ILMU KESEHATAN MASYARAKAT
Tutorial Klinik
FAKULTAS KEDOKTERAN
Maret 2019
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
KEDOKTERAN KELUARGA TINEA KRURIS
Oleh: Kiki Amallia Putri, S.Ked (10542 0493 13)
Pembimbing : dr. Hj. Hatase Nurna (Kepala Puskesmas Jongaya)
DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR 2019
i
HALAMAN PENGESAHAN
Yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan bahwa: Nama / NIM : Kiki Amallia Putri, S.Ked / 10542049313 Judul
: Tinea Kruris
Telah menyelesaikan tugas Tutorial Klinik dalam rangka kepaniteraan klinik pada bagian
Ilmu
Kesehatan
Masyarakat
Fakultas
Kedokteran
Universitas
Muhammadiyah Makassar.
Makassar, Maret 2019 PEMBIMBING
dr. Hj. Hatase Nurna
i
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL LEMBAR PENGESAHAN .................................................................................... i DAFTAR ISI ......................................................................................................... ii BAB I
PENDAHULUAN ................................................................................. 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................... 3 A. DEFINISI .................................................................................................. 3 B. EPIDEMIOLOGI ...................................................................................... 3 C. ETIOLOGI ................................................................................................ 5 D. PATOGENESIS ........................................................................................ 5 E. GAMBARAN KLINIS ............................................................................. 7 F. PEMERIKSAAN PENUNJANG.............................................................. 8 G. DIAGNOSIS ............................................................................................. 9 H. DIAGNOSIS BANDING.......................................................................... 9 I. PENATALAKSAAN .............................................................................. 10 J. FAKTOR-FAKTOR
YANG
MEMPENGARUHI
TERJADINYA
DERMATOFITOSIS .............................................................................. 13 K. PENCEGAHAN ..................................................................................... 16 BAB III LAPORAN KASUS................................................................................ 18 A. IDENTITAS PASIEN ............................................................................. 18 B. ANAMNESIS ......................................................................................... 18 C. ANAMNESIS KELUARGA .................................................................. 20 D. PEMERIKSAAN FISIK ......................................................................... 22 E. PEMERIKSAAN PENUNJANG............................................................ 24 F. DIAGNOSIS BANDING........................................................................ 24 G. DIAGNOSIS KERJA.............................................................................. 24 H. TATALAKSANA ................................................................................... 24 I. PROGNOSIS .......................................................................................... 25 J. GENOGRAM ......................................................................................... 26 K. APGAR KELUARGA ............................................................................ 26
ii
L. MANDALA OF HEALTH ..................................................................... 28 M. STATUS KELUARGA .......................................................................... 29 N. KEGIATAN KUNJUNGAN RUMAH .................................................. 29 O. DIAGNOSA HOLISTIK (MULTIAKSIAL) ......................................... 33 P. RENCANA PENANGANAN ................................................................ 34 Q. INDIKATOR KELUARGA SEHAT ..................................................... 39 R. IDENTIFIKASI MASALAH PERILAKU HIDUP BERSIH DAN SEHAT .................................................................................................... 41 BAB IV PEMBAHASAN ..................................................................................... 42 BAB V LAMPIRAN ............................................................................................. 44 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 48
iii
BAB I PENDAHULUAN
Dermatofitosis adalah salah satu kelompok dermatomikosis superfisialis yang disebabkan oleh jamur dermatofit yang menyerang jaringan yang mengandung keratin seperti stratum korneum kulit, rambut dan kuku pada manusia dan hewan. Jamur ini dapat menginvasi seluruh lapisan stratum korneum dan menghasilkan gejala melalui aktivasi respon imun pejamu.1 Jamur
dermatofita
ini
meliputi
tiga
genus
yaitu
Trichophyton,
Microsporum dan Epidermophyton. Klasifikasi dermatofitosis dibagi berdasarkan habitat dan tempat predileksi infeksinya. Berdasarkan habitat alaminya, dermatofita dapat dibedakan menjadi tiga yaitu geofilik, zoofilik dan antropofilik. Sedangkan berdasarkan tempat predileksinya, dapat dibagi menjadi tinea kapitis, tinea barbae, tinea korporis, tinea manum, tinea kruris, tinea pedis dan tinea unguium.2,3 Tinea kruris adalah mikosis superfisial atau disebut juga Eczema marginatum, Dhobie itch, Jockey itch, Ringworm of the groin yang termasuk golongan dermatofitosis pada lipat paha, daerah perineum, dan sekitar anus.1 Dermatofitosis diperkirakan mengenai 20-25% dari seluruh populasi di dunia dan merupakan salah satu bentuk infeksi yang paling sering pada manusia.4 Insiden dermatofitosis di Indonesia sendiri bervariasi, dimana berdasarkan data dari berbagai rumah sakit pada tahun 2011, didapatkan insiden sebesar 42,5% (Jakarta), 48,5% (Manado), 52,7% (Surabaya), 55,4% (Medan), 59,7%
1
(Semarang), 64,5% (Denpasar), 65,5% (Yogyakarta), 69,1% (Makasar), 69,3% (Malang), 71,1% (Bandung), 74% (Palembang).5 Beberapa faktor presdiposisi terjadinya dermatofitosis antara lain iklim yang panas, kelembaban yang tinggi, higiene perorangan yang buruk seperti pada penderita psikotik, kontak lama dengan binatang, obesitas dan kondisi imunokompromais yang disebabkan oleh HIV/AIDS, pemakaian kortikosteroid dalam jangka waktu yang lama, serta diabetes melitus.4,6,7,8
2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi Tinea kruris adalah mikosis superfisial atau disebut juga Eczema marginatum, Dobie itch, Jockey itch, Ringworm of the groin yang termasuk golongan dermatofitosis pada lipat paha, daerah perineum, dan sekitar anus. Kelainan ini dapat bersifat akut atau menahun, bahkan dapat merupakan penyakit yang berlangsung seumur hidup. Lesi kulit dapat terbatas pada daerah genito-krural saja, atau meluas ke daerah sekitar anus, daerah gluteus dan perut bagian bawah, atau bagian tubuh yang lain.1 Penamaan penyakit ini merupakan istilah yang tidak cocok, karena dalam bahasa Latin kruris berarti kaki. Penyakit ini merupakan penyakit terbanyak yang ditemukan di daerah inguinal, yaitu sekitar 65-80% dari semua penyakit kulit di inguinal, sehingga beberapa kepustakaan menyatakan inguinal intertrigo sebagai sinonim dari tinea kruris.9
B. Epidemiologi Dermatofitosis diperkirakan mengenai 20-25% dari seluruh populasi di dunia dan merupakan salah satu bentuk infeksi yang paling sering pada manusia.4 Insiden dermatofitosis di Indonesia sendiri bervariasi, dimana berdasarkan data dari berbagai rumah sakit pada tahun 2011, didapatkan insiden sebesar 42,5% (Jakarta), 48,5% (Manado), 52,7% (Surabaya), 55,4%
3
(Medan), 59,7% (Semarang), 64,5% (Denpasar), 65,5% (Yogyakarta), 69,1% (Makasar), 69,3% (Malang), 71,1% (Bandung), 74% (Palembang).5 Dari segi usia, data dari beberapa rumah sakit di Indonesia menunjukkan bahwa remaja dan kelompok usia produktif adalah kelompok usia terbanyak menderita dermatomikosis superfisialis dibandingkan dengan kelompok usia yang lebih muda atau lebih tua. Kemungkinan karena segmen usia tersebut lebih banyak mengalami faktor predisposisi atau pencetus misalnya pekerjaan basah, trauma, banyak berkeringat, selain pajanan terhadap jamur lebih lama.10 Dari segi jenis kelamin, tinea kruris tiga kali lebih sering terjadi pada pria dibandingkan wanita.2 Tinea kruris kebanyakan disebabkan oleh Trichophyton rubrum dan Epidermophyton floccosum. Jamur dermatofita dapat ditularkan secara langsung maupun secara tidak langsung, dan untuk dapat menimbulkan suatu penyakit, jamur dermatofita harus memiliki kemampuan untuk melekat pada kulit host (pejamu), mampu menembus jaringan pejamu dan selanjutnya mampu bertahan dan menyesuaikan dengan suhu dan lingkungan biokimia pejamu.8,11 Sedangkan variabilitas host, seperti umur, jenis kelamin, ras, budaya dan imunitas dapat mempengaruhi manifestasi klinis dan perjalanan penyakit infeksi dermatofita ini. Ini menunjukkan bahwa penyakit ini bersifat multifaktorial.8,11
4
C. Etiologi Penyebab tersering tinea kruris adalah Trycophyton rubrum, Epidermophyton floccosum dan Trycophyton interdigitale. Selain itu juga dapat disebabkan oleh Trichophyton mentagrophytes dan walaupun jarang disebabkan oleh Microsporum gallinae.12
D. Patogenesis Dermatofitosis bukanlah patogen endogen. Transmisi dermatofit ke manusia dapat melalui 3 sumber masing-masing memberikan gambaran tipikal. Karena dermatofit tidak memiliki virulensi secara khusus dan khas hanya menginvasi bagian luar stratum korneum dari kulit.3
Types Of Dermatophytes Based On Mode Of Transmission Category
Mode of transmission
Typical clinical features
Antropofilik
Manusia ke manusia
Ringan, tanpa inflamasi, kronik. Inflamasi hebat (mungkin pustula
Zoofilik
Hewan ke manusia dan vesikel), akut. Tanah ke manusia atau
Geofilik
Inflamasi sedang hewan
Lingkungan kulit yang sesuai merupakan faktor penting dalam perkembangan klinis dermatofitosis. Infeksi alami disebabkan oleh deposisi
5
langsung spora atau hifa pada permukaan kulit yang mudah dimasuki dan umumnya tinggal di stratum korneum, dengan bantuan panas, kelembaban dan kondisi lain yang mendukung seperti trauma, keringat yang berlebih dan maserasi juga berpengaruh.13,14,15 Pemakaian bahan yang tidak berpori akan meningkatkan temperatur dan keringat sehingga mengganggu fungsi barier stratum korneum. Infeksi dapat ditularkan melalui kontak langsung dengan individu atau hewan yang terinfeksi, benda-benda seperti pakaian, alat-alat dan lain-lain. Infeksi dimulai dengan terjadinya kolonisasi hifa atau cabang-cabangnya dalam jaringan keratin yang mati. Hifa ini memproduksi enzim keratolitik yang mengadakan difusi ke dalam jaringan epidermis dan merusak keratinosit.14,15 Setelah masa perkembangannya (inkubasi) sekitar 1-3 minggu respon jaringan terhadap infeksi semakin jelas dan meninggi yang disebut ringworm, yang menginvasi bagian perifer kulit. Respon terhadap infeksi, dimana bagian aktif akan meningkatkan proses proliferasi sel epidermis dan menghasilkan skuama. Kondisi ini akan menciptakan bagian tepi aktif untuk berkembang dan bagian pusat akan bersih. Eliminasi dermatofit dilakukan oleh sistem pertahanan tubuh (imunitas) seluler.14,15 Pada masa inkubasi, dermatofit tumbuh dalam stratum korneum, kadang-kadang disertai tanda klinis yang minimal. Pada carier, dermatofit pada kulit yang normal dapat diketahui dengan pemeriksaan KOH atau kultur.15
6
E. Gambaran Klinis Gambaran klinis tinea kruris berupa makula eritematosa sampai plakat eritematosa berbatas tegas yang disertai papul atau vesikel dengan tepi yang meninggi dan skuama minimal, dapat juga dijumpai lesi erosi karena garukan. Lesi biasanya bilateral dengan penyebaran pada daerah lipat paha dulu baru kemudian meluas ke perineum, perianal, bokong, dan perut bagian bawah. Keluhan yang sering didapatkan berupa rasa gatal dan nyeri yang disebabkan oleh luka bekas garukan dan gesekan.2 Efloresensi terdiri atas macam-macam bentuk yang primer dan sekunder (polimorf). Bila penyakit ini menjadi menahun,
dapat berupa
bercak hitam disertai sedikit sisik. Erosi dan keluarnya cairan biasanya akibat garukan.1 Plak pada tinea cruris karena E. floccosum lebih cenderung menunjukkan pembukaan sentral, dan lebih sering terbatas pada lipatan genitokural dan paha atas medial. Sebaliknya, plak di tinea cruris karena T. rubrum bergabung dengan ekstensi ke daerah pubis, perianal, bokong, dan perut bagian bawah. Genitalia termasuk skrotum jarang terpengaruh.2
7
Gambar 1: Tinea cruris. Plak eritematosa anularis dengan batas peninggian yang membesar membentang dari inguinalis pada paha bagian dalam dan daerah kemaluan.2
F. Pemeriksaan Penunjang Dalam patogenesisnya, jamur patogen akan menyebabkan kelainan pada kulit sehingga atas dasar kelainan kulit inilah kita dapat membangun diagnosis. Akan tetapi kadang temuan floresensi tidak khas atau tidak jelas, sehingga diperlukan pemeriksaan penunjang. Sehingga diagnosis menjadi lebih tepat.16 Pemeriksaan mikroskopik langsung terhadap bahan pemeriksaan merupakan pemeriksaan yang cukup cepat, berguna dan efektif untuk mendiagnosis infeksi jamur.8
8
Pemeriksaan KOH merupakan pemeriksaan tunggal yang paling penting untuk mendiagnosis infeksi dermatofit secara langsung dibawah mikroskop dimana terlihat hifa diantara material keratin.7 Penyakit jamur
Floresensi
Tinea Kruris
Hijau
Pitiriasis versikolor
Biru kehijauan Kuning keemasan
Eritasma, Obat tetrasiklin
Merah bata kuning
G. Diagnosis Diagnosis ditetapkan berdasarkan gambaran klinis dan lokalisasinya atau pemeriksaan sediaan langsung kerokan lesi dengan larutan KOH 20%, untuk melihat elemen jamur dermatofit. Biakan jamur diperlukan untuk identifikasi spesies jamur penyebab yang lebih akurat.15 Diagnosis
pasti
digunakan
melakukan
pemeriksaan
dengan
menggunakan mikroskop untuk mengidentifikasi adanya hifa dan spora untuk mengetahui infeksi dermatofit. Infeksi dapat dikonfirmasi atau beberapa dari keadaan ini diidentifikasi dari hasil positif kerokan oleh kultur jamur.16
H. Diagnosis Banding Psoriasis pada sela paha dapat menyerupai tinea kruris. Lesi-lesi pada psoriasis biasanya lebih merah, skuama lebih banyak dan lamelar. Adanya lesi psoriasis pada tempat lain dapat membantu menentukan diagnosis.1
9
Kandidosis pada daerah lipat paha mempunyai konfigurasi hen and chicken. Kelainan ini biasanya basah dan berkrusta. Pada wanita ada tidaknya flour albus dapat membantu pengarahan diagnosis. Pada penderita-penderita diabetes melitus, kandidosis merupakan penyakit yang paling sering dijumpai.1 Eritrasma merupakan penyakit yang tersering berlokalisasi di sela paha. Efloresensi yang sama, yaitu eritema dan skuama, pada seluruh lesi merupakan tanda-tanda khas penyakit ini. pemeriksaan dengan lampu wood dapat menolong dengan adanya flouresensi merah (coral red).1
I. Penatalaksanaan Menghilangkan faktor predisposisi penting, misalnya mengusahakan daerah lesi selalu kering dan memakai baju yang menyerap keringat. 1. Terapi Topikal Terapi direkomendasikan untuk infeksi lokal karena dermatofit biasanya hidup pada jaringan. Berbagai macam preparat imidazol dan alilamin tersedia dalam berbagai formulasi. Dan semuanya memberikan keberhasilan terapi (70-100%). Terapi topikal digunakan 1-2 kali sehari selama 2 minggu tergantung agen yang digunakan. Topikal azol dan allilamin menunjukkan angka perbaikan perbaikan klinik yang tinggi.14 Berikut obat yang sering digunakan : a. Topikal Azol terdiri atas Econazol 1%, Ketoconazol 2%, Clotrimazol 1%, Miconazol 2%, dll. Derivat imidazol bekerja dengan cara
10
menghambat enzim 14-alfa-dimetilase pada pembentukan ergosterol membran sel jamur.14,17 b. Allilamin bekerja menghambat allosterik dan enzim jamur skualen 2,3 epoksidase sehingga skualen menumpuk pada proses pembentukan ergosterol membran sel jamur.10 yaitu aftifine 1 %, butenafin 1% Terbinafin 1% (fungisidal bersifat anti inflamasi) yang mampu bertahan hingga 7 hari sesudah pemakaian selama 7 hari berturutturut.14,17 c. Sikloklopirosolamin 2% (cat kuku, krim dan losio) bekerja menghambat masuknya bahan esensial selular dan pada konsentrasi tinggi merubah permeabilitas sel jamur merupakan agen topikal yang bersifat fungisidal dan fungistatik, antiinflamasi dan anti bakteri serta berspektrum luas.14
2. Terapi Sistemik Pedoman
yang
dikeluarkan
oleh
American
Academy
of
Dermatology menyatakan bahwa obat anti jamur (OAJ) sistemik dapat digunakan pada kasus hiperkeratosis terutama pada telapak tangan dan kaki, lesi yang luas, infeksi kronis, pasien imunokompromais, atau pasien tidak responsif maupun intoleran terhadap OAJ topikal.17 a. Griseofulvin Obat ini berasal dari penicillium griceofulvum dan masih dianggap baku emas pada pengobatan infeksi dermatofit genus Trichophyton,
11
Microsporum, Epidermophyton. Griseofulvin berkerja pada inti sel, menghambat mitosis pada stadium metafase. Dosis griseofulvin pada dewasa yaitu 0,5-1 gr dan 0,25-0,5 gr sehari atau 10-25 mg/kgBB untuk anak-anak. Diberikan 1-2 kali sehari, lama pengobatan bergantung pada lokasi penyakit, penyebab penyakit, dan keadaan imunitas penderita. Setelah sembuh klinis, pengobatan dilanjutkan hingga 2 minggu.1 b. Ketokonazol Merupakan OAJ sistemik pertama yang berspektrum luas, fungistatik, termasuk golongan imidazol. Absorbsi optimum bila suasana asam. Dosis ketokonazol yaitu 200 mg/hari selama 10 hari-2 minggu pada pagi hari setelah makan.1 c. Flukonazol Mempunyai mekanisme kerja sama dengan golongan imidazol, namun absorbsi tidak dipengaruhi oleh makanan atau kadar asam lambung. Dosisnya yaitu 6 mg/kgBB/hari selama 20 hari.2 d. Itrakonazol Merupakan OAJ golongan triazol, sangat lipofilik, spektrum luas, bersifat fungistatik dan efektif untuk dermatofita, ragi, jamur dismorfik maupun jamur dematiacea. Absorbsi maksimum dicapai bila obat diminum bersama dengan makanan. Dosisnya yaitu 2 x 100-200 mg sehari dalam kapsul selama 3 hari.1
12
e. Terbinafin Terbinafin bersifat fungisidal dapat diberikan sebagai pengganti griseofulvin selama 2-3 minggu, dosisnya 62,5 mg-250 mg sehari bergantung pada berat badan.1
J. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Terjadinya Dermatofitosis Dermatofitosis yang mempunyai penyebaran luas, meskipun demikian insidens lebih banyak didaerah dengan iklim lembab (tropis), kebersihan lingkungan dan pribadi, pemakaian baju ketat, keringat, baju yang lembab. Penyakit kulit di Indonesia pada umumnya lebih banyak disebabkan oleh infeksi bakteri, jamur, parasit, dan penyakit dasar alergi. 1. Suhu Keadaan suhu dan kelembaban udara dapat berubah-ubah tergantung dari posisi dan pancaran sinar matahari ke bumi. Sehingga suhu dan kelembaban udara pada jam-jam berbeda menunjukkan angka yang berbeda-beda. Demikian pula rata-rata suhu harian dan bulanan merupakan angka yang tidak selalu sama. Distribusi, spesies penyebab, dan bentuk infeksi yang terjadi bervariasi pada daerah geografis, lingkungan dan budaya yang berbeda. Dermatofita berkembang pada suhu 25- 28°C, dari timbulnya infeksi pada kulit manusia didukung oleh kondisi yang panas dan lembab. Karena alasan ini, infeksi jamur superfisial relatif sering pada negara tropis, pada populasi dengan status sosioal ekonomi rendah yang tinggal di
13
lingkungan yang sesak dan hygiene yang rendah. Menurut Petrus 2005 & Utama 2004 faktor yang mempengaruhi dermatofitosis adalah udara yang lembab, lingkungan yang padat, sosial ekonomi yang rendah, adanya sumber penularan disekitarnya, obesitas, penyakit sistemik, penggunaan obat antibiotik, steroid, sitostatika yang tidak terkendali. 2. Kelembaban Kebutuhan jamur akan kelembaban berbeda-beda, namun hampir semua jenis jamur dapat hidup pada substrat yang belum jenuh air. Kadar air substrat yang rendah sering menjadi faktor pembatas bagi pertumbuhan jamur. Hal ini terutama berlaku bagi jenis jamur yang hidup pada kayu atau tanah. Kayu dengan kadar air kurang dari 20% umumnya tidak terserang jamur perusak, sebaliknya kayu dengan kadar air 35-50% sangat disukai oleh jamur perusak. Jamur pelapuk akan menyerang kayu yang berbeda pada lingkungan yang lembab dalam waktu yang relatif lama. Kayu yang dipasang sebagai komponen bangunan disekitar kamar mandi atau sumur, kayu yang terkena tempias air hujan atau kayu yang terendam air akibat banjir akan mudah sekali terserang jamur pembusuk. 3. Konsentrasi Hidrogen (pH) Pada umumnya jamur akan tumbuh dengan baik pada pH kurang dari 7 (dalam suasana asam sampai netral). Pertumbuhan yang optimum akan dicapai pada pH 4,5 sampai 5,5.
14
4. Perumahan Berdasarkan literatur disebutkan bahwa rumah yang tidak memiliki kelembaban yang memenuhi syarat kesehatan akan membawa pengaruh bagi penghuninya. Rumah yang lembab merupakan media yang baik bagi pertumbuhan mikroorganisme, mikroorganisme tersebut dapat masuk ke dalam tubuh melalui udara (Gould dan Brooker, 2003). Keadaan perumahan adalah salah satu faktor yang menentukan keadaan higiene dan sanitasi lingkungan. Adapun syarat-syarat rumah yang sehat ditinjau dari ventilasi, cahaya, luas bangunan rumah, Fasilitasfasilitas di dalam rumah sehat sebagai berikut : (Notoatmodjo, 2003). a. Ventilasi Fungsi ventilasi adalah untuk menjaga agar aliran udara di dalam rumah tersebut tetap segar dan untuk membebaskan udara ruangan dari bakteri-bakteri, terutama bakteri patogen.. Luas ventilasi kurang lebih 15-20 % dari luas lantai rumah. b. Cahaya Rumah yang sehat memerlukan cahaya yang cukup, kurangnya cahaya yang masuk ke dalam ruangan rumah, terutama cahaya matahari disamping kurang nyaman, juga merupakan media atau tempat baik untuk hidup dan berkembangnya bibit penyakit. Penerangan yang cukup baik siang maupun malam 100-200 lux. c. Luas Bangunan Rumah Luas bangunan yang optimum adalah apabila dapat menyediakan 2,5-
15
3 m2 untuk tiap orang. Jika luas bangunan tidak sebanding dengan jumlah penghuni maka menyebabkan kurangnya konsumsi O2, sehingga jika salah satu penghuni menderita penyakit infeksi maka akan mempermudah penularan kepada anggota keluarga lain. d. Fasilitas-Fasilitas di Dalam Rumah Sehat Rumah yang sehat harus memiliki fasilitas seperti penyediaan air bersih yang cukup, pembuangan tinja, pembuangan sampah, pembuangan air limbah, fasilitas dapur, ruang berkumpul keluarga, gudang, kandang ternak.
K. Pencegahan Berikut ini beberapa hal yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya infeksi jamur: 1.
Selalu menjaga kebersihan diri, terutama kebersihan kulit dan kaki.
2.
Membiasakan mandi sekurang-kurangnya sekali sehari. Mencuci kaki dua kali sehari dan keringkan dengan cara menekan-nekan (jangan digosok) dengan handuk.
3.
Mengeringkan kulit secara menyeluruh setelah mandi, hingga sampai lipatan-lipatan.
4.
Membiasakan
agar
masing-masing
individu
menyimpan
dan
menggunakan handuknya sendiri agar tidak tercemar jamur atau kuman penyakit. 5.
Menggunakan kaos kaki dan pakaian dalam dari bahan katun, gantilah
16
secara rutin (sekurang-kurangnya sekali sehari). 6.
Gunakan bedak anti jamur pada sepatu atau kaos kaki untuk mencegah proliferasi spora jamur.
7.
Untuk pengidap diabetes, jaga agar kadar gula darah tetap dalam batas normal.
17
BAB III LAPORAN KASUS
A. Identitas Pasien Nama
: Ny. Marmi
Umur
: 41 tahun
Jenis kelamin
: Perempuan
Agama
: Islam
Pekerjaan
: Ibu Rumah Tangga
Alamat
: Jalan Bonto Duri II RT 001/RW 007. Kelurahan Pa’baeng-Baeng, Kecamatan Tamalate.
Status perkawinan : Kawin Suku/Bangsa
: Makassar
Tanggal Pemeriksaan : 05 Maret 2019 Tanggal Kunjungan Puskesmas: 05 Maret 2019 a. Tanggal kunjungan rumah I : 05 Maret 2019 b. Tanggal kunjungan rumah II : 06 Maret 2019 c. Tanggal Kunjungan rumah III: 07 Maret 2019
B. Anamnesis Seorang perempuan usia 41 tahun datang ke Puskesmas Jongaya dengan keluhan gatal dan kemerahan pada daerah selangkangan sejak 1 bulan yang lalu. Gatal terjadi sepanjang hari dan semakin memberat jika pasien
18
berkeringat. Pada awalnya terdapat bercak kemerahan bulat yang terasa gatal yang semakin hari semakin bercak tersebut semakin membesar. Menurut pasien gatal tidak dipengaruhi oleh makanan yang dikonsumsi setiap harinya. Keluhan yang sama juga dialami oleh anak pasien namun pada anak pasien terjadi keluhan gatal di tempat predileksi yang berbeda yaitu pada daerah kepala. Anak pasien juga datang berobat ke Puskesmas Jongaya. Riwayat Penyakit Sebelumnya Pasien tidak memiliki riwayat penyakit yang sama sebelumnya. Riwayat Penyakit Keluarga dan Sosial Dalam keluarga pasien memiliki riwayat penyakit yang sama yaitu anak pasien yang dialami sejak 1 minggu lalu. Penyakit yang sama untuk suami, saudara-saudara, dan kedua orangtua pasien disangkal. Riwayat Pengobatan Pasien belum mendapat pengobatan sebelumnya. Riwayat Lingkungan, Sosial, dan Ekonomi Pasien tinggal satu rumah bersama suami dan keempat anak pasien. Suami pasien bekerja sebagai sopir dengan penghasilan sekitar Rp. 100.000-Rp. 300.000/hari. Pasien memiliki kebiasaan memakai celana yang ketat dan kurang menyerap keringat sehingga membuat daerah selangkangan pasien sering lembab. Suami pasien adalah seorang perokok aktif yang biasanya merokok ±1 bungkus rokok setiap hari.
19
C. Anamnesis Keluarga 1. Bentuk dan Fungsi Keluarga a) Bentuk Keluarga 1) Bentuk Keluarga Menurut Goldenberg Keluarga terdiri dari kepala keluarga (KK) yang merupakan Suami pasien bernama Tn. S 44 tahun, Ny. M sebagai pasien berusia 41 tahun, anak pertama bernama NA berusia 18 tahun, anak kedua dan ketiga bernama NI dan NB berusia 13 tahun serta anak keempat bernama I berusia 6 tahun. Bentuk keluarga adalah Keluarga Inti (Nuclear Family) yaitu keluarga yang terdiri dari suami, istri dan anak-anak kandung. 2) Bentuk Keluarga Menurut Sussman Menurut Sussman bentuk keluarga ini adalah Keluarga Tradisional, yaitu keluarga yang pembentukannya sesuai atau tidak melanggar norma-norma kehidupan masyarakat yang secara tradisional dihormati bersama. Hal yang terpenting adalah keabsahan ikatan perkawinan antara suami dan istri. b) Fungsi Keluarga 1) Fungsi Biologis
Untuk meneruskan keturunan.
Memelihara dan membesarkan anak.
Memenuhi kebutuhan gizi keluarga.
Memelihara dan merawat anggota keluarga.
20
2) Fungsi Psikologis
Memberikan kasih sayang dan rasa aman.
Memberikan perhatian diantara anggota keluarga.
Membina pendewasaan kepribadian anggota keluarga.
Memberikan Identitas anggota keluarga.
3) Fungsi Sosial
Membina sosialisasi pada anak.
Membentuk norma-norma perilaku sesuai dengan tingkat perkembangan anak.
Meneruskan nilai-nilai budaya keluarga.
4) Fungsi Ekonomi
Mencari
sumber-sumber
penghasilan
untuk
memenuhi
kebutuhan keluarga.
Pengaturan penggunaan penghasilan keluarga untuk memenuhi kebutuhan keluarga.
Menabung untuk memenuhi kebutuhan keluarga di masa yang akan datang, misalnya pendidikan anak-anak, jaminan hari tua, dsb.
Keluarga ini telah memenuhi fungsi keluarga secara lengkap baik dari segi fungsi biologis, psikologis, sosial dan ekonomi.
21
2. Siklus Keluarga Tahapan siklus keluarga menurut Duvall pada keluarga Tn. S dan Ny. M termasuk ke dalam tahap ke 5 yaitu keluarga dengan anak remaja. Dimana keluarga ini memiliki 4 orang anak, anak pertama, kedua dan ketiga berusia remaja sedangkan anak keempat berusia pra sekolah.
D. Pemeriksaan Fisik Keadaan Umum : Lemah Kesadaran
: Compos Mentis
GCS
: E4V5M6
BB
: 80 kg
TB
: 158 cm
1. Vital Sign TD
: 120/80 mmHg
Nadi
: 84 x/menit
Pernapasan : 20 x/menit, teratur tipe torakoabdominal Temperatur : 36,5oC 2. Status General : Kepala dan Leher : a. Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil bulat isokor b. THT
: Struktur tonsil T1/T1, hiperemis (-)
c. Mulut : Mulut normal, gigi geligi dalam batas normal
22
d. Leher : Pembesaran KGB (-), kelenjar tiroid tidak membesar, leher Simetris Thorax : a. Inspeksi
: Retraksi (-), pergerakan dinding dada simetris
b. Palpasi
: Gerakan dinding dada simetris, fremitus vokal sama antara kiri dan kanan
c. Perkusi
: Sonor pada kedua lapang paru. Batas jantung tidak dievaluasi.
d. Auskultasi
:
Pulmo
: Vesikuler (+/+) , Ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
Cor
: S/S2 tunggal reguler, murmur (-), gallop (-)
Abdomen : a. Inspeksi
: Simetris, distensi (-), massa (-), skar (-), pelebaran
vena (-) b. Auskultasi
: Peristaltik (+)
c. Perkusi
: Timpani seluruh lapangan abdomen, nyeri ketuk (-)
d. Palpasi
: Nyeri tekan (-), massa (-), hepar dan lien tidak teraba
Anggota Gerak : Dalam batas normal Urogenital
: Tidak didapatkan kelaian.
Vertebrae
: Nyeri ketok costovertebra (-)
3. Status Dermatologis Status lokalis : Inguinal dextra et sinistra
23
Efloresensi
: Makula eritema dengan skuama halus dengan bagian
tengan lesi lebih tenang (central healing).
Gambar 2: Lesi Pada Regio Inguinal Dextra et Sinistra
E. Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan penunjang tidak dilakukan.
F. Diagnosis Banding Kandidosis intertriginosa, eritrasma.
G. Dianosis Kerja Tinea kruris
H. Tatalaksana 1. Farmakologi Terapi dari Puskesmas -
Cetirizine 10 mg 1x1
24
-
Ketoconazole cream 2% u.e
2. Non Farmakologi -
Edukasi kepada pasien mengenai penyakit pasien,
-
Penyuluhan hygiene perorangan, keluarga, dan lingkungan serta pola hidup bersih dan sehat,
-
Edukasi kepada pasien untuk rajin mengganti baju terutama bila beraktifitas yang menimbulkan keringat banyak, tidak memakai celana yang ketat serta memakai celana yang terbuat dari bahan yang menyerap keringat, selalu mencuci baju setelah 1 kali pemakaian, tidak bertukar handuk atau pakaian, mengganti sprei tempat tidur, tidak menumpukkan pakaian diatas tempat tidur dan melakukan penjemuran pakaian di tempat yang cukup terkena cahaya matahari, serta mengganti sabun padat dengan sabun cair,
-
Edukasi kepada pasien tentang lama pengobatan dan bagaimana cara pengunaan obat,
-
Konseling kepada pasien untuk melakukan tindakan pencegahan penyakit.
I. Prognosis Dubia ad bonam.
25
J. Genogram
Keterangan: : pria : wanita : pasien tinea kruris Gambar 3: Genogram Keluarga
K. Apgar Keluarga Apgar keluarga adalah suatu penentu sehat atau tidaknya keluarga dikembangkan oleh Rosen, Geymon, dan Leyton dengan menilai 5 fungsi pokok keluarga/tingkat kesehatan keluarga yaitu:
26
TABEL NILAI APGAR Respons KRITERIA
PERTANYAAN
Adaptasi
Apakah pasien puas dengan keluarga karena masing-masing anggota keluarga sudah menjalankan kewajiban sesuai dengan seharusnya
Kemitraan
Pertumbuhan
Kasih Sayang Kebersamaan
Apakah pasien puas dengan keluarga karena dapat membantu memberikan solusi terhadap permasalahan yang dihadapi Apakah pasien puas dengan kebebasan yang diberikan keluarga untuk mengembangkan kemampuan yang pasien miliki Apakah pasien puas dengan kehangatan / kasih sayang yang diberikan keluarga Apakah pasien puas dengan waktu yang disediakan keluarga untuk menjalin kebersamaan
Hampir selalu
Kadang
Hampir tidak pernah
√
√
√
√ √
TOTAL Skoring : Hampir selalu=2 , kadang-kadang=1 , hampir tidak pernah=0 Total skor 8-10 = fungsi keluarga sehat 4-7 = fungsi keluarga kurang sehat 0-3 = fungsi keluarga sakit Dari tabel APGAR keluarga diatas total nilai skoringnya adalah 8, ini menunjukan fungsi keluarga sehat.
27
L. Mandala of Health
GAYA HIDUP Pemenuhan kebutuhan primer dapat tercukupi dengan baik PERILAKU KESEHATAN . -
A.-
B.
Family
Kurangnya pengetahuan pasien akan penyakitnya Kurangnya pengetahuan pasien tentang kebersihan diri Kurang menjaga higienitas personal dan keluarga
1.
LINGK. EKONOMI
PSIKO-SOSIO-
ku -
Pendapatan keluarga kurang cukup Hubungan sosial dengan keluarga cukup baik.
-
C. Pasien datang dengan keluhan gatal-gatal dan
D. PELAYANAN KESEHATAN
E.
Jarak rumah dgn PKM cukup dekat
F.
kemerahan pada daerah selangkangan sejak 1
LINGK. KERJA
bulan.
Faktor pekerjaan yang mengakibatkan pasien keringat berlebih
Pemfis: Makula eritema dengan skuama halus dengan bagian tengan lesi lebih tenang (central
Gambar 2. Mandala of health
healing) pada daerah inguinal. LINGKUNGAN FISIK BIOLOGI Keadaan rumah dan lingkungan kurang baik. pasien memiliki kebiasaan memakai celana ketat dan kurang menyerap keringat.
Pasien menderita Tinea Kruris
Komunitas : Pemukiman padat penduduk.
Gambar 4: Mandala of Health
28
M. Status Keluarga Kedudukan Nama
dalam
L/P
Umur
Pendidikan
Pekerjaan
Ket
keluarga Tn. S
Suami
L
44 th
Tamat SMA
Sopir
Ny. M
Istri
P
41 th
Tamat SMP
IRT
NA
Anak
P
18 th
SMA
Pelajar
NI
Anak
P
13 th
SMP
Pelajar
NB
Anak
P
13 th
SMP
Pelajar
I
Anak
L
6 th
Belum
-
Sekolah
N. Kegiatan Kunjungan Rumah NO
WAKTU
1.
05 Maret 2019
KEGIATAN Anamnesa,
HASIL
pemeriksaan Pada
fisik, identifikasi masalah
cukup
saat
anamnesa,
kooperatif
dilakukan
pasien
dan
saat
pemeriksaan
fisik
ditemukan: -
Keluhan pasien gatal-gatal di daerah selangkangan sejak 1 bulan lalu.
-
Pengetahuan pasien terhadap penyakitnya kurang
29
2.
06 Maret 2019
-
-
-
Follow
up
anamnesa -
dan pemeriksaan fisik.
paham
Konseling
penyakitnya
pasien
07 Maret 2019
-
-
-
menjaga kebersihan diri dan
tentang dan
gaya
lingkungan. -
Pasien
akan
kontrol
ke
Menjelaskan pentingnya
puskesmas untuk memantau
konsultasi ke pelayanan
perkembangan kesembuhan
kesehatan.
penyakitnya.
Follow
up
anamnesa -
Pasien dan keluarga lebih
dan pemeriksaan fisik.
paham
Konseling
penyakitnya
pasien
mengenai dan
akan
mengenai penyakitnya.
mengikuti saran untuk lebih
Edukasi
menjaga kebersihan diri dan
tentang dan
gaya
hidup.
3.
akan
Edukasi
penyakit
-
dan
mengikuti saran untuk lebih
hidup.
3.
mengenai
mengenai penyakitnya.
penyakit
-
Pasien dan keluarga lebih
lingkungan. -
Pasien
akan
kontrol
ke
Menjelaskan pentingnya
puskesmas untuk memantau
konsultasi ke pelayanan
perkembangan kesembuhan
kesehatan.
penyakitnya.
Kondisi Pasien Saat kunjungan rumah, keluhan pasien masih sama karena baru mendapatkan pengobatan, tetapi rasa gatal cenderung berkurang. Dari pemeriksaan fisik yang dilakukan juga tidak didapatkan kelainan yang memperburuk kondisi pasien dan pasien dapat beraktifitas secara normal sesuai dengan umurnya.
30
2.
Keadaan Rumah a.
Letak : Rumah yang dihuni pasien terletak di pemukiman padat penduduk, beralamat di Jln. Bonto Duri II RT 001/RW 007, Kelurahan Pa’baeng-Baeng, Kecamatan Tamalate, Kota Makassar.
b.
Kondisi : Berada di lantai 2, tidak kokoh, dinding rumah sebagian dari tembok sebagian lagi berdinding seng dan triplek, lantai dari papan, atap rumah dari seng, tidak mempunyai halaman. Dengan luas rumah 4 x 12 meter, dihuni oleh 6 orang.
c.
Pembagian ruang : Di dalam rumah terdapat 1 ruang tamu, 2 kamar tidur, 1 kamar mandi dan 1 dapur.
d.
Ventilasi : Terdapat jendela pada ruang depan dan kamar tidur, namun di ruang lain tidak terdapat ventilasi.
e.
Pencahayaan : Pencahayaan di dalam rumah cukup sehingga suasana agak gelap di siang hari tanpa bantuan listrik. Daya listrik pada rumah tersebut cukup terbatas dan dirasa cukup untuk keperluan sehari-hari seluruh keluarga.
f.
Kebersihan : Kebersihan dalam rumah kurang dengan tata letak barang-barang yang berantakan.
g.
Sanitasi Dasar : 1) Sumber air bersih : Sumber air dari PAM. 2) Jamban Keluarga : Terdapat 1 buah kamar mandi dengan 1 jamban jongkok dan bak mandi terbuat dari semen dan sudah dilapisi porselen. Kesan kamar mandi bersih, tidak bau dan
31
terawat. Berukuran sekitar 2 m x 1 m. Air dalam bak mandi bersih dan tidak ada jentik nyamuk. 3) Saluran Pembuangan Air Limbah : Limbah rumah tangga dialirkan ke peresapan, tidak ditemukan genangan limbah di sekitar rumah. Saluran pembuangan air limbah digunakan bersama dengan warga lainnya. 4) Tempat Pembuangan Sampah : Sampah dikumpulkan di keranjang sampah, yang setiap dipindahkan ke depan rumah untuk diambil oleh petugas sampah. Pembayaran sampah ditanggung bersama oleh warga sekitar. 5) Halaman : Tidak ada halaman depan rumah. Jalan gang depan rumah yang terbuat dari batu bata. 6) Kandang : Tidak memiliki kandang untuk hewan-hewan peliharaan atau ternak. 3.
Kepemilikan Barang Rumah yang ditempati merupakan rumah milik peninggalan orangtua pasien. Keluarga tersebut memiliki lemari, tempat tidur, lemari pakaian, kulkas, kipas angin, peralatan dapur, dll.
4.
Keadaan Lingkungan Sekitar Rumah Limbah rumah tangga dialirkan melalui saluran limbah, tanpa tempat sampah di luar rumah. Kesan kebersihan di lingkungan tersebut cukup baik.
32
O. Diagnosa Holistik (Multiaksial) 1.
Aksis I Aspek Personal (alasan kedatangan, harapan, kekhawatiran a. Alasan berobat : Bercak disertai rasa yang sangat gatal pada daerah selangkangan yang semakin meluas sejak 1 bulan lalu. b. Harapan : Keluhan dapat hilang dan pasien dapat sembuh dari penyakit tersebut, sehingga dapat nyaman beraktivitas seperti biasa. c. Kekhawatiran : Takut keluhannya bertambah berat dan meluas keseluruh badan dan menularkan ke anggota keluarga yang lain.
2.
Aksis II Aspek Klinis (diagnosis kerja dan diagnosis banding) a. Diagnosa Kerja : Tinea Kruris b. Diagnosa Banding : Kandidosis intertriginosa, eritrasma
3.
Aksis III Aspek
Faktor
Intrinsik
(faktor-faktor
internal
yang
dapat
mempengaruhi masalah kesehatan pasien) a. Kurangnya pengetahuan pasien tentang tinea b. Kurang memperhatikan anggota keluarga dengan gejala yang sama c. Kurangnya pengetahuan pasien tentang kebersihan diri 4.
Aksis IV Aspek
Psikososial
Keluarga
(faktor-faktor
eksternal
yang
mempengaruhi masalah kesehatan pasien) a. Kurangnya kesadaran terhadap pencegahan penyakit
33
b. Status pendidikan yang rendah c. Kurangnya menjaga higienitas personal dan keluarga d. Faktor kondisi rumah yang panas sehingga mudah berkeringat berlebih e. Pemakaian celana ketat dan tidak menyerap keringat 5.
Aksis V Aspek Fungsional (tingkat kesulitan dalam melakukan aktivitas seharihari baik di dalam maupun di luar rumah, fisik maupun mental) Secara aspek fungsional, pasien tidak ada kesulitan dan masih merasa mampu dalam hal fisik dan mental untuk melakukan aktifitas di dalam maupun di luar rumah.
P. Rencanan Penanganan Rencana penanganan berdasarkan aksis yang diberikan kepada pasien dan keluarga pasien adalah sebagai berikut : 1.
Aspek personal : Menganjurkan pasien dan keluarga pasien untuk kontrol ke puskesmas apabila ditemukan gejala yang sama serta menjelaskan agar tetap mengonsumsi obat hingga sembuh. Hasil yang diharapkan adalah kondisi pasien membaik dan mampu melakukan aktivitas seperti biasanya setiap hari.
2.
Aspek klinik : Menganjurkan pasien dan keluarga pasien untuk makan makanan yang lebih bergizi, bersih dan istirahat cukup serta menghidari faktor-faktor yang meperberat seperti memakai handuk yang sama
34
dengan anggota keluarga yang lain, jarang mandi, memakai pakaian ketat dengan bahan yang tidak menyerap keringat agar proses penyembuhan lebih cepat. 3.
Aspek resiko internal : Menganjurkan kepada pasien dan keluarga pasien untuk lebih memperhatikan kebersihan, bahan pakaian yang digunakan, kebiasaan memakai handuk yang sama, makanan yang dikonsumsi oleh pasien dan seluruh anggota keluarga serta melakukan pola hidup sehat. Hasil yang diharapkan keluarga dan pasien tidak mengalami gejala berulang.
4.
Aspek psikososial keluarga : Menjelaskan kepada keluarga pasien dan pasien tentang penyakit yang diderita pasien dan memberikan dukungan agar selalu menjaga kebersihan dan pola hidup sehat. Hasil yang diharapkan adalah pasien dan keluarga pasien dapat memahami dengan baik tentang penyakit yang sedang diderita pasien sehingga dapat mengupayakan pencegahan untuk penyakit tersebut.
5.
Aspek Fungsional : Menganjurkan kepada keluarga pasien dan pasien untuk menjaga kondisi fisik. Hasil yang diharapkan adalah kondisi pasien dan keluarga lebih sehat dan dapat meningkatkan kualitas hidup pasien.
35
Penilaian Status Sosial dan Kesejahteraan Hidup
Lingkungan Tempat Tinggal
Status kepemilikan rumah
: Milik pribadi orang tua pasien
Daerah tempat tinggal
: Padat penduduk
Luas rumah
4 m x 12 m
Bertingkat
Bertingkat
Jumlah penghuni rumah
6 orang
Luas halaman
Tidak ada
Lantai rumah terbuat dari
Papan
Dinding rumah terbuat dari
Tembok, seng dan triplek
Kondisi dalam rumah
Sedang
Penerangan listrik
Ada
Jamban
Ada (wc didalam rumah)
Ketersediaan air bersih
Ada (PDAM)
Kepemilikan Barang-Barang Berharga Memiliki bebrapa barang elektronik dan barang rumah tangga di rumahnya antara lain yaitu 1 set sofa, 1 buah kulkas, 1 buah kipas angin, 1 buah rice cooker, 1 buah lemari berisi piring keramik, 1 buah kompor gas serta 1 kendaraan yaitu sepeda motor.
Penilaian Perilaku Kesehatan Keluarga Pasien jarang berobat untuk kontrol kesehatan ke Puskesmas Jongaya menggunakan kartu jaminan kesehatan berupa KIS.
36
Status Sosial dan Kesejahteraan Keluarga Pekerjaan pasien adalah ibu rumah tangga. Pasien tinggal di rumah yang terletak di Jl. Bonto Duri II RT 001/RW 007, Kelurahan Pa’baengBaeng, Kecamatan Tamalate.
Pola Konsumsi Makanan Keluarga Pola makan pasien teratur dimana pasien biasanya makan 3 kali sehari dengan porsi yang tidak tentu, kurang konsumsi buah-buahan dan sayursayuran, biasa mengkonsumsi teh setiap hari dengan satu sendok makan gula.
Psikologi dalam Hubungan Antar Anggota Keluarga Pasien memiliki hubungan yang baik dengan sesama anggota keluarga terutama suami dan anak-anak pasien.
Kebiasaan Pasien mempunyai kebiasaan memakai celana ketat dengan bahan yang tidak menyerap keringat.
Lingkungan Lingkungan tempat tinggal pasien cukup baik. Tata pemukiman padat penduduk. Kebersihan lingkungan rumah dikatakan kurang baik karena pada saat kunjungan di rumah pasien tampak kamar tidur dan dapur sedikit berantakan. Ventilasi rumah pasien kurang. WC yang digunakan adalah wc dalam rumah yang digunakan bersama. Sumber air diperoleh pasien dari PDAM. Jalanan depan rumah pasien cukup baik dan bersih.
37
Di rumah pasien terdapat 1 ruang tamu, 2 kamar tidur, 1 dapur dan 1 kamar mandi, dimana setiap ruangan dipisahkan dengan papan triplek. Jalanan di depan rumah cukup baik, rumah pasien dengan tetangga yang lain berdempet (berpetak).
Data Sarana Pelayanan Kesehatan dan Lingkungan Keluarga
Kesimpulan tentang faktor pelayanan Faktor
Keterangan kesehatan
Sarana pelayanan kesehatan yang Puskesmas
Pelayanan dengan menggunakan kartu KIS
digunakan oleh keluarga Cara mencapai Jarak puskesmas dengan kediaman pasien sarana pelayanan
Naik motor cukup dekat
kesehatan tersebut Tarif pelayanan Memakai
Semua pelayanan dengan menggunakan kertu
KIS
jaminan kesehatan
Baik
Kualitas pelayanan di puskesmas dirasa baik
kesehatan yang dirasakan Kualitas pelayanan kesehatan yang dirasakan
38
Q. Indikator Keluarga Sehat
No.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10. 11.
12.
Indikator Keluarga mengikuti program KB Ibu hamil memeriksa kehamilannya (ANC) sesuai standar Bayi usia 0-11 bulan diberikan imunisasi lengkap Pemberian ASI eksklusif bayi 0-6 bulan Pemantuan pertumbuhan balita Penderita TB Paru yang berobat sesuai standar Penderita hipertensi yang berobat teratur Tidak ada anggota keluarga yang merokok Sekeluarga sudah menjadi anggota JKN Mempunyai dan menggunakan sarana air bersih Menggunakan jamban keluarga Penderita gangguan jiwa berat berobat dengan benar
Istri (M, 41 tahun)
Suami (S, 44 tahun)
Anak I (NA, 18 tahun)
Anak II (NI, 13 tahun)
Anak III (NB, 13 tahun)
Anak IV (I, 6 tahun)
Nilai
Y
1
N
N
N
N
N
N
N
N
N
N
N
N
N
N
N
N
N
N
N
N
N
N
N
N
T
T
T
T
T
T
T
Y
Y
Y
Y
Y
Y
1
Y
Y
Y
Y
Y
Y
1
Y
Y
Y
Y
Y
Y
1
N
N
N
N
N
N
N
1
Indeks Keluarga Sadar Kesehatan (IKSK)
39
Keterangan: = Not applicablel yang berarti indikator tersebut tidak mungkin ada pada anggota keluarga. N = indikator tersebut TIDAK BERLAKU untuk anggota keluarga atau keluarga yang bersangkutan (misal: karena salah satu sudah mengikuti KB, atau tidak dijumpai adanya penderita TB paru). Y = kondisi/keadaan anggota keluarga atau keluarga SESUAI dengan indikator (misal:
ibu
memang
melakukan
persalinan
di
fasilitas
kesehatan)
T = kondisi/keadaan anggota keluarga atau keluarga TIDAK SESUAI dengan indikator (misal: ayah ternyata merokok) Interpretasi Nilai indeks >0,800 = keluarga sehat Nilai indeks 0,500-0,800 = keluarga pra sehat Nilai indeks <0,500 = keluarga tidak sehat Hasil Perhitungan
𝒀 𝟒 𝟒 = = = 𝟎, 𝟖𝟎𝟎 𝟏𝟐 − 𝑵 𝟏𝟐 − 𝟕 𝟓 Hasil: Dari perhitungan didapatkan hasil yaitu 0,800 dikategorikan dalam nilai indeks 0,500-0,800 yaitu keluarga pra-sehat. Keluarga ini tetap diperlukan evaluasi untuk memantau adanya indikator yang tidak sesuai.
40
R. Identifikasi Masalah Perilaku Hidup Bersih dan Sehat No.
Kriteria yang dinilai
Jawaban
Skor
1.
Persalinan ditolong oleh tenaga kesehatan.
-
-
2.
Memberi ASI ekslusif.
-
-
3.
Menimbang balita setiap bulan.
-
-
4.
Menggunakan air bersih.
Ya
1
5.
Mencuci tangan dengan air bersih dan sabun.
Tidak
0
6.
Menggunakan jamban sehat.
Ya
1
7.
Memberantas jentik di rumah sekali seminggu.
Tidak
0
8.
Makan buah dan sayur setiap hari.
Tidak
0
9.
Melakukan aktivitas fisik setiap hari.
Ya
1
10.
Tidak merokok di dalam rumah.
Tidak
0
Total jawaban ya
3
Interpretasi: Total skor adalah 3 yang berarti keluarga Ny. Marmi tidak menerapkan PHBS dengan baik.
41
BAB IV PEMBAHASAN
Studi kasus dilakukan pada pasien M, perempuan berusia 41 tahun dengan keluhan gatal dan kemerahan pada daerah selangkangan sejak 1 bulan yang lalu. Gatal terjadi sepanjang hari dan semakin memberat jika pasien berkeringat. Pada awalnya terdapat bercak kemerahan bulat yang terasa gatal yang semakin hari semakin bercak tersebut semakin membesar. Menurut pasien gatal tidak dipengaruhi oleh makanan yang dikonsumsi setiap harinya. Keluhan yang sama juga dialami oleh anak pasien namun pada anak pasien terjadi keluhan gatal di tempat predileksi yang berbeda yaitu pada daerah kepala. Anak pasien juga datang berobat ke Puskesmas Jongaya. Pada pemeriksaan fisik didapatkan status lokalis pada regio inguinal dextra et sinistra, efloresensi berupa makula eritema dengan skuama halus dengan bagian tengan lesi lebih tenang (central healing). Dari anamnesis dan pemeriksaan fisik maka pasien didiagnosis dengan tinea kruris. Terapi yang diberikan terdiri dari terapi medikamentosa dan non medikamentosa. Terapi medikamentosa yang diberikan pada pasien berupa cetirizine 10 mg 1x1 dan ketoconazole cream 2% u.e. sedangkan terapi non medikamentosa meliputi edukasi tentang pola hidup bersih dan sehat seperti membiasakan mandi sekurang-kurangnya sekali sehari, mencuci kaki dua kali sehari dan keringkan, sering mengganti pakaian jika basah akibat keringat, tidak memakai celana yang ketat serta memakai celana yang terbuat dari bahan yang menyerap keringat, selalu mencuci baju setelah 1 kali pemakaian, tidak bertukar
42
handuk atau pakaian, mengganti sprei tempat tidur, tidak menumpukkan pakaian diatas tempat tidur dan melakukan penjemuran pakaian di tempat yang cukup terkena cahaya matahari, serta mengganti sabun padat dengan sabun cair. Selain itu diberikan informasi mengenai pentingnya ventilasi di dalam rumah dan menyarankan agar jendela dibuka setiap pagi. Saya mengunjungi rumah pasien dan meninjau kembali keadaan lingkungan rumah dan sekitarnnya, melakukan edukasi terhadap keluarganya mengenai perilaku hidup bersih dan sehat, sehingga keluarga pasien memperoleh informasi yang dapat memperbaiki quality of life pasien dalam kehidupan sehari-hari.
43
BAB V LAMPIRAN
Kondisi Bagian Depan dan Samping Rumah
44
Ruang Tamu
45
Kamar Tidur
Dapur dan Kamar Mandi
46
47
DAFTAR PUSTAKA
1. Widaty S, Budimulja U. Dermatofitosis. Dalam: Menaldi SL SW, Bramono K, Indriatmi W, (editors), Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi 7. Jakarta : Badan Penerbit FKUI. 2016. Hal 109-16. 2. Schieke SM, Garg A. Superficial fungal infection. In: Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, Wolff K, editors. Fitzpatrick's Dermatology in General Medicine. 8th edition. New York: The McGraw Hill. 2012. 2277-97 pp. 3. Elewski BE, Hughey CY, Sobera JO, et al. Fungal Diseases. In: Bolognia JL, Jorizzo JL, Schaffer JV, editors. Dermatology. 3rd edition. Spain: Elsevier. 2012. 1255-63 pp.
4. Pires CAA, Lobato AM, Carneiro FRO, et al. Clinical Epidemiological and Therapeutic Profile of Dermatophytosis. An Bras Dermatol. 2014: 259-64.
5. Adiguna MS. Epidemiologi Dermatomikosis Superfisialis di Indonesia. Dalam: Bramono K, Suyoso S, Indriatmi W, Ramali LM, Widaty S, Ervianti E, editors. Dermatomikosis Superfisialis. Edisi kedua. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2013. Hal.1–6.
6. Kumar V, Tilak R, Prakash P, et al. Tinea pedis an update. Asian J Med Science 2. 2011. 134-8 pp.
7. Habif TP. Clinacal dermatology. 4th edition. Edinburgh: Mosby. 2004 8. Goedadi MH, Suwito PS. Tinea Korporis dan Tinea Kruris. Dalam: Budimulja U, Kuswadji, Bramono K, Menaldi SL, Dwihastuti P, Widaty S,
48
editors. Dermatomikosis superfisialis. Jakarta: Balai penerbit FKUI, 2004. Hal 31-4. 9. Koksal F, Er E, Samasti M. Causative Agents of Superficial Mycoses in Istanbul, Turkey: Retrospective Study. Mycopathologia. 2009;168(3):117-23. 10. Kuswadji, Budimulja U. Penatalaksanaan Dermatofitosis di Indonesia. MDVI 1997;24(1):36-9. 11. Hainer BL. Dermatophyte Infections. Am Fam Physician 2003;67(1):101-8. 12. Hay RJ, Ashbe HR. Mycology. In: Burns T, Breathnach S, Cox N, Griffiths C. editors. Rook’s Textbook of Dermatology. 8th edition. United Kingdom: Willey-Blackwell; 2010;36(18):36-50. 13. Rook, Willkinson, Ebling. Mycology. In : Champion RH, Burton JL, Ebling FJG, editors. Text book of dermatology. 5th ed. London : Blackwell scientific publication,1992. 1148-9 pp. 14. Rushing ME. Tinea corporis. Online journal. 29 Jun. 2006; available from : http://www.emedicine.com/asp/tinea corporis/article/page type=Article.htm. 15. Amiruddin MD. Ilmu penyakit kulit. Makassar: Percetakan LKiS, 2003. 16. Nugroho
SA.
Pemeriksaan
Penunjang
Diagnosis
Dermatomikosis
Superfisialis. In : Budimulja U, Kuswadji, Bramono K, Menaldi SL, Dwihastuti P, Widaty S, editors. Dermatomikosis Superfisialis. Jakarta: Balai penerbit FKUI. 2004. Hal 99-106. 17. Kuswadji, Widaty KS. Obat anti jamur. In : Budimulja U, Kuswadji, Bramono K, Menaldi SL, Dwihastuti P, Widaty S, editors. Dermatomikosis superfisialis. Jakarta: Balai penerbit FKUI. 2004. Hal 108-16.
49