BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM
REFERAT MEI, 2018
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
ASHMA BRONCHIAL
Oleh : A. Althaf Zulfiqar Dijayaqna, S.Ked
Pembimbing : dr. Zakaria Mustari. Sp.PD
(Dibawakan dalam rangka tugas kepaniteraan klinikbagian Ilmu Penyakit Dalam)
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR 2018
1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Angka kejadian penyakit alergi akhir-akhir ini meningkat sejalan dengan perubahan pola hidup masyarakat modern, polusi baik lingkungan maupun zat-zat yang ada di dalam makanan. Salah satu penyakit alergi yang banyak terjadi di masyarakat adalah penyakit asma. Asma merupakan penyakit inflamasi kronis saluran napas yang ditandai dengan mengi episodik, batuk, dan sesak di dada akibat penyumbatan saluran napas. Dalam 30 tahun terakhir prevalensi asma terus meningkat terutama di negara maju. Peningkatan terjadi juga di negara-negara Asia Pasifik seperti Indonesia. Studi di Asia Pasifik baru-baru ini menunjukkan bahwa tingkat tidak masuk kerja akibat asma jauh lebih tinggi dibandingkan dengan di Amerika Serikat dan Eropa. Hampir separuh dari seluruh pasien asma pernah dirawat di rumah sakit dan melakukan kunjungan ke bagian gawat darurat setiap tahunnya. Hal tersebut disebabkan manajemen dan pengobatan asma yang masih jauh dari pedoman yang direkomendasikan Global Initiative for Asthma (GINA).1 Kasus asma meningkat insidennya secara dramatis selama lebih dari lima belas tahun, baik di negara berkembang maupun di negara maju. Beban global untuk penyakit ini semakin meningkat. Dampak buruk asma meliputi penurunan kualitas hidup, produktivitas yang menurun, ketidakhadiran di sekolah, peningkatan biaya kesehatan, risiko perawatan di rumah sakit dan bahkan kematian. Asma merupakan sepuluh besar penyebab kesakitan dan kematian di Indonesia, hal ini tergambar dari data Studi Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) di berbagai propinsi di Indonesia. Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 1986 menunjukkan asma menduduki urutan ke-5 dari 10 penyebab kesakitan (morbiditas) bersama-sama dengan bronkitis kronik dan emfisema. Pada SKRT 1992, asma, bronkitis kronik dan emfisema sebagai penyebab kematian ke4 di Indonesia atau sebesar 5,6 %. Tahun 1995, prevalensi asma di seluruh
2
Indonesia sebesar 13/1000, dibandingkan bronkitis kronik 11/1000 dan obstruksi paru 2/1000. Studi pada anak usia SLTP di Semarang dengan menggunakan kuesioner International Study of Asthma and Allergies in Childhood (ISAAC), didapatkan prevalensi asma (gejala asma 12 bulan terakhir/recent asthma) 6,2 % yang 64 % diantaranya mempunyai gejala klasik.2 Peran dokter dalam mengatasi penyakit asma sangatlah penting. Dokter sebagai pintu pertama yang akan diketuk oleh penderita dalam menolong penderita asma, harus selalu meningkatkan pelayanan, salah satunya yang sering diabaikan adalah memberikan edukasi atau pendidikan kesehatan. Pendidikan kesehatan kepada penderita dan keluarganya akan sangat berarti bagi penderita, terutama bagaimana sikap dan tindakan yang bisa dikerjakan pada waktu menghadapi serangan, dan bagaimana caranya mencegah terjadinya serangan asma.3
3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi Asma adalah keadaan saluran napas yang mengalami penyempitan karena hiperaktivitas terhadap rangsangan tertentu, yang menyebabkan peradangan; penyempitan ini bersifat sementara/reversible.4 Asma bronchial adalah suatu penyakit dengan ciri meningkatnya respon trakea dan bronkus terhadap berbagai rangsangan dengan manifestasi adanya penyempitan jalan nafas yang luas dan derajatnya dapat berubah-ubah baik secara spontan maupun hasil dari pengobatan.5 Asma didefinisikan menurut ciri-ciri klinis,fisiologis dan patologis. Ciriciri klinis yang dominan adalah riwayat episode sesak, terutama pada malam hari yang sering disertai batuk. Pada pemeriksaan fisik, tanda yang sering ditemukan adalah mengi. Ciri-ciri utama fisiologis adalah episode obstruksi saluran napas, yang ditandai oleh keterbatasan arus udara pada ekspirasi. Sedangkan ciri-ciri patologis yang dominan adalah inflamasi saluran napas yang kadang disertai dengan perubahan struktur saluran napas.1 Status asmatikus adalah keadaan darurat medik paru berupa serangan asma yang berat atau bertambah berat yang bersifat refrakter sementara terhadap pengobatan yang lazim diberikan. Refrakter adalah tidak adanya perbaikan atau perbaikan yang sifatnya hanya singkat, dengan pengamatan 1-2 jam.6
B. Patogenesis Asma Pandangan tentang patogenesis asma telah mengalami perubahan pada beberapa dekade terakhir. Dahulu dikatakan bahwa asma terjadi karena degranulasi sel mast yang terinduksi bahan alergen, menyebabkan pelepasan beberapa mediator seperti histamin dan leukotrien sehingga terjadi kontraksi otot polos bronkus. Saat ini telah dibuktikan bahwa asma merupakan penyakit inflamasi kronik saluran napas yang melibatkan beberapa sel, menyebabkan
4
pelepasan mediator yang dapat mengaktivasi sel target saluran napas sehingga terjadi bronkokonstriksi, kebocoran mikrovaskular, edema, hipersekresi mukus dan stimulasi refleks saraf.8 1. Inflamasi Saluran Napas Inflamasi saluran napas pada asma merupakan proses yang sangat kompleks, melibatkan faktor genetik, antigen, berbagai sel inflamasi, interaksi antar sel dan mediator yang membentuk proses inflamasi kronik dan remodelling.8 a. Mekanisme imunologi inflamasi saluran napas Sistem imun dibagi menjadi dua yaitu imunitas humoral dan selular. Imunitas humoral ditandai oleh produksi dan sekresi antibodi spesifik oleh sel limfosit B sedangkan selular diperankan oleh sel limfosit T. Sel limfosit T mengontrol fungsi limfosit B dan meningkatkan proses inflamasi melalui aktivitas sitotoksik cluster differentiation 8 (CD8) dan mensekresi berbagai sitokin. Sel limfosit T helper (CD4) dibedakan menjadi Th1dan Th2. Sel Th1 mensekresi interleukin-2 (IL-2), IL-3, Granulocytet Monocyte Colony Stimulating Factor (GMCSF), interferon- (IFN-) dan Tumor Necrosis Factor-(TNF-) sedangkan Th2 mensekresi IL-3, IL-4, IL-5, IL-9, IL-13, IL-16 dan GMCSF. Respons imun dimulai dengan aktivasi sel T oleh antigen melalui sel dendrit yang merupakan sel pengenal antigen primer ( primary antigen presenting cells/ APC). b. Mekanisme limfosit T-IgE Setelah APC mempresentasikan alergen/antigen kepada sel limfosit T dengan bantuan Major Histocompatibility (MHC) klas II, limfosit T akan membawa ciri antigen spesifik, teraktivasi kemudian berdiferensiasi dan berproliferasi. Limfosit T spesifik (Th2) dan produknya akan mempengaruhi dan mengontrol limfosit B dalam memproduksi imunoglobulin. Interaksi alergen pada limfosit B dengan limfosit T spesifik alergen akan menyebabkan limfosit B memproduksi IgE spesifik alergen. Pajanan ulang oleh alergen yang sama akan meningkatkan produksi IgE spesifik. Imunoglobulin E spesifik akan berikatan dengan sel-sel yang mempunyai reseptor IgE seperti sel mast, basofil, eosinofil, makrofag dan platelet. Bila alergen berikatan dengan sel
5
tersebut maka sel akan teraktivasi dan berdegranulasi mengeluarkan mediator yang berperan pada reaksi inflamasi. c. Mekanisme limfosit T-non IgE Setelah limfosit T teraktivasi akan mengeluarkan sitokin IL-3, IL-4, IL-5, IL9, IL-13 dan GMCSF. Sitokin bersama sel inflamasi yang lain akan saling berinteraksi sehingga terjadi proses inflamasi yang kompleks, degranulasi eosinofil, mengeluarkan berbagai protein toksik yang merusak epitel saluran napas dan merupakan salah satu penyebab hiperesponsivitas saluran napas (Airway Hyperresponsiveness/AHR).
Gambar 2. Respon Immun Pada Asma
2. Hiperesponsivitas Saluran Napas Hiperesponsivitas saluran napas adalah respons bronkus berlebihan yaitu berupa penyempitan bronkus akibat berbagai rangsangan spesifik maupun nonspesifik. Respons inflamasi dapat secara langsung meningkatkan gejala asma seperti batuk dan rasa berat di dada karena sensitisasi dan aktivasi saraf sensorik saluran napas. Hubungan antara AHR dengan proses inflamasi saluran napas melalui beberapa mekanisme; antara lain peningkatan permeabilitas epitel saluran napas, penurunan diameter saluran napas akibat edema mukosa sekresi kelenjar,
6
kontraksi otot polos akibat pengaruh kontrol saraf otonom dan perubahan sel otot polos saluran napas. Reaksi imunologi berperan penting dalam patofisiologi hiperesponsivitas saluran napas melalui pelepasan mediator seperti histamin, prostaglandin (PG), leukotrien (LT), IL-3, IL-4, IL-5, IL-6 dan protease sel mast sedangkan eosinofil akan melepaskan platelet activating factor (PAF), major basic protein (MBP) dan eosinophyl chemotactic factor (ECF).8
Gambar 3. Penyempitan Saluran Napas Pada Asma
3. Sel Inflamasi Banyak sel inflamasi terlibat dalam patogenesis asma meskipun peran tiap sel yang tepat belum pasti. a. Sel mast Sel mast berasal dari sel progenitor di sumsum tulang. Sel mast banyak didapatkan pada saluran napas terutama di sekitar epitel bronkus, lumen saluran napas, dinding alveolus dan membran basalis. Sel mast melepaskan berbagai mediator seperti histamin, PGD2, LTC4, IL-1, IL-2, IL-3, IL-4, IL-5, GMCSF, IFN- dan TNF. Interaksi mediator dengan sel lain akan meningkatkan permeabilitas vaskular, bronkokonstriksi dan hipersekresi mukus. Sel mast juga melepaskan enzim triptase yang merusak vasoactive
7
intestinal peptide (VIP) dan heparin. Heparin merupakan komponen penting granula yang berikatan dengan histamin dan diduga berperan dalam mekanisme anti inflamasi yang dapat menginaktifkan MBP yang dilepaskan eosinofil. Heparin menghambat respons segera terhadap alergen pada subyek alergi dan menurunkan AHR. b. Makrofag Makrofag berasal dari sel monosit dan diaktivasi oleh alergen lewat reseptor IgE afinitas rendah. Makrofag ditemukan pada mukosa, submukosa dan alveoli yang diaktivasi oleh mekanisme IgE dependent sehingga berperan dalam proses infla-masi. Makrofag melepaskan berbagai mediator antara lain LTB4, PGF2, tromboksan A2, PAF, IL-1, IL-8, IL-10, GM-CSF, TNF , reaksi komplemen dan radikal bebas. Makrofag berperan penting sebagai pengatur proses inflamasi alergi. Makrofag juga berperan sebagai APC yang akan menghantarkan alergen pada limfosit. c. Eosinofil Diproduksi oleh sel progenitor dalam sumsum tulang dan diatur oleh IL-3, IL5 dan GMCSF. Infiltrasi eosinofil merupakan gambaran khas saluran napas penderita asma dan membedakan asma dengan inflamasi saluran napas lain. Inhalasi alergen akan menyebabkan peningkatan jumlah eosinofil dalam kurasan bronkoalveolar (broncho-alveolar lavage = BAL). Didapatkan hubungan langsung antara jumlah eosinofil darah tepi dan cairan BAL dengan AHR. Eosinofil berkaitan dengan perkembangan AHR lewat pelepasan protein dasar dan oksigen radikal bebas. Eosinofil melepaskan mediator LTC4, PAF, radikal bebas oksigen, MBP, Eosinophyl Cationic Protein (ECP) dan Eosinophyl Derived Neurotoxin (EDN) sehingga terjadi kerusakan epitel saluran napas serta degranulasi basofil dan sel mast. Eosinofil yang teraktivasi menyebabkan kontraksi otot polos bronkus, peningkatan permeabilitas mikrovaskular, hipersekresi mukus, pelepasan epitel dan merangsang AHR. d. Neutrofil Peran neutrofil pada penderita asma belum jelas. Diduga neutrofil menyebabkan kerusakan epitel akibat pelepasan bahan-bahan metabolit
8
oksigen, protease dan bahan kationik. Neutrofil merupakan sumber beberapa mediator seperti PG, tromboksan, LTB4 dan PAF. Neutrofil dalam jumlah besar ditemukan pada saluran napas penderita asma kronik dan berat selama eksaserbasi atau setelah pajanan alergen. Biopsi bronkus dan BAL menunjukkan bahwa neutrofil me-rupakan sel pertama yang ditarik ke saluran napas dan yang pertama berkurang jumlahnya setelah reaksi lambat berhenti. e. Limfosit T Didapatkan peningkatan jumlah limfosit T pada saluran napas penderita asma yang dibuktikan dari cairan BAL dan mukosa bronkus. Biopsi bronkus penderita asma stabil mendapatkan limfosit intra epitelial atipik yang diduga merupakan limfosit teraktivasi. Limfosit T yang teraktivasi oleh alergen akan mengeluarkan berbagai sitokin yang mempengaruhi sel inflamasi. Sitokin seperti IL-3, IL-5 dan GM-CSF dapat mempengaruhi produksi dan maturasi sel eosinofil di sumsum tulang (sel prekursor), memperpanjang masa hidup eosinofil dari beberapa hari sampai minggu, kemotaktik dan aktivasi eosinofil. f. Basofil Peran basofil pada patogenesis asma belum jelas, merupakan sel yang melepaskan histamin dan berperan dalam fase lambat. Didapatkan sedikit peningkatan basofil pada saluran napas penderita asma setelah pajanan alergen. g. Sel dendrit Sel dendrit merupakan sel penghantar antigen yang paling berpengaruh dan memegang peranan penting pada respons awal asma terhadap alergen. Sel dendrit akan mengambil alergen, mengubah alergen menjadi peptida dan membawa ke limfonodi lokal yang akan menyebabkan produksi sel T spesifik alergen. Sel dendrit berasal dari sel progenitor di sumsum tulang dan sel di bawah epitel saluran napas. Sel dendrit akan bermigrasi ke jaringan limfe lokal di bawah pengaruh GMCSF. h. Sel struktural Sel struktural saluran napas termasuk sel epitel, sel endotel, miofibroblas dan fibroblas merupakan sumber penting mediator inflamasi seperti sitokin dan
9
mediator lipid pada respons inflamasi kronik. Pada penderita asma jumlah mio fibroblas di bawah membran basal retikular akan meningkat. Terdapat hubungan antara jumlah miofibroblas dan ketebalan membran basal retikular.8 4. Mediator Inflamasi Banyak mediator yang berperan pada asma dan mem-punyai pengaruh pada saluran napas. Mediator tersebut antara lain histamin, prostaglandin, PAF, leukotrien dan sitokin yang dapat menyebabkan kontraksi otot polos bronkus, peningkatan kebocoran mikrovaskular, peningkatan sekresi mukus dan penarikan sel inflamasi. Interaksi berbagai mediator akan mempengaruhi AHR karena tiap mediator memiliki beberapa pengaruh.8 a. Histamin Histamin berasal dari sintesis histidin dalam aparatus Golgi di sel mast dan basofil. Histamin mempengaruhi saluran napas melalui tiga jenis reseptor. Rangsangan pada reseptor H-1 akan menyebabkan bronkokonstriksi, aktivasi refleks sensorik dan meningkatkan permeabilitas vaskular serta epitel. Rangsangan reseptor H-2 akan meningkatkan sekresi mukus glikoprotein. Rangsangan reseptor H-3 akan merangsang saraf sensorik dan kolinergik serta menghambat reseptor yang menyebabkan sekresi histamin dari sel mast. b. Prostaglandin Prostaglandin (PG) D2 dan PGF2 merupakan bronkokonstrikstor poten. Prostaglandin E2 menyebabkan bronkodilatasi pada subyek normal invivo, menyebabkan
bronkokonstriksi
lemah
pada
penderita
asma
dengan
merangsang saraf aferen saluran napas. Prostaglandin menyebabkan kontraksi otot polos saluran napas dengan cara mengaktifkan reseptor tromboksan prostaglandin. c. Platelet activating factor (PAF) Dibentuk melalui aktivasi fosfolipase A2 pada membran fosfolipid, dapat dihasilkan oleh makrofag, eosinofil dan neutrofil. Pada percobaan in vitro ternyata PAF tidak menyebabkan bronkokonstriksi otot polos saluran napas, jadi PAF tidak menyebabkan kontraksi otot polos saluran napas. Kemungkinan penyempitan saluran napas in vivo merupakan akibat sekunder
10
edema saluran napas karena kebocoran mikrovaskular yang disebabkan rangsangan PAF. Platelet activating factor juga dapat merangsang akumulasi eosinofil, meningkatkan adesi eosinofil pada permukaan sel endotel, merangsang eosinofil agar melepaskan MBP dan meningkatkan ekspresi reseptor IgE terhadap eosinofil dan monosit. d. Leukotrien Berasal dari jalur 5-lipooksigenase metabolisme asam arakidonat, berperan penting dalam bronkokonstriksi akibat alergen, latihan, udara dingin dan aspirin. Leukotrien dapat menyebabkan kontraksi otot polos melalui mekanisme non histamin dan terdiri atas LTA4, LTB4, LTC4, LTD4dan LTE4. Leukotrien dapat menyebabkan edema jaringan, migrasi eosinofil, merangsang sekresi saluran napas, merangsang proliferasi dan perpindahan sel pada otot polos dan meningkatkan permeabilitas mikrovaskular saluran napas. e. Sitokin Sitokin merupakan mediator peptida yang dilepaskan sel inflamasi, dapat menentukan bentuk dan lama respons inflamasi serta berperan utama dalam inflamasi kronik. Sitokin dihasilkan oleh limfosit T, makrofag, sel mast, basofil, sel epitel dan sel inflamasi. Sitokin IL-3 dapat mempertahankan sel mast dan eosinofil pada saluran napas. Inter-leukin-5 dan GM-CSF berperan mengumpulkan sel eosinofil, Interleukin-4 dan IL-13 akan merangsang limfosit B membentuk IgE. f. Endotelin Endotelin dilepaskan dari makrofag, sel endotel dan sel epitel. Merupakan mediator
peptida
poten
yang
menyebabkan
vasokonstriksi
dan
bronkokonstriksi. Endotelin-1 meningkat jumlahnya pada penderita asma. Endotelin juga menyebabkan proliferasi sel otot polos saluran napas, meningkatkan fenotip profibrotik dan berperan dalam inflamasi kronik asma.
g. Nitric oxide (NO) Berbentuk gas reaktif yang berasal dari L-arginin jaringan saraf dan nonsaraf, diproduksi oleh sel epitel dan makrofag melalui sintesis NO. Berperan sebagai
11
vasodilator, neurotransmiter dan mediator inflamasi saluran napas. Kadar NO pada udara yang dihembuskan penderita asma lebih tinggi dibandingkan orang normal. h. Radikal bebas oksigen Beberapa sel inflamasi menghasilkan radikal bebas seperti anion superoksida, hidrogen peroksidase (H2O2), radikal hidroksi (OH), anion hipohalida, oksigen tunggal dan lipid peroksida. Senyawa tersebut sering disebut senyawa oksigen reaktif. Pada binatang percobaan, hidrogen peroksida dapat menyebabkan kontraksi otot polos saluran napas. Superoksid berperan dalam proses inflamasi dan kerusakan epitel saluran napas penderita asma. Jumlah oksidan
yang
berlebihan
pada
saluran
napas
akan
menyebabkan
bronkokonstriksi, hipersekresi mukus dan kebocoran mikrovaskular serta peningkatan respons saluran napas. Radikal bebas oksigen dapat merusak DNA, menyebabkan pembentukan peroksida lemak pada membran sel dan menyebabkan disfungsi reseptor adrenergik saluran napas. i. Bradikinin Berasal dari kininogen berat molekul tinggi pada plasma lewat pengaruh kalikrein dan kininogenase. Secara in vivo merupakan konstriktor kuat saluran napas dan secara in vitro merupakan konstriktor lemah. Pada penderita asma bradikinin merupakan aktivator saraf sensoris yang menyebabkan keluhan batuk dan sesak napas, menyebabkan eksudasi plasma, meningkatkan sekresi sel epitel dan kelenjar submukosa. Bradikinin dapat merangsang serat C sehingga terjadi hipersekresi mukus dan pelepasan takikinin. j. Neuropeptida Neuropeptida seperti substan P (SP), neurokinin A dan calcitonin gene-related peptide (CGRP) terletak di saraf sensorik saluran napas. Neurokinin A menyebabkan
bronkokonstriksi,
substan
P
menyebabkan
kebocoran
mikrovaskular dan CGRP menyebabkan hiperemi kronik saluran napas. k. Adenosin
12
Merupakan faktor regulator lokal, menyebabkan bronkokonstriksi pada penderita asma. Secara in vitro merupakan bronkokonstriktor lemah dan berhubungan dengan pelepasan histamin dari sel mast.8 5. Mekanisme Saraf Berbagai proses yang terjadi pada asma dapat disebabkan melalui mekanisme saraf yaitu mekanisme kolinergik, adrenergik dan non adrenergik non kolinergik. Kontrol saraf pada saluran napas sangat kompleks. a. Mekanisme kolinergik Saraf kolinergik merupakan bronkokonstriktor saluran napas dominan pada binatang dan manusia. Peningkatan refleks bronkokonstriksi oleh kolinergik dapat melalui neurotransmiter atau stimulasi reseptor sensorik saluran napas oleh modulator inflamasi seperti prostaglandin, histamin dan bradikinin. b. Mekanisme adrenergik Saraf adrenergik melakukan kontrol terhadap otot polos saluran napas secara tidak langsung yaitu melalui katekolamin/epinefrin dalam tubuh. Mekanisme adrenergik meliputi saraf simpatis, katekolamin dalam darah, reseptor adrenergik dan reseptor adrenergik. Perangsangan pada reseptor adrenergik menyebabkan bronkokonstriksi dan perangsangan reseptor adrenergik akan menyebabkan bronkodilatasi. c. Mekanisme nonadrenergik nonkolinergik (NANC) Terdiri atas inhibitory NANC (i-NANC) dan excitatory NANC (e-NANC) yang menyebabkan bronkodilatasi dan bronkokonstriksi. Peran NANC pada asma belum jelas, diduga neuropeptida yang bersifat sebagai neurotransmiter seperti substansi P dan neurokinin A menyebabkan peningkatan aktivitas saraf NANC sehingga terjadi bronkokonstriksi. Kemungkinan lain karena gangguan reseptor
penghambat
saraf
NANC
menyebabkan
pemecahan
bahan
neurotransmiter yang disebut vasoactive intestinal peptide (VIP).8
13
C. Patofisiologi asma Pencetus serangan asma dapat disebabkan oleh sejumlah faktor, antara lain alegen, virus, dan iritan yang dapat menginduksi respon inflamasi akut. Asma dapat terjadi melalui 2 jalur, yaitu jalur imunologis dan syaraf otonom. Jalur imunologis didominasi oleh antibodi IgE, merupakan reaksi hipersensitivitas tipe I (tipe alergi), terdiri dari fase cepat dan fase lambat. Reaksi alergi timbul pada orang dengan kecenderungan untuk membentuk sejumlah antibodi IgE abnormal dalam jumlah besar, golongan ini disebut atopi. Pada asma alergi, antibodi IgE terutama melekat pada permukaan sel mast pada interstisial paru, yang berhubungan erat dengan bronkiolus dan bronkus kecil. Bila sesorang menghirup alergen, terjadi fase sensitisasi, antibodi IgE orang tersebut meningkat. Alergen kemudian berikatan dengan antibodi IgE yang melekat pada sel mast dan menyebabkan sel ini berdegranulasi mengeluarkan berbagai macam mediator. Beberapa mediator yang dikeluarkan adalah histamin, leukotrien, faktor kemotaktik, eosinofil dan bradikinin. Hal itu akan menimbulkan efek edema lokal pada dinding bronkiolus kecil, sekresi mukus yang kental dalam lumen bronkiolus, dan spasme otot polos bronkiolus, sehingga menyebabkan inflamasi saluran nafas.1 Pada reaksi alergi fase cepat, obstruksi saluran nafas terjadi segera yaitu 10-15 menit setelah pajanan alergen. Spasme bronkus yang terjadi merupakan respons terhadap mediator sel mast terutama histamin yang bekerja langsung pada otot polos bronkus. Pada fase lambat, reaksi terjadi setelah 6-8 jam, bahkan kadang-kadang sampai beberapa minggu. Sel-sel inflamasi seperti eosinofil, sel T, sel mast dan antigen precenting cell (APC) merupakan sel-sel kunci fdalam patogenesis asma.1 Pada jalur syaraf otonom, inhalasi alergen akan mengaktifkan sel mast intralumen, makrofag alveolar, nervus vagus, dan mungkin juga epitel saluran napas. Peregangan vagal menyebabkan reflek bronkus, sedangkan mediator inflamasi yang dilepaskan oleh sel mast dan makrofag akan menbuat epitel saluran napas lebih permeabel dan memudahkan alergen masuk ke dalam submukosa, sehingga meningkatkan reaksi yang terjadi. Kerusakan epitel bronkus
14
oleh mediator yang dilepaskan pada beberapa keadaan reaksi asma dapat terjadi tanpa melibatkan sel mast, misalnya pada hiperventilasi, inhalasi udara dingin, asap, kabut, dan SO2. Pada keadaan tersebut, reaksi asma terjadi melalui reflek syaraf. Ujung syaraf eferen vagal mukosa yang terangsang menyebabkan dilepasnya neuropeptid sensorik senyawa P, neurokinin A, dan Calcitonin GenRelated Peptid (CGRP). Neuropeptida itulah yang menyebabkan terjadinya bronkokonstriksi, edema bronkus, eksudasi plasma, hipersekresi lendir, dan aktifasi sel-sel inflamasi.1 Hipereaktivitas
bronkus
merupakan
ciri
khas
asma,
besarnya
hipereaktivitas bronkus tersebut dapat diukur secara tidak langsung, yang merupakan parameter objektif beratnya hipereaktivitas bronkus. Berbagai cara digunakan untuk mengukur hipereaktivitas bronkus tersebut antara lain dengan uji provokasi beban kerja, inhalasi udara dingin, inhalasi antigen, dan inhalasi zat nonspesifik.1
D. Faktor Resiko Asma Secara umum faktor resiko asma dipengaruhi atas faktor genetik dan faktor lingkungan.1 1. Faktor genetik a. Atopi/alergi Hal yang diturunkan adalah bakat alerginya, meskipun belum diketahui bagaimana cara penurunannya. Penderita dengan penyakit alergi biasanya mempunyai keluarga dekat yang juga alergi. Dengan adanya bakat alergi ini, penderita sangat mudah terkena penyakit asma bronkial jika terpajan dengan faktor pencetus. b. Hipereaktivitas bronkus Saluran napas sensitif terhadap berbagai rangsangan alergen maupun iritan. c. Jenis kelamin Pria merupakan resiko untuk asma pada anak. Sebelum usia 14 tahun, prevalensi asma pada anak laki-laki adalah 1,5-2 kali dibanding anak
15
perempuan. Tetapi menjelang dewasa perbandingan tersebut lebih kurang sama dan pada masa menopause perempuan lebih banyak. d. Ras/etnik e. Obesitas Obesitas atau peningkatan body mass index (BMI), merupakan faktor resiko asma. Mediator tertentu seperti leptin dapat mempengaruhi fungsi saluran napas dan meningkatkan kemungkinan terjadinya asma. Meskipun mekanismenya belum jelas, penurunan berat badan penderita obesitas dengan asma, dapat memperbaiki gejala fungsi paru, morbiditas dan status kesehatan. 2. Faktor lingkungan a. Alergen dalam rumah (tungau, debu rumah, spora jamur, kecoa, serpihan kulit binatang seperti anjing, kucing, dan lain-lain). b. Alergen luar rumah (serbuk sari, dan spora jamur) 3. Faktor lain a. Alergen makanan Contoh: susu, telur, udang, kepiting, ikan laut, kacang tanah, coklat, kiwi, jeruk, bahan penyedap, pengawet dan pewarna makanan. b. Alergen obat-obatan tertentu Contoh: penisilin, sefalosporin, golongan beta laktam lainnya, eritosin, tetrasiklin, analgesik, antipiretik, dan lain-lain. c. Bahan yang mengiritasi Contoh:parfum, household spray, dan lain-lain. d. Ekspresi emosi berlebih Stress/gangguan emosi dapat menjadi pencetus serangan asma, selain itu dapat memperberat serangan asma yang sudah ada. Disamping gejala asma yang timbul harus segera diobati, penderita asma yang mengalami stress/gangguan emosi perlu diberi nasihat untuk menyelsaikan masalah pribadinya. Karena jika stressnya belum diobati maka gejala asmanya lebih sulit diobati. e. Asap rokok bagi perokok aktif maupun pasif
16
Asap rokok berhubungan dengan penurunan fungsi paru. Pajanan asap rokok, sebelum dan sesudah kelahiran berhubungan dengan efek berbahaya yang dapat diukur seperti meningkatkan resiko terjadinya gejala serupa asma pada usia dini. f. Polusi udara dari luar dan dalam ruangan g. Exercise-induced asthma Pada penderita yang kambuh asmanya ketika melakukan aktivitas/olahraga tertentu. Sebagaian besar penderita asma akan mendapat serangan jika melakukan aktiviatas jasmani atau olahraga yang berat. Lari cepat paling mudah menimbulkan serangan asma. Serangan asma karena aktivitas biasanya terjadi segera setelah selesai aktivitas tersebut. h. Perubahan cuaca Cuaca lembab dan hawa pegunungan yang dingin sering mempengaruhi asma. Atmosfer yang mendadak dingin merupakan faktor pemicu terjadinya serangan asma. Serangan kadang-kadang berhubungan dengan musim, seperti: musim hujan, musin kemarau, musim bunga (serbuk sari beterbangan) i. Status ekonomi
E. Gambaran Klinis Asma Gambaran klinis asma klasik adalah serangan episodik batuk, mengi, dan sesak napas. Pada awal serangan sering gejala tidak jelas seperti rasa berat di dada, dan pada asma alergik mungkin disertai pilek atau bersin. Meskipun pada mulanya batuk tanpa disertai sekret, tetapi pada perkembangan selanjutnya pasien akan mengeluarkan sekret baik yang mukoid, putih kadang-kadang purulen. Ada sebagian kecil pasien asma yang gejalanya hanya batuk tanpa disertai mengi, dikenal dengan istilah cough variant asthma. Bila hal yang terakhir ini dicurigai, perlu dilakukan pemeriksaan spirometri sebelum dan sesudah bronkodilator atau uji provokasi bronkus dengan metakolin.9 Pada asma alergik, sering hubungan antara pemajanan alergen dengan gejala asma tidak jelas. Terlebih lagi pasien asma alergik juga memberikan gejala
17
terhadap faktor pencetus non alergik seperti asap rokok, asap yang merangsang, infeksi saluran napas maupun perubahan cuaca.9 Lain halnya dengan asma akibat pekerjaan. Gejala biasanya memburuk pada awal minggu dan membaik menjelang akhir minggu. Pada pasien yang gejalanya tetap memburuk sepanjang minggu, gejalanya mungkin akan membaik bila pasien dijauhkan dari lingkungan kerjanya, seperti sewaktu cuti misalnya. Pemantauan dengan alat peak flow meter atau uji provokasi dengan bahan tersangka yang ada di lingkungan kerja mungkin diperlukan untuk menegakkan diagnosis.9
F. Klasifikasi asma Sebenarnya derajat asma adalah suatu kontinum, yang berarti bahwa derajat asma persisten dapat berkurang atau bertambah. derajat gejala eksaserbasi atau serangan asma dapat bervariasi yang tidak tergantung dari derajat sebelumnya. 1. Klasifikasi menurut etiologi Banyak usaha telah dilakukan untuk membagi asma menurut etilogi, terutama dengan bahan lingkungan yang mensensitisasi. Namun hal itu sulit dilakukan antara lain oleh karena bahan tersebut sering tidak diketahui. 2. Klasifikasi menurut derajat berat asma Klasifikasi asma menurut derajat berat berguna untuk menetukan obat yang diperlukan pada awal penanganan asma. Menurut derajat besar asma diklasifikasikan sebagai intermiten, persisten ringan, persisten sedang, dan persisten berat. 3. Klasifikasi menurut kontrol asma Kontrol asma dapat didefinisikan menurut berbagai cara. Pada umumnya, istilah kontrol menunjukkan penyakit yang tercegah atau sembuh. Namun pada asma, hal itu tidak realistis. Maksud kontrol adalah kontrol manifestasi penyakit. Kontrol yang lengkap biasanya diperoleh dengan pengobatan. Tujuan pengobatan adalah memperoleh dan mempertahankan kontrol untuk waktu lama dengan pemberian obat yang aman, dan tanpa efek samping.
18
4. Klasifikasi menurut gejala Asma dapat diklasifikasikan pada saat tanpa serangan dan pada saat serangan. Tidak ada satu pemeriksaan tunggal yang dapat menentukan berat ringannya suatu penyakit. Pemeriksaan gejala-gejala dan uji faal paru berguna untuk mengklasifikasikan penyakit menurut berat ringannya. Klasifikasi itu sangat penting untuk penatalaksanaan asma. Berat ringan asma ditentukan oleh berbagai faktor seperti gambaran klinis sebelum pengobatan (gejala, eksaserbasi, gejala malam hari, pemberian obat inhalasi β-2 agonis, dan uji faal paru) serta obat-obat yang digunakan untukmengontrol asma (jenis obat, kombinasi obat, dan frekuensi pemakaian obat). Asma dapat diklasifikasikan menjadi intermitten, persisten ringan, persisten sedang, dan persisten berat (Tabel 1). Selain klasifikasi derajat asma berdasarkan frekuensi serangan danobat yang digunakan sehari-hari, asma juga dapat dinilai berdasarkan berat ringannya serangan. Global initiative for asthma (GINA) melakukan pembagian derajat serangan asma berdasarkan gejala dan tanda klinis, uji fungsi paru, dan pemeriksaan laboratorium. Derajat serangan menetukan terapi yang akan diterapkan. Klasifikasi tersebut adalah asma serangan ringan, asma serangan sedang, dan asma serangan berat (tabel 2). Dalam hal ini perlu adanya pembedaan antara asma kronik dengan serangan asma akut. Dalam melakukan penilaian berat ringannya serangan asma, tidak harus lengkap untuk setiap pasien. Penggolongannya harus diartikan sebagai prediksi dalam menangani pasien asma yang datang ke fasilitas kesehatan dengan keterbatasan yang ada.1 Tabel 1. Klasifikasi derajat asma berdasarkan gejala pada orang dewasa1 Derajat Asma Gejala Gejala Malam Faal Paru intermitten Bulanan ≤2 kali sebulan APE ≥80% Gejala <1x/minggu, VEP1 ≥80% nilai tanpa gejala di luar prediksi APE serangan ≥80% nilai Serangan singkat terbaik Variabilitas APE <20% Persisten ringan Mingguan >2 kali sebulan APE >80%
19
VEP1 ≥80% nilai prediksi APE ≥80% nilai terbaik Variabilitas APE 20-30% Harian >2 kali sebulan APE 60-80% Gejala setiap hari -VEP1 60-80% Serangan nilai prediksi menggangu APE 60-80% aktivitas dan tidur nilai terbaik Bronkodilator setiap -Variabilitas APE hari >30% Kontinyu Sering APE ≤60% Gejala terus VEP1 ≤60% nilai menerus prediksi APE Sering kambuh ≤60% nilai aktivitas fisik terbaik terbatas Variabilitas APE >30% Gejala >1x/minggu, tetapi <1x/hari Serangan dapat menggangu aktivitas dan tidur
Persisten sedang
Persisten berat
Tabel 2. Klasifikasi Derajat Beratnya Serangan Asma9 Ringan Sedang Aktivitas Dapat berjalan Jalan terbatas Dapat berbaring Lebih suka duduk
Bicara Kesadaran Frekuensi napas Retraksi otot-otot bantu napas Mengi Frekuensi nadi Pulsus paradoksus APE sesudah bronkodilator (% prediksi) PaCO2
Beberapa kalimat Mungkin terganggu Meningkat
Kalimat terbatas Biasanya terganggu meningkat
Umumnya tidak ada
Kadang kala ada
Berat Sukar berjalan Duduk membungkuk ke depan Kata demi kata Biasanya terganggu Sering >30 kali/menit ada
Lemah sampai sedang <100
Keras
Keras
100-120
>120
Tidak ada (<10mmHg) >80%
Mungkin ada (1025mmHg) 60-80%
Sering ada (>25 mmHg) <60%
<45mmHg
<45mmHg
<45mmHg
20
SaCO2
>95%
91-95%
<90%
Keterangan: dalam menentukan klasifikasi tidak seluruh parameter harus dipenuhi.9 G. Diagnosis Asma Diagnosis asma yang tepat sangatlah penting, sehingga penyakit ini dapat ditangani dengan baik, mengi (wheezing) berulang dan/atau batuk kronik berulang merupakan titik awal untuk menegakkan diagnosis. Asma pada anak-anak umumnya hanya menunjukkan batuk dan saat diperiksa tidak ditemukan mengi maupun sesak. Diagnosis asma didasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Diagnosis klinis asma sering ditegakkan oleh gejala berupa sesak episodik, mengi, batuk dan dada sakit/sempit.1 Pengukuran fungsi paru digunakan untuk menilai berat keterbatasan arus udara dan reversibilitas yang dapat membantu diagnosis. Mengukur status alergi dapat membantu identifikasi faktor resiko. Pada penderita dengan gejala konsisten tetapi fungsi paru normal, pengukuran respons dapat membantu diagnosis. Asma diklasifikasikan menurut derajat berat, namun hal itu dapat berubah dengan waktu. Untuk membantu penanganan klinis, dianjurkan klasifikasi asma menurut ambang kontrol. Untuk dapat mendiagnosis asma diperlukan pengkajian kondisi klinis serta pemeriksaan penunjang.1 1. Anamnesis Ada beberapa hal yang harus diketahui dari pasien asma antara lain: riwayat hidung ingusan atau mampat (rhinitis alergi), mata gatal, merah dan berair (konjungtivitis alergi), dan eksem atopi, batuk yang sering kambuh (kronik) disertai mengi, flu berulang, sakit akibat perubahan musim atau pergantian cuaca, adanya hambatan beraktivitas karena masalah pernapasan (saat berolahraga), sering terbangun pada malam hari, riwayat keluarga (riwayat asma, rhinitis atau alergi lainnya dalam keluarga), memelihara binatang di dalam rumah, banyak kecoa, terdapat bagian yang lembab di dalam rumah. Untuk mengetahui adanya tungau debu rumah, tanyakan apakah menggunakan karpet berbulu, sofa kain beludru, kasur kapuk, banyak barang di kamar tidur. Apakah sesak seperti bau-bauan seperti parfum, spray pembunuh serangga,
21
apakah pasien merokok, orang lain yang merokok, di rumah atau lingkungan kerja, obat yang digunakan pasien, apakah ada beta blocker, aspirin, atau steroid.1 2. Pemeriksaan klinis Untuk menetukan diagnosis asma harus dilakukan anamnesis secara rinci, menetukan adanya episode gejala dan obstruksi saluran napas. Pada pemeriksaan fisik pasien asma, sering ditemukan perubahan cara bernapas, dan terjadi perubahan bentuk anatomi toraks. Pada inspeksi dapat ditemukan: napas cepat sampai sianosis, kesulitan bernapas, menggunakan otot napas tambahan di leher, perut, dan dada. Pada auskultasi dapat ditemukan mengi, ekspirasi diperpanjang.1,9 3. Pemeriksaan penunjang a. Spirometer Alat pengukur faal paru, selain penting untuk menegakkan diagnosis juga untuk menilai beratnya obstruksi dan efek pengobatan. b. Peak flow meter/PFM Peak flow meter merupakan alat pengukur faal paru sederhana, alat tersebut digunakan untuk mengukur jumlah udara yang berasal dari paru. Oleh karena pemeriksaan jasmani dapat normal, dalam menegakkan diagnosis asma diperlukan pemeriksaan objektif (spirometer/FEV1 atau PFM). Spirometer lebih diutamakan dibanding PFM oleh karena PFM tidak begitu sensitif dibanding FEV, untuk diagnosis obstruksi saluran napas, PFM mengukur terutama saluran napas besar, PFM dibuat untuk pemantauan dan bukan alat diagnostik, APE dapat digunakan dalam diagnosis untuk penderita yang tidak dapat melakukan pemeriksaan FEV1. c. X-ray toraks. Dilakukan untuk menyingkirkan penyakit yang tidak disebabkan asma d. Pemeriksaan IgE Uji tusuk kulit (skin prick test), untuk menunjukkan adanya antibodi IgE spesifik pada kulit. Uji tersebut untuk menyokong anamnesis dan mencari faktor pencetus. Uji alergen yang positif tidak selalu merupakan penyebab
22
asma. Pemeriksaan darah IgE atopi dilakukan dengan cara radio allergo sorbent test (RAST) bila hasil uji tusuk kulit tidak dapat dilakukan (pada dermographism). e. Petanda inflamasi Derajat asma dan pengobatannya dalam klinik sebenarnya tidak berdasarkan atas penilaian objektif inflamasi saluran napas. Gejala klinis dan spirometri bukan merupakan petanda ideal inflamasi. Penilaian semikuantitatif inflamasi saluran napas dapat dilakukan melalui biopsi paru, pemeriksaan sel eosinofil dalam sputum, dan kadar oksida nitrit udara yang dikeluarkan dengan napas. Analisis sputum yang diinduksi menunjukkan hubungan antara jumlah eosinofil dan Eosinophyl Cationic Protein (ECP) dengan inflamasi dan derajat berat asma. Biopsi endobronkial dan transbronkial dapat menunjukkan gambaran inflamasi tetapi jarang atau sulit dilakukan di luar riset. f. Uji hipereaktivitas bronkus/HRB Pada penderita yang menunjukkan FEV1 >90%, HRB dapat dibuktikan dengan berbagai test provokasi. Provokasi bronkial dengan menggunakan nebulasi droplet ekstrak alergen spesifik dapat menimbulkan obstruksi saluran napas pada penderita yang sensitif. Respons sejenis dengan dosis yang lebih besar, terjadi pada subyek alergi tanpa asma. Di samping ukuran alergen dalam alam yang terpajan pada subyek alergi biasanya berupa partikel dengan berbagai ukuran dari 2-20μm, tidak dalam bentuk nebulasi. Tes provokasi sebenarnya kurang memberikan informasi klinis dibanding dengan tes kulit. Tes provokasi non spesifik untuk mengetahui HRB dapat dilakukan dengan latihan jasmani, inhalasi udara dingin atau kering, histamin dan metakolin.1
23
H. Diagnosis Banding dan Komplikasi Asma 1. Diagnosis banding a. Bronkitis kronik Ditandai dengan batuk kronik yang mengeluarkan sputum 3 bulan dalam setahun untuk sedikitnya 2 tahun. Penyebab batuk kronik seperti tuberkulosis, bronkitis atau keganasan harus disingkirkan dahulu. Gejala utama batuk disertai sputum biasanya didapatkan pada pasien berumur lebih dari 35 tahun dan perokok berat. Gejalanya dimulai dengan batuk pagi hari, lama kelmaan disertai mengi dan menurunnya kemampuan kegiatan jasmani. Pada stadium lanjut, datap ditemukan sianosis dan tanda-tanda cor pulmonal. b. Emfisema paru Sesak merupakan gejala utama emfisema. Sedangkan batuk dan mengi jarang menyertainya. Pasien biasanya kurus. Berbeda dengan asma, pada emfisema tidak pernah ada masa remisi, pasien selalu sesak pada kegiatan jasmani. Pada pemeriksaan fisik ditemukan dada kembung, peranjakan napas terbatas, hipersonor, pekak hati menurun, dan suara napas sangat lemah. Pemeriksaan foto dada menunjukkan hiperinflasi. c. Gagal jantung kiri akut Dulu gagal jantung kiri akut dikenal dengan nama asma kardial, dan bila timbul pada malam hari disebut paroxyismal nokturnal dyspnea. Pasien tiba-tiba terbangun pada malam hari karena sesak, tetapi sesak menghilang atau berkurang bila duduk. Pada anamnesis dijumpai hal-hal yang memperberat atau memperingan gejala gagal jantung. Disamping ortopnea pada pemeriksaan fisik ditemukan kardiomegali dan edema paru. d. Emboli paru Hal-hal yang dapat menimbulkan emboli antara lain adalah imobilisasi, gagal jantung dan tromboflebitis. Disamping gejala sesak napas, pasien batuk-natuk yang dapat disertai darah, nyeri pleura, keringat dingin, kejang, dan pingsan. Pada pemeriksaan fisik ditemukan adanya ortopnea, takikardi, gagal jantung kanan, pleural friction, irama derap, sianosis, dan
24
hipertensi. Pemeriksaan elektrokardiogram menunjukkan perubahan antara lain aksis jantung ke kanan. e. Penyakit lain yang jarang Seperti stenosis trakea, karsinoma bronkus, poliartritis nodusa.
2. Komplikasi asma a. Pneumothoraks b. Pneumodiastinum dan emfisema subkutis c. Atelektasis d. Aspergilosis bronkopulmoner alergik e. Gagal napas f. Bronkitis g. Fraktur iga
I. Pengobatan Asma Pengobatan asma menurut GINA (Gobal Initiative For Asthma) Para ahli asma dari berbagai negara terkemuka telah berkumpul dalam suatu loka karya Global Initiative For Asthma Management And Prevention yag dikoordinasikan oleh National Health, Lung And Blood Institute Amerika Serikat dan WHO. Publikasi loka karya tersebut yang dikenal sebagai GINA diterbitkan pada tahun 1995, dan diperbaharui tahun 1998 dan 2002 dan hampir seluruh dunia mengikuti protokol pengobatan yang dianjurkan. Namun cara pengobatan tersebut masih mahal bagi negara sedang berkembang. Sehingga masing-masing negara dianjurkan membuat kebijakan sesuai dengan kondisi sosial ekonomi serta lingkungannya. Ada 6 komponen dalam pengobatan asma, yaitu: a. Penyuluhan kepada pasien Karena pengobatan asma memerlukan pengobatan jangka panjang, diperlukan kerjasam antara pasien, keluarganya serta tenaga kesehatan. Hal ini dapat tercapai bila pasien dan keluarganya memhami penyakitnya, tujuan pengobatan, obat-obat yang dipakai serta efek samping.
25
b. Penilaian derajat beratnya asma Penilaian derajat beratnya asma baik melaluipengukuran gejala, pemeriksaan uji faal paru dan analisis gas darah sangat diperlukan untuk menilai hasil pengobatan. Seperti telah dikemukakan sebelumnya, banyak pasien asma yang tanpa gejala, ternyata pada pemeriksaan uji faal parunya menunjukkan adanya obstruksi salura napas. c. Pencegahan dan pengendalian faktor pencetus serangan Di harapkan dengan mencegah dan mengendalikan faktor pencetus serangan asma makin berkurang atau derajat asma makin ringan. d. Perencanaan obat-obat jangka panjang Untuk merencanakan obat-obat anti asma agar dapat mengendalikan gejala asma, ada 3 hal yang harus dipertimbangkan 1) Obat-obat anti asma 2) Pengobatan farmakologis berdasarkan sistem anak tangga 3) Pengobatan asma berdasarkan sistem wilayah bagi pasien. e. Merencanakan pengobatan asma akut (serangan asma) Serangan asma ditandai dengan gejala sesak napas, batuk, mengi, atau kombinasi dari gejala-gejala tersebut. Derajat serangan asma bervariasi dari yang ringan sampai berat yang dapat mengancam jiwa. Serangan bisa mendadak atau bisa juga perlahan-lahan dalam jangka waktu berhari-hari. Satu hal yang perlu diingat bahwa serangan asma akut menunjukkan rencana pengobatan jangka panjang telah gagal atau pasien sedang terpajan faktor pencetus. Tujuan pengobatan serangan asma yaitu: 1) Menghilangkan obstruksi saluran napas dengan segera 2) Mengatasi hipoksemia 3) Mengambalikan fungsi paru kearah normal secepat mungkin 4) Mencegah terjadinya serangan berikutnya 5) Memberikan penyuluhan kepada pasien dan keluarganya mengenai caracara mengatasi dan mencegah serangan asma. f. Berobat secara teratur
26
Untuk memperoleh tujuan pengobatan yang diinginkan pasien asma pada umumnya memerlukan pengawasanyang teratur daritenaga kesehatan. Kunjungan yang teratur ini diperlukan untuk menilai hasil pengobatan, cara pemakaian obat, cara menghindari faktor pencetus serta oenggunaan alat peak flow meter. Makin baik hasil pengobatan, kunjungan ini akan semakin jarang.9
Obat-obat anti asma Pada dasarnya obat-obat anti asma dipakai untuk mencegah dan mengendalikan gejala asma. Fungsi penggunaan obat anti asma antara lain:9 Pencegah (controller) yaitu obat-obgat yang dipakai setiap hari, dengan tujuan aggar gejala asma persisten tetap terkendali. termasuk golongan ini yaitu obatobat anti inflamasi dan bronkodilator kerja panjang (long acting).obat-obat anti inflamasi kususnya kortikosteroid hirup adalah obat yang paling efektif sebagai pencegah. Obat-obat anti alergi,bronkodilator atau obat golongan lain sering dianggap termasuk obat pencegah. Meskipun sebenarnya kurang tepat, karena obat-obat tersebut mencegah dalam ruang lingkup yang terbatas misalnya mengurangi serangan asma, mengurangi gejala asma kronik, memperbaiki fungsi paru, menurunkan reaktifitas bronkus dan memperbaiki kualitas hidup. Obat anti inflamasi dapat mencegah terjadinya inflamasi serta mempunyai daya profilaksis dan supresi. Dengan pengobatan anti inflamasi jangka panjang ternyata perbaikan gejala asma, perbaikan fungsi paru serta penurunan reaktifitas bronkus lebih baik bila di bandingkan bronkodilator. Termasuk golongan pencegah adalah kortikosteroid hirup, kortikosteroid sistemik, natrium kromolin, natrium nedokromil, teofilin lepas lambat (TLL), agonis beta 2 kerja panjang hirup (salmaterol dan formoterol) dan oral dan obat-obat anti alergi.9
Penghilang gejala (reliever) yaitu obat-obat yang dapat merelaksasi bronko konstriksi dan gejala-gejala akut yang menyertainya dengan segera. Termasuk dalam golongan ini yaitu agosnis beta 2 hirup kerja pendek (short acting), kortikosteroid sistemik, anti koinergik hirup, teofilin kerja pendek, agonis beta2 oral kerja pendek.9
27
Agonis beta 2 hirup (fenoterol, salbutamol, terbutalin, prokaterol) merupakan obat terpilih untuk gejala asma akut serta bila diberikan sebelum kegiatan jasmani, dapat mencegah serangan asma karena kegiatan jasmani. Agonis beta 2 hirup juga dipakai sebagai penghilang gejala pada asma periodik.9 Peran kortikosteroid sitemik pada asma akut untuk mencegah perburukan gejala lebih lanjut. Obat tersebut secara tidak langsung mencegah atau mengurangi frekuensi perawatan di ruang rawat darurat atau rawat inap. Antikolinergik hirup atau ipatropium bromida selain dipakai sebagai tambahan terapi agonis beta 2 hirup pada asma akut, juga dipakai sebagai obat alternatif pada pasien yang tidak dapat mentoleransi efek samping agonos beta 2. Teofilin maupun agonis beta2 oral dipakai pada pasien yang secara teknis tidak bisa memakai sediaan hirup.9
Pengobatan farmakologis berdasarkan anak tangga Berdasarkan pengobatan sistemik anak tangga, maka mnurut berat ringannya gejala, asma dapat dibagi menjadi 4 derajat, obat yang dipakai setiap hari obatobat pencegah, dosis tinggi, kortikosteroid hirup, bronkodilator kerja panjang, kortikosteroid oral jangka panjang (tabel 3).9 Tabel 3. Pengobatan asma jangka panjang menurut sistem anak tangga Tahap Asma Intermitten Asma Persisten Ringan
Asma Persisten Sedang
Obat Pencegah Harian Tidak diperlukan Kortikosteroid hirup 500μg BDP (beclomethasone diproprionate) atau ekuivalen Kortikosteroid hirup (200-1000 μg BDP atau ekuivalen) + LABA (long acting beta agonist)
Pilihan Lain Teofilin lepas lambat Kromolin Anti leukotrin
- Kortikosteroid hirup 500-1000μg BDP atau ekuivalen + teofilin lepas lambat atau - Kortikosteroid hirup 500-1000μg BDP atau ekuivalen + oral LABA atau - Kortikosteroid hirup dosis lebih tinggi
28
>1000μg BDP atau ekuivalen - Kortikosteroid hirup dosis lebih tinggi >1000μg BDP atau ekuivalen + anti leukotrin Asma Persisten Berat
Kortikosteroid hirup (>1000 μg BDP atau ekuivalen) + LABA satu atau lebih obat berikut bila diperlukan - Teofilin lepas lambat - Anti leukotrin - LABA oral - Kortikosteroid oral - Anti IgE
Pengobatan Asma Berdasarkan Sistem Wilayah Bagi Pasien Sistem pengobatan ini dimaksudkan untuk memudahkan pasien mengetahui perjalanan dan kronisitas asma, memantau kondisi penyakitnya, mengenal tandatanda dini serangan asma, dan dapat bertindak segera mengatasi kondisi tersebut. Dengan mengunakan peak flow meter pasien diminta mengukur secara teratur setiap hari, dan membandingkan nilai APE yang didapat pada waktu itu dengan nilai terbaik APE pasien atau nilai prediksi normal.9 Seperti halnya lampu pengatur lalu lintas, berdasarkan nilai APE akan terletak pada wilayah:9 Hijau Berarti Aman Nilai APE luasnya 80-100% nilai prediksi, variabilitas kurang dari 20%. Tidur dan aktivitas tidak terganggu. Obat-obat yang dipakai sesuai dengan tingkat anak tangga saat itu. Bila 3 bulan tetap hijau, pengobatan ini diturunkan ke tahap yang lebih ringan. Kuning Berarti Hati-Hati Nilai APE luasnya 60-80% nilai prediksi, variabilitas 20-30%. Gejala asma masih normal, terbangun malam karena asma, aktivitas terganggu. Daerah ini menunjukkan bahwa pasien sedang mendapat serangan asma.sehingga obat-obat 29
anti asma perlu ditingkatkan atau ditambah antara lain agonis beta 2 hirup dan bila perlu kortikosteroid oral. Mungkin pula tahap pengobatan yang sedang dipakai belum memadai, sehingga perlu dikaji ulang bersama dokternya. Merah Berarti Bahaya Nilai APE di bawah 60% nilai prediksi. Bila agonis beta 2 hirup tidak memberikan respon, segera mencari pertolongan dokter. Bila dengan agonis beta 2 hirup membaik, masuk ke daerah kuning, obat diteruskan sesuai dengan wilayah masing-masing. Pada wilyah merah, kortikosteroid oral diberikan lebih awal dan diberikan oksigen.9
30
BAB III KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan 1. Asma adalah keadaan saluran napas yang mengalami penyempitan karena hiperaktivitas
terhadap
rangsangan
tertentu,
yang
menyebabkan
peradangan; penyempitan ini bersifat reversible. 2. Fungsi pernafasan dapat dibagi menjadi dua yaitu pertukaran gas dan keseimbangan asam basa 3. Asma merupakan penyakit inflamasi kronik saluran napas yang melibatkan beberapa selPelepasan mediatorMengaktivasi sel target saluran napas Bronkokonstriksi, kebocoran mikrovaskular, edema, hipersekresi mukus dan stimulasi refleks saraf. 4. Faktor Resiko Asma : faktor genetik, lingkungan, dan faktor lain. 5. Gambaran Klinis Asma: asma klasik, asma alergik, dan asma karena pekerjaan. 6. Klasifikasi asma berdasarkan etiologi, derajat berat asma, kontrol asma dan gejala. 7. Diagnosis asma berdasarkan pada anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang. 8. Diagnosis banding: bronkitis kronik, emfisema paru, gagal jantung kiri akut, emboli paru, dan penyakit lainnya. 9. Komplikasi asma: pneumothoraks, pneumodiastinum, atelektasis, dll. 10. Pengobatan asma menggunakan protokol pengobatan menurut GINA
B. Saran 1. Penderita asma sebaiknya menghindari faktor pencetus asma agar tidak terjadi eksaserbasi.
31
2. Dokter
seharusnya
memberikan
edukasi
dan
pendidikan
kepada
masyarakat, khususnya penderita asma
32
DAFTAR PUSTAKA 1. Rengganis, I. 2008. Diagnosis Dan Tatalaksana Asma Bronkhiale. Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK UI: Jakarta, Majalah Kedokteran Indonesia, Volume: 58; No.11;Nopember 2008. 2. Baratawidjaja KG, Soebaryo RW, Kartasasmita CB, Suprihati, Sundaru H, Siregar SP, et al. Allergy And Asthma, The Scenario In Indonesia. In: Shaikh WA. Editor. Principles And Practice Of Tropical Allergy And Asthma. Mumbai: Vicas Medical Publisher; 2006.707-36 3. Anonim. 2009. Patofisiologi asma. http://ayosz.wordpress.com/2009/01/07/patofisiologi-asma/ 4. Ohrui T, Yasuda H, Yamaya M, Matsui T, Sasaki H. Transient Relief Of Asthma Symptoms During Jaundice: A Possible Beneficial Role Of Bilirubin. Department of Geriatric and Respiratory Medicine, Tohoku University School of Medicine 5. Tanjung, D. 2008. Asma bronhkiale. http://forbetterhealth.wordpress.com/author/forbetterhealthy/asmabronkhiale diakses tanggal 22 mei 2011
6. Healthzone. 2008. Asma bronkhiale. http://puskesmas-oke.blogspot.com/2008/12/asma-bronkial.html di akses tanggal 25 Mei 2011 7. Alsagaff, H., Mukty, A. 2009. Anatomi dan Faal Pernapasan dalam Dasar-Dasar Ilmu Penyakit Paru, Edisi 6. Airlangga University Press: Surabaya 8. Rahmawati, I., Yunus, F., Wiyono, WH. 2003. Artikel: Tinjauan Kepustakaan Patogenesis dan Patofisiologi Asma. Bagian Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/ Rumah Sakit Persahabatan: Jakarta, Cermin Dunia Kedokteran No. 141, 2003 9. Sukamto, Sundaru, H. 2006. Asma Bronkhiale Dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia: Jakarta
33