Artikel Ilmiah Komunikasi Politik.docx

  • Uploaded by: Juniafi Maulidiyah
  • 0
  • 0
  • November 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Artikel Ilmiah Komunikasi Politik.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 2,575
  • Pages: 8
ABSTRAK PENGARUH MEDIA TERHADAP SISTEMATIKA KOMUNIKASI POLITIK PUBLIK DI INDONESIA

Maulidiyah S, Juniafi. 2017. Pengaruh Media Terhadap Sistematika Politik Publik di Indonesia. IAIN Tulungagung. Dosen Pengampu: Ucik Ana Fardilla. M.Kom

Kata Kunci: Media, Sistematika, Komunikasi, Politik, Komunikasi Politik, Publik, Indonesia.

Dunia telah banyak mengalami perkembangan. Entah itu perkembangan dalam ranah pemikiran manusia ataupun dalam ranah sumber daya manusia itu sendiri (SDM). Namun banyak terlihat dalam perjalanan perkembangan politik di Indonesia juga banyak mengalami perkembangan. Begitu banyak perbincangan politik yang banyak dibahas. Setiap kehidupan pasti tidak bisa terlepas dari politik. Dimana dalam ranah ini, komunikasi politik berperan sangat penting demi berlangsungnya politik itu sendiri. Dalam bukunya yang berjudul ‘Komunikasi Sosial Di Indonesia’, S Susanto mengatakan bahwa pengertian komunikasi politik adalah komunikasi yang diarahkan kepada pencapaian suatu pengaruh sedemikian rupa, sehingga yang dibahas dalam pembahasan komunikasi politik ini sendiri adalah jenis kegiatan komunikasi yang dapat mengikat semua warganya melalui suatu saksi yang ditentukan bersama oleh lembaga-lembaga politik (1989:9). Bulan November ini banyak sekali pembahasan mengenai perbincangan politik yang kerap kali terlihat diberbagai media. Beberapa portal yang di amati penulis adalah portal mengenai isu intoleransi, agenda politik pemerintah, dan isu-isu mengenai tragedi G30S/PKI yang padahal isu tersebut sudah bosan untuk diperbincangkan kembali. Maka untuk itu penulis melakukan adanya analisis kepada setiap portal untuk mengetahu apakah ada isu-isu politik lebih lanjut. Kajian paper ini menggunakan kajian pustaka (Library Research) dimana kajian yang mengutamakan buku-buku atau sumber kepustakkan sebagai teknik dokumentasi dengan cara menggali informasi dari buku, makalah, majalah dan yang lain yang memiliki relevansi dengan tema kajian (Moleong, 1989:4). Dan alur kajian ini mengikuti skema sebagai berikut: 1) Kajian terhadap portal-portal yang berkaitan dengan isu politik. 2) Membuat sebuah analisis dari beberapa portal dan wacana-wacana tentang komunikasi politik. Dan benang merah dari penjabaran pembahasan diatas bahwasanya dari setiap portal mengandung adanya komunikasi politik. Dari perkataan Jendral Gatot dari hasil wawancaranya dapat dianalisis bahwa jendral gatot sedang mengupayakan adanya pengimporan senjata sebanyak 5000, akan tetapi ketika diminta keterangan media Jendral Gatot malah menampik akan hal itu. Serta adanya tayangan G30S/PKI yang ditayangkan dan diperlihatkan kepada anak-anak dibawah ini dapat mengganggu psikologis anak jika tidak ada arahan dari para orang tua.

PENDAHULUAN Dunia telah banyak mengalami perkembangan. Entah itu perkembangan dalam ranah pemikiran manusia ataupun dalam ranah sumber daya manusia itu sendiri (SDM). Namun banyak terlihat dalam perjalanan perkembangan politik di Indonesia juga banyak mengalami perkembangan. Begitu banyak perbincangan politik yang banyak dibahas. Setiap kehidupan pasti tidak bisa terlepas dari politik. Dimana dalam ranah ini, komunikasi politik berperan sangat penting demi berlangsungnya politik itu sendiri. Dalam bukunya yang berjudul ‘Komunikasi Sosial Di Indonesia’, S Susanto mengatakan bahwa pengertian komunikasi politik adalah komunikasi yang diarahkan kepada pencapaian suatu pengaruh sedemikian rupa, sehingga yang dibahas dalam pembahasan komunikasi politik ini sendiri adalah jenis kegiatan komunikasi yang dapat mengikat semua warganya melalui suatu saksi yang ditentukan bersama oleh lembaga-lembaga politik (1989:9). Bulan November ini banyak sekali pembahasan mengenai perbincangan politik yang kerap kali terlihat diberbagai media. Beberapa portal yang di amati penulis adalah portal mengenai isu intoleransi, agenda politik pemerintah, dan isu-isu mengenai tragedi G30S/PKI yang padahal isu tersebut sudah bosan untuk diperbincangkan kembali. Maka untuk itu penulis melakukan adanya analisis kepada setiap portal untuk mengetahu apakah ada isu-isu politik lebih lanjut. Rumusan masalah yang akan dibahas dalam artikel ilmiah ini beberapa diantaranya adalah apakah Jendral Gatot Nurmantyo sedang melakukan komunikasi politik?, apakah agenda pemerintah terhadap adanya isu intoleransi, masa pemerintahan orde baru, dan dengan adanya isu G30S/PKI?. Bagaimanakah peranan media sebagai watchdog, spectator, servant, dan stricter?, serta makna intrinsik apa yang tersirat dari perkataan Jendral Gatot Nurmantyo dari setiap wawancara yang berada di setiap portal. Dasar pemikiran penulis berasal dari adanya rumusan masalah diatas, tentunya artikel ilmiah ini memiliki tujuan untuk mengetahui bagaimana saja ranah dalam politik, untuk memahami seluk-beluk politik lebih mendalam, dan untuk memperluas wawasan politik dari berbagai media. Dari setiap isu pembahasan politik tentu banyak sekali makna-makna yang sebenarnya terselubung didalam, maka untuk itu sangat perlu dilakukan analisis lebih mendalam dari beberapa portal yang diperoleh penulis. Penelitian atas artikel ilmiah ini adalah dengan menggunakan library research (penelitian pustaka).

PEMBAHASAN Sebelum kedalam pembahasan yang jauh lebih dalam, penulis ingin menyajikan sebuah wacana mengenai tayangan G30S/PKI. Berdasarkan dari pengamatan penulis Sabtu, 30 Novermber 2017 Indonesia kembali digencarkan dengan sorak-sorak tentang G 30S PKI. Dimana konon katanya G 30S PKI adalah sebuah tragedi pengkhianatan Gerakan 30 Semptember, dimana sekolompok golongan Gerakan 30 September PKI yang mengkhianati 7 pahlawan dimana gerakan itu mencoba mengkhianati Pancasila yang sakti. Dimana kejadian itu terjadi pada tanggal 16 Januari 1965 sekitar waktu ba’da sholat Maghrib di Desa Kanigoro yang tidak jauh dari Kota Kediri. Dimana pada saat itu para golongan PKI membunuh salah seorang Kyai dan membedah-bedah Al-Qur’an. Dimana pada saat itu adalah permasalahan sengketa tanah milik negara yang digarap oleh petani. Berdasarkan hasil pengamatan penulis terhadap tayangan G 30 S PKI, ternyata skandal yang dilakukan oleh golongan gerakan 30 September PKI adalah skandal yang ternyata di dalangi oleh Soekarno yang kemudian tidak disetujui oleh ABRI, kenapa kok tidak di setujui? Karena pada saat itu Soekarno tengah mendirikan gerakan ganyang Malasya, dimana saat gerakan ganyang Malaysa itu Soekarno memerintahan TNI untuk perang melawan Malaysa, tapi pada saat itu tentara tidak mau berperang melawan karena mereka sadar bahwa ekonomi Indonesia saat itu sedang buruk dan persenjataan TNI masih kurang. Nah mereka para TNI berpikir apabila maju ke Medan Perang, maka mereka harus membeli senjata dan jika mereka membeli senjata maka keadaan Indonesia akan semakin terpuruk dan selain itu karena pada saat itu Malaysya masih baru merdeka maka jelas pada saat itu tentara mereka masih dibawah pegangan tentara Inggris, jadi semisal Indonesia berperang melawan Malaysya maka sama saja Indonesia berperang melawan Inggris. Tetapi karena pada saat itu perintah langsung turun dari Soekarno yang saat itu beliau menjadi Presiden, mau tidak mau tentara harus melakukan perang dan perang mereka dengan agak malas-malasan. Dan yang mendukung Soekarno untuk melakukan perang pada saat itu adalah para PKI itu. Kemudian ada lagi pendapat yang kedua yang mengatakan bahwa dalang dari gerakan G 30 S PKI itu adalah Soekarno karena pada saat itu Soekarno menempati pimpinan di posisi Kostard, dan memang antara fraksi tentara dan fraksi TNI itu tidak pernah akur yang mana bisa jadi Soeharto ingin menggulingkan PKI pada saat itu atau

bisa jadi juga Soeharto ingin menggulingkan Soekarno yang pada saat itu memihak PKI dan itu terlihat dalam sejarah dimana pada saat malam pembantaian 24 jam, dipagi hari Soeharto sudah tau dan bersiap-siap untuk menyerang PKI, nah dari sekian pemimpin tentara, kenapa soeharto tidak diserang? Dimana persongkolan ini membuat Amerika geram sedangkan di Indonesia banyak sekali SDA yang bisa dieksplore sehingga bisa jadi Soeharto bersekongkol dengan CIA untuk menjatuhkan Soekarno, dan hal itu terbukti setelah masa pemerintahan Soekarno tumbang digantikan dengan Soekarno yang mana pada saat itu freeport menjadi bagian milik Amerika. Jadi penulis menarik benang merah bahwa Soekarno lebih dekat dengan PKI, dimana maksudnya Soekarno dan PKI itu sendiri-sendiri tapi ada kedekatan ideologi. Dimana Soekarno adalah orang yang sosialsis sedangkan PKI itu lebih ke komunis. Soeharto sendiri itu basisnya militer dan tidak dekat dengan Bung Karno, selain itu Soeharto tidak suka dengan PKI yang mendekati Bung Karno. CIA tidak suka dengan Bung Karno sehingga kerja sama dengan Soeharto untuk menghancurkan PKI dan menumbangkan Bung Karno. Jadi inti dari skandal ini adalah pertarungan politik idelogi dan ada unsur ekonomi. Selain itu, Bertepatan tanggal 30 November 2017 lalu masyarakat Indonesia kembali di ramaikan dengan hal “Nonton Bareng Film G 30 S/PKI”. Banyak media yang memberitakan tentang hangatnya perbincangan G 30 S PKI dan filmnya yang akan ditayangkan untuk ditonton bersama. Beberapa pekan lalu, penulis menjumpai beberapa portal yang mempublikasikan tentang pembicaraan mengenai G 30 S PKI, dimana didalam portal itu terdapat salah satu profil tokoh TNI Jenderal Gatot Nurmantyo sedang melakukan komunikasi politik. Menurut Dan Nimmo ia mengatakan bahwa komunikasi politik dikatakan oleh sekelompok pemimpin dan yang dibicarakan adalah konteks politik (Dan Nimmo, 2005:26) Dari setiap artikel yang telah penulis amati, Jendral Gatot Nurmantyo memiliki nilai intrinsik yang tersembunyi dari setiap artikel yang muncul. Pertama, di artikel pertama yang berjudul “Awas Ada Udang Di Balik Isu Toleransi”, Jendral Gatot Nurmantyo mengatakan bahwa isu intoleransi yang belakangan ini ada karena dibuat sengaja untuk memecah belah Indonesia, menurut Jendral Gatot intoleransi dimainkan bukan tanpa sebab jika melihat kekayaan alam Indonesia yang berlimpah. Dalam dialognya ini dapat diketahui bahwa makna intrinsik yang tersirat

didalam dialognya adalah bahwa beliau ingin pemerintah segera menindak lanjuti isu ini agar tidak berkelanjutan dan agar kekayaan bumi di Indonesia tidak terancam. Kedua, di dalam artikel yang berjudul “Panglima TNI Perintahkan Prajuritnya Teladani Soeharto”, Jendral Gatot Nurmantyo kembali muncul, namun kali ini lebih kepada pembahasan G 30 S PKI, dimana didalam artikel itu tertera tanggal 29 September 2017, dimana sehari kemudian tanggal bersejarah mengenai G 30 S PKI. Dalam wawancaranya Jendral Gatot Nurmantyo mengatakan bahwa beliau memerintahkan prajuritnya untuk meneladani perjuangan Soeharto sejak 1 Maret hingga menjadi Presiden. Walaupun Jendral Gatot Nurmantyo hanya mengetahui cerita Soeharto dari para orang tua, bahkan dari cerita orang tuanya sendiri, beliau bisa menarik kesimpulan bahwa sosok Soeharto adalah sosok prajurit yang terus dipantau perkembangannya, bahkan ketika serangan pada tanggal 1 Maret Soeharto sukses melakukan aksinya. Dari sini dapat penulis analisis bahwa Jendral Gatot Nurmantyo melakukan komunikasi politik propaganda dengan teknik Glittering Generalities, dimana teknik ini digunakan dengan cara mengasosiasikan sesuatu dengan suatu kata bijak yang digunakan untuk membuat pendengar menerima dan menyetujui hal itu tanpa memikirkannya terlebih dahulu, terlebih-lebih bisa jadi juga teknik ini digunakan kepada prajuritnya, hal ini disebutkan oleh Nurudin dalam bukunya yang berjudul Komunikasi Propaganda (2002:31). Ketiga, didalam artikel yang berjudul “Itu Perintah Saya, Mau Apa?” Jendral Gatot Nurmantyo di dalam artikel di katakan bahwa beliau tidak ambil pusing atas polemik pemutaran film G30S/PKI dilingkup internal institusinya. Beliau juga menyatakan bahwa Mendagri sudah mengizinkan dia memerintahkan seluruh anggotanya menonton film garapan era Orde Baru tersebut. Kata beliau juga pemutaran film ini dilakukan demi mengungkap kebenaran dan meluruskan sejarah, karena menurut Gatot anak-anak prajuritnya pun tidak banyak tahu tentang kebenaran yang ada pada saat itu. Menurut analisa penulis dari kata-kata yang diucapkan Gatot bahwa ‘Presiden Soekarno sendiri pernah memberi pesan untuk tidak melupakan sejarah. "Sejarah itu jangan mendiskreditkan. Ini hanya mengingatkan pada anak bangsa, jangan sampai peristiwa itu terulang. Karena menyakitkan bagi semua pihak. Dan korbannya sangat banyak sekali”. Dimana bisa jadi ini adalah salah satu dialog yang sengaja ia utarakan dengan baik untuk mengatasnamakan kebaikan dari perkataan soekarno, karena pada saat itu Gatot tengah melakukan ziarah ke makam Bung Karno di Blitar, namun bisa jadi tanpa

disangka-sangka beliau malah mendukung Soeharto secara tidak langsung dimana Gatot sendiri adalah seorang TNI. Keempat, didalam artikel yang berjudul “Bunuh PKI Bunuh PKI” dimana soraksorak itu diteriakkan oleh sekelompok anak kecil yang tengah nobar film lawas G30S/PKI di sebuah gang di RW 4 kelurahan Paseban, Jakarta Pusat. Dimana pemutaran film ini diikuti oleh semua kalangan warga. Berdasarkan analisis penulis seharusnya tayangan film G30S/PKI tidak secara langsung ditayangkan di depan anak-anak usia dini, karena itu akan mengganggu cara berpikir psikologisnya, dan apabila dilihat dari segi penayangan media, hal itu sebaiknya tidak dilakukan, karena berdasarkan penelitian menonton tayangan yang bersifat kekerasan dapat mempengaruhi tingkat psikologis, apalagi film ini berdurasi kurang lebih 2 jam. Dan parahnya tayangan ini ditonton oleh anak-anak yang mana dapat mengganngu proses psikologis mereka dari tayangan kekerasan yang ada, karena anak-anak cenderung menangkap mentah-mentah apa yang mereka lihat. Hal ini sangat mengkhawatirkan dari adanya teriakan mereka yang meneriakkan ‘Bunuh PKI’, bisa jadi jika para orang tua tidak mengarahkan dan memberikan penjelasan, maka anak-anak akan salah persepsi. Masuk kedalam pembahasan isu intolerasi, sebenarnya isu intoleransi ini sangat jelas memperlihatkan adanya agenda politik. Sebenarnya Politik juga sering melawan, mengintimidasi, dan menghancurkan agama. Dengan kata lain, hubungan sekaligus nasib agama dan politik akan ditentukan oleh otoritas mana yang paling kuat dan dominan dari keduanya serta bagaimana watak dan karakter para elit politik dan elit agama yang kebetulan berkuasa. Jika politik menjadi “superordinat”, maka agama akan berpotensi menjadi “subordinat”. Begitu pula sebaliknya. untuk yang mana sebenarnaya Agenda politik pemerintah terhadap isu toleransi tidak lain adalah untuk menjaga sumber daya alam Indonesia yang sangat berlimpah, seperti yang dikatakan oleh Gatot dalam wawancaranya bahwa isu intoleransi terjadi atas kesengajaan agar memecah belah Indonesia. Masuk kedalam pembahasan rezim orde baru dapat diulas bahwa pada saat itu Presiden Suharto tidak melirik kelompok Islam meskipun pada awalnya mereka digandeng untuk mengantarkan jalan kekuasaan. Pak Harto lebih tertarik menggandeng kelompok abangan-kejawen dan kalangan militer. Baru pada awal 1990-an, ia tertarik “melirik” Islam dengan menggaet kelompok kelas menengah teknokrat di bawah bendera

ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia) setelah terjadi friksi dengan sejumlah petinggi militer. Pak Harto dulu juga tidak memberi ruang gerak secuilpun untuk perkembangan “Islam politik” meskipun mendukung gerakan “Islam kultural” yang apolitis. Hal yang perlu diselidiki lebih jauh adalah apa yang ada di balik strategi media arus utama melalui kampanye toleransi ini. Apakah konten toleransi di media bertujuan untuk mengubah pandangan mereka yang tidak toleran, atau mengukuhkan pandangan khalayak yang memang sudah nyaman dan terbiasa dengan menghargai perbedaan?. Stuart Hall (Dalam Laughey, 2007) menekankan bahwa proses pemaknaan pesan media oleh khalayak tidak akan menghasilkan makna yang tunggal. Khalayak dapat menyetujui pesan media, menolak mentah-mentah, atau hanya menyetujui sebagian pesan yang disampaikan. Meskipun teori Hall menyatakan bahwa sulit sekali bagi media untuk berhasil menciptakan pesan yang disetujui secara universal oleh khalayak, teori ini tidak mengatakan bahwa khalayak merupakan subjek yang bebas dalam menciptakan makna. Sebaliknya, Hall menyatakan bahwa hasil pemaknaan khalayak atas pesan didiktekan oleh hal lain, yakni ideologi mereka masing-masing. Dengan mengaplikasikan teori Stuart Hall untuk melihat tampilan toleransi di media, kita dapat menduga bahwa respon khalayak akan terbagi menjadi sejumlah kubu yang bertentangan. Di satu sisi, terdapat kelompok yang menemukan artikulasi posisi politik mereka dalam memperjuangkan toleransi. Di sisi lain, sejumlah kelompok dapat memandang toleransi sebagai nonsens yang tidak dapat mereka identifikasi dengan diri mereka sendiri—atau lebih jauh, melihat toleransi sebagai Setelah Pak Harto tumbang pada 1998, keran kebebasan berekspresi dan berserikat yang dulu ditutup rapat, kini pun dibuka kembali lebar-lebar. Akibatnya, Indonesia seperti kebanjiran kelompok-kelompok Islam ekstrim-konservatif. Dimana dalam lingkup pembahasan ini saling terkait dengan munculnya kelompok yang menyebabkan intoleransi. Dimana kasus isu intoleransi ini mereka yang dulu bersembunyi karena ketakutan dengan politik otoriter-militer Pak Harto, kini bermunculan bak cendawan di musim hujan. Meski banyak sisi positif-konstruktif di era

post-Suharto ini seperti tumbuh-berkembangnya demokrasi dan kebebasan sipil tetapi ada sejumlah sisi negatif-destruktif. Merebaknya para “penumpang gelap” demokrasi seperti kelompok-kelompok Islam garis keras (Muslim hardliners) yang intoleran, anti-pluralisme, kontrakebangsaan, mau menangnya sendiri, serta menggunakan berbagai tindakan dan cara kekerasan untuk memuluskan agenda dan kepentingan kelompoknya hanyalah sekelumit contoh dari sisi negatif-destruktif. Dalam hal ini agenda politik pemerintah sangat jelas terlihat bahwa pemerintah ingin melakukan adanya proses pemerintahan seperti apa yang pernah terjadi pada masa orde baru. Selanjutnya agenda politik pemerintah dengan adanya isu G30S/PKI adalah ingin mengimpor senjata dari luar, karena dengan alasan takutnya kejadian G30S/PKI terjadi lagi. Pembahasan terakhir adalah analisis mengenai portal yang terkait termasuk kedalam fungsi media sebagai apa. portal pertama dapat dianalisis bahwa portal tersebut masuk ke dalam katergori spectator, sedangkan portal kedua, ketiga dan keempat berfungsi sebagai servant.

KESIMPULAN Dari berbagai ulasan penjabaran analisis yang dilakukan penulis terhadap beberapa portal yang ada, dapat ditarik benang merah bahwasanya dari setiap portal mengandung adanya komunikasi politik. Dari perkataan Jendral Gatot dari hasil wawancaranya dapat dianalisis bahwa jendral gatot sedang mengupayakan adanya pengimporan senjata sebanyak 5000, akan tetapi ketika diminta keterangan media Jendral Gatot malah menampik akan hal itu. Serta adanya tayangan G30S/PKI yang ditayangkan dan diperlihatkan kepada anak-anak dibawah ini dapat mengganggu psikologis anak jika tidak ada arahan dari para orang tua.

Related Documents


More Documents from "siska rahayu"