Upk Versus Kosipa

  • Uploaded by: Warsa
  • 0
  • 0
  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Upk Versus Kosipa as PDF for free.

More details

  • Words: 742
  • Pages: 2
UPK Versus KOSIPA Warsa Suwarsa, 7 Oktober 2009, jam 8:38:14 Perubahan adalah sebuah keabadian dan keniscayaan dalam kehidupan manusia. Para pengamat masa depan sering membahasakan dengan nilai-nilai penuh optimisme- bahwa perubahan dalam kehidupan manusia baik yang dilakukan secara perorangan maupun kelompok sosial harus mengarah kepada perbaikan, dari negatif ke positif. Dan ini jelas harus didukung oleh siapapun sebagai agen perubahan sosial. Hanya saja, jika kita sekilas- melihat, seperti ungkapan Ali Shariati- menjemput masa depan, yaitu menghadirkan masa depan dengan tanpa memisahkannya dengan saat ini, maka akan terlihat dengan jelas, seperti apa masa depan masyarakat kita. Perubahan sosial dari hari ke hari memang tidak bisa dihindari telah mengubah pola pikir, lebih khusus paradigma dan cara pandang masyarakat. Misal; Perubahan dari kesederhanaan dan merasa cukup telah berubah menjadi pola konsumtif. Hal ini sudah tentu berupakan dampak dari perubahan sosial yang terjadi di era-era sebelumnya, terutama disebabkan oleh tindakan-tindakan ekonomi serta perubahan sistem ekonomi dari kesahajaan ke ekonomi kepemilikan dan capital. Pandangan dan teori-teori ekonomi abad pertengahan memang telah menggambarkan bahwa di masa kini perekonomian kita akan dikuasi oleh para pemilik modal, dan pada akhirnya akan menciptakan kelas-kelas di masyarakat, efek terdalam dari penciptaan kelas ini akan memunculkan kelas pemilik modal dan pekerja , yang acap kali menjadi landasan pengoyak kebersamaan. Ekstrimitas darinya adalah memunculkan konflik, persinggungan, bahkan peperangan antara kelas pekerja dengan pemilik modal. Pada saat yang bersamaan, pemilik modal memang memiliki kekuatan capital/ modal yang besar sementara kelas pekerja memiliki jumlah/ kuantitas anggota. Namun sampai kapanpun, persinggungan antara kelas pekerja dengan kelas pemilik modal tetap akan dimenangkan oleh pemilik modal, karena mereka memiliki kekuatan finansial, kekuatan inilah yang memang menjadi faktor pemicu konflik horizontal tersebut. Konflik berkepanjangan antara kelas pekerja dan pemilik modal mengejawantah dan mengkristal juga dalam kehidupan saat ini. Artinya imbas dari konflik tersebut menyentuh hingga ke ranah social terkecil. Bayangkan, seorang ibu rumah tangga yang sama sekali tidak memiliki penghasilan, sudah tidak bersuami, harus membiayai sekolah anaknya. Dalam hal ini seorang ibu tersebut tentu mewakili kelas pekerja karena dari segi status menempati status bawah, solusi alternatif finansial seorang ibu tersebut adalah dengan cara meminjam uang kepada lintah darat yang saat ini di masyarakt dikenal cukup luas dengan nama KOSIPA.

PNPM pun hadir, salah satunya adalah untuk mendobrak perpecahan kelas antara pemilik modal dengan kelas pekerja. Dan kami yakin PNPM terutama pinjaman bergulirnya merupakan musuh utama para pemilik modal/ lintah darat. Hanya saja masih belum seberapa, pinjaman yang digulirkan oleh PNPM dengan modal dan kekuatan menggurita yang dimiliki oleh pemilik modal/ lintah darat. Sampai akhirnya, walaupun dengan segala kekuatan, alim ulama dengan ceramahceramahnya, UPK dengan keseriusannya mengkampanyekan nilai-nilai luhur bangsa, dan elit-elit yang mengumandangkan pentingnya koperasi, seolah merupakan hal melangit dan belum bisa mengalahkan kekuatan KOSIPA. Ada kecendrungan, jika UPK dihadapkan dengan KOSIPA maka yang selalu keluar menjadi pemenang adalah KOSIPA. Tulisan ini tidak dimaksudkan bahwa pesimis telah menjadi latar belakang pengelolaan dana bergulir PNPM di masyarakat, kecuali untuk memberitakan, bahwa BLM yang diberikan kepada masyarakat, masih terlihat lebih ditujukan terhadap pembangunan fisik melulu. Imbas darinya adalah nilai-nilai yang disampaikan oleh PNPM pun seolah mengambang dan hanya dipahami oleh para pembaca- mereka yang terjun langsung di PNPM. Sebenarnya bukan hal sederhana mengubah paradigma dalam hal ini mengembalikan kembali paradigma masyarakat dari kondisi sekarang menjadi kembali seperti beberapa dekade ke belakang. Hanya saja, saat ini masyarakat dalam konteks kelompok yang sering terabaikan secara teknologi dan bantuan, lebih membutuhkan bantuan finansial dari sekedar memerlukan satu kubik pasir, semen, gang, mck, dan jalan umum. Infra-struktur masyarakat bukan merupakan kebutuhan pokok, melainkan kebutuhan sekunder setelah kebutuhan-kebutuhan pokok masyarakat terpenuhi, salah satunya adalah kesejahteraan. Mari kita buat sebuah analogi; Di Kampung A, gang bagus, bahkan rabat beton; MCK bukan main seperti kamar mandi para bangsawan, hanya saja kesejahtraan finansial masyarakatnya belum cukup dan sangat minim. Bisa diterka, satu atau dua tahun ke depan apa yang telah dimiliki oleh mereka akan hancur tanpa pemeliharaan. Penulis sama sekali bukan ingin menjadikan kesejahteraan finansial ini menjadi satu alasan bahwa masyarakat bisa bangkit, lebih dari itu, PNPM pun harus diarahkan lagi agar lebih menyentuh hati nurani. Artinya , ke depan sangat diperlukan sekali pola-balik dana BLM ke masyarakat dari fisik ke ekonomi. Karena kebutuhan antara masyarakat perkotaan dengan pedesaan sangatlah berbeda. Di kota orang lebih memerlukan modal daripada jalan dan gang. Dan akhir dari tulisan ini adalah, saya sebagai seorang petugas UPK hanya bisa berharap dan bernostalgia, bahkan kesannya sungguh berapologi, bahwa masyarakat kita akan segera bangkit dan berdaya ketika PNPM telah mengubah haluan dari fisik ke ekonomi. Wallahu 'alam

Related Documents


More Documents from ""