160709_lapkas Terapi Oksigen Pada Penurunan Kesadaran-1.pdf

  • Uploaded by: intan
  • 0
  • 0
  • December 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View 160709_lapkas Terapi Oksigen Pada Penurunan Kesadaran-1.pdf as PDF for free.

More details

  • Words: 7,640
  • Pages: 51
LAPORAN KASUS TERAPI OKSIGEN PADA PENURUNAN KESADARAN EC SEPSIS + CHF + CKD



Disusun Oleh: Christine Pamphila

140100165

Mery Natalia Hutapea

140100026

Kuganeswari A/P Lingeswaran

130100369

Pembimbing : dr. Wulan Fadinie, M. Ked (An), Sp. An

DEPARTEMEN ANESTESIOLOGI & TERAPI INTENSIF FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA RSUP HAJI ADAM MALIK MEDAN 2019

KATA PENGANTAR Puji dan syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah memberikan berkat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kasus ini dengan judul “Terapi Oksigen pada Penurunan Kesadaran ec Sepsis + CHF + CKD”. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada dokter pembimbing laporan kasus kami, dr. Wulan Fadinie, M.Ked (An), Sp. An, yang telah meluangkan waktu dan memberikan bimbingan serta masukan dalam penyusunan laporan kasus ini. Penulis menyadari bahwa penulisan laporan kasus ini masih jauh dari kesempurnaan, baik isi maupun susunan bahasanya, untuk itu penulis mengharapkan saran dan kritik dari pembaca sebagai masukan dalam penulisan laporan kasus selanjutnya. Laporan kasus ini diharapkan bermanfaat bagi yang membaca dan dapat menjadi referensi dalam pengembangan wawasan di bidang medis.

Medan, 13 Februari 2019

Penulis

i

DAFTAR ISI Kata Pengantar .................................................................................................

i

Daftar Isi ............................................................................................................ ii Daftar Tabel ...................................................................................................... iii Daftar Gambar .................................................................................................. iv BAB I PENDAHULUAN .................................................................................

1

1.1. Latar Belakang ............................................................................

1

1.2. Tujuan .........................................................................................

2

1.3. Manfaat .......................................................................................

2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA .......................................................................

3

2.1. Sepsis............................................................................................

3

2.1.1 Definisi ................................................................................

3

2.1.2 Epidemiologi .......................................................................

4

2.1.3 Etiologi ................................................................................

4

2.1.4 Patofisiologi ........................................................................

5

2.1.5 Penurunan Kesadaran pada Sepsis ......................................

6

2.1.6 Diagnosis .............................................................................

9

2.1.7 Tatalaksana .......................................................................... 11 2.2. Terapi Oksigen ............................................................................ 14 2.2.1 Indikasi Terapi Oksigen ...................................................... 15 2.2.2 Kontraindikasi Terapi Oksigen ........................................... 15 2.2.3 Klasifikasi Peralatan Terapi Oksigen .................................. 15 2.2.4 Monitoring Terapi Oksigen ................................................. 20 2.2.5 Bahaya Terapi Oksigen ....................................................... 21 2.3

Manajemen Jalan Napas ............................................................... 22

BAB III STATUS PASIEN ............................................................................... 28 BAB IV FOLLOW UP ...................................................................................... 36 BAB V DISKUSI KASUS ................................................................................. 40 BAB VI KESIMPULAN.................................................................................... 43 DAFTAR PUSTAKA......................................................................................... 44

ii

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1

Kriteria SIRS ................................................................................ 3

Tabel 2.2

Kriteria qSOFA (quick-SOFA) .................................................... 4

Tabel 2.3

Penilaian Ulang Status Volume dan Perfusi Jaringan ................. 12

Tabel 2.4

Alat Terapi Oksigen dan Flow Rate ............................................ 20

Tabel 2.5

Indikasi Definite Airway .............................................................. 27

iii

DAFTAR GAMBAR Gambar 2.1

Patofisiologi sepsis ....................................................................... 6

Gambar 2.2

SOFA (Sequential Organ Failure Assesment) score .................. 10

Gambar 2.3

Nasal Kanul ................................................................................. 16

Gambar 2.4

Sungkup Oksigen Sederhana ....................................................... 18

Gambar 2.5

Sungkup Partial Rebreathing dan Non-rebreathing ................... 18

Gambar 2.6

Sungkup Venturi.......................................................................... 19

Gambar 2.7

Head Tilt-Chin Lift Maneuver ..................................................... 23

Gambar 2.8

Jaw Thrust Maneuver .................................................................. 23

Gambar 2.9

Triple Airway Maneuver ............................................................. 24

Gambar 2.10

Guedel Airways ........................................................................... 25

Gambar 2.11

Nasopharyngeal Airways ............................................................ 26

iv

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Sepsis dan syok septik adalah masalah kesehatan utama yang mempengaruhi jutaan orang di seluruh dunia setiap tahun, dan membunuh sebanyak satu dari empat (dan sering lebih). Ketika pedoman ini sedang dikembangkan, definisi baru untuk sepsis dan syok septik (Sepsis-3) telah diterbitkan. Sekarang sepsis didefinisikan sebagai disfungsi organ yang mengancam jiwa yang disebabkan oleh respon host yang tidak teratur terhadap infeksi. Definisi baru proposal ini mengabaikan penggunaan host inflammatory response syndrome criteria (SIRS) dalam identifikasi sepsis dan menghapuskan istilah sepsis berat. Definisi sepsis sebelumnya, Sepsis-1, dikembangkan pada konferensi konsensus 1991 di mana kriteria SIRS ditetapkan. Empat kriteria SIRS didefinisikan, yaitu takikardia (denyut jantung > 90 denyut/menit), takipnea (laju pernapasan > 20 napas/menit), demam atau hipotermia (suhu >38 atau < 36℃), dan leukositosis, leukopenia, atau bandemia (sel darah putih >1.200/mm3, <4.000 / mm3 atau bandemia ≥ 10%). Pasien yang memenuhi dua atau lebih dari kriteria ini memenuhi definisi SIRS, dan Sepsis-1 didefinisikan sebagai infeksi atau dugaan infeksi yang mengarah ke timbulnya SIRS. Sepsis yang diperumit oleh disfungsi organ disebut sepsis berat, yang dapat berkembang menjadi syok septik, yang didefinisikan sebagai "hipotensi diinduksi sepsis tetap terjadi meskipun resusitasi cairan adekuat."1 Syok septik didefinisikan sebagai bagian dari sepsis di mana kelainan sirkulasi dan seluler / metabolisme yang mendasarinya cukup dalam untuk meningkatkan mortalitas secara substansial. Syok septik didefinisikan oleh kriteria klinis sepsis dan terapi vasopresor yang diperlukan untuk meningkatkan tekanan arteri rata-rata ± 65mmHg dan laktat > 2mmol / L (18mg / dL) meskipun resusitasi cairan yang adekuat.1 Terapi oksigen merupakan suatu intervensi medis berupa upaya

1

pengobatan dengan pemberian oksigen untuk mencegah atau memperbaiki hipoksia jaringan dan mempertahankan oksigenasi jaringan agar tetap adekuat dengan cara meningkatkan masukan oksigen ke dalam sistem respirasi, meningkatkan daya angkut oksigen ke dalam sirkulasi dan meningkatkan pelepasan atau ekstraksi oksigen ke jaringan.2 Dalam pemberian terapi oksigen harus dipertimbangkan apakah pasien benar-benar membutuhkan oksigen. Oksigen yang diberikan harus diatur dalam jumlah yang tepat dan harus dievaluasi agar mendapat manfaat terapi dan menghindari toksisitas.2 1.2 TUJUAN Tujuan dalam penulisan laporan kasus ini adalah : 1. Mengetahui alur penanganan kegawatdaruratan di Instalasi Gawat Darurat khususnya pada kasus terapi oksigen pada penurunan kesadaran ec sepsis. 2. Meningkatkan kemampuan penulis dalam penulisan karya ilmiah di bidang kedokteran. 3. Memenuhi salah satu syarat untuk menyelesaikan Kepaniteraan Klinik Senior

Program

Pendidikan

Profesi

Kedokteran

di

Department

Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

1.3 MANFAAT Manfaat yang diharapkan dalam penulisan laporan kasus ini adalah meningkatkan pemahaman terhadap kasus terapi oksigen pada penurunan kesadaran ec sepsis serta penanganan kegawatdaruratan sesuai kompentensi pada tingkat pelayana primer.

2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 SEPSIS 2.1.1 Definisi Sepsis didefinisikan sebagai disfungsi organ yang mengancam jiwa disebabkan oleh respon pasien yang tidak teratur terhadap infeksi. Kriteria klinis untuk sepsis termasuk dicurigai atau didokumentasikan infeksi dan peningkatan akut dua atau lebih Urutan Penilaian Kegagalan Organ (SOFA) menunjuk sebagai proksi untuk disfungsi organ.3 SIRS tidak secara langsung menyatakan adanya disregulasi respon tubuh terhadap infeksi. Banyak pasien di rumah sakit dengan kriteria SIRS tetapi akhirnya tanpa bukti adanya infeksi.4 Sementara 1 dari 8 pasien di unit perawatan intensif atau Intensive Care Unit (ICU) di Australia dan New Zealand dirawat dengan infeksi bahkan sampai terjadi gagal organ tetapi tidak pernah memenuhi kriteria SIRS.5 Tabel 2.1 Kriteria SIRS.5 Kriteria SIRS Terdapat dua atau lebih kriteria berikut : •

Suhu >380C atau < 360C



Nadi > 90x/menit



Pernapasan > 20x/menit atau



PaCO2< 32mmHg (4,3 kPa)



Leukosit >12.000/mm3 atau < 4000/mm3

Sepsis didefinisikan sebagai disfungsi organ yang mengancam nyawa akibat disregulasi atau ketidakseimbangan respon tubuh terhadap adanya infeksi.4 Dengan kata lain sepsis merupakan kondisi yang mengancam nyawa yang timbul akibat respon tubuh terhadap infeksi justru mencederai jaringan serta organ tubuh

3

sendiri. Disfungsi organdiidentifikasikan sebagai perubahan akut total Sequential Organ Failure Assesment (SOFA)score >2 terhadap adanya infeksi. Tabel 2.2 Kriteria qSOFA (quick-SOFA).5 Terdapat 2 atau lebih kriteria berikut : •

Frekuensi nafas lebih ≥ 22×/ menit



Penurunan kesadaran



TekanaN darah sistolik ˂ 100 mmHg

2.1.2 Epidemiologi Manajemen sepsis terus menjadi tantangan utama bagi sistem perawatan kesehatan di seluruh dunia. Di Amerika Serikat, lebih dari 970.000 kasus sepsis diterima setiap tahun, dan jumlahnya telah meningkat dari tahun ke tahun. Sebuah studi 2 dekade dari rawat inap A.S. mengidentifikasi peningkatan kejadian sepsis di antara pasien yang dirawat di rumah sakit sebesar 8,7% per tahun. Selain itu, sepsis menyumbang lebih dari 50% kematian di rumah sakit, dan kematian meningkat secara dramatis dengan tingkat keparahan penyakit yang lebih besar: 10-20% untuk sepsis, 20-40% untuk sepsis berat, dan 40–80% untuk syok septik.6 Pasien septik merupakan beban tinggi yang tidak proporsional dalam hal pemanfaatan rumah sakit. Rata-rata lama tinggal (LOS) untuk pasien sepsis di rumah sakit AS sekitar 75% lebih besar daripada kebanyakan kondisi lain, dan rata-rata LOS pada tahun 2013 dilaporkan meningkat secara dramatis dengan keparahan sepsis: 4,5 hari untuk sepsis, 6,5 hari untuk sepsis berat, dan 16,5 hari untuk syok septik.6 2.1.3 Etiologi Sepsis dapat disebabkan oleh bakteri, virus, jamur, atau parasit, atau dapat berkembang secara tidak menular insiden intraabdominal seperti trauma parah, pneumonia, pankreatitis, dan insiden lainnya seperti infeksi sistem kemih. Frekuensi mikroorganisme yang mengarah ke sepsis menunjukkan peluang

4

berdasarkan sepsis berkembang di dalam atau di luar rumah sakit. Paling sering mengalami mikroorganisme aktif dalam sepsis pasien dalam masyarakat adalah Escherichia coli, Streptococcus pneumonia, dan Staphylococcus aureus. Itu mikroorganisme yang menyebabkan sepsis berkembang di rumah sakit telah menunjukkan beberapa variasi tahun. Pada 1950-an, sebelum antibiotik digunakan, bakteri gram positif berada di garis depan, dan Staphylococcus aureus dan Streptococcus pyogenes sering ditentukan sebagai penyebab sepsis. Namun, saat pemakaian antibiotik, penyakit yang disebabkan oleh gram positif Bakteri menjadi dapat diobati, dan kemudian, bakteri gram negatif secara bertahap menjadi sepsis menyebabkan pada tingkat yang meningkat (lebih dari 50% pasien) pada 1960-an, 1970-an, dan 1980-an.7 Dalam studi yang berbeda, dilaporkan bahwa bakteri gram negatif diisolasi 20-64% dari waktu pada pasien sepsis, sedangkan bakteri gram positif diisolasi 27-74% dari waktu. Yang paling penyebab yang sering diisolasi dalam sepsis bakteri gram negatif adalah E. coli, Enterobacter, Pseudomonas, Proteus, Acinetobacter, Klebsiella, dan langka lainnya bakteri gram negatif, sesuai frekuensinya. Di sisi lain, dalam bakteri gram positif sepsis; stafilokokus koagulase negatif, S.aureus, dan Enterococcus paling banyak diisolasi penyebab sering. Mikroorganisme tidak perlu masuk ke dalam darah untuk perkembangan sepsis. Perpanjangan produk sinyal secara lokal atau sistemik dan racun dari patogen mungkin memicu sepsis. Beberapa bakteri dapat menyebabkan beberapa pasien sepsis.7 2.1.4 Patofisiologi Patofisiologi keadaan ini dimulai dari adanya reaksi terhadap infeksi. Hal ini akan memicu respon neurohumoral dengan adanya respon proinflamasi dan antiinflamasi, dimulai dengan aktivasi selular monosit, makrofag dan neutrofil yang berinteraksi dengan sel endotelial. Respon tubuh selanjutnya meliputi mobilisasi dari isi plasma sebagai hasil dari aktivasi selular dan disrupsi endotelial. Isi plasma ini meliputi

sitokin-sitokin seperti tumor nekrosis faktor,

interleukin, caspase, protease, leukotrien, kinin, reactive oxygen species, nitrit

5

oksida, asam arakidonat, platelet activating factor, dan eikosanoid.8 Sitokin proinflamasi seperti tumor nekrosis faktor α, interleukin-1β, dan interleukin-6 akan mengaktifkan rantai koagulasi dan menghambat fibrinolisis. Sedangkan Protein C yang teraktivasi (APC), adalah modulator penting dari rantai koagulasi dan inflamasi, akan meningkatkan proses fibrinolisis dan menghambat proses trombosis dan inflamasi.9 Aktivasi komplemen dan rantai koagulasi akan turut memperkuat proses tersebut. Endotelium vaskular merupakan tempat interaksi yang paling dominan terjadi dan sebagai hasilnya akan terjadi cedera mikrovaskular, trombosis, dan kebocoran kapiler. Semua hal ini akan menyebabkan terjadinya iskemia jaringan. Gangguan endotelial ini memegang peranan dalam terjadinya disfungsi organ dan hipoksia jaringan global.9 (Keterangan lebih lanjut dapat dilihat pada gambar di bawah ini.

Gambar 2.1 Patofisiologi sepsis.13

2.1.5 Penurunan Kesadaran pada Sepsis Kondisi patologis pada keadaan sepsis (sepsis berat atau syok sepsis) dapat mempengaruhi hampir setiap komponen sel mikrosirkulasi, termasuk sel endotel, sel otot polos, lekosit, eritrosit, dan jaringan. Mikrosirkulasi menentukan ketersediaan oksigen untuk tiap sel dan jaringan, yang menjamin organ berfungsi

6

baik, jika tidak dikoreksi secara tepat, maka dapat menyebabkan distress respirasi pada jaringan dan sel, dan lebih lanjut menyebabkan disfungsi sirkulasi makro dengan hasil akhir kegagalan organ(satu organ) dan kegagalan multi organ (lebih dari satu organ).10 Beberapa disfungsi sistem organ pada pasien sepsis.11 A. Kardiovaskular Selain mengganggu konsumsi oksigen pada tingkat sel atau mitokondria, sepsis juga dikaitkan dengan gangguan bruto fungsi kardiovaskular, seperti : 1. Penurunan kontrol vasomotor Pada sepsis terjadi vasodilatasi dan kehilangan reaktifitas katekolamin yang berkaitan dengan gangguan dalam regulasi NO. NO memainkan peran kunci dalam regulasi vasomotor endotelium dan hemodinamikmaka, dimana dalam kondisi fisiologis normal, terjadi sintesis basal dan pelepasan NO oleh sel endotel. Selanjutnya NO berdifusi ke sel-sel otot halus dan mengaktifkan enzim guanylate cyclase yang menyebabkan peningkatan guanosin 3', 5'-monofosfat siklik (cGMP). Selama sepsis, produksi NO yang berlebihan menyebabkan vasodilatasi sistemik yang luas, yang dapat mengurangi suplai oksigen ke jaringan.11 2.

Disfungsi jantung Terdapat bukti bahwa terjadi gangguan fungsi miokard (penurunan tingkat kontraksi jantung dan relaksasi) sebagai respon terhadap sepsis. Hal ini berhubungan dengan absorbsi dan release Ca2+ dari retikulum sarkoplasma melalui saluran Ca2+ di sarcolemma atau reseptor ryanodine. Penurunan jumlah reseptor dalam fase hipodinamik dari sepsis menyebabkan berkurangnya release Ca2+ dari retikulum sarkoplasma, sehingga terjadi pembatasan interaksi dengan protein kontraktil miokard selama fase sistol, sedangkan penurunan tingkat reuptake Ca2+ ke retikulum sarkoplasma akan menyebabkan penundaan timbulnya fase

7

relaksasi diastole. Mekanisme yang mendasari pengurangan jumlah aliran Ca2+ tersebut berhubungan dengan mediator TNF-α dan NO.11 B. Hematologis Sepsis menyebabkan koagulasi intravaskular diseminata (KID) akut dengan penurunan trombosit <100.000/mm3, waktu pembekuan darah memanjang dan hipofibrinogenaemia yang mengarah ke komplikasi perdarahan dan trombotik. Mikrovaskuler trombosis dapat meluas, karena penurunan sistem antikoagulan (antithrombin III dan thrombomodulin). Pemberian protein C teraktivasi telah terbukti mengurangi angka kematian pada beberapa pasien sepsis dan sedang menjalani uji klinis lebih lanjut.11,12 C. Hati Disfungsi hati, ditandai dengan hepatomegali dan hiperbilirubinemia (total bilirubin > 2mg/dl) serta kenaikan enzim hati yang ringan, hal tersebut merupakan tanda umum pada sepsis. Peningkatan kebutuhan oksigen hati hanya dipenuhi sebagian oleh peningkatan aliran darah hepatosplanchnic, yang sepadan dengan peningkatan dalam output jantung. Kerusakan hati terjadi jika aliran darah ke hati tidak mencukupi untuk kebutuhan oksigen yang meningkat pada jaringan regional atau disfungsi hati tidak flow-dependent.11,12 D. Paru Cedera paru akut atau Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS) yang terjadi dalam 60%-70% pasien sepsis. Disfungsi endotel yang disebabkan oleh infiltrasi neutrofil pada paru adalah proses utama yang mengarah ke peningkatan protein dan ekstravasasi cairan ke dalam interstitium paru dan ruang alveolar. Gejala sisa termasuk rusaknya alveolar, shunting paru, hipoksemia, penurunan kapasitas residu fungsional dan peningkatan kerja pernapasan. IL-8 diproduksi oleh makrofag alveolar meningkat berhubungan dengan cedera paru pada pasien sepsis.11 E. Renal Ginjal hipoperfusi pada sepsis terutama disebabkan oleh vasodilatasi sistemik dan hipovolemik relatif. Faktor neurohumeral lain termasuk endotelin, A2 tromboksan dan masuknya bahan selular (misalnya neutrofil dan faktor

8

koagulasi) juga penting dan mengakibatkan berbagai tingkat gangguan ginjal. Peningkatan kreatinin >0,3mg/dl dari nilai sebelumnya atau peningkatan >50%, serta oliguri < 0,5 cc/kgbb/jam lebih dari 6 jam menandakan gangguan gagal ginjal akut.11,12 F. Sistem saraf pusat, ensefelopati sepsis. Jika sumber infeksi di luar central nervous system (CNS), maka gangguan neurologik yang terjadi dianggap sebagai ensefelopati septik. Beberapa kondisi lainnya dapat menambah efek sekunder seperti hipoksemia, gangguan metabolik dan elektrolit, serta hiperfusi serebral selama keadaan syok. Gejala dapat bervariasi mulai dari agitas, confussion, delirium, dan koma.12 G. Traktus gastrointestinal. Iskemia splanchnis dan asidosis intramukosa dapat terjadi selama sepsis. Tanda klinis mencakup perubahan fungsi otot halus usus dan terjadinya diare. Perdarahan GIT disebabkan oleh stress ulcer yang juga merupakan manifestasi sepsis. Monitoring pH intramukosa lambung digunakan untuk mengenali dan merupakan petunjuk dari resusitasi. Peningkatan pCO2 intramural merupakan tanda adanya iskemia jaringan dan asidosis mukosa.12 2.1.6 Diagnosis Kriteria dan diagnosis sepsis yang baru berdasarkan the third international consensus for sepsis and septic shock atau disebut juga sebagai Sepsis-3 menggunakan Sequential Organ Failure Assesment (SOFA) score sebagai

kriteria

diagnostik

untuk

sepsis

dimana

disfungsi

organ

diidentifikasikan sebagai perubahan akut total SOFA score >2 terhadap adanya infeksi. Enam sistem organ (respirasi, kardiovaskular, ginjal, hati, sistem saraf pusat dan koagulasi dipilih berdasarkan literature dan setiap fungsi diberikan nilai dari 0 (fungsi normal) hingga 4 (sangat abnormal), yang memberikan nilai dari 0-24.13

9

Gambar 2.2. SOFA (Sequential Organ Failure Assesment) score.3 Sedangkan untuk pasien sepsis diluar ruang intensif direkomendasikan menggunakan quick SOFA untuk mendiagnosis penderita sepsis. Kriteria qSOFA juga direkomendasikan untuk mengidentifikasi pasien yang beresiko tinggi mengalami perburukan dan memprediksi lama pasien dirawat.3 Tabel 2.2 Kriteria qSOFA (quick-SOFA)14 Terdapat 2 atau lebih kriteria berikut: •

Frekuensi nafas > 22x/menit



Penurunan kesadaran



Tekanan darah sistolik < 100 mmHg Biomarker yang cukup sensitive dan spesifik antara lain protein fase

akut seperti C-reactive protein (CRP) atau prokalsitonin (PCT), sitokin seperti IL-6, IL-8, IL-10, kadar endotoksin, gelombang fisik aPTT2. Akan tetapi biomarker tersebut tidak memenuhi kriteria ideal sehingga disarankan untuk menggunakan kombinasi dari biomarker.15,16 Kultur

harus

dilakukan

sebelum

pemberian

antibiotik

awal.

Setidaknya 2 set kultur darah (aerob dan anaerob) diambil. Pemeriksaan 1,3 beta-D-glucan, antibodi mannan dan anti-mannan (jika tersedia) untuk

10

dugaan infeksi invasif jamur candida. Pemeriksaan radiologi dilakukan untuk mengkonfirmasi kemungkinan sumber infeksi. 2.1.7 Tatalaksana Tatalaksana dari sepsis menggunakan protocol yang dikeluarkan oleh SCCM (Society of Critical Care Medicine) dan ESICM (European Society of Intensive Care Medicine), yaitu Surviving Sepsis Guidelines. Komponen dasar dari penanganan sepsis dan syok sepsis adalah resusitasi awal, vasopressor/inotropic, dukungan hemodinamik, pemberian antibiotic awal, control sumber infeksi, diagnosis (kultur dan pemeriksaan radiologis), tatalaksana suportif (ventilasi, dialisis, transfusi) dan pencegahan infeksi.13 1. Resusitasi awal -

Langkah 1: Skrining dan manajemen infeksi Manajemen dimulai dengan pengambilan kultur darah dan kultur lain sesuai indikasi, kemudian berikan antibiotik yang sesuai dengan peta kuman yang ada dan secara simultan dilakukan pemeriksaan laboratorium untuk mengevaluasi adanya disfungsi organ.17

-

Langkah 2: Skrining adanya disfungsi organ dan manajemen sepsis (dahulu sepsis berat) Pasien diidentifikasi adanya disfungsi organ dengan kriteria yang sama dengan sebelumnya (Tabel 2.2). Disfungsi organ juga dapat diprediksi akan terjadidengan menggunakan kriteria Quick SOFA (qSOFA). Bila disfungsi organ teridentifikasi, pastikan bundle 3 jam dilakukan sebagai prioritas utama tindakan.17

-

Langkah 3: Identifikasi dan manajemen hipotensi awal Pada pasien dengan infeksi ditambah hipotensi atau kadar laktat > 4 mmol/L berikan 30 ml/kgBB cairan kristaloid dan dilakukan penilaian ulang respon cairan yang diberikan serta penilaian perfusi jaringan. Kemudian bundle 6 jam harus dilengkapi. Pada bundle 6 jam, jangan lupa menilai ulang nilai laktat bila laktat awal nilainya > 2 mmol/L.17

11

Sepsis Bundle HARUS DILENGKAPI DALAM 3 JAM KEDATANGAN Hitung nilai awal laktat Ambil kultur darah sebelum pemberian antibiotik Berikan antibiotik spektrum luas Berikan kristaloid 30 ml/kgBB pada hipotensi atau nilai awal laktat > 4 mmol/L HARUS DILENGKAPI DALAM 6 JAM KEDATANGAN Berikan vasopresor (untuk hipotensi yang tidak respon pada resusitasi cairan dini) untuk mempertahankan MAP > 65 mmHg. Pada hipotensi yang menetap setelah pemberian cairan yang adekuat (MAP < 65 mmHg) atau nilai laktat awal > 4 mmol/L, nilai ulang status volum pasien dan perfusi jaringan berdasarkan tabel 2.3. Nilai ulang laktat bila nilai awal laktat meningkat. Tabel 2.3 Penilaian Ulang Status Volume dan Perfusi Jaringan.15 Penilaian ulang status volume dan perfusi jaringan Pemeriksaan kecukupan cairan dengan ultrasound (setelah resusitasi cairan awal) oleh dokter yang berlisensi termasuk di antaranya tanda vital, kardiopulmonal, capillary refill, denyut jantung dan pemeriksaan pada kulit ATAU lakukan minimal dua dari berikut: Hitung CVP Hitung ScvO2 Ultrasound kardiovaskular bedside Penilaian respon cairan secara dinamik yaitu dengan passive leg raising atau fluid challenge

12

2. Vasopresor dan inotropik Terapi vasopressor diberikan jika tekanan darah tidak kembali pulih setelah resusitasi cairan inisial untuk tercapainya nilai minimal MAP > 65 mmHg. Pilihan pertamanya adalah norepinefrin. Epinefrin dapat ditambahkan atau bahkan menggantikan NE (bila tidak ada), untuk mencapai target minimal MAP. Pada pasien dengan disfungsi miokard dapat digunakan dobutamin sebagai inotropik. 16,18 3. Terapi cairan Cairan inisial untuk resusitasi pasien sepsis dan syok sepsis adalah cairan kristaloid. Hindari penggunaan HES. Apabila pasien memerlukan cairan resusitasi dalam jumlah besar, dapat digunakan albumin. Resusitasi awal pasien sepsis dan syok sepsis yaitu dengan pemberian kristaloid sebanyak 30 ml/kgBB. 16,18 4. Terapi Antibiotik Berikan antibiotik empirik dengan konsentrasi adekuat pada 1 jam pertama terdiagnosis sepsis. Pemberian antibiotik harus dinilai setiap hari untuk kemungkinan deeskalasi.Gunakan kombinasi antibiotik untuk pasien syok sepsis, pasien netropeni, dan pasien dengan infeksi bakteri patogen MDR (multi drug resistant). Durasi terapi berkisar 7-10 hari, penggunaan lebih lama pada pasien dengan respon klinis lambat, bacteremia S.aureus, infeksi jamur dan infeksi virus atau defisiensi imunologis. Kadar prokalsitonin yang rendah dapat digunakan sebagai petunjuk untuk menghentikan terapi antibiotik pada pasien yang awalnya sepsis. 16,18 5. Kontrol sumber infeksi Beberapa diagnosis sepsis memerlukan tindakan operasi darurat untuk keperluan diagnostic dan kontrol sumber infeksi.16,18 6. Tatalaksana suportif Transfusi sel darah merah hanya bila konsentrasi hemoglobin < 7 gr/dl dengan target Hb 7-9 gr/dl kecuali bila ada iskemi jantung,

13

hipoksemia berat, perdarahan akut, atau penyakit jantung iskemik yang mungkin memerlukan kadar Hb lebih dari itu.13 Pada pasien ARDS target tidal volume 6 ml/kgBB dengan plateau pressure <30 cmH2O dan berikan PEEP (Positive End Expiratory Pressure) untuk mencegah alveoli atelektasis. Strategi yang diberikan pada pasien ARDS sedang sampai berat adalah frekuensi nafas tinggi daripada PEEP rendah. Pada pasien ARDS berat dengan hipoksemia menetap dapat dilakukan prone position dan lung recruitment. Posisi kepala pasien dijaga 30-450 untuk mencegah terjadinya aspirasi dan ventilator associated pneumonia. 13 Continuous

renal

replacement

therapy

(CRRT)

dan

hemodialisa intermiten seringdiperukan pada pasien sepsis dan syok sepsis. Gunakan teknik CRRT pada pasien dengan hemodinamik yang tidak stabil. 13 2.2 TERAPI OKSIGEN Oksigen merupakan obat yang paling sering digunakan dalam kondisi kegawatdaruratan. Sebanyak 34% pasien di ambulans mendapatkan oksigen selama transit dan 15-17% pasien di rumah sakit akan menerima oksigen kapan saja. Terapi oksigen dipercaya secara luas meringankan sesak napas dalam keadaan tidak adanya hipoksemia. Tidak ada bukti yang menguntungkan terhadap pemberian oksigen pada pasien yang normoksemia atau hipoksemia yang sangat ringan. Sesak napas dapat terjadi karena banyak penyebab lainnya selain penyakit kardiorespiratorik, termasuk asidosis metabolik, ansietas, dan nyeri, dan terapi oksigen tidak diindikasikan pada kasus-kasus ini.19 Miskonsepsi lainnya yaitu “tidak ada oksigen yang terlalu berlebih” dan banyak yang tidak sadar akan bahaya hiperoksemia. Dahulu, oksigen jumlah tinggi diberikan kepada semua pasien dengan sesak napas dan penyakit kritikal. Sekarang sudah jelas diterbitkan bahwa hipoksemia berat menyebabkan kegagalan dan kematian organ yang sangat cepat. Oksigen menyelamatkan hidup jika

14

digunakan dengan sesuai untuk mengkoreksi hipoksemia dan merupakan komponen yang esensial dalam resusitasi pasien yang sakit kritis.19 Tujuan utama dari terapi oksigen adalah untuk mencegah atau mengkoreksi hipoksemia atau hipoksia jaringan.20 2.2.1 Indikasi Terapi Oksigen Terapi oksigen diindikasikan untuk orang dewasa, anak-anak, dan bayi (>1 bulan) ketika PaO2 kurang dari 60 mmHg atau SaO2 atau SpO2 kurang dari 90% ketika beristirahat pada udara ruangan. Pada neonatus, terapi direkomendasikan jika PaO2 kurang dari 50 mmHg atau SaO2 kurang dari 88% (atau PO2 kapiler < 40 mmHg). Terapi oksigen juga dapat diindikasikan bagi pasien yang dicurigai hipoksemia atau hipoksia berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Pasien dengan infark miokard, edema pulmo kardiogenik, acute lung injury, sindrom distres pernapasan akut, fibrosis paru, keracunan sianida, atau inhalasi karbon monoksida semua memerlukan terapi oksigen. Terapi oksigen juga diberikan selama masa perioperatif karena anestesi umum biasanya menyebabkan berkurangnya PaO2 akibat meningkatnya mismatch ventilasi atau perfusi paru dan berkurangnya kapasitas residual fungsional. Terapi oksigen juga harus disediakan sebelum prosedur seperti tracheal suctioning atau bronkoskopi yang umumnya menyebabkan desaturasi arterial.20 2.2.2 Kontraindikasi Terapi Oksigen Tidak ada kontraindikasi absolut tetapi harus diberikan dengan waspada pada pasien-pasien yang mengalami keracunan paraquate dan dengan inhalasi acid atau bleomycin lung injury sebelumnya.21 2.2.3 Klasifikasi Peralatan Terapi Oksigen Klasifikasi didasarkan pada kemampuan setiap alat untuk menyediakan aliran oksigen yang adekuat dan rentang fraction of inspired oxygen (FiO2). Pertimbangan lainnya dalam memilih terapi mencakup kepatuhan pasien, keberadaan dan tipe jalan napas artifisial, dan perlunya humidifikasi atau sistem penghantaran aerosol.20

15

A. Peralatan Aliran Rendah Oksigen (biasanya 100%) disuplai dengan aliran tetap yaitu hanya sebagian gas yang terinspirasi. Alat-alat seperti ini biasanya ditujukan pada pasien dengan pola pernapasan yang stabil. Sistem aliran rendah cukup untuk pasien dengan:20 •

Minute Ventilation < 8-10 L/menit



Frekuensi pernapasan < 20 kali/menit



Volume tidal (VT) < 0.8 L



Aliran inspirasi normal (10-30 L/min)

1. Nasal Kanul

Gambar 2.3 Nasal Kanul. Nasal kanul tersedia sebagai tabung plastik lunak tanpa penutup, aliran ganda dengan penyesuaian elastis di atas telinga atau dibawah

16

dagu. Terdapat berbagai ukuran untuk orang dewasa, anak-anak, dan bayi. Kanula terhubung dengan flowmeter melalui tubing kecil dan dapat dipasangkan dengan cepat pada pasien.20 Keuntungan nasal kanul:22 -

Nyaman (tetapi tidak untuk aliran oksigen > 4 L/menit)

-

Aliran yang dapat disesuaikan memberikan rentang konsentrasi oksigen yang luas

-

Tidak ada sensasi klaustrofobik

-

Tidak perlu dibuka untuk makan atau berbicara dan lebih jarang jatuh

-

Tidak ada risiko menghirup kembali karbon dioksida

-

Lebih murah

Kerugian nasal kanul:22 -

Bisa menyebabkan iritasi nasal atau nyeri

-

Tidak dapat digunakan jika hidung tersumbat parah

-

FiO2 yang sebenarnya tidak bisa diprediksi

2. Sungkup Oksigen Sederhana Sungkup oksigen sederhana ini menutupi baik hidung dan mulut dan tidak memiliki kantong reservoir. Sungkup dikencangkan pada wajah pasien dengan penyesuaian karet elastik. Penutupannya jarang sempurna, biasanya ada bocor sehingga pasien menerima campuran oksigen dan udara ruangan. Sungkup tanpa reservoir oksigen paling baik untuk pasien yang membutuhkan konsentrasi oksigen lebih besar dari kanula tetapi hanya membutuhkan terapi oksigen untuk waktu yang singkat.20

17

Gambar 2.4 Sungkup Oksigen Sederhana 3. Sungkup dengan Reservoir Gas Ada dua jenis sungkup reservoir yaitu partial rebreathing mask dan nonrebreathing mask. Keduanya bersifat ringan dan transparan. Perbedaan keduanya yaitu berhubungan dengan katup pada sungkup dan antara sungkup dengan reservoir.20

Gambar 2.5 Sungkup Partial Rebreathing dan Nonrebreathing.

18

B. Peralatan Aliran Tinggi Gas yang diinspirasi dengan FiO2 yang sudah diatur disuplai secara terus-menerus pada aliran tinggi. Sistem aliran tinggi diindikasikan pada pasien yang membutuhkan:20 •

FiO2 konsisten



Aliran inspirasi gas yang besar (> 40 L/menit)

1. Sungkup Venturi Sungkup Venturi akan memberikan konsentrasi oksigen yang akurat kepada pasien tanpa memperhatikan kecepatan aliran oksigen. Konsentrasi oksigen tetap konstan karena adanya prinsip Venturi. Gas yang mengalir ke dalam sungkup didilusi dengan udara yang masuk melalui sangkar pada adaptor Venturi. Jumlah udara yang terhisap ke dalam sangkar berhubungan dengan aliran oksigen ke dalam sistem Venturi. Semakin tinggi aliran, semakin banyak udara yang masuk. Sungkup Venturi tersedia dalam konsentrasi sebagai berikut: 24%, 28%, 31%, 35%, 40%, dan 60%.22

Gambar 2.6 Sungkup Venturi.

19

Tabel 2.4 Alat Terapi Oksigen dan Flow Rate.20 Alat

Laju Aliran Oksigen (L/menit)

Rentang FiO2

1

0.21 – 0.24

2

0.23 – 0.28

3

0.27 – 0.34

4

0.31 – 0.38

5-6

0.32 – 0.44

5-6

0.30 – 0.45

7-8

0.40 – 0.60

7

0.35 – 0.75

15

0.65 – 1.00

7-15

0.40 – 1.00

4-6 (total flow = 15)

0.24

4-6 (total flow = 45)

0.28

8-10 (total flow = 45)

0.35

8-10 (total flow = 33)

0.40

8-12 (total flow = 33)

0.50

Nasal kanul

Sungkup sederhana

Sungkup partial rebreathing Sungkup nonrebreathing Sungkup Venturi

2.2.4 Monitoring Terapi Oksigen A. Pulse oximeters Pulse oximeter harus tersedia bagi semua petugas kesehatan yang memonitor pasien yang mendapatkan terapi oksigen. Klinisi harus menyadari bahwa pulse oximetry tidak memberikan informasi apapun mengenai PCO2 atau pH dan kebanyakan pulse oximeter menjadi tidak dapat diandalkan jika SpO2 seorang pasien mencapai di bawah 85%. Pulse oximetry bergantung kepada pulsatile flow dan bisa saja tidak dapat

20

melakukan pembacaan yang sempurna pada pasien dengan Raynaud’s phenomenon oleh karena penyakit vaskular kolagen. Pembacaan oximeter juga dapat dipengaruhi oleh syok, pigmentasi kulit, nail varnish, dan lainlain.22 B. Analisa Gas Darah Arteri (AGDA) AGDA harus diukur saat tiba di rumah sakit karena sebagian besar pasien membutuhkan terapi oksigen emergensi. Pengukuran gas darah harus diulang pada semua pasien kritis dan pada banyak kasus-kasus lainnya tergantung pada respon pengobatan.22 2.2.5 Bahaya Terapi Oksigen Terapi oksigen dapat menyebabkan baik toksisitas respiratorik dan nonrespiratorik. Faktor-faktor penting mencakup suseptibilitas pasien, FiO2, dan durasi terapi.20 A. Hipoventilasi Komplikasi ini terutama dijumpai pada pasien dengan COPD yang memiliki retensi CO2 kronis. Pasien-pasien ini mengembangkan dorongan pernapasan yang berubah yang menjadi setidaknya sebagian tergantung pada pemeliharaan hipoksemia relatif. Peningkatan tekanan oksigen arteri menjadi "normal" karena itu dapat menyebabkan hipoventilasi parah pada pasien ini.20 B. Atelektasis Absorpsi Konsentrasi oksigen yang tinggi dapat menyebabkan atelektasis pulmo pada area dengan rasio V/Q yang rendah. Ketika nitrogen “dicuci” dari paru, tekanan gas yang rendah pada kapiler darah paru menyebabkan peningkatan uptake gas alveolar dan atelektasis absorpsi.20 C. Toksisitas Paru Konsentrasi oksigen tinggi yang terus menerus bisa merusak paru. Toksisitas tergantung pada tekanan parsial oksigen pada gas yang diinspirasikan dan pada durasi paparan. Alveolar dibandingkan dengan

21

tekanan oksigen arteri paling penting dalam perkembangan toksisitas oksigen.20 D. Prematur Retinopati Retinopathy of prematurity (ROP) merupakan kelainan retinal neovaskular yang berkembang pada 84% prematur yang lahir kurang dari 28 minggu gestasi. ROP dapat mencakup proliferasi vaskular yang tidak beraturan dan fibrosis dan bisa menjadi pelepasan retina dan kebutaan. ROP sembuh senditi pada sekitar 80% kasus tanpa kehilangan visual. ROP dahulu sangat umum terjadi pada tahun 1940s-1950s ketika pemberian oksigen jumlah tinggi pada infan prematur tanpa dimonitor.20 E. Toksisitas Oksigen Hiperbarik Tekanan O2 yang tinggi diinspirasi yang berhubungan dengan terapi hiperbarik O2 mengakselerasi toksisitas oksigen. Risiko dan derajat toksisitas secara langsung berhubungan dengan tekanan yang digunakan dan durasi paparan.20 F. Bahaya Kebakaran Oksigen secara gampang dapat memicu kebakaran dan ledakan.20 2.3 MANAJEMEN JALAN NAPAS Pada pasien dengan penurunan kesadaran, lidah dapat jatuh ke belakang dan mengobstruksi hipofaring. Untuk memperbaiki bentuk obstruksi ini, petugas kesehatan dapat melakukan:23 A. Head Tilt-Chin Lift Maneuver Prosedur : Pasien posisi supine, letakkan satu tangan di kening dan dua jari dari tangan yang lainnya di bawah dagu. Pada saat yang bersamaan, angkat ke atas dagu dan miringkan kening ke belakang untuk mengekstensi kepala di atlanto-occipital joint. Indikasi : Obstruksi jaringan lunak jalan napas bagian atas Kontraindikasi : Fraktur servikal, Sindrom arteri basilar, bayi.24

22

Gambar 2.7 Head tilt-Chin lift Maneuver.24 B. Jaw Thrust Maneuver Prosedur: Dari atas kepala pasien, letakkan ibu jari pada dagu dan jari-jari lainnya d belakang sudut rahang secara bilateral. Dalam waktu yang bersamaan buka, angkat, dan geser rahang ke depan, subluksasi mandibula anterior di sendi temporomandibular. Indikasi: Obstruksi jalan napas jaringan lunak ketika head tilt-chin lift dikontraindikasikan (misal fraktur leher) atau tidak efektif. Kontraindikasi: Fraktur atau dislokasi rahang, pasien yang sadar.24

Gambar 2.8 Jaw Thrust Maneuver.

23

C. Triple Airway Maneuver Prosedur: Lakukan head tilt-chin lift diikuti dengan jaw thrust maneuver. Pertahankan mulut dalam posisi terbuka setelah subluksasi mandibula selama jaw thrust. Indikasi: Obstruksi ekspiratorik setelah dilakukan head tilt-chin lift dan jaw thrust Kontraindikasi: Sama seperti maneuver head tilt-chin lift dan jaw thrust.24

Gambar 2.9 Triple Airway Maneuver. Jika manuver jalan napas yang telah disebutkan diatas tidak cukup untuk membebaskan jalan napas, makan dapat digunakan alat jalan napas artifisial. A. Oropharyngeal Airways (OPA) OPA adalah alat yang paling umum digunakan untuk menyediakan patensi jalan napas bagian atas, biasanya terbuat dari plastik atau karet, dan tersedia dalam berbagai ukuran. Cara insersi OPA:23,24 -

Bersihkan mulut dan faring dari sekresi, darah, atau muntahan

-

Pilih ukuran OPA yang tepat dengan cara menempatkan OPA disamping wajah dengan ujungnya pada sudut mulut dan ujunglainnya pada sudut rahang bawah. Dewasa besar = 100 cm (Guedel no. 5) Dewasa sedang = 90 cm (Guedel no. 4)

24

Dewasa kecil = 80 cm (Guedel no. 3) Anak-anak = Guedel No. 1 dan No. 2 -

Masukkan OPA ke dalam rongga mulut dalam kondisi terbaik, bila sudah menyentuh palatum maka putar ke arah belakang 180 derajat.

-

Mengecek

ketepatan

pemasangan

dengan

memberikan

ventilasi dan melihat apakah dada mengembang dan suara nafas terdengar dengan menggunakan stetoskop.

Gambar 2.10 Guedel Airways. B. Nasopharyngeal Airways (NPA) NPA merupakan alat jalan napas alternatif untuk mengatasi obstruksi jaringan lunak jalan napas bagian atas. Ketika ditempatkan, NPA lebih tidak menstimulasi dibandingkan OPA dan oleh karena itu lebih gampang ditolerir pada pasien yang sadar, semikoma, atau dengan sedasi ringan. Cara insersi NPA:23,24 -

Nilai jalan nafas (polip, fraktur, perdarahan dan trauma wajah merupakan kontraindikasi)

-

Memilih ukuran yang tepat dengan diameter alat tidak lebih besar dari hidung dengan panjang NPA sama dengan jarak ujung hidung pasien ke cuping telinga atau dari lubang hidung sampai ke angulus mandibula.

25

-

Basahi NPA dengan gel anastesik.

-

Masukkan NPA secara lembut dengan arah posterior membentuk tegak lurus dengan permukaan wajah samapai ke dasar nasofaring.

-

Mengecek

ketepatan

pemasangan

dengan

memberikan

ventilasi dan memperhatikan apakah dada mengembang dan suara nafas terdengar melalui stetoskop.

Gambar 2.11 Nasopharyngeal Airways. Jalan napas definit memerlukan sebuah pipa yang diletakkan di trakea dengan cuff yang terinflasi di bawah pita suara, pipa terhubung dengan oksigen yang dibantu oleh ventilasi, dan jalan napas diamankan dengan metode stabilisasi yang tepat.

26

Tabel 2.5 Indikasi definite airway.23 Proteksi Jalan Napas

Ventilasi atau Oksigenasi

Fraktur maksilofasialis yang berat

Usaha respiratorik yang inadekuat

- Risiko aspirasi akibat perdarahan

-

Takipnu

dan/atau muntah

-

Hipoksia

-

Hiperkarbia

-

Sianosis

-

Agresif

Cedera Leher -

Hematoma leher

-

Perubahan progresif

-

Cedera laringeal atau

-

Penggunaan otot

trakeal -

aksesorius -

Cedera inhalasi akibat luka bakar dan luka

respiratorius

bakar di wajah -

Stridor

-

Perubahan suara

Paralisis otot

-

Pernapasan abdominal

-

deteriorasi neurologi

Cedera Kepala -

Penurunan kesadaran (GCS 8 atau kurang)

-

akut atau herniasi -

Agresif

Apnu akibat penurunan kesadaran atau paralisis neuromuskular

27

BAB III STATUS PASIEN 3.1 IDENTITAS PASIEN Nama

: NS

Umur

: 50 tahun

Pekerjaan

: Pegawai Negeri

Alamat

: Hutagurgur, Kecamatan Dolok Sanggul

Tanggal Masuk

: 28 Januari 2019

Berat Badan

: 65 kg

Tinggi Badan

: 160 cm

3.2 AUTOANAMNESIS KU

: Kaki bengkak

Telaah : Hal ini telah dialami oleh pasien sejak 2 bulan ini dan dirasakan semakin memberat sejak lebih kurang 2 hari ini. Riwayat kaki bengkak sebelumnya tidak dijumpai. Riwayat minum obat untuk mengurangi bengkak kaki tidak dijumpai. Mual dan muntah dijumpai sejak lebih kurang 2 minggu sebelum masuk rumah sakit dengan frekuensi 1 kali per hari berisi apa yang dimakan dan diminum. BAK sedikit sejak sekitar 2 hari ini dengan UOP < 600 cc/24 jam. BAB dalam batas normal. Riwayat menderita hipertensi dan diabetes mellitus tidak dijumpai. RPT : Asam urat RPO : Allopurinol, Natrium diclofenac

28

3.3 TIME SEQUENCES 28 Januari 2019 Pukul 15.00 WIB Pasien tiba di IGD RSUP Haji Adam Malik dan dirawat di RA6

06 Februari 2019 Pukul 16.00 WIB Pasien dikonsul untuk rawatan ICU

31 Januari 2019

31 Januari 2019

Pukul 20.00 WIB

Pukul 22.45 WIB

Pasien dikonsul untuk pemasangan double lumen di ruang tindakan

Anestesi melakukan pemasangan double lumen Fr 11.5 pada vena jugularis interna kanan kedalaman 15 cm

08 Februari 2019

08 Februari 2019

Pukul 05.00 WIB

Pukul 05.30 WIB

Pasien dikonsulkan kembali untuk rawatan ICU karena sebelumnya ruangan ICU penuh

Anestesi telah acc perawatan ICU pada pasien ini

29

3.4 PRIMARY SURVEY (05.00 WIB di RA6 pada tanggal 08/02/2019) A (Airway) – Airway clear – Snoring (-), Gurgling (-), Crowing (-) B (Breathing) – RR: 24 kali per menit, SaO2:98%, O2 via nasal kanul 2 L/i C (Circulation) -

Tekanan darah: 90/50 mmHg

-

Frekuensi Nadi: 100 kali per menit, regular, t/v kuat/cukup

-

Akral Dingin, Pucat, Kering

-

CRT <2 detik

-

Terpasang IV Line di tangan kanan

D (Disability) -

Kesadaran/AVPU: Sopor. GCS 8 E2 M4V2

-

Pupil isokor, diameter 3 mm/3 mm, RC: +/+

E (Exposure) -

Suhu aksila: 36,6ºC

3.5 SECONDARY SURVEY (14.00 WIB di ICU tanggal 08/02/2019) B1 (Breath)

: Airway clear ; RR: 24 x/menit; SP: vesikuler ka=ki; ST: (-/-) S/G/C: -/-/-

B2 (Blood)

: Akral: dingin/pucat/kering; TD: 100/50 mmHg; HR: 112 x/menit, reguler, t/v: kuat/cukup; CRT < 2 detik; Temperatur: 37,0°C, sianosis (-).

B3 (Brain)

: Sensorium: Sopor. GCS 8 E2M4V2; pupil: isokor; Ø: ± 3 mm / 3 mm; RC +/+

30

B4 (Bladder) : UOP (+); volume < 300 cc/24 jam, warna: kuning pekat, terpasang kateter urin. B5 (Bowel)

: Abdomen: soepel, peristaltik (+) normal

B6 (Bone)

: Fraktur (-); edema (-/-)

3.6 TATALAKSANA ICU •

Bed rest + head up 30o



Intubasi dengan ventilator modus MV SIMV 12. Psupport 10. PEEP 5 cmH2O. FiO2 50%.



IVFD Ringer laktat 14 gtt/i



Inj. Norepinefrin 8 mg / 50 ml NaCl 0.9% à titrasi



Inj. Dobutamin 250 ml / 50 ml NaCl 0.9% à titrasi



Inj Ceftriaxone 2 gr / 24 jam



Inj. Lansoprazole 40 mg / 12 jam



Inj. Furosemide 0.5 ml / jam



Concor 1 x 2.5 mg



Inj. Morphine 10 mg + Miloz 10 mg / 50 ml NaCl 0.9% à 2 ml/jam

31

3.7 PEMERIKSAAN PENUNJANG 3.7.1 Laboratorium Lab (28/01/2019)

Hasil

Rujukan

Hemoglobin (HGB)

6,8 g/dL

13 – 18 g/dL

Eritrosit

2.53 jt/µL

4.10-5.10 jt/µL

Leukosit (WBC)

14.050/µL

4,000-11,000/µL

Hematokrit

21%

36 – 47 %

Trombosit (PLT)

372,000/µL

150,000-450,000/µL

Natrium (Na)

132 mEq/L

135 – 155 mEq/L

Kalium (K)

3.9 mEq/L

3.6 – 5.5 mEq/L

Klorida (Cl)

95 mEq/L

96 – 106 mEq/L

HEMATOLOGI

ELEKTROLIT

METABOLISME KARBOHIDRAT GulaDarah (Sewaktu)

84 mg/dL

<200mg/dl

BUN

75 mg/dL

10-20 mg/dL

Ureum

161 mg/dL

21-43 mg/dL

Kreatinin

7.98 mg/dL

0.6-1.1 mg/dL

pH

7.460

7.35 – 7.45

pCO2

23 mmHg

38 - 42 mmHg

GINJAL

ANALISA GAS DARAH

32

pO2

194 U/L

85 - 100 U/L

HCO3

16.4 U/L

22 - 26 U/L

Total CO2

17.1 U/L

19 – 25 U/L

BE

-5.7 U/L

(-2) - (+2) U/L

SaO2

100%

95-100%

Lab (07/02/2019)

Hasil

Rujukan

Hemoglobin (HGB)

9,4 g/dL

13 – 18 g/dL

Eritrosit

3.51 jt/µL

4.10-5.10 jt/µL

Leukosit (WBC)

14.900/µL

4,000-11,000/µL

Hematokrit

29%

36 – 47 %

Trombosit (PLT)

169,000/µL

150,000-450,000/µL

pH

7.480

7.35 – 7.45

pCO2

22 mmHg

38 - 42 mmHg

pO2

203 U/L

85 - 100 U/L

HCO3

16.4 U/L

22 - 26 U/L

Total CO2

17.1 U/L

19 – 25 U/L

BE

-5.3 U/L

(-2) - (+2) U/L

SaO2

100%

95-100%

HEMATOLOGI

ANALISA GAS DARAH (06/02/2019)

33

3.7.2 Foto Thorax (31/01/2019) Hasil: Kedua sinus costophrenicus lancip, kedua diafragma licin. Tampak fibrosis di lapangan bawah paru kanan. Terpasang selang double lumen ujung distal setinggi V Th VIII proyeksi atrium kanan. Jantung tidak membesar. Trakea di tengah. Tulang-tulang dan soft tissue baik. Kesimpulan : Fibrosis di lapangan bawah paru kanan.

3.7.3 Elektrokardiografi

Gambar 3.1 Hasil Elektrokardiografi Pasien. Hasil: Sinus takikardi, Reguler, QRS rate: 100x/I, normoaxis, Gel. P normal, PR interval 0,16 s, QRS duration 0,04 s. ST changes (-). T inverted II, III, avF, LVH (-), RVH (-), RBBB (-), LBBB (-). Kesan: CAD inferior.

34

3.7.4 USG Ginjal dan Saluran Kemih (30/01/2019) Kesimpulan: Sesuai gambaran glomerulopati ginjal kanan dd herbal nefropati.

3.7.4 2D Echo-Doppler Report (01/02/2019)

Gambar 3.2 Hasil 2D Echo-Doppler Pasien. Kesimpulan: Disfungsi diastolik LV, TR mild, LV concentric remodelling.

3.8 DIAGNOSIS Diagnosis: Penurunan kesadaran ec sepsis + CHF fc III + CKD stg V

35

BAB IV FOLLOW UP

08 FEBRUARI 2019 (14:00) S O

Penurunan kesadaran -

Airway : clear, sp = vesikuler, intubasi st = -/-, S/G/C = -/-/-, SpO2 = 97%, RR = 17x/menit.

-

TD = 130/100, HR = 112x/menit, regular, t/v = kuat/cukup Akral = H/M/K, CRT = ˂ 2’’. T = 37,8O C

A P

-

Sensorium = sopor, RC = +/+

-

UOP (+), warna kuning pekat, kateter (+)

-

Abdomen = soepel, peristaltik (+) N

-

Oedem (-), fraktur (-).

Penurunan kesadaran ec sepsis + CHF fc III-IV ec CHD ec HHD + CKD stage V -

Bed rest + headup 30%

-

O2 50% dengan ventilator

-

IVFD Ringer Lactat 14gtt/i

-

Inj. Norepinefrin 8mg/50 cc Nacl 0,9% - titrasi

-

Inj. Dobutamin 250mg/50cc Nacl 0,9% - titrasi

-

Inj. Ceftriaxone 2g/24j

-

Inj. Lansoprazol 40mg/12j

-

Inj. Furosemid 1g/j

-

Concor 1× 2,5mg

36

09 FEBRUARI 2019 (8:00) S O

Penurunan kesadaran -

Airway : clear, sp = vesikuler, intubasi st = -/-, S/G/C = -/-/-, SpO2 = 98%, RR = 28x/menit.

-

TD = 140/90, HR = 93x/menit, regular, t/v = kuat/cukup Akral = H/M/K, CRT = ˂ 2’’. T = 37,5O C

A P

-

Sensorium = sopor, RC = +/+

-

UOP (+), warna kuning, kateter (+)

-

Abdomen = soepel, peristaltik (+) N

- Oedem (-), fraktur (-). Penurunan kesadaran ec sepsis + CHF fc III-IV ec CHD ec HHD + CKD stage V -

Bed rest + headup 30%

-

O2 50% dengan ventilator

-

IVFD Ringer Lactat 14gtt/i

-

Inj. Norepinefrin 8mg/50 cc Nacl 0,9% - titrasi

-

Inj. Dobutamin 250mg/50cc Nacl 0,9% - titrasi

-

Inj. Diazepam 3cc/j

-

Inj. Ceftriaxone 2g/24j

-

Inj. Lansoprazol 40mg/12j

-

Inj. Furosemid 1g/j

-

Concor 1× 2,5mg

-

Inj. Phenitoin 100mg/8j

37

10 FEBRUARI 2019 (8:00) S O

Penurunan kesadaran -

Airway : clear, sp = vesikuler, intubasi st = -/-, S/G/C = -/-/-, SpO2 = 96%, RR = 16x/menit.

-

TD = 100/90, HR = 98x/menit, regular, t/v = kuat/cukup Akral = H/M/K, CRT = ˂ 2’’. T = 36,5O C

A P

-

Sensorium = sopor, RC = +/+

-

UOP (+), warna kuning, kateter (+)

-

Abdomen = soepel, peristaltik (+) N

- Oedem (-), fraktur (-). Penurunan kesadaran ec sepsis + CHF fc III-IV ec CHD ec HHD + CKD stage V -

Bed rest + headup 30%

-

O2 50% dengan ventilator

-

IVFD Ringer Lactat 14gtt/i

-

Inj. Norepinefrin 8mg/50 cc Nacl 0,9% - titrasi

-

Inj. Dobutamin 250mg/50cc Nacl 0,9% - titrasi

-

Inj. Ceftriaxone 2g/24j

-

Inj. Lansoprazol 40mg/12j

-

Inj. Furosemid 1g/j

-

Concor 1× 2,5mg

-

Drip Manitol 100cc/8j

38

11 FEBRUARI 2019 (8:00) S O

Penurunan kesadaran -

Airway : clear, sp = vesikuler, intubasi st = -/-, S/G/C = -/-/-, SpO2 = 92%, RR = 12x/menit.

-

TD = 80/60, HR = 82x/menit, regular, t/v = kuat/cukup Akral = H/M/K, CRT = ˂ 2’’. T = 36,5O C

A P

-

Sensorium = sopor, RC = +/+

-

UOP (+), warna kuning, kateter (+)

-

Abdomen = soepel, peristaltik (+) N

- Oedem (-), fraktur (-). Penurunan kesadaran ec sepsis + CHF fc III-IV ec CHD ec HHD + CKD stage V -

Bed rest + headup 30%

-

O2 50% dengan ventilator

-

IVFD Ringer Lactat 14gtt/i

-

Inj. Norepinefrin 8mg/50 cc Nacl 0,9% - titrasi

-

Inj. Dobutamin 250mg/50cc Nacl 0,9% - titrasi

-

Inj. Ceftriaxone 2g/24j

-

Inj. Lansoprazol 40mg/12j

-

Inj. Furosemid 1g/j

-

Concor 1× 2,5mg

-

Drip Manitol 100cc/8j

39

BAB V DISKUSI KASUS N

TEORI

O 1

KASUS

DEFINISI Tabel 2. Kriteria qSOFA

Pasien ini mengalami penurunan

(quick-SOFA):

kesadaran (GCS: 8 E2 M4V2),

Terdapat 2 atau lebih kriteria

frekuensi nafas adalah 24 x/i dan

berikut:

tekanan darah pasien ini 90/50

Frekuensi nafas > 22x/menit

mmHg

Penurunan kesadaran Tekanan darah sistolik < 100 mmHg DIAGNOSIS 2

Biomarker yang ideal

Pada pasien ini tidak dilakukan

untuk infeksi harus

pemeriksaan biomarker.

sensitif bahkan pada pasien tanpa respon imun dan harus spesifik yaitu bisa membedakan infeksi atau non infeksi, dapat diukur secara cepat dan mudah serta mempunyai nilai prognostik. Antaralain : 1.Protein fase akut seperti C-reactive protein (CRP) atau prokalsitonin (PCT), 2. Sitokin seperti IL-6, IL8, IL-10

40

3. Kadar endotoksin 4. Gelombang fisik aPTT. Kultur harus dilakukan sebelum pemberian antibiotik awal. Setidaknya 2 set kultur darah (aerob dan anaerob) diambil. Pemeriksaan 1,3 beta-Dglucan, antibodi mannan dan anti-mannan (jika tersedia) untuk dugaan infeksi invasif jamur candida.

Kesimpulan:

Pemeriksaan radiologi

Fibrosis di lapangan bawah paru

dilakukan untuk

kanan.

mengkonfirmasi kemungkinan sumber infeksi. 3

PENATALAKSANAAN -

Resusitasi awal

-

Vasopresor dan

• •

Inotropik -

Terapi cairan

-

Terapi Antibiotik

-

Kontrol sumber infeksi

-

Tatalaksana suportif

• • •

(transfusi, ventilasi, •

dialysis) -

Manajemen jalan nafas



41

Bed rest + head up 300 Intubasi dengan ventilator modus MV SIMV 12. Psupport 10. PEEP 5 cmH20. FiO2 50% IVFD Ringer Laktat 14 gtt/i makro Inj. Norepinefrin 8 mg/50 ml NaCl 0,9% à titrasi Inj. Dobutamin 250 mg/50 ml NaCl 0,9% à titrasi Inj Ceftriaxone 2 gr/ 24 jam/ IV Inj Lansoprazole 40 mg/ 12 jam

• • •

42

Inj. Furosemide 0,5 ml/jam Concor 1x2,5 mg Inj. Morphine 10 mg + Miloz 10 mg/ 50 ml NaCl 0,9% à 2ml/jam

BAB VI KESIMPULAN Pasien perempuan NS, 50 tahun datang ke IGD RSHAM didiagnosa dengan penurunan kesadaran ec sepsis + CHF fc III + CKD stg V dan ditatalakasana awal dengan pemberian terapi cairan IVFD NaCl 0,9% 10gtt/I, inj. Furosemide 1 amp/24 jam, inj Ranitidine 50 mg/12 jam, inj. Metoclopramide . Setelah dirawat, pasien dipindahkan ke ICU general. Kemudian keadaan umum pasien memburuk dan dinyatakan meninggal dunia pada tanggal 12 Februari 2019.

43

DAFTAR PUSTAKA 1. Rhodes A, Evans L, Alhazzani W, Levi M, Antonelli M, Ferrer R, et al. Surviving Sepsis Campaign: International Guidelines for Management of Sepsis and Septic Shock: 2016. Intensive Care Med. 2017;43:304-377. 2. Hartawan G, Maya P. Terapi Oksigen. Denpasar; 2017. 3. Marik E Paul, Taeb M Abdalsamih : SIRS, qSOFA and new sepsis definition. www.ncbi.mlm.nih.gov/article: 2016 4. Napolitano L. Sepsis 2018: Definitions and Guideline Changes. Surgical Infections. 2018;19(2):117-125. 5. Singer M, Deutschman CS, et al: The third international consensus definitions for sepsis andseptic shock (sepsis-3). JAMA 2016; 315(8): 801-10. 6. Paoli C, Reynolds M, Sinha M, Gitlin M, Crouser E. Epidemiology and Costs of Sepsis in the United States—An Analysis Based on Timing of Diagnosis and Severity Level*. Critical Care Medicine. 2018;46(12):18891897. 7. Polat G, Ugan R, Cadirci E, Halici Z. Sepsis and Septic Shock: Current Treatment Strategies and New Approaches. The Eurasian Journal of Medicine. 2017;49(1):53-58. 8. Bernard GR, Vincent JL, Laterre PF, LaRosa S, Dhainaut JP, Rodriguez AL, et al. Efficacy and safety of Recombinant human activated protein c for severe sepsis. N Eng J Med. 2001 ; 344 (10): 699-709 9. Nguyen BH, Rivers EP, Abrahamian FM, Moran GJ, Abraham E, Tzerciak S, et al. Severe sepsis and septic shock; review of the literature and emergency department management guidelines. Annals of Emergency Medicine. 2006; 48 (1): 28-50. 10. Ince C. The microcirculation is the motor of sepsis. Critical Care Journal2005, 9(suppl 4):S13-S19 11. Snowden, C. Kirkman, E. The Pathophysiology of Sepsis. British Journal of Anasthesia CEPD Reviews.2002;2(1):11-14

44

12. Riyanto B. Infeksi gram positif, ancaman baru dibidang infeksi rumah sakit. Dalam: Padmomartomo FS, editor. Peningkatan profesionalisme dokter dibidang penyakit dalam guna mengantisipasi era globalisasi. Semarang: Badan Penerbit UNDIP, 2002: 237-42 13. Irvan, Febyan, Suparto. Sepsis dan Tatalaksana berdasarkan Guideline terbaru. Jurnal Anestesiologi Indoensia.2018 ; 1(10): 62-73 14. Bone RC, Balk RA et al: American college of chest physicians/society of critical care medicine consensus conference: definitions for sepsis and organ failure and guidelines for the use of innovative therapies in sepsis.CDC National Center of Hospital Statistics.2016. 15. Chen Kie, Pohan Herdiman T. Ilmu Penyakit Dalam. Edisi II, Jakarta : Balai Penerbit FKUI. 2012 16. Angus DC, van der Poll T: Severe sepsis and septic shock. N Engl J Med. 2013; 369: 840-51. 17. Dellinger RP, Carlet JM, Masur H, et al. Surviving Sepsis Campaign Guidelines for Management of Severe Sepsis and Septic Shock. Crit Care Med 2016; 32:858-873. 18. Kula R, Chylek V et al: Clinical study: A response to infection in patients with severe sepsis – do we need a “Stage-Directed Therapy concept?”. Brastilava Lek Listy, 2009; 110: 459-64. 19. Kane B, Decalmer S, Ronan O'Driscoll B. Emergency oxygen therapy: from guideline to implementation. Breathe. 2013;9(4):246-253. 20. Butterworth J, Mackey D, Wasnick J, Morgan G, Mikhail M, Morgan G. Morgan and Mikhail's Clinical Anesthesiology. 5th ed. McGraw Hill Education; 2013. 21. Singh V, Gupta P, Khatana S, Bhagol A. Supplemental oxygen therapy: Important considerations in oral and maxillofacial surgery. Natl J Maxillofac Surg. 2011;2(1):10-4. 22. O’Driscoll BR, Howard LS, Earis J, et al. Thorax 2017;72:i1–i90. 23. ATLS Subcommitte. Advanced Trauma Life Support. J Trauma Acute Care Surg. 2013. p. 32-57.

45

24. Hagberg C. Benumof and Hagberg's Airway management. 3rd ed. Elsevier; 2013.

46

Related Documents


More Documents from "Chandra Saja"

Laporan Kasus Intan.pptx
December 2019 30
Molahidatidosaa.docx
June 2020 12
Audit.docx
November 2019 29
Rizal.docx
November 2019 31