap. 30. Herdman,H.T. (2012). Diagnosis Keperawatan Defenisidan Klasifikasi. Jakarta : EGC 31. Darmadi. (2010). Rata-Rata Lama Hari Pemasangan Infus Dalam Terjadinya Flebitis Pada Pasien Yang Dipasang Infus Di Rsup Haji Adam Malik Medan. Universitas Sumatra Selatan. http:www. digilib.unimus.ac.id/download.php?id=12249. Diperoleh tanggal 11 November 2013. 32. Perry.P. (2006). Ketrampilan Dan Prosedur Dasar Intravena. Jakarta: Buku Kedokteran : EGC 33. Darmadi. (2008). Infeksi Nosokomial:Problematika dan Pengendaliannya. Jakarta : Salemba Medika. 34. Smeltzer. (20120). Standart Operasional Prosedur Pemasangan Infus Intravena. http:www.jurnal.pdii.lipi.go.id/index.php/Search.html?act=tampil&id. Di akses tanggal 11 November 2013. 35. Anonim.(2010). Pedoman Penelitian Kualitatif.[Online]. Tersedia: http://waskitamandirik.wordpress.com/2010/06/29/pedoman-penelitian-kualitatif-studikasus/.[27 Juli 2012] 36. Suddarth, & Brunner. Kedokteran : EGC

(2003),

Keperawatan

Medical

Bedah.

Jakarta:

Buku

37. Saryono, dkk., (2013). Statistik Deskriptif Untuk Kesehatan. Yogyakarta: Nuha Medika 38. Riyanto.A. (2013). Statistik Deskriptif Untuk Kesehatan. Yogyakarta: Nuha Medika Jurnal SMART *Kebidanan/*Keperawatan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKes) Karya Husada Semarang www.stikesyahoedsmg.ac.id/ojs/index.php/sjkp(perawat)

12

VOL.4 NO.1 JUNI 2017

*ISSN: 2503-0388(PERAWAT)

39. Hidayat. A.A, dk. (2009). Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta : Buku Kedokteran 40. Notoadmojo,S,, 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta 41. Saryono, (2011). Konsep dan Penerapan metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan. Jakarta : Salemba Medika.

Jurnal SMART *Kebidanan/*Keperawatan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKes) Karya Husada Semarang www.stikesyahoedsmg.ac.id/ojs/index.php/sjkp(perawat)

13

Related Documents


More Documents from "Juniafi Maulidiyah"

Bab Iii.docx
December 2019 14
Jurnal Desminore.docx
December 2019 15
Bab-2-pola-makan-dm.docx
April 2020 17
Bab_ii_madu_jadi.doc
December 2019 8