Agama Dan Negara.docx

  • Uploaded by: mega pebriyanto
  • 0
  • 0
  • October 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Agama Dan Negara.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 3,111
  • Pages: 9
BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Agama di negeri ini diposisikan pada tempat yang sangat strategis. Sekalipun disebutkan bahwa Indonesia bukan sebagai negara yang berdasarkan agama, tetapi pemerintah memberikan perhatian yang sedemikian luas dan besar terhadap kehidupan beragama. Sejak lahir, pemerintah negeri ini menunjuk satu departemen tersendiri yang bertugas melakukan pembinaan dan pelayanan terhadap semua agama yang ada, yaitu Departemen Agama. Lebih dari itu, pelaksanaan ritual agama pun mendapatkan perhatian dan pelayanan dari pemerintah. Seperti misalnya penyelenggaraan ibadah haji, puasa di bulan ramadhan, pemerintah ambil bagian dalam penentuan awal dan akhir bulan ramadhan. Demikian pula pada peringatan hari besar keagamaan, semua agama, dijadikan sebagai hari libur nasional. Lebih dari itu, simbol keagamaan misalnya mulai dari yang paling sederhana, bahwa hampir setiap pejabat pemerintah tatkala memulai pidato memberikan nuansa agama, misalnya mengucapkan salam dan memuji Tuhan, dengan menggunakan cara Islam bagi pejabat muslim, dan begitu pula bagi agama lainnya Ayat- ayat suci al Qur‟an banyak disitir atau dijadikan referensi dalam berbagai pidato oleh para pejabat pemerintah. Memang dalam beberapa hal, ada sementara pihak menuntut lebih dari itu. misalnya, agar hukum Islam dijadikan sebagai dasar hukum positif. Usulan ini selain didasarkan atas pertimbangan bahwa kaum muslimin merupakan mayoritas penduduk negeri ini, juga dijamin bahwa jika usulan itu disetujui maka pemeluk agama lain tetap akan terlindungi. Hal itu sangat dimungkinkan, kerena hukum Islam sesungguhnya akan melindungi siapapun, termasuk bagi mereka yang memeluk agama lain. Begitu pula, muncul isu di wilayah yang mayoritas masyarakatnya beragama nasrani, mengajukan tuntutan serupa. Aspirasi tersebut sampai saat ini belum mendapatkan respon. Keinginan itu agaknya sulit dipenuhi atas dasar pandangan bahwa negeri ini bukan berdasar agama, melainkan Pancasila dan UUD 1945. Agama tidak dijadikan sebagai dasar mengatur negara, tetapi agama diposisikan sebagai pedoman berperilaku dalam kehidupan bermasyarakat sehari-hari. Namun nilai-nilai universal agama, seperti keadilan, kejujuran, saling menghormati sesama, kasih sayang, kebersamaan, bermusyawarah, dan lain-lain dijadikan sebagai sumber atau ruh dalam menyusun berbagai aturan, pedoman, dan bahkan undang-undang negara.

BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian Agama Agama menurut etimologi berasal dari kata bahasa sanskerta dalam kitap upadeca tentang ajaran-ajaran agama Hindu disebutkan bahwa perkataan agama berasal dari bahasa sanskerta yang tersusun dari kata “A” berarti tidak dan “gama” berarti pergi dalam bentuk harfiah yang terpadu perkataan agama berarti tidak pergi tetap ditempat, langgeng, abadi, diwariskan secara terus menerus dari generasi ke generasi.Pada umumnya perkataan agama diartikan tidak kacau yang secara analitis di uraikan dengan cara memisahkan kata demi kata yaitu “A” berarti tidak dan “gama” berarti kacau. Maksudnya orang yang memeluk suatu agama dan mengamalkan ajaran-ajarannya dengan sungguh-sungguh hidupnya tidak akan kacau.1 Agama selalu diterima dan dialami secara subjektif. Oleh karena itu orang sering mendefinisikan agama sesuai dengan pengalamannya dan penghayatannya pada agama yang di anutnya, menurut “Mukti Ali”, mantan Materi Agama Indonesia menyatakan bahwa agama adalah percaya akan adabya Tuhan Yang Maha Esa. Dan hukum – hukum yang di wahyukan kepada kepercayaan utusan-utusannya untuk kebahagiaan hidup manusia di dunia dan di akhirat. Sedangkan menurut “James Martineau” agama adalah kepercyaan kepada Tuhan yang selalu hidup. Yakni kepada jiwa dan kehendak ilahi yang mengatur alam semesta dan mempunyai hubungan moral dengan umat manusia Friedrich Schleiermacer, menegaskan bahwa agama tidak dapat di lacak dari pengetahuan rasional,juga tidak dari tindakan moral, akan tetapu agama berasal dari perasaan ketergantungan mutlak kepada yang tak terhingga (feeling of absolute dependence)2 B. Fungsi Agama Adapun fungsi agama dalam masyarakat ada enam hal, yaitu: Pertama, agama mendasarkan perhatiannya pada sesuatu yang diluar jangkauan manusia yang melibatkan takdir dan kesejahteraan, dan terhadap mana manusia memberikan tanggapan serta menghubungkan dirinya, menyediakan bagi pemelukya suatu dukungan, dan rekonsiliasi (perdamaian).3 Manusia membutuhkan dukungan moral disaat menghadapi ketidakpastian, membutuhkan rekonsiliasi dengan masyarakat bila diasingkan dari tujuan dan norma-normanya. Kedua, agama menawarkan suatu hubungan trasendental (bersifat jauh dari dunia empiris) melalui pemujaan dan upacara ibadat, karena itu memberikan dasar emosional bagi rasa aman baru dan identitas yang lebih kuat di tengah ketitdakpastian dan ketidakmungkinan kondisi manusia dan arus serta perubahan kerangka acuan ditengah pertikaian dan kekaburan pendapat serta sudut pandang manusia. Ketiga, agama mensucikan norma-norma dan nilai masyrakat yang telah terbentuk, mempertahankan dominasi tujuan kelompok diatas keinginan individu dan disiplin kelompok diatas dorongan hati individu. Dengan demikian agama memperkuat legitimasi

1

K. Sukardji,Agama-agama yang Berkembang di Dunia dan Pemeluknya,Bandung: Angkasa, 1993. h. 26 Jalaluddin Rakhmat,Psikologi Agama Sebuah Pengantar,Bandung: PT. Mizan Pustaka, 2004, h. 20-22 3 M. Dahlan Al Barry, Kamus Ilmiah Populer, Surabaya: Arkola,1997 2

(pembenaran menurut hukum) pembagian fungsi, fasilitas dan ganjaran yang merupakan cirri khas suatu masyarakat. Keempat, agama juga melakukan fungsi yang bisa bertentangan dengan fungsi sebelumnya. Agama dapat pula memberikan standar nilai dalam arti dimana norma-norma yang telah terlembaga, dapat dikaji secarakritis dan kebetulan masayarakat sedang membutuhkannya. Hal ini mungkin sekali benar khusus dalam hubungan dengan agamayang menitik beratkan transendensi (dalam teologi, istilah ini berarti bahwa tuhan itu berada jauh diluar alam) Tuhan, dan konsekuensi superioritasnya pada dan kemerdekaannya dari masyarakat yang mapan. Kelima, agama melakukan fungsi-fungsi identitas yang penting. Kita telah menyinggung salah satu aspek fungsi ini dalam membicarakan fungsi hubungan trasendentals yang ada dalam agama. Melalui penerimaan nilai-nilai yang terkandung dalam agama dan kepercayaan-kepercayaan tentang hakikat dan takdir manusia, individu mengembangkan aspek penting pemahaman diri batasan diri. Melalui peran penting msnusia di dalam ritual agama dan doa, mereka juga melakukan unsur-unsur signifikan (mengandung arti penting) yang ada dalam identitasnya. Keenam, agama menyangkut pertumbuhan dan kedewasaan individu, dan perjalanan hidup melalui tinngkat usia yang ditentukan oleh masyarakat. Psikologi telah menunjukkan bahwa pertumbuhan individu menghadapi serangkaian karakteristik (ciri khas) yang terjadi pada berbagai tingkat usia manusia, serangkaian peristiwa yang dijumpai dari sejak lahir sampai mati. 4 Fungsi agama ditinjau dari kajian sosiologis, ada dua macam. Pertama disebut fungsi manifest, dan yang kedua fungsi latent. Fungsi manifest adalah fungsi yang disadari yang bisanya merupakan tujuan yang ingin dicapai oleh pelaku-pelaku ajaran agama. Sedangkan fungsi laten adalah fungsi yang tersembunyi, yang kurang disadari oleh pelaku-pelaku ajaran agama. Masalah agama tidak akan mungkin dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat, karena agama itu sendiri ternyata diperlukan dalam kehidupan bermasyarakat. C. Konflik dan Integrasi Agama Dalam masyarakat majemuk, agama dapat menjadi faktor pemersatu, sebagaimana juga dapat dengan mudah disalahgunakan sebagai alat pemecah belah. Agama pada satu sisi menciptakan ikatan bersama, baik antara anggota masyarakat maupun dalam kewajibankewajiban sosial yang membantu mempersatukan mereka.5 Tetapi di sisi lain, perasaan seagama saja tidak cukup untuk memciptakan perasaan memiliki kelompok atau kesatuan sosial. Maka harus ada faktor-faktor lain yang lebih memperkuat dan mempertahankan kohesi sosial. Dengan demikian agama mempunyai dua efek sekaligus, yaitu efek pemersatu dan sekaligus pemecah belah.6 Di Jawa, dalam pengamatan Clifford Geertz, antara ketiga varian; abangan, santri dan priyayi, di samping terjadi ketegangan juga sering terjadi kohesi sosial yang cukup intens. Di antara faktor- faktor yang mempertajam konflik antara lain;1). Konflik ideologis yang mendasar karena rasa tidak senang terhadap nilai-nilai kelompok lain.2).sistem stratifikasi sosial yang berubah dan mobilitas status yang cenderung untuk memaksakan adanya kontak di antara individu-individu dan kelompok- kelompok yang secara sosial dulunya sedikit banyak berubah. 3). Perjuangan mencapai kekuasan politik yang semakin tajam untuk mengisi 4

Thomas F. O’Dea, Sosiologi Agama: Suatu Pengenalan Awal. Terjemahan Jakarta: Rajagrafindo Persada, 1995, hlm. 26. 5 Elizabeth K Nottingham,. Agama dan Masyarakat: Suatu Pengantar Sosiologi ,Jakarta: Rajawali Press, 1993, hlm. 42. 6 Thomas F O’Dea, Sosiologi Agama Suatu Pengenalan Awal ,Jakarta: Rajawali Press, 1987, hlm. 139.

kekosongan yang ditinggalkan oleh pemerintah colonial, yang cenderung mencampur-aduk perbedaan-perbedaan agama dengan kepentingan politik. 4). Kebutuhan mencari kambing hitam untuk memusatkan ketegangan akibat perubahan sosial yang begitu cepat. Secara idiologis, kebencian abangan diarahkan kepada moralitas santri yang merasa dirinya ”Sok Suci” (menganggap diri mereka sebagai komunitas yang lebih suci). Menurut kelompok abangan meskipun kelompok santri yang kesehariaanya memakai ”kerudung” (sebagai simbul ketaatan beragama), tetapi pada kenyataannya mereka berbuat mesum juga. Kebenciaan abangan terhadap santri demikian jelas sekali diutarakan dalam pantun yang berkembang di kalangan masyarakat abangan ”mendung- mendung cap gomek, kudung-kudung digawe lemek”. Senada dengan stetemen abangan, kelompok priyayi juga menganggap bahwa kesalehan kaum santri hanyalah kesalehan semu, tidak menampilkan dengan kondisi sebenarnya. Dikatakan, meski santri melakukan ritual keagamaan (Haji) yang seharusnya berprilaku baik, namun pada kenyataannya prilaku mereka justru tidak menampilkan sebagi seorang yang sholeh7.Tidak kalah serunya, kaum santri menuduh kaum abangan sebagai "peyembah berhala”dan menuduh priyayi tidak dapat membedakan dirinya dengan Tuhan (kesombongan yang besar dosanya)8. Adapun konflik antar priyayi dan abangan tampak relatif agak halus, ketegangan paling nampak terlihat dalam masalah status. abangan menuduh priyayi sebagi pemerintah yang eksploitatif. Demikian halnya sebaliknya, priyayi sering menuduh ”orang desa” tak tahu tempatnya yang layak dan karenanya mengganggu keseimbangan organisasi masyarakat, mempersalahkan mereka sebagai berlamunan besar dan gagal meniruniru gaya priyayi.9 Adapun hal-hal yang meredakan konflik antara lain; a). perasaan memiliki satu kebudayaan yang menekankan pada kesamaan yang dipunyai orang Jawa, ketimbang pada perbedaannya. b). kenyataan bahwa pola-pola keagamaan tidak diungkap secara langsung dalam bentukbentuk social, secara murni dan sederhana, melainkan melalui proses yang rumit, hingga komitmen keagamaan dan komitmen lanilla-terhadap kelas, tetangga dsb- cenderung seimbang, sehingga muncullah berbagai individu dan kelompok “tipe campuran” yang bisa berperan sebagai perantara. c). toleransi umum yang didasarkan atas statu “relativismo kontekstual” yang menganggap nilai-nilai tertentu sesuai dengan konteksnya dan dengan demikian memperkecil “misiónisasi”. d).Pertumbuhan mekanisme yang mantap menuju lepada bentuk-bentuk integrasi social yang majemuk dan nonsinkritis yang di dalamnya orang-orang memiliki berbagai pandangan social dan nilai dasar yang berbeda secara radikal dapat bergaul dengan cukup baik satu sama lain untuk menjaga agar masyarakat tetap berfungsi.10 Dengan adanya faktor-faktor itulah maka masyarakat jawa, baik kalangan abangan, santri dan priyayi dalam batas-batas tertentu sering membawur satu sama lain dalam beberapa even; slametan16, peringatan hari besar nasional dan riyoyo (hari besar Islam). Bahkan yang terakhir ini ( Riyoyo) hampir merupakan sebuah agama universal Jawa artinya semua lapisan masyarakat ikut merayakan secara serentak bersama-sama. Dari gambaran uraian di atas dapatlah dipahami bahwa paling tidak terdapat tiga faktor utama penyebab terjadinya konflik; Idiologi, strstifikasi sosial dan politik. Sedangkan yang menjadi faktor utama terjadinya integrasi adalah; adanya kesadaran akan kesatuan kebudayaan, kenyataan artikulasi kebudayaan dan sistem sosial di mana pun bahwa pola-pola nilai tidak diinstitusionalisasi secara langsung, murni dan tanpa gangguan, melainkan terintegrasi ke

7

Roland Robertson, “Agama dalam Analisa dan Interpretasi Sosiologis”, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, cet.4, 1995, hlm. 209 8 Roland Robertson Ibid., hlm. 211 9 Op.Cit., hlm.480-481 10 Roland Roberson, ed., Op. Cit., hlm. 207-208. Lihat juga Clifford Geertz dalam bukunya, Op. Cit., 476-477

dalam sistem sosial yang terdeferensiasi dengan cara sedemikian rupa, hingga struktur yang dihasilkan tidak mencerminkan organisasi kebudayaannya dengan cara yang sederhana. D. Posisi dan Peran Agama dalam Bentuk Negara Gus Dur menawarkan gagasan “Integralisasi agama”. Gagasan ini sebagai penguat yang independen terhadap negara nasional. Posisi agama tidak dipertentangkan secara legal formal dengan negara nasional. Kalau kita kembali kepada masa pra kemerdekaan agama posisinya bukan sebagai bendera melainkan sebagai semacam “yel-yel” yang membangkitkan semangat perjuangan. Dengan kata lain, agama bekerja dalam wilayah kultural yang intinya menyadarkan, tanpa menstrukuturkan diri, masyarakat dalam beragama dan bernegara. Agama dan negara tak perlu dipertentangkan, tetapi juga jangan sampai tumpang tindih (overlapping). Sebab jika dua kemungkinan itu terjadi akan menyebabkan kekacuan besar. Sebab keduanya memiliki dasar yang setidaknya berbeda. Jika agama tumpang tndih dengan agama, dikwatirkan hanya akan menimbulkan penggunaan agama demi kepentingan penguasa. Agama hanya akan dipolitisasi demi kepentingan semata. Agama yang mempunyai landasan aqidah bisa menjadi pereduksi dari tata cara bernegara yang saat ini cenderung sekuler dan material. Agama mempunyai tujuan memperbaiki etika manusia dinilai alat yang tepat untuk menjaga manusia tetap menjadi manusia. langkahnya pun bukan hanya dengan memasukkan legal syariat ke ranah hukum nasional, tetapi bagaimana jiwa syariat itu bisa berdifusi ke tengah-tengah masyarakat yang multi ini. Masyarakat harus tetap religius dalam tindakan, bukan hanya mode, sebab masyarakat yang menghamba pada Tuhan tentunya akan membawa kedamaian umat manusia.11 Pendiri negara Indonesia nampaknya menentukan pilihan yang khas dan inovatif tentang bentuk negara dalam hubungannya dengan agama. Dengan melalui pembahasan yang sangat serius disertai dengan komitmen moral yang sangat tinggi sampailah pada suatu pilihan bahwa negara Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’. Mengingat kekhasan unsur-unsur rakyat dan bangsa Indonesia yang terdiri atas berbagai macam etnis, suku, ras, agama, dan budaya nampaknya Founding Fathers kita sulit untuk menentukan begitu saja bentuk negara sebagaimana yang ada di dunia.12 E. Agama di Indonesia Berdasarkan Pancasila Agama yang ada di Indonesia, baik itu agama Islam, Katolik, Kristen Protestan, Hindu, Budha, dan Kong Hu Chu dalam penerapan ajaran-ajarannya kepada umat/jemaat/pengikutnya sangat erat hubungannya dengan kerohanian, yaitu menyangkut segi-segi kejiwaan, semangat, mentalitas, dan budi pekerti. Dimana kerohanian yang dimaksud dalam kaitannya dengan negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila adalah penekanannya kepada semakin kokohnya kerukunan hidup dalam rangka membina persatuan dan kesatuan bangsa.13 F. Peran Tokoh Agama

11

Kaha anwar,” Posisi Agama dalam Negara (Menapaki Alam Pikiran Gus Dur Part 3) “https://www.kompasiana.com/kaha.anwar/55121f99813311af53bc6209/posisi-agama-dalam-negaramenapaki-alam-pikiran-gus-dur-part-3 (diakses pada 18 Maret 2018, pukul 23.02) 12 Budiyono, “Hubungan Negara Dan Agama Dalam Negara Pancasila”. Fiat Justisia Jurnal Ilmu Hukum Volume 8 No. 3, Juli-September 2014, hal. 413. 13 N Raymond Frs,” Agama di Negara Indonesia yang Berdasarkan Pancasila“https://indonesiana.tempo.co/read/112111/2017/06/03/nraymondf.1/agama-di-negara-indonesiayang-berdasarkan-pancasila (diakses pada 18 Maret 2018, pukul 23.13)

Peranan Tokoh Agama yang dimaksudkan adalah mereka yang mengusung moderasi dalam beragama, memiliki empati dan respect for others, mempunyai integritas tinggi dalam memegang teguh ajaran fundamental masing-masing agamanya tetapi secara bersamaan mereka juga menjadi sosok yang terbuka untuk bisa menerima perbedaan secara bijaksana. Selain itu mereka juga diharapkan benar-benar tokoh yang berpengaruh di daerahnya masingmasing. Secara kultural mereka mempunyai power yang bisa menggerakkan orang untuk sebuah tujuan mulia, yakni : membangun saling pengertian, kebersamaan dan kerjasama intern dan antarumat beragama.14 G. Ormas dan Lembaga Keagamaan Ormas dan LSM perlu mengambil posisi sebagai mitra yang kritis terhadap pemerintah untuk lebih mengarahkan program-program pembangunan menuju sasaran yang telah ditetapkan dan memberikan maslahat bagi publik. Kerja sama antara Ormas dan LSM dan pemerintah jangan diartikan sebagai hubungan mutualisme yang memprioritaskan keuntungan finansial bagi aktor-aktornya. Tetapi, kerja sama yang dimaksud ditujukan untuk membangun kebersamaan dalam mengkritisi kebijakan pemerintah yang dinilai kurang tepat dalam mensejahterakan masyarakat. Pemerintah pun perlu terbuka dalam menerima masukan dari Ormas/LSM sehingga antara pemerintah dan Ormas dan LSM dapat saling berdampingan demi kepentingan bangsa dan negara (UMY, 2016). Sesuai dengan Undang-Undang No. 17 Tahun 2013 pasal (21) ayat (b, d, dan f) dimana Ormas dan LSM berkewajiban menjaga persatuan bangsa, kedamaian dalam masyarakat dan turut berpartisipasi dalam pencapaian tujuan Negara. Dengan Undang-Undang tersebut satu keharusan pemerintah dan Ormas saling bersinergi dalam mencapai cita-cita bangsa.15 H. Terorisme dan Radikalisme Keagamaan Radikalisme dapat diartikan sebagai sebuah paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik secara drastis dengan menggunakan cara-cara kekerasan.16Makna radikalisme dalam sudut pandang keagamaan dapat diartikan sebagai paham keagamaan yang mengacu pada fondasi agama yang sangat mendasar dengan fanatisme keagamaan yang sangat tinggi, sehingga tidak jarang penganut paham/aliran tersebut menggunakan kekerasan untuk mengaktualisasikan paham keagamaan yang dianut dan diyakininya17 Ancaman atau penggunaan kekerasan secara ilegal yang dilakukan oleh aktor non-negara baik berupa perorangan maupun kelompok untuk mencapai tujuan politis, ekonomi, religius, atau sosial dengan menyebarkan ketakutan, paksaan, atau intimidasi menjelaskan definisi dari terorisme18

14

Drs. Ida Bagus Gede Wiyana,” Peranan Tokoh Agama dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara guna Nation and Character Building “https://ibgwiyana.wordpress.com/2012/09/18/peranantokoh-agama-dalamkehidupan-berbangsa-dan-bernegara-guna-nation-and-character-building/ (diakses pada 18 Maret 2018, pukul 23.25) 15 Ari ganjar herdiansah dkk , “SOSIOGLOBAL Jurnal Pemikiran dan Penelitian Sosiologi” Departemen Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Padjadjaran Vol. 1, No. 1, Desember 2016 , hal. 55. 16 Lihat, http://artikata.com/arti-346678-radikalisme.html, diakses pada tanggal 18 Maret 2019, 23.43. 17 Lihat, http://www.referensimakalah.com/2012/01/pengertian-fundamentalisme-radikalisme_8767.html, diakses pada tanggal 18 Maret 2019, 23.44 18 EP,Global Terrorism Index : Capturing the Impact of Terrorism for the Last Decade (Sydney : Institute for Economics and Peace, 2012), h.06.

I. Visi Agama dalam Pembangunan Sebagai dasar pembangunan nasional kita yaitu, pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan masyarakat Indonesia seluruhnya. Berdasarkan hal-hal diatas itulah, bahwa tujuan kita adalah membanun masyarakat pancasila yang ebragama atau membangun masyarakat beragama yang pancasila. Dengan rumusan seperti ni kita akan terhindar dari dua kekeliruan yang fata: pertama, mengamalkan Pancasila atau mem-Pancasilakan agama, dan kedua, memasukan secara total agama sebagai anutan rohani bangsa kita dan pancasila sebagai falsafah negara, kedua hal itu akan sangat merugikan perkembangan baik agama maupun negara kita. Dalam rangka membangun masyarakat pancasila yang beragama dan masyarakat beragama yang pancasila itu, kita harus menetapkan titik tolak yang jelas. Tanpa titik tolak yang jelas kemunginan pemahaman kita tentang apa yang kita tujupun bisa berbeda bahkan berlawanan, yang dimaksud dengan titik tolak itu adalah: 1. Negara kita bukanlah negara sekuler, ni berarti baha gagasan yang berkeragaman mensyahkan antara agama dan negara harus kita tentang. Sebab gagasan semacam ini tidak mempunyai tempat dalam negara berdasarkan pancasila. 2. Negera kita bukan negara agama, ini berarti bahwa kita tidak bisa menerima gagasan yang bertujuan menjadikan sesuatu agama sebagai dasar negara dan pemerintah. Negara yang bersasarkan pancasila memberikan kemerdeaan dan kebebasan beragama dengan jaminan dan bantuan pemerintah, pemerintah membina dan membantu pembangunan bidang agama dengan satu kesadaran dalam rangka pembangunan bangsa dan negara yang kuat jasmani dan rohani.19

19

Kementerian Agama RI Lampung,” peran agama dalam pembangunan negara indonesia (oleh DRS. H. Muhlisin, MHI) “https://lampung.kemenag.go.id/berita/451005/peran-agama-dalam-pembangunan-negaraindonesia-oleh-drs-h-muhlisin-mhi (diakses pada 18 Maret 2018, pukul 23.55)

BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Agama adalah percaya akan adanya Tuhan Yang Esa serta mentaati hukum-hukum yang di wahyukan kepada kepercayaan utusan-utusannya untuk kebahagiaan hidup manusia di dunia dan di akhirat. Sedang Negara adalah sebagai organisasi tertinggi di antara satu kelompok masyarakat yang memiliki cita-cita untuk bersatu, hidup di dalam suatu kawasan, dan mempunyai pemerintahan yang berdaulat. 2. Ada beberapa paham yang memberikan konsep tentang hubungan Negara dan Agama, diantaranya; a) paham teokrasi hubungan agama dan negara digambarkan sebagai dua hal yang tidak dapat dipisahkan, negara menyatu dengan agama karena pemerintahan menurut paham ini dijalankan berdasarkan firman- firman Tuhan. b) paham sekular memandang agama perlu terpisah dari Negara, c) paham komunisme memandang hakekat hubungan agama dan negara berdasarkan filosofi dialektis, materialism, dan historis. Paham ini menimbulkan paham Atheis (tak bertuhan), d) hubungan agama dan negara dalam pandangan Islam bahwa agama tidak dapat dipisahkan dari negara dan urusan negara adalah urusan agama serta sebaliknya.

DAFTAR PUSTAKA

K.Sukardji,Agama-agama yang Berkembang di Dunia dan Pemeluknya,Bandung: Angkasa, 1993 Rakhmat Jalaluddin,Psikologi Agama Sebuah Pengantar,Bandung: PT. Mizan Pustaka,2004 M. Dahlan Al Barry, Kamus Ilmiah Populer, Surabaya: Arkola,1997 Thomas F. O’Dea, Sosiologi Agama: Suatu Pengenalan Awal. Terjemahan Jakarta: Rajagrafindo Persada Elizabeth K Nottingham, Agama dan Masyarakat: Suatu Pengantar Sosiologi ,Jakarta: Rajawali Press, 1993, hlm. 42. Thomas F O’Dea, Sosiologi Agama Suatu Pengenalan Awal ,Jakarta: Rajawali Press, 1987

Roland Robensons, Agama dalam Analisa dan Interpretasi Sosiologis, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, cet.4, 1995 Budiyono, Hubungan Negara Dan Agama Dalam Negara Pancasila. Fiat Justisia Jurnal Ilmu Hukum Volume 8 No. 3, Juli-September 2014 https://www.kompasiana.com/kaha.anwar/55121f99813311af53bc6209/posisi-agama dalam-negara-menapaki-alam-pikiran-gus-dur-part-3 https://indonesiana.tempo.co/read/112111/2017/06/03/nraymondf.1/agama-di-negaraindonesia-yang-berdasarkan-pancasila https://ibgwiyana.wordpress.com/2012/09/18/peranantokoh-agama-dalam-kehidupanberbangsa-dan-bernegara-guna-nation-and-character-building/ Ari ganjar herdiansah dkk , SOSIOGLOBAL Jurnal Pemikiran dan Penelitian Sosiologi Departemen Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Padjadjaran Vol. 1, No. 1, Desember 2016 http://artikata.com/arti-346678-radikalisme.html http://www.referensimakalah.com/2012/01/pengertian-fundamentalismeradikalisme_8767.html EP,Global Terrorism Index : Capturing the Impact of Terrorism for the Last Decade, Sydney : Institute for Economics and Peace, 2012 https://lampung.kemenag.go.id/berita/451005/peran-agama-dalam-pembangunan-negaraindonesia-oleh-drs-h-muhlisin-mhi

Related Documents


More Documents from "Nur Ain Mohd Amin"